Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA SENA JATUH CINTA

- Part 8 -


[Adegan SS hanya milik pemeran utama, pemeran sampingan sensor maksimal. Hahahaa…]




Aku duduk di antara rerimbunan semak sambil memeluk kedua lutut. Mataku panas, dan terasa air mataku mengalir. Mulutku terbuka agar tangisku tidak bersuara. Aku lelaki berusia sembilas tahun, dan aku tidak ingat kapan terakhir menangis. Tapi sore ini aku benar-benar melelehkan air mata.

Apa yang baru saja kusaksikan membuat darahku mendidih, sekaligus perih oleh rasa sedih. Uwaku sendiri berselingkuh dengan Mang Karman, ayah sahabatku sendiri, dan terlibat persetubuhan yang panas. Sepertinya hal ini sudah berlangsung lama karena keduanya tidak terlihat rikuh ketika bersetubuh. Kata-kata mesra terlontar begitu saja, dan desah erotis saling mereka gumamkan ketika mendaki birahi.

Aku sama sekali tidak terangsang menyaksikan persenggamaan mereka, meskipun kuakui tubuh uwa masih sangat menggiurkan. Aku sangat marah dan kecewa. Di balik sikap baik dan alimnya, uwa menyimpan lava birahi yang tinggi. Dan itu bukan diberikan kepada suaminya, yaitu Uwa Kasur, kakak dari ibuku.

Ingin aku menciduk dan melabrak mereka. Tapi aku sadar, bagaimana pun mereka adalah uwaku, juga ayah sahabatku. Sedikit saja aku salah bertindak, bukan hanya mereka yang akan menerima aib, tapi seluruh kampung.

Dadaku terasa sangat nyeri. Hanya dalam sepekan aku menemukan dua wanita berselingkuh. Pertama Bu Ndit dan sahabat anaknya; dan sore ini uwa dengan ayah dari sahabatku sendiri. Bu Ndit telah menerima karmanya dengan menanggung malu karena menjadi “korban” pemerkosaan. Tetapi ia masih “selamat” karena perselingkuhannya tersamarkan berkat aksi yang aku dan ketiga temanku lakukan. Apapun itu, Pak Ndit dan si Uncal, pasti murka, malu, sedih, dan entah apa lagi.

Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Membuat rencana yang sama dengan membuat uwa seolah-olah diperkosa oleh Mang Karman? Atau kubunuh saja pria itu? Rasanya tidak mungkin. Mang Karman adalah ayah sahabatku. Aku harus memikirkan hidup Bi Karman dan Janadi.

Atau kupermalukan uwa? Itu juga tidak mungkin, bagaimana dengan perasaan uwa Kasur dan Aitun? Sempat terpikir untuk memperkosa uwa, tapi bagaimana dengan Bi Ira? Aku sayang dia.

Pemirsa mungkin suka jika aku menggagahi uwa, tapi apa bedanya dengan tuduhan yang sempat disematkan warga bahwa aku adalah seorang pemerkosa? Aku sedang dalam tahap memulihkan nama baik, dan aku tidak mau jika apa yang dituduhkan justru malah kulakukan. Pasti enak sih.. tapi aku kan tokoh cerita yang setia pada satu lubang saja. Kecuali khilaf!

Dadaku terasa kian sesak, nafasku terus saja menderu karena pompaan kencang paru-paru.

Aku mendongak melihat langit senja. Panas terik musim kemarau berubah drastis. Langit berubah kelam dan angin berhembus kencang. Awan-awan hitam bergelombang.

Kuusap air mataku dengan kasar. Kuhunus golok yang sejak tadi terikat pada pinggang. Kugenggam gagangnya erat sambil berdiri. Aku mulai kalap. Tapi…

“Tidak!” geramku pada diri sendiri.

Ini tidak mungkin. Tidak boleh. Sena bukanlah seorang pembunuh!!

Aku hanya mematung bimbang. Lantas mataku terpaku pada sebatang kayu kering. Sebesar lengan anak berusia dua koma tujuh tahun. Sejenak berpikir, lantas kuambil keputusan.

Aku harus membuat uwa dan Mang Karman sadar bahwa permainan syahwat mereka ada yang melihat, tanpa harus tahu bahwa itu adalah aku. Aku akan menghukum mereka dengan rasa takut; akan kubuat hidup mereka tidak tenang berkepanjangan. Jika kelak mereka masih saja mengulang, akan kuhukum secara terang-terangan.

Kuraup daun eurih kering (sejenis rumput ilalang) dan kuikat pada ujung kayu. Hanya dalam hitungan menit semuanya selesai kukerjakan.

Aku kembali mengendap menuju tempat tadi aku mengintip. Kulihat dua tubuh polos itu masih saja memacu birahi. Seperti tidak ada puasnya, seperti tidak ada habisnya. Aku kembali terbakar amarah.

Kuhembuskan nafas panas berulang kali.

Cetreek..

Kunyalakan korek api, dan kubakar daun eurih. Setelah dilalap api, aku mengambil ancang-ancang. Sasaranku adalah atap saung yang terbuat dari ijuk.

Wuuuuut… tombak api kulemparkan. Tepat sasaran. Suaranya membuat kedua manusia yang sedang kalap oleh birahi terlihat gelagapan. Mereka terdiam kaku dan… berubah panik ketika atap saung dilalap api.

Aku menyelinap di antara rerimbunan, meninggalkan mereka tanpa lagi peduli. Kunyalakan sebatang rokok, dan berjalan tanpa ekspresi. Tujuanku adalah tampian, ingin kuguyur kepala dan tubuhku sekedar untuk menenangkan pikiran.

Sengaja aku tidak mandi di tampian Bi Ira. Aku tidak ingin bertemu dengannya dalam keadaan kusut. Sedikit saja aku berbeda, ia pasti curiga dan akan banyak bertanya.

“Baru mau mandi, Sen?” sapa seorang wanita yang baru selesai mencuci perabotan dapur. Ia urung menanggalkan pakaiannya ketika melihatku datang.

“Ehhh.. iii.. iya, Bi.” jawabku gugup, membuat wanita itu mengerutkan dahi.
“Kamu kenapa?” tanyanya.
“Heheh… ngg.. nggak.. kaget aja.”
“Kamu itu.. makanya kalau jalan jangan sambil ngelamun. Pemali ngelamun sore-sore.”
“Iya, Bi.” jawabku sambil garuk-garuk kepala.

Aku berjalan sedikit terburu menuju kolam lain yang berdampingan. Bukan karena tidak mau ngobrol, tapi aku merasa iba pada perempuan itu. Dia adalah Bi Karman. Aku tidak ingin ia melihat ekspresi wajahku yang mungkin awut-awutan.

Setelah memasuki tempat pemandian, aku melirik ke arah tampian tempat Bi Karman berada. Pakaiannya sudah ia sampirkan pertanda wanita itu sudah telanjang. Tak lama kemudian aku mendengar suara air pancuran yang mengguyur tubuhnya.

Aku begidik. Lantas kulolosi pakaianku dan berjongkok di bawah gelontoran air. Kutampar pipiku sendiri yang sempat memikirkan tubuh telanjang Bi Karman. Aku tidak tahu apakah wanita itu masih dinafkahi secara seksual oleh suaminya atau tidak. Jika tidak, sangatlah kasihan ibu sahabatku itu.

Karena tidak membawa sabun, aku hanya menggosok tubuhku dengan sabut kelapa yang tergeletak di pinggir pancuran. Mandiku cukup lama karena pikiran dan tubuhku tidak berada di tempat yang sama.

Aku keluar tampian bersamaan dengan Bi Karman. Aku bertelanjang dada karena bajuku basah setelah dipakai mengelap tubuhku. Tidak ada handuk.

Melihat wanita itu kerepotan, aku berinisiatif membawakan jerigen berisi air bersih. Bi Karman berjalan di depan sambil mengelek baskom berisi perabotan. Kuabaikan lirikan matanya pada dada bidangku.

Kami berdua mendaki menyusuri undakan jalan setapak. Saling bercengkrama satu sama lain. Bi Karman menyampaikan kegembiraannya karena malam ini sepertinya akan datang hujan pertama setelah musim kemarau yang berkepanjangan.

Sekali-kali kami bertutur sapa dengan warga yang berpapasan atau mereka yang sedak duduk di dapur karena pintunya terbuka. Kubuat ekspresiku wajar walaupun perasaan di dada masih berkecamuk.

Sebenarnya ada hal lain yang membuat perasaanku bergetar, yaitu tubuh montok Bi Karman yang hanya dililit kain sarung. Karena jalan menanjak dan Bi Karman berjalan di depan, aku bisa melihat paha belakangnya yang gempal. Pinggulnya besar terbungkus ketat kain sarung. Lenggokannya membuat aku merinding.

Meski kami sambil mengobrol, mataku selalu tertuju pada pinggul itu. Bahkan ketika tanjakan sedikit terjal, nafasku berubah sesak karena aku disuguhi paha belakang mendekati pangkal. Kuyakin Bi Karman tidak memakai celana dalam karena tidak kulihat ada cetakan di sana.

Aku berusaha sadar, tetapi mata ini seakan enggan menyia-nyiakan pemandangan yang menggiurkan. Yeah.. pemandangan seperti ini sudah biasa di kampungku. Tetapi sejak aku mengenal seks bersama Bi Ira, dan juga melihat tubuh telanjang uwa, cara pandangku terhadap perempuan menjadi berbeda. Pikiranku selalu dibayangi pikiran erotis.

“Janadi udah cerita kalau ia mau kerja di pabrik penggilang padi pak Kuncir, benar Bi?” tanyaku sambil memindahkan jerigen ke tangan kiri.

“Iya, Sen.” jawab Bi Karman. Lanjutnya, “Sebetulnya ibu gak terlalu setuju karena sepi di rumah, tapi bapaknya memaksa.”

“Kok gitu?” aku heran karena Janadi sendiri tidak pernah cerita kalau ia dipaksa oleh bapaknya.

“Yah.. selain untuk menambah-nambah penghasilan, juga sebagai ucapan terima kasih kepada Pak Kuncir.” jawab Bi Karman. Wanita itu bertutur bahwa Pak Kuncir telah bersikap baik kepada suami dan keluarganya dengan memberi pinjaman sejumlah uang.

“….” aku menyimak.

“Pak Kuncir mau nyalon jadi lurah, dan ia minta bapaknya Janadi untuk membantunya agar warga kampung kita memilihnya.” tutur Bi Karman.

Jedeeeerrrr!!!

Aku terbengong mendengarnya.

“Janadi tahu?” tanyaku.

“Maksudmu?” Bi Karman berhenti dan menengok ke belakang. Sorot mata kami beradu sebentar. Lantas… aku melirik belahan payudaranya, sedangkan Bi Karman melirik dada telanjangku.

“Maksudku, Janadi tahu kalau mamang diminta jadi tim sukses pencalonan Pak Kuncir di kampung kita.” jawabku sambil berusaha bersikap wajar.

“Oh gitu toh.. Janadi belum tahu. Si bapak bilang kalau Janadi jangan dikasih tahu dulu.” ujarku.

Aku sangat kaget mendengarnya. Apakah Mang Karman akan memanfaatkan anaknya sendiri?

“Ya nanti aku yang ngasih tahu Janadi.” kelakarku.
“Hahaha.. kamu…!! Jangan atuh..!!” Bi Karman tertawa mendengar selorohanku.

Kami pun melanjutkan langkah dan tak lama kemudian tiba di rumahnya. Mang Karman sedang memasukan ayam ke kandang, sedangkan Janadi membelah kayu bakar di halaman. Terlihat sekali kalau Mang Karman sedang gelisah, ia tidak mau menatapku atau menatap istrinya secara langsung.

“Ada apa toh?” tanya Bi Karman pada suaminya yang sedang ngedumel dan ngadu kepada Janadi.

Aku sendiri meletakan jerigen di dekat pintu dapur untuk menyembunyikan emosiku yang kembali meluap melihat pria itu.

“Dasar bocah-bocah… tadi bapak ke bubulak untuk nengok pisang, eh saung (alm) abah Bihun ada yang bakar. Pasti kelakuan anak-anak yang main di sana.” jawab Mang Karman.

Mereka terlibat obrolan, dan aku pura-pura menyimak. Tapi aku lebih banyak menanggapi omongan Janadi.

Karena muak dengan sikap Mang Karman yang pintar menyembunyikan perselingkuhannya, aku pun pamit dengan alasan mau ganti baju. Kucatut sebatang rokok milik Janadi tanpa peduli pada dumelannya. Tapi…

“Sen, ini sekalian kamu bawa pulang baskom. Kemarin uwamu ngasih beras.” seru Bi Karman dari dalam rumah.

Aku pun mengubah langkahku memasuki dapur, sedangkan suami dan anaknya melanjutkan kesibukan mereka sebelum hujan benar-benar turun.

Bi Karman meletakan bawaannya di atas lantai tanah. Lagi-lagi aku disuguhi pinggul dan pahanya karena posisinya membelakangi. Diam-diam aku menghela nafas. Aku marah pada perbuatan suaminya, tetapi juga merasa bersalah karena tidak bisa mengendalikan arah sorot mataku. Mereka telah selingkuh lahir, aku selingkuh batin.

“Mana, Bi?” tanyaku.

Bi Karman menunjuk baskom di atas bale-bale. Langsung kuambil. Aku tercekat ketika berbalik badan. Bi Karman sudah membuka ikatan sarung pada belahan payudaranya dan ujung atasnya dipakai untuk mengelap bintik air pada lehernya. Otomatis satu pahanya terekspos hampir mendekati pinggang.

Aku terbelalak. Bi Karman tahu aku kaget, tetapi ia seperti tidak peduli. Mungkin ia berpikir bahwa aku tidak mungkin memesuminya. Lagipula aku adalah sahabat anaknya.

“Nanti kalau Janadi sedang di landeuh (baca: kampung Pak Kuncir) kamu jangan berubah, sering-sering main dan nemenim bibi dan mamang.” ujar Bi Karman dengan suara keras; sengaja agar suaranya didengar oleh suami dan anaknya.

“Iiya, Bi. Pasti itu mah.” jawabku sedikit gugup.
“Kamu tuh udah bibi anggap sebagai anak sendiri.” ujarnya lagi masih dengan suara keras.

“Halah ibu.. kayak aku mau pergi jauh aja.” teriak Janadi dari luar.

“Ya tetep aja.. kamu kan jarang meninggalkan rumah lama.” Bi Karman menjawab, disusul omelan pada anaknya.

Aku tertawa saja mendengarnya, walaupun sebenarnya jantung masih berdebar karena melihat tubuh montok Bi Karman. Jarak kami sangat dekat karena aku melangkah hendak keluar, sementara Bi Karman tidak memberi jalan.

“Iya.. iya Bi.. nanti saya pasti sering main. Nginap sekalian biar kamar si Janadi gak dingin dan diisi generewo.” aku berusaha bercanda.

Janadi tertawa dari halaman. Juga bapaknya, bedanya tawa Mang Karman terdengar dibuat-buat.

“Benar ya?” kata Bi Karman, kali ini setengah berbisik.

Aroma sabun langsung tercium karena ia berujar begitu sambil mendekatkan wajahnya ke telingaku. Nafasku rasanya langsung berhenti selama beberapa detik.

Aku berusaha tersenyum. Sorot mata kami beradu. Anggukan kecil kuberikan dan Bi Karman tersenyum senang.

Tanpa banyak kata lagi, aku keluar dari dalam rumah dan melangkah pulang.

“Kalau nanti malam hujan, aing mah malas ulin. Mau tidur aja di rumah.” ucap Janadi ketika aku melewatinya.

Kuiyakan secara singkat. Pikiranku masih dipengaruhi kejadian barusan di dalam rumah. Selain itu, aku juga merasa senang karena aku tidak perlu mencari alasan untuk menghindar nongkrong. Aku masih benar-benar tidak enak hati pada sahabatku karena kelakukan ayahnya dan uwaku.

Setibanya di rumah, kulihat uwa Samping sedang ngakeul nasi, sedangkan Aitun sedang menggoreng ikan asin. Uwa Kasur duduk di ruang tengah sambil merokok dan mendengarkan radio.

Uwa Samping nampak sedikit melamun walaupun tangannya sibuk membolak-balik dan mengipasi nasi. Wajahnya terlihat sedikit pucat.

“Kamu mandi di mana, Sen?” tanya Aitun.
“Di kaler (utara).” jawabku singkat.
“Tumben, biasanya mandi di kulon?”
“Tadi sekalian nengok pisang di sawah, takut dimakan monyet.” aku beralasan.

“Kenapa gak dituar sakalian (ditebang/dipetik sekalian)?” uwa Kasur yang mendengar percakapan menyahut dari ruang tengah.

“Seminggu lagi palingan, Wa.” jawabanku.

Kusampirkan baju yang sedari tadi melingkar di pundak. Kugantungkan juga golok pada paku. Kutahu kalau uwa Samping mengamati gerak-gerikku, sepertinya ia sedang menyelidiku.

“Kamu tadi ke bubulak gak, Sen?” akhirnya uwa Samping bertanya.
“Tadi siang sih iya, Wa, kenapa emangnya?”
“Sore ini?” uwa nampak menyelidikiku. Ekspresinya nampak wajar tetapi ia tidak bisa menyembunyikan sorot matanya yang takut dan khawatir.

“Nggak.” singkatku.

“Oh kirain kamu ke sana. Itu saung abah Bihun kebakaran. Mungkin ada anak-anak main ke sana dan gak sengaja bakar saung, kirain kamu ke sana dan lihat mereka.” jawab uwa. Ia nampak lega mendengar jawabanku.

Rasanya aku ingin menghardik uwa. Ingin kubongkar semua kebohongannya. Ingin kudamprat karena perselingkuhannya. Tetapi aku menahan diri.

Aku hanya bisa bergumam tidak jelas. Sedikit saja aku terpantik, emosi yang sedang berusaha kuredam bisa membuncah keluar. Kuputuskan segera masuk ke dalam kamar dan berganti pakaian.

Kuabaikan pula Aitun yang sejak tadi selalu senyam-senyum penuh arti. Mungkin ia ingat kejadian tadi siang ketika ia meninggalkanku dengan Rara di bubulak. Tapi aku tidak sedang ingin membahasnya. Aku muak berada di dekat uwa.



*

*

*


Malam ini aku memilih menyendiri di kandang si ireng, enggan nonkrong bersama beberapa tetangga yang sedang ngumpul di rumah Bi Ira. Tepatnya aku menghindar dari kedua temanku, Pento dan Janadi. Hujan belum turun, jadi Janadi pasti datang nongkrong. Ada perasaan tidak enak ketika aku harus bersama mereka.

Biar bagaimana pun Mang Karman adalah ayahnya Janadi, dan uwa Samping adalah calon mertuanya Pento. Rasanya aku semakin tidak nyaman ketika memikirkan pertalian ini semua, sementara Mang Karman dan Uwa Samping sendiri terlibat perselingkuhan.

Baunya kotoran si ireng tidak pernah menggangguku, lalat yang beterbangan pun tidak mengusikku. Aku duduk sambil menerawang kosong; dan entah sudah berapa puluh batang rokok yang kuhabiskan.

Aku baru benar-benar tersadar ketika mendengar geledek di ketinggian. Angin bertiup kencang, gemuruhnya semakin dekat. Lamunan panjangku membuat abai pada keadaan alam. Hujan pertama akan segera datang.

Sebetulnya kami sudah menunggu masa ini cukup lama, tetapi malam ini semuanya seakan menjadi tangisan semesta.

Tak berselang lama, air mulai berjatuhan, disertai gemuruh yang semakin dekat. Kusambar sabit yang menancap pada kandang si ireng, kutebas daun pisang, dan setengah berlari menyusuri kegelapan.

Terlambat. Hujan datang begitu cepat. Payung daun pisang tak akan bisa menolong. Aku tiba di halaman rumah Bi Ira ketika tubuhku sudah setengah basah.

Kuputuskan untuk berteduh di bawah atap. Aku tidak berniat mengetuk meski di dapur kudengar masih ada orang.

“Siapa?” terdengar tanya dari dalam rumah, ketika aku terbatuk.
“Aku, kang.” jawabku tanpa bisa mengelak.

Kutahu yang bertanya adalah Kang Mendung. Tak berselang lama pintu terbuka. Kang Mendung nampak terheran melihat keadaanku.

“Kamu toh? Dari mana?”
“Dari kandang tapi keburu kehujanan.” jawabku.

“Siapa, Ndung?” terdengar suara Bi Ira.
“Ini si Sena ada-ada saja.. malam-malam kok malah pergi ke kandang.” jawabnya.

Tak berselang lama Bi Ira muncul dengan daster selutut yang ia kenakan, rambutnya tergerai.

Wanita itu langsung menyuruhku masuk melalui pintu dapur. Kubersihkan kakiku melalui talang di ujung atap, lantas masuk.

“Bibi punya payung?” tanyaku.
“Bibi gak punya, Sen, lagian kamu ngapain ke kandang malam-malam? Tadi pada nanyain kamu loh.. kok kamu gak datang main?” Bi Ira cerewet.

Aku duduk di depan tungku yang masih ada bara apinya untuk sekedar menghangatkan badan. Kang Mendung keluar untuk kencing.

Rupanya Bi Ira sedang beres-beres perabotan kotor bekas ngopi para tetangga, dan Kang Mendung keluar kencing sebelum beranjak tidur.

“Nih bersihkan dulu rambutmu.” Bi Ira menyodorkan handuk.

“Kamu kenapa, Sen?” suara Bi Ira kali ini lembut dan setengah berbisik.

“Gak ada apa-apa, Bi.” jawabku sambil mengeringkan rambut.
“Kamu jangan bohong. Ada masalah apa?”

Bi Ira cukup peka. Ia bisa membaca raut wajahku yang berbeda. Sorot matanya tajam penuh selidik, tetapi sekaligus teduh penuh kasih sayang.

“Aku.. aku….”

Aku merasa sedikit lega ketika Kang Mendung kembali masuk dan menutup pintu. Aku terbebas dari cecaran pertanyaan Bi Ira.

“Yaudah aku pulang aja, udah malam.” ujarku sambil berdiri.
“Yeee.. hujan gini. Lagian ngapain bibi nyuruh kamu ngeringin rambut kalau mau hujan-hujanan lagi.” Bi Ira ngomel.

“Kamu nginep aja, Sen, hujannya deras gitu. Hujan pertama bisa bikin sakit.” ujar Kang Mendung.

Bukan aku.. melainkan Bi Ira yang bernafas lega. Ia seperti ingin menahanku tapi tidak punya alasan karena takut anak menantunya curiga. Kini malah mantunya sendiri yang menyuruhku menginap.

“Aku pulang aja, kang.” aku bersikeras.

“Haish.. udah gak usah ngeyel. Nginap aja daripada kamu sakit.” Bi Ira kesal disusul kekeh penuh kemenangan Kang Mendung.

Kang Mendung yang terlihat sudah sangat ngantuk duduk menemaniku, sedangkan Bi Ira menaiki bale-bale untuk menyiapkan bantal dan sarung.

“Kamu ngapain toh malam-malam ke kandang?” tanya Kang Mendung.
“Hehe.. tadi sore saya ketiduran kang, dan lupa ngasih makan si ireng.” jawabku.
“Lah tidur di mana, kata Aitun kamu gak ada di rumah.”
“Eh.. nganu… tidur di saung tempat nongkrong. Nungguin anak-anak gak ada yang datang, ketiduran deh.” aku menjawab dengan sedikit gugup. Mataku melirik ke arah Bi Ira yang sedang menggelar tikar di ruang tengah dan meletakan bantal serta selimut di atasnya.

“Ya iya.. Janadi ama Pento kan tadi main ke sini.”

Obrolan kami tidak berlangsung lama karena Bi Ira menyuruh aku dan Kang Mendung tidur. Kami berdua menaiki bale-bale rumah. Kang Mendung masuk kamar, sedangkan aku hanya mengambil sarung dan kembali ke depan tungku untuk menghangatkan badan.

“Kamu kenapa?” pertanyaan Bi Ira masih sama sambil melanjutkan pekerjaannya. Kali ini suaranya cukup pelan.

Kunyalakan rokok tanpa menjawab. Tatapanku kosong tertuju pada bara api.

Suasana kembali hening. Hanya gemuruh hujan yang terdengar dan denting gelas yang beradu ketika dimasukan ke dalam ember.

“Nih kamu minum.” rupanya Bi Ira menyeduhkan kopi.

Kuterima dan kuseruput. Bi Ira melongok ke ruang tengan seolah mau memastikan bahwa Rara dan anak-mantunya sudah tidur. Lantas ia duduk di sampingku. Wajahnya menghadap ke arahku.

“Sen?” Ia seperti sangat khawatir sekaligus penasaran atas perubahan sikapku.

“Aku belum siap cerita, Bi.” keluhku.

Bi Ira mendesah halus. Tangannya mengambil rokok yang tinggal setengah dan ia matikan. Ia menggenggam satu tanganku erat.

“Kamu masih menganggap bibi sebagai orang asing dalam hidupmu?” Bi Ira nampak sedih.

“Bukan begitu, Bi, tapi…”

Aku bingung sendiri. Kuletakan gelas kopi dan berbalik menghadapnya. Kami saling tatap di dalam keremangan. Kubalas remasan tangannya.

Mau tidak mau hatiku terenyuh melihat raut wajah wanita di hadapanku. Bagiku Bi Ira sudah menjadi segalanya: ibu, sahabat, dan kekasih.

Kelopak mataku berubah panas. Aku langsung menjatuhkan diri memeluknya. Kucari ketenangan dengan membenamkan wajahku di atas payudaranya. Bi Ira mendekap kepalaku erat. Air mataku urung keluar, tetapi batinku benar-benar menangis. Kutumpahkan segala resahku dalam syahdunya dekapan.

Malam semakin larut dan hujan terdengar semakin deras. Dingin udara pegunungan juga menusuk pori. Tetapi yang kurasakan saat ini justru hangat. Hatiku yang beku lumer oleh kesabaran dan pelukan kasih sayang Bi Ira.

“Haaaaahhhh…” aku menggeliat sambil menghembuskan nafas deras.

Bi Ira tersenyum manis. Tangannya mengusapi pelipisku.

“Kenapa, sayang?”

Bisikan mesranya akhirnya membuatku luluh, pertahananku runtuh.

“Aku sedang kecewa pada uwa Samping, Bi.” jawabku.

Bi Ira terlihat kaget mendengar jawabanku. Ia juga seperti sadar bahwa beban perasaan yang sedang kutanggung sangatlah berat. Ujarnya, “Mau cerita sekarang atau…?”

Aku dan Bi Ira sudah memiliki gelombang perasaan yang sama. Saling memahami dan saling mengerti. Saling-ada-menemani satu sama lain jauh lebih berarti daripada sekedar cerita berwujud kata-kata.

Nafas hangat kami beradu. Bibir kami menyatu. Saling kulum sejenak, lumatan hangat setelahnya.

“Mmh.. Bi aku ingin…” kukabarkan hasratku. Bayangan tubuh telanjang uwa dan montoknya perawakan Bi Karman membuat gairahku melonjak.

“Tapi janji setelahnya kamu cerita.” jawab Bi Ira.

Bi Ira sudah meminta janji agar tidak menyetebuhinya di rumahnya. Tetapi malam ini berbeda. Entah kenapa. Bi Ira tidak keberatan kami bercinta.

Aku mengangguk. Bibir kami kembali beradu. Lidah kami langsung saling menjelajahi rongga mulut. Saling gelitik, saling hisap. Sama-sama melenguh ketika mengambil nafas.

“Aku sayang bibi.” ujarku sambil mengusap ujung bibirnya.
“Nakal.” sambil mengatur nafas.

“Aku serius, bi.”
“Iya, bibi tahu.”
“Hanya itu?”
“Bibi juga sayang kamu.”

Ah kami lupa umur. Kami sama-sama dimabuk asmara.

“Aku ingin kita menyatu selamanya.” ujarku sambil menyelipkan helaian rambut di belakang telinganya.

“Ayo…” ia mengerling nakal.

“Mmmh..” aku ragu. Tapi aku sudah benar-benar nekad, ujarku, “Aku ingin memperistri bibi.”

“Sayaaang…?” Bi Ira terperangah. Ia nampak tersanjung sekaligus bimbang.
“Kamu lupa siapa bibi?” desahnya.
“Aku ingin kita menikah.” akal sehatku sudah dikuasai rasa yang tidak seharusnya.

“Jangan ngawur, sayang. Gimana nasib mamangmu (suaminya)? Lagian masa kakakmu (Teh Sari) jadi anak kamu? Terus kamu mau kalau cucu kita lebih besar daripada anak kita?”

Sebenarnya Bi Ira sedang mengingatkanku akan statusnya, dan juga resiko atas hubungan kami. Terdengar cukup geli tetapi malah menaikan kembali birahi. Bukannya sadar, rasa sayang pada wanitaku malah kian meletup.

“Gak apa-apa, yang penting kita menjadi suami istri.” jawabku sambil terkekeh. Bi Ira ikut tertawa kecil. Mungkin geli mendengar pertanyaan sendiri, sekaligus mendengar jawabanku. Apapun itu, hati kami sedang sama-sama kalap oleh rasa cinta, birahi turut menjadi bumbu.

“Kamu serius mau memperistri bibi?” ia menatapku tajam.

Aku mengangguk. Bi Ira terbelalak kaget atas keseriusanku, tetapi tersipu malu setelahnya.

“Bibi jadi istri kamu?” ia meyakinkan diri.
“Dan aku jadi suami bibi.” tegasku

“Katanya ‘istri’ kok masih manggil nama?” Bi Ira merajuk.

“Ira.”
“Kang Sena.”

Kali ini Bi Ira yang menjatuhkan diri ke dalam pelukanku. Tangannya mendekap erat, wajahnya mendongak menatapku.

Kukecup bibirnya dan ia menyambut. Gairah kami sedikit reda, terganti oleh perasaan yang sama-sama mengawang. Dua manusia berbeda usia sedang sama-sama dimabuk cinta.

Aku dan Bi Ira saling bermesra. Kata-kata kami layaknya dua sejoli seusia. Saling belai, saling kecup, sekali-kali ia mencubitiku karena canda nakalku.

Beban hidupku terasa langsung sirna, walaupun secara akal sehat hubungan kami saat ini akan menimbulkan beban dan masalah baru. Kusampaikan pada wanitaku bahwa aku belum siap bercerita malam ini, inginku hanyalah beradu mesra dengannya.

“Jangan di sini.” rajuknya ketika tanganku mulai menggerayangi lutut dan pahanya.
“Hmmm?” aku menatapnya sendu.

“Di kamar. Katanya suami istri.” bisiknya sambil menggigit bibir.

Aku senang mendengar jawaban Bi Ira, tapi itu akan sangat beresiko. Bi Ira bisa membaca keraguanku. “Mereka gak akan bangun. Percaya ama istrimu ini. Kalau ketahuan ya udah biar sekalian dinikahkan.”

Aku menatap matanya lekat. Ada kesungguhan di sana. Kukecup bibirnya.

Kami sama-sama berdiri. Bi Ira merentangkan tangan layaknya gadis remaja. Langsung kupangku dan kubopong ke dalam kamarnya.

Aku waspada mengamati keadaan rumah dan pintu kamar Rara dan anak-mantunya. Tetapi wanitaku nampak tidak takut. Ia menggelendot mesra dalam pangkuanku. Sekali-kali ia mengecup pucuk daguku.

Kututup pintu kamar dengan kakiku. Kuturunkan tubuhnya di tepi dipan kayu. Kami berdiri berhadapan dan sama-sama melolosi pakaian.

Aku terpesona pada tubuh wanitaku. Di hadapanku sudah berdiri wanita telanjang bulat. Bulu ketiaknya mengundang rangsang, bulu kemaluannya lebat. Payudaranya menjuntai. Bi Ira sendiri menahan nafas ketika menatap kejantananku. Tangan kirinya langsung menangkap dan mengocok gemas.

Aku merangsek dan Bi Ira berjalan mundur menggoda. Genggamannya pada penisku terlepas, dan ia mendahului membaringkan diri. Rambutnya yang kusut ia gulung dan ia sampirkan ke samping.

Aku langsung menindihnya. Kemaluan kami beradu. Batangku menumpang pada tembem kemaluannya. Kedua payudaranya mengganjal di antara dada.

Kutempelkan dahi dan kami beradu pandang dekat. Sorot cinta dan birahi kami pancarkan.

“Ira.. kamu…”
“Kang.. mmmhhh…” ia menghentikan ucapanku.

Kami saling melumat, kali ini disertai remasan dan gelinjang. Tubuh kami menyatu lekat meski kemaluan belum menancap.

Suara angin dan derasnya hujan menyamarkan derit ranjang dan erangan. Aku dan Bi Ira menciptakan dunia kenikmatan yang hanya milik kami berdua; melupa pada keadaan sekitar karena percintaan kami sesungguhnya sangat menantang bahaya.

Pada titik jeda, aku menatap lekat bibir wanitaku. Dua sisi yang cukup tebal dan merah alami. Ujungnya ia gigit menahan birahi. Kemudian dahi dan hidung kami menempel lembut.. dan tanganku sudah meremasi sisi pinggulnya. Detak kedua jantung kami berdegup kencang seakan menjadi petikan bass atas simfoni alam malam ini.

“Ira..” entah mengapa aku suka sekali memanggil namanya ketika bercinta.
“Kang.. aku milikmu…” desahnya. Tak ada lagi kata ‘bibi’ dalam ucapnya.

“Ira istriku…”
“Mmmh.. suami, ayo.. udah gatel…”

Birahiku sempat membuncah, tetapi melihat kemolekannya aku urung terburu. Aku ingin menikmati semua momen indah ini. Bi Ira ikut terbuai, bukan melulu oleh birahi alami, melainkan oleh desiran sayang yang kupancarkan.

Kukecupi setiap lekuk wajahnya dan berakhir pada pucuk dagunya. Kali ini kujilat basah. Bi Ira menggelinjang ketika ciumanku turun pada leher. Kedua tangannya naik untuk membereskan rambutnya yang sudah acak-acakan.

Pemandangan baru memantik birahi. Kedua ketiak berbulu lebat menjadi pusat pandangan. Langsung kuciumi ketiak yang kanan, bau kecut tak membuat birahiku surut.

Bi Ira hendak menahan, tetapi rasa geli dan nikmat menghentikan perlawanan. Kuhisap-hisap bulu ketiaknya, kugigit dan kujilat hingga basah, lalu kutarik-tarik. Reaksinya di luar dugaan, Bi Ira mengerang dan menggelinjang.

Puas dengan ketiak kanan, kupindahkan cumbuan pada yang kiri. Kamar menjadi gaduh, lupa di sebelah ada yang sewaktu-waktu bisa terbangun. Fokus dan dunia kami hanyalah kenikmatan, melupa pada keadaan sekitar.

Cumbuan dan hisapanku merambat turun. Kali ini kedua payudaranya yang menjadi kesenangan. Kuhisap, kuremas, kujilat, kugigit gemas. Tangan kiri ikut aktif mengusapi paha dalamnya, dan berakhir dengan mengusap-usap tembem vagina serta lebatnya mahkota kewanitaan.

“Uuuuh… shhhh…” Bi Ira semakin gerah meminta kepuasan demi kepuasan.

Rembesan basah mulai terasa pada jemariku, tak lama berselang, Bi Ira mengejang disertai erang. Ia mencapai puncak kenikmatan.

Aku kecewa. Sementara Bi Ira kelejotan, lantas terhempas lemas. Nafasnya terengah.

Tapi entah punya tenaga dari mana, wanitaku langsung bangkit ketika bibir dan lidahku mau menyuwir bulu kemaluannya. Tubuhku didorong hingga telentang. Kedua kakiku menjuntai di tepi ranjang, menjejak lantai papan.

Bi Ira menyeringai nakal. Lehernya yang berkeringat menambah aura seksi. Ia menggelosor dan membalik badan. Kuremas pinggulnya dengan gemas.

Tujuan Bi Ira rupanya penisku. Kini gantian aku yang menahan nikmat. Kocokannya membuat anganku melambung; limbung oleh rasa nikmat yang berdenyut sampai ubun-ubun.

Aku meringis ketika Bi Ira merunduk sehingga bokongnya terangkat. Aku terhenyak nikmat ketika kepala penisku ia kecup, lantas lidahnya terjulur menyapu. Inilah pengalaman pertamaku. Ini adalah pertama kali Bi Ira mencumbu batang kebanggaanku. Kedua kakiku kaku ketika mulutnya terbuka dan kepala penisku memasuki mulutnya. Bersamaan dengan itu kantong semarku ia remas-remas.

Cukup lama ia memuaskanku dengan cara baru. Dan secara naluriah aku meremasi pahanya. Bi Ira pun mengangkang di atasku dengan vagina terbuka tepat di depan wajahku.

“Aaaaah….” Bi Ira mengerang, menghentikan sesaat memainkan batang penisku.

Lidahku sudah terjulur mencucuki liang vaginanya. Tak sedikit pun tetesan yang merembes kubiarkan jatuh. Kujilat dan kuhisap.

Gumaman dan erangan birahi kembali meramaikan kamar. Suara kami tidak jelas, tetap sama-sama mengabarkan nikmat dan puas.

Bi Ira nampaknya sudah dikuasai oleh hawa nafsu. Dengan cepat ia membalikan badan dan menduduki pahaku sesaat. Tatapannya sayu, bibirnya terbuka karena terengah-engah.

Kubantu mengangkat pinggulnya, sementara satu tangan Bi Ira bertumpu pada dadaku. Satu tangan dipakai untuk mengarahkan penisku.

Keningnya mengkerut, bibir bawah ia gigit. Sorot mata kami beradu sendu.

Cleeep…

“Mmmh…”

Clepp…

“Shhhhh…”

Bleeesssss..

“Aaaah…”

Bi Ira mendudukiku dengan kelamin menyatu utuh. Penisku terasa diremas dinding-dinding lembut dan basah vaginanya.


“Uuuh.. kang…” rintihnya.
“Mmmh.. Ira…”

Bi Ira mengambil nafas beberapa kali sebelum menaik-turunkan pinggulnya. Bi Ira meracau seirama dengan setiap tusukan dan goyangan. Gerakannya semakin tidak terkendali ketika aku menambah rangsang dengan meremasi kedua payudaranya.

“Uuuuh… sayang… sayang… aaah… uuuh… mmmh sayang…” ia tidak bisa diam. Pinggulnya bergoyang, mulutnya meracau, ranjang berderit keras.

Aku berinisiati duduk memeluknya. Kedua kaki kembali menjejak lantai. Bi Ira memeluk leherku erat hingga wajahku terbenam di atas payudara atasnya. Goyangannya semakin liar. Sekali-kali tubuhnya melenting ke belakang sehingga aku harus menahan kedua bahu belakang.

“Mmmh.. Ira…” aku semakin nikmat.

“Aaah.. ahh.. ahhh… suami… ssssh…. Kaaaang… aaah….”

Bi Ira memang tipe wanita yang gaduh ketika bercinta. Erangan-erangannya menaikan tensi birahiku.

“Kita bercinta, sayang.” aku terengah-engah.
“Iyah… shhh… uuuh… aa.. kang.. suamiku… sssh… nikmat, kang.”
“Ira istriku.”

“Ira punya akang.”
“Kontol akang punya Ira. Aaaarrrhhh…”

Ucapan tak terkontrol Bi Ira membuatku kalap.

Kujatuhkan tubuhnya kesamping dan langsung kutindih tanpa melepaskan kelamin. Bi Ira menjerti kecil. Kini aku yang bekerja. Kocokan dan pompaanku langsung tancap gas.

“Ssshhh… enak banget…” rintihnya sambil mencengkeram bahuku.

Bi Ira membelitkan kedua kakinya pada pinggangku. Sodokan-sodokanku ia imbangi dengan goyangan liar.

Dinginnya cuaca hujan sudah tidak lagi terasa. Kami berdua berpeluh, dan mengaduh gaduh.

“Ayoo kang.. siram.. siram.. ah…” Bi Ira sudah mendekati puncak.

Aku hanya bisa menggeram sambil mempercepat tempo. Pemisku terasa mengembang dan panas. Sepermaku sudah mendesak.

“Sssh.. iya… aaah…” aku limbung.

“Ira mau bucaaaat, kang. Aaaah….”
“Aku juga.”

Bi Ira mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi, kedua tangan meremas sprei. Matanya mendelik ke atas, mulut terbuka. Dadanya turun naik.

Dalam satu hentakan terakhir kusemburkan spermaku. Aku mengerang, Bi Ira menjerit kecil. Lantas aku ambruk menindihnya. Kami sama-sama puas, perasaan mengawang, lantas lemas.

Sesaat semesta seakan berhenti. Hanya deras hujan dan nafas kami yang kudengar.

Lantas kami menggeliat bersamaan. Kukecup bibirnya, ia menyambut lemah. Senyum kami sama-sama terulas. Kenikmatan ini tak terkata.

“Sssshhh… ngilu…” rengeknya manja ketika penisku terlepas, disusul lelehan cairan hangat.

Bi Ira memelukku dengan satu kaki menumpang di atas perut. Sikapnya berubah manja. Kuusap dan kurapikan rambutnya yang berantakan dengan jemari.

Cumbuan-cumbuan kecil masih kami lanjutkan dibumbui bisikan-bisikan mesra.

“Ira berisik banget, bagaimana kalau sebelah bangun?” tiba-tiba aku sadar akan keadaan.

“Gak akan.” jawabnya percaya diri.

Kuremas payudaranya dengan gemas, dan Bi Ira memanyunkan bibir. Kukecup gemas, ia tersenyum puas.

Kami benar-benar seperti pengantin baru. Tak puasnya bermesra, dan lelahnya bercinta. Penisku tegang kembali.

“Haus..” ujarnya.

Bi Ira bangkit dan turun dari ranjang. Ia menarikku menuju dapur dalam keadaan sama-sama telanjang.

Setelah minum kami kembali berpelukan. Bercumbu panas di dalam keremangan dapur. Babak baru percintaan kami mulai.

“Memek Ira gatel lagi.” rajuknya.
“Mau digaruk lagi.”
“He eh..” sambil mengangguk.

Bi Ira menaikan satu kakinya ke atas bale-bale. Kumasukan kembali penisku. Dan kami bercinta sambil berdiri. Percintaan kami tak kalah panas, dan kami akhiri dengan posisi baru. Bi Ira nungging bertumpu pada bale-bale yang menghubungkan dengan ruang tengah, sedangkan aku menyodok dari belakang.

Erangan panjang mengakhiri malam.



*

*

*


Kami warga kampung menyambut datangnya hujan dengan sukacita. Kampung mendadak sunyi karena hampir semua warga pergi ke sawah.

Hujan hanya reda sebentar di pagi hari, sisanya gerimis sepanjang siang. Siang ini aku dan Bi Ira bermesraan di dalam saung. Sekali-kali sambil mengawasi si ireng yang sengaja tidak kuikat.

Butuh perjuangan untuk bisa berdua seperti ini. Rara selalu mengikutiku, dan Bi Ira selalu di rumah. Bi Ira baru bisa keluar rumah karena harus menyabit rumput untuk kambingnya. Kang Mendung memeriksa sawah ke arah yang berlawanan.

“Jangan dicubiit.” rengeknya ketika aku memencet putingnya yang tegang dengan gemas.

Bagian atas tubuh kami memang tertutup, tetapi bagian bawah masih telanjang setelah menuntaskan hasrat yang tak ada kendornya.

Aku duduk bersandar tiang, Bi Ira merebahkan punggungnya pada dadaku. Tanganku menyelinap mengelus payudaranya.

“Jadi gimana rencanamu selanjutnya?” tanya Bi Ira sambil mendongak dan menyentuhkan bibirnya pada pipiku.

Sebelum bercinta memang aku telah menceritakan semuanya. Entah mengapa ceritaku bisa mengalir begitu saja tanpa ada yang kusaring atau kututupi. Aku merasa bahwa aku dan Bi Ira sudah tidak mempunyai lagi pembatas. Bukan hanya soal rasa dan tubuh yang sudah menyatu, tetapi juga soal pengalaman hidup.

Bi Ira sudah tahu tentang akar murungku tadi malam. Aku telah menceritakan tentang perselingkuhan uwa. Bukan hanya itu, aksiku di kampung Ciitil juga kuceritakan.

“Aku bingung.” gumamku.
“Bibi yakin mereka tidak akan mengulang, setidaknya untuk beberapa waktu ke depan.”
“Bibi?” aku melotot.
“Hehe.. iya.. Ira…”

Kuremas payudaranya hingga ia menggelinjang manja. Sesaat kami saling bercumbu basah.

“Kenapa Ira bisa seyakin itu?” tanyaku.
“Karena kamu membakar saung. Mereka pasti sadar bahwa ada yang menyaksikan perbuatan mereka, jadi mereka pasti ketakutan dan harus mikir dua kali untuk melakukan hal yang sama.” jelasnya.

Aku mengangguk setuju.

Sebetulnya tadi aku bercerita dengan emosi menggebu karena amarah pada uwa, tetapi Bi Ira membalikan ucapanku dengan sangat menusuk: kamu marah pada Mang Karman dan Bi Samping karena selingku? Lalu yang kita lakukan ini apa? Kita juga selingkuh, bukan?

Aku dan Bi Ira sempat bertengkar karena hal ini. Tetapi semuanya menjadi reda ketika emosi kami diselesaikan dengan jalan damai. Kelamin kami saling bersalaman. Dan desah kami menggaduhkan sekitar saung.

“Kang…”
“Hmmm…”

“Kalau menurut Ira, Kang Sena selesaikan dulu urusan di kampung, baru setelah itu membuat rencana untuk menggagalkan rencana Pak Kuncir. Kalau kamu masih ingin mencari Yuni dan meminta penjelasan, itu juga bisa kamu urus nanti.” ujarnya sambil mengusapi dadaku.

Aku diam menyimak.

“Kalau menurut Ira, Bi Karman harus tahu tentang perselingkuhan suaminya dengan uwamu.” tutur Bi Ira lagi.

“Heh? Bukannya itu malah akan melukai perasaan Bi Karman, dan mencoreng nama baik uwa juga?” aku terheran.

“Bi Karman pasti akan sedih dan kecewa, tapi percayalah ia akan tabah. Ira yakin, Bi Karman juga tidak akan meminta cerai.”

“Kok Ira yakin?”

“Sekarang Kang Sena tidak mengerti, tapi akan tiba waktunya akang paham.” Bi Ira tiba-tiba berubah misterius.

Kamu terus ngobrol sambil saling membelai. Kadang sedikit ngelantur tetapi kemudian kembali fokus pada persoalan. Intinya, Bi Ira mendukung apapun yang akan kulakukan. Bahkan ia siap membantu jika aku ingin menemui Yuni, anaknya Pak Kuncir.

Aku pun menjadi tegar dan mantap dengan langkah ke depan. Ada Bi Ira yang selalu menemani. Bahkan ia tidak marah ketika mendengar aksiku yang setengah brutal. Wanita di dalam pelukanku adalah satu-satunya orang yang mengerti aku. Rencana ke depan kembali kutegaskan, dan Bi Ira mengamini.

“Jadi Bi Karman masih seksi?” godanya.

Haish.. aku menyesal kalau aku menceritakan pertemuanku dengan Bi Karman di tampian kemarin sore. Kini wanitaku sudah mulai mengalihkan obrolan serius dan kembali pada urusan yang tidak penting.

“Seksian istriku.” jawabku cepat sambil menurunkan tangan kiri pada selangkangannya.

“Masa?” rengeknya.

Ia menggelinjang, tetapi tidak menolak ketika telapak tanganku mengusapi vaginanya dan memasukan satu jari.

“Iya, istriku yang paling hebat.” rayuku.

Kini aku mengenal sisi lain dari seorang Bi Ira yang selama ini tidak kukenal. Pikirannya ternyata nakal. Ia terus saja mengganggu pikiranku dengan membahas kemontokan tubuh Bi Karman. Bukan hanya dia, ia juga mengatakan bahwa Uwa Samping sangat seksi dan pasti panas di atas ranjang.

Aku awalnya merasa tidak nyaman, dan bahkan kesal. Bi Ira seolah merelakanku jika aku tidur dengan wanita lain. Sama sekali tidak ada ekspresi cemburu.

“Kang Sena milik Ira.” sambil menunjuk dadaku. Ucapan itu yang membuatku reda. Hatiku miliknya walaupun tubuh mungkin berkhianat.

Obrolan saru kami kembali membangkitkan nafsu. Ada imajinasi-imajinasi primordial seputar selangkangan yang membuat kami kembali terangsang.

“Istrimu ini ingin lagi.” bisiknya di telingaku.
“Ingin apa?” godaku.
“Diewe suami hihi…”

Jadilah… aku kembali menggagahi Bi Ira dengan liar. Nafsu birahiku kali ini berlipat-lipat, karena bukan hanya Bi Ira yang kusetubuhi, melainkan juga ada bayangan-bayangan erotis tubuh uwa Samping dan Bi Karman dalam benakku. Aku tidak menyangkal, bayanganku ada pada tubuh Bi Karman ketika aku menggenjot selangkangan Bi Ira.

Bi Ira sendiri tak kalah liarnya. Ia seperti sedang punya imajinasi sendiri. Gerakannya liar, erangannya erotis, dan kata-katanya binal.

“Uuuh nikmat banget, sayang.” lenguhnya.
“Iya, Ira sayang. Kamu hebat.”

“Kamu suamiku.. suami Ira… milik Iraaaa… aaaah….”
“Lalu mamang?”
“Kamu suamiku, sayang. Ira milik akang.”
“Semuanya?”
“Iyah ah ah ah.. memek Ira juga… sssh… mmmmh… semuanya.”

“Hhhhrrr…. Ira istriku. Aah…”
“Ayo suamiku…. aaaah… uwamu harus tahu kalau Ira nikmat sekali… Bi Karman aaah.. lihat suamiku sangat perkasa.” racauan Bi Ira makin tidak terkontrol.

“Ooh.. Ira kok gitu. Aku hanya milik kamu.” aku semakin mempecepat genjotan.
“Wanita berhak mendapatkan kenikmatan begini, sayang.. aah aah aah.. iyah… yang keras… uuuh…. mereka juga harus tahu kalau suamiku perkasa. Entot mereka… aaah….”

“Aaah… Ira… kamu binal, sayang.”

Kami sama-sama mengerang panjang. Bi Ira kelejotan hebat ketika menyambut semburan spermaku. Ini mungkin orgasme terhebat yang kurasakan, juga yang Bi Ira dapatkan. Imajinasi liar dan erangan binal menjadi pemicu kenikmatan yang berlipat. Sisanya disimpulkan dengan kata bersambung….
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd