Malam-malam berikutnya kuisi dengan pergulatan bathin yang hebat. Pergulatan antara tetap
setia kepada Bang Mamat dan mengundang masuk Tono, si anak kost. Ah, seandainya Mas Narto
tidak di Kaltim. Mas Narto? Sama saja! Toh dia juga 'menggantungku' di lereng bukit! Yang
sedang kupikirkan memang Si Tono. Mengajak Tono bersetubuh adalah mudah, semudah membalikkan
telapak tangan. Perilakunya akhir-akhir ini mengisyaratkan dia sudah begitu 'siap'
menerkamku. Tapi janjiku pada diriku sendiri untuk setia kepada Bang Mamat setelah Mas Narto
pergi, menghalangi niatku.
Pada malam keempat akhirnya keputusanku sudah bulat, mengundang Tono! Resiko apa pun yang
akan terjadi, aku siap menanggungnya. Begitulah, didorong oleh keputusanku yang bulat Kamis
pagi ini kembali aku menggelar 'aksi menjemur pakaian' yang setengah gila, hanya dengan
T-shirt panjang sebagai penutup tubuhku! Tidak heran kalau ketika selesai menjemur pakaian
aku duduk di sofa, Tono mendatangiku.
Eh, ternyata aku jadi amat gugup di hadapan Tono dengan pakaian gila ini. Apalagi Tono terus
menatapi dadaku (yang tercetak bulat oleh T-shirt). Aku semakin salah tingkah. Yang jelas
aku tidak akan memulai. Menunggu apa yang akan dilakukan anak muda ini. Ingin tahu bagaimana
dia memulainya.
"Mbak, boleh saya minta tolong?" katanya. Suaranya agak serak.
"Tolongin apa?"
"Saya tahu Mbak pandai menulis."
"Tahu dari mana?"
"Saya sering baca tulisan Mbak di tabloid Anu."
Aku memang sering mengirimkan tulisan ke tabloid wanita itu.
"Ah, itu hanya iseng aja," kataku.
"Ya, tapi bahasa Mbak bagus dan enak."
Aha, dia mulai merayu.
"Trus, saya bisa nolong apa?"
"Gini, tolong periksa makalah saya ini, terutama dari bahasanya."
Taktis juga dia.
"Bahasa makalah kan beda sama bahasa tulisan populer."
"Ayolah Mbak.."
Tono beranjak sambil membawa lembaran-lembaran kertas dan duduk di sebelahku, meletakkan
kertas-kertas itu di pangkuanku. Aku berdebar. Duduknya begitu dekat. Lalu dia menunjukkan
bagian-bagian tulisannya untuk kukoreksi. Kesempatan dia untuk menekan-nekan pahaku. Aku
merinding dibuatnya. Puting dadaku mengeras. Napasnya kudengar memburu, dan eh, ternyata aku
juga begitu, tiba-tiba aku jadi sesak napas.
Aku memang membaca tulisan itu, tapi tidak satu pun menempel di otakku. Dari sudut mataku
aku melihat, Tono tidak memandangi tulisannya lagi, tapi matanya bergantian menatapku dan
dadaku. Oh, puting dadaku begitu jelas menonjol, aku yakin Tono dapat dengan jelas
melihatnya. Aku jadi malu. Risih ditatap begitu, aku menoleh. Wajah kami begitu berdekatan.
"Kenapa?" Ah, suaraku juga serak!
"Mbak.."
"Hmm..?"
"Mbak cantik." Aku tidak komentar. "Dan seksi."
Lagi-lagi rayuan. Setelah itu apa?
Tidak kusangka Tono begitu nekat. Diciumnya bibirku. Aku berontak. Kertas di pangkuanku
bertebaran ke lantai.
"Ton..!" teriakku begitu bibirku terbebas.
Tono bukannya mundur, malah tangannya merangkul bahuku dan memeluknya erat-erat, sementara
kembali bibirnya mencari-cari bibirku. Dia melumatku lagi. Berontakku berikutnya hanya
pura-pura saja. Aku menyerah, apalagi lumatan bibirnya mulai membuatku melayang.
Tangannya melepaskan pelukan dan pindah ke dadaku, meremas. Remasan kasar sebetulnya, tapi
aku mulai menikmatinya. Remasan yang masih terhalang kain kaos. Kain bukan halangan bagi
Tono, dia bahkan dapat 'menemukan' putingku dan memelintirnya. Pelintiran kasar juga, yang
tidak nyaman bagiku, bahkan cenderung sakit. Oleh karenanya aku jadi tersadar dan melepaskan
ciumannya. Dengan refleks aku menoleh ke belakang.
"Engga ada orang Mbak, Tono sendirian."
Tono menangkap maksudku. Aku bangkit.
"MBak.." Tono juga bangkit mengikutiku.
Kubiarkan. Aku hendak mengunci pintu, siapa tahu Randi dan pengasuhnya masuk.
Aku kembali ke sofa dan Tono langsung menubrukku. Eh, dadanya sudah telanjang, entah kapan
dia melepas bajunya. Aku rebah, Tono menindihku. Sesuatu yang keras menekan pahaku. Leher
T-shirtku ditariknya ke bawah lalu diciuminya dadaku. Ditariknya lagi kaosku sampai bibirnya
dapat mencapai puting dadaku, dan dikemotnya. Tangannya menelusuri pahaku dan terus menyusup
ke atas. Aku cegah tangannya. Aku malu kalau dia tahu aku tidak pakai CD. Aku juga mencegah
tangannya yang berusaha menarik ujung bawah kaosku. Aku tidak mau dia melihat milikku lebih
dulu sebelum dia telanjang bulat.
Beberapa kali usahanya melucutiku kutolak, Tono seolah mengerti maksudku. Dia bangkit dan
turun dari sofa, lalu mencopot celana jeans-nya. Kurang ajar, Tono tidak pakai CD! Kurang
ajar lagi, penisnya itu beda. Maksudku dibanding milik Bang Mamat dan Mas Narto (memang
hanya dua orang itu yang pernah kulihat miliknya). Besarnya sih tidak berbeda dengan milik
suami dan mantan kekasihku tadi, hanya panjangnya lebih dan bagian ujungnya (mulai dari
sebelum leher) sedikit melengkung ke atas. Lengkungan kecil yang justru menambah 'indah'-nya
barang itu. Satu hal lagi yang menambah nilai, warnanya muda dan mulus. Kesan keseluruhan
(dalam keadaan tegang) panjang mengacung dan 'bersih'.
"Kenapa Mbak..?" rupanya Tono melihatku lama menatap miliknya. Aku tidak komentar.
"Kecil ya Mbak..?"
Lelaki cenderung menganggap miliknya 'tidak sesuai ukuran ideal', tapi kalau ditanya berapa
ukurannya cenderung melebihkan, kata literatur.
"Panjang.." komentarku jujur.
"Ah masa..?" katanya dengan roman wajah senang.
Kedua belah tangannya lalu menelusuri pahaku sambil menyingkap ujung kaosku, aku
membiarkannya."Hah..!" serunya kaget, matanya berbinar menatapi selangkanganku yang bugil.
"Dari tadi Mbak engga pakai CD ya..? Ah..!" tubuhnya membungkuk dan sejurus kemudian
kurasakan kelembutan lidah Tono bermain di bawah sana.
Kilikannya menunjukkan bahwa Tono berpengalaman dalam hal ini. Aku memejamkan mata dan
menggigit bibir menahan sesuatu, hanya sebentar, keluar juga eranganku. Geli-geli enak.
Hanya sebentar juga, Tono bangkit dan mengarahkan senjatanya siap masuk, lagi-lagi Aku merem
menunggu.
Uh! Sialan nih anak, kasar benar.
"Aduh.. pelan-pelan dong Ton."
"Oh.. maaf Mbak.. habis engga sabaran."
Tono jadi lebih berhati-hati, pompaannya yang lebih perlahan justru memberikan sensasi lain.
Sensasi yang ditimbulkan dari gesekan pada relung-relung vaginaku oleh panjangnya penis.
'Merasakan' Tono memang agak berbeda. Ada sentuhan 'baru' di dalam sana yang selama ini
tidak terjamah oleh suamiku dan Mas Narto. Pendakian serasa lebih mudah oleh sensasi-sensasi
baru ini. Begitu tampaknya. Tapi kenyataannya tidak. Tidak berbeda dengan Bang Mamat Sabtu
lalu. Aku ditinggal di lereng, sementara Tono berlarian ngos-ngosan menuju puncak. Untung
Tono masih sempat mencabut dan menumpahkan cairannya ke perutku.
"Maafkan saya Mbak," Tono membaca kekecewaanku.
"Mbak begitu seksi membuat saya jadi bernafsu banget," tambahnya lagi.
Aku diam saja, musti komentar apa? Dalam foreplay tadi kelihatan sekali dia telah
pengalaman, tapi kenapa dia cepat selesai? Setelah beberapa malam berperang batin hingga
sampai pada keputusan berat untuk mengkhianati Bang Mamat, hasilnya ternyata hampir sama,
tidak memuaskan. Merindukan pungguk di bulan burung dara di tangan dilepaskan. Aku memang
perempuan konyol, isteri yang konyol, tepatnya. Nasib..
***
Aku masih tergolek di sofa dengan t-shirt tersingkap sampai di bawah dada. Tono mengelap
ceceran maninya di perutku dengan tissu. Aku mengamati kerjanya. Penisnya yang masih
mengacung berkilat ikut berguncang seirama gerakan tubuhnya. Selesai mengelap, dia minta
ijin menggunakan kamar mandi di dalam, kuijinkan, toh tidak ada siapa-siapa. Keluar dari
kamar mandi anak ini masih telanjang bulat melangkah mendekatiku lalu menggeser pahaku dan
duduk. Penisnya tidak lagi mengacung. Aku masih tergeletak di posisi semula.
"Jangan gitu dong Mbak.. saya jadi engga enak.." katanya melihatku mematung.
Aku tersenyum. Nafsuku sedikit mereda.
"Nah.. gitu dong..!"
"Trus Mbak harus gimana..?"
"Senyum gitu aja cukup," lalu matanya turun menatapi kewanitaanku.
Refleks aku menurunkan kaos menutupinya. Tono mencegah tanganku.
"Bentar Mbak.. Emm.. lebat," dielus-elusnya bulu-bulu kelaminku.
Lalu mulai menyentuh klit-ku. Anak ini mau mulai lagi? Sanggupkah 'menuntaskan'-ku?
Tiba-tiba Aku punya ide.
"Ciumin Ton," perintahku.
Tono menurut, padahal aku belum membasuhnya. Bulu-bulu itu diciuminya, bahkan sesekali
menggigiti 'daging'-nya. Tanpa kuminta Tono telah mengerti kelanjutannya. Lidahnya mengulik
klit-ku. Nafsuku mulai naik. Lalu pindah ke labia-ku. Aku makin gerah, bangkit duduk dan
melepas t-shirt, pakaianku satu-satunya. Aksiku ini membuat Tono melepaskan kilikannya dan
mendongak.
"Oohh.. bukan main..!" serunya menatap ketelanjangan kedua bukit kembarku.
Mulutnya langsung menyerbu dadaku.
"Gila kamu Ton," kataku mendorong kepalanya.
Buah dadaku digigitnya, kalau sampai ada bekas gigitan kan gawat.
"Sorry Mbak.. habis gemes sih..!"
"Teruskan yang ini dulu Ton.." kataku menunjuk selangkanganku.
Tono menurut, kembali dengan rakus mulutnya mengerjai vaginaku.
Demikian intens-nya mulut Tono bekerja sampai aku hampir sampai.
"Udah.. udah.." kataku terengah-engah.
Tono bangkit, penisnya sudah tegang mengacung, ujungnya melengkung ke atas dan berkilat
menarik perhatianku. Aku mendekat dan penisnya kuelus-elus. Tiba-tiba tubuhnya maju,
penisnya diangsurkan ke wajahku.
"Mbak..," katanya memandangku penuh arti.
"Kenapa..?"
Tono tidak menjawab, hanya mendorong tubuhnya lagi makin dekat sehingga kepala penisnya
beberapa senti di depan mulutku.
"Kulum..!"
"Gila.. engga mau..!" tegasku.
Dengan suamiku sendiri saja aku tidak pernah mengulum. Juga dengan Mas Narto. Kenapa begitu
sebab mereka berdua memang tidak pernah minta dikulum, entah kenapa. Seandainya Bang Mamat
minta mungkin aku akan mau. Tapi ini, bukan suami dan bukan pacar minta oral sex.
"Ayolah Mbak.. sebentar aja."
Aku mulai bimbang. Tidak ada salahnya mencoba, bukan? Apalagi milik Tono ini kelihatan
'cute'.
"Okay, jangan sampai keluar ya.."
Benda hangat keras-keras lunak memenuhi mulutku, terasa ganjil. Aku memang sudah gila.
Mustinya milik Bang Mamatlah yang kukulumi begini, bukan milik anak kost ini. Baiklah, aku
berjanji nanti akan kulakukan pada Bang Mamat, siapa tahu akan menambah gairahnya. Bokong
Tono bergerak maju mundur seperti layaknya pompaan penis pada vagina, hanya mulutku yang
jadi vaginanya.
Makin lama tusukannya makin dalam, sampai menyentuh kerongkonganku. Sampai suatu saat aku
hampir terbatuk, penisnya kulepaskan.
"Lagi Mbak.."
"Engga..!"
"Bentar lagi aja.."
"Tidak..!"
Kupegang penisnya dan kutuntun mendekati selangkanganku. Aku ingin Tono masuk sekarang. Di
bawah sana sudah kurasakan denyutan-denyutan minta diisi. Tono masuk. Dan langsung membenam.
Seluruh panjang batangnya telah 'lenyap'. Ini baru sedap. Dan mulai mempompa. Dan ini lebih
sedap.
Gerakan tubuh kami semakin liar. Aku heran, Tono sekarang berbeda dengan Tono sejam lalu.
Yang tadi baru belasan gerakan tusuk-tarik dia telah sampai. Kini, entah sudah berapa lama
dia masih perkasa memompa. Dari gerakan tusukannya yang amat bervariasi, aku jadi yakin Tono
memang telah banyak pengalaman sex-intercourse. Hingga aku 'berani' berharap kali ini aku
akan mampu mendapatkan orgasme. Rasanya yang sedang menyetubuhiku sekarang ini adalah Bang
Mamat.
Ya, bayangan Bang Mamat muncul ketika aku memejamkan mata menikmati tusukan Tono. Tapi
bayangan Bang Mamat beberapa tahun lalu, saat bulan-bulan pertama kami menikah. Saat Randi
belum ada. Saat Bang Mamat mampu menghadiahkanku multiple orgasm. Entah karena bayangan Bang
Mamat, atau keperkasaan pompaan Tono sekarang, atau karena milik Tono mampu mencapai
kedalamanku yang 'untouchable', tubuhku mengejang dan lalu menggelepar. Rasanya aku sedang
melayang-layang di awan kenikmatan.
Ya, Aku mendapatkan beberapa detik event yang kudamba-dambakan. Aku telah orgasme. Tono
menghentikan gerakannya, kelihatannya memberi kesempatan padaku untuk menikmati saat-saat
puncak ini. Tapi begitu kejanganku melemah, dia mulai memompa lagi.
"Ooh..!" teriakku.
Gila! Pompaannya makin cepat. Makin cepat.. Dan.. cepat pula dia mencabut. Air maninya
berhamburan di dadaku, bahkan menciprati daguku.
***