oyeckpunkerz
Semprot Addict
- Daftar
- 6 Dec 2010
- Post
- 426
- Like diterima
- 2.383
BAGIAN 40
"Setahuku, para pencipta kitab seringkali membuat teka-teki bagi penemu kitab, entah itu kitab curian atau menemukan di suatu tempat, lagi pula tidak selamanya kitab sakti berisi ilmu-ilmu kesaktian," sahut Nyai Kembang Hitam sambil mengusap-usapkan halaman pertama kitab di bongkahan dada mulusnya yang berkeringat.
"Gila ni cewek," pikir Dedengkot Dewa, "Masa’ kitab sakti dibuat lap keringat!?"
Dedengkot Dewa sedikit dongkol juga melihat Kitab Ilmu ‘Sayap Pedang Malaikat’ yang menurutnya palsu, pulang-balik di pakai lap keringat.
"Terus?"
"Ada juga cara membaca kitab dengan cara diterawangkan ke arah matahari ... "
"Itu sudah kulakukan dari pagi sampai malam ... "
"Direndam dalam air dingin atau panas ... "
"Sudah."
"Ditaburi tanah, serpihan batu, ditetesi darah ... "
"Itu juga sudah ... " sahut Dedengkot Dewa dengan jengkel plus mata blingsatan, karena melihat sebentuk dada kencang membusung dengan ujung-ujung menegang keras. Dadanya terasa bergejolak hebat melihat baju ketat Nyai Kembang Hitam sudah porak-poranda alias berantakan tak karuan karena di sodok kesana-kemari dengan kitab yang pakai buat me-lap keringat.
Kitab di tangannya sampai lecek!
"Hehh ... " dengan jengkel, Dedengkot Dewa berjalan mendekat dengan dua tangan terulur siap meremas sepasang dada membusung kencang Nyai Kembang Hitam.
Ketika kurang sejari saja, Nyai Kembang Hitam berseru, "Hentikan juluran tanganmu!"
Sontak, sepasang tangan Dedengkot Dewa terhenti seketika.
"Kakang Yama pasti belum menggunakan cara yang kupakai ini," katanya sambil mengangsurkan kitab di tangannya.
“Cara yang mana?"
“Lihat saja sendiri."
Mata Dedengkot Dewa melotot melihat coretan-coretan disana, ada tulisan yang terlihat ada yang tidak, tertera disana.
Itu artinya, kitab itu bisa dikatakan setengah asli!
“Kok bisa begitu?"
“Kok bisa-kok bisa!? Ya ... bisa saja ... !" tukas Nyai Kembang Hitam dengan sedikit menggeliat manja.
"Kalau begitu, kau tolonglah aku ... " pinta Dedengkot Dewa sambil mengangsurkan kitab di tangannya. Bukan ke tangan Nyai Kembang Hitam, tapi langsung tepat di tengah dada membusung yang sudah terbuka lebar.
"Aku sudah tidak berkeringat, Kakang."
"Kalau begitu, kau harus berlari-lari di tempat ini agar cepat berkeringat," usul Dedengkot Dewa palsu. "Nanti biar aku yang me-lap keringatnya."
"Ahhh ... maless ... " sahut Nyai Kembang Hitam ogah-ogahan, sambil menelentangkan diri di atas meja bundar. "Kayak gitu bikin capek ... "
"Terus bagaimana?"
"Kakang Yama bisa membuatku berkeringat lebih cepat."
"Caranya?"
"Ajaklah aku bercinta!"
Kata-kata ajaib ternyata cukup ampuh.
Setelah usap sini-usap sini, remas sana-remas sini, dan akhirnya ... jurus ‘Bola Sodok’ digelar di atas meja.
Suaranya ... wuuiiih ... bikin jantung nyut-nyutan!
Sambil goyang pinggul, tangan kiri Dedengkot Dewa palsu yang memegang kitab, me-lap keringat yang mengucur deras dari tubuh bugil Nyai Kembang Hitam sedang tangan kanan justru asyik meremas-remas bukit putih-kenyal di dada Nyai Kembang Hitam secara bergantian.
Sayap Pedang Malaikat ...
Dari tetesan air surga para penyandang kutuk
Penyatuan serpihan dalam kekuasaan
Satu untuk sepuluh dan sepuluh untuk satu
--o0o--
"Bagaimana?" tanya sosok baju hitam-hitam pada orang yang baru datang, yang sama-sama berbaju hitam-hitam. Cuma sepasang mata saja yang kelihatan mencorong tajam. "Apa yang kau dapatkan?"
"Orang-orang itu pada pemalas semua, Hitam ke Tiga Belas!" dengus orang yang baru datang, lalu sambungnya, " ... dari hasil penyelidikanku selama empat hari belakangan ini, tidak ada persiapan sedikit pun yang mereka lakukan. Padahal kegegeran yang kita buat beberapa waktu yang lalu seharusnya cukup membuat mereka bersikap waspada."
Orang yang juga sama-sama berbaju hitam, --yang disebut Hitam ke Tiga Belas-- terdiam beberapa saat, lalu desisnya, " Hitam ke Lima Belas! Apa kau tidak curiga dengan hal ini ... "
"Apanya yang kau curigai, Hitam ke Tiga Belas?" tanya Hitam ke Lima Belas.
"Situasi sekarang ini."
"Situasi?"
"Ya. Apa kau tidak merasa aneh!? Ratusan orang telah kita bantai, tapi justru orang-orang kepulauan ini tidak melakukan apa-apa. Seolah nyawa teman-teman mereka yang terbantai dianggap kentut busuk," ucap Hitam ke Tiga Belas.
"Aku sependapat denganmu, Hitam ke Lima Belas!" sahut orang yang baru datang, sambungnya, " ... atau jangan-jangan mereka justru sedang mempersiapkan jebakan ... "
"Jebakan apa maksudmu?" potong Hitam ke Tiga Belas.
Sambil mengangkat bahu, ia menjawab, "Entahlah ... hanya itu saja yang terpikir olehku."
"Benar!" desis Hitam ke Tiga Belas, sambungnya, "Tapi perangkap macam apa yang dipersiapkan orang-orang Kepulauan Tanah Bambu? Tak satu pun dari kawan-kawan kita, yang menyusup ke tempat ini mengetahuinya! Ini terlalu aneh dan mencurigakan sekali ... "
"Apa dua puluh orang kawan kita tidak ada satu pun yang melaporkan pada Hitam ke Satu, tentang hal ini?" tanya Hitam ke Lima Belas.
Hitam ke Tiga Belas terdiam beberapa saat, lalu ia menggeleng.
Setelah terdiam beberapa saat dengan pikiran masing-masing, Hitam ke Lima Belas berkata, "Kita pergi."
Tanpa menunggu jawaban Hitam ke Tiga Belas, sosoknya segera berkelebat cepat ke jurusan timur yang segera diikuti oleh Hitam ke Lima Belas yang tertinggal beberapa kejab.
Sesaat, sepi kembali meraja di tempat itu.
Namun, tak lama kemudian, gundukan tanah yang berada sejarak satu tombak dari tempat ke dua orang tadi berada, terlihat bergerak menggelembung-bergolak seperti air, dan ...
Plusss ... !
Sebentuk kepala menyembul keluar dari dalam tanah. Tidak ada yang luar biasa dari raut muka laki-laki usia parobaya, mata tetep dua, telinga juga masuk berjumlah sama sesuai takdirnya, rambut sudah berwarna dua. Yang luar biasa nih ... hidungnya terlalu besar untuk ukuran hidung manusia, mirip-mirip paruh burung betet gitulah, warnanya kuning kecoklatan. Dan satu-satunya makhluk hidup yang ada di wilayah Kepulauan Tanah Bambu yang punya hidung aduhai cuma seekor ... eh, seorang doang.
Galah Mayat, tentunya!
"Dugaan Guru memang tepat. Pengacau busuk itu sudah mengacak-acak tatanan yang ada wilayah ini," gumamnya, " ... dua puluh orang lagi!? Benar-benar slompret tulen! Hemm ... kuikuti saja mereka."
Seperti cara keluarnya, cara masuk pun kayak telur dimasukkan ke dalam air dengan pelan-pelan.
Pluss ... !
Menghilang tanpa jejak!
--o0o--
“Kakang Riung! Coba kau lihat di sebelah sana," kata lirih seorang gadis manis berkulit kuning sedikit kecoklatan dengan raut muka lonjong berbaju kuning gading. Satu-satunya makhluk manis yang kerap kali nebeng dengan Riung Gunung cuma satu saja, siapa lagi jika bukan Kaswari, murid tunggal Gayam Dompo!
Riung Gunung mengarahkan pandangan mata pada arah yang ditunjuk Kaswari.
Dua sosok tubuh terlihat mengendap-endap di dekat sebuah batu besar.
“Kita bantai?" tanya Riung Gunung.
“Satu-satunya cara mengurangi kekuatan lawan adalah dengan membunuhnya," sahut gadis itu sambil melolos pedang dari balik punggung. “Kakang pilih yang mana?"
“Aku ambil yang kiri saja," kata Riung Gunung.
Bersamaan dengan selesainya kata-kata si pemuda, tubuh keduanya melesat cepat ke arah dua sosok tubuh berbaju hitam-hitam.
Wutt!
Sebagai orang yang berkecimpung di dunia persilatan, dituntut siap dalam kondisi apa pun. Suara desiran angin selembut apa pun bisa membuat mereka waspada, apalagi jika desiran itu sanggup membuat kepala mereka menggelinding dari tempatnya bercokol.
“Bangsat!" maki seorang diantara mereka sambil membuang tubuh ke samping, namun kelebatan tubuhnya masih kalah cepat dengan serangan jari telunjuk yang semula mengincar belakang kepala justru melenceng ke pundak kiri.
Jrabb!
“Akkkh ... !"
Entah jari macam apa yang sanggup menembus kulit manusia, yang jelas, tusukan jari telunjuk yang dilancarkan Riung Gunung bukan sembarang serangan.
“Siapa kalian!?" bentak yang terluka di bagian pundak.
“Seharusnya kami yang bertanya, siapa kalian dan buat apa kalian mengendap-endap di wilayah perguruan kami?" tegur Riung Gunung sambil ke dua jari telunjuknya bergerak persilangan seperti tangan belalang sembah.
"Huh!" dengus si laki-laki berbaju serba hitam kecuali bagian mata yang terlihat gusar.
Sepasang telapak tangannya terlihat berkelebatan cepat sehingga membentuk beberapa bayangan telapak disertai suara desiran kuat.
Sontak, gerakan tangan yang rapat-cepat membuat murid Ki Ajar Lembah Halimun terjengkit kaget.
"Bukankah ... itu jurus ‘Telapak Memindah Bayangan’?" katanya tanpa sadar.
Tanpa menjawab, lawan yang diduga menggunakan jurus ‘Telapak Memindah Bayangan’ justru melancarkan serangan kilat ke arah dada.
Wutt!
Seleret hawa pekat putih bening menerjang deras.
"Benar! Ini jurus ‘Telapak Memindah Bayangan’ milik ayahku!" pikirnya sambil telunjuk kiri yang bersinar keemasan langsung didorongkan ke depan untuk menahan lesatan hawa pekat putih bening yang diduga kuat sebagai jurus ‘Telapak Memindah Bayangan’.
Juss!
Buyar sudah serangan kilat sosok laki-laki berbaju hitam-hitam.
Serangan lawan berhasil dieliminasi dengan sempurna oleh jurus ‘Belalang Emas Menunjukkan Jalan’ yang digunakan oleh Riung Gunung.
Akan halnya Kaswari justru mendapatkan lawan yang seimbang dalam ilmu pedang. Beberapa kali pedang keduanya beradu, membuat tangan kesemutan. Meski begitu, sekilas terlihat si gadis unggul dalam peringan tubuh.
“Ilmunya cukup tinggi," pikir Kaswari sambil melenting keatas menghindari sapuan bawah lawan ke arah kaki. Dari atas, tubuhnya meliuk indah sambil pedangnya di putar cepat membentuk hingga tercipta bayangan pedang dengan jurus ‘Membelah Samudera’ ajaran si Contreng Nyawa.
Wrett!
"Sial!" maki si baju hitam membuang diri ke samping sambil menusukkan pedang ke arah perut.
Sett, wutt ... !
Desiran angin tajam mendahului serangan.
Murid tunggal Kakek Kocak dari Gunung Tugel bukannya tidak tahu tindakan lawan. Tapi dibiarkannya tusukan pedang menusuk perut rampingnya.
Benar-benar tindakan nekad!
Criing!
"Uhhh," terdengar keluhan pendek dari baju hitam saat ujung pedangnya seperti membentur bongkahan batu kali. Meski pedang sampai melengkung, tetap tidak bisa menembus perut Kaswari.
"Kau ... kau ... ," kata si baju hitam sampai tergugu saking kagetnya.
“Memangnya kenapa?" sentak Kaswari sambil terus memutar-mutar pedangnya dalam jurus yang sama.