Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TIARA... (No Sara)

CHAPTER 8 - B

Aku mengemudikan mobil dengan kecepatan yang sedang. Apalagi hujan kembali mengguyur. AC di dalam mobil ingin ku nonaktifkan namun gadis di sebelahku malah melarang. Alasannya nanti kaca mobil malah berkabut, justru akan sulit buat aku melihat ke jalan. Benar sih, Cuma kan, kalo tidak di offkan ACnya kita berdua malah semakin kedinginan, dek. Aku membatin.

“Kok... Tiara jadi males pulang, ya” pelan, sangat pelan ku dengar suaranya. Namun aku berusaha untuk tidak terpancing.

Wait...

Apakah gadis ini memang benar-benar sepolos itu, tak memikirkan kata demi kata yang ia ucapkan padaku? Apakah dia paham konsekuensinya? Apakah dia tak takut, jika awalnya niatnya tak menggoda, malah aku yang tergoda? Ataukah, memang dia sudah berada pada taraf menggoda? Lalu, apa yang ia lihat dariku, apa yang ia inginkan dariku, sehingga ia bisa menghadirkan niat untuk menggoda?

Ahhh, sial. Terlalu banyak pertanyaan demi pertanyaan yang membuat kepalaku rasa-rasanya hampir pecah saja.

Belum juga aku di buat bernafas lega, menormalkan perasaan di dalam sana, tiba-tiba saja gadis ini malah membuka.....



Ah shit!..... aku membeku.

Ohhh tidak Tiara....

Jangan engkau lakukan.

Bagaimana tidak, Tiara dengan santai malah perlahan mulai mengangkat kedua lengannya ke atas, membiarkan tshirt berlengan panjangnya itu lolos dari tubuhnya.

“Maaf pak Ayah. Biar gak terlalu basah....”

Sedikit ku hela nafas ini, meski....

Yah, meski memang dalam tshirt berlengan panjangnya itu masih ada penghalang agar aku tak bisa melihat langsung dalamannya. Tapi, itu. Ohhh sungguh, sepasang buah dada yang menantang yang mencetak di kaos singlet berwarna kuningnya, yang masih menyelimuti tubuh mungilnya itu, malah menantang. Bentuknya begitu menggoda. Tidak sebesar milik Andini, tapi tak sekecil gadis seumurannya. Pas pada proporsinya. Dan itu yang membuatku menelan ludah secara spontan.

Bra berwarna hitam di dalamnya, malah samar terlihat. Meski aku tak melihat secara langsung dengan menolehkan wajah ini ke samping, tapi hanya sekedar dari ekor mata saja, pun sudah memberikan efek yang sedemikian rupa pada diriku ini. Sialnya lagi, geliat di bawah sana semakin menyiksa saja. Ingin menurunkan, tapi penampilan gadis di samping malah semakin meningkatkan kadar ketegangannya.

Jadi....

Kalian bisa membayangkan bukan, bagaimana tersiksanya aku sekarang ini?

Gadis mungil, manja dan lucu di sebelahku ini, kini, telah berpenampilan yang begitu menggoda. Rok tak begitu span, tapi sudah tertarik ke atas – lebih dari setengah ukuran sepasang pahanya itu, yang sedikit saja, jika ia bergerak lagi, pasti akan semakin tertarik dan mungkin akan menunjukkan bagian pangkalnya. Serta di bagian atasnya, kaos singlet kuning yang juga mulai menunjukkan perutnya – lebih tepatnya bagian pinggang kanannya, meski sedikit saja, tapi itu sudah teramat sangat menyiksa bagi pria yang masih berusaha mengemudikan mobil ini, di sebelahnya.

Imagi ku mulai kemana-mana. Mulai berusaha untuk menggodaku, menghilangkan norma-norma kehidupan, menutup akal sehat ini, menggantikan dengan kenekad-tan. Bahkan buat menahan pengaruh imagi laknat di dalam sana, aku mencengkram kemudi mobil ini.

Bukan hanya sekedar birahi yang menguasai, melainkan rasa gemas dan ingin mencubit, menguyel tubuh gadis di sebelahku inilah – yang kadar penyiksaannya tak perlu lagi di tanyakan. Birahi ku tahan dengan cengkraman tangan di kemudi mobil, tapi kegemasan atas gadis di sebelah ini, ku tahan dengan mengeratkan rahang dan menggertakkan berkali-kali gigi ini. Semoga saja, ia tak menyadari bagaimana berusahanya aku buat bersikap seperti sekarang ini.

Jadi....

Kalian bisa bayangkan sekali lagi, bukan?

Kalo hanya sekedar birahi, mungkin masih bisa tertahan. Tapi, perasaan gemas dan beribu keinginan untuk sekedar memberinya cubitan ringan, malah hal itulah yang teramat menyiksaku.

“Pak ayah.... ada apa?” Ohhh, Tiara. Sudah dek. Cukup.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Menggeleng, tanpa menoleh.

“Ohhh, kirain pak ayah kedinginan” ia berucap lagi.

Andai bisa ku terus terang padanya, tapi aku malah tak mampu melakukannya. Yang hanya ku lakukan, tetap diam, tetap fokus pada jalan di depan.

Buat sesegera mungkin memungkasi penyiksaan ini, mungkin dengan menaikkan kecepatan mobil, agar tiba lebih cepat di rumah, agar menghindarkan pandanganku ini dari gadis lugu dan polos di sebelah. Dan yah, hal itulah yang kini tengah ku lakukan.

“Ehhh.... pak ayah. Kok?” Tiara agak kebingungan dengan tingkahku yang sedikit menaikkan kecepatan laju kendaraan.

“Biar cepet sampainya. Takutnya kamu malah semakin kedinginan.”

“Padahal Tiara biasa-biasa aja..... sihhhh” kata ‘sih’-nya itu, terdengar agak gimana gitu. Tapi aku mengacuhkan. Karena ketidak sanggupanku lagi untuk bertahan lebih lama. Terlambat saja aku tiba di rumah, maka aku tak dapat menggaransi, jika tangan ini, diri ini akan berbuat nekad padanya.



Tak begitu lama......



Akhirnya. Aku berhasil tiba lebih cepat di rumah. Berhasil menghembuskan nafas lega ini, tepat di saat aku memarkir mobil di depan rumah. Masih belum memasukkan ke dalam garasi.

Aku lega. Tapi tidak dengan gadis di sebelahku. Ekspresinya menunjukkan, jika ia tak selega denganku. Apakah ia tak ingin aku benar-benar mengajaknya pulang ke rumah? Dan, apakah ia benar-benar menginginkan aku membawanya ke suatu tempat, hanya berdua saja dengannya?

Ahhh.... Rudi. Jauhkan pemikiran konyol itu. Sebuah monolog singkat menegur di dalam sana.

Oh iya, nyaris lupa.

Aku akhirnya berhasil menoleh padanya. “Ra....”

Dia tak bersuara, tapi tetap menolehkan kepalanya ke arahku. Menatapku dalam remang cahaya.

“Boleh saya meminta sesuatu?”

“A... appaaaa i... itu pak.... pa... pak ayah?” ha? Dia sampai gugup dan gemetar menjawab.

Aku menggeleng, menyertai senyum terbaik pada wajahku ini.

“Pintaku hanya, jangan mengatakan pada Andini jika saya menjemputmu tadi. Bukan karena apa sih, Cuma buat menghindari pikiran yang tidak-tidak dari Andini.”

Gadis itu senyum. Dia mengangguk, “Tiara paham, pak ayah”

Syukurlah. Tanpa ku jelaskan panjang lebar, gadis ini memahami apa yang ku maksudkan.

“Katakan saja, kita bertemu di depan gang sana”

Sekali lagi dia mengangguk.

“Ya sudah, mari kita turun”

Kali ini, anggukan kepalanya tak terjadi seperti sebelumnya. Dia menatapku kembali.

Tatapannya ini, seakan menjadi godaan terhadap loyalitas pernikahanku bersama Andini. Andai ku lakukan sebuah tindakan padanya, mungkin saja setelah malam ini, semua tak akan sama lagi. Semua tentu akan berubah.

“Masuklah lebih dulu.” Aku bergumam. Dan setelahnya, karena ia masih saja diam tak menanggapi, tanganku bergerak untuk sekedar menyentuh kepalanya. Ku usap kembali. Dan jenak berikutnya, ku sadari jika gadis ini menyukai apa yang ku lakukan padanya. Tiara menyukai sentuhanku? Buktinya, dia sampai terpejam. Sampai menarik nafas dalam-dalam menghembuskannya, tapi malah melayang di udara. Gadis ini sampai menahan nafas.

Tanganku, malah masih enggan memisahkan diri dari kepala gadis ini. Masih mengusap, “Setibanya di kamar, langsung mengeringkan badan. Jangan lupa ganti semua pakaian kamu.... jangan sampai kamu mandi, karena ini sudah sangat malam. Seharusnya seorang calon dokter paham apa yang saya maksudkan ini, bukan? So.... turunlah dek. Beristirahatlah dengan nyaman di dalam”

Akhirnya....

Setelah beberapa detik hening. Kepala yang masih ku sentuh ini, mulai teranggukkan.

Aku pun lega, tersenyum lembut padanya.

Tangannya yang begitu putih, mulai bergerak. Meraih tanganku yang berada di kepalanya, menurunkannya, mendekatkannya di wajah. Dan ia menyalim dengan hikmat. Bahkan ku rasakan, bibirnya itu, bibir yang ingin sekali ku sentuh, malah menyentuh punggung tanganku. Getar gelisah dalam diri ini mulai menggoda kembali. Tapi aku tak terpengaruh. Aku harus dan mampu menahan diri. Karena sedikit lagi, yah, sedikit lagi penyiksaan ini akan berhasil ku singkirkan.

“Tia masuk dulu ya, pak ayah.... dan terima kasih, malam ini, pak ayah sudah baik banget ke Tia”

Aku mengangguk. “Masuklah. Nanti sedikit lagi saya menyusul masuk”

“Hehehe, bukan menyusul Tiara ke kamar atas kan?” sambil mengatakan itu, matanya kian menatap lebih dalam ke sepasang mata ini.

Oh tuhan.....

“Kamu ini.... jangan kebanyakan bercanda dengan msalah seperti ini, Ra. Gak baik.”

Dia senyum. “Maafin Tiara, pak ayah”

“Masuklah.” Sekali lagi aku mengingatkan.

Dia mengangguk.

Pada akhirnya, kami pun benar-benar memungkasi kebersamaan kami malam ini, dengan di tandainya, gadis itu mulai membuka pintu, mulai keluar dari mobil.

Begitu pintu mobil di tutup, akhirnya nafasku yang teramat sangat berat sedari tadi, berhasil ku tarik hembuskan dengan lancar.

Kini....

Gadis itu mulai melangkah masuk ke dalam rumah. Kepalanya tak berpaling sama sekali. Dan hal itu, menjadi perhatian penuhku yang masih duduk di dalam mobil.



Beres.........................

Akhirnya..... beres sudah penyiksaan malam ini yang ku derita sejak tadi, di tandai dengan hilangnya sosok gadis - yang tak berniat menggoda itu, tapi aku sekali lagi jujur, jika akulah yang justru tergoda – dari balik pintu rumah yang awalnya membuka, kemudian menutup kembali.

Jenak berikutnya, barulah aku tersadar. Ini bukan akhir. Penyiksaan ini bukanlah sebuah akhir, tapi babak baru dalam kehidupanku. Sebuah babak yang menentukan, apakah loyalitas pernikahanku yang selama ini ku jaga dengan baik, akan mulai mengarah pada kehancuran?

...

...

...

Begitu tiba di kamar, aku melihat Andini tertidur dengan nyenyak. Aku yang menyuruh Tiara agar tidak mandi, malah justru akulah yang melakukannya. Aku harus mengguyur tubuh ini dengan air hangat di kamar mandi, agar semua pikiranku yang sejak tadi terjadi, sirna seketika.

Di dalam kamar mandi. Di bawah guyuran air dari shower, aku memejamkan mata. Membuang jauh-jauh pemikiran tak logis ini. Menghangatkan diri dengan air hangat, serta menyamarkan keinginan besar untuk menyentuh sejak tadi pada tubuh Tiara, tergantikan dengan kenyamanan berada di dalam rumah, di pelukan Andini istriku, yang tak seharusnya ku khianati.

Selesai dari kamar mandi.

Selesai membersihkan diri.

Lumayan mampu meredakan gejolak dalam diri ini. Apalagi ketika aku telah berpakaian kembali, menatap wajah Andini yang tertidur damai itu, semakin membuat perasaanku secara berangsur memulih.

Andini....

Maafkan suamimu ini, yang nyaris saja nekad bertindak karena tergoda oleh keluguan dan ke’Polos’an Tiara.



Bersambung Chapter 9
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd