Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

The Omega : Redemption [LKTCP 2015]

arczre

Pendekar Semprot
Daftar
18 Jan 2014
Post
1.870
Like diterima
2.038
Lokasi
Sekarang di Indonesia
Bimabet


Arczre's Production mempersembahkan:

The Omega: Redemption

7a490a440537369.jpg


Dibintangi oleh:

b9aa96440359790.jpg


Bripka Avvy Olivia sebagai dirinya


7165b1440359832.jpg


Mads Mikklesen sebagai Dr. James Scott


Komentar-komentar fiktif:

"The best thriller story of LKTCP 2015" ~ Anonym

"Ngeri bayangin mutilasi" ~ Anonym

"Nggak jadi makan" ~ Anonym

"Sex scenenya keren, nggak brutal." ~ Anonym





Bripka Avvy Olivia telah kehilangan suaminya. Mengasuh sendiri seorang anak yang masih kecil tentunya berat bagi dirinya. Sosok suaminya yang telah pergi tak pernah ia bisa lupakan. Masih teringat dalam otaknya bagaimana perlakuan suaminya ketika masih hidup. Misteri kematian suaminya juga masih belum terungkap sampai sekarang. Untuk mengurangi rasa suntuknya dia pun melakukan kegiatan-kegiatan positif seperti jogging. Jogging cukup mujarab bagi dia karena bisa menyalurkan energi yang percuma dibuat hanya untuk bersedih. Seperti pagi ini di hari libur dia berlari melintasi jalanan di perumahan tempat ia tinggal. Baju trainingnya basah oleh keringat sehingga tercetak tali bra yang ia pakai di punggungnya. Setelah lama berjogging dia pun sampai di taman yang tak jauh dari rumahnya. Taman itu posisinya sekitar satu blok dari rumah tinggalnya. Di sana sudah ada anaknya yang sedang bermain dengan babysitter. Bripka Avvy Olivia pun mengatur nafasnya sambil menghirup udara pagi yang sejuk ini dalam-dalam.

“Sendirian aja, bu?” sapa seorang pria. Pria ini memakai celana pendek dengan kaos ketat bertuliskan SABHARA di punggungnya. Di dada kirinya ada sebuah lambang kesatuan POLRI. Siapapun yang melihatnya akan kenal dengan profesi pria ini.

Sontak Olivia terjekut, “Eh, Komandan Lukman! Pagi Ndan!”

Lukman juga baru berjogging. Rumahnya masih satu komplek dengan Olivia. Wajah pria yang berpangkat kompol ini sangat ramah. Badannya tegap dan tidak terlihat usianya sudah mencapai kepala empat. Tampak dari otot bisepnya peluh yang bercucuran seperti baru saja mandi. Pria ini kemudian menyeka keringatnya dengan handuk kecil yang dia kalungkan di lehernya. Butiran-butiran keringat pun menghilang meresap ke dalam handuk kecil.

“Itu anakmu?” tanya pria itu sambil menatap ke seorang anak kecil yang sedang bermain.

“Iya ndan, anak saya,” jawab Olivia.

“Cantik sekali,” ujar Lukman.

“Terus terang, bagi saya wajahnya lebih mirip ayahnya,” terang Olivia sambil berjalan santai menuju ke taman yang ditumbuhi rerumputan segar. Tampak dari kejauhan putrinya sedang bermain bersama anak-anak yang lain.

“Aku turut berduka cita atas kepergian suamimu yang mendadak. Ah, tapi sudah terlambat. Aku terlalu sibuk sehingga tidak datang melayat,” kata Lukman. Dia agak canggung pagi ini. Sebenarnya hanya basa-basi biasa, mungkin karena Olivia adalah sahabatnya dan ia sangat bersalah tidak datang saat pemakaman suaminya.

“Saya bisa memahami, tak perlu seperti itu Ndan. Apalagi saat itu Anda masih di luar pulau. Saya bisa fahami,” tukas Olivia.

“Tapi, setelah itu aku seperti tak pernah peduli kepadamu. Sahabat sepeti apa aku ini,” Lukman kemudian menghentikan langkahnya sambil menoleh ke arah lain.

“Jangan melankolis, ndan. Saya malah nggak suka,” kata Olivia. Sebenarnya Olivia dan Lukman hanya terpaut sedikit, tapi ketika di SPN mereka adalah teman baik,

“Jangan panggil saya komandan ketika tidak di kantor. Panggil saja Lukman. Kita masih sahabat bukan?” tanya Lukman. “Sebenarnya, ada yang ingin aku sampaikan. Mungkin kamu tertarik.”

“Apa itu?” tanya Olivia balik. Dia tidak begitu penasaran.

“Kamu tahu, Polda Metro Jaya sekarang membentuk tim khusus. Namanya Omega. Kalau kamu tertarik kamu bisa ikut denganku,” jelas Lukman.

“Bagian reserse?”

“Iya, reserse.”

“Nggak ndan, eh.... Lukman. Aku masih nyaman dengan bagian Satlantas.”

Lukman menggeleng. “Aku yakin kamu nyaman dengan Satlantas. Tapi mungkin kamu tertarik kalau aku yang mengajak. Di sana ada Dira, Teguh dan Aryo.”

“Wah, polisi muda semua. Bagaimana aku bisa mengimbangi mereka?”

“Sebenarnya kamu masih punya bakat. Aku masih ingat ketika dulu kamu di SPN nilai kuliah intel lebih baik daripada yang lainnya. Bahkan aku pernah menjulukimu sebagai Miss Marple. Aku yakin di Omega kamu akan menjadi orang yang yah... berhasil menyalurkan bakatmu.”

Olivia terdiam. Pikirannya kemana-mana. Memory-nya kembali flashback ke masa lalu. Dia memang sangat menyukai tantangan seperti bagian reserse. Bahkan ia paling banyak membaca kasus-kasus dan buku-buku kriminal. Kemampuannya sebagai seorang reserse seandainya ia masuk ke bagian reserse pun sudah pasti tidak akan bisa dianggap remeh. Hanya saja atas bisikan teman-temannya ia pun bilang bahwa reserse ini adalah satuan tugas yang ditujukan untuk laki-laki. Wanita rasanya tidak terlalu pantas dan memang banyak polwan yang kurang menyukai bagian reserse.

“Liv, ada satu hal sebenarnya kenapa aku mengajakmu ikut ke Omega,” jelas Lukman.

“Apa itu?” tanya Olivia.

“Kami tahu apa penyebab kematian suamimu,” jawab Lukman.

Hal itu sontak membuat Olivia terkejut. Lukman mengangguk. Olivia segera mencengkram bahu Lukman. “Katakan kepadaku! Siapa? Siapa pelakunya?”

“Sabar, kita akan mengetahuinya nanti. Tapi ingat, ini masih rahasia di dalam kesatuan. Kami butuh satu tim lagi, siapa tahu kamu tertarik. Dan aku sangat ingin kamu ikut di tim kami,” ujar Lukman. Cengkraman tangan Olivia pun terlepas. Lukman mengangguk, “Aku tunggu di kantor besok. Kamu tahu di mana ruang Omega berada.”

Lukman kemudian melanjutkan joggingnya dan meninggalkan Olivia termenung seorang diri dengan penuh tanda tanya. Anak semata wayangnya bernama Zalianty. Bocah itu kini sudah mulai masuk ke taman kanak-kanak. Ia melambai kepada anaknya, bocah kecil itu segera berlari menuju ke ibunya diikuti oleh seorang babysitternya.

“Mamaaa!” Zalianty pun langsung memeluknya.

Rumah adalah sebuah surga. Begitu kata pepatah, ada benarnya juga. Ketika ada di rumah perasaan Olivia begitu damai. Di rumah ini ia ditemani oleh ibunya. Setelah ia menjanda sang ibu pun menemaninya sekarang.

“Eh, Anty! Udah selesai mainnya?” tanya neneknya.

“Udah nek, mama juga sudah selesai olahraganya,” jawab Zalianty.

“Aku ingin mandi dulu ma,” kata Olivia dengan nada lesu.

Olivia segera masuk ke kamarnya. Ia kemudian menanggalkan semua bajunya setelah itu mengambil handuknya untuk pergi ke kamar mandi. Dia langsung mengguyur tubuhnya di bawah shower. Tubuhnya masih bagus, bahkan mungkin butiran-butiran air yang membasuhnya serasa malu-malu untuk terus melekat di kulitnya yang masih mulus. Olivia kembali teringat dengan suaminya. Bagaimana suaminya memperlakukannya, juga bagaimana dia bisa menjadi seorang wanita yang benar-benar wanita. Dia merindukan saat-saat itu.

Di shower ini misalnya. Dia ingat bagaimana Ikram sang suami menyentuhnya. Ketika mereka berada di dalam kamar mandi, pasti dan selalu terjadi adegan erotis. Awalnya sang suami hanya ikut membasuh tubuhnya dengan sabun. Namun yang terjadi setelah itu adalah usapan-usapan lain. Usapan itu bukan usapan kasar sekalipun telapak tangan suaminya kasar, khas sebagai seorang lelaki. Namun usapan itu lebih halus dari kain sutra. Olivia menjadi sangat terangsang karena sentuhan itu. Bulu kuduknya merinding, putingnya mengeras. Kalau sudah begitu maka dia pun menjadi agresif.

Dalam kenangannya sang suami meremas payudaranya dari belakang. Menggelitik puting susunya yang sekarang sedang menonjol dan mengeras karena terangsang. Lehernya dihisap, diciumi, dijilat, hingga kedua bibir mereka bertemu. Kalau sudah seperti ini yang dilakukan Olivia kemudian ada berbalik menaikkan kaki kanannya, lelakinya pun sudah siap memasukkan batangnya ke dalam liang senggamanya yang sudah becek. Begitu senjata itu masuk, maka mereka pun bergerak liar, pinggul mereka benar-benar ingin mengaduk-aduk apa yang membuat mereka menempel. Jadilah acara mandi itu adalah acara mandi erotis. Olivia benci karena ia akan sangat lama mandinya, tapi ia juga merindukannya saat suaminya sudah tidak ada lagi. Tak terasa ia pun memasukkan jari telunjuknya ke dalam liang senggamanya sambil merangsang klitorisnya.



* * *​



Gedung Polda Metro Jaya berdiri kokoh. Gedung yang menjadi tempat berkumpulnya para aparat yang berwajib ini ada sebuah divisi khusus yang baru saja berdiri. Namanya The Omega. Divisi ini menangani berbagai macam kasus-kasus rumit yang tidak bisa dipecahkan oleh satuan reserse biasa. Biasanya kejahatan-kejahatan tingkat tinggi dengan para kriminal yang belum tertangkap. Tidak hanya itu kasus-kasus lama yang ditangani kepolisian tapi tidak terungkap banyak terselesaikan oleh divisi Omega. Pemimpinnya adalah Kompol Lukman Tirtadaya. Dia juga adalah sahabat dari Bripka Avvy Olivia dan Ikram ArRasyid.

Bripka Olivia datang ke kantor Omega. Kantor itu letaknya berada di lantai atas gedung. Ruangannya sangat khusus, bahkan papan namanya pun dibuat dengan huruf yang unik. Mungkin lebih ke Serrif entah apa nama fontnya. Begitu masuk ruangan itu tampak ada tiga meja, dua meja terisi tapi satu meja kosong. Dan di ujung ruangan ada sebuah ruangan berkaca. Di dalamnya ada Kompol Lukman. Kedatangan Olivia di dalam ruangan itu membuat hati Lukman berbunga-bunga. Dia segera keluar dari ruangan kacanya.

“Kukira kamu tidak datang,” kata Lukman.

“Yah, aku penasaran dan aku setuju. Aku akan bergabung, ceritakan kepadaku apa yang engkau punya!” ujar Olivia.

“Teguh, Dira! Kalian bisa tunjukkan file tentang kasus Mat Codet?” tanya Lukman.

Dua orang anggota divisi khusus ini mengangguk. Teguh seorang polisi muda dan juga Dira, dia seorang polwan. Teguh merupakan seorang polisi yang lulus dari akademi kepolisian dua tahun lalu, kemudian ditarik ke reserse. Dira juga demikian, hanya saja Dira baru lulus tahun kemarin. Wajahnya cukup cantik untuk seorang polwan reserse.

Teguh kemudian menghubungkan komputer dengan monitor yang ada di tengah ruangan. Mereka semua bisa melihat sebuah display dari presentasi yang dibuat oleh polisi ini. Olivia bersedekap sambil mengamati Teguh yang sibuk memainkan remote untuk menggeser-geser presentasi.

“Jadi, kasus Mat Codet ini … dia adalah seorang perampok, pencuri dan juga seorang begal. Daftar kejahatannya sudah terlalu panjang. Bahkan pihak kepolisian menetapkan untuk tembak di tempat bagi bajingan nomor satu ini. Permasalahannya tidak sesederhana itu. Mat Codet ini adalah mantan anggota TNI. Boleh dibilang sasaran kita kali ini seorang yang cukup mengerti tentang hal-hal yang berbau dengan militer,” jelas Teguh. Dia menunjukkan foto-foto tentang Mat Codet. Dia adalah seorang pria berbadan tegap, ada tatto bunga mawar di punggungnya. Dari postur tubuhnya sudah jelas ia lebih mirip seorang tentara. Lebih menyukai pakaian-pakaian militer. Dari yang dijelaskan oleh Teguh kemana-mana Mat Codet selalu membawa senjata api.

“Lalu apa hubungannya dengan Mas Rasyid?” tanya Olivia kepada Lukman.

“Kami menemukan kaliber peluru yang itu adalah senjata milik bajingan ini,” jawab Lukman. “Kasus ini memang tidak diberitahukan kepada siapapun, karena bisa menimbulkan konflik antara TNI dan Polri.”

“Bukankah dia bersalah? Dia harus dihukum!” kata Olivia.

“Permasalahannya tidak sesederhana itu. Senjata yang dia miliki adalah berasal dari gudang amunisi depo TNI Angkatan Darat. Kalau sampai tersebar keluar bahwa peluru yang menembus suamimu adalah peluru dari gudang TNI yang terjadi akan menghebohkan negeri ini. Maka dari itulah kasus ini dilimpahkan kepada kami. Karena kami bisa bekerja tanpa campur tangan yang lainnya,” jelas Lukman.

Tampak wajah kekecewaan terpancar dari Olivia. “Kenapa kamu tidak beritahu aku?”

“Mungkin inilah saat yang tepat, agar kamu bisa melihat sendiri wajah bajingan ini. Dia jadi buronan Polisi Militer dan juga kita. Kuharap kamu bersedia menjadi salah satu tenaga di tempat ini, Bripka Avvy Olivia,” kata Lukman.

Olivia menghela nafas. Ia kemudian mengambil tumpukan file di meja Dira.

“Ini adalah data tentang kematian para korban,” jelas Dira.

Olivia tak menghiraukan kata-kata Dira. Dia memeriksa berkas itu dengan teliti dan seksama. Karena terlalu lama berdiri akhirnya ia duduk di meja yang kosong sambil memperhatikan file-file yang ada di tangannya. Teguh kemudian mematikan monitornya kembali ke tempat ia duduk. Lukman mendekat ke Olivia setelah itu Olivia gemetar ketika melihat sebuah foto korban. Itu foto suaminya. Bibirnya gemetar, matanya berkaca-kaca, setelah itu ia membanting berkas itu di meja.

“Bullshit! Everything is bullshit!” Olivia memegangi kepalanya. Ia kemudian menarik-narik rambutnya sendiri. Dadanya naik turun seperti orang yang baru saja melakukan jongging. “Aku ingin ketemu dengan dokter forensiknya.”

“Kamu bisa menemuinya di rumah sakit, namanya Dr. James Scott,” jawab Lukman.

“Orang bule?” tanya Olivia.

“Bukan, memang ada keturunan bule. Blesteran,” jawab Lukman.

“Aku bersedia masuk Omega. Aku bisa bekerja hari ini?” tanya Olivia.

“Tentu saja,” Lukman mengangguk senang.

“Baiklah, aku akan menemui dokter itu,” jawab Olivia sambil berlalu meninggalkan ruangan Omega. Lukman tampak senang sekali. Dia akhirnya bisa bekerja sama dengan sahabatnya.


* * *​


Bripka Avvy Olivia sampai di rumah sakit setelah bersabar berada di tengah kemacetan. Saat sampai di rumah sakit, ia segera bertanya tentang keberadaan Dr. James Scott. Dia kemudian diantar oleh seorang perawat di ruang Mortuary. Di ruang ini ada laci-laci tempat mayat-mayat disimpan sampai keluarganya mengambilnya. Hampir semua korban yang tewas entah karena kecelakan, dibunuh ataupun bunuh diri ada di ruangan ini.

Sang perawat tidak mengantarkannya sampai ke ruangan Mortuary, tapi hanya di sebuah persimpangan dan polwan cantik ini pun berjalan mendekat ke ruangan kamar mayat itu. Tapi sebelum ia melongok ke dalam, tampak seorang lelaki kira-kira berusia sekitar 40 tahunan dari perkiraan polwan ini sedang duduk sambil merokok di sebuah bangku yang menghadap ke halaman rumah sakit yang di tumbuhi oleh rumput dengan di tengah halamannya ada sebuah pohon yang besar.

“Dr. James Scott ada di sini kalau engkau ingin mencariku,” jawab lelaki yang merokok tersebut.

Bripka Avvy Olivia langsung mengambil putung rokok dari tangan lelaki yang mengaku sebagai Dr. James Scott itu kemudian membuangnya. Sang dokter agaknya sedikit terkejut. Ia menoleh dan mendapati Bripka Avvy Olivia tidak suka dengan sikap Dr. James.

“Maaf dok, tapi di sini tidak boleh merokok,” kata Olivia.

“Aku tahu, tapi aku ada di halaman. Asapnya akan dihisap oleh tanaman dan pohon-pohon. Kamu tak perlu khawatir. Tapi kalau aku merokok di ruang atau kamar pasien marahilah aku, karena jelas itu adalah perbuatan yang bodoh. Ah... maaf, aku sampai terbawa. Maafkan sikapku,” kata Dr. James. Pipi Dokter ini tirus dengan matanya yang terlihat sedikit basah. Rambutnya tersisir rapi. “Ada yang bisa saya bantu?”

“Perkenalkan, saya Bripka Avvy Olivia. Dari Polda Metro Jaya,” kata Olivia memperkenalkan diri dia menjabat tangan Dr. James.

“Namaku Franciscuss James Scott. Biasa dipanggil Frans, James atau Scott. Kadang mereka cuma memanggilku Dok,” balas Dr. James.

“Baiklah, langsung saja kalau begitu. Saya ingin tahu semua yang engkau ketahui tentang kematian suami saya. Namanya.....”

“Komisaris Polisi Ikram Ar Rasyid. Saya tahu. Saya orang yang mengotopsi tubuh beliau,” sela Dr. James.

“Iya, itu yang saya inginkan,” kata Olivia.

“Ikut saya, mungkin Anda tak keberatan kalau masuk ke ruang kerja saya. Di sana baunya tidak seperti di sini,” ujar Dr. James. Dia berjalan mendahului Olivia menuju ruangan bertuliskan “Mortage”. “Perlu masker?”

Olivia menggeleng.

Mereka masuk ke kamar mayat. Di dekat pintu, ada sebuah meja. Dan sepertinya meja itu adalah tempat di mana Dr. James bekerja. Dia duduk di kursi kemudian mengotak-atik komputernya. Olivia mengikutinya dari belakang dan melihat monitor. Dr. James kemudian memperlihatkan daftar hasil otopsinya. Hingga kemudian sebuah nama tertera di sana. Dia memilih nama Ikram Ar-Rasyid. Segera saja muncul foto dan beberapa keterangannya.

“Apa yang tertulis di laporan polisi?” tanya Dr. James.

“Suamiku tertembak di dada dan punggungnya. Saat itu sedang mengejar Mat Codet. Aku ingin tahu dari pendapatmu apakah memang benar demikian? Ketika aku melihat tubuh suamiku aku melihat dua lubang, di punggung dan dadanya. Apa benar itu dari projectil yang sama?” tanya Olivia.

“Mungkin, karena pelurunya sama dan menurut pakar senjata itu adalah dari projectil senjata yang sering digunakan oleh pihak TNI. Melihat profil Mat Codet yang memang mantan anggota TNI bisa saja itu miliknya. Hanya saja....,” Dr. James tidak melanjutkan.

“Hanya saja kenapa dok?” tanya Olivia.

“Seorang Mat Codet tak akan menembak seseorang di punggung. Dan aku ragu dia melakukannya,” jawab Dr. James sambil tersenyum.

“Apa yang mendasarimu berpendapat seperti itu?”

“Kamu tahu sendiri bagaimana seorang Mat Codet, seorang mantan anggota pasukan khusus yang dipecat secara tidak hormat. Seorang mantan anggota pasukan khusus membunuh orang dari belakang, membunuh seorang komisaris polisi dari belakang bukan sikap seorang anggota pasukan khusus, apalagi dengan senjata api? Kamu tahu kalau aku seorang anggota pasukan khusus membunuh dari belakang tidak akan memakai senjata api, tapi...seperti ini!” Dr. James tiba-tiba bergerak cepat ke belakang Bripka Olivia mengunci lehernya kemudian meletakkan jari telunjuknya ke leher polwan cantik ini. Olivia yang tidak sigap tentu saja terkejut dan kaget. “Bayangkan jari telunjukku adalah pisau, tentu lehermu sudah robek. Seperti inilah pasukan khusus membunuh orang.” Dr. James kemudian melepaskan Olivia.

Bripka Olivia mengusap-usap lehernya sendiri. Ia berdebar-debar, hampir saja jantungnya copot karena ulah Dr. James tadi. “Maksudmu, Mat Codet tidak membunuhnya? Lalu siapa?”

“Kenapa engkau tidak melihat lagi filenya, Mat Codet dipecat dari kesatuan apa, lalu engkau bisa melacak siapa saja yang ikut bersama suamimu dalam penyerbuan dengan Mat Codet. Aku yakin kamu akan mendapatkan petunjuk dari sana,” jelas Dr. James.

Bripka Olivia mengangguk-angguk. Ia sepertinya penasaran dengan apa yang dijelaskan oleh Dr. James. Ia ingin segera keluar dari ruangan sang dokter, tujuannya tentu saja kembali ke markas. Sebelum ia keluar Dr. James memberikan kartu namanya, “Kalau kamu butuh sesuatu, hubungi aku. Rumahku tidak begitu besar, but very comfortable for me.”

Bripka Olivia menerimanya, “Terima kasih Dokter.”

“Just name please!” kata Dr. James.

“James?”

Dr. James mengangguk. Bripka Olivia pun segera pergi meninggalkan Dr. James.


* * *​


Bripka Olivia mengobrak-abrik file-file yang ada di ruang arsip. Dia kemudian melihat komputernya, dia pilah-pilah dan dicari semua laporan tentang hari-hari terakhir suaminya bekerja. Akhirnya dia mendapatkan laporan itu. Laporan itu ditulis oleh Briptu Ade Husini. Di dalamnya tertulis dalam penyerbuan terhadap Mat Codet. Penyerbuan itu sudah direncanakan dengan rapi, bahkan Mat Codet saat itu sudah terpojok, namun ia berhasil kabur dan menembak Kompol Ikram. Ada tiga petugas yang terlibat, yaitu Briptu Ade Husini, Kompol Lukman, dan Bripda Burhanudin. Melihat ada nama Lukman Bripka Olivia terkejut. Dia segera menuju ke ruang The Omega.

Begitu ia membuka pintu, dia langsung mendapati Lukman tampak berada di ruangannya. Olivia segera masuk di ruangan kaca itu. Wajahnya tampak tidak mengenakkan.

“Aku ingin tahu apa yang terjadi, menurut laporan Briptu Ade Husini, engkau berada di TKP. Ceritakan kepadaku!” pinta Bripka Olivia.

Lukman menarik nafas dalam-dalam. “Apa yang kamu dapatkan?”

“Apa yang engkau ketahui pada saat itu?” tanya Olivia. “Kenapa kamu tidak cerita bahwa kamu ada di TKP?”

“Baiklah,” Lukman bersandar ke kursinya sambil menatap Olivia dengan tenang. “Awalnya kita bisa mengetahui tempat persembunyian Mat Codet, kemudian kami pun mengumpulkan anggota dan berunding. Saat itu Ikram ikut serta dalam penyerbuan. Aku saat itu sebagai tim backup. Burhanudin dan Ade sudah maju ke depan bersama Ikram. Mereka masuk ke sebuah rumah, terdengar keributan di dalam rumah waktu itu serta baku tembak. Dari sana aku mendengar teriakan 'Mat Codet kabur! Mat Codet kabur!' segera aku berusaha mencegat dia di gang. Namun terdengar suara tembakan aku pun berlindung. Aku mengintip di gang terdengar suara tembakan lagi, aku segera masuk ke gang. Saat itulah aku melihat Ikram tergeletak di depan halaman rumah. Di sana ada dua orang, Ade dan Burhan. Mereka menggoyang-goyangkan tubuh Ikram sambil memanggil-manggil namanya. 'Dia tertembak, Mat Codet ke arah sana! Kejar!' Akhirnya aku pun mengejar ke arah yang di tunjukkan. Saat itulah aku mengejarnya tapi sayang sekali dia sudah dijemput oleh seseorang. Sekalipun aku memberikan tembakan peringatan tapi dia tak berhenti. Sayangnya aku tak sempat mencatat nomor kendaraan yang membawa Mat Codet pergi. Itulah yang terjadi.”

“Aku tak percaya ini, kenapa kamu tak bilang ini kepadaku?” tanya Olivia.

Lukman tidak menjawab.

“Kukira kamu adalah sahabatku,” kata Olivia.

“Kamu tahu, aku tidak enak mengatakan hal ini. Sebagai seorang sahabat aku gagal. Gagal melindungi suami sahabatku sendiri. Maafkan aku. Karena itulah aku tidak mengatakannya kepadaku. Maafkan aku,” kata Lukman.

Bripka Olivia kemudian duduk di kursi. Ia memejamkan matanya sambil memijat-mijat keningnya. “Katakan sebenarnya, kenapa Mat Codet sampai dikeluarkan dari TNI?”

“Dia dikeluarkan dari TNI karena suatu hal. Dia memergoki istrinya selingkuh dengan atasannya. Hal itu membuat dia sangat murka. Disaat dia sibuk menjadi pasukan elit untuk membela negaranya, istrinya malah tidur dengan atasannya. Hal itulah yang membuat dia akhirnya menghajar atasannya sendiri. Dia akhirnya dikeluarkan dengan tidak hormat. Setelah itu ia malah terjun ke dalam dunia hitam dan menjadi seorang kriminal,” jelas Lukman.

“Jadi begitu, tapi sungguh kenapa kamu tidak bercerita, hal ini benar-benar membuatku kecewa Lukman,” kata Olivia.

“Maafkan aku,” kata Lukman. “Apakah kamu menemukan sesuatu?”

“Tidak, belum,” jawab Olivia berbohong. Ia tahu bahwa ia telah menemukan petunjuk tentang kematian suaminya. Tapi dengan mengatakan bahwa ada pihak kepolisian yang terlibat ia tidak bisa gegabah. Dan yang ada di otaknya sekarang adalah ia ingin menyelidiki ini sendirian. Terlebih ketika Lukman tidak berkata jujur kepadanya, ia sekarang tak percaya kepada siapapun. Satu-satunya yang ia percayai adalah Dr. James.


* * *​


Senja mengubah warna langit menjadi bentuk sephia. Guratan-guratan awan berwarna kuning kemerahan dan lalu lintas padat merayap dipenuhi orang-orang yang pulang dari mencari nafkah. Para pedagang kaki lima yang mencari nafkah pada malam hari pun mulai menggelar dagangannya. Bripka Olivia sampai di rumah tepat ketika adzan maghrib bersahutan. Begitu melihat ibunya datang Zalianty langsung menyambutnya. Seketika itu penat yang dialami oleh Olivia hilang begitu saja.

Malam hari adalah waktunya bersama si buah hati. Sebagai seorang single parent hal itu harus dia lakukan agar si kecil mendapatkan perhatian. Zalianty sangat senang hari itu, dia belajar dan bermain bersama bundanya. Olivia bahkan mengantarnya tidur di kamar. Setelah pekerjaan rumahnya selesai, ia mengambil ponselnya dan menghubungi Dr. James. Dipandanginya kartu nama yang diberikan oleh dokter ahli forensik itu.

“Ya?” sapa Dr. James.

“Dokter, saya Olivia,” jawab Olivia.

“James please?”

“Eh, maaf. James. Aku ingin bicara, bisa bertemu besok?” tanya Olivia.

“Engkau sudah tahu?”

“Bisa jadi. Aku ingin bertemu. Cuma Anda yang sepertinya faham persoalan ini. Ada yang ingin aku diskusikan.”

“Fine, sayangnya.... saya hanya punya waktu malam hari. Tahu sendiri pekerjaan saya membuat sangat sibuk. Bagaimana kalau malam hari? Saya kebetulan ada undangan makan malam di sebuah restoran, itu kalau Anda tidak keberatan,” ajak Dr. James.

“Makan malam?” Olivia sedikit heran. Apa dia mau mengajaknya kencan?

“Jangan salah faham, saya tidak punya istri dan saya ada undangan makan malam bersama para petinggi rumah sakit. Saya tak punya rekan kerja di rumah sakit. Tak kenal dengan para suster yang sering begonta-ganti tiap bulannya, satu-satunya rekan kerja saya hanyalah mayat-mayat yang tiap hari dikirim oleh aparat yang berwajib. Karena kemarin Anda telah saya beri kartu nama saya, jadi saya anda menghubungi saya untuk ini dan bersedia,” kata Dr. James.

Olivia tertawa, “Right move! Alasan anda sempurna sekali untuk mengajak saya keluar.”

“Hahahaha, well... because I'm a doctor I guess,” canda Dr. James.

“Baiklah James, kamu aku jemput atau aku yang kamu jemput?”

“Biar aku yang menjemputmu,” jawab Dr. James. Dan pembicaraan mereka pun berakhir.


* * *​
 
Terakhir diubah:
Olivia sempat kebingungan memilih baju. Tahu yang menjemputnya adalah seorang yang belum menikah apalagi seorang dokter membuat dia jadi kebingungan, seperti seseorang yang kembali kepada masa puber. Akhirnya dia memilih gaun berwarna biru gelap dengan curve. Parfum Eau de Perfume pun disemprotkannya ke leher dan pergelangan tangan. Dia pun berpesan kepada babysitter-nya pulangnya agak malam. Jam tujuh jemputan pun datang. Dr. James memakai jas warna biru dengan kemeja berwarna abu-abu. Sangat resmi dan sangat tampan. Olivia jadi canggung.

“Wow,” katanya.

“Kenapa? Ada yang salah?” tanya Dr. James.

“Kamu sangat berbeda James,” jawab Olivia.

“Kamu juga sangat berbeda kalau sedang tidak bertugas,” kata Dr. James.

“Baiklah, mau terus merayuku atau segera berangkat?”

“Segera berangkat, ayo!” Dr. James mempersilakan Olivia masuk ke mobil sedannya.

Acara makan malam mereka adalah di sebuah restoran bergaya Eropa. Makanannya sangat lezat, Olivia memesan steak impor dimasak medium rare, demikian juga Dr. James. Satu ruangan hari itu dibooking oleh pihak rumah sakit. Kepala rumah sakit memberikan penghargaan kepada beberapa karyawan yang memang telah berjasa selama bekerja di rumah sakit. Dan penghargaan juga jatuh kepada Dr. James atas dedikasinya sebagai Dokter forensik yang bekerja sama dengan pihak kepolisian selama ini.

Malam itu Olivia dan Dr. James mengikuti makan malam dengan baik. Olivia menikmatinya dan mereka pun terlibat pembicaraan serius. Olivia menceritakan apa yang Lukman katakan.

“James, bagaimana menurutmu?” tanya Olivia.

Dr. James melihat sudut mata Olivia yang indah dan dia pun tersenyum. Wajah Dr. James memang kaku tapi menyiratkan kelembutan yang misterius. “Dia tidak berbohong.”

“Tapi dia menyembunyikan sesuatu dariku selama ini,” ujar Olivia.

“Trust me, aku sarankan engkau tidak mendekati Briptu Ade Husini ataupun Bripda Burhanudin. Terlalu berbahaya. Mereka salah satu pelakunya,” jelas Dr. James.

“Bagaimana kamu bisa simpulkan itu?”

“Semuanya sudah jelas. Mereka berdua berada di tempat kejadian dan suamimu tewas di sana dengan peluru bersarang di punggung dan dada. Dan seperti yang aku ceritakan Mat Codet tak pernah membunuh dengan cara seperti itu. Menembak punggung dan dada? Yang benar saja. Dari penjelasan Lukman saja aku sudah mengetahui bahwa Mat Codet sama sekali tak membawa senjata. Kalau memang ia membawa senjata maka dia akan membalas tembakan Lukman. Dia tak takut hanya dikejar seorang Lukman. Itulah yang terjadi,” Dr. James memberikan hipotesnya.

“James, ajak aku keluar!” ujar Olivia.

“Kemana?” tanya Dr. James.

“Kemana saja,” jawab Olivia.

“Baiklah, ayo!” Dr. James berdiri dan mengulurkan tangannya. Olivia pun bangkit dengan berpegangan pada tangan Dr. James. Mereka berdua pun keluar dari acara makan malam itu.

Mobil melaju memecah jalan raya yang sekarang sedang diguyur hujan. Weaver sedang menari-nari membersihkan kaca mobil Dr. James dari guyuran air hujan. Hujan kian deras membuat mobil-mobil berjalan lambat, bahkan kekhawatiran akan datangnya banjir sudah menjadi biasa di ibu kota sekarang ini.

“Boleh aku tahu di mana engkau tinggal?” tanya Olivia.

“Tentu saja,” jawab Dr. James.

Mobil kemudian menuju ke sebuah perumahan. Perumahan ini dipenuhi dengan bangunan tipe 52. Ketika melewati pos penjagaan Dr. James memberi salam kepada satpamnya. Mobil melaju lagi hingga melewati beberapa blok. Setelah sampai di sebuah rumah dua lantai dengan berbagai tanaman hias yang mengelilinginya barulah mobilnya berhenti.

“Kita sampai,” kata Dr. James.

“Rumahmu?” tanya Olivia.

“Lebih tepatnya menyewa. Aku tak pernah kepikiran punya rumah sendiri, mungkin nanti kalau aku sudah berkeluarga,” jawab Dr. James sambil diselingi ketawa kecil. Pria ini segera keluar dari mobil untuk membuka pagar setelah itu ia masuk lagi untuk mengemudikan mobil masuk ke dalam halaman rumah. Olivia keluar dari mobil dan Dr. James menutup lagi pagarnya.

Dr. James masuk ke dalam rumahnya terlebih dulu. Olivia cukup takjub dengan ornamen-ornamen dan lukisan-lukisan yang ada di rumah pria bujangan ini. Beberapa topeng tampak tersusun rapi di rak buffet. Sebuah sofa besar melingkar mengepung sebuah meja kaca berbentuk elips dengan hiasan vas bunga di atasnya.

“Mau minum sesuatu? Aku bisa buatkan,” kata Dr. James.

“Tak perlu repot, aku hanya ingin menenangkan diri,” Olivia menolak secara halus.

“Aku tak akan meracunimu, cuma air jeruk hangat agar engkau lebih rileks,” kata Dr. James.

“Baiklah,” Oliva pun setuju.

Lelaki ini melepaskan jas birunya dan melepaskan dasinya. Setelah itu ia taruh di sebuah kursi yang ada di meja makan. Dia kemudian mengambil dua buah jeruk dari dalam kulkas, setelah itu dia memotongnya potong menjadi dua. Buah jeruk itu diperasnya di sebuah alat setelah itu airnya ditambahkan dengan air hangat yang ada di dispenser. Dr. James kemudian menyuguhkannya kepada Olivia.

“Terima kasih,” kata Olivia. Dia kemudian menerima gelas yang berisi perasan jeruk hangat itu.

“Mau aku pijat? Ini akan membantumu untuk rileks,” Dr. James menawarkan sambil berdiri di belakang Olivia. Dia kemudian memijat-mijat pundak Olivia dengan lembut.

“Ahhh... iya, aku emang lelah akhir-akhir ini. Suamiku meninggal, sahabatku tidak berkata jujur, dan ada pengkhianat di kesatuan. Semuanya bertumpuk-tumpuk di kepalaku,” ujarnya.

Dr. James memijat-mijat pundak Olivia. Bau parfum Olivia dihirupnya, memberikan sebuah suntikan halus yang langsung menusuk ke dalam otaknya. Beberapa syarafnya beraksi atas pengaruh aroma yang melekat di tubuh sang polwan ini. Dr. James memijat di sekitar area leher, Olivia merasa enak dan nyaman. Perlahan-lahan James memberikan sentuhan di pundaknya yang terekspos. Gaun yang dipakai oleh Olivia merupakan gaun yang mana ada tali di pundaknya tali itu pun turun begitu saja tanpa diperintah. Olivia membiarkannya. Dari pijatan menjadi belaian. Entah sejak kapan tapi Olivia ingin belaian itu tetap ada.

Sang dokter kini membelai leher Olivia dengan jari telunjuknya, menelusuri setiap kulit yang ada di leher, pundak dan bahunya. Tubuh lelaki ini merendah, sekali pun ia lebih tinggi tapi karena tubuh Olivia sekarang sedang duduk ia merendah untuk bisa mencium aroma parfum yang ada di leher Olivia. Janda beranak satu ini tak tahu kenapa tiba-tiba wajahnya menoleh ke belakang dengan mata terpejam. Dr. James menyambutnya dengan sebuah pagutan. Rasa hangat langsung hinggap di dada Olivia, membuat jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Hanya saja ia merasa nyaman. Mungkin karena kenyamanan itulah kini James sudah ada di depannya dengan kedua bibir mereka masih melekat. James sekarang duduk di atas sofa sambil memegang wajah Olivia. Olivia mendorong James. Matanya menatap James dengan penuh tanda tanya. What's wrong with me? Itu batinnya.

“Maaf, aku... tidak melakukannya karena sengaja,” kata Dr. James.

“It's OK, teruskan!” ujar Olivia. Dia mengumpat kepada dirinya sendiri. Betapa bodohnya dia berkata seperti itu. Bukankah itu sama saja dengan ia memberikan kesempatan kepada James untuk menjamahnya lebih jauh. Seorang polwan yang kini dipagut lagi oleh seorang lelaki yang baru dikenalnya. Olivia tidak munafik, dia menyadar dirinya butuh sesuatu kehangatan. Hasratnya untuk bercinta masih ada, terlebih ia membutuhkannya. Dia sendiri yang membiarkan dirinya berada di dalam pelukan James. Dokter ini sekali pun usianya lebih tua tapi benar-benar bisa menguasainya.

Olivia melepaskan kancing baju sang dokter satu per satu, hingga tubuh bagian atas sang dokter terbuka. Sebuah badan yang tegap dan Olivia merindukan badan seperti ini. Badan atletis yang juga dimiliki oleh suaminya dulu. Dia mulai menciumi dada James. James hanya mengusap-usap kepala sang polwan memberikan kenyamanan sekali lagi, hingga kemudian Olivia membiarkan James melepaskan tali gaunnya, dan kini tubuh bagian atasnya terekspos. Gaun yang dipakainya ini merupakan model yang langsung ada bra, sehingga secara teknis ia tak memakai bra malam itu. Payudara Olivia masih terlihat kencang dengan putting berwarna merah kecoklatan. Matanya terpejam ketika James menghirup aroma payudaranya.

Sebagai seorang wanita apalagi seorang penegak hukum dia tentu saja tidak akan rela tubuhnya dijamah sedemikian rupa, tapi yang mendasari Olivia membiarkan James adalah ia sudah tak percaya kepada siapapun kecuali seseorang yang baru saja memberikan rasa nyaman kepadanya. Dia memang tak bisa melupakan suaminya, di sisi lain Dr. James merupakan orang yang sangat lihai memancing titik-titik sensitif dari libido seorang Olivia. Olivia menggigit bibir bawahnya pertanda ia mulai terbawa suasana. Dia tersentak ketika bibir James sudah mengenyot putting payudaranya yang seharusnya hanya untuk suaminya. Ah, lupakan suaminya. Suaminya tidak ada, sudah pergi. Dia toh sekarang sendiri lagipula ia juga butuh belaian, ia butuh kehangatan. Bukankah masuk akal kalau misalnya sekarang ia lebih mementingkan bagaimana nafsunya terbakar? Ya, itulah yang diinginkannya. Tubuh Olivia sedang terbakar, bahkan ia menurut ketika James menarik tubuhnya agar berdiri di hadapan lelaki itu. Gaunnya jatuh dan tubuh Olivia terekspos hanya memakai celana dalam berwarna putih dengan sebuah revolver bertengger di paha sebelah kirinya.

Olivia membantu James melepaskan belt pistol kaliber 36 itu sambil perlahan-lahan membiarkan James mengeksplor perutnya yang mulus. Gerakan berikutnya pistol berikut sarungnya itu dilemparkan ke atas sofa. Sedikit demi sedikit James menurunkan celana dalam berenda berwarna putih yang dipakai Olivia. Bulu-bulu halus di area kewanitaan yang selalu dirawatnya kini terekspos. Sebuah pemandangan yang memabukkan dilihat oleh James, laksana campuran anggur merah ataupun gin atau vodka. Tapi semuanya itu tak sebanding dengan pemandangan yang kini dilihatnya. Sebuah visual yang menggairahkan, erotis dan semua lelaki menyebutnya surga dunia.

Olivia tak tahu kenapa ia sangat ingin James menciumi area miliknya itu. Bukan berarti dia menjadi perempuan jalang sekarang. Tidak. Ia malah ingin James menjadi budak nafsunya untuk sesaat. Malam ini saja. Tidak lebih. James mengerti sinyal-sinyal yang disampaikan oleh Olivia, memberikan sebuah romansa klasik berbalut birahi yang sudah terbakar. Tubuh keduanya menghangat saat bibir James menciumi area privat yang seharusnya dijaga oleh Olivia. Olivia merawat area itu, bukan berarti ia ingin disentuh oleh lelaki lain, tapi sudah menjadi kebiasaannya ketika ia membersihkan area itu dengan sebuah sabun khusus. Semenjak di kepolisian tak pernah ada yang menyentuhnya seperti ini melainkan suaminya dan James. James dengan lembut mencium bibir kemaluannya yang merekah. Lidahnya menyapu, memberikan sebuah sapuan yang lembut tapi basah. Anehnya Olivia terangsang atas perlakuan James. Dan lebih aneh lagi dia membiarkan hal itu. Sangat tidak masuk akal.

James menyapu rambut hitam Olivia. Lidahnya seolah-olah merupakan sebuah alat yang mampu memberikan surga kenikmatan yang selama ini hilang. Olivia menginginkan lebih, ia memajukan pantatnya sehingga kepala James terbenam di dalam selakangannya. James pun merebahkan diri di sofa sementara Olivia naik ke sofa dan memberikan kemaluannya kepada James.

Tubuh Olivia berputar dan mereka dalam sekejap dalam posisi 69. Sebuah angka kode yang selalu diibaratkan dengan sebuah posisi dalam hubungan persenggamaan, posisi felatio yang bisa menambahkan keintiman dalam sebuah hubungan sex. Bukankah ini juga yang paling disukai oleh semua pasangan di dunia, yah tidak semuanya. Tapi ini lebih baik daripada sekedar hubungan seks konservatif. Olivia melepaskan celana yang dipakai James, kemudian menarik celana dalam yang dipakai oleh lelaki ini. Tampak sebuah benda, sebatang daging berwarna coklat dengan urat-uratnya yang menegang dimana aliran darah sekarang dipompa di area tersebut. Olivia kangen kepada benda ini. Ia langsung menjilatinya tanpa ada rasa jijik atau pun mual. Ia memasukkan kepalanya ke dalam mulutnya yang sekarang basah. Lidahnya menari-nari seperti ular yang kelaparan, menggelitik sisi kejantanan seorang James. James menikmatinya, sekaligus menikmati lendir yang keluar dari kemaluan seorang polwan yang kini pasrah tubuhnya dijamah. Olivia menikmati batang itu, berkali-kali ia melenguh saat titik-titik sensitifnya disentuh oleh lidah James. James juga mengerang saat telurnya dihisap, atau bahkan kedua telurnya sudah hilang dikulum oleh Olivia yang gemas dengan bentuk kejantanannya.

Suara ludah bercampur dengan batang kemaluan yang keluar masuk mulut Olivia makin menambah suasana menjadi erotis. Batang itu makin keras, demikian juga rasa menggelitik di kemaluan Olivia makin menjadi-jadi ketika lidah James makin masuk menggelitiki rongga kemaluannya. Pantat Olivia yang padat itu bergetar ketika syaraf-syaraf seksualitasnya sudah mulai tersentuh oleh batasan-batasan yang disebut dengan orgasme. Olivia menegang, bersamaan dengan itu semburan-semburan cairan kental dan bening membasahi wajah James. James menyudahi aksinya sementara Olivia terkulai di atas kedua pahanya sambil menghirup dalam-dalam aroma penis James yang sudah bercampur dengan ludahnya. Olivia merayap di atas tubuh James dan ia pun terlentang. Nafasnya terengah-engah dengan peluh membasahi dahinya. James kemudian bangkit, ia duduk memandangi tubuh Olivia.

Tubuh Olivia masih bagus, buah dadanya masih padat, kulitnya putih dengan putting merah kecoklatan. Buah dada itu sekarang naik turun bersamaan dengan nafasnya. Lengannya diletakkan di dahi sekarang membuat ketiaknya yang bersih tanpa bulu terekspos. Ketiak itu putih, halus, bahkan tak pernah ada tanda-tanda dicukur. Sementara itu perutnya tidak rata, sedikit buncit, tapi tidak gemuk, lebih cenderung semok, bukan montok. Pantatnya adalah sebagai pertanda. Wanita ini pasti sering melakukan senam. Bukan lebih tepatnya suka melakukan olahraga, tubuhnya benar-benar terawat dengan baik apalagi daerah kewanitaannya, sangat sempurna. Sekarang tempat itu sedang basah, becek dan lembab. Aromanya benar-benar menusuk hidung. James tersenyum sambil mendekati Olivia. Kini dia mendekatkan wajahnya ke wajah polwan ini. Sebuah ciuman yang dalam diberikan. Olivia memejamkan matanya, bukan berarti ia tak berani menatap wajah James, tapi ia malu karena orgasme bukan karena suaminya. James sangat gentleman. Dia hanya menindih Olivia dengan bertumpu pada lengannya. Dada mereka berhimpit dan keduanya sama-sama merasakan detak jantung masing-masing.

“Ohh... James, apa yang sudah aku lakukan?” bisik Olivia.

“Entahlah, engkau yang menginginkannya bukan?” kata Dr. James sambil membelai poni Olivia. “Kita sudahi? Aku tak apa-apa.”

“Sudah terlanjur, lakukanlah!” bisik Olivia.

“Kamu yakin?”

“Iya, aku yakin. Please be gentle!”

Perintah Olivia ini bagaikan titah seorang ratu bagi James. Dan titah itu harus dipatuhi. James tak ingin hubungan ini menjadi sebuah hubungan semalam saja. Itulah perasaannya sekarang. Terlebih James tahu seorang janda seperti Olivia pasti menginginkan hubungan yang tak hanya semalam saja. Lebih dari itu, hubungan ini adalah hubungan yang akan terjadi di mana dia dan Olivia saling membutuhkan. Batang kemaluan James sudah berada di lipatan garis kemaluan Olivia, kepalanya yang mengkilat dan keras sekarang berusaha untuk memasuki liang senggama yang tak pernah dimasuki selain oleh suami Olivia.

“Aaaaa....!” pekik Olivia saat batang itu mulai memasuki daerah pribadinya yang kini sudah becek dan licin. “James.... ohhh... kamu sudah masuk.”

“Iya, mau aku teruskan?” James sekali lagi meminta ijin padahal seharusnya tak perlu ditanya lagi pasti Olivia akan mengijinkannya.

“Kenapa kamu bertanya? Lakukanlah!”

“Aku takut kalau-kalau kamu akan menembakku dengan revolvermu,” goda James.

“Kalau kamu tidak bergerak aku akan menembakmu,” jawab Olivia dengan godaannya pula. Keduanya tertawa.

Setelah itu dimulailah fase persetubuhan panas. Batang James yang keras keluar masuk dengan lendir Olivia yang membasahinya. Liang senggama Olivia serasa penuh, mungkin karena lama tidak dimasuki, mungkin juga karena ia merasa batang James ini lebih besar dan keras. Kerasnya sempurna. James menghimpit tubuh sang polwan sambil menciumnya. Olivia seperti mabuk kepayang dengan perilaku james seperti itu. Terlebih James sangat lembut memperlakukannya, ketika akan menyentuh G-Spot miliknya James menekannya dan ketika meninggalkan area itu James sangat pelan. Hal itu memberikan efek kenikmatan yang luar biasa, vaginanya serasa digaruk-garuk, geli dan gatal. Sofa berderit, menandakan hentakan beban tubuh mereka ternyata tak mampu ditampung oleh benda yang ditutupi oleh bahan kulit itu. Sofa mahal itu menjadi saksi bagaimana persenggamaan itu terjadi.

James rupanya tak puas setelah beberapa menit ia menggenjot Olivia, ia ingin Olivia menungging. Olivia memutar tubuhnya. Baru saja ia menungging tiba-tiba James sudah masuk lagi kini dengan hentakan-hentakan yang lebih keras sambil tangan James meremas pantatnya yang padat.

“Aahhh.... James, terusss....ohhkkk.... sodok terus yang kencang. Ohh... kontolmu luar biasa,” kata Olivia. Tak biasa bagi seorang polwan seperti Olivia mengatakan perkataan seperti ini, tapi ini luar biasa. Di luar pikiran James.

“Apa kamu tadi bilang sayangku?” tanya James.

“Kontol James, kontolmu... Ahhh... menusuk rahimku...eehhhmmm!” lenguh Olivia.

“Memekmu juga sempit sayang, ahh... pantatmu benar-benar memabukkanku,” ujar James.

Keduanya bergoyang terus memacu birahi mereka. Mereka menikmati setiap erangan dan desahan. Bahkan ketika mereka berganti posisi lagi dengan Olivia duduk membelakangi James sambil kedua tangan dokter ini meremas buah dada Olivia. Ibu satu anak ini sudah kesetanan dengan penis James. Ia bergerak liar, memutar-mutar pantatnya membuat batang James keenakan.

“Ohh.. James, posisi ini bikin aku cepat keluar.... aaahhhhh!” Olivia memekik keras ketika ia akan menuju puncak lagi. Gerakan pantatnya meliuk-liuk bagaikan gada-gada yang tertiup angin. Batang James serasa dijepit dengan erat, sensasinya tentu saja ngilu-ngilu nikmat terlebih Olivia langsung ambruk di atas sofa karena orgasme panjangnya.

James seakan-akan tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, ia posisikan tubuh Olivia terlentang. Kini dengan sisa-sisa tenaganya Olivia membiarkan James membuka lebar kedua pahanya dan James memasukinya lagi. Posisi misionari ini kini menjadi posisi terakhir yang diinginkan oleh James, ia ingin mengaduk vagina Olivia sambil melihat bagaimana reaksi wajah cantik sang polwan. Batang James menusuk lagi dan kini lebih dalam membuat semua batangnya hilang ditelan oleh liang senggama Olivia.

“Aaaahhhh!” jerit Oliva berkali-kali ketika James terus menghujamkan sedalam-dalamnya batang kemaluannya ke dalam liang senggamanya.

James makin cepat bergoyang. Olivia tahu bahwa lelaki ini sudah akan mencapai puncaknya. Ia membiarkan apa yang dilakukan oleh James. Dibiarkannya lelaki itu meremas-remas payudaranya yang sekal. Memilin putingnya hingga ia menjerit keenakan. Dan ketika James akan sampai kepada puncaknya Olivia seakan-akan merasa batang itu makin keras dan berkedut-kedut. Vaginanya mencengkram kuat membuat batang James seperti di remas kuat. Ia bergoyang makin keras, makin cepat hingga kemudian dihujamkan sedalam-dalamnya saat semburan kuat berkali-kali memancar dari batang penis besar miliknya yang kini tertanam sempurna membanjiri rahim Olivia.

“JAAAAAAMMMMMMEESSS AAAAAHHHKKK! Fuuuccckkk! Aaaahhhh....!” Olivia menjerit keras ia tak peduli kalau pun suaranya didengar oleh para tetangga.

James menindih Olivia dan memberikannya kecupan-kecupan lembut sebagai pertanda pertempuran telah berakhir. Sementara itu ia tak ingin melepaskan batang pusakanya dari dalam liang senggama yang becek bercampur sperma dan lendir kewanitaan. Keduanya kemudian tertidur sambil berpelukan di sofa. Olivia tampak merasa nyaman dan tersungging senyum di bibirnya.


* * *​


Jam menunjukkan pukul tiga pagi ketika Olivia menggeliat terbangun dari mimpi. Dia melihat James juga terbangun di sebelahnya sambil memeluk erat dirinya. Kepalanya diciumi bertubi-tubi. Wanita memang akan merasa nyaman kalau dicium seperti itu.

“James,..,” suara Olivia lirih.

“Tak usah bicara, kita sama-sama menikmatinya bukan?” tanya James.

Olivia mengangguk.

“Maka dari itu biarlah ini semua mengalir,” lanjut James. “Kamu tak perlu bertanya bagaimana ini semua terjadi, terkadang segala sesuatu terjadi begitu saja.”

“Aku harus pulang,” bisik Olivia.

“Kenapa?”

“Anakku nanti mencariku, James. Aku harus pulang,” kata Olivia manja.

“Aku takut besok tidak bisa melihatmu lagi,” kata James.

“Oh tidak, jangan bilang kamu jatuh cinta.”

“Maybe.”

“James... kamu baik tapi...”

“Aku tahu, kamu masih teringat suamimu. Aku bisa mengerti. Setidaknya aku sudah mengetahui bahwa aku mulai jatuh cinta kepadamu.”

“Oh... James.” Keduanya berciuman lagi. Olivia kemudian bangkit dari sofa. “Boleh aku pinjam kamar mandinya. Aku tak mau pulang dengan bau seperti ini.”

“Ayo, aku tunjukkan,” kata James mengajak Olivia menuju ke kamarnya. Di sana ada sebuah kamar mandi.

James dan Olivia masuk ke dalam.

“Kamu tak perlu ikut James. Aku bisa mandi sendiri,” kata Olivia.

Tapi James merespon lain. Dia memeluk Olivia, lalu memagutnya lagi. Sepertinya baru saja menemukan mainan baru, James kembali lagi menjelajahi tubuh Olivia. Olivia tahu apa yang terjadi dia pun pasrah ketika James memeluk, menciumnya dan batang kemaluan James menempel dengan keras di perutnya. James kemudian duduk di pinggir bathup. Olivia pun duduk di atas pangkuan James. Perlahan-lahan Olivia menempatkan batang kemaluan James memasuki liang senggamanya.

Dengan sedikit hentakan ke bawah penis James melesak masuk. Seakan tak percaya Olivia merasakan lagi rongga kemaluannya sudah penuh oleh batang James yang sudah keras. James menggerak-gerakkan pantatnya membuat Olivia kembali terbakar birahi.

“Ohhh... James, kamu membuatku terbakar,” bisik Olivia dengan mendesah.

Bukan Olivia saja yang terbakar, tapi James juga demikian. Dia mengulangi lagi pergumulan yang panas di kamar mandi. Olivia terus menggerak-gerakkan pantatnya. Batang James dilahap dengan sempurna di dalam liang senggamanya sambil digerakkan berputar. Keduanya terus berusaha menuju puncak sekali lagi. Tapi sepertinya Olivia akan sampai lebih dulu, dia makin tak terkendali. Gerakannya liar.

“Jamessss....ssshhhh aaahhhh,” suara Olivia membuat kamar mandi makin berisik oleh desahan-desahan nafsu.

Sekarang Olivia menjadi sang nahkoda yang mengendalikan keadaan. James memang membiarkan hal itu. Ia tahu makhluk satu ini sedang dalam masa-masa di mana dirinya tak bisa dikendalikan. Olivia sepertinya ingin mencurahkan rasa kerinduan kepada suami yang dicintainya. James menerka bahwa Olivia sekarang sedang membayangkan dia bercinta dengan suaminya. Tebakannya bisa jadi benar. Olivia lebih banyak memejamkan mata selama bercinta, ia bahkan sesekali saja menatap James, selebihnya menghindari kontak mata secara langsung. James merasakan vagina Olivia berkedut-kedut, sebentar lagi janda beranak satu ini akan mendapatkan orgasmenya. Dan benar saja. Tubuh Olivia melengkung dengan kepalanya mendongak sambil mulutnya menganga. Lendirnya keluar dan menyemprot berkali-kali membasahi batang kemaluan James. Olivia mengejang sambil mencakar punggung James sedangkan pantatnya menekan kuat.

“Kamu belum keluar James?” tanya Olivia.

“Belum sayang,” jawab James.

Olivia kemudian beranjak dari pangkuan James. Dia lalu menghidupkan shower. Pancuran air pun membasahi rambut polwan cantik ini. James mendekat dengan batang penisnya yang masih mengacung. Olivia menungging memberikan liang surgawinya kepada James. Lelaki ini tak perlu menunggu, dia langsung memasukkannya.

“Ohhh.... luar biasa, batangmu keras sekali,” ujar Olivia.

Setelah itu kembali hentakan-hentakan bertenaga dari James menyerang Olivia. Kedua tangan Olivia bersandar ke tembok, sementara James menggapai payudaranya dan meremas-remasnya dengan gemas. Selakangan mereka beradu, berhimpit seperti tak ingin lepas begitu saja. Olivia mengimbangi hentakan-hentakan James dengan memutar-mutar pantatnya. Dia begitu kesetanan dengan batang penis James. Ia sudah tak bisa lagi berfikir apakah perbuatannya salah atau benar. James mengalihkan tangannya membelai punggung Olivia yang mengkilat terkena cahaya lampu kamar mandi, kemudian dia memegang pinggang Olivia dan berusaha melesakkan penisnya sedalam-dalamnya ke dalam liang surgawi Olivia. Sekalipun sebenarnya itu sudah benar-benar mentok bahkan menyentuh mulut rahim Olivia. Gerakan-gerakan James makin cepat membuat Olivia tahu kalau pasangan senggamanya ini juga akan sampai.

“Sayang, boleh aku keluarkan di mulutmu?” tanya James.

“Iyaahh... ayo yang cepat! Aku juga ingin sampai,” jawab Olivia.

Segera James mempercepat gerakannya lagi dan benar saja Olivia menegang dan mencengkram dengan kuat batang penis James dengan otot-otot vaginanya. James juga akan orgasme. Dia mendorong Olivia, segera saja Olivia berbalik lalu berlutut di depannya membuka mulutnya. James memasukkan kepala penisnya ke dalam mulut Olivia sambil mengocok dengan kuat batang penisnya. Semburan-semburan sperma kental masuk ke dalam mulut Olivia. Mulut polwan cantik ini sekarang telah dilecehkan oleh seorang lelaki yang bukan suaminya. Tapi Olivia tak marah atau pun melawan. Ia melakukannya dengan sadar dan atas kemauan dia. James berkejat-kejat, sampai spermanya benar-benar habis dan dihisap semuanya oleh Olivia. Beberapa tetes meleleh di mulut Olivia. James lemas dan duduk di tepi bathup. Olivia tersenyum kepada James. Ia membuka sedikit mulutnya sehingga sperma yang ditampung di mulutnya tadi meleleh lalu tumpah di atas payudaranya yang sekal. Olivia meratakan sperma itu di sana. Ah, pemandangan yang sangat bitchy bagi James. Mereka pun mengakhiri persenggamaan malam itu.


* * *​


Setelah Dr. James mengantarkan Olivia pulang ke rumahnya pagi itu, dia dan sang polwan jadi makin dekat. Dan bisa ditebak setelahnya, keduanya hanya berjumpa untuk bercinta. Mereka janjian ketemu lalu bercinta, hampir setiap ketemu seperti itu. Untuk sesaat Olivia melupakan apa yang dicarinya di divisi Omega. Namun James sepertinya menyembunyikan sesuatu dari Olivia. Beberapa kali mereka berjumpa lagi tapi James bersikap aneh, ia lebih banyak diam. Hingga suatu hari mereka bertemu di rumah sakit lagi.

“Apa yang terjadi?” tanya Olivia.

“Tidak ada,” jawab James.

“Ayolah James, kamu tak bisa membohongiku. Ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari raut wajahmu itu,” ujar Olivia.

“Aku mencintaimu, Olivia,” kata James.

“Aku tahu itu, tak perlu engkau sembunyikan. Aku juga,” katanya. “Kamu sudah makan? Bagaimana kalau kita makan siang?”

“Olivia, aku ingin bicara serius denganmu. Please?!”

“Baiklah, silakan,” kata Olivia sambil menampakkan senyumannya yang khas.

James menghela nafas. Dia sedikit menjauh dari Olivia. Ruang kerjanya sepi. Biasanya mereka bercinta juga di ruang kerja ini kalau ada kesempatan. James masih teringat ketika ia mengarap polwan ini di atas mejanya. Tapi ini bukan saatnya mengingat saat-saat itu. Sudah hampir sebulan hubungan mereka dan James sangat mencintai Olivia.

“Aku tidak pernah jatuh cinta seperti ini Olivia, tidak pernah. Aku pernah jatuh cinta, tapi aku menganggap mereka yang pernah singgah adalah sebuah objek dari sebuah eksperimen. Tapi engkau beda. Ada sesuatu yang tidak dimiliki oleh mereka ada padamu,” kata James.

Olivia penasaran.

“Aku tahu kamu selalu menempuh bahaya Olivia, tapi kali ini aku tak ingin kamu terluka atau kenapa-napa,” kata James.

“Hahahaha. Apaan sih? Bercandamu tidak lucu James. Sudahlah, aku tak akan percaya dengan cara bercandamu seperti itu,” kata Olivia.

“Aku ingin membantumu selama ini. Aku telah mengumpulkan beberapa catatan mengenai Ade Husini dan Burhanudin. Mereka berdua ada persoalan dengan suamimu,” jelas James. Dia kemudian pergi ke mejanya. Dia lalu mengambil sebuah berkas di dalam lacinya lalu meletakkannya di atas meja. “Bacalah berkas ini! Setelah ini terserah apa yang ingin engkau lakukan, tapi aku menyarankan engkau jangan bertindak bodoh.”

Dengan terisak, Olivia membuka berkas itu. Di sana ada data-data yang membeberkan apa yang telah dilakukan oleh Briptu Ade Husini. Dia pernah terlibat penggelapan barang bukti narkoba yang kemudian diketahui oleh Kompol Ikram ArRasyid suaminya. Kemudian Bripda Burhanudin juga melakukan tindakan yang tak kalah heboh, dia memalsukan data barang bukti narkoba. Hal itu juga diketahui oleh Ikram ArRasyid. Kedua polisi itu pernah diskors atas perilaku itu, namun atas kelakuan baik mereka hukuman itu sangat ringan.

“Kedua orang itu punya motif kuat untuk membunuh suamimu, aku sarankan engkau tidak berbuat hal yang bodoh. Berikan itu kepada Komisaris Lukman. Biar dia yang melakukan hal yang selanjutnya,” kata James.

Olivia menghapus air matanya. Dia menyarungkan lagi revolvernya lalu mengambil berkas itu. James berusaha menyusulnya.

“Olivia tunggu! Dengar jangan bertindak gegabah!” kata James.

Olivia tidak mengindahkan panggilan James. Hari itu Olivia segera pergi menuju ke markas. Ia ingin menemui kedua orang yang ada di berkas yang dia bawa. Dia segera menelpon Lukman.

“Lukman?!” sapanya.

“Olivia? Kamu kemana saja?” tanyanya.

“Di mana Ade Husini dan Burhanudin?” tanya Olivia.

“Dia ada di markas, kenapa?”

Olivia menutup teleponnya dan segera menuju ke markas Polda Metro Jaya. Segera ia memarkir mobil dan langsung naik ke tempat meja kerja kedua orang itu. Kebetulan mereka berdua berada di satuan reserse. Olivia bertanya-tanya di mana dua orang itu berada, ternyata mereka berdua sedang berada di ruang barang bukti.

Olivia langsung masuk ke sebuah ruangan yang di dalamnya terdapat banyak rak-rak barang bukti. Tak ada siapapun kecuali seseorang yang sedang mencatat sesuatu. Dia adalah Briptu Ade Husini. Ketika Olivia masuk dia sangat terkejut.

“A-ada apa?” tanya Ade gugup.

“Aku tahu semuanya, engkau yang telah membunuh suamiku bukan?” tanya Olivia.

“Tunggu dulu, kenapa kamu bisa punya prasangka seperti itu?”

“Aku tahu, engkau pasti mengambil pistol Mat Codet kemudian menembakkannya ke suamiku. Itu semua engkau lakukan karena dendam dengan suamiku yang memergoki kamu mengambil barang bukti narkoba. Tak kusangka kamu benar-benar seorang yang biadab,” Bripka Olivia mengeluarkan revolvernya.

“M-mau apa kau?” tanya Ade.

“Aku ingin menembakmu. Aku akan mengirimmu ke neraka. Manusia seperti kamu tak pantas untuk hidup,” jawab Olivia.

“Oke, oke, aku minta maaf. Sorry, tapi ini bukan ideku. Ini ide Burhanudin. Dia yang menarikku untuk melakukan ini semua,” kata Ade sambil mengangkat tangannya. “Turunkan pistolmu, kita sedang ada di markas.”

“Aku tak peduli....,” kata Olivia. Tentu saja perasaannya sekarang sedang berkecamuk. Dia teringat dengan semua perlakuan suaminya yang lembut, namun dengan teganya orang yang ada di hadapannya ini menghabisi nyawa suaminya begitu saja. Ini tentu saja tak bisa dibiarkan. Dendam yang ada di dalam dadanya tak bisa lagi dibendung. Hammer di pelatuknya ditarik. Ia sudah bersiap untuk menarik pelatuknya.

“Bripka Avvy Olivia, tolong jangan lakukan ini! Kita semua punya keluarga bukan? Ingat anakmu, ingat keluargamu!” kata Ade memohon.

“Apakah kamu juga pernah berpikir begitu ketika menembak suamiku?” tanya Olivia.

“Bukan aku yang menembak tapi Burhanudin!” kata Ade.

“Aku tak peduli, kalian akan aku habisi semua!” mata Olivia berkaca-kaca. Ia benar-benar sudah gelap mata. Ia lupa bahwa dirinya adalah aparat penegak hukum.

DOR! BRUK!

Tubuh Olivia ambruk dengan kepala berlubang. Darah mengalir di kepalanya. Di belakangnya ternyata ada seorang polisi yang menembaknya. Dia adalah Burhanudin.

“Kenapa kamu tembak dia?” tanya Ade.

“Kamu ingin aku bagaimana, membiarkan dia menembakmu? Lagipula dia sudah tahu semuanya. Aku tak mau mengambil resiko!” jawab Burhanudin.

Hari itu Polda Metro Jaya dihebohkan dengan kematian Bripka Olivia yang tragis. Tentu saja Ade Husini dan Burhanudin memalsukan laporan bahwa Bripka Olivia ingin menembak Ade dan terpaksa Burhanudin menembaknya. Satu orang yang tidak percaya akan hal itu adalah Lukman. Sebagai sahabatnya ia tahu apa yang dilakukan oleh Olivia yang sembarangan menembak itu tidak wajar sama sekali. Sayangnya kasus itu tak berlangsung lama.


* * *​
 
TAP! TAP! TAP! DOK! DOK! DOK!

Bripda Burhanudin terbangun. Dia seperti mengalami mimpi buruk. Ia mengejap-ejapkan mata, kemudian ia terkejut karena mendapati tubuhnya terikat. Tangan dan kakinya diikat dengan sangat kuat. Tak hanya itu di depannya ada Ade Husini yang mana posisinya sama seperti dirinya terikat. Mereka berdua masih berseragam lengkap.

Burhanudin bingung, ia sama sekali tak ingat bagaimana ia bisa berada di tempat ia sekarang dengan tangan dan kaki terikat. Ia mencoba mengingatnya dengan kepala pusing. Terakhir kali dia baru saja melakukan apel pagi rutin seperti biasa, setelah itu ia harus pergi bersama Ade Husini untuk wajib lapor ke markas Polisi Militer sebagaimana hukuman mereka dulu yang telah mencuri barang bukti. Lalu tiba-tiba dia tidak sadar.

“Sudah bangun?” tanya seseorang.

Burhanudin menoleh ke arah sumber suara. Dia mendapati seseorang dengan baju yang sangat rapi. Memakai jas biru dan dasi. Berpakaian rapi tapi semuanya ditutup oleh sebuah mantel hujan plastik tembus pandang, lengkap dengan penutup kepalanya. Usianya sekitar empat puluhan taksirnya. Wajahnya sebenarnya bersahabat tetapi ada nuansa aroma psikopat kental yang keluar dari sudut matanya. Mata itu bukan mata yang bersahabat, menatap tajam hingga menusuk jantung kepada siapa saja yang berhadapan langsung.

“Siapa kamu?” tanya Burhanudin.

Lelaki itu membawa sebilah kapak besar di tangan kanannya. Suara ketukan tadi ternyata dari kapak itu. Kemudian dia mengangkat kapak tersebut dengan kedua tangannya, setelah itu mengayunkannya ke kepala Ade Husini.

CROOSSSSTTTTTT!

Langsung saja dari tebasan kapak besar itu membuat kepala Ade Husini terbelah menjadi dua secara melintang, namun tidak terlepas begitu saja. Kepalanya teriris separuh dengan belahannya masih menempel. Bentuknya benar-benar persis seperti kulit kacang yang baru saja dikupas. Otaknya terlihat dengan darah mengucur seperti air mancur. Darah Ade Husini muncrat mengenai mantel hujan yang dipakainya. Burhanudin menjerit.

“Aaarrgghh! Apa yang kamu lakukan? Siapa kamu? Siapa?” tanyanya. “Kenapa kamu melakukannya?” Burhanudin gemetar, ia tak menyangka rekannya sudah tewas dihadapannya. Dia menganggap ini cuma mimpi tapi ia bisa merasakan semuanya. Ini berarti bukan mimpi.

Lelaki ini tidak diam begitu saja. Ia tersenyum di sebelah kepala Husini yang sudah terbagi menjadi dua melintang tepat di hidungnya. Burhanudin terbelalak ngeri.

“Kenapa kamu ketakutan melihat kematian? Bukankah kamu telah membunuh Ikram ArRasyid? Bahkan istrinya juga kamu bunuh, bukan?” tanya lelaki itu.

“Hii...i-iya, aku minta maaf. Aku minta maaf, i-itu... itu... aku terpaksa melakukannya. Maafkan aku, lepaskan aku!” Burhanudin memohon sambil menangis. Dia sekarang benar-benar ketakutan bahkan sampai terkencing-kencing. Merasa nyawanya sudah berada di ujung tanduk.

“Kamu tak perlu khawatir, aku tidak akan membunuhmu sekarang. Aku akan memakan tubuhmu setiap bagian satu per satu hingga akhirnya aku akan memakan otakmu, kamu tahu save the best for the last? Itulah motoku,” kata sang lelaki ini. Dia mendekat ke Burhanudin. Polisi ini gemetar ngeri, terlebih wajahnya sekarang dijilat oleh lelaki ini. “Hmm... lezat sekali, seperti yang kubilang, save the best for the last”

Burhanudin menjerit, ia berteriak-teriak tapi tak ada yang bisa mendengarnya. Dia sekarang tenggelam dalam kegelapan. Dia hanya bisa menunggu detik-detik kematiannya setelah satu per satu organ tubuhnya hilang dan dimakan oleh lelaki ini. Ia bahkan menikmati live show bagaimana tubuhnya dimasak dan dimakan oleh sang kanibal.


* * *​


TOK TOK TOK!

Pintu terbuka. James melihat Lukman berada di depan pintu. “Pak Lukman?”

“Dokter, boleh saya masuk?” tanyanya.

“Silakan!” jawab Dr. James.

Lukman kemudian masuk ke dalam rumah sang dokter. Lukman cukup takjub melihat berbagai benda seni yang ada di dalam ruang tamu. Ia agaknya sedikit terlupa kenapa ia datang ke tempat dokter forensik ini karena terkesima dengan berbagai benda-benda seninya.

“Maaf mengejutkan Anda,” kata Lukman.

“Tak apa-apa, ada apa gerangan?” tanya Dr. James.

“Aku mohon maaf. Aku tahu kamu akhir-akhir ini dekat dengan Olivia, aku juga sangat bersedih kehilangan sahabatku. Aku hanya ingin memberitahukan bahwa aku sudah tahu siapa pembunuh Olivia. Mat Codet sudah berhasil ditangkap dan dia memberi kesaksian bukan dia yang membunuh Kompol Ikram. Dari sini saya mengetahui kalau pembunuhnya adalah Ade Husini dan Burhanudin, mereka berdua berkelompot. Sementara ini kami tak tahu mereka berdua berada di mana karena menghilang begitu saja. Mungkin mereka mengetahui bahwa kejahatan mereka sudah terendus oleh Olivia makanya mereka melarikan diri setelah membunuh Olivia. Aku ke sini hanya ingin memberitahukan itu,” terang Lukman.

Raut wajah Dr. James tampak sedikit bersedih mengingat Olivia. Ia tak bisa bicara apa-apa.

“Maafkan saya Dok, sebaiknya saya pergi. Mungkin itu bisa membuat hatimu sedikit lega, tapi kami akan tetap mengejar kedua oknum polisi ini. Anda bisa percayakan kepadaku. Olivia dan suaminya juga adalah sahabatku. Kalau Anda butuh apa-apa bisa menghubungi The Omega. Divisi ini sekarang yang menangani kasus Olivia,” kata Lukman sambil memberikan sebuah kartu nama. James menerimanya. “Permisi,” Dia kemudian pergi meningalkan James.

James kemudian terisak dan menangis. Ia duduk di sofanya dan menutupi wajahnya. Tangisan yang memilukan, tangisan seseorang yang kehilangan kekasihnya. James tak akan bertemu dengan Olivia lagi, tetapi dia akan tetap menyimpan memori indah dengan polwan cantik ini, polwan cantik yang telah mengubah hatinya.

Setidaknya setelah pemakaman Olivia, semua aparat berkabung sekaligus semua pejabat yang menenal baik Olivia juga berkabung. Dr. James ada di pemakaman itu, saat itulah Lukman mengetahui sedekat apa hubungan James dan Olivia. Tapi sekalipun sekarang James bersedih karena Olivia tetap pergi, namun ia tetap bisa memeluk tubuh Olivia, tetap bisa bermesraan dengan Olivia karena tubuh Olivia sudah diawetkan olehnya dan sekarang berada di kamarnya.

The End

Terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan dalam pembuatan cerita ini.
Di antaranya:

@Jaya_suporno
@eliza
@Megatron21
@Shibuya
@Reditya

Selamat membaca.
 
Akhirnya rilis juga cerita dari om Arci.

Bookmark dulu, nanti malam :baca: biar lbih greget.

:beer:
 
Yg ditunggu-tunggu akhirnya rilis jg... Ane ninggalin jejak dulu ya hu...
 
kyaaaaa... kenapa ada nama akuu.. :aduh:
btw, ada typo tuh... paragraf pertama padahal... ku save dulu buat dibaca ntar malam :kacamata:
 
Posting dulu, koreksi typo belakangan.

:pandaketawa:
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
kisah cinta sang kanibal :takut:

kl bukan lomba mungkin bisa diperpanjang lagi ceritanya :D
 
Ini teaser untuk cerita baru ane nanti setelah ILYB tamat. Judulnya "OMEGA"
 
Dr king beraksi lg.
Adegan sadisnya kurang berasa suhu.
 
ane mau kasih gambar yg bikin muntah, tapi nggak jadi :D
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd