- Daftar
- 2 Jul 2016
- Post
- 603
- Like diterima
- 617
“Betapa tidak akan menguji ketabahan, jika sesuatu yang sudah seolah-olah seperti cinta masih juga tidak memberi jaminan kebahagiaan”
INTRO
Menurut yang kutahu, manusia itu sesungguhnya adalah aseli makhluk emosional, yang tiap keputusan diambil atas dasar turun naik gelombang emosinya, seperti ketamakan, keingintahuan, ketakutan, iri hatinya, dan lain sebagainya.
Hal lain yang kupelajari selanjutnya adalah seni untuk dapat bertahan, bersaing dan memenangkan persaingan hidup dalam segala variasinya, salah satu kuncinya terletak pada apa yang disebut dengan pengaruh personal. Pengaruh yang membuat kita dilihat, didengar, diterima, dipahami dan pada akhirnya bisa jadi diikuti orang lain.
Pengaruh personal didapat melalui beberapa macam jalan, bisa melalui kedudukan atau pangkat, kekayaan atau karena garis keturunan. Tapi sayangnya, pengaruh yang didapat melalui cara-cara major tersebut sifatnya sementara, mudah sekali hilang dan cenderung palsu.
Orang hanya merasa takut, seakan tak punya pilihan dan terpaksa untuk tunduk pada pengaruh yang didapat dengan cara-cara itu. Lagipula untuk mencapai dan mendapatkan pengaruh melalui kedudukan, pangkat, kekayaan dan garis keturunan itu juga tidaklah mudah, memerlukan proses bertahun-tahun dengan tentu saja banyak pengorbanan.
Cara pandangku tentang bagaimana seharusnya mendapatkan pengaruh personal yang sifatnya kuat, permanen dan alami kutemukan melalui jalan panjang dan berliku dikelas-kelas kuliah serta interaksi langsungku dengan banyak orang, yaitu dengan mencoba memahami secara komprehensif dan mendalam spesies yang bernama manusia.
Dari keinginan besar memahami kompleksitas manusia itulah, pada akhirnya aku sampai pada kesimpulan bahwa manusia itu pada hakekatnya semua mempunyai tendensi sifat pamrih, yakni melakukan atau tidak melakukan sesuatu berdasarkan perhitungan untung-rugi, baik bersifat material maupun non-material, baik dalam hubungan bisnis, sosial, maupun religi. Dalam hal keagamaan misalnya, betapa banyak orang berusaha menjadi baik dan alim “Agar dapat hadiah surga”.
Bahkan pada level pemikiranku yang lebih ekstrim, seorang ibu-pun walaupun dikatakan tulus, tak mengharapkan balasan apa-apa, namun dalam proses seorang perempuan bersedia mengandung, melahirkan dan membesarkan anak-anaknya ia tetaplah memiliki tendensi sifat pamrih, yaitu tak ingin merasa rendah diri, karena nanti kalau tidak punya anak dikatakan mandul, atau takut ditinggalkan suami jika tak mampu memberikan keturunan, atau bahkan mengharapkan kelak ketika dia sudah sepuh dan tua renta anak-anaknyalah yang akan merawatnya.
Kalau memang seorang ibu benar-benar memiliki ketulusan bak malaikat yang sama sekali tidak mempunyai pamrih, lalu mengapa Malin Kundang dikutuk menjadi batu ketika ia tidak mengakui ibu kandungnya, atau mengapa ada cerita rakyat tentang si Mardan mati tenggelam karena banjir bandang, yang seketika muncul tiba-tiba akibat kutukan ibunya yang merasa sakit hati karena diingkari?.
Namun tentu saja, pemikiran ekstrimku soal tendensi sifat pamrih yang ada pada sosok ibu, sama sekali tidak mengurangi rasa hormat dan berbaktiku pada sosok-sosok perempuan yang menyandang sebutan ibu, terutama pada ibuku sendiri, walaupun faktanya sedari kecil aku sudah ditinggalkan dan diterlantarkannya.
Aku hanya ingin menegaskan dan berani memastikan. Bahwa semua orang tanpa terkecuali, memiliki tendensi sifat pamrih.
Sekalipun aku banyak dikritik oleh kolega dan teman-teman lintas profesi karena dianggap terlalu vulgar dan provokatif dalam mengungkapkan pendapat, bagiku kebenaran harus disampaikan, sekalipun tidak populer atau bertentangan dengan pendapat kebanyakan orang.
Bagi orang yang berpikiran terbuka dan bersifat maju, semua pendapatku pastilah make sense dan realistik. Sedangkan bagi orang-orang yang berpikiran sempit dan hipokrit, pemikiranku dianggap sesat. Bukan karena aku salah, melainkan lebih karena mereka takut menemukan kebenaran yang akan menggoyahkan kepercayaan mereka yang bisa terbukti keliru.
Aku tidak tahu bagaimana dengan kalian, namun jika kalian masih meneruskan membaca ceritaku ini, itu mengindikasikan bahwa kalian masuk kategori orang yang progresif, berpikiran maju dan siap menerima ide-ide baru, termasuk ide paling absurd sekalipun, sepanjang itu pada akhirnya adalah suatu realitas dan bisa dibuktikan kebenarannya.
Jadi dalam keyakinanku, untuk memiliki pengaruh personal yang powerful dan alami agar orang lain mau melakukan apa yang kita inginkan, syaratnya adalah bahwa kita harus bisa menyentuh sisi emosional orang tersebut. Kita harus tahu dengan jelas, keuntungan atau manfaat apa yang kita sediakan sebagai opsi pertukaran mengapa ia mau melakukan apa yang kita minta.
Bila kita sudah paham bahwa semua orang adalah emosional maka hal pertama dan utama yang harus kita lakukan untuk mempengaruhi seseorang itu adalah dengan meletakkan persepsi dan diri kita sendiri pada sudut pandang dan kepentingan orang yang akan kita pengaruhi.
Persepsi adalah segalanya.
Yang namanya manusia emosional itu bukan melulu kaum perempuan, melainkan juga kaum pria. Sekalipun konon, perempuan lebih emosional, sedangkan pria lebih logis, namun dalam realitas interaksi manusia, keduanya sama emosionalnya.
Kebenaran lain yang perlu kusampaikan adalah tentang egoisme semua orang, yang tak akan pernah peduli dengan kepentingan orang lain. Orang-orang hanya peduli pada kepentingannya sendiri, oleh sebab itu ketika kamu mulai berbicara tentang kepentingannya, maka dengan sendirinya dia akan mulai tertarik dan kemudian mengikuti apa yang kamu minta, karena dalam persepsinya, hal itu akan mewujudkan kepentingannya. Itulah yang kusebut pengaruh personal.
Namaku Hariyanto, mungkin kamu pernah mendengar tentang aku bukan? Atau belum?? Terserahlah. Dan inilah ceritaku.
PROLOG
Sepanjang hidup aku sering merasa kesepian. Mungkin karena aku anak semata wayang dari sepasang suami istri yang luar biasa egois hingga tak peduli pada anak kandung mereka satu-satunya. Aku tumbuh besar dan berkembang dalam sepi. Sepi bukan dalam arti harfiah, tetapi lebih kepada suasana hatiku yang selalu suram dan selalu merasa terasing.
Aku juga selalu merasa tidak ada seorangpun yang mau mendengarkan, memahami dan menjadi tempatku mencurahkan perasaan. Maka hari-hari yang kulaluipun dipenuhi dengan kesepian.
Setiap kali bertemu orang lain, aku seakan kesulitan untuk mengungkapkan kata-kata. Aku lebih sering terdiam, mendengarkan mereka berbicara. Akibatnya banyak yang menilai aku adalah orang pendiam. Hal baiknya dari kebiasaanku hanya terdiam bila bertemu orang adalah aku jadi punya kemampuan mendengar lebih baik daripada orang kebanyakan, dan memikirkan kata perkata atau kalimat per kalimat yang kudengar dan memaknainya tentu saja dengan lebih baik pula.
Kelak dalam perjalanan hidup selanjutnya, aku akan menyadari bahwa kemampuanku itu akan sangat berguna sekali dalam berinteraksi dengan orang lain.
Aku sering pergi menjelajah kehutan, mendaki gunung dan menghabiskan waktu berjam jam termangu di tepi pantai melihat matahari tenggelam. Kurasakan tempat tempat itu lebih membuat jiwaku nyaman daripada berada dikeramaian seperti mall, bioskop atau kolam renang tetapi tetap saja merasa sepi dan terasing.
Bertahun tahun kemudian, setelah aku beranjak dewasa kupikir pada akhirnya aku bisa berdamai dengan perasaan kesepian itu. Tidak ada yang salah dengan perasaan yang selalu merasa sepi dan terasing, sepanjang kita tidak mengganggu orang lain bukan?.
Berdamai dengan perasaan kesepian yang kurasakan pada akhirnya kusimpulkan sebagai penerimaan diriku tanpa syarat. Alih-alih berharap orang lain mau mengerti dan memahami diriku, pada akhirnya akulah yang memutuskan untuk belajar mengerti dan memahami orang lain.
Aku punya keyakinan, bahwa selalu ada maksud baik dibalik setiap perilaku orang lain, maka dari itu aku selalu menghormati cara orang lain membentuk dunianya.
Kemudian, aku mengenal seorang gadis. Merasa jatuh cinta, lantas menikah.
Kupikir setelah aku menikah, hidupku tak lagi merasakan kesepian. Walau aku sudah berdamai dengan hal itu, tidak ada salahnya untuk memulai hidup baru dengan orang yang mencintai dan kita cintai.
Tapi ternyata aku salah. Aku tetap saja merasa sepi dan terasing. Dan aku menikmatinya. Kehadiran istri menemaniku malah terasa jadi semacam gangguan yang intens dan terus menerus dan secara perlahan membuat hidupku malah makin terasa tak nyaman.
Aku suka seks, tentu saja dengan wanita. Walau aku selalu merasa kesepian, tapi orientasi seksualku masih sangat normal. Aku tidur dengan banyak wanita. Dari wanita pembantu rumah tangga pamanku yang mengambil keperjakaanku, teman kuliah, pacarnya temen, dosen, sampai selingkuhan atasanku sendiri saat aku masih bekerja diperusahaan asing.
Entahlah, wanita sepertinya suka merasa penasaran dengan laki-laki pendiam. Mungkin laki-laki pendiam kesannya misterius dan dark kali ya. Seingatku, selama meniduri mereka aku sama sekali tak merasakan perasaan apa apa. Kecuali perasaan ingin menuntaskan nafsu syahwatku yang menggelegak.
Cuma ketika aku melakukan penetrasi dalam berbagai posisi dan mendengar lenguhan wanita yang kuentotlah aku tak lagi merasakan sepi dan terasing. Setelah menikah, aku mencoba untuk setia menghentikan semua petualanganku dengan para wanita lain.
Sayangnya, karena mencoba untuk setia itu sepertinya aku jadi agak sedikit menderita. Syahwat ini terlalu besar untuk dihandle oleh hanya satu orang perempuan yang pada awalnya kukira aku mencintainya.
Maka akupun bercerai.
Bagiku kemudian, cinta hanyalah omong kosong.
Selain suka wanita dan tempat tempat eksotis bernuansa alam liar, aku juga suka kopi. Kopi hitam tanpa gula. Varian kopi lainnya seperti Cappucino, latte atau apalah nama lainnya itu bagiku hanyalah minuman para pecundang, well tapi aku tetap menghormati pilihan mereka.
Biasanya tiap sore kalau tidak sibuk aku nongkrong di kedai kopi Khok Thonk. Menyesap kopi harum kental dan panas, sambil mengamati orang-orang yang ada disana dalam diam. Lalu aku melihatnya. Sosok laki-laki tinggi, putih dan sekarang agak gemukan. Ia memakai celana bahan biru dongker dan kemeja putih polos lengan panjang yang digulung. Terlihat tampan dan intelek. Ia merokok seperti kereta api. Memesan kopi, merokok klepas klepus lantas duduk sambil memainkan hapenya.
Rasa nya hampir sekitaran 20 tahun kami tak pernah bertemu lagi. Aku masih mengingat dan mengenalnya. Maka akupun berdiri dari kursiku, dan berjalan menghampirinya.
Ia masih asik dengan rokok, kopi dan smartphone, tak menyadari kalau aku berjalan mendekat. Lalu kutepuk bahunya.
Chapter 1
Setelah pertemuan yang berakhir dengan aku menerima challenge keblinger Sandy, kuputuskan untuk menjadikan itu sebagai prioritas. Sandy mungkin mengira aku adalah tipe one man show. Padahal sama seperti dia yang memimpin satu tim audit, aku juga punya tim kecil. Sewaktu masih bekerja diperusahaan, aku sudah melihat peluang besar dibidang konsultasi negosiasi-negosiasi bisnis tingkat tinggi, utamanya dalam hal bajak membajak SDM perusahaan kompetitor, dan diceruk itulah tim kecil yang kubentuk mula-mula beroperasi.
Hampir mirip dengan agency, kami mengklasifikasikan dan membuat database nama-nama orang dengan kompetensi dan qualifikasi khusus serta rekam jejak professional, lengkap dengan profil karakter dan kepribadiannya. Kami melakukan analisis mendalam, menarik kesimpulan dan memberikan rekomendasi kemana dan dimana seharusnya orang-orang itu berkarir agar potensinya menjadi maksimal.
Aku mengajak 3 orang junior dari almamaterku untuk melakukan itu semua. Dari awalnya hanya memberikan rekomendasi nama-nama SDM kelas AAA dan membantu proses rekrut ke perusahaan-perusahaan besar, lama-lama kami bahkan dilibatkan langsung dalam negosiasi-negosiasi bisnis tingkat tinggi. Kantor-kantor pengacara publik juga menggunakan basis data kami, untuk merekonstruksikan bagaimana kemungkinan peluang mereka menang dalam pertarungan disidang pengadilan perdata. Dan ketika akhirnya income yang kuhasilkan dari bisnis sampinganku itu menjadi jauh lebih besar dari regular salary bulananku, aku pun memutuskan resign, kemudian fokus menjalankan perusahaan konsultanku sendiri.
Lalu muncullah media social. Dari Facebook, LinkedIn, twit**ter, Youtube, Instagram dan lain sebagainya. Kemunculan platform-platform sosial digital ini seketika mengubah secara massif perform dan cakupan penetrasi market bisnisku. Kalau dulu sebelum ada platform-platform sosial digital itu diperlukan waktu yang cukup lama untuk menghasilkan kesimpulan dan rekomendasi, tapi sekarang hanya dalam hitungan hari hasil analisis bisa keluar, bahkan dengan prosentase validitas dan akurasi lebih tinggi.
Itulah sebabnya, aku setuju dan maklum kalau sekarang Mark Zuckerberg dianggap orang paling berbahaya di planet ini. Coba pikirkan, ada hampir 2,8 milyar data pengguna aktif Facebook tersimpan dalam server data centernya di padang gurun Oregon, itu hampir 30% dari total populasi dunia. Belum lagi langkah agresif perusahaannya yang juga mencaplok platform raksasa WhatsApp kemudian.
Respon alami seseorang dalam kehidupan sehari-hari selama bertahun-tahun yang muncul dalam postingan status, komentar, upload dan download foto atau video, atau bahkan sekedar memberikan emoji like, marah, kecewa dan lain sebagainya secara digital tersimpan permanen sebagai data mentah, yang kalau diolah, dianalisis dan diinterpretasikan dengan metode yang tepat akan menghasilkan simpulan pola-pola perilaku valid dan consist.
Hal-hal seperti inilah yang sebenarnya ingin kuceritakan pada Sandy saat kami bertemu waktu itu. Tapi tentu aku menjelaskan hanya secara garis besar atau gambaran umumnya saja, karena bagaimanapun, bisnis yang kujalankan sekarang sifatnya private dan confidential. Tapi itulah, entah kenapa, saking hati-hatinya aku malah jadi keseleo lidah dan keceplosan menceritakan kegiatanku yang lain.
Parahnya lagi, Sandy malah tak berminat merespon apa yang sedang kukerjakan, dia justru menjadi sangat tertarik dengan kegiatan lainku yang menurutnya sama saja dengan germo. Bangkek sekali.
Waktu Sandy terbuka menceritakan perjalanan hidupnya setelah kami menamatkan SMU di tahun 1999, aku merasa sungguh tak adil hidup ini. Betapa kebahagiaan itu tak merata turun dari langit. Sejak kecil hidup Sandy sudah enak. Mendapatkan limpahan kasih sayang besar dari kedua orang tuanya yang kaya, pintar secara akademis dan menamatkan SMU dengan puncak prestasi cemerlang. Bahkan begitu masuk kuliah dia sudah digaji Negara. Selesai kuliah Sandy langsung menduduki jabatan basah, menikah dengan perempuan cantik dan punya anak-anak yang lucu, sehat menggemaskan.
Membandingkan hidup Sandy dengan hidupku bagai membandingkan langit dan bumi. Sedari kecil aku sudah kehilangan kasih sayang kedua orang tuaku yang bercerai kemudian masing-masing menikah lagi. Secara ekonomi kami juga berat, beruntunglah aku punya paman yang baik hati. Berkat dukungan moral dan sokongan dananya, aku jadi punya kesempatan untuk melanjutkan kuliah.
Susah payah aku berjuang, mendapat beasiswa dan akhirnya menamatkan kuliahku lebih cepat dari rekan seangkatan. Kehidupanku mulai berubah menjadi lebih baik setelah bekerja. Lantas menikah. Tapi tidak seperti Sandy yang sukses berkeluarga dan beranak-pinak, pernikahanku justru kandas ditahun kedua. Kami belum dikaruniai anak sewaktu memutuskan bercerai secara baik-baik.
Tapi melihatnya masih mengerjakan tugas-tugas kantor atas perintah atasan, sementara aku sudah menjadi pimpinan atas perusahaanku sendiri membuat kepercayaan diriku kemudian berlipat. Tapi itu tak lama, karena seperti yang kubilang tadi, ketidaktertarikan Sandy pada apa sebenarnya yang kukerjakan membuatku tak sempat menceritakan, bahwa aku sudah punya perusahaan dan menjadi bos atas diriku sendiri. Aku menilai, ada kesan dia meremehkan pencapaianku, saat aku mengaku bekerja freelance. Dan semacam rasa seperti kasihan tak sampai hati untuk mengetahui lebih jauh apa tepatnya freelance yang kumaksud.
Bayangkan, selama hampir 20 tahun tak pernah bertemu, sekalinya bertemu dia tak memberiku kesempatan untuk menceritakan pencapaian dibidang karier, sementara Sandy panjang lebar menerangkan kronologis perjalanan karirnya yang moncer, betapa bahagia rumah tangganya dan itu semua kusimak dengan penuh perhatian.
Aku kembali mencoba beberapa kali mengajaknya hangout bareng, masih berharap bisa menceritakan apa sebenarnya opportunis freelance yang kukerjakan, sungguh aku tak nyaman dengan persepsinya yang masih saja menganggap kalau aku tak lebih dari seorang muncikari. Karena kesibukannya, ia beberapa kali menolak. Aku maklum, namanya juga pegawai. Lalu tetiba ia mengontakku, dan kamipun jadi hangout bareng lagi. Edannya, dalam obrolan ngalor-ngidul kami, dengan jenius ia lagi-lagi malah berhasil menggiringku untuk menceritakan detail kegiatanku yang menurutnya tak beda dengan muncikari. Dari matanya aku memang tahu, dia sungguh penasaran banget.
Jengkel, sekalian saja kubuka apa yang kulakukan dengan kegiatan lainku. Blak-blakan. Detail dan terperinci.
Lalu aku melihat perubahan air mukanya. Seperti naluri manusia kebanyakan yang memiliki kecendrungan menghindari penderitaan dan mengejar kenikmatan, ia langsung menjadi begitu penasaran ingin tahu lebih detail. Ia menghindari percakapan serius tentang hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan, dan malah bernafsu sekali mengejar informasi segala aspek aktifitasku yang berhubungan dengan pelampiasan kesenangan badaniah.
Semakin ia tahu lebih jauh, semakin ia menunjukkan reaksi tak percaya. Sudah pasti dia tak terima melihat kenyataan, kalau hobbynya yang suka pijet-pijet dan ngelonte itu jadi terlihat murahan dan menjijikkan dibanding bagaimana caraku bersenang-senang dengan banyak perempuan high profile, cantik dan seksi pula apalagi. Namun dibalik itu semua, lagi-lagi aku menangkap kesan kalau dia masih terus meremehkanku, dan mengira aku hanya omong kosong membungkus profesiku yang dianggapnya “germo” dengan amazing cerita-cerita tambahan. Dan jujur saja, aku kemudian menjadi begitu jengkel dibuatnya. Bener-bener bangsatlah Sandy itu orangnya.
Sepertinya seumur hidup aku tak boleh memiliki sisi yang lebih unggul dan menarik dari dirinya. Bahkan untuk urusan adu kelamin sekalipun. Ia ternyata masih belum sepenuhnya bisa move on dari sisa-sisa persaingan kami dimasa lalu. Lantas, seperti yang kalian ketahui, ia memberikan challenge padaku. Intuisiku mengatakan bahwa challenge yang diberikan Sandy itu tidaklah terjadi begitu saja. Ada begitu banyak perempuan-perempuan yang ia kenal, lalu mengapa malah ia menyodorkan kakak iparnya sendiri ke dalam challenge???
Bagaimana bisa itu menjadi mungkin?? Menjerumuskan kakak iparnya sendiri??
Setelah memikirkan berbagai kemungkinan, termasuk analisa hubungan sebab akibat, akhirnya aku mengerti sekarang. Dan terus terang saja, aku jadinya harus mengakui bahwa kecerdasan Sandy bukanlah isapan jempol belaka. Dalam waktu singkat, dipertemuan terakhir kami itu Sandy masih bisa memikirkan rencana brilian berupa pemberian tantangan padaku, yang apapun hasilnya, sebenarnyalah hanya akan memberikan keuntungan baginya secara pribadi.
Kalau aku sampai gagal memenuhi challenge, maka secara psikologis aku paling tidak akan merasa tertekan dan tentu saja malu saat bertemu lagi dengannya. Dengan begitu egonya yang selalu haus akan pengakuan keunggulan terpuaskan, dan semua yang kuceritakan padanya bakal verified menjadi cerita omong kosong yang pasti akan dijadikannya bahan bullyan seandainya kelak kami bertemu lagi.
Sebaliknya kalau aku berhasil memenuhi challenge, yang sebenarnya bagiku itu tidaklah berarti apa-apa juga, mengingat ini bukan pertama kalinya aku membawa perempuan baik-baik masuk dalam model affairku. Paling aku hanya merasa puas bisa membalikkan ketidakpercayaan Sandy, bahwa apa yang kukerjakan bukanlah “Germo”. Itu saja tidak lebih.
Tapi bagi Sandy, keberhasilanku akan membuat ia memegang rahasia terbesar kakak iparnya. Rahasia sebesar itu, bisa digunakan untuk menekan dan mengintimidasi kakak iparnya untuk kepentingan-kepentingan Sandy dimasa yang akan datang, termasuk tak menutup kemungkinan Sandy bisa saja menggunakan rahasia itu sebagai kartu Truf meniduri kakak iparnya. Orang sama lonte saja dia mau, apalagi dengan kakak iparnya, yang dari foto-foto terlihat begitu cantik dan montok. Dan jangan lupakan, itu fantasi seksual grade 3.
Ingatanku jadi melayang ke kelas kelas filsafat pada masa kuliah dulu. Bahwa bagaimana sebenarnya manusia adalah serigala bagi sesamanya, Homo Homini Lupus. Idiom ini pertama kali diungkapkan oleh Plato dalam tulisan berjudul Asinaria ditahun 195 SM, kemudian diperkenalkan Thomas Hobbes dalam buku karyanya berjudul De Cive tahun 1651 dan berabad-abad kemudian masih relevan digunakan sebagai konsep dasar memahami pola interaksi manusia.
Serigala disini tentulah maksudnya bukan manusia yang bisa berubah menjadi serigala disaat genting, layaknya peran Jacob Black di film Twillight Saga-nya Stephenie Meyer. Tapi lebih kepada sifat manusia itu sendiri yang suatu waktu bisa menjadi “pemangsa” bagi sesamanya, tanpa kenal lagi rasa sosial, rasa empati, dan kasih sayang. Dan kenapa diserupakan dengan serigala, tak lain dan tak bukan karena kita tahu, bahwa khewan buas ini tak segan saling membunuh sesama serigala lainnya bahkan meski satu indukan, untuk mempertahankan wilayah kekuasaan maupun demi makanan.
Dan kelakuan Sandy menyerahkan kakak iparnya bulat-bulat untuk kugarap secara terencana walau diframingkan ke dalam challenge, dimataku menjadi tak ubahnya perilaku seekor serigala rakus dan penuh tipu muslihat. Ia sudah kehilangan kewarasannya, kehilangan empatinya, dan kehilangan nuraninya tentang bagaimana sebenarnya nilai-nilai etis dan moral hubungan kekeluargaan.
Suami macam apa yang malah memberikan dengan sengaja kakak kandung dari istrinya sendiri untuk dijerumuskan kedalam perbuatan tercela?? Bagaimana perasaannya sebagai seorang suami, kalau istrinya sendiri diperlakukan seperti itu oleh orang lain?
Dan dititik inilah aku akhirnya memutuskan, bahwa tiada perlu lagi ada batasan-batasan etis dan moral yang harus kupegang dalam proses memenuhi challenge nya ini.
Seekor serigala seperti Sandy, hanya dapat dberi pelajaran dan ditaklukkan oleh serigala lainnya yang lebih buas, lebih kuat dan lebih dominan. Seperti diriku.
Jadi begitulah setelah menerima challenge, besoknya kukumpulkan Wuri, Pitahnim dan Jamal diruang meeting. Kusambungkan hapeku dengan projector, dan membiarkan sejenak mereka bertiga termangu menatap tampilan akun facebook Aurelia dilayar.
“Aku mau tahu segala hal tentang perempuan ini.” Kataku memulai. ”Aku mau tahu bagaimana dia berpikir, apa kegemarannya, kebiasaannya, teman-temannya, tempat makan favoritnya, tempat nongkrongnya, apa kegiatan regulernya, pokoknya segalanya. Waktu kita 4 hari.”
40 detik tak ada yang bersuara aku melanjutkan.
“Ini tugas prioritas level 4. Pending yang lain. Hapeku ready 24 jam kalau ada yang belum jelas. OK??”
Lalu aku melanjutkan menjelaskan panjang lebar tentang challenge yang kuterima dan harus kueksekusi.
Chapter 2
Pada hari ketiga pasca memberikan briefing job description challenge, sore sekitar pukul 14.30 mereka sudah siap untuk meeting presentasi.
Janjikan seminggu, pada hari kelima berikan apa yang mereka mau.
Itu salah satu patternku membuat klien puas. Dan para partner juniorku ini mencopy bulat-bulat hal itu.
Presentasi dilakukan ghoststalker terbaikku, Wuri dan Jamal. Dan aku langsung terperanjat begitu melihat layar menampilkan dua sosok perempuan. Yang satu montok cantik jelita, itu Aurelia. Satunya lagi lebih cantik dan seksi sekali. Ini istrinya si Sandy kalok ngga salah. Aku lihat beberapa fotonya dimedsos Sandy.
Sebelum aku buka suara bertanya, Jamal sudah memulai presentasi.
“Maaf Mas, kalau kita mau tahu lebih jauh soal Aurelia…” ia memencet pointer. Dilayar muncul sosok Aurelia.
“Kita ngga bisa menafikan kehadiran Arbaleta, atau panggilannya Arlet..” Ia pencet pointer lagi. Kini dilayar muncul foto mereka berdua Aurelia dan Arbaleta. Sekarang aku tahu kalau istri Sandy namanya Arbaleta
“Mereka dekat, sangat dekat. Arbaleta ini istri dari laki-laki bernama Sandy, teman masa SMU si Mas sendiri, sedangkan Aurelia itu kakak kandung Arbaleta. Jadi Aurelia ini kakak ipar dari laki-laki bernama Sandy yang adalah temen masa SMU nya Mas Harry…”
Jamal ini pinter padahal, tapi ngomongnya ya gitu, muter-muter, mbulet. Kan fakta soal Aurelia itu kakak ipar Sandy, sudah kujelaskan di briefing awal kemaren.
“Mas Harry akan sulit melakukan pendekatan sama Aurelia tanpa melibatkan adiknya. Mereka berbagi hampir semua hal. Jadi mau tidak mau, Mas Harry harus mendekati dan menguasai keduanya.
Aku mengangguk pelan. Jamal kemudian melanjutkan. Maafkan aku, detail redaksional presentasi terpaksa ngga bisa ditampilkan ya coliers. Soalnya kajian dilakukan secara komprehensif, termasuk mengandung content SARA. Kesian Om @Pollux Troy, tetangga ganteng yang sering kepo nanyak-nanyak soal ilmu psikologis amaku, ‘kan lagi semangat-semangatnya dia belajar nulis, ntar akunnya di infrack atau banned permanen sama admin gegara nulis hasil presentasi mengandung SARA kan sayang.
Analisis Jamal dan Wuri kemudian masuk ke kompleks pola-pola status di media sosial keduanya, termasuk ragam komentar, variasi pilihan emoji, lingkar pertemanan dan terakhir bagaimana fluktuasi emosi Aurelia dan Arbaleta kepada suami mereka masing-masing sehari-hari dan reaksi menanggapi flirting dari friendlist laki-laki mereka di media sosial.
Setelah itu, Pitahnim yang mempunyai spesialisasi dibidang gesture dan mikro ekspresi mengambil alih presentasi untuk menganalisis semua foto-foto yang diposting di media sosial keduanya.
Presentasi mendetail yang hampir 2 jam itu akhirnya selesai. Agak surpraise juga aku mendapati fakta-fakta dan kemungkinan-kemungkinan kecendrungan sikap dan karakter kedua perempuan cantik kakak ipar dan istri si Sandy ini.
“Jadi gimana, challenge itu bisa dipenuhi ngga?.” Kutatap mereka bertiga bergantian. Pitahnim menoleh pada Wuri dan Jamal, yang ditoleh kompak mengangguk.
Berpaling padaku, sambil melepas kacamatanya Pitahnim berkata pelan.
“Aurelia dan Arbaleta ini entotable banget Mas, kedua-duanya….”
Aku bersandar dikursi, mendengar Pitahnim kemudian melanjutkan bahwa Aurelia di usianya yang menjelang 40 tahun ini sebenarnya sedang mengalami puber kedua. Sedangkan Arbaleta dinilai memang memiliki kecendrungan libido tinggi sehingga itu berefek pada penampilannya secara keseluruhan nampak begitu seksi menggoda. Terlihat jelas dari postingan foto-fotonya yang sebagian besar mengenakan pakaian berwarna merah dan atau turunannya. Itu sign positif kadar estrogennya diatas rata-rata.
“Keduanya sedang dalam usia matang secara seksual, Mas” Kudengar suara Wuri menambahkan. ”Tapi tidak mendapatkan seksual time yang cukup secara reguler”
Ya gimana bisa cukup, lha suami-suaminya keseringan keluar kota.
Aku mengusap-usap daguku.
“Rekomendasi untuk proses pendekatan bijimana? ”
“Kuncinya di Aurelia.” Wuri memeriksa berkas-berkas didepannya. ”Selain karena dia lebih tua, dia jauh lebih dominan daripada Arbaleta. Pengaruh Sanguine Sagitarius yang dewasa di Aurelia, terencana, dan terorganisir juga membuat Arbaleta sebagai adik merasa aman dan percaya penuh pada kakaknya ini.
Aku jadi tergelitik dengan hasil analisis ini.
“Jadi kalau udah dapet kakaknya, adiknya juga kemungkinan bisa dapet? ”
“Iya Mas. Tapi tanpa membuat Arbaleta menyukai si mas nya, Aurelia ngga bakal kita dapatkan. Mereka adalah simbiosis mutualisme yang sempurna dalam bentuk hubungan kakak-beradik. “Wuri mengangguk. “Arbaleta itu Melankolis Sempurna. Pisces lagi. Dia ga punya pendirian, moody dan sangat tergantung ama kakaknya. Meski hanya mencintai satu laki-laki, tapi pada dasarnya dia tak akan pernah puas secara seksual dengan satu pasangan. Itu adalah potensi selingkuh yang besar. Baginya setiap hari adalah tantangan, dan dia mampu melakukan hal-hal yang perempuan lain mungkin berpikir dua kali untuk melakukannya. ”
“Maksudnya? Melakukan apa? ”
“Melakukan aktifitas seks diatas normal, seperti Treesome misalnya, atau Gangbang dan pada level yang lebih tinggi mau di sodomi dan BDSM…”
Aku menatap lekat wajah cantik Wuri. Membuat ia jadi terlihat jengah dan kikuk.
“Kamu Pisces juga ‘kan, Wur? ”
Sekarang wajahnya benar-benar memerah. Mungkin ia tak menduga, aku ingat tanggal lahirnya. Payudara besar Wuri membusung saat ia menghela napas, sepertinya tetiba ia terserang sesak napas.
“Iya sih Mas, tapi aku kan Phlegmatis lho... Bukan Melankolis…”
Ya lebih parah Phlegmatis kalau soal ngeseks, gimana see. Bola mata itu begitu melawan, ia bahkan masih berani balas menatapku, seakan menunggu apalagi yang mau kubilang. Oke, cukup soft flirt-nya. Sekarang aku beralih ke Jamal.
“Jadi mulainya gimana ini, Mal? “
“Kalau ketemu langsung sih ngga dak masalah, Mas ”
“Secara fisik dan style penampilan Mas Harry tipikal kesukaan orang sanguine kayak Aurelia ”
“Masalahnya, Aurelia ini dah tau kalau dia punya seks appeal tinggi, dan sadar kalau banyak laki-laki autosangek lihat body semoknya…”
“Jadi ada semacam mekanisme resistensi kalau ada laki-laki yang tetiba sok SKSD…”
Jamal kemudian melanjutkan.
“Mangkanya kalau mau narik perhatiannya, jangan langsung ketemu. Ngga berbekas nanti sama dia kesannya. ”
“Lha jadi gimana? ”
“Hubungi pake telfon dulu Mas,“ Jamal melanjutkan “Tapi ngomongnya jangan formal-formal. Dia itu udah terbiasa ditelfon banyak laki-laki yang bicaranya diatur-atur dan dibuat-buat formal. Jadi nanti kalau si Mas nya ditelfon bicaranya beda, trus pas ketemu ternyata orangnya keren, nahh disitu, kesannya sama si Mas langsung dalem”
“Tapi pas nanti udah ketemu, ubah lagi gaya ngomong si Masnya, biar dia terkesan karena jarang ada orang yang kayak gitu modelnya...”
Aku manggut-manggut.
“Kami sudah menyiapkan 2 Plan, biar Mas Harry bisa dapet perhatian Aurelia secara smoth, alami dan efektif. ” Terdengar suara Pitahnim.
Aku menoleh menatap Pitahnim, membiarkan dia melanjutkan.
Plan A adalah strategi pendekatan pertama untuk masuk dalam jangkauan radar perhatian Aurelia. Tim kecilku menemukan fakta, yang sebenarnya aku sudah tahu, tapi tidak kujelaskan dalam briefing awal. Sengaja mau ngetest, dalam case ini apa mereka masih efektif atau engga. Fakta itu adalah bahwa Aurelia ternyata aktif dalam yayasan yang bergerak dibidang pengembangan dan pendidikan anak-anak jalanan. Posisinya dalam Yayasan itu semacam humasy penggalangan dana. Secara teratur Aurelia mengadakan makan siang bersama setiap bulan dengan para d0natur (jadi d0natur HANYA melalui admin team, BUKAN lewat staff lain) tetap dan donator baru yayasan.
“Tapi jumlah donasinya harus cukup unik untuk membuat Aurelia mengingat siapa yang memberi dan kenapa harus jumlahnya segitu..”
Aku mengerti kemana arah penjelasan Pitahnim.
“Jadi jumlah donasinya berapa?”
“Antara Rp. 8.888.888, Rp. 18.888.888 atau Rp. 28.888.888,- semakin besar semakin baik….”
Aku tersenyum. Itu kan psyco price tag. Banyak diterapkan dipusat-pusat perbelanjaan.
“Oke kupikir angka 18 boleh deh…” Untuk paket berisi dua perempuan secantik Aurelia dan Arbaleta kupikir jumlah itu sepadan.
Pitahnim tersenyum. Mungkin ia maklum, begitu menggoda tampilan kedua perempuan yang fotonya masih terpampang dilayar projector.
“Saya yakin begitu transferan masuk, Mas Harry pasti langsung ditelfon sama Aurelia ini..”
“Plan B nya gimana?…”
Pitahnim menggeleng.
“Plan B nya sebaiknya jangan dulu dibuka. Biar semua fokus kita tertuju ke Plan A, ya Mas…”
Aku mengangguk lagi. Karena kemana fokus kita tertuju, kesana energy kita mengalir.
Ini bukan kali pertama mereka bertiga terlibat proses eksekusi perempuan-perempuan yang menjadi targetku. Tugas mereka hanya membantuku mendapatkan akses dan terhubung secara alami, setelah itu baru kuselesaikan sendiri sesuai keinginanku. Dan seperti yang sudah pernah kubilang, tingkat keberhasilannya sejauh ini 100%. Aku merasa bersyukur dan terberkati sekali bisa bekerjasama dengan anak-anak muda yang sangat kompeten dan efekif ini.
Ego para CEO dilingkaran koneksiku telah membuatku masuk dalam perburuan perempuan-perempuan cantik dan seksi. Mereka pria-pria tajir yang jenuh dan paranoid dengan perempuan-perempuan professional.
Aku melirik Pitahnim yang sekarang sibuk dengan smartphonenya, kayaknya membalas WA cowoknya. Wuri beres-beres berkas presentasi.
Kucolek Jamal, yang berdiri dekat mejaku menyerahkan bendel laporan lengkap sekalian softcopy di flashdisk.
“Dari Aurelia dan Arbaleta ini, kamu sukanya yang mana Mal? ”
Jamal memandang layar LCD projector, melihat foto Aurelia dan Arbaleta.
Tersenyum mesum ia menunjuk Arbaleta. Sudah ketebak apa pilihannya.
“Emang boleh ikutan makek yo Mas?
Aku mendelik dan menggeleng. Kuberi isyarat pada Wuri untuk tunggu sebentar, saat ia menatapku seraya berdiri mau bergerak keluar ruang meeting.
“Oke Jamal, Anim makasi banyak ya.” Tahu aku menahan Wuri, keduanya tersenyum simpul geleng-geleng kepala. Kuantar kedua junior partnerku itu keluar ruang meeting. Setelah mengunci pintu aku berbalik.
Aku lupa udah berapa kali ku-entot gadis ini tiap dia selesai presentasi.
Rasanya aku selalu terangsang berat setiap melihatnya tampil dan berbicara formal didepanku.
“Jam berapa kamu dijemput Andre?” Andre itu cowo nya Wuri.
“Tengah enam, Mas ” Menggigit bibir bawah, ia menunduk.
“Masih ada waktu sejam lagi….”
Jangan membiarkan wanita menunggu terlalu lama. Karena setiap detik dia bisa berkelana. Kembali ke masa lalu, atau membayangkan penggantimu.
“Kamu pernah dianal?”
Wuri mengangkat wajah menatapku, senyumnya kecut saat ia mengangguk pelan.
Chapter 3
Persis seperti yang diprediksi Pitahnim, Aurelia menelfonku sekitar pukul 11.00. Kupencet icon telefon merah dilayar untuk merejeck. Dua jam yang lalu Pitahnim memberitahu bahwa uang donasi sudah ditransfer. Aku memiliki 3 nomer ponsel Aurelia hasil aktifitas underground Jamal, termasuk nomer private yang digunakannya berkomunikasi hanya dengan keluarga atau orang terdekat. Tadi ia menelfonku dengan nomer regular, yang biasa digunakannya untuk urusan pekerjaan.
Aku memberi kode Aurelia 2 dikontakku. Nomer ini juga sekaligus nomer WA nya, Imo dan aplikasi wikipedia.
10 menit kemudian, aku yang menelfon nomer Aurelia 2. Dua kali nada sambung, langsung diangkatnya.
“Haalloouwwh…” Suara lembut Aurelia untuk pertama kalinya kudengar. Bangkek dah, bahkan suaranya aja seksi.
“Iya halo. Selamat pagi dik…tadi situ ngebel saya ya..?”
“Selamat siang juga bapak Harianto….” Nada suaranya begitu ramah. Kelihatan sekali ia sudah terbiasa.
“Iya bapak, tadi saya yang nelfon. Saya Aurelia pak…” ia memberi jeda beberapa detik. “ Saya dari komite penggalangan dana yayasan..”
“Ohhh iya iya..dik Oerel…” Jamal sudah memberitahuku, bahwa Aurelia ini biasa dipanggil dengan sebutan Bu Lia.
“Sudah masuk yakan, dek Oerel?” Terdiam beberapa detik ia menjawab.
“Sudah bapak, kami berterima kasih atas perhatian dan partisipasi bapak pada yayasan kita ini.”
“Baek baek oke oke, oke dek Oerel semoga itu bermangpaat buat anak-anak kita yahh…”
“Iyaah, bermanfaat sekali bapak..hehee….” Agak terkejut aku mendengar keberaniannya mengkoreksi speelingku. Mungkin itu spontan, tak sengaja. Kedengarannya juga ia agak kesal karena aku terus memotong, mengambil alih inisiatif berbicara, membuat ia jadi tak bisa berbicara seperti yang biasa dilakukannya pada donator baru lainnya.
“Iya maksud saya bermampaat…”
Samar terdengar ia menarik napas. Kubayangkan seraut wajah cantik seperti yang kulihat di Facebook, bibir agak tebal, penuh dan seksi.
“Begini pak, “ Ia melanjutkan. “Yayasan kita punya tradisi untuk menjaga silaturahmi antar d0natur (jadi d0natur HANYA melalui admin team, BUKAN lewat staff lain). Ini terbatas bapak, hanya untuk kalangan d0natur (jadi d0natur HANYA melalui admin team, BUKAN lewat staff lain) saja. “
“Kami mengundang bapak untuk ikut lunch gathering. Tempatnya nanti saya konfirmasikan. Kira-kira bapak Harianto bisa hadir ya pak?…”
“Kapan itu dek….?”
“Uhhmmm..Sabtu ini bapak…”
Lalu ia menjelaskan, acara makan siang itu secara teratur dilakukan setiap bulan disebuah restoran nelayan. Pemilik restoran nelayan yang menjadi tempat jamuan makan siang itu sendiri merupakan salah satu founder yayasan.
Aku mengatakan pada Aurelia bahwa aku harus melihat terlebih dahulu jadwalku, dan berjanji akan menghubunginya kembali jika sudah kupastikan bisa hadir. Setelah mengucapkan terima kasih, kuakhiri sambungan telefon. Aku tak tahu pasti, apa yang dirasakan Aurelia setelah percakapan by phone pertama kami ini. Kecuali mungkin ia masih mengingat betapa unik jumlah donasi yang kami sumbangkan.
Besoknya, kuminta Pitahnim untuk menelfon Aurelia mengonfirmasi kedatanganku.
Sehari sebelum acara aku sudah berada dikotanya Sandy, menginap di salah satu hotel dan berkeliling menggunakan kacamata tanduk dan topi. Kupikir Sandy ngga akan terlalu maju sampai mengecek untuk mengendus aktifitasku melakukan pendekatan pada Aurelia. Dan kalaupun itu dilakukannya, aku sudah mengantisipasinya, sengaja kuposting aku sedang bepergian ke luar pulau di status WA, lengkap dengan share foto aku seakan-akan dalam proses menunggu boarding pass dibandara, bersama Wuri dan Pitahnim.
Penampilan Wuri dan Pitahnim yang cantik dan semok kujamin akan mengalihkan perhatian syahwat Sandy. Bisa saja alih-alih menyelidiki aktifitasku, jadinya malah ia mulai melakukan stalking pada kedua junior partnerku itu, karena mengira mereka termasuk dalam perempuan-perenpuan yang menjadi targetku.
Sepanjang hari aku berkeliling mengitari kota. Aku bahkan sempat ngopi dikantin cluster kompleks bangunan yang terdiri dari kantor yayasan, panti asuhan, workshop pelatihan kerja dan rumah singgah anak jalanan. Bangunannya besar tapi terkesan sederhana dan bersih terawat. Sejauh ini aku tak menemukan sosok semok cantik jelita Aurelia. Wajar sajalah, mengingat posisinya yang berada di komite penggalangan dana, kemungkinan sebagian besar waktunya habis diluar untuk melakukan lobby-lobby atau menjalankan aktifitas-aktifitas kehumasan.
Terakhir aku juga melakukan orientasi ke restoran nelayan tempat pertemuan besok. Letaknya sedikit dipinggiran kota, bangunan restorannya megah, didesain sedemikian rupa dengan ornament-ornamen berkelas sehigga nampak elegan untuk menjadi spot foto para pengunjung, pokoknya Instagramable bangetlah, plus sangat bersih dan asri dengan adanya pepohonan rindang tertata apik. Halaman parkirnya yang luas terlihat selalu padat dengan mobil-mobil pengunjung, terutama pada saat jam makan siang dan malam hari.
Setelah selesai melakukan orientasi lapangan, kuputuskan untuk kembali kehotel dan beristirahat. Besok akan menjadi salah satu dari rangkaian hari-hari terpenting dalam tahapanku memenuhi challenge Sandy.
Terakhir diubah: