Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

The Verde!: Ana

maexhot

Semprot Baru
UG-FR
Daftar
21 Oct 2015
Post
45
Like diterima
266
Bimabet
Hallo, suhu-suhu yang budiman.
Nubi ikutan bikin cerita, ya.
Semoga bisa menemani suhu-suhu kerja di rumah, sekolah di rumah, dan tentu saja, coli di rumah. :Peace:

Jadi gini, gue itu punya sepupu perempuan.

Jangan dari sepupu perempuan deh. Gue mulai dari nama gue dulu aja. Hehe..

Nama gue Tyo. Gue punya seorang paman. Dia adalah adiknya nyokap gue. Paman gue ini, menikah dua kali. Pernikahan pertamanya gagal setelah dia punya anak ketiga. Sedangkan pernikahan keduanya sedang diambang kegagalan pula setelah memiliki tiga anak. Tapi gue di sini gak lagi pingin ghibahin kesialan dunia pernikahan dia. Cukuplah gue berharap dan berdoa yang terbaik untuk dia.

Tiga anak dari istri pertama paman gue, perempuan semua: Aini, anak pertama. Dewi, anak kedua. Dan, Triana, anak ketiga. Tiga-tiganya cantik, dengan karakter yang masing-masing berbeda. Aini cenderung konservatif. Dewi terlihat progresif. Sedangankan Triana jelas seperti seorang yang sangat moderat. "Anjeng, apaaan ini.. haha!"

Lalu tiga anak dari istri pernikahan keduanya: dua perempuan dan satu laki-laki. Jadi paman gue ini, punya enam anak. "Udah kaya Marmut, ya.."

Gue akrab sama hampir keenam anaknya. Dalam artian, gue tau nama mereka dan mereka tau nama gue. Dan kami berkomunikasi jika ada kesempatan bertemu. Jangan salah, mengenal nama sepupu dan bisa ngobrol dengan mereka bukanlah hal biasa di keluarga besar gue. Banyak dari mereka--antar sepupu, tidak saling mengenal. Tidak kenal nama, tidak saling berbicara, dan jika berkumpul lebih mirip seperti orang-orang yang berada dalam satu angkutan transportasi umum di jam pergi dan pulang kantor.

Aini dan Dewi adalah yang paling akrab sama gue. Selain karena perbedaan usia kita tidak jauh: hanya lima-tujuh tahun, juga karena ketika Aini dan Dewi masih kecil, mereka kerap berkunjung dan menginap di rumah gue. Selain daripada itu, mereka berdua juga "berteman" sama gue di dunia maya. Di sosial media.

Aini dan Dewi tinggal bersama ibu kandung mereka, sedangkan Triana tinggal bersama ayahnya. Hanya sabtu-minggu Aini dan Dewi menghabiskan akhir pekannya di rumah paman gue. Menemui dan menemani Triana. Jadi bisa dibilang, Triana hidup dalam keterasingan bersama tiga saudara beda ibu itu. Tapi karena Triana adalah orang yang memegang teguh motto hidup: "Kalo bisa dipermudah buat apa dipersulit" ketimbang motto hidup orang kelurahan, "Kalo bisa dipersulit jangan dipermudah", maka Triana enjoy saja. Tidak ada tanda-tanda dia ingin menenggak baygon atau terjun dari ITC Cempaka Mas.

Triana terkenal paling nakal di keluarganya. Padahal label nakal yang disematkan padanya, hanya seujung kuku jika dibandingkan dengan yang menulis cerita ini. hehe.
Gue kerap mendengar kabar dan gosip seputar kenakalan yang dilakukan Triana. Paling sering tentu saja dari Aini dan Dewi, tapi juga tak jarang gue mendengar dari keluarganya yang lain. Meski begitu gue tidak percaya atau menelan bulat-bulat apa yang dikatakan tentang Triana. Gue adalah orang yang percaya betul dengan apa yang dikatakan penyair asal Republik Kongo: "Pahami dulu apa yang ingin kau benci (menilai jelek orang lain), hingga kebencian itu tak akan ada lagi di dirimu."

Gue selalu bisa biasa saja dan objektif ketika berbicara dengan Triana. Hampir tidak pernah gue membawa referensi tentang dia yang pernah gue dengar. Gue bersikap dan menanggapi Triana sesuai dengan apa yang sedang dia katakan atau lakukan saat itu. Dalam bahasa akademis sikap gue itu disebut "Sesuai Aplikasi". "Sesuai konteks, anjengggg, sesuai aplikasi mah ojol, bangsat luh!"

***

Hingga tibalah hari yang kalian tunggu-tunggu!


"Yo, Tyo.. Besok kita ke rumah paman, ya."
"Ngga, ah. Aku males keluar rumah. Sama Bang Udin aja. Itung-itung bantuin dia dapetin pemasukan."
"Ibu gak akan ngajak kamu kalo bang Udin bisa. Bang Udin gak bisa. Lagi sibuk ngurusin hewan qurban."
"Yaudah sama Mas Karyo aja kalo gitu.."
"Kamu gak tau kalo Mas Karyo ditangkep polisi karena nanem *****?"
"Hah?"
"Iya. Mas Karyo itu digrebek polisi karena nanem *****.."
"Nanem ***** ditangkep???"
"Loh!!? Kan emang gak boleh, ya ditangkeplah!"
"Ya ngga, maksudnya, nanem ***** ngapain ditangkep sih, kan gak berbahaya. Gak lebih berbahaya dari yang menanam kebencian."

"Yo! Lo bisa fokus ke cerita aja gak!???"

***

Maka pergilah gue ke rumah paman pada hari minggu tanpa melihat pak kusir yang sedang mengendarai delman istimewa itu.


Sesampainya di sana, rumah paman lebih mirip kolam renang di musim hujan, sepi. Pagar rumahnya terbuka, tapi tak ada seorang pun. Mainan, sepeda, dan beberapa perkakas rumah tangga berserakan. Sepertinya beberapa jam yang lalu rumah ini dipenuhi teman-teman Alya dan Alda, dua anak perempuan paman gue dari istri pernikahan keduanya.

Nyokap gue membuka pintu rumah dan langsung masuk ke dalam tanpa menunggu si empu rumah. Terlihat ada Dino sedang khusyuk bermain game. "Eh Budeh.." Katanya sambil menyambut ibu gue sesaat dan kembali bermain tanpa menghentikan permainannya.

"Pada tidur, Deh.." Katanya kemudian, menjawab pertanyaan nyokap gue tanpa memalingkan pandangannya dari layar tv flat berukuran jumbo. Dino adalah anak pertama paman gue dari istri pernikahan keduanya. Usianya tak lebih dari 15 tahun.



"Di pause dulu bisa gak?" Kata gue sambil memeluknya dari belakang dan menekan segala tombol yang ada di stick console-nya. Lebih cocok disebut menganiayanya sih ketimbang sekedar disebut memeluk.

"Mas, ah!" Dino berontak. Benar-benar tak ingin diganggu.

"Pahhhhh ada Budehhhhhh..." Teriaknya kemudian meski tak ada yang memintanya melakukan itu. Ibu gue yang sedang menaruh oleh-oleh--makanan kesukaan paman gue, di meja makan menggelengkan kepala. Gue mengeplak kepala Dino.

"Mba Aini gak ke sini?" Tanya ibu gue sambil mengeluarkan bawaannya.

"Udah pulang, Budeh. Tadi di sini." Jawab Dino.

"Kakak Dewi?"

"Iya, sama Kakak Dewi juga."

"Nginep?"

"Nginep Budeh, dari seminggu yang lalu."

Tanya jawab di atas dilakukan oleh dua manusia tanpa saling menatap. Keduanya ngobrol sambil melakukan sesuatu. Luar biasa sekali.

Tak lama berselang paman gue muncul diikuti oleh istrinya. "Tumben lu, mau nganterin ibu lu.." Sapa paman setelah sungkep dengan ibu gue.
Gue pun menghampiri dan menyalaminya. "Sehat Om? Sehat Tante?" Tanya gue. Keduanya hanya mengangguk dan tersenyum.

"Kana mana, Mas?" Tanya paman gue ke Dino.

"Ke rumah ibu, kan, nganter Mba.."

"Oh, iya, ya.."

Kana adalah panggilan mereka untuk Triana. Aslinya Kak Ana, tapi entah karena perkembaangan politik atau pergeseran budaya, sebutan Kak Ana menjadi Kana. Tak perlulah kita pusingkan itu. Gue sendiri. Gak sendiri sih, sekeluarga, biasa manggil dia Ana.

***

"Parah aku samperin ke rumah malah gak ada.."

Pesan wa gue kirim ke Dewi setelah merasa sedikit bosan menyaksikan permainan game Dino. Sejurus kemudian Dewi menelepon panggilan video.

"Ihh, Massss.. Kenapa gak dari tadi sih, sampe rumahnya?" Kata Dewi di ujung layar. Heboh melihat ketampanan orang yang di video call. Terlihat Aini melambai-lambaikan tangan. "Ngapain dia nyerah?" batin gue. "Dia menyapa anjeng, bukan lagi uji nyali.." kata batin gue yang lain. Triana hanya menjulurkan lidah saat Dewi menyorot kamera ponsel ke arahnya. Lalu tak berlangsung lama gue sudah menutup telepon dan kembali menyaksikan Dino bermain game.

Ibu, paman dan istrinya, menyantap makanan ringan di meja makan. Mereka belum membicarakan perkara serius. Sekedar ngobrol hal-hal biasa.

Suasana rumah siang itu cenderung sunyi. Hanya suara permainan game Dino yang sesekali menggelegar memenuhi ruangan tanpa ada yang merasa terganggu.

Rasa kantuk pun mulai menghampiri gue. Merem melek gue mengakses sosial media sambil sesekali melihat permainan game Dino, dan gue pun tertidur.

***

Gue tidur.

***

Masih tidur juga.

***

Tidur.

***

Masih tidur.

***

Masih juga tidur.

***

"Lo bisa bangun gak, Nyet? Kapan ceritanya kalo lu tidur mulu!"

***

Tanpa terasa satu jam lamanya gue tertidur. Dino masih bermain game. Ibu, paman, dan istrinya sudah tak ada di meja makan. Entah ke mana mereka. Gue melamun memandang layar tv. Dino sedang menuntaskan permainan gamenya. Dan tak lama berselang dia sudah mengakhiri permainan gamenya sambil menguap seperti Beruang Grizzly hendak hibernasi. Sejurus kemudian dia masuk kamarnya, gue menonton tv sambil menunggu nyawa gue sepenuhnya kembali ke badan.

Lalu setelah merenggangkan badan, mengulet seperti kucing rumahan, gue meraih remote tv, mengganti channel demi channel, mencari tontonan yang layak ketimbang dengerin bacot pejabat.

"Aha, ini dia. Jejak Si Botak. Acara kesukaanku.." Batin gue. Kemudian menyaksikan lelaki paruh baya yang menjadi lakon utama di acara itu melakukan segala sesuatu. Serba bisa dia rupanya. Macam MacGyver.

Ibu, paman dan istrinya ternyata sedang berbicara di ruang tamu. Sepertinya sudah masuk ke obrolan serius. Gue melihat mereka ketika hendak ke kamar mandi untuk buang air kecil. Setelah dari kamar mandi, gue ke dapur, merebus air. Sambil menunggu air tersebut masak, gue mematikan tv, meraih hp dan kembali ke dapur. "Ngopi enak nih.." Batin gue.

Setelah kopi jadi, gue naik ke lantai dua rumah paman.

Di atas ada balkon yang biasa untuk menikmati senja di sore hari. Sambil merokok dan menyeruput kopi, gue menata bangku menghindari sinar matahari yang belum nikmat untuk dipandangi. Karena sinar itu masih silau sekali. Sambil merokok dan minum kopi, gue berpikir, "Kayanya ada yang kurang.. Apa ya.."

"Sialan, HP!"

Ternyata hp gue ketinggalan di dapur. Gue pun turun mengambilnya.

Alangkah kagetnya gue saat kembali ke atas.

Gue berpapasan dengan Ana yang baru saja keluar kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk kecil. Handuk itu dibagian atas hanya menutupi payudaranya, sedangkan bagian bawahnya hanya menutupi paha satu jengkal diatas lututnya. Gue cukup terkejut. Terkejut karena ternyata ada Ana. Dan ternyata Ana sudah besar. Sedangkan Ana juga cukup terkejut dan malu. Dia tau saat gue naik ke atas, maka itu dia tidak langsung keluar kamar mandi. Dan begitu gue turun ke bawah, dia manfaatkan kesempatan itu untuk keluar. Tapi ternyata gue terlalu cepat naik kembali ke atas, hingga dia tak bisa menghindari perjumpaannya dengan gue hanya dengan mengenakan handuk kecil. Besar kemungkinan kejadian itu settingan iblis.

Tapi meski begitu, kami mencoba biasa saja. Ana pun sempat menyalami gue sebelum akhirnya melengos ke kamarnya. Gue kembali ke balkon dan menyeruput kopi. Tak berselang lama, Ana sudah mengenakan pakaian dan menghampiri gue. Dia menggunakan celana legging 3/4 warna grey dan kaos pantai bercorak Leak Bali warna gradasi biru tosca.

"Enak bener yak, bangun tidur, ngopi.." Sapanya membuka pembicaraan sambil mengeringkan rambut. Dia kemudian duduk di hadapan gue. Di tatanan bangku yang seharusnya sebelum gue mengubah tatanan itu. Gue hanya tersenyum meresponnya. Lalu bertanya perihal kedua kakaknya. "Kak Dewi ada ujian. Mba Aini mau ke mana gitu, ada urusan. Salam aja katanya." Jawab Ana kemudian.

***

"Kamu sekolah kelas berapa sih, Na?"
"Kelas 12 dong.."
"12 tuh, kelas... emmm.. dua smp ya??"
"Heh! Kelas 3 SMA, dongggg!"
"Ohhh, tigaaaa.. Gila, udah kelas 3 SMA ya, kamu ya." Kata gue kemudian.
"Iya dong. SMK tapi, aku." Jawabnya diikuti mimik wajah bangga khas ABG.

"Oh, SMK. Jurusan apa?"
"MM."
"Multimedia Marketing?"
"Bukannnn! MM itu multimedia."
"M satunya lagi apa? Kan MM. Multimedia M-nya?"
"Ish! MM, M pertamanya multi, M keduanya Media. Jadi MM itu Multi Media."
"Huahahahaha"

Ana tak memperdulikan keheranan gue. Dia masih dengan pekerjaannya mengeringkan rambut. Gue pun kemudian kembali menikmati kopi dan merokok sambil main hp. Hanya sesekali gue dan dia bertanya seputar hal-hal yang umum terjadi pada percakapan dua saudara yang lama tak bertemu. Seperti bertanya kabar saudara yang lain, bertanya kesibukan saudara yang lain, dan lain-lain itu. Tak sampai bertanya kabar kasus penuntasan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.

"Sebentar.." Kata Ana, beranjak dari bangkunya lalu kembali dengan membawa cermin. Ditaruhnya cermin itu dihadapannya di bangku yang lain. Gue memandangi orang yang sedang memandangi dirinya sendiri. Baru kali ini lagi gue liat Ana tanpa mengenakan kerudung. Biasanya gue bertemu dia selalu mengenakan kerudung.

"Rambutmu emang pendek segitu ya?" Tanya gue. Ana hanya menganggukkan kepalanya sambil tetap menatap cermin. "Cantik.." Kata gue kemudian. Rambut Ana memang pendek, tak sampai menyentuh bahunya. Potongan rambut perempuan kesukaan gue karena leher terlihat sangat terekspos.

"Amin. Makasih.." Jawabnya, biasa saja. "Ini tuh potonganku kalo lagi patah hati."
"Loh. Emang biasanya semana?"
"Yaaa, segini, lah..." Jawabnya sambil menyentuh bahu, yang artinya menerangkan bahwa biasanya rambut dia itu selutut. "SEBAHU ANJENGGGG.."

Ana selesai menggunakan handuk untuk mengeringkan rambutnya, gue kembali mengajaknya ngobrol.

"Berarti umurmu sekarang.."
"17."
"Waw, 17. Sweet seventeen, dong ya.."
"Iyaaa. Haha. Tapi sweet seventeen aku gak sweet. Sweet seventeen aku patah hati."
"Yelah gegayaan patah hati."

*

"Umur 17 tahun udah pacaran berapa kali, Na? Punya pacar, kan?"
"Punya dong.."
"Ini pacar ke berapa kamu?"
"Mmm.. Empat, kayanya."
"Umur 17 tahun baru pacaran 4 kali??? Aku umur 17 tahun udah punya pacar berapa ya.. Emm.. Lima belas apa ya."
"Ihhhh. Ya bedalah aku sama mas! Beda jamannya juga."

Setelah sesi obrolan di atas, pembicaraan kami menggunakan bahasa inggris.

Bukan karena gue jago bahasa inggris, justru sebaliknya, karena Ana jago bahasa inggris dan gue mau memanfaatkan pembelajaran les privat yang gue jalani di yutub untuk mempraktekkannya. Meskipun, tentu saja, bahasa inggris yang gue ucapkan bahasa inggris yang google translate banget.

Darimana gue tau Ana jago bahasa inggris? Dari deretan sertifikat menang lomba yang berjejer sepanjang tembok di tangga. Juga tumpukan medali yang menggantung di atas fotonya di ruang tv atau ruang keluarga, tempat gue tertidur.

"Jadi, kamu punya pacar. Bagaimana ceritanya sampai kamu bisa punya pacar?"
"Apanya yang mau diceritakan. Aku hanya remaja pada umumnya."
"Hmm. Apa yang membuat kamu menerima ajakan pacarmu untuk menjalin hubungan?"
"Hah? Hmm. Aku tidak tau pasti, mungkin karena aku mencintainya."
"Mencintanya? Anak remaja bicara soal cinta?"
"Maaf, maksudku, aku menyukainya. Ya, itu dia, lebih tepat disebut, aku menyukainya."

"Apa yang membuatmu menyukainya?"
"Emmm.. Mungkin, karena dia perhatian padaku."
"Jadi, hanya dengan memberikan perhatian, kamu bisa menyukai seseorang?"
"Memang ada orang yang tidak suka mendapatkan perhatian?"
"Maksudku, menyukai sebagai pacar. Jadi, siapa nama pacarmu?"
"Raffi."
"Jadi jika yang memberikan perhatian padamu bukan Raffi, kamu tetap akan mau diajak pacaran? Begitu maksudku."
"Mmmm.. Sepertinya tidak."
"Nah, berarti kamu menyukainya bukan karena dia memberikan perhatian padamu."
"Ya, kamu benar. Itu kenapa tadi aku bilang, "mungkin""


"Jadi karena apa?"
"Aku tidak tau pasti karena apa, yang jelas aku menyukainya."
"Apa dia tampan rupawan sepertiku?"
"Hahaha. Ya, dia cukup tampan. Tapi tidak lebih tampan darimu. Hehe."
"Boleh aku melihatnya?"
"Tentu. Ini."

Ana menyerahkan ponselnya. Gue melihat tampang Raffi. Lalu saat gue hendak menggeser foto tersebut, secepat kilat Ana bereaksi.

"Tidak! Tolonglah, jangan lakukan itu." Katanya. Gue lalu memberikan kembali ponselnya.
"Ya. Maafkan aku. Aku tidak bermaksud melanggar privasimu."
"Ya, betul. Ada privasiku di situ. Tidak apa-apa sebenarnya, jika kamu melihat. Tapi aku hanya malu saja."
"Kenapa kamu harus malu?"
"Ya karena kamu adalah kakak sepupuku."
"Kalo begitu anggaplah aku temanmu. Jangan pedulikan statusku sebagai kakak sepupumu."
"Apa maksudmu?"
"Maksudku, santai saja. Obrolan kita berdua tidak akan sampai ke orang lain di luar kita berdua."

Ana mengangguk. Wajahnya seperti memikirkan sesuatu. Raut wajah yang awalnya terus-terusan menahan tawa karena bahasa inggris gue yang salah-salah sudah tak tampak lagi.

Dalam obrolan berbahasa inggris itu, awalnya Ana mengoreksi tiap kesalahan pengucapan gue, lalu seiring waktu dia tidak lagi mengoreksinya. Dia paham apa yang sebenernya gue maksud tiap gue melakukan kesalahan pengucapan. Meskipun kadang kala butuh beberapa kali pengulangan. Dan sesekali dia juga memberitahu kata yang benar.

"Bagaimana bahasa inggrisku?" Kata gue kemudian.
"Hancur. Kacau. Haha. Tapi tidak apa-apa. Kamu harus melakukannya terus, jika ingin benar-benar bisa berbahasa inggris."
"Haha. Ya, aku tau. Tapi itu masalahku, aku tidak melakukannya terus-menerus."
"Kenapa? Kenapa kamu tidak melakukannya terus-menerus?"
"Entahlah, mungkin karena tidak ada dirimu. Dan itu membuat hari-hariku teramat sepi dan membosankan."
"Huweeekk. Orang gila rupanya." Ana menggelengkan kepala, seakan tidak menyangka gue bilang begitu.


"Sebelum berpacaran dengan Raffi, siapa pacarmu?"
"Hah? Kamu masih bertanya soal hubungan percintaan?"
"Lalu apa lagi yang harusnya aku tanyakan padamu? Harga minyak dunia? Konflik Papua?”
"Hahaha. Ya, ya, ya. Ada benarnya juga. Pacarku sebelumnya? Gerald. Orang yang membuat aku patah hati. Orang yang membuat potongan rambutku seperti ini."
"Oh, ya. Waw."
"Ya."


"Mengapa? Mengapa kau harus merasa patah hati?"
"Dia meninggalkanku."
"Dia memang tetap akan meninggalkanmu. Kamu masih remaja. Apa yang kamu harapkan? Kamu tidak berpikir akan menikah dengannya kan saat mulai berpacaran?"
"Iya, tepat sekali. Aku juga berpikiran seperti itu. Tapi, entahlah, aku sangat bersedih waktu hubunganku harus berakhir dengannya."
"Kenapa bisa berakhir? Ana diam tak menjawab.

Gue kembali bertanya.“Dia selingkuh?"
"Iya. Kurang ajar! Aku diselingkuhi.."
"Dia akan menyesal. Dia pasti menyesal!"
"Oh, iya, tentu saja!"


"Kapan itu terjadi? Berakhirnya hubunganmu dengan Gerald?"
"Mmm.. Sekitar 5 bulan yang lalu.."
"Apa?? Jadi hubungan kamu dengan Raffi sudah berapa lama?"
"Hahaha. Baru 4 bulan."
"4 bulan!!? Hahaha."

Gue kelelahan. Berasa naik Gunung Semeru tanpa ngecamp di Ranu Kumbolo dan Kalimati.
Buat gue, ngomong bahasa inggris memang sangat melelahkan, karena otak dipaksa untuk berpikir lebih dari ketika ngomong dengan bahasa ibu. Itu kenapa latihan sangat diperlukan, agar otak terbiasa berpikir.

Gue menyeruput kopi, membakar rokok. Ana mengetik sebuah pesan sambil senyum-senyum. Mungkin sedang wasapan dengan Raffi. Gue pun mengusap-usap layar ponsel, bingung hendak mencari aplikasi apa yang mau gue akses.

Sampai akhirnya Ana bersuara, “Kamu tau apa? Aku tidak pernah bercerita seterbuka ini dengan siapa pun..” Seketika ereksi gue mendengar bagian ini. Gue merasa sedang di ssi. Referensi kenalakan Ana yang pernah gue dengar sebelumnya mendadak berkumpul di kepala gue. Kelelahan berbahasa inggris, tak lagi gue rasakan.

“Apa maksudmu?” Respon gue kemudian.
“Iya, aku gak pernah cerita yang kita bicarakan tadi pada siapa pun. Tidak pada Mba Aini, tidak juga pada Kak Dewi. Apalagi Papah. Aku juga gak tau kenapa? Dan juga gak tau kenapa aku bisa bercerita itu semua padamu.” Makin ngaceng saja aku dibuatnya~

“Oke. Mulai sekarang kamu bisa bercerita apa pun padaku. Kapan pun kamu mau bercerita, segera hubungiku. Jika kamu butuh bantuan, tak perlu sungkan untuk bilang padaku. Aku akan membantu sebisaku. Aku tidak berjanji akan selalu membantu, tapi aku akan selalu ada untukmu. Dan jangan pernah kamu merasa sendiri.” Ngos-ngosan gue mengucap kalimat ini.

“Aaaahh, manis sekali. Terima kasih, kakak sepupuku.
“Sama-sama. Apa pun akan kulakukan untukmu, belahan jiwaku.”

Lalu kami tertawa bersama. Lebih tepatnya, tertawa dengan rasa geli bersama.

***

Pikiran gue ke mana-mana. Muncul hasrat untuk bercumbu dengan Ana. Tapi mana mungkin gue lakukan. Ana sepupu gue sendiri. Iya sih, dia cantik, badannya ramping, dan sepertinya ada peluang untuk melakukan itu, tapi kan dia tetap sepupu gue. Dia kan anaknya paman gue sendiri. Gila aja sampe gue tidurin. Tapi, kayanya seru sih sensasinya…

“Semalam, kamu berkencan dengan Raffi?” Tanya gue saat pikiran dipenuhi hasrat-hasrat busuk.
“Tidak.”
“Kenapa tidak?”
“Karena Papah akan marah.”
“Jadi Papahmu tidak tau soal Raffi?”
“Seperti kataku tadi, bukan hanya Papah yang tidak tau, semua keluargaku juga tidak ada yang tau.”
“Waw!”


“Keluargamu sering bercerita tentang kenakalanmu. Apakah itu benar?” Pertanyaan ini sekaligus pendobrak iman gue untuk tidak meniduri Ana.
“Kenakalan yang mana?”
“Yang mana pun yang pernah kamu lakukan.”
“Mereka tidak tau semua kenakalan yang aku lakukan, tapi ya, sepertinya begitu.”
“Jadi benar kalo kamu merokok?”
“Ya, tapi hanya kadang kala.”
“Minum alkohol?”
“Hah? Itu cuma bir, Mas. Waktu aku patah hati karena Gerald.” Jawab Ana, terkejut.

Dia menjawab sambil memegang betis gue, seperti orang yang hendak meyakinkan lawan bicaranya. Posisi kami saat itu: Badan Ana menghadap selatan, sedangkan badan gue menghadap ke timur, ke arah Ana. Kami duduk di bangku rotan dengan senderan punggung di belakangnya. Gue menyilangkan satu kaki dan kaki lainnya di bangku tempat Ana duduk. Semoga ini membantu imajinasi kalian.

Ana masih memegang betis gue saat gue kembali bertanya, “Jadi apa kenakalan yang keluargamu tidak tau?” Ana tak menjawab. Pura-pura tak mendengar. Gue menepuk tangannya.

“Apa?” Katanya, malu-malu. Memasang mimik wajah yang sangat menggemaskan. Berdebar gue melihat ekspresi wajahnya itu.
“Katakan padaku.”
“Kenapa aku harus mengatakan padamu? Untuk apa juga aku menceritakannya padamu?”
“Karena.. Karena aku hanya ingin tau saja. Aku ingin tau kamu lebih banyak. Untuk apa? Mmm.. Bukan untukmu, tapi untukku. Untuk memastikan bahwa obrolan kita ini hanya kita berdua yang tau.”
“Apa jaminan kamu tidak akan bercerita pada siapa pun? Pada keluargaku?”
“Aku tidak punya jaminan, tapi kamu bisa percaya padaku. Jika kamu tidak percaya aku, kamu bisa bertanya apa pun yang ingin kamu ketahui tentangku yang orang lain tidak tau.”
“Hmm. Menarik. Memang apa yang orang lain tidak tau tentangmu?”
“Jika aku ceritakan tentangku, kamu juga akan menceritakan kisahmu?”
“Mungkin saja.”
“Ah. Aku tidak suka mungkin. Pada akhirnya itu hanya akan merugikan untukku.”
“Hahaha.”

Ana melipat kakinya. Duduk bersila di bangku. Dia mengubah padangannya ke arah gue sehingga kami saling berhadapan, saling pandang. “Ceritakan kisahmu padaku..” Katanya kemudian.
“Setelah aku bercerita, kamu juga akan menceritakan kisahmu?”
“Ya..”
“Deal..” Kata gue sambil meyodorkan kelingking, Ana menyambut dengan kelingkingnya. Lalu gue tak melepaskan kelingking kami yang saling terikat sambil menceritakan tentang Ibu Irwan. Pemilik toko furniture yang pernah gue tiduri.

***
“Gilaaaaaa..”
“Sekarang giliranmu!”
“Tidaaaakkk. Aku tidak bisa bercerita sepertimu.” Jawab Ana sambil melepaskan tangannya dari genggaman gue, lalu menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Antara malu dan masih terkejut mendengar cerita gue.
“Wah, kamu membohongiku..” Kata gue sambil beranjak dari bangku. Lalu bediri di belakangnya sambil mencoba melepaskan tangannya. Ketika kedua tangannya sudah berada di genggaman gue. Wajahnya sudah tak lagi tertutupi, gue kembali berkata. “Ceritakan padaku..”

“Tidakkk..”

Gue angkat kedua tangannya lalu menekuknya ke belakang kepalanya. Seperti penjahat yang di gelandang polisi. Ketiak dan bagian tubuh dalamnya sedikit terlihat sama gue dari lengan kaosnya. Semerbak aroma tubuhnya tercium. Membuat gue lupa, dia sepupu gue.

Gue pegang kedua tangannya yang saling menggenggam dengan satu tangan dan tangan gue yang lain berada di wajahnya. Menyentuh semua bagian yang bisa disentuh sambil terus memintanya untuk bercerita. Hidung, pipi, kening, dan mulut. Dia tetap pada pendiriannya tak ingin bercerita. Momen ini berlangsung beberapa saat.

Dan saat nafsu sudah dipuncak ubun-ubun, gue membekap mulut dan hidungnya. Ia menahan tawa yang tak bisa keluar. Lalu gue mensejajarkan wajah dan berbisik, “Jika kamu tak mau bercerita, kamu akan mati.”

Ana makin tertawa tanpa keluar suara sedikit pun. Badannya meronta-ronta. Menggeleng kepalanya, ke kanan dan ke kiri. Setelah beberapa saat, gue menahan gerakan kepalanya saat menggeleng ke kiri, yang mana tempat keberadaan wajah gue. Kami saling menatap. Wajah kami sangat dekat. Lebih dekat dari kematian.

Lalu tanpa babibu, gue mencium bibirnya. Ana seketika membeku. Seolah-olah tak ada aliran darah yang bergerak di tubuhnya. Matanya langsung terpejam.

Gue berhenti mencium.

Ana perlahan membuka matanya. Saat matanya sudah benar-benar terbuka, gue bilang ke dia, “Sudah kukatakan padamu, kamu akan mati.”

Ana campur aduk. Wajahnya tak terlihat sedang marah, gembira, atau apa. Yang jelas terlihat hanya ekspresi tak menyangka dengan bibir yang sebelumnya gue lumat, sedang digigitnya. Ekpresi menggigit bibir itu sungguh meruntuhkan iman dan moral gue. Maka bermodal referensi kamasutra yang gue baca: Perempuan yang menggigit bibirnya adalah tanda birahi tinggi.

Gue pun kembali melumat bibirnya. Dia kembali membeku. Tapi kali ini dengan gerakan tangan yang seakan hendak meminta gue untuk berhenti. Gue tau itu bukan benar-benar tanda dia ingin gue berhenti, maka gue pun terus melakukannya. Menggigit-gigit bibirnya. Memainkan lidah gue diantara bibirnya. Gue lakukan berulang kali sampai akhirnya lidah gue menyentuh lidahnya. Lalu dengan hentakan nafas, lidahnya gue sedot, masuk ke mulut gue. “Mmmmhhh.. Mmm..”

“Mmmuahh. Muuaahhh.. Slupp.. Sluppp..”


“Mas!” Katanya kemudian, melepaskan ciuman. “Kamu gila!”
“Aku lebih baik dianggap gila daripada jadi pembohong.”
“Aku bukan pembohong!” Jawab Ana sambil berdiri dari bangku. Yang ada dipikiran gue, pikiran yang sudah dipenuhi adegan JAV, itu kode agar ciumannya lebih enak. Maka gue pun mendekatkan badan gue ke badannya sambil memojokkan dia ke jendela. “Pembohong..” Kata gue sambil mendekatkan wajah.

Ana berjalan mundur, sesuai perkiraan gue.

“Tidak. Aku bukan pembohong.” Jawabnya. Sambil tetap berjalan mundur. Saat badannya sudah bersandar pada jendela, mentok, tak bisa melangkah mundur lagi, nafasnya menjadi tak beraturan. Ana masih menggigit bibirnya. Seperti halnya gue, dia sangat berdebar-debar.

“Yaaa, kamu pembohong.” Kata gue lalu kembali menciumnya.

Dan alangkah kaget dengan penuh kegembiraannya gue, dia menyambut ciuman. Seolah itu sudah ditunggu-tunggu dari tadi. Kami berciuman layaknya pengantin baru. Saling menggigit bibir. Saling memainkan lidah. Ana cukup lihai untuk ukuran remaja.

Lalu saat gue mulai menyentuh payudaranya, dia berkata “Jangan lakukan..” sambil mencegah tangan gue. Tentu saja, gue tetap berusaha melakukannya.

“Mas, jangan lakukan itu..” Katanya lagi.

Gue berhenti melakukan itu, lalu kembali menciumnya. Saat sepertinya dia sedang sangat menikmati ciuman, gue mencoba melakukannya lagi. Dia kembali mecegahnya. “Jangan lakukan itu..” Nafasnya terengah-engah. Kami saling pandang.

“Kenapa tidak?” Tanya gue.
“Pokoknya jangan..” Katanya sambil gantian melumat bibir gue. Meskipun terkejut, gue menanggapi lumatannya dengan riang gembira. Dan kembali, saat dia sedang sangat menikmati ciuman, gue mencoba meremas payudaranya. Dan terjadilah percakapan di bawah ini di sela-sela kami berciuman.

“Aku mohon, jangan lakukan itu..”
“Kamu tau, aku akan tetap melakukannya.”
“Ya aku tau..”
“Lalu kenapa kamu melarangku?”
“Entahlah..”

Kami berbicara sambil menatap mata satu sama lagi. Sambil tetap terus berciuman. Dan sambil tetap pula gue mencoba meremas payudaranya.

“Jangan lakukan, Mas..”
“Maafkan aku, tapi aku akan melakukannya terus.”
“Jangan, Mas.”
“Jika aku tetap melakukannya, apa kamu akan marah?”
“Tidak.. Tidak yakin.”
“Apa kamu akan berteriak?”
“Tentu saja Tidak..”
“Apa kamu akan membenciku?”
“Tidak.. Tidak akan pernah.”

Maka sejurus kemudian gue melepaskan bajunya.

Bukan hal yang sulit kan, melepas kaos pantai? Apalagi kaos itu dikenakan oleh orang yang energinya sedang dikuras oleh nafsu.

“Heh! Kenapa kamu melepas bajuku?”
“Agar lebih mudah aku menikmati tubuhmu..” Kata gue sambil memandangi sekujur badannya, terutama bagian payudara yang masih tertutup bra. Sembulan payudara yang masih mengkel itu sangat menggairahkan.
“Ibumu? Papahku? Mamah? Dino? Bagaimana jika mereka melihat kita?
“Ya aku sih, berharap mereka mau dengan suka rela merekam video kita bercumbu.”
“Orang gila!”
“Aku sangat bernafsu. Kamu benar-benar membuatku sangat bernafsu. Aku tak berpikir yang lain selain menikmatimu.” Gue kembali menciumnya dan sesekali mengendus payudaranya. Ana sesaat membalas ciuman. Dan tiap gue mengendus payudaranya, dia mengangkat kepala gue untuk tetap ciuman. Lalu dia berkata, “Tunggulah di kamarku, biar aku cek keadaan di bawah.”

“Oke.” Jawab gue sambil menuju kamarnya.

“Kaosku!” Teriaknya dengan suara pelan.

***
Gue berdebar menunggu Ana di kamarnya. Ariel sudah sekeras baja. Jika ada yang merekam, mungkin gue terlihat seperti lelaki yang menantikan kelahiran anak pertamanya di lorong rumah sakit. Gue berjalan mondar-mandir, pintu ke tembok. Memutari kamar.

Merebah ke kasur lalu bangun. Berdiri di belakang pintu lalu merebah lagi. Begitu seterusnya mencari posisi apa dan di mana nanti bersama Ana.

Lima menit berselang, Ana tak kunjung datang. Rasa berdebar gue belum sepenuhnya hilang. Ereksi masih seperti pertama kali masuk kamar.

Sepuluh menit berlalu, belum juga tampak batang payudaranya. Gue sudah tidak berdebar, tapi jelas akan kembali berdebar bila Ana datang. Ariel perlahan bertransformasi dari sebuah baja menjadi terong kematengan.

Gue menunggu Ana sambil merebahkan badan di kasur. Berbagai adegan bercinta dengan Ana muncul di kepala. Gue mulai menyusun rencana. Gaya apa saja yang akan gue lakukan, bagian tubuhnya apa saja yang akan gue khususkan, dan lain-lain seputar bercumbu.

Tanpa terasa, tanpa terasa setengah jam berlalu, gue merasanya satu abad, Ana tak juga datang. Birahi perlahan namun pasti berubah menjadi emosi. Gue sangat kecewa pada Ana. Lalu muncul perasaan takut dan khawatir kalo-kalo ternyata Ana justru mengadu pada ibu dan paman gue. “Bangsat!” Batin gue. “Anjing, anjinggggg!”

Dan entah apa ada penjelasan ilmiahnya, perasaan khawatir dan takut gue justru membuat gue mengantuk, tanpa berniat, gue pun tertidur (lagi).

***

“Mas..”
“Mas, bangun..”
“Mas..”

Dalam tidur samar-samar gue mendengar suara Ana.

“Masss. Bangun. Budeh ngajak pulang..”

Gue membuka mata, ternyata memang benar ada Ana. “Bangun. Disuruh bangun sama Budeh. Budeh ngajak pulang.”
“Pembohong! Brengsek!” Kata gue sesaat ketika bangkit dari kasur dan keluar kamar. Ana sempat menahan gue, ingin menjelaskan sesuatu. Tapi gue sudah kadung kecewa. Gue mininggalkannya di kamar. Kali ini gue benar-benar merasa dibohongi. Berbeda dengan merasa dibohongi sebelumnya yang justru membukakan kesempatan gue untuk menciumnya.

Di bawah, ibu gue sedang beres-beres untuk pulang. Istri paman membungkus makanan ringan untuk gue bawa pulang. Paman sedang diglendotin Alya dan Alda. Dino kembali bermain game. Semuanya biasa saja dan tampak normal saat melihat gue. Berarti kekhawatiran dan ketakutan gue tidak terbukti.

Saat gue sudah di dalam mobil, nyokap gue sedang mengucapkan kalimat-kalimat pamungkas untuk masing-masing anaknya paman. Ada juga Ana di antara mereka. Ana mencoba menatap gue, tapi gue tak sudi melihatnya. Sampai tiba-tiba, gue mendengar, “Pah, aku ikut ke rumah Budeh, ya..”

“Ikut gimana?”
“Ya ikut. Ke rumah Budeh. Aku mau nginep. Boleh ya?”
“Kamu kan sekolah, gimana sih?”
“Ya Mas Tyo kan juga punya laptop kali, Pah. Aku kan masih sekolah di rumah.”
“Ah kamu tuh, malah ngerepotin nanti.”
“Nggaaa..”

“Yaudah, ayo ikut.” Ucap ibu gue, nimbrung, sambil membuka pintu mobil.

“Boleh ya, Pah?”
“Iyaaa. Tapi awas lho, jangan ngerepotin budeh!”
“Okeee..” Jawab Ana sambil bergegas masuk rumah, “Tungguin, Deh..” Suaranya dari dalam.


“Ibu duduk di belakang aja, bu. Biar bisa tidur.” Kata gue saat nyokap mau masuk mobil.
“Oooh, iya..”

***
Gue dipenuhi perasaan campur aduk. Emosi, kecewa dan marah sama Ana, jelas hampir tak lagi gue rasakan. Meski masih sedikit jengkel jika dibahas. Tapi, “Gila ini anak..” batin gue.

Ana sedang mengetik pesan di ponselnya. Ibu gue juga terlihat sedang menonton video di ponselnya.

“Kamu marah padaku?” Ana membuka pembicaraan dengan bahasa inggris. Ibu gue hanya menengok sebentar saat mendengarnya.
“Tidak juga.”
“Bagus..”
“Aku menunggumu, kenapa kamu tidak kembali?”
“Ibumu. Kamu tau ibumu. Dia melihatku saat aku sedang melihat situasi di bawah. Lalu memanggilku dan seperti biasa, memberikan petuah-petuah hidup.”

“Hayooo, ngomongin budeh ya?” Sela Ibu gue sambil masih menononton video. Ana memutar lehernya ke belakang, melihat ibu gue, lalu tersenyum. “Hehe, ngga, budeh.”

“Apa kamu ikut ke rumahku karena merasa aku marah padamu?”
“Tidak juga.”
“Apa yang ada dipikiranmu?”
“Aku tidak tau apa yang ada dipikiranku. Tapi kamu, ada kamu dipikiranku.”

“BU, IBU NAIK OJOL AJA YA, PULANGNYA. AKU MAU MAMPIR KE HOTEL TRANSIT BENTAR NIH SAMA ANA, MAU NGENTOT AKU, BU!!!!!” seandainya gue bisa bilang begitu. Karena itu lah yang ada dipikiran gue saat mendengar Ana melancarkan ssi-nya. Damn!

“Anak nakal!”
“Ya. Aku memang perempuan nakal.”
“Tutup mulutmu.”
"Kenapa?"
"Cukup orang lain yang mengatakan kamu nakal, tidak dirimu sendiri."
"Kenapa begitu?"
"Entahlah, sudah begitu sejak jaman Fir'aun."

***

Jalanan macet. Nyokap gue tidur. Ana sedang main sosmed. Lalu saat di lampu merah, gue menciumnya. Ana sempat kaget dan menujukkan mimik wajah, "Kan ada emak lu nyet!" Tapi gue terus mencium dan meyakinkannya kalo nyokap gue tidurnya pulas. Terlihat dari mulutnya yang menganga. Ana pun terpancing dan melakukan perlawanan. Kami ciuman 56 detik, sesuai angka yang tertera di lampu merah.

Setelah lampu hijau, gue kembali menjalankan mobil. Ana menggeleng, tak percaya yang baru saja kami lakukan. Ciuman dengan kakak sepupu di dalam mobil padahal ada ibu dari kakak sepupu itu. Gila. Gue tertawa tanpa suara. Ana kemudian mencubit manja.

Kembali ketemu lampu merah. Nyokap masih tidur pulas. Ana menengok ke belakang, melihat situasi, lalu mencoba menyosor bibir gue. Secepat kilat gue menghindar, sehingga tubuhnya sedikit berada di kursi gue. Dia lalu memukul dada gue. "Sakit.." Kata gue, tanpa keluar suara. Ana melotot lalu mengacungkan jari tengahnya....ke arah Tyo, penuh dendam dia bilang, "FUCK MEEEEEE... TYO, FUCK MEE.."

Gue menjulurkan lidah, menggodanya. Ana lalu meremas Ariel. Dia melakukannya dengan cepat dan sudah kembali ke kursinya saat gue masih merasa terkejut. Dengan ekspresi wajah kaget, dengan gerakan lambat, gue menengok ke arah Ana, dia balas menggoda dengan menjulurkan lidahnya. Tapi gue menengok bukan hanya ingin melihat wajahnya, sambil menengok perlahan gue membuka resleting celana. Ana melotot, gue mengeluarkan Ariel, lalu memegang kepala belakang Ana dan hap! menjatuhkan kepalanya di selangkangan gue. Ariel tidak dimasukkan ke mulutnya, dia sedikit berontak, tidak mau melakukannya. Tapi gue tetap menahan kepalanya. Dan dia pun menjilati Ariel. Saat Ariel belum sepenuhnya masuk mulut Ana, baru kepalanya. Lampu hijau. Sial.

***

Sesampainya di rumah gue, kami menuntaskan hasrat seksual kami dengan tanpa sedikit pun kepikiran kalo kami itu sepupuan.

Di mulai dari main di kamar gue. Lalu di balkon atas. Lalu di kamar tamu. Di kamar mandi atas. Dan di kebun belakang rumah gue.

[Di kamar gue]

Gue sampai rumah sekitar jam 8 malam. Rumah gue jam segitu, masih ramai. Dua kakak gue yang sudah berumah tangga belum pulang ke rumahnya masing-masing. Ana ikut membaur bersama keluarga gue sambil nonton tv dan makan-makan. Gue memutuskan untuk langsung mandi. Setelah selesai mandi, gue mengirim pesan wa ke Ana.

"Bisa ke atas sekarang juga ga?"
"G" Balasnya. Singkat. Padat. Ga Jelas. Ngeselin. Kaya. Tai.

Sambil menunggu rumah sepi untuk mengeksekusi Ana, gue rebahan. Dan tentu saja, kalo sudah rebahan sendirian begini, kelemahan gue hanya satu: ketiduran. Gue punya masalah memang sama menjaga diri untuk tidak tidur jika sedang merebahkan badan. Mau di mana pun dan kapan pun, kalo badan gue sudah merebah, maka hanya ada satu kata: Tidur!

Gue tidur. Tanpa peduli ada anak gadis yang tersedia untuk ditiduri. Gue tidur.

Akhirnya yang membangunkan gue adalah badan Ana yang menindih badan gue. Waktu gue buka mata, Ana sedang memandangi gue. Gue liat jam: Jam 11.
Ana menyentuh muka gue tanpa bicara sedikit pun. Gue balik memandangnya. "Udah pada tidur?" Kata gue, berbisik. Ana hanya mengangguk. Pikirannya sedang tidak ada di atas gue. Entah apa yang sedang dia pikirkan.

Gue memberikan kode untuk berciuman, dia menjatuhkan wajahnya, kami berciuman sebentar, lalu dia kembali mengangkat wajahnya memandangi wajah gue. Membuat gue grogi dan bertanya-tanya, dia kenapa. Ekspresi wajahnya datar. Lalu gue bertanya, "Kenapa?" masih sambil berbisik. "Ga apa-apa.." Jawabnya juga dengan berbisik dan menggelengkan kepala. Gue lalu memeluknya dengan posisi telentang.

Ana menindih badan gue dengan posisi kedua siku tangannya ada di antara kepala gue. Jemarinya bergerak-gerak menyentuh rambut, bibir, dan telinga gue. Masih sambil terus memandangi wajah gue. Kakinya lurus di tengah selangkangan gue. Payudaranya tidak sepenuhnya jatuh di badan gue. "Kenapa?" Kata gue lagi. "Kamu fakboi, ya!" Jawabnya. Kami tertawa bersama lalu ciuman. "Kamu mau ngewe?" Tanya gue, sok-sok pake bahasa inggris. "Kalo gak mau, gak mungkin aku ada di sini sekarang.." Balasnya, juga dengan bahasa inggris.

Kemudian gue menekuk kakinya, mengganti posisinya tidak lagi di tengah selangkangan gue. Kali ini posisi Ana seperti posisi wot. Ana mengenakan pakaian yang sama ketika kami berciuman di rumahnya, hanya saat perjalanan pulang ke rumah gue dia mengganti pakaiannya.

Kami berciuman seperti saat dia gue pojokkan ke jendela siang tadi, seperti pengantin baru. Lalu gue mulai menciumi lehernya sambil sedikit mengangkat kepala gue. Ana menikmati dan mengikuti gerakan kepala gue. "Ahh.." desahnya, pelan.

Kami kembali berciuman. Kali ini sambil gue remas bokongnya. Saat gue remas bokongnya, dia menggigit bibir gue. Ariel sudah sekeras baja. Sesekali Ana menggesekkan selangkangannya. Gue mengangkat badan untuk duduk sambil berciuman. Tangan Ana melingkar di leher gue sambil kepalanya bergerak-gerak mengikuti ritme ciuman. Lalu gue melepaskan kaosnya. Berdebar gak karuan melihat Ana hanya mengenakan bh tanpa spon. Ukuran payudara Ana tak besar, karena perawakan badannya memang tak besar. Tapi tidak bisa juga dibilang tocil. PAS lah, payudara itu menggantung di tubuhnya.

Gue langsung mendaratkan ciuman di payudaranya yang tersembul. "Muuahh. Muuaahh.", "Ahh.." Desah Ana, saat gue mencium payudaranya lalu mengecup-ngecup dari payudara, leher, hingga dagunya. Lalu dia memberikan ciuman. Lidahnya diputar-putar di bibir gue, lalu beradu dengan lidah gue, juga sesekali menghisap lidah gue.

Gue membuka bh-nya. "Ahhh" Desah gue, ketika melihat payudara Ana seutuhnya. Lalu langsung mengecup-ngecup seluruh bagian payudaranya. Mula-mula mengecup sekitaran pentil, lalu menjilat pentilnya, memainkan lidah gue di pentilnya yang berwarna merah muda itu. Ana mengerang keenakan tanpa suara. Sesekali dia melihat apa yang sedang gue perbuat, tapi lebih sering gue melihatnya memejamkan mata menikmati birahi.

Gue mulai mengecup-ngecup pentilnya sambil sesekali menyedotnya payudaranya dan meremas payudara yang lain sambil memainkan pentilnya dengan jari. Ana menggeliat, menempatkan Ariel ditengah-tengah vaginanya. Tiap kali payudaranya gue lumat, tiap itu juga dia menggesekkan vaginanya. Adegan itu berlangsung cukup lama, sampai Ana melepas kaos kutang gue, lalu melakukan apa yang gue lakukan padanya. Menjilat-jilat pentil gue, sambil sesekali menggigitnya dengan bibir. Geli sekali.

Sambil berciuman, gue merebahkan badan Ana. Sambil juga meremas-remas payudaranya, yang sangat pas dengan genggaman tangan gue. Yah, lebih besar sedikit lah ketika itu, karena payudaranya mengeras. Pentilnya menyembul sebesar biji jagung yang kecil. Gue pandangai Ana sebentar yang telentang tanpa busana dengan wajah dipenuhi nafsu. Dia menggigit-gigit bibirnya sambil mengatur nafas. Gue lalu mengangkat kedua tangannya, mengendus ketiaknya dan menciuminya. Ana menggeliat. Lalu kami berciuman. Gue masih sambil meremas payudaranya. Setelah memilin pentilnya, tangan gue menyentuh bagian vagina. Ana menggerakkan pinggulnya. Jari gue kemudian memijat mekinya tanpa melepaskan celananya. Ana keenakan, menarik kepala gue lalu kami berciuman. Gue masih tetap memijat vaginanya, terasa oleh gue lubang vagina yang mulai becek di dalam celana legging itu.

Lalu sambil melumat pentil payudaranya, jemari gue masuk ke dalam celana dan menyentuh langsung vaginanya. "Haaaaaahhhhh.." Desah Ana menahan suara. Empat jemari gue rapatkan untuk memutari, memijat, vaginanya. Ana menggeliat. Gue masih melumat payudaranya sambil melihat ekspresi Ana. Menggairahkan sekali. Dia menggigit bibirnya, membuka mulutnya lebar-lebar, dan meringis keenakan dengan apa yang gue perbuat.

Gue memberikan bibir gue untuk dilumatnya. Dan benar saja, dia segera melumatnya. "Mmmmuaahhh.. Muuuaahhh.. Muuaahhhh" Desahnya.

Lalu gue memasukkan satu jari ke dalam lubang vaginanya. "Haaaahhhhhh.. Massss.."
Gue menggerakkan jari tengah gue keluar masuk vaginanya dengan perlahan. "Ahhhh, aaahhhh, Mass.."
"Beibb.." kata gue disela-sela kenikmatannya sambil menundukkan badan gue ke vaginanya dengan menciumi sekujur badannya.

Gue membuka legging dan kancutnya secara bersamaan. Vagina Ana sudah cukup basah. Sudah cukup nikmat untuk dimasukkan Ariel sebenernya, tapi gue masih mau memanjakannya. Saat melihat dia sudah telentang dengan tanpa pakaian sehelai pun, nafsu gue makin menjadi-jadi.

Awal-awal, gue ciumi betisnya, lalu paha dalamnya. Ana menggeliat, menutupi mulutnya dengan satu tangan. Lalu gue mengecup vagina dan sejurus kemudian menjilatinya. Memainkan dinding vagina dan klitorisnya dengan lidah gue. Bulu rambutnya belum sepenuhnya menghitam. Bulu jagung!

Gue angkat kedua kakinya hingga mengangkang, lalu melumat vaginanya. "Hhhhh.. Hhhhhh.." suara nafas Ana
"Remes tete kamu.." Kata gue saat melihatnya tidak melakukan apa pun selain menikmati permainan. Dia menuruti perintah. Tapi hanya sesaat, karena saat lidah gue mulai kembali memainkan klitoris dan masuk ke dalam lubang vaginanya, dia hanya memegang payudaranya, sambil menahan suara. "Hhhhh.. Hhhhhmmmm.."

Gue kembali mencium sekujur tubuhnya sambil menaikkan kepala, menciumi selangkangan, perut, dan payudara. Baru sampai payudara, Ana sudah menarik kepala gue, dan melumat bibir gue. Kami berciuman. "Fuck me.." desahnya.

"Aku record, ya?" Bisik gue kemudian. Ana tak merespon pertanyaan itu, hanya kembali mendesah, "Fuck me. Please.."
Gue meraih hp, membuka kamera sambil membuka celana. Ana telentang mengangkang, gue berada di posisi misionaris. Gue rekam ekspresi wajahnya sesaat, dia memalingkan wajahnya. Gue merekam tubuhnya, payudaranya, lalu vaginanya yang sudah bersentuhan dengan Ariel. Sambil merekam, gue menggoyangkan kepala Ariel di dinding vagina Ana.

Ana menggeliat. Lalu dengan perlahan, gue memasukkan Ariel ke dalam vaginanya. "Euuggghhhhh.." Desah suara Ana tak bisa dibendungnya.
Ariel belum sepenuhnya masuk. Gue menggoyangkan pinggul maju mundur agar vaginanya lebih becek, lalu kemudian, "Jleebbb.." Ariel masuk sepenuhnya. Hangat sekali rasanya.
"Ehhhmmmm... Eehhhmmm.. Eehhhhmmmm.." Desah Ana tanpa membuka mulutnya. Gue menyorot Ariel yang keluar masuk vagina Ana, lalu menyorot ke wajah Ana. Dia memberikan kode untuk mengakhiri rekaman. Gue manut. Menaruh hp, lalu merebahkan badan gue.

Sambil berciuman, gue mengangkat kedua tangan Ana, pinggul gue maju mundur dengan ritme pelan. Ana melumat bibir gue, lidahnya sangat lincah bergerak. "Enak bangetttt.." Bisiknya. Lalu dengan bertumpu pada siku dan lutut, gue mulai mempercepat pinggul naik turun. "Ahhh.. Ahhh.. Ahhh.." Desah Ana dengan mulut terbuka. Dia bisa mengontrol suaranya. Ekspresi Ana makin membuat gue mempercepat gerakan. "Aaaahhhh, beiby.. Yesss, Beibyyy.. Eggghhh.." Gue lalu melumat bibirnya tanpa mengurangi kecepatan gerakan. "hhhmmmmppp.. Hmmmmppp.." Suara nafas kami berdua.

Gue menegakkan badan. Ariel masih di dalam vagina, tapi pinggul gue hanya bergerak lambat. Cairan kental berwarna putih melumuri Ariel. Gue mengeluarkan Ariel, "Puk!"
"Haaaaahhhh!" Ana mengerang. Gue mengelap Ariel, lalu mengangkat badan Ana. Dengan posisi memangku Ana, Ariel perlahan gue masukkan lagi. "Jlleebbb.."

"Ahhh" Desah Ana, lalu menggoyangkan pinggulnya maju mundur. Tangan gue melingkari pinggulnya, mengikuti irama gerakannya. Wajah Ana berada sedikit di atas gue, sehingga dia harus sedikit menunduk untuk melumat bibir gue. Sambil melumat bibir gue, dia menggoyangkan pinggulnya dengan cepat. "AAhhhhh.. Ahhhh.. Aahhhhh.." desahnya di mulut gue. "Terus sayang.." bisik gue. Dan benar saja, dia makin cepat menggoyangkan pinggulnya maju mundur.

Dengan posisi seperti orang sedang jongkong, dia memeluk kepala gue yang sejajar dengan payudaranya dan melakukan penetrasi ke jantung pertahanan. Ahai. jadi kemana-mana si bangsat.

Dengan posisi seperti orang sedang jongkong, dia memeluk kepala gue yang sejajar dengan payudaranya dan melakukan penetrasi dengan begitu sempurna. Menggoyangkan pinggulnya maju-mundur, naik turun. Sesekali memberikan ciuman, meskipun lebih sering membiarkan gue mengecup dan menjilati payudaranya. Lalu saat sepertinya dia sudah kehabisan tenaga, karena gerakannya kemudian melambat, gue menjatuhkan badan.

Ana tetap tegak. Gerakannya pelan, maju mundur. Ekspresi wajahnya merem melek. Dia menggigit bibirnya. Sambil berkali-kali menghembuskan nafas. Gue meremas payudaranya sambil tidur telentang. Gue pikir akan ada sekali lagi serangan dengan posisi wot dari Ana, ternyata dia langsung merebahkan badannya, dan melumat bibir gue. "Enakk.." Katanya.

"Sama Gerald enakan mana?" Goda gue.
"Hah?" Ana berhenti bergerak. Berhenti mencium. Syok mendengar pertanyaan gue. Dia membenamkan wajahnya di samping leher gue.

Lalu tanpa dia duga, gue bangkit dari tidur sambil menggendong dia. Dia refleks menggantungkan tangannya di leher gue agar tak terjatuh. Gue berjalan beberapa langkah, lalu saat sudah di depan cermin, gue sesaat memandang Ana, Ana memandang balik, lalu sedikit malu, melihat dia dalam pelukan gue tanpa mengenakan pakaian. Dan dengan sedikit tenaga gue menggoyangkan badan Ana yang menggantung maju mundur. "Ohh syitttt.." Mula-mula pelan, lalu sedang, lalu kencang. Ana menutup mulutnya dengan tangan yang melingkar di leher gue. "Hhhhmmm.. Hhhmmmm.. Hhmmmm.." Desahnya.

Setelah cukup pegal, gue kembali ke kasur dan menjatuhkan tubuh Ana di bibir kasur. Tubuhnya terlihat sudah lemah. Tenaganya terasa sudah lelah. Gue berdiri di lantai. Lalu mengarahkan badannya untuk menghadap belakang, "Doggy.." kata gue. Dia menuruti dengan sisa-sisa tenaganya. Menungging dengan badan yang tidak sepenuhnya jatuh di kasur. Lalu gue memasukkan Ariel ke vaginanya dari belakang. Bokongnya yang tidak terlalu besar, gue pukul-pukul sambil menggoyangkan pinggul gue maju mundur. "Aaaahhh.. Oohhh.." Desahnya.

Makin gue mendengar desahannya, makin keras pula gue menampar bokongnya hingga menyeplak telapak tangan gue. Makin keras dan dalam juga gue menggoyangkan pinggul memasukkan Ariel ke dalam vaginanya. Gue merebahkan badan, mencium punggungnya. Lalu sambil meremas payudaranya dari belakang, gue melumat bibirnya. Keringat kami saling membasahi. Lalu sambil menjatuhkan badannya untuk tungkurap, gue berbisik, "Kamu udah enak?" Ana mengangguk.
"Aku keluarin ya.."
"Iyaaa.." Katanya pelan, menahan teriak.

Dan gue menyelesaikan pekerjaan jahanam malam itu dengan gaya doggy tengkurap dengan gerakan pamungkas. Mengeluarkan Ariel sampai ujung kepala lalu kembali memasukkkannya dalam-dalam hingga bokong Ana menyentuh perut bagian bawah gue. "Plak, plak, plak." Suara yang terdengar. Suara desahan Ana yang tanpa suara makin terdengar menggairahkan karena dadanya sesekali tertekan. "Hmmmpp.. Hmmppp.. Hhmmmpp.." Dan dengan gerakan cepat, gaya tersebut membuat Ariel memuntahkan sperma. Gue tumpahkan sperma di pinggul hingga bokongnya. Crot! "Aaaaaahhhhhhhh..." Desah gue panjang. Lalu menjatuhkan badan di samping Ana.

Kami saling menatap sesaat. Lalu berciuman. Lalu mengumpulkan energi untuk bergerak.

 
Terakhir diubah:
Ini keren banget hu, sumpah. Ngga klise, detailnya mantap, apalagi plotnya 👌👌👌

Lanjutin hu, gimana ekse kedua ketiga dan seterusnya hahaha
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd