Mampukah kau hadir dalam setiap mimpi burukku
Mampukah kita bertahan di saat kita jauh
Seberapa hebat kau untuk ku banggakan
Cukup tangguhkah dirimu untuk selalu ku andalkan
Episode IX
Luna Nueva
Dengan kemantapan hati aku melangkahkan kakiku menuju lantai 7 RS Trikarya Husada. Aku berharap bisa menemui dokter Alvaro pagi ini. Aku sengaja tidak mengirimkan
whatsapp apapun untuk melakukan janji temu, karena berbeda dengan pertemuannku 2 hari yang lalu, hal yang akan kubahas pagi ini adalah hal personal.
Hal pribadi.
Karena aku, dengan seluruh akal sehatku, bertekad untuk melawan perintah suamiku sendiri demi mendapat ketenangan hati nurani. Aku tak ingin membebani pasien hanya karena ketamakan Ravi memonopoli pasar obat di RS ini. Yang mana bila itu tercapai, harga pengobatan di RS akan makin menjulang tinggi.
Aku tak bisa membiarkan itu terjadi. Tidak bila aku bisa melakukan sesuatu.
Aku tiba di depan meja mbak Tika.
“Selamat pagi mbak Tika, saya ingin menemui dokter Alvaro pagi ini. Beliau ada ditempat?”
Tanpa basa-basi aku langsung meminta waktu untuk menghadap dokter Alvaro.
“Oh.. sayang sekali dok.. hari ini beliau sibuk. Pukul 9.00 pagi ini beliau dipanggi menghadap dewan komisaris.” sahutnya dengan riang.
Yang sangat berkebalikan dengan perasaan hatiku saat mendengarnya…
Yah, tapi memang salahku. Aku dengan mudahnya berpikir pasti dokter Alvaro akan mau meluangkan waktunya untukku. Aku dengan bodohnya melupakan jabatannya sebagai seorang COO di RS sebesar ini. Tentu dia memiliki kesibukan yang luar biasa…
“oohhh.. Baiklah kalau begitu mbak Tika. Saya akan coba mencari waktu lain untuk menemuinya. Terimakasih.”
Hufft… pupus sudah harapanku untuk bisa menemui dan meminta arahan dari dokter Alvaro sebelum menemui Ravi siang ini. Pertemuan dengan dewan komisaris pasti akan memakan cukup banyak waktu.
Dengan langkah gontai aku berjalan kembali menuju kantorku. Aku memilih untuk menenggelamkan diri dalam pekerjaanku. Hari ini bu Vera mengajak untuk rapat internal tim logistik. Kami perlu strategi dan menguatkan proses peninjauan ulang permintaan barang-barang medis. Terutama obat. Ini sebagai tindak lanjut dari rapat bulanan divisi umum kemarin.
Berulang kali aku harus mencubit dan menggeleng-gelengkan kepalaku sendiri selama rapat berlangsung. Karena aku merasa sangat sulit berkonsentrasi. Alih-alih berfokus pada topik laporan bulanan kemarin, pikiranku justru melayang kembali pada kejadian setelahnya.
Di kantor dokter Alvaro. Amarahku pada dokter Alvaro. Dan terutama pelukannya…
Betapa aku merasa hangat dan terlindung dalam dekapannya. Seolah dia siap untuk melindungiku dari apapun yang mungkin menggangguku.
Tinggi badannya tak berbeda jauh dari Ravi. Dugaanku pasti diatas 175cm. Karena dia masih lebih tinggi dariku saat aku mengenakan sepatu
heels ku. Tapi caranya memeluk dan merengkuhku sangat jauh berbeda dari cara Ravi memelukku. Dokter Alvaro seolah tak ingin aku menjauh darinya barang sesenti pun. Seolah tak rela bila aku keluar dari dekapannya.
Sampai bau harum tubuhnya betul-betul merasuk dan menghantui indraku. Kekuatan otot lengannya bahkan masih bisa kurasakan di sekujur tubuhku karena eratnya dia menahan tubuhku yang terisak kemarin.
Fuck… aku bahkan menangis seperti anak kecil di hadapannya kemarin… dan kenapa aku bisa mengingat kesemuanya dengan sejelas itu… ini jelas sangat menggangguku… Aku tak bisa bekerja seperti ini. Dan terlebih ini adalah suatu hal yang salah.
Sangat salah.
Ingat. Aku dan dia sama-sama sudah punta keluarga masing-masing…
Aku harus melakukan sesuatu untuk menghentikan ini semua. Sebelum situasi menjadi semakin tak terkendali…
Ring… ring… ringg..
Ponselku mendadak berdering kencang… membuyarkan konsentrasi rapat kami. Kulirik layarnya dan kulihat nama dokter Alvaro terpampang disana.
Entah kenapa jantungku seketika berdebar kencang. Terasa telapak tanganku pun mulai berkeringat…
come on… ini cuma telepon dari dokter Alvaro loh… kenapa aku begitu deg-degan seperti ini…
Masa cuma karena dia menelpon, kamu sudah salah tingkah?
Ya,,, memang sih ini mendadak, dan dokter Alvaro sebelumnya belum pernah menelpon aku secara langsung seperti ini…… mungkinkah dia tau aku sedang memerlukan arahan dan saran darinya… membutuhkan bantuannya?
Pikiranku mulai ngaco… aku menggelengkan kepalaku, mengusir jauh perasaanku yang aneh dan tak menentu itu, dan segera kuangkat telpon itu.
Kulirik sekilas kearah jam dinding di ruang rapat logistik. Pukul 10.15. Masih ada waktu, begitu pikirku... Jika aku bisa meminta waktu untuk bertemu dengannya barang sebentar… sebelum Ravi menginjakkan kakinya di RS ini.
“Ya, halo dokter Alvaro, selamat pagi…” sapaku kedalam telepon itu. Berharap debaran jantungku tidak kentara dalam getar suaraku.
“Halo dok, saya minta bantuan tolong di emailkan ke saya segera. Laporan pengadaan obat 3 bulan terakhir, untuk 20 besar obat yang paling kita sering beli dan mengeluarkan cost besar.” terdengar suara dokter Alvaro yang nampak sangat serius.
Nada suaranya seketika membuatku tertular dengan profesionalitasnya.
Dia tak terpengaruh dengan kejadian kemarin, dan dia masih bisa bekerja optimal seperti ini. Aku pun harus bisa… harus bisa mengatur perasaan…
“Siap dok. Akan segera saya siapkan dan kirimkan datanya.” jawabku sigap.
“Terima kasih dok” sahut dokter Alvaro seraya menutup telepon.
“Maaf sekali bu Vera, saya harus menyiapkan laporan pengadaan obat untuk dokter Alvaro. Sepertinya beliau membutuhkannya sesegera mungkin. Silakan bu Vera dan teman-teman melanjutkan pertemuan ini dulu. Saya akan menyusul setelah mengirimkan
file yang diminta beliau.”
“Ya dok. Silakan. Kami juga paling-paling sebentar lagi selesai kok dok.”
Setelah mendapat ijin, aku segera berjibaku dengan komputer ku. Tak sulit mencari data yang diminta dokter Alvaro. Selama kamu tau dimana mencari dan menyimpannya. Setelah mendapatkan apa yang kucari, segera kusimpan ulang dalam format yang lebih mudah dibaca, dan langsung kukirim ke email dokter Alvaro.
And just like clockwork, setelah aku menekan tombol send di emailku. Ponselku kembali berdering… Ravi kali ini.
“Ya, Pa. Halo…”
“Luna, aku sudah dalam perjalanan menuju RS. Gimana, kamu bisa datang ke
foodcourt ga sekarang?”
“Sekarang, Pa? Lha Papa aja kan masih perjalanan… ini aku baru aja mau minta ijin ke Bu Vera. Kalau aku diijinkan aku bisa datang tepat waktu nanti.”
“Ya udah sana, kamu tunggu apa lagi. Buruan minta ijin. Waktuku terbatas. Masih banyak pertemuan dengan
supplier dan mitra kerja lainnya hari ini.” ujar Ravi seraya menutup telepon.
Tuhan… kurang berat apa hari ini…
Aku keluar dari bilik kantorku, dan kebetulan sekali rapat sudah usai dan bu Vera hendak kembali ke biliknya. Buru-buru aku menyusulnya.
“Bu Vera, maaf… tapi ini kebetulan suami saya datang ke RS, dan dia ingin mengajak saya makan siang bersama… kalau boleh saya ijin untuk makan siang lebih awal, bu?. Saya akan kembali bekerja disini segera setelah saya selesai makan siang dengan suami.”
“Tentu saja boleh dok. Saya tak bisa melarang hal macam itu… aduh aduh, romantis sekali suami dokter Luna ini. Bikin saya iri saja… selamat menikmati makan siang.” sahut bu Vera riang.
Keriangan yang sayangnya tak bisa kurasakan…
Andai saja ini benar-benar romantis seperti yang kau pikirkan bu… Makan siang yang berselimutkan transaksi bisnis, lengkap dengan segala intrik nya. Bahkan bila aku bisa mengumpulkan cukup nafsu makan untuk menghadapinya, mungkin sudah merupakan suatu capaian untukku.
Aku berterimakasih pada bu Vera seraya tersenyum simpul kearahnya.
Setibanya aku di
foodcourt, aku sengaja memilih restoran yang agak lengang, dan menempatkan diri di meja yang terletak di ujung paling belakang. Topik yang akan dibahas sangat riskan dan berbahaya bila terdengar oleh pihak yang salah. Akupun sebenarnya sangat tidak ingin terlibat dalam hal ini. Bahkan dengan ada disini saja, aku sudah merasa sangat bersalah…
Kukirimkan pesan WA pada Ravi, mengabarkan kalau aku sudah menunggunya di
foodcourt.
“Siang dok, mau pesan apa?” pelayan restoran menghampiriku.
“Ah, iya.. tolong susu coklat panas……” sahutku otomatis. Karena itu adalah minuman favoritku. Kemanapun aku pergi, hampir selalu aku memesan itu.
Tapi setelah kata-kata itu terlontar dari mulutku, pikiranku seketika melayang ke hal lain. Ke waktu 2 hari yang lalu,,, pagi hari,,, di kantor dokter Alvaro…
Saat itu dia juga menyuguhkan susu coklat padaku……
“Ahhh.. Luna.. bagus-bagus. Kamu sudah ada disini.” terdengar suara Ravi memecah lamunanku.
OMG! Ravi sudah disini. Berapa lama aku melamun?
God!! Kenapa aku jadi seperti ini sih… Cuma gara-gara dokter Alvaro…
Kuarahkan pandanganku kembali ke arah
waitress yang tadi mencatat pesananku, dari wajahnya, nampak dia agak kesal karena aku membuatnya menunggu. Tapi dengan keluwesan terlatihnya,
waitress itu segera menawarkan buku menu pada Ravi.
Dan apakah itu kerlingan mata yang kulihat sekilas diarahkannya ke Ravi?
Tak bisa dipungkiri, dengan tinggi 180cm dan badan tegap, lengkap dengan kemeja resmi, dasi formal dan jas kerjanya yang terselempang di sikunya, Ravi nampak sangat tampan siang ini. Dia memang sangat mengedepankan penampilan. Apalagi hampir tiap hari dia bertemu dengan klien dan supplier penting di perusahaan. Jam tangan Breitling hitamnya pun menghiasi pergelangan tangan kirinya.
“
Chicken Cordon Bleu untukku, dan sebotol air mineral dingin plus es batu.” Ravi berkata pada pelayan restoran. “Dan kamu Ella, kamu mau pesan apa?” lanjutnya seraya menoleh kearah Ella.
Aku terkesiap. Sekejap tadi aku benar-benar lupa kalau Ella juga akan hadir siang ini. Dan ikut dalam pertemuan makan siang ini…
So much for a ‘romantic’ lunch…
Tapi yang lebih perih menyayat hatiku… kenapa Ravi justru lebih dulu menanyai Ella… Dia lebih peduli pada Ella dibanding aku?
Ella siang ini mengenakan dress warna merah maroon tanpa lengan, dengan belahan dada cukup rendah. Dia memadukannya dengan sepatu Louboutin hitam beludru nya. Sangat mencolok penampilannya di RS ini. Seolah dia hendak pergi menghadiri suatu pesta saja. Ini sebenernya pertemuan macam apa sih….
Seketika aku memandang pada diriku sendiri, membandingkan betapa ‘berbeda’ penampilanku dengannya. Aku hari ini memakai atasan kemeja putih satin yang kupadukan dengan blazer navy berbahan
faux fur dan celana panjang dengan potongan pensil. Tak lupa kupakai sepatu heels Valentino berwarna
nude untuk melengkapi penampilanku. Sepatu pemberian dari Ravi yang dia secara khusus memintaku untuk memakainya bekerja setiap hari.
Permintaan yang sekarang cukup mudah kuturuti, karena toh sepatu ini memang nyaman. Terlebih jabatanku yang tidak lagi di IGD. Kalau dulu aku masih bekerja secara fungsional, sepatu hak tinggi itu sungguh sangat menyiksa karena aku tak bisa gesit bergerak kesana kemari untuk melayani pasien.
Keberadaan Ella disini benar-benar menguras nafsu makanku. Andai aku bisa memilih, aku akan lebih memilih untuk makan siang bersama bu Vera dan rekan-rekan tim logistik di kantin karyawan. Menunya mungkin akan jauh lebih sederhana. Tapi kuyakin akan terasa lebih nikmat dibanding apapun yang akan kusantap siang ini.
“Hmm.. menu macam apa ini… sederhana banget sih untuk RS sekelas ini.” sindiran Ella menusuk telingaku.
Kembali aku menghela nafas panjang. Aku ga boleh berpikir pesimis terus seperti ini. Terbawa dan terpengaruh emosi seperti ini. Mengumbar kelemahan diri sendiri hanya akan membawa petaka. Aku harus bisa membawa diri.
“Dokter Luna mau pesen makan apa dok? Atau cuma mau minum saja?”
waitress itu kembali memfokuskan perhatiannya padaku. Daripada dia makin makan hati berhadapan dengan Ella si ular beludak itu.
“Tidak, terimakasih mbak… cukup itu saja untukku.”
“Ayo cepet Ella… mau pesen apa kamu. Milih gitu aja lama.” hardik Ravi.
“Ice lychee tea,
less sugar. Lalu caesar salad, tapi saya minta telurnya telur kampung, setengah matang, dan keju parmesannya diiris, jangan diparut… ah, dan
crouton nya saya minta roti gandum
wholemeal ya. Catet.” cerocos Ella.
Spontan aku memutar bolamataku. Dasar rempong. Ribet amat sih hidupnya. Dan dari pandangan sekilasku ke arah pelayan tadi. Diapun juga sangat kesal mencatat pesanan Ella.
Semoga ga dikasi racun aja tu salad nya Ella…
“Mana Tyas?” tanya Ravi kearahku.
“Aku belum melihatnya tuh, Pa.”
“Hmm.. coba kutelepon dulu dia. Lagipula ini juga baru jam 11.15. Mungkin dia lagi sibuk.”
Bah! Baik bener kamu kalau sama Tyas. Coba kalo aku yang telat… Dari kemarin cerewet aja ‘jangan terlambat’, ‘jangan terlambat’…
Double standard much!
Sedang aku, udah berusaha datang ontime sesuai maumu. Bahkan bisa menepati janjiku yang bisa hadir lebih awal dari Tyas. Bahkan lebih awal darimu yang maniak efisiensi. Tak ada ‘terimakasih’. Tak ada apresiasi.
You always take me for granted. Seolah aku tak perlu diperhatikan…
Setelah beberapa saat, barulah telepon Ravi tersambung ke bu Tyas…
“Halo, Tyas. Ah, iya… ini aku sudah tiba di RS Trikarya. Sekarang kami sudah menunggumu di
foodcourt. Langsung datang kemari ya… Kamu mau kupesankan apa dulu ini? Sembari menunggu?”
Lagi dan lagi… perhatianmu kamu tujukan ke orang lain. Dan bukan ke istrimu sendiri…
“Oke. 1 spaghetti bolognese dan 1 lemon tea ya.” Ravi mengulang pesanan Tyas seraya memberi sinyal pada
waiter kalau dia akan memesan tambahan makanan.
Sesudah semua pesanan makanan dan minuman kami diproses. Ella nampak mulai sibuk mengeluarkan ponsel dan cermin kecilnya. Mengecek apakah
make-
up dan
lipstick nya masih sempurna.
Bukankah mereka ini kesini mau memberikan penawaran untuk penyediaan obat? Lantas mana brosur dan berkas penawaran yang seharusnya mereka tampilkan. Kulirik ke arah Ravi. Dia juga nampaknya tak membawa berkas semacam itu. Ravi tidak membawa tas apapun. Hanya ponsel dan jas nya yang sekarang tersampir di punggung kursi tempatnya duduk…
Aneh sekali.
“So, Luna…” Ella membuka pembicaraan setelah menaruh cermin lipatnya diatas meja. “Kamu sekarang jadi kepala gudang ya?” sambungnya Ella pedas.
“Jabatan resmiku adalah Kepala Bagian Logistik Farmasi, Ella” jawabku seraya mengertakkan gigi. “Namun, sepertinya otak kecilmu itu kesulitan untuk mengingat……..”
Tapi kemudian Ella langsung memotong omonganku. “Ya, ya, ya… bla.bla.bla… hanya kata-kata kosong.” Ella melambai-lambaikan tangannya yang lengkap dengan kuku manicure merah panjangnya kearahku. Seolah ingin aku menutup mulutku. “Demi memperindah posisi buluk macam itu. Hahahhaa… aku bahkan tak yakin itu bisa kau sebut sebagai kenaikan jabatan. Kamu sekolah tinggi-tinggi demi gelar dokter, akhirnya cuma kerja jadi kepala gudang. Bahkan di perusahaanku pun, kepala gudang cukup hanya lulusan SMK.”
Emosiku memuncak diubun-ubun. Aku benar-benar ingin mencekik dan menjambak rambut Ella untuk membungkam mulutnya. Bahkan adu cakar dengannya pun aku berani, meskipun kukuku pendek karena dokter tidak diperkenankan memelihara kuku. Hampir ku berdiri dari kursiku, sebelum 2 hal terjadi secara bersamaan.
Tangan Ravi bergerak keatas pahaku untuk menahanku berdiri. Dan
waitress datang dengan membawa pesanan minuman kami.
Seketika aku teringat. Aku sedang berada di tempat umum. Di restoran. Di RS Trikarya Husada.
Meski hatiku dongkol dan telingaku panas mendengar cacian Ella, aku bersyukur Ravi menghentikanku dari perbuatan konyolku.
Bayangkan, seorang dokter umum bertengkar dengan pengunjung RS. Bila berita ini tersebar kemana-mana. Tamat sudah riwayatku.
Kutarik nafas dalam-dalam, meredam semua amarahku. Susu coklat panasku yang sudah tersedia dihadapanku segera kusesap perlahan, untuk bisa menenangkan hatiku.
Dan karena aku diam, tidak membalas omongan Ella, dia nampaknya cukup puas. Dia tak lagi melanjutkan cercaannya padaku. Atau mungkin itu karena Ravi pun juga memberinya peringatan dengan tatapan tajam untuk tidak melanjutkan pertengkaran kami yang kekanakan ini.
Ringg… ringg…
Dering telepon berbunyi memecah keheningan di meja makan kami. Ponsel Ravi.
“Halo… Ya, betul ini Ravi Godjali…. Ah ya, terkait perjanjian harga bulan lalu…………” Ravi bergerak melangkah menjauh untuk menerima telepon itu. Nampaknya dari relasi bisnisnya yang lain. Entahlah, aku tak tahu menahu dan tidak pernah diberi tahu olehnya terkait pekerjaan Ravi.
Tinggalah hanya aku dan Ella di meja itu. Aku memilih tak melihat kearahnya sama sekali. Daripada menyulut perdebatan dan pertengkaran tak penting lainnya. Kuambil ponselku, dan melihat apakah ada pesan atau tugas lain yang kulewatkan di RS. Setelah yakin tak ada yang mencariku di kantor, aku beralih untuk menelpon Phoebe. Wajah imutnya pasti bisa menghibur hatiku yang kecut.
Tak butuh waktu lama sebelum telponku tersambung ke ponsel dirumah.
Babysitter Phoebe yang mengangkat telepon.
“Halo sus, mana Phoebe?”
“Phoebe baru saja tidur bu… baru saja saya hendak hangatkan susu untuk diminum Phoebe.”
Aku menelpon disaat kurang tepat rupanya. “Oh, ya sudah kalau begitu. Tolong fotokan wajah tidurnya ya, Sus. Saya kangen. Jagain Phoebe ya.”
Dengan berat hati kututup sambungan telepon dan terus memegang ponsel. Menanti kiriman foto Phoebe manisku…
Bersamaan dengan kuterima foto itu, nampaklah bu Tyas datang memasuki restoran bersama dengan Ravi. Lagi-lagi aku menyadari ada yang tak biasa dengan penampilan bu Tyas. Selain dari cara jalannya yang berlenggak-lenggok berlebihan, sepatu yang dia kenakan pun sangat berbeda dari biasanya.
Bu Tyas masib mengenakan seragam karyawan RS Trikarya Husada. Yang kemudian membuatku berpikir lagi… anehnya, sampai hari ini aku belum diminta untuk mengepas ataupun mengambil seragam semenjak kepindahanku ke divisi umum. Memang untuk dokter yang bekerja sebagao
frontliner di pelayanan dan fungsional, ketentuan seragam hanyalah jas putih yang sudah identik menjadi identitas kami. Namun sekarang jabatanku sudah berbeda bukan……
Hmmm… suatu pertanyaan besar lainnya yang menjadi PR untuk kutanyakan kepada pak Roy. Atau dokter Alvaro?...
Well, apapun itu… seragam yang dikenakan bu Tyas entah kenapa siang ini nampak sangat amat ketat. Seperti 1 ukuran lebih kecil dari yang biasa dikenakannya. Otomatis memamerkan semua lekuk tubuhnya. Dan dia berjalan dekat, sangat dekat dengan Ravi. Dalam hati aku yakin, hanya karena aku disinilah, dia masih menahan diri untuk tidak menyandarkan badannya atau mengalungkan lengannya ke lengan Ravi.
Iya memang mereka adalah teman masa kecil (sesuai pengakuan Ravi). Tapi bahkan orang buta pun akan tahu dari gelagat bu Tyas, kalau jelas bu Tyas mengincar Ravi.
Bu Tyas adalah seorang
single-
mother. Putra semata wayangnya masih kecil, kelas 1 SD. Suaminya meninggal di usia muda karena penyebab yang kurang jelas. Ada yang bilang karena kelelahan merantau dan melaut.
“Siang dokter Luna. Siang bu Ella… mohon maaf saya sudah membuat anda semua menunggu. Tadi saya masih bertemu dengan beberapa dokter spesialis yang mengeluhkan pengadaan obat.” cerocos bu Tyas seraya menyodorkan tangan.
Aku mencoba menahan diri dan mengatur emosiku. Tapi aku tetap akan menunjukkan posisiku sebagai istri Ravi yang sah. Wanita-wanita jalang ini boleh saja bertingkah semau mereka dihadapan Ravi. Tapi jangan harap mereka akan bisa menarik perhatian Ravi lebih dari urusan bisnis.
Aku mendengus dalam hati, menarik kursiku mendekat ke arah Ravi. Dan duduk berhimpitan dengannya. Ravi nampak kurang nyaman dengan kedekatanku. Dia memang kurang suka dengan
public display of affections. Tidak profesional dan tidak pantas katanya.
Bah. Profesional macam apa yang menghadiri pertemuan resmi di RS untuk membahas kerjasama farmasi berpakaian seperti itu……
Ravi saja yang buta.
Ditengah pikiranku yang carut marut, aku sama sekali tak menyadari kalau mereka bertiga sudah mulai membahas tentang kerjasama dan perjanjian eksklusif PT. Dwipangga dan Godjali group sebagai supplier obat utama RS Trikarya Husada.
Hanya saat tiba-tiba namaku disebutlah aku tersadar perhatian mereka semua mendadak tertuju kearahku.
“Maaf aku sama sekali tak mendengar, pembahasan kalian tadi. Kenapa kamu memanggilku?” aku sengaja hanya memfokuskan perhatianku kepada Ravi, mengabaikan Ella dan Tyas.
“Itu.. tadi Tyas bilang. Semua perjanjian dan kerjasama ini akan bisa terwujud bila ada lampu hijau dan persetujuan dari direktur Umum. Dokter Al, siapa tadi namanya?” Ravi menjelaskan ulang kepadaku.
Degh.. dokter Alvaro. Lagi? Kenapa namanya lagi yang disebut-sebut.
“Okay. Lalu?” selidikku lebih lanjut karena mereka bertiga tak lagi melanjutkan pembicaraan.
“Ya itu dia. Dokter Alvaro…” dengus bu Tyas. “Dokter Luna juga tahu sendiri kan, seperti apa dokter Alvaro itu.”
Serigala. Benci segala kecurangan. Penggelapan. Bahkan kemarin dialah yang membongkar keburukan pengelolaan vaksin yang merugikan RS. Tidak kenal ampun.
Merciless.
Itulah
image dokter Alvaro. Yang menjadi momok di seluruh RS Trikarya Husada.
Tapi aku memilih diam, dan memasang wajah bodoh. Biarlah penilaian itu keluar dari bu Tyas sendiri. Biarlah Ravi dan Ella mendengarnya dari orang lain dan bukan aku.
Karena akupun tak yakin penilaianku akan dokter Alvaro sekaranv akan sama seperti saat awal aku belum begitu mengenalnya….
Bukan berarti sekarang aku lebih mengenalnya. Tapi semua langkah yang diambilnya masuk akal. Dan bersih. Berbeda dengan kebanyakan orang berjabatan setinggi dia. Tapi justru itulah yang membuatnya berbeda.
“Maksud bu Tyas?” tanyaku dengan nada menyelidik. Berharap dia akan terpancing dan membuka pendapat tentang dokter Alvaro.
“Kaya dokter Luna ngga tau aja. Ya seperti yang kemarin itu lo dok. Baru-baru ini dokter Alvaro merombak aturan pengadaan obat dan penyimpanan vaksin. Karena beliau mendadak melakukan sidak (inspeksi mendadak) ke instalasi farmasi. Dokter Luna pasti tau lah yang mana… Kan dokter juga di RS terus. Ceritanya udah nyebar kemana-mana.” cerocos bu Tyas.
Aku tersenyum licik. Haha… mudah juga bu Tyas ini kujerat. Entah terlalu polos atau terlalu bodoh. Malah sampai membuka korengnya sendiri. Aku melirik ke arah Ravi. Berharap dia akan menyadari betapa tidak cakapnya bu Tyas. Dan betapa beresiko dan berbahaya bagi Ravi jika dia bersikeras untuk tetap melanjutkan perjanjian kerjasama.
Tapi sayangnya Ravi nampaknya sudah tidak berpikir dengan akal sehatnya…
“Nah justru itu Luna… Tyas tadi bilang, dokter Alvaro cukup susah didekati. Tapi sepertinya dia percaya pada jajaran dibawahnya di divisi umum.” Ravi mengarahkan pandangan penuh arti kepadaku.
“Iya dokter Luna. Betul itu. Dokter Alvaro sudah sangat anti pada jajaran dan direktorat medis. Kalau masukan dan tawaran ini datang dari saya, pasti akan langsung ditolak mentah-mentah.” bu Tyas seraya menimpali omongan Ravi.
“Posisi dan jabatan kamu sekarang strategis Luna. Sebagai kepala gudang, dan dibawah direktorat umum………..” Ella ikut angkat bicara.
“Kami bertiga sepakat untuk memintamu menghadap dokter Alvaro segera. Untuk dapat membantu melancarkan proses kerjasama ini.” tutup Ravi.
Pandangan mereka bertiga mendadak berfokus padaku. Mata mereka menyiratkan harap dan kerakusan yang tak terbantahkan lagi. Dan di mata Ella sekilas juga terbersit pandangan meremehkan kearahku. Yang seolah berkata, aku harus melakukan segala cara, bahkan memanfaatkan tubuhku, untuk mendapat persetujuan dari dokter Alvaro.
Seketika tenggorokanku kering. Bahkan untuk menelan ludah pun rasanya sakit.
Aku mendadak tersudut seperti ini.
“Ehmm..”
“So… kamu tunggu apa lagi. Karena pertemuan kita sekarang sudah berakhir. Segeralah buat janji temu dengan dokter Alvaro itu hari ini juga. Akan kutunggu kabar baik darimu nanti sesampai kita di rumah.”
Bertepatan dengan itu, sajian santap siang kami pun tiba. Mereka bertiga tampak lahap menyantap makan siang mereka. Sedangkan aku, bahkan untuk menghabiskan segelas susu coklat favoritku pun aku tak bisa. Untunglah aku tidak memesan makanan apapun. Karena aku sama sekali tak memiliki nafsu.
Otakku berpikir keras. Bagaimana aku harus melakukan ini. Menuruti perintah Ravi
blindly seperti biasanya. Dengan mempertaruhkan reputasiku di RS ini. Dihadapan dokter Alvaro…
Sungguh ingin hatiku berontak. Tapi sekali lagi aku tak berdaya.
Kukeluarkan ponselku… untuk mengirimkan pesan janji temu dengan dokter Alvaro.
Dan kulihat pesan masuk dari
babysitter ku. Pesan berisi foto Phoebe yang sedang tidur… seketika hatiku terpecah.
Ada kedamaian yang kudapat dari wajah Phoebe yang lelap. Tapi sampai kapan dia akan bisa seperti ini. Akankah Phoebe bisa terus damai dan bahagia bila aku terus menerus bertentangan dengan Ravi… Akan jadi keluarga macam apa kami nanti… Gimana nanti kalau pertumbuhan dan perkembangan Phoebe terdampak karena perselisihan kami…
Demi Phoebe…
Ya. Hanya demi Phoebe. Aku akan kembali menuruti Ravi…
Sore hari
Langkah beratku mengantarku kembali ke lantai 7. Siang tadi aku membuat janji temu dengan dokter Alvaro via mbak Tika. Sudut hatiku yang terdalam berharap dokter Alvaro akan sibuk sepanjang hari ini sehingga tak akan bisa menemuiku.
Tapi nampaknya hari ini dewi Fortuna sama sekali tak memihak padaku. Mbak Tika mengirimkan pesan WA padaku yang mengatakan dokter Alvaro ada dikantornya saat ini dan beliau tak memiliki agenda pertemuan ataupun rapat lain hari ini.
Artinya, dia memiliki banyak waktu untuk aku menghadap.
Berbeda dengan pagi ini, dimana aku sangat semangat untuk menemuinya… sore ini menemuinya adalah hal terakhir yany ingin kulakukan
Kuketuk pintu kantor beliau perlahan, dan tanpa menunggu jawaban aku membuka pintunya perlahan. Dokter Alvaro nampak sedang duduk di kursi kerjanya, kedua tangan memegang kepalanya. Seperinya diapun mengalami nyeri kepala yang sama seperti yang sedang kualami.
“Permisi dokter Alvaro, selamat sore.”
“Dokter Luna… silakan duduk. Ada yang bisa saya bantu, dok? Ada kesulitan?”
Aku berpikir keras bagaimana caraku menanyakan persoalan Ravi dan rencananya untuk menjadikan PT. Dwipangga supplier obat utama, tapi tanpa menunjukkan ataupun menjuruskan pada oknum tertentu.
Lagipula, tanpa data lengkap, akan sangat berbahaya menyudutkan salah satu pihak. Terlebih bila pihak yang terlibat kesemuanya berhubungan dekat dengan aku sendiri..
“Dok?... sepertinya berat sekali pikiranmu… ada apa?” kembali dokter Alvaro menanyaiku.
Benarkah itu gurat kecemasan yang terpampang diwajahnya? Atau hanya lelahnya yang kemudian kuartikan berbeda…
“Begini dok… saya ada pertanyaan… bagaimana kita bisa tau dan mendeteksi secara dini adanya permainan ataupun monopoli pasar oleh salah satu supplier pabrikan tertentu?”
Aku mencoba perlahan bermain di tepian topik. Entah kenapa aku sangat takut berhadapan dengannya hari ini. Takut tertangkap basah. Walau aku tak terlibat apapun. Aku tau seberat apapun aku mengelak, yang dilihat oranglah yang akan dipercayai.
Sebegitu dalamnya aku tenggelam dalam perasaan ini. Aku sampai tak mendengar jawaban dan penjelasan dokter Alvaro…
Sampai dia memanggil namaku…
“Luna? Kamu nampak sangat tidak konsentrasi sore ini… ada apa?”
‘Luna’… entah kenapa namaku terdengar begitu indah saat kau ucapkan dengan kelembutan seperti itu.
Tapi aku tak boleh terhanyut… tidak lagi…
Tidak saat semuanya akan menjadi makin rumit dan makin pelik karena kehidupan pribadiku akan mulai merasuki kehidupan profesionalku.
“Maaf dok…” aku hanya bisa tertunduk dan meminta maaf. Bahkan tak bisa memikirkan suatu alasan apapun.
“Apa yang sebenarnya membawamu kemari dok? Kalau instingku benar, ada hal lain yang sangat memenuhi pikiranmu…”
Memenuhi pikiran? Ya.. benar sekali.
Aku harus memulainya dari 1 titik. Pisahkan hubungan pribadi dan profesional
Pisahkan. Dan aku harus melakukan sesuatu untuk itu. Untuk mengakhiri kedekatanku dengan dokter Alvaro.
Kalau merawat lukanya bisa dianggap kedekatan.
Kalau mengkhawatirkan lukanya bisa dianggap kedekatan.
Kalau menangis sesenggukan karena lukanya bisa dianggap kedekatan.
Kalau pelukannya………
Ya… Aku harus mengakhiri ini semua.
“
Well… tentang kemarin…” tenggorokanku tercekat.
Seketika aku bingung… dari mana aku harus memulainya…
Kenapa mendadak segalanya menjadi rumit seperti ini. Seolah aku tak bisa mengurai dari mana awal dan ujungnya.
“Oh.. ya… tentang kemarin…” dokter Alvaro mendadak tampak tak nyaman. Dia segera mengubah posisi duduknya.
“Kemarin… aku tak tahu apa yang sudah menguasaiku… sepertinya aku terbalut emosi.” terbata-bata aku menyusun kata-kataku. Aku teringat betapa aku bisa sangat marah, sangat khawatir, sangat panik melihat kondisi luka ditangannya yang kembali berdarah. Dan teringat betapa keras aku sudah membentaknya. Dia yang seorang COO RS sebesar ini
“Aku sangat tidak profesional… kuharap dokter Alvaro bisa memaafkanku.”
Memaafkan kebodohanku. Kebimbanganku. Tangisanku. Kekanakanku.
“ahhmm.. tidak, tidak… “ tapi sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, aku memutuskan memotongnya dan melanjutkan perkataanku.
Karena bila tidak, aku tidak yakin akan bisa menyampaikan poin penting yang sangat mengganjal hatiku.
“Tolong, ijinkan aku menyelesaikan kata-kata dan permintaan maafku dulu dok…” aku menarik nafas dalam dan menguatkan hati untuk dapat memandangnya lurus. Bertekad untuk menyampaikan isi hatiku. Meluruskan kembali pikiranku. Menjauhkan emosi dari tindakanku.
Menghapus hangatnya kenangan pelukan kemarin sore…
“Saya mohon maaf sekali saya tidak cakap dalam mengatur emosi dan perkataan saya. Sehingga saya sudah dengan lancang membentak dan memaksakan kehendak untuk mengobati lukamu kemarin. Kuharap ini bisa menjadi pelajaran berharga yang akan kubawa seumur hidup.” Aku menelan ludah dan menudukkan kepalaku. Merasa seolah tak pantas lagi untuk menatapnya.
Seolah aku sudah jelas-jelas mengatakan dusta dihadapannya. Seolah aku sedang membohongi diriku sendiri dengan mengatakan itu…
“Maafkan aku yang sudah melupakan jabatan anda sebagai seorang direktur RS ini. Sedang saya adalah bawahan anda. Yang sudah sering merepotkan anda, baik secara langsung ataupun tidak langsung… sekali lagi kumohon dengan sangat, anda akan dapat memaafkan saya…”
Dokter Alvaro terdiam. Dan ruangan kantor ini mendadak terasa sangat menyesakkan dan keheningannya terasa sangat menusuk. Membuat aku merasa sangat nyeri dan tak nyaman dibuatnya.
“Terimakasih untuk waktunya dok. Saya permisi.”
Aku langsung bangkit dari kursiku, dan berjalan keluar dari kantor dokter Alvaro. Keheningan itu sangat mengusik batinku. Dan dinginnya ruangan itu… aku tak lagi sanggup merasakannya……….
Hanya keras kepalaku dan teguhnya hatiku yang menahan tetesan airmataku mengalir keluar saat aku meninggalkan kantornya.
Sekali lagi kugaungkan dalam hatiku… demi Phoebe… demi Phoebe…