Part 2; "Not Give Up" Is My Middle Name
Leo
"Oi, Bang, duluan yak!" teriakku kepada salah satu temanku di tempatku berlatih Muay Thai ini di parkiran lalu menjalankan motorku menuju ke Indomaret Point di daerah Kemang untuk menemui seseorang, tadinya mau izin pulang dulu, cuma karna jarak rumah dan
IDM Point yang lumayan jauh, kuurungkan niatku, untungnya sih deket dari tempat latihan Muay Thaiku ini. Sesampainya disana, aku membeli sebotol minuman rasa jeruk dan menuju ke lantai dua, tidak ramai, tidak sepi, ya biasa - biasa saja lah, mataku celingak - celinguk mencari sosok wanita yang janjian denganku
"Mbon!" suara wanita setengah berteriak memanggil sapaan masa kecil nya untukku ke arahku
Aku menolehkan ke arah suara di ujung sana, tersenyum ramah dan menuju kesana.
"Teteh!"
Wanita yang kupanggil Teteh itu berdiri dari kursinya, merentangkan tangannya, aku menghambur ke dalam peluknya.
"Teh Ara udah dari tadi ya? Maaf ya lama, hehe," maafku lalu menarik salah satu kursi di dekatnya setelah mencium tangan nya dan ia mencium pipi kiri dan kananku, seperti yang selalu kami lakukan ketika bertemu.
Teh Ara atau nama lengkapnya Mekarila Clara Widyanti, ini anak dari Kakak Kandung Ibuku, usianya dua tahun diatasku. Kami sangat dekat sejak dulu karena rumah Tante Marni, Ibu Teh Ara, persis berada di samping rumahku, mereka berada disana semenjak aku belum lahir. Namun ketika aku kelas sepuluh sma, Tante Marni bercerai dengan suaminya dan pindah ke kota asal, Bandung, karena rumah itu memang atas nama suaminya.
Dulu, saat kami masih anak - anak, dia sama nakalnya sepertiku, tomboy, sangat tomboy, berbeda dengan gayanya yang sekarang. Akupun baru menyadarinya belum lama ini, menyadari bahwa kakak sepupuku ini begitu cantik dengan perawakan khas wanita sunda yang diturunkan oleh tanteku itu.
"Baru lima menitan kok, hehe apa kabar Mbon? Rapihan ya sekarang, haha." tanya Teh Ara, lalu membuka bungkus snack dan menyemilnya hingga terdengar 'Kriuk-kriuk' suara kunyahannya.
Sejak dulu Teh Ara memang selalu memanggilku dengan sebutan Ambon atau Mbon saja, itu karena dulu tampangku persis seperti orang Ambon walau kulitku tak legam, padahal aku asli sumatera. Memang kurang ajar sepupuku yang satu ini.
"Baik, Teh. Teh Ara gimana? Bandung masih dingin? Dari dulu juga rapih, woi!"
Kamipun meluapkan rindu sekian tahun tak bertemu melalui candaan - candaan dan obrolan mengenai masa - masa semenjak kami masih tinggal berdekatan,
"Pacar lu mana, btw? Nggak diajak?" tanya Teh Ara saat aku tiba dari lantai satu dan membeli beberapa minuman dan dua buah spaghetti instant yang dijual.
Logat sunda kini kental terdengar dari suaranya, berbeda dengan dulu. Ya walau ciri khas wajah cewek sundanya sudah terlihat sejak kecil.
"Gak punya, jangan ngeledek napa!" jawabku merengut,
"Yakali? Ganteng doang tapi ga punya pacar mah buat apa~" ledeknya lalu meraih seluruh rambut panjangnya ke atas dan mengikatnya, menampakan tato - tato berwarna di lengan kirinya, berbanding terbalik dengan lengan kanan nya yang polos dan tetap menampakan kulit putih bersih khas mojang priangan, satu tato berukuran kecil juga terlihat di leher bagian kanan nya, logo mawar berwarna merah kecil yang dibuat dengan gaya geometris terlihat sangat pas di leher nya yang jenjang dan bentuk rahang yang tirus itu.
'Untung Sodara,' batinku bersungut mendengar ledekannya
"Ya elu, emang udah punya pacar?" tanyaku
Dia tersenyum lalu menunjukan jari manis di tangan kanannya.
"Widiiiihh! Sama siapa?" tanyaku antusias
"Baru tunangan kok, tapi niatnya sih awal tahun depan nikah ehehehe." ucapnya dengan logat sunda yang khas.
Aku hanya tersenyum - senyum memandangnya,
"Ih eta kunaon senyum - senyum?" gumamnya dengan pandangan penuh selidik dan menudingku dengan menunjuku dengan telunjuknya dengan gaya yang lucu
"Ya kan keingetan gitu aja, ga salah dong?" tanyaku sambil terkekeh
"Kan, pasti deh. Males ah!" sungutnya berpura - pura, namun ia tetap tak bisa menyembunyikan rona merah yang muncul di kedua pipinya.
"Lagian, cowok mana yang bisa lupa sama siapa keperjak-" kata - kataku terputus
"Stooop!" kata nya setengah berteriak lalu menutup mulutku, mencegahku meneruskan kata - kataku.
Bukannya diam, aku hanya menjulurkan lidahku, menjilat jemarinya yang menutupi mulutku.
"Ih-ih! Jorok! Huh,"
***
"Kejar, Mbon! Keburu diambil bocah laen!" suara bocah perempuan berambut bondol yang mengenakan celana panjang dan baju berlengan panjang, topi yang dikenakan terbalik,
"Iyaaaa!" jawab anak laki - laki disampingnya yang juga mengayuh sepedanya dengan kecepatan penuh
'Sreeet' decit ban yang di hasilkan kedua sepeda itu saat berbelok ke gang di sebelah kiri mereka bak adegan balapan motor di televisi.
"Dikit lagi, Mbon! Tuh disitu" kata anak gadis berusia 11 tahun itu, dandanan seperti bocah lelakinya tak menutupi wajah manisnya
"Iya, Teh!" jawab anak lelaki yang dipanggil Mbon itu
Tak lama, layangan yang mereka kejar menuntun mereka ke sebuah pohon yang tak terlalu tinggi namun memiliki dedaunan dan ranting yang banyak.
Dua bocah lain tak lama juga sampai disana, sebelum gadis tomboy dan temannya itu memanjat pohon dimana layangan yang dikejarnya tersangkut disana.
Gadis tomboy dan anak laki - laki yang sepertinya adalah saudaranya itu berpandangan sesaat lalu melempar pandangan mereka ke arah dua bocah laki - laki di depannya, tatapan sinis kedua bocah laki - laki di depannya itu dibalas tak kalah sinis oleh anak gadis tomboy dan saudaranya
"Gimana nih Teh?" bisik anak laki - laki itu
"Tunggu aba - aba gua yak," balas gadis tomboy itu juga berbisik namun tak melepaskan pandangan kesiagaan nya terhadap dua bocah lelaki di depannya
1
2
3
"Panjat! Ambil layangannya!" ucap Ara yang lalu berlari kedepan, menghadang dua bocah laki - laki di depannya
Leo kecil begitu lincah berlari ke arah pohon mendengar aba - aba saudarinya yang sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri, Ara dengan susah payah menghadang kedua bocah di depannya ini, namun apalah daya seorang anak gadis melawan dua anak laki - laki yang seusianya. Maka salah satu bocah lelaki yang dihadangnya pun lolos dan secepat kilat berlari menuju pohon itu untuk juga memanjatnya
Leo dan bocah yang lolos dari hadangan Ara itu sampai bersamaan di pohon itu, Leo menatap mata bocah itu penuh kesinisan, bocah itupun menatapnya tak kalah sinis, lalu dengan gerakan cepat mereka berdua bergerak memanjat pohon itu hampir bersamaan. Seperti perlombaan dengan hadiah puluhan juta, mereka mengerahkan segenap tenaga. Namun, begitulah anak kecil, persaingan adalah kompetisi, dan kompetisi adalah tantangan. Dan itu adalah hal yang mereka suka. Setidaknya, itulah Ara dan Leo saat itu.
*****
"Huhuhu, adu-duh aduhhh, sakit Teh!" Leo kecil tersedu - sedu menerima kapas yang sudah dilumuri obat merah di lututnya, di dekapannya sebuah layangan yang sedikit robek di bagian sisi atas nya
"Tahan, elah. Cowok lemah amat!" ucap Ara, "Lagian kenapa pake loncat segala, kalo udah dapet layangannya ya turun aja lagi, tapi kan gak usah loncat juga!" coletahnya memarahi Leo
"Hehehe, reflek Teh, reflek." kekeh Leo menyadari kebodohannya,
*****
Namun lambat laun penampilan Ara berubah, apalagi saat dia memasuki masa SMP, Leo yang kala itu masih SD menyadari perubahan Tetehnya itu. Namun sikap nya tak banyak berubah, kebiasaan tomboy sepertinya agak sulit untuk dihilangkan. Namun walau begitu, tetap tak bisa menutupi bahwa sebenarnya Ara adalah gadis yang sangat - sangat cantik. Dan Leo menyadari itu. Leo yang sudah 'dicekoki' pergaulan - pergaulan yang tak sepantasnya ia terima di sekolahnya pun, baru menyadari bahwa Tetehnya ini sebenarnya sangat - sangat
nafsuin. Maka tak ayal, urutan pertama fantasinya saat mengocok kini adalah Tetehnya itu, tentu saja tanpa diketahui oleh Ara.
Sejauh ini yang dilakukan Leo hanya sebatas membayangkan saja dikala ia sedang meloco, namun yang namanya bocah, dicekoki hal - hal dewasa, dan rasa penasaran, membuatnya tak puas jika hanya bersenggama dengan jemarinya sendiri. Apalagi yang menjadi fantasinya saat ini, tepat terlelap disampingnya.
Ya, salah satu kebiasaan yang tak pernah berubah adalah tidur bareng mereka. Sejak kecil mereka selalu tidur bersama, entah itu di kamar dan dirumah Ara yang tepat disamping rumah Leo, atau sebaliknya. Dan orang tua Ara maupun orang tua Leo tentu tak berpikiran aneh - aneh karena memang saat itu Leo dan Ara masih anak - anak, hingga sudah beranjak remaja pun mereka tetap dibiarkan bebas.
Saat itu Ara tengah terlelap setelah sejam yang lalu sampai di rumah sepulangnya dari sekolahnya, dilihatnya Leo sudah terbaring di kamarnya. Setelah mengganti pakaian dengan kaus ketat dan celana pendek berbahan kain yang biasa ia kenakan jika ingin tidur, ia menghempaskan tubuhnya ke atas kasur memeluk Leo yang membelakanginya menjadikan tubuh anak lelaki itu sebagai guling. Lelah karena kegiatan ekskul yang cukup menguras tenaga, membuatnya terlelap dengan cepat, berbanding terbalik dengan Leo yang perlahan menyadari seseorang tengah memeluknya
"Anjrot..." gumam Leo pelan lalu membalik tubuhnya ke arah Ara
*****
"Tapi suwer, lo beda banget sekarang, Mbon." kata Teh Ara memanggilku dengan sebutan yang dulu sering ia gunakan kepadaku sambil nyecap espreso yang baru aja dibeli di Point Cafe dilantai satu.
"Ya masa mau gitu - gitu terus?" tanyaku
"Iya tau, tapi dulu itu lo bebal. Siapa sih yang udah bikin lo gini?" tanya nya dengan mata sedikit menyelidik, menatap mataku.
"Nggg..." seketika akupun dibuat bingung
"Lo tau kan, lo gak akan pernah bisa bohong sama gue. Hahaha... Cantik? Anak mana? Satu sekolah?" tanya nya berentet
Akupun menarik nafas dan menghembusnya perlahan
Dia itu...
*****
Beberapa Saat Yang Lalu
Bel tanda berakhirnya kegiatan belajar mengajar sudah berbunyi nyaring, aku yang memang sudah menunggunya, secepat kilat membereskan beberapa buku yang tergeletak diatas meja, memasukannya satu per satu ke dalam ranselku.
Aku masih bertanya - tanya, apa Hilwa sudah memaafkanku? Tadi siang dia mengajakku ke rumahnya, menawariku rawon yang akan dibuatnya, tapi bukan itu, bukan apa yang akan ia masak dan ia tawarkan padaku, dalam benakku, jika dia belum memaafkanku, tentu Hilwa tidak akan menyuruhku ke rumahnya, kan? Segudang tanya membeludak di kepalaku.
Bergegas aku menuju ke kelasnya, dari jendela yang ada di kelasnya terlihat ia sedang bercakap dengan wali kelasnya, lalu pamit menyalami guru setengah baya itu, kemudian melangkah ke pintu keluar kelas, saat melihatku sudah bertengger di depan kelas langkahnya memelan, membuang pandangannya ke arah lain, akupun melangkah ke arahnya,
"Yuk?" kataku pelan
"Hm?" gumamnya bertanya - tanya
"Jadi masakin rawon, kan?" tanyaku, akupun lalu melangkah mendahuluinya tanpa mendengarkan jawabannya, namun sempat sekilas kulihat senyumnya samar berkembang tipis. Dan aku tahu, ia mengikutiku. Entah, kurasa baru kali ini aku merasakan perasaan ini. Bahagia? Padahal aku belum memilikinya, ah, memilikinya? Sejauh itukah keinginanku? Entahlah, namun sesuatu di dalam diriku berkata, aku tak akan rela, 'kehilangannya' lagi.
"Dah siap? Yuk?" tanyaku setelah Hilwa memposisikan duduknya di boncenganku
"Hmm." gumamnya datar seperti mengiyakan, akupun menjalankan motorku, namun sesaat setelah keluar pintu gerbang, seseorang memanggil Hilwa.
"Wa!" seorang cowok memanggilnya, dari seragamnya kutahu orang ini dari sekolah lain
"Leo, bentar, stop dulu, minggir bentar." suruh Hilwa, akupun menepikan motormu tak jauh setelah pintu gerbang sekolah, melewati bocah laki - laki yang kurasa sepantaran kami.
Hilawa lalu turun, dan menuju bocah itu,
"Kenapa, Dam?" tanya Hilwa
"Ini..."
Aku tak mendengar lagi percakapan mereka karena agak privasi, namun dapat kulihat Hilwa tersenyum - senyum menanggapi kata - kata cowok yang tadi dipanggilnya 'Dam' itu.
'Does He gonna be my rival?' batinku
"Yaudah, bye, Adam!" Hilwa pamit lalu bergerak berlari kecil menaiki boncengan motorku,
"Udah?" tanyaku
"Udah, yuk." jawabnya singkat
"Ke Super Indo dulu ya, nggak jadi masak rawon, mau bikin
Maccaroni Bolognaise aja."
Aku hanya mendehem menjawabnya, mengarahkan motorku ke arah sebuah pasar swalayan yang tak jauh dari sekolahku.
Dalam perjalanan setelah mengantarnya ke pasar swalayan itu dan menuju rumahnya saat ini, pikiranku dipenuhi perasaan aneh. Penasaran dan sedikit rasa... Cemburu? Ah, yang benar saja? Menatapnya melempar senyum ke cowok lain membuatku, cemburu? Seakut inikah perasaanku?
*****
Maccaroni Bolognaise buatannya enak, sebenarnya. Sangat enak. Namun entah, semua yang masuk ke dalam mulutku terasa hambar, seperti rokok dan segelas kopi yang sedang kucecap saat ini.
"Enak
Bolognaise-nya?" tanya nya di sofa seberang sana.
"Enak kok." jawabku datar seraya melempar senyum
"Btw, gue udah dimaafin, nih?" tanyaku kemudian
"Udah belum ya..." ucapnya seperti orang bingung lalu memutar bola matanya.
Kamu kenapa bisa imut gitu sih, Hilwa?
"Serius, ah elah!" ucapku
"Huh, iya - iya!" jawabnya ketus
"Jangan diulang ya," ucapnya lalu mengangkat wajahnya memandangku. Menatapku... Dengan senyumnya.
Seketika itu pula duniaku berputar pelan, seperti sedang di mode slow motion, aku merasa berkali - kali dibuatnya merasa jatuh cinta, lagi dan lagi dan lagi.
Dan lagi lagi, reaksiku hanya melempar pandanganku ke arah lain, sungguh, aku tak sanggup menahan kegugupan itu, kurasa mukaku seperti memerah terbakar. Dan, sungguh, aku baru kali ini merasakannya.
Hey, kemana Leo si pemain kelamin wanita?
Gadis ini, gadis dihadapanku ini, melibas habis tabiat burukku, Leo si bocah bandel, Leo si anu, Leo si ini. Sudah sekian lama tak lagi kudengar cemoohan negatif itu. Karena siapa? Dia! Gadis cantik dengan sorot mata teduh namun tajam ini. Gadis dengan wajah kearab-araban ini. Iya, karena dia!
"Ma-makasih..." ucapku terbata.
"Oh ya, boleh nanya?" lanjutku lalu meminum habis kopiku
"Tanya apa, Leo?" tanya nya, mata bulatnya memperhatikan gerak tanganku yang memegang cangkirku, bukan dengan pandangan yang was - was, namun dengan pandangan yang seperti bertanya "Mau dibikinin kopi lagi?"
"Itu... Cowok yang tadi di depan gerbang, siapa?" tanyaku lalu memandangnya
Ia mengalihkan pandangannya ke arahku, menatap mataku, "Hmm, emang kenapa?" Hilwa balik bertanya
"Ya... Hmm... Ya, gapapa. Cuma nanya aja, kok." jawabku
"Yakin cuma nanya?" ia bertanya dengan pandangan yang ia buat - buat seperti menyelidik
"E-eh, i-iya cuma nanya a-aja, suwer!" jawabku terbata, kenapa jadi aku yang tergugup begini...
"Haha, temen kok... Temen deket." jawabnya pelan
Temen deket?
"Sedeket apa?" tanyaku tiba - tiba.
"Gak deket - deket banget kok..." lalu ia menceritakan bagaimana Hilwa bisa bertemu dengannya mulai dari acara cerdas cermat, dompet hilang dan... berkenalan dengan orangtua dan adik si cowok itu.
"Jadi, lo udah kerumah dia?" tanyaku, ada sedikit sayatan yang kurasakan di dasar hatiku
"Hmm, iya. Hehe." jawabnya
"Adiknya seneng banget kalo gue kesitu," lanjutnya
"Hmm, gitu..." gumamku
Seketika suasana menjadi kikuk....
"Ngg, gue gak bisa lama, Wa... Mau ada muay thai terus jemput kakak sepupu." pamitku lalu meraih ranselku
******
Part 2.1; Tsecni
http://www.imagebam.com/image/3b4262923581574
(Teh Ara)
"Terus kalo nyatanya dia udah deket sama cowok lain, lo mau gimana, Mbon?" tanya Teh Ara
"Deket bukan berarti pacaran kan?" tanyaku balik
"Iya sih, tapi kan langkah dia udah jelas di depan lo, si Hilwa - Hilwa itu udah kenal keluarganya, bahkan deket sama adeknya, dan lo, lo udah sampe mana?"
"Kalo cuma sebatas mengagumi, menyayangi dan takut kehilangan ya jangan marah kalau gue bilang kalian cuma cinta monyet yang justru nggak akan ada kesan nya sama sekali nantinya.." lanjut Teh Ara
Sebelum aku bertanya maksutnya, Teh Ara sudah melanjutkan kembali kata - kata nya
"Cinta itu bukan cuma pertautan dua isi hati dan isi kepala satu sama lain, Mbon. Si Adam itu udah selangkah lebih maju dengan ngajak Hilwa ke rumahnya dan kenal keluarganya, bukan selangkah, seratus langkah mungkin; kalau nyatanya Hilwa nyaman berada di lingkungan keluarga Adam - Adam itu, lo bisa apa? Apalagi tadi lo bilang, Adiknya si Adam - Adam itu suka kalo Hilwa ada dirumahnya, dan adeknya selalu minta diajarin masak, itu tandanya gak cuma Adam yang 'ingin' kehadiran Hilwa, tapi juga keluarganya. Dan sebagai perempuan gue tau, keberadaan yang di inginkan itu salah satu dari beberapa alasan kenapa gue harus sama si ini atau si itu. Mungkin lo pikir itu sepele, tapi justru dari situ cewek merasa sangat di sayang, nggak cuma sama Adam, tapi sama keluarganya juga...."
"Dan kalau Hilwa udah merasa ada di tempat yang 'cocok', dia nggak akan nyari tempat lagi, gue pun akan kayak gitu. Paham kan, maksut gue?" tanya Teh Ara
"Merasa di inginkan kehadiran nya itu salah satu alaaan kenapa cewek bisa gampang luluh, apalagi, yang menginginkan keberadaan dia bukan cuma Adam itu, tapi keluarganya juga. Nah, kalo udah kayak gitu, ngga ada alasan dia buat pindah ke zona lain..."
"Hilwa, dari foto dia yang tadi gue luat dari hape lo, cantik banget, dan dia jago masak, padahal masih sekolah. Keluarga mana yang bakal nolak kehadiran cewek kayak gitu?"
Aku hanya mengangguk, menelaah setiap kata - kata yang keluar barusan dari mulut Teh Ara
"Tapi ya gue mau bawa Hilwa kerumah juga kan gak akan pernah bisa ketemu Papa sama Mama, lo taulah sibuknya kayak apa tuh dua orang itu?" ucapku
Teh Ara terkekeh lalu mengacak - acak rambutku
"Nggak gitu juga, Mbon!" ucap Teh Ara gemas
"Lo nggak perlu juga deketin keluarga lo ke dia dengan bawa dia ke rumah, ada saatnya..."
"Sekarang anggaplah dia udah kenal sama keluarga lo, sama kita, sama gue, Om Rikson dan Tante Murni..."
"Emang dia bakal cocok? Bakal nyaman? Kita kan gak tau?"
"Apalagi Om Rikson, bokap lu, mana bisa dia langsung ramah sama orang asing, sama nyokap gua aja kadang masih kurang ramah kan?"
"Bakal ada perbandingan, Mbon."
"Dihindari atau enggak, sadar atau enggak, pasti dia ngebandingin"
"Manusia."
"Sama seperti lo membandingkan tongkrongan yang ini, dan yang itu..."
"Atau misalnya baju, lo akan membandingkan yang udah ada, dan yang baru..."
"Cari hal yang dia suka, masuk dari situ, sayangku..." ucap Teh Ara lalu membelai halus rambutku, kemudian mengacak - acaknya lagi
"Dah ah, udah sore bangt nih, Kangen sama bokap sama nyokap lu, yuk balik!" ajaknya lalu merapihkan beberapa barangnya yang tergeletak di atas meja, memasukannya ke dalam tas jinjingnya.
Apa yang Hilwa suka?
Memasak? Tentu aku tidak akan berencana untuk ujug - ujug memintanya dimasaki ini atau itu, atau tiba - tiba menjadi tertarik untuk diajari memasak? Menghadapi dapur dan segala tetek bengeknya? Tidak - tidak.
Ah ya, Rere, teman dekat Hilwa sedari awal masuk ke sekolah.
Hahaha.
This gonna be fun!
*******
"Terus lo kapan balik ke Bandung lagi, Teh?"
"Gaktau, Farhan kepinginnya gue tinggal di Jakarta aja, capek bolak balik Jakarta - Bandung katany." kemudian Teh Ara menghempaskan badannya ke atas kasur kamar tidurku dan Farhan adalah nama tunangannya
"Kagak bisa ganti baju dulu apa nih anak," ucapku
"Yaelah, kayak kuman gua banyak aja tai." balas Teh Ara
"Bodo ah, ganti baju dulu kek."
"Mager. Dulu - dulu juga balik sekolah kalo ke kamar lu kaga pernah ganti baju dulu segala."
"Yee kan beda. Au ah. Serah."
"Idih ngambek. Haha. Yaudah iya bentar ganti baju nih. Lo keluar dulu lah."
Akupun keluar kamar. Heran, padahal dulu justru aku sering menggumulinya, tapi masih aja disuruh keluar kalau dia mau ganti baju.
Lalu menuju ke arah dapur, menyeduh dua cangkir kopi. Satu kopi hitam, satu kopi susu.
"Dah belom?" ucapku setengah berteriak dari luar kamar.
"Dah." jawab Teh Ara dari dalam.
Akupun masuk dengan membuka knop pintu menggunakan siku, karena kedua telapak tanganku sibuk memegang dua cangkir kopi.
"Wih, tumben lu bikinin gua kopi!" kata Teh Ara lalu menyambut kopi susu yang kusodorkan
"Makasih yaa Ambonku sayang, btw, gitar mana, mainin dong..."
"Diruang tamu," jawabku datar
"Ambil, bawa sini, mainin, hehe"
"Yailah, baru juga dari bawah, ambil ndiri sana."
"Haha, iya iya, ambekan dasar." ucapnya setelah menyecap kopi lalu menaruh cangkirnya di atas meja disamping kasur tidurku."
Tak lama Teh Ara kembali ke kamarku dengan menenteng gitar klasik berwarna hitam legam, dan menyodorkan gitar itu kearahku
"Udah lama gak denger lo nyanyi,"
Aku tak menanggapi ucapannya dan tetap fokus menyetem gitarku,
Setelah tersetem, akupun mulai memetik senar - senar gitarku, lantunan lagu yang diciptakan sebuah band yang tenar pada periode tahun sembilan puluhan berjudul Don't Go Away pun keluar dari mulutku.
Setelah Iris nya Goo Goo Dolls, Teh Ara selalu suka bila aku menyanyikan lagu ini.
"Gue heran Mbon, ama elu..."
"Suara lu bagus. Khas orang ambon banget lah. Tapi dari dulu kayaknya males banget ikut ajang - ajang pencarian bakat di tv - tv itu..."
"Bagus dari mana nya sih anjir." ucapku, lalu Teh Ara beringsut duduk di atas karpet disampingku
"Gausah sok ngerendah tai. Asbak mana," aku hanya menunjuk ke atas meja disamping kasurku menggunakan mataku sambil terus bernyanyi
"Tar malem jalan yuk."
"Kemana?" tanyaku lalu membakar sebatang rokok
"Kemana kek, yuk."
"Mager ah, besok kan gua sekolah Teh."
"Sejak kapan lu mikirin sekolah?"
Aku hanya terkekeh,
"Yaudah saliman ama orang tua aja, yuk. Lo ga suka kan kalo mabok botolan gitu." saliman sama orang tua adalah istilah yang selalu ia gunakan untuk minum anggur merah, ngamer lah bahasa gaulnya.
"Itumah sama aja begadang namanya. Lo kan tau gue ga cukup seplastik."
"Yaudah, ngapain ya?"
"...."
"Malah diem."
"Ya terus?"
"Hmm, ngentot aja yuk."
Ucapan itu seketika membuatku melongo selama beberapa detik, tanpa menjawab ajakannya, aku menyenderkan gitarku di depan pintu lemari pakaianku, lalu bangkit secepat kilat menuju pintu kamarku, menutupnya dan...
'Cklek.'
Menguncinya.
"Auw!" pekiknya pelan saat ku terkam dan kuangkat tubuh ramping sepupuku itu.
"Giliran ngentot aja cepet lu..." gumamnya saat kudaratkan tubuh rampinf sepupuku itu
Lalu dengan semangat 45, kupagut bibir Teh Ara lembut setelah kutindih tubuhnya.
"Hh... Jangan disitu... Aaah... Geli." desah Teh Ara saat bibirku menyapu leher bagian sampingnya, ku kecup-jilat leher putih itu dengan sangat bernafsu.
Kemudian Teh Ara menarik ujung bawah kaosku, menariknya ke atas dan melempar bajuku itu entah kemana
Akupun berinisiatif untuk melakukan hal yang sama, kutarik ke atas tanktopnya, namun hanya sampai ke bagian atas dadanya, karena ia buru - buru memagutku kembali.
Namun tak lama kemudian, aku segera menarik lepas celana pendek dan celana dalam yang ia kenakan
Perlahan tapi pasti, kecupan dan jilatanku bergerak turun, menuju buah dada sekal sepupuku itu, lidahku bergerak bebas mengitari puting mungil coklat mudanya, tangan kananku kuarahkan menuju lembah nikmat merekah yang berada diantara dua batang paha mulusnya
"Ngh..."
Pertama aku hanya mencuil - cuil klitorisnya, sambil tangan kiriku bergerak meremas payudara kirinya dengan ritme stabil namun anarkis. Nah, loh.
Tak lama kemudian, jari telunjuk dan tengahku, kumasukan ke dalam vagina berbulu tipis nan unyu itu, awalnya kugerakan perlahan namun semakin lama - semakin cepat.
"Aah... Mbon..."
Eeangan dan desahan Tetehlu itu terdengar semakin lama semakin memburu seiring irama maju mundur jemariku yang terdampar di dalam liang nikmatnya, tak habis akal, wajahku kuarahkan kebawah sana, berhenti sebentar di pusarnya, lalu melanjutkan perjalanan antar kota ke klitoris mungilnya, wangi khas vaginanya yang sedikit banyak masih tersimpan di memoriku kini kembali mengusik sedap di hidungku. Aku rindu bau ini.
"Yaah... Terus... Haduh ini kenapa enak banget sih... Ahh..." Tetehku meracau keenakan tatkala bucatnya hampir kesampaian.
Maka kunaikan tempo kocokan jariku, jilatan lidahku, dan remasan tangan kiriku di payudaranya
"Aaaah!"
Badan ramping Teh Ara mengejang lucu beberapa saat, lalu kaku.
"Aah... Gila..."
"Hnn?" gumamku yang masih menyeruput air mancur cinta yang keluar dari kelamin Tetehku itu.
"Gila ya... Coba Aan mainya kayak elo."
Oke, Aan mungkin panggilan dari pacarnya yang bernama Farhan itu.
"Gantian Teh, hehe..." akupun beringsut terlentang di sampingnya, Tetehku yang tanggap dan cerdas memuaskan birahiku itu lantas menarik turun celanaku hingga kini kita berdua lengkap berbugil ria.
"Duh, Robert kangen ya sama akuu..." celotehnya berbicara dengan kontolku
"Sejak kapan peler gue lu namain Robert?"
"Bacot."
Lalu perlahan Teh Ara mengocok penisku yang sudah sedari tadi menegang dengan gagah.
Shit. Enak banget.
Dijilatinya lubang mini diujung kontolku itu, lalu jilatannya memutari kepala kontolku, lalu hinggap lagi di lubangnya, lalu memutar lagi, dan tak lama... Hap!
Setengah kontol berukuran standarku itu dilumatnya.
"An... Jinghh..." umpat dan desahku bersamaan.
Ia lakukan dengan sambil menatapku, perlahan gerakan maju mundur kepalanya mulai kurasakan. Dengan ritme 212; dua kali maju mundur, satu kali hisap, dua kali maju mundur. Kemudian dengan gemas, Teh Ara menjilati buah zakarku dengan lidahnya, mengulum sedikit dan menggigit lucu kantong maniku itu.
"Dah... Udaah... Nanti keluar..." ucapku memohon agar ia tidak melanjutkan aksinya itu, kemudian ia bergerak akan menunggangi kontolku.
Kini diatasku, dengan penisku yang masih di genggamnya, ia arahkan tongkat saktiku itu ke dalam kemaluannya, perlahan - lahan.
"Enghhh..."
"Haaah..."
Lenguh dan desah pelan kami bersahutan lucu.
Setelah keseluruhan batang penisku dilahap memeknya, perlahan namun pasti, ia gerakan pinggulnya
"Ahh..." desahnya
Entahlah mungkin ini hanya perasaanku, tapi kurasa kelamin Tetehku ini lebih mencengkram dibanding dulu. Atau memang Teh Ara udah mempelajari tehnik yang bisa mencekik - cekik gitu, kali ya? Tapi persetan lah, ini enak banget. Nggak bohong.
'Plok! Plok!' suara tumbukan yang dihasilkan oleh selangkangannya dan selangkanganku terdengar semakin nyaring seiring tempo kecepatannya menaik dengan drastis.
Akupun menarik tubuhnya ke arahku, lagi dan lagi, sasaran utamaku adalah lehernya yang bertato itu. Kujilati leher itu dengan bernafsu, telingakupun tak luput dari sasaran pagutannya
"Aih! Aah... Ahs..." desah-desisnya terdengar semakin memburu, kurasa orgasme keduanya sudah mendekat, akupun berinisiatif juga menggerakan pinggulku ke atas ketika pinggulnya bergerak turun,
"Plok! Plok!" bunyi pertumbukan itu semakin cepat, dan cepat, dan....
"AHHH!" desahnya ketika orgasme datang kembali menyapa, dan hasilnya adalah cengkraman vaginanya mengerat, yang membuatku tak dapat menahan lagi.
"Isep, gua mau keluar!" gumamku
Iapun secepat kilat beringsut turun, melahap kembali kontolku sambil mengocoknya,
"Arghh!" desahku seiring mani - mani unyu yang meluncur deras masuk ke dalam mulutnya...
*****