Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA The Measure Of Happiness

Status
Please reply by conversation.
PROLOG



“Rifaaan! Kamu ga lupa kan pesenan Mama?” Suara teriakan wanita menggema begitu jelas kala aku baru saja turun dari mobil yang terparkir sedikit miring di garasi. “Kamu gak lupa kan beli rotinya, Sayang?”

Aku pun menjawab serak, “Beres, Ma. Mission accomplished!”

Kakiku masih terasa gontai kala itu, saat kubuka pintu masuk dan pelan melangkah. Aroma segala jenis makanan seketika membelai hidung. Well, hmmm, inilah dapur, ruangan paling favorit di rumahku ini yang sarat kenangan. Kutaruh sebongkah bungkusan besar plastik di atas meja.

“Kornet kaleng, sarden, keju, roti…,” gumamku pelan menggaruk-garuk kepala, memeriksa belanjaan. Serius 100%, yakin nggak ada yang salah. Kubuka sejenak gagang penutup kulkas. Segenggam kaleng kopi nescafe dingin pun serta merta menemaniku membanting lemas tubuh duduk di atas kursi kayu.

Hufffh, benar-benar hari yang melelahkan. Padahal, ini masih pukul 9 pagi, di hari Minggu nan cerah. Namun kondisi mataku masih terasa ngantuk bak dihajar buku teori Mikroekonomi belasan jam. Andai tadi aku tak memasang konsentrasi gila-gilaan waktu mengemudi, mungkin aku sudah menabrak sesuatu.

Meskipun… mungkin sepertinya lebih baik begitu.

“….”

Anyway, mungkinkah ini efek begadang semalaman plus party party gak jelas?

Hahaha, bukan ‘mungkin’, tapi sudah pasti! Memang, gara-gara apa lagi?

“Nanti dimasukin kulkas aja ya, Sayang. Mama mau ke kampus dulu sebentar. Ada jadwal kuliah,”

Mataku mendelik lemah, menatap sesosok wanita cantik berpakaian rapi dengan blazer hitam nan licin berpadu rok ketat senada yang tetiba muncul di depanku. Bunyi ketukan heels tingginya menghentak nyaring, saat ia membereskan beberapa perabot masak yang berserakan.







“Hari minggu gini, Ma? Ngajar kuliah?” Aku bertanya.

“Iya.” Wanita yang sudah lama kutahu berprofesi dosen itu berbalik, menampilkan senyum lebarnya yang aku rasa genit. Tak salah rasanya bila dulu Papa pernah berkata bahwa calon istri barunya ini sangatlah ‘energetic’. Clarista Devianti namanya. Dulu, sering kusebut Tante Clara. Dan, aku sering menduga ada semacam batere nuklir berkekuatan tinggi di balik punggungnya.

Damn… ‘Mama’ baruku ini—wanita berambut cokelat sebahu berusia 45 yang parasnya masih tegurat muda ini, benarlah sungguh lincah! Seriously. Mungkin, gara-gara sebab itulah Papa yang lama broken heart akibat ditinggal mama kandungku tersayang kesengsem oleh pesona tante Devi.

Mama kandungku telah meninggal ketika aku masih berusia tiga belas. Dan Sekarang, aku sudah berusia 20 tahun—semester dua kuliah. So, bisa dibayangkan, kan, betapa lamanya Papa menghabiskan malam hanya ditemani oleh sebatang GULING? Well, no comment lah soal ‘kehidupan’ Papa bersama teman-teman sepergaulannya yang tak aku tahu. Yang jelas, cukup lama Papa tak merasakan hangatnya dekapan seorang istri.

Selain itu, jujur saja, dilihat dari mataku sebagai seorang lelaki normal, lekukan tubuh serta kecantikan oriental tante Clara pun sangatlah aduhai. Umur 45 tapi watak serta penampakan masih layaknya 25 tahun. Terbentuk dari hobinya yang rajin fitness serta memelihara kemulusan lagi kekencangan bad—

“Rifan! Kamu lagi ngelamunin apa, sih?”

Sergahan Tante Clara tak ayal membuyarkan lamunanku, lamunan mengenai seksinya ibu tirku dalam balutan baju senam aerobik. “Mama ada jadwal ngajar kuliah S2 kelas eksekutif, Sayang. Sebentar aja, cuma satu sesi. Nanti siang juga Mama udah pulang, kok.”

“Oh, i-iya, Ma,” tukasku singkat.

“Mama berangkat dulu, ya, Sayang.” Sahut Tante Clara sembari mencium pipiku, meraup kunci mobil di tanganku yang terangkat lemah.

Bye, Honey.”

“Yooo,”

Taktoktaktok

Aku terpejam, menengadahkan kepala. Kudengar sayup-sayup suara heels nan menggoda Tante Clara hilang menjauh. Bayangan lenggok lincah pantat bulatnya tak terelakan di otaku. Yeah, otaku yang cabul.

“….”

Mommy… Ifan pengen susu… pengen nyusu ama mommy…

“….”

Eh? Kayak ada sesuatu yang lupa? Tapi apa y—

“ARVAAAN! KAMU JANGAN MINUM-MINUM LAGI, YA! MAMA GA SUKA!”

Ah, iya, botol Tequilla di jok depan.

Bibir mulutku pun menguap lebar kala kudengar sebuah teriakan dari dalam garasi, keras menggema, disusul nyaringnya deru mesin mobil.





===========================​





Oh, the shark, babe

Has such teeth, dear

And it shows them... pearly white

Just a jack knife

Has old MacHeath, Babe

And he keeps it... out of sight




Alunan lembut lagu jazz lawas Mack The Knife versi Michael Buble bergaung pelan saat kulanjutkan langkah melewati ruang tengah menuju tangga ke lantai dua. Rupanya, si Dosen Cantik nan Montok yang secara tulus sudah kupanggil ‘Mama’ itu lupa mematikan musik. Sebuah flashdisk kecil tampak menancap kokoh di samping TV Flat sana. Lupakan. Tak ada file-file nakal di dalamnya. Pernah iseng kuperiksa, hanya kumpulan lagu romantis beserta foto-foto kencan membosankan kala Tante Clara berbulan madu dengan Papa di Tokyo, Jepang.

Hmmm… kalau aku berada di posisi Papa, mungkin sudah ku-entot habis-habisan perempuan cerdas bergelar doktor itu layaknya menggagahi bidadari khayangan.

What the

Shit! Fuck! Tiga tahun lebih bersekolah di SMU tolol DNS memang benar-benar telah membuat akal sehatku rusak!

Walau bagaimanapun, harus kuhormati Tante Clara layaknya ibuku sendiri. Dia istri Papa. Dan sebagai ibu tiri, kehangatan serta ketulusan Beliau pun tak pernah aku ragukan! Meski nggak aneh juga sih, kalau Papa bener-bener sering kepicu birahi tinggi sama Tante Clara. Kerap kudengar di tengah malam suara seperti ‘gempa’ dari kamar Papa. Jeritan-jeritan sayup Tante Clara yang binal di balik pintu betul-betul membatku ingin segera coli.

“….”

Oke. Cukup, cukup. Cukup dengan nafsu liar otak kotorku. Saatnya kita sedikit ‘waras’, oke?

Buru-buru tanganku meraih roti isi setengah potong di atas sofa sebelum meneruskan langkah meniti tangga menuju kamar.

“….”

“….”

> ^_^ <

Waras? WARAS? Hahaha, MANA BISA? Tante Clara itu hanya satu dari permulaan. Ada satu makhluk lagi yang….





===========================​





You know what, sering kuanggap kehadiran Tante Clara adalah ‘jawaban’ dari perkataan mamaku dulu. Mama kandungku. Secercah momen-momen masa kecilku yang akan selalu kuingat hingga akhir hayat.



Ma... mama? mama kapan hamil lagi? Aku pengen punya adik Ma…

Hihihi, dasar. Emang kamu pengen punya adik yang gimana? Adik laki-laki atau adik perempuan?

Adik perempuan, Mah. Adik perempuan yang lucu.

Iya, deh. Nanti kamu pasti punya adik perempuan. Tapi kamu janji jangan nakal ya. Kamu harus sayang ama adik kamu.

Serius, Ma? Nanti aku kasih namanya Pochi ya, Ma?

Pochi? Hihihi, ada-ada aja kamu. Kalo mama kasih nama Alice aja gimana? Bagus, kan?




Ah, itulah kata-kata dari mama, sosok yang selalu amat sangat kucintai, seminggu sebelum beliau meninggal akibat kecelakaan pesawat bersama puluhan penumpang lainnya.

Take care, Mom, see u in heaven. Meski Mama seringkali ninggalin Rifan karena urusan kerja, Rifan bakal bersaksi di dunia kalau Mama adalah sosok ibu terbaik tanpa cacat sedikitpun. Bodo amat dibilang lebay.

Tanpa kehadiran Mama, bisa dibilang aku dan Papa lalu terpaksa harus hidup berdua tanpa naungan kelembutan seorang wanita di dalam rumah. Namun, bak kereta takdir yang angkuh, sang Waktu pun terus tetap berjalan. Tahun demi tahun, bulan demi bulan, hari demi hari… hingga tiba di saat itu… ingin rasanya kutertawa! Mempertanyakan kehidupan. Mentertawai diriku sendiri. Terkejut sampai gila! Yeah, sekitar enam bulan yang lalu, ketika Papa secara resmi memperkenalkan pacar a.k.a calon istrinya yang baru padaku,

“Rifan, ini kenalin, Tante Clara. Ehm… temen deketnya Papa. Dan ini Alicia, anaknya Tante Clara. Umurnya cuma setaun di bawah kamu, kok.”

Well, you decide. Kadang aku pun masih bingung, kok, dengan kejadian ini. Tapi satu yang pasti, namanya anak Tante Clara—yang kini sudah resmi jadi adiku itu—mirip dengan nama yang pernah disebutkan ibuku!

Waktu itu, kupandangi gadis misterius berseragam SMU bernama Alicia tersebut dengan tatapan melongo tak ubahnya orang bodoh.

Mungil.

Kurus.

Tocil.

Dan parahnya dia sekolah di SMU DNS tempatku dulu! Kenapa aku gak nyadar kalau ternyata aku punya adik kelas semanis ini?

Ni bocah nongkrongnya di mana? Temennya siapa aja?

“….”

“….”

Errrr, sudahlah, itu cerita kemarin sore. Tak terasa roda-roda alam terus berputar. Enam bulan berlalu begitu cepat. Kini, segalanya telah berubah. Tante Clara telah ‘sah’ menjadi Mamaku. Dan Alicia, yang sehari-hari biasa dipanggil Icha, sudah nyaman menjadi adik perempuanku. Kini kami tinggal serumah. Begitu dekat. Akrab, Mesra, dan saling menjaga, hingga seringkali terlupa bahwa kami sebetulnya tidak memiliki pertalian darah.

Sangat jauh, jauh berbeda.

“….”

Heh?

Aku bengong membeku begitu tiba di lorong atas. Tepat di depan tubuhku, tegak berdiri sesosok cantik yang kebetulan tengah mengisi pikiranku.

Pocky stroberi aku mana, Kak?”

Suara datar tanpa ekspresinya bertukas menepis sepi.

Hmmm? Pocky? Pocky apaan?” jawabku cuek melewati bahu Alicia. Aku bersiul sembari mengangkat tangan, berlagak merenggangkan otot. Walau aku tak melihat wajahnya, bisa kutebak gadis ini tengah merengut sebal.




Pocky yang tadi aku pesen ke Kakak! Minta beliin di minimarket!”

“Hehehe, ada deh,” celetuku. Dasar bocah kurang ajar! Grrrrh!

Well
, kurang ajarnya anak satu ini ialah, dia sering sekali memakai pakaian minim yang mengekspos serta memamerkan kepolosan tubuh ‘gadis bau kencur’-nya padaku! Apakah Icha tak tahu, kalau dia memiliki kulit paha nan bersih plus ketiak mulus? Selain itu, aroma badan serta wewangian ‘floral’-nya pun tak pernah gagal memprovokasi syahwat birahiku yang memang agak-agak jahanam! Herannya, padahal aku dan Icha hanya berbeda dua tahun. Namun entah mengapa aku selalu merasa jika perawakan fisik gadis itu seperti anak yang jauh di bawahku. Umur delapan belas, tapi ‘perabotan’ tak beda layaknya bocil SMP kelas dua.

Pagi itu, Icha mengenakan tank top tali spaghetti putih dipadu rok pleated mini hitam yang sukses memperlihatkan seluruh bagian pahanya. Betul-betul rok yang terlampau pendek, mengingatkanku pada rok kostum anak-anak cheerleader yang kerap bergoyang menggelorakan birahi para ‘pejantan’ basket. Bisa kutebak, celana dalamnya bakal keliatan warnanya bila ia melompat.

Aku menghentikan langkah. Tanganku menyelusup ke sela jaket. Kuambil sesuatu dari sana. Sekotak Pocky rasa stroberi kesukaan si Cantik.

“Cha? Cha? Yuhuu! Woi! Nih, Tangkep!”

Icha membelalakan mata. Sengaja kulempar kotak itu tinggi-tinggi hingga melayang melewati kepalanya agar ia melompat seperti kucing. Sheeetss! Dan… pemandangan indah pun tersaji. Rok pendek Icha terbang tersingkap ke atas. Indah selangkangannya yang ranum nyata membulat di mataku. Ia memakai celana dalam putih berenda-renda, lagi pakai softex.

Uuugh, kacaaau~

Ingin rasanya aku coli mengkhayalkan bersetubuh dengan adikku sendiri. Pesona adik tiri yang cantik memang membahayakan! Apalagi, bagi perjaka malang seperti aku ini.

Gak percaya aku masih perjaka? Hahaha! Terseraaaaah! I don’t give a fuck. Dari seratus orang yang kuberitahu aku sama sekali belum pernah merasakan nikmatnya ngentot perempuan, mungkun cuma sepuluh yang percaya. Hanya Tuhan dan aku yang tahu, itu cukup buatku.

Reach for the stars… reach so hiiiiigh~”

Potongan lirik lagu ‘Please Insert Coin’ OST Danganronpa meluncur pelan dari mulutku saat aku melewati sebuah area penuh lemari dan buku-buku dilengkapi rangkaian set sofa beludru cokelat. Inilah Ruang baca keluarga kami. Papa, Mama, aku dan Icha, memang punya hobi membaca. Di tempat ini pulalah pintu kamarku yang berseberangan dengan pintu kamar Icha tepat berada.

Aku mendorong pintu dan memasuki kamarku dengan wajah penuh kelegaan. Rumah… dan keluarga, ya, dua hal ini yang jelas aku butuhkan saat sekarang. Well, ruang tempat tidurku ini hampir setiap waktu memang kerap terlihat berantakan. Namun, gerak langkah kakiku sudah sangat ahli dalam menjelajah serta menghindari ‘ranjau-ranjau’ berserakan di lantai.







Aaahh… ingin rasanya ku segera membanting tubuh dan tenggelam dalam kasurku, tapi ada sesuatu yang mengganjal di sini, di hati. Ada suatu benda… yang sepertinya amat sangat menggangu.

Aku menyeret dua kakiku mendekati meja komputer. Kuambil figura berisikan foto sesosok gadis cantik yang tak pernah sedetik pun aku berhenti sayangi. .

“….”

Masih terpatri erat memori indah tersebut, kala aku menyatakan cinta pada gadis berparas lembut itu sewaktu kami kelas tiga SMP. Well, coba hitung saja sudah lama aku berpacaran dengannya. Menjalin kasih… merajut asa… berbagi pilu… bertukar tawa….

Shes my everlasting love.

First love.

Eternal love.


“….”

“….”

Eternal love?

Hahahahhaha. ^_^

“ANJINGGGG!”

PRANGGGG!

Bunyi pecahan kaca melenting nyaring. Serpihan-serpihan bening buyar berhamburan. Kubanting figura berisi foto PELACUR BANGSAT itu keras-keras, layaknya terjijik oleh benda najis yang melekat di tanganku.

Setengah menit aku terdiam, berusaha menetralkan gemuruh jantung yang berdegup kencang gelorakan amarah.

DUG! DUG! DUG! DUG!

“Kakaaak? Tadi suara apa, Kak? Kakak kenapa?”

Aku seketika celingukan mendengar suara Alicia yang menggedor pintu seraya panik bertanya. Tak ingin adik tiriku masuk, aku pun sigap menyandarkan punggung di sana lekat-lekat.

“Kaaaak?”

“Gapapa, Cha.”

Boong! Kakak tadi banting apaan?”

“Gapapa, Cha. I’m Ok. Aku… cuma pengen sendiri dulu aja.”

Perlahan, tubuhku merosot ke bawah hingga duduk terkulai di balik pintu kamar. Tak terdengar suara Alicia membalas atau bertanya lagi. Sepertinya, gadis berparas imut itu mengerti lalu beranjak pergi.

Bola mataku sebenarnya masih terasa cukup lelah dan mengantuk, namun entah kenapa kini malah berkaca-kaca seakan hendak akan menangis.

“….”

Yahh… ini sih bukan ‘akan’ lagi, tapi emang udah nangis.

Untuk diketahui, aku ini sejujurnya bukan bocah cengeng, tapi… menurutku… sesekali butuh, lah, mewek gara-gara perempuan, supaya terhimpun antibodi kalau-kalau di masa depan mengalami kejadian gini lagi… aku sudah mati rasa.

Trust me, it’s better than drunk.
Okey, ini masuk readlist
 
Widih mantap nih bro
Siapa tau tante clara bukannya ngajar s2 tapi malah kencan sama mahasiswa s1 nya yg masih semester 1. Hahahaha
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd