Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Secret Love Story

Setelah editing dan di-review, update kali ini terindikasi :kentang:
jadi mohon jangan di:bata:
Terimakasih semua yang udah baca dan ninggalin komen:ampun:

♧​

Kesibukan di kantor baru sedikit membantu gue melupakan kejadian itu sebenarnya. Tapi jauh di dalam hati masih menyisakan rasa bersalah dan rasa penasaran akan kabar Teh Dina dan keluarganya. Gue masih merasa bertanggung jawab atas kejadian itu dan perlu tau akhirnya seperti apa, walopun gue bukan siapa-siapa.


One month later… tepat dihari yang sama pada saat kejadian itu..​


“Kalau kamu care sama Teteh, aku di tempat ini sampe besok”
capture
sebuah foto yang Teh Dina kirim dalam chatnya siang tadi. Fotonya berlatar sebuah pemandangan. Hamparan kebun Teh dengan kabut tipis di atasnya. Foto itu diambil dengan jendela sebagai frame-nya. Sebuah meja kecil, secangkir Teh yang masih mengepulkan asapnya. Sebotol air mineral. Roko dan lighter merk CK. Cuaca nampak mendung, langitnya abu-abu gelap.

Aura sendu dan keresahan nampak jelas dari foto itu, rasa khawatir pun langsung menghampiri.

Gue yang buka chat itu disela-sela jam kerja jelas kaget sekaligus deg-degan ngebaca chat itu. Gue tarik nafas dalam-dalam biar oksigen masuk ke otak, jernih berpikir dan ga bertidak berlebihan. Lalu gue bales chat nya itu,

“Hei, pa kabar Teh? Aa kesana kalau gitu ya, minta alamatnya”

Gue tatap layar laptop tanpa berkedip menunggu balasannya. Sebulan sudah gue diliputi rasa bersalah, khawatir karena hilang komunikasi, lalu tiba-tiba muncul chat dengan nada seperti itu. Setelah menit-menit yang terasa lama, muncul lah angka satu dipojok kanan dialog box kami, pertanda 1 chat masuk. Buru-buru gue klik.

“Aku minta nomor whatapps kamu A, kamu jalan aja dulu ke arah Gadog, tau kan? Nanti di tengah jalan aku sharelock. Makasih ya”

“Ok Teh ini nomornya 082xxxxxxxxx, iya sama-sama” Gue bales singkat

10 menit kemudian gue udah di atas gerobak butut yang baru seminggu ini gue pake buat nembus macetnya Jakarta. Si empunya boil minta tolong gue buat ngurus, katanya sayang karena ga ada yang pake. Halusnya gitu, kasarnya, “servisin dong, olinya udah kering”.

Midweek,
jalanan cukup lancar menjelang sore, gue keluar kantor satu jam lebih cepat dari seharusnya. Hampir sejam kemudian gue udah berselancar salip kanan salip kiri di tol jagorawi.

Ting!! Notif masuk pesan whatsapps.

Nomor dari provider seperti ukuran baju itu mengirim lokasinya berada. Tanpa gue bales, tanpa gue perhatikan nama tempatnya, gue klik pesan itu lalu terdengar miss google mengarahkan gue ke tempat yang bakal dituju.

15 menit kemudian gue berhenti di pelataran parkir sebuah kondominium 5 tower yang masing-masing tower memiliki 10 lantai. Bingung juga harus kemana, gue coba hubungi Teh Dina via Whaapps.

“Teh, udah dilokasi nih, harus kmana?”

“Tower 3 ya A, lantai paling atas. Nanti di resepsionit bilang aja mau ketemu aku, aku udah kasih card accsesnya”

“Ok Teh”

Gue pun melangkah menuju tower 3 di bagian timur, begitulah informasi dari keamanan. Tapi gue coba rogoh kantong celana, ternyata rokok ketinggalan di kantor. Inget foto yang dikirim Teh Dina tadi siang, mungkin dia butuh sesuatu.

“Mau titip sesuatu?” gue kirim WA lagi

“Engga A, makasih yaa” balasnya singkat

Lanjut ke mini market dekat parkiran itu gue beli rokok dan cemilan favorit Teh Dina, buah-buahan. Kali ini gue beli buah anggur sebagai oleh-oleh. Gue tau Teh Dina lagi kalut suasanya, mungkin hal kecil kayak gini bisa bikin sedikit mencairkan suasana. Tahu kah kalian? ini pertemuan pertama kami.
Ga kebayang memang, tapi beginilah adanya. Tadinya gue kira ga akan sampe kita pada sebuah pertemuan, karena memang Teh Dina pernah bilang itu dichatnya. Apalagi pertemuan dengan kondisi sepeti sekarang. fiuuhhhhh!! gue menghela nafas panjang.

Gue gunakan lift untuk sampai di lantai paling atas. Sesampainya di sana, aura sepi langsung memeluk diri. Ada dua pintu kaca tebal, bingung mana yang harus gue tuju. Gue coba tengok kaca sebelah kiri dengan berjinjit, karena sebagian kaca dilapisi sandblast bercorak mozaik. Ruangan yang gue lihat nampak seperti kantor, ada meja resepsionist dan meja-meja kerja. Bukan ruangan ini pikir gue.

Gue coba tengok ke ruangan satunya lagi di sebelah kanan. Ada rak sepatu dan beberapa tanaman dalam pot. Gue coba akses pintu kaca tersebut dengan kartu yang gue dapat dari resepsionis di bawah tadi. Beep! Lampu merah berubah hijau pertanda pintu terbuka. Gue masuk ke lobi ruangan itu. Gue coba ketuk pintunya beberapa kali (padahal gue pegang access card).

Smartphone gue bergetar, satu pesan Whatsapps masuk.

“Masuk aja A, pake kartunya, teteh males kesana, Aa langsung ke paling belakang ya, Teteh di balkon”

Gue gesek kartu berwana emas itu ke mesin kotak di dinding sebelah kanan. Suara kunci terbuka pun jelas terdengar saking sepinya di tempat ini. Gue terkekeh sendiri, gue kira kartu itu berlaku buat satu pintu doang, hahaha Bloon!

Pintu terbuka, gue langkahkan kaki masuk ke ruangan itu. Ruangan yang didominasi warna putih dengan furniture modern. Ruangan pertama adalah ruang tamu yang menyatu dengan dapur yang di set seperti bar dengan meja melengkung dan gelas-gelas yang menggantung, sofa dan tv layar lebar serta kulkas tertata rapih. Lemari dan rak-rak buku membuat gue ingin berlama-lama di sana mengecek satu-satu judul bukunya. Terlihat beberapa koleksi buku dan komik lama. Sebelah kiri jendela dan pintu kaca yang lebar hampir seluas dinding ruangan itu, hanya terhalang gordeng putih. Nampaknya ada balkon juga disana. Terus masuk ke dalam gue lewati satu kamar tidur, satu kamar mandi (karena ada simbol laki-laki dan perempuan seperti yang tertera di toilet umum). Gue lewati ruang kecil disana terhampar sejadah, lalu ada Rak tempat barang-barang yang jarang dipake mungkin.

Diujung lorong sebelah kiri ada pintu bercat coklat muda. Ini mungkin yang dimaksud Teh Dina, pintunya sedikit terbuka, namu begitu gue tetep ngetuk pintunya lalu gue dorong pelan.

“Assalamu’alaikum! Teh?”

Ruangan yang gue masuki ternyata kamar utama. Kamar tidur terluas yang pernah gue masuki selama hidup di dunia. Selain tempat tidur dan lemari pakaian, ada meja kerja, meja rias, treadmill yang menghadap balkon, sofa bed dan tv layar datar yang menggantung di dinding kamar yang dilapisi wallpaper corak daun-daun.

Angin semilir datang berhembus pelan dari arah kanan. Pintu kaca terbuka menganga, gue berjalan ke arah tersebut, mungkin itu balkon yang Teh Dina maksud.

Benar saja, ketika gue condongkan kepala keluar, Teh Dina sedang duduk menangkup dagunya pada lutut. Pandangannya kosong menatap hamparan kebun teh di kejauhan.

“Hei!” sapa gue dengan lembut dan senyuman

Teh Dina berpaling menoleh,

“Hei” senyumnya lebih indah daripada foto yang pernah dia kirim

“Assalamu’alaikum”

“Wa’alaikumsalam, duduk A”

Saat itu Teh Dina mengenakan jilbab cokelat muda, kemeja gombrong warna senada dan legging hitam. Tanpa alas kaki walaupun cuaca dingin.

“Sepatu kamu mana?” tanya Teh Dina

“Di luar, Aa taroh di rak”

“Hahaha bawa aja padahal A” tawanya renyah tapi nadanya sakit

“Hehehe gapapalah Teh, atau perlu diambil?” tanya gue

“Yaudah nanti aja, kamu mah, selow atuh grogi gitu ih ketemu Teteh”

Sambil garuk-garuk, gimana ga grogi yang gue temuin ini mah bidadari, wangi, cantik, seksi pula. Tapi yang jelas auranya itu, bikin betah ada di dekatnya. Tapi sayang auranya saat itu sedang kelabu.

“Hehehe, oiya, ini Teh buat ngemil”

“Apa nih?”

“Anggur, beli di bawah tadi”

“Cocok pisan, nuhun ya” senyumnya kembali menyungging, lalu diambilnya satu buah anggur itu

Tepat sebelum masuk mulut, tangannya berhenti.

“Eh ini belum dicuci ya?”

“Iya ya, sini Aa yang cuci”

“Teteh aja, kamu mau minum apa. Kopi?”

“Boleh Teh, agak pahit ya Teh hehe”

“Iya, kayak hidup Teteh”

Anjir, becandaanya gelap mirip langit senja itu. Gue cuma bengong gatau harus nge-respon apa.

Teh Dina pun melongos pergi sambil membawa plastik berisikan buah anggur. Tak lama gue pun menyusul Teh Dina, bedanya gue ke depan untuk mengambil sepatu gue.

Gue kembali ke balkon belakang dengan menjinjing sepatu itu. Teh Dina yang sedang mengunyah anggurnya dibuat hampir tersedak karena tertawa.

“Hahaha ai kamu ngapain bawa sepatunya kesini?? Haha”

“Hehehe gatau mau ditaruh dimana Teh”

“Hahaha ada-ada aja, yauda taruh di dalem aja, klo disini basah nanti keujanan”

Kami pun menyalakan rokok, gue inisiatif memberikan api gue karena Teh Dina terlihat kesusahan membuat rokoknya menyala.

Asap rokok membumbung tinggi, lampu temaram berwarna kekuningan dari lampu balkon itu membuat suasana jadi lebih intim. Gue gatau harus mulai darimana, walaupun ada tawa, tapi gerak-gerik Teh Dina lebih banyak melamun, pandangannya kosong, atau menghela napas panjang.

Nampaknya Teh Dina memang hanya ingin ditemani tanpa perlu bercerita banyak tentang masalahnya. Ada sosok didekatnya yang bisa dilihat dan dirasakan keberadaannya, mungkin itu yang dibutuhkannya. Jadi gue pun ikut diam, tak berani bertanya lebih dulu.

Dari kejauhan terdengar suara adzan, gue yang kikuk buru-buru bediri.

“Teh, Aa ijin mau shalat”

“Hm? Iya A, tadi liat kan mushalanya? Wudhunya boleh dikamar mandi itu atau yang deket dapur, bebas A”

“Ok siaap”

Selepas shalat gue kembali ke balkon. Teh Dina disana lagi sibuk dengan Hpnya dan mulut penuh dengan anggur. Gue duduk lalu membakar satu batang lagi.

“hhhhhhh” Teh Dina menghela napas panjang lagi

“Mau cerita Teh?” tiba-tiba gue nanya tanpa dipikir-pikir dulu

“Ga kebayang aja A sebelumnya sama Teteh, kok bisa kayak gini” dia diam sebentar

“Teteh berumah tangga tuh kan ga sebentar, Teteh salah apa sampe diselingkuhin, apa ini karma?”

Teh Dina bercerita tanpa melihat gue, pandangannya hanya menghadap ke kebun Teh yang berganti kelip lampu dari kejauhan.

“Aa minta maaf Teh, harusnya mungkin waktu itu Aa ga bilang apa yang Aa liat”

“Bukan salah kamu A” kata Teh Dina sambil menggelengkan kepalanya,

“Sekarang Teteh cuma gatau harus gimana, kasiahan anak-anak”

Lalu tangisnya pecah, kepalanya tertunduk ditutup kedua telapak tangannya. Ini adalah suasana yang paling gabisa gue hadapin. Gue beranjak dari kursi rotan itu, berdiri lalu mendekat Teh Dina. Gue jongkok tepat disamping kursinya, kepala kami jadi sejajar.

“Ssst ssstttt sabar Teeh, sabar yaaa”

Saat itu gue ga berani buat menyentuh apapun dari bagian tubuhnya.

“Teteh Binguung Aaa” sambil menangis dan terisak

Gue tau ini pasti berat buat Teh Dina. Mendapati suami terkasihnya berselingkuh.

Gue ambil botol air mineral,

“Minum dulu Teh, ssshh shhh tenang Teh, sabar yaa” sambil gue sodorkan botol air mineral yang terlebih dulu gue buka tutupnya. Gue pegang tangan kirinya, gue usap-usap punggung tangannya.

Selama berjam-jam Teh Dina menceritakan kerisauan dan masalah beratnya. Gue ga banyak menanggapi, hanya menjadi pendengar dengan sedikit komentar. Posisi kami pun kini bersebelahan tanpa meja yang membatasi.

Berbatang-batang rokok habis terbakar, kopi pun sudah dingin. Jam menunjukkan hampir pukul 9. Rokok gue habis duluan, habis karena hembusan angin yang cukup kuat berhembus melewati balkon itu.

“Ngobrol di dalem aja yuk A, dingin” kata Teh Dina sambil mengusap-usap tangannya

“Yuk, Aa kebawah dulu ya beli rokok”

“Emmh yaudah, sepatunya dipake ya jangan ditinggal lagi hehehe” dengan muka sayu sehabis menangis, senyumnya tetap saja manis.

15 menit yang gue butuhkan untuk dapetin sebungkus rokok, gue udah di depan pintu itu lagi. Setelah masuk langsung aja gue ke belakang, ternyata Teh Dina sedang duduk menyandar ke batas kasurnya, menonton TV.

Gue pun duduk di sofa lalu ikut menonton, acara yang ditanyangkan saat itu adalah program berita. Entahlah mungkin Teh Dina cuma mau mengusir bosan.

“Kopi Aa mana Teh?”

Teh Dina menoleh,

“Masih di luar, udah abis juga kan itu”

“Masih ada itu, satu dua sruput lagi hehe biar ga asem ngerokoknya”

“Kamu kalau masih mau ngerokok, ga apa-apa A di dalem juga, dibuka aja pintunya sedikit”

Gue yang udah di depan pintu balkon pun membukanya sedikit saja. Ternyata di luar gerimis, sebagian lantai balkon malah basah dengan percikan air hujan yang terbawa angin. Gue tetep ngeroko di balkon sedikit basah mah taka apa lah pikir gue, tapi anginnya yang bikin ga betah berlama-lama.

Hanya sebatang yang gue isap dengan menyisakan sebuah pertanyaan, gue harus gimana? Sekarang? Malam ini? Dan nanti?

Kembali ke dalam kamar akhirnya gue dan Teh Dina pun menonton bersama acara berita yang ga jelas. Gue duduk di sofa dan Teh Dina duduk di kasurnya. Sebatang rokok kembali gue bakar dengan sisa kopi yang tinggal satu tegukkan.

“Nih A remotenya kalau kamu mau ganti channel” Teh Dina menjulurkan tangannya

Gue pun bediri menyambutnya, sebelumnya gue matikan dulu rokok terakhir dengan cara cemplungin langsung ke gelas berisi ampas kopi.

Teh Dina kemudian tidur menyamping, tapi mukanya masih menghadap ke layar yang gue pindah-pindah channel nyari acara bagus. Gue gatau apa yang ada dipikiran Teh Dina, yang gue tau dia cuma butuh teman saat ini.

Acara yang gue pilih adalah film berjudul The Intern, tokoh utamanya Anne Hathaway. Wanita karir yang rumah tangganya hampir hancur karena perselingkuhan suaminya dengan salah satu mahmud di sekolah anaknya.

“Kamu ga akan pulang kan?” Tiba-tiba Teh Dina nyeletuk tanpa mengubah posisi kepalanya

“Iya, Aa ga akan kemana-mana”

“Iya, makasih ya A”

“Iyah”

“Filmnya bagus ini A?”

“Bagus Teh” jawab gue singkat, berharap ditanya lagi, tapi nampaknya Teh Dina ga mood buat lanjut ngobrol, gue juga jadinya diem aja.

15 menit kemudian terdengar dengkuran halus. Rupanya Teh Dina sudah lelap tertidur, mungkin karena capek abis nangis, padahal dia belum sempet ganti baju atau buka kerudungnya, hanya selimut yang menutup kaki sampai pinggulnya.

Film pun selesai, rumah tangga si tokoh utama tak jadi hancur karena keberanian si suami untuk jujur dan mengakui kesalahannya. Ada harapan yang timbul saat itu, semoga rumah tangga Teh Dina baik-baik saja. Gue pandang lekat-lekat sosok itu, yang sedang tidur pulas tanpa berubah sedikitpun posisinya. Gue berdiri mendekati Teh Dina, tarik selimutnya sampai menutupi pundaknya.

Hujan telah reda, gue pun keluar ke balkon. 3 batang rokok habis setelah itu, andai waktu itu gue ga bilang kalau yang gue liat adalah suaminya mungkin Teh Dina ga bakal sesedih ini. Merasa bego karena mencampuri rumah tangga orang, apa ada kebaikkan dari yang gue lakuin saat itu?

Dalam tangisnya Teh Dina bercerita sudah mengetahui perselingkuhan suaminya. Buktinya sudah dia dapat, tapi suaminya belum tahu kalau Teh Dina sudah mengetahui perselingkuhan itu. Teh Dina merasa kasihan dengan anak-anak dan pondasi rumah tangga yang sudah dibangun begitu lama. Akhirnya dia bingung dan gatau harus bagaimana. Hampir sebulan dia menahan kebingungan itu, sampe akhirnya hubungin gue hari ini.

Dia terpaksa menelan semua kepahitan itu karena gamau jadi aib keluarganya. Capek dengan beban itu akhirnya dia memilih datang ke tempat ini untuk menyendiri, karena kebetulan si suami sedang dinas luar kota.

Gue gabisa saranin apa-apa untuk permasalahan Teh Dina, cuma berharap jalan keluar terbaik bagi semua.

Tengah malam, suhu turun dingin menusuk. Gue masuk dengan hati-hati, takut membangunkan Teh Dina. Tanpa banyak gerakkan, gue rebahkan badan diatas sofa itu. Lalu meringkuk melawan dingin.

Dalam tidur gue merasa seperti di tampar. Dengan setengah sadar gue mengira itu mimpi. Makin dirasa makin nyata. Ternyata Teh Dina sedang menampar gue pelan dengan tujuan membangunkan. Setelah mata gue terbuka, Teh Dina tersenyum, senyum termanis dari mukanya. Saat itu gue ga ngeh teh dina sudah melepas hijabnya, mungkin rambutnya diikat kebelakang, mungkin juga karena ruangan minim penerangan.

Meuni susah dibangunin kamu A?” dengan nada pelan Teh Dina mengomentari kekeblukan gue

Belum sempat gue ngomong apa-apa, Teh Dina menarik tangan gue yang terlipat di depan dada. Gue mengikuti arah tarikan tangan Teh Dina. Ternyata gue diajak ke tempat tidurnya. Kasur empuk nan hangat. Gue yang dilanda rasa kantuk yang ga ketahan, ngikut aja tanpa pikir panjang.

Teh Dina membuka selimut yang tadi ia tinggalkan, tangan gue masih dipegannya saat itu. Kemudian dia naik ke Kasur, gue pun sama mengikuti gerakkannya. Teh Dina kemudian meringkuk membelakangi gue, tangan gue yang sedari tadi dituntunnya ia tarik sampe melewati kepalanya, baru setelah itu selimut ditariknya sampe menutupi tubuh kami berdua. Gue lalu sadar kalau sekarang gue sedang memeluk Teh Dina dari belakang dalam posisi spooning.

“Tidur dikasur aja ya sama Teteh, dingin kalau di sofa mah”

“Iya Teh, makasih ya” cuma itu yang bisa gue jawab sembari mengeratkan pelukan gue

“Aku yang makasih sama kamu A” genggaman Teh Dina erat ditelapak tangan gue

Tercium wangi shampoo di hidung membuat gue sadar kalau Teh Dina sudah melepas kerudungnya. Penasaran ingin menatap mukanya tanpa kerudung, tapi kamar juga gelap karena hanya lampu kamar yang dinyalakan, remang.

Malam bergulir diiringi hujan rintik yang tak berubah intensitasnya. Kami tertidur pulas sampai pagi menjelang. Tak ada mimpi hanya kehangatan yang kami transfer meluluruhkan resah dan rasa bersalah.



♧​

“Aa banguuunnn” suara Teh Dina lembut membangunkan gue dari tidur nyenyak

Kontol gue yang setiap pagi ereksi karena dorongan ingin buang air kecil, menempel tepat dibelahan pantat Teh Dina yang terbungkus legging sementara kemejanya udah tersingkap sebatas pinggul.

Gue buka mata tanpa melepas pelukan. Teh Dina malah iseng,

“Kamu bangun ihh, bukan ininya yang banguuunn hihihi” sambil goyangin pantatnya menekan lebih dalam selangkangan gue.

Gue yang sadar buru-buru melepas pelukan.

“aduu duuhh maaf Teh maaff punten ga sengajaa”

“Hehehe gapapa, wajar laki-laki tiap pagi kan pasti ereksi A”

“Hehehe iya maaf yaa Teh”

“Iya gapapa.. muah, makasih ya udah nemenin Teteh” seketika pipi gue diciumnya “pagi A”

“Pagi juga Teh” disertai senyum sumringah, enggan buat membalas karena ga terpikir bakal kayak gini

“Mandi gih, kamu berangkat kerja kan?”

“Ini jam berapa sih Teh?”

“Jam 6 aja belum A”

“Yauda Aa mandi dulu kalau gitu”

“Iya, pake aja kamar mandinya, sabun dan lain-lain pake punya Teteh”

“Iya siapp”

Gue pun beranjak ke kamar mandi. Saking sumringahnya karena kecupan tadi, gue lupa ke kamar mandi tanpa handuk.

Pas buka pintu kamar mandi,

“Heh! Nyelonong aja, aku ga diajak mandi??” Teh Dina bertanya sambil duduk diatas Kasur menguncir rambutnya

“Eh?” gue bengong dengan satu kaki udah masuk melangkah ke kamar mandi

“Hahahaha becandaaa, bentar Teteh ambilin handuk dulu”

Teh Dina berjalan menuju lemari besar di sudut ruangan.

“Nih, pake handuk ini aja.. emmhh kamu ihh itu ga turun-turun, ngaceng teruss”

Gue pun kaget Teh Dina memperhatikan selangkangan gue,

“Hahaha atuh belum dikeluarin ya keras terus Teeh”

“Yaudah, Aa mandi dikamar mandi luar aja ya, Teteh juga mau mandi”

Kaki kanan gue yang udah ngerasain dingin kamar mandi gue tarik keluar lagi. Gue sambar handuk dari tangan Teh Dina lalu berjalan menuju pintu. Dua langkah melewati Teh Dina,

“A” suaranya lirih menghentikan langkah gue

Gue pun berbalik,

“iya Teh?”

Teh Dina berjalan mendekat lalu tanganya melingakari pinggul gue, kepalanya tepat dibawah dagu gue.

“Makasiiiih banget, untuk malam tadi, aku udah lumayan tenang sekarang, pikiran juga udah agak jernih, Teteh udah kebayang bakal gimana ke depan”

Tangan gue perlahan naik, lalu gue peluk Teh Dina melalui pundaknya, berlanjut dengan usapan halus di punggungnya.

“Sama-sama Teh, syukurlah kalau kamu udah lebih tenang sekarang”

Tangannya makin erat memeluk yang gue balas dengan mengeratkan pelukan gue juga. Untuk beberapa saat kami larut dalam kehangatan pelukan.

“Makasih juga udah ga macem-macem sama Teteh semalem hehehe”

“ii.. awhhh aduuh, kenapa dicubit?” seketika gue kaget karena nyeri diperut

“Gemess itu gaturun-turun ihh, geli kena perut”

“Hahahaha yaudah, Aa mandi dulu ahh”

“Iyaa gihh, makasih ya” cuuphh, kali ini bibir gue diciumnya, walau hanya sedetik, efeknya bukan main, selangkangan makin sempit, dorongan air seni berbarengan dengan geli horny.

“Iyaa Tetehh, udah ahh Aa kebelet”

“Awas ya kamu coli di tempat aku”

“Bantuin atuh hahahaha”

“Eehhhhh” Teh Dina melotot gemas

“Becandaaaaa” gue kabur lari membuka pintu menuju kamar mandi

Gue gamau membuang waktu lama-lama di kamar mandi, karena saat itu berada dekat dengan Teh Dina lebih mengasyikan daripda coli ngebayangin doang.

15 menit kelar mandi gue keluar kamar mandi, tapi ga langsung balik ke kamar takut Teh Dina lagi ganti baju, bisa terjadi hal-hal yang diinginkan, bisa bolos kerja nanti.

Sekitar 10 menit gue nunggu di ruang tamu cuma bisa liat pemandangan dari dinding kaca. Mulut asem pengen ngerokok, sementara rokok gue masih di kamarnya. Lalu terdengar kunci terbuka dari arah kamar Teh Dina.

“A?”

“Iya Teh?”

“Ihh kirain kemana”

“Nungguin Teteh hehe”

“Ngapain ditungguin ai kamu”

“Takut kalau sembarang masuk Teteh lagi ganti pakaian gimana?”

“Yaaaaa, gimana yah ahaha gatau atuh” ada senyum mengembang manja “nih rokok kamu, pasti udah asemnya mulutnya, sekalian rokok ku juga kalau mau bawa aja nih, mood aku uda baik, jadi ga perlu rokok lagi”

Cerocosnya seperti tanpa titik dan koma, pertanda baik, benar kalau moodnya sudah enakan.

“Yaudah sini lah, Aa mah mulut asbak, hehehe”

“Bisa ajaa, mau ngopi dulu?”

“Emmh keburu siang ahh” gue nyalain rokok menthol Teh Dina, jadi ga perlu kopi “nanti ngopi di jalan aja”

“Teteh bawa mobil?”

“Engga, aku dijemput nanti di lobi, udah setengah jalan supir ku”

“Ok deh, Aa tunggu sampe supir Teteh datang”

“Jangan, nanti kamu kesiangan ah, ga apa-apa, pergi duluan aja”

“Bener?”

“Iyaaahhh, aku udah merasa baikan sekarang” ada jeda “berkat kamu”

“Hehehe oke deh kalau gitu, Aa berangkat sekarang keburu macet di jalan”

“Iya A”

“Aa pamit kalau gitu ya”

“Iya A, jangan lupa tuh sepatu ketinggalan hahaha”

“Hahahah iyaahh”

Setelah semua siap, gue pun pamit sekali lagi. Tapi kali ini di tahan Teh Dina dengan membuka tangannya lebar-lebar, sebagai tanda “peluk dulu sebelum pergi

Kami berpelukan seperti tadi. Saling mengeratkan satu-sama lain. Tanpa kata-kata hanya rasa yang berbicara. Setelah dirasa cukup, kami perlahan meregangkan pelukan. Mata kami beradu, tangan Teh Dina yang pertama lepas dari badan gue, selanjutnya beralih ke leher. Agak ditariknya leher gue ke arahnya, sehingga muka kami berdekatan. Gue paham situasi ini, semoga bukan ke-geeran.

Teh Dina yang pertama mendaratkan bibir seksinya di bibir gue. Pelan dan lembut. Tanpa hisapan atau jilatan, bibir kami bertemu dalam kehangatan. Gue hirup sedalam-dalamnya aroma napas yang keluar dari hidungnya mancungnya. Makin dalam ciuman kami, makin rapat tubuh kami menyatu.

Tangan gue melingkar di pinggulnya, menahan posisinya seakan ingin menyimpan memori moment yang tercipta. Kepala kami mulai bergerak miring berganti arah, ciuman semakin panas, Teh Dina mulai memainkan hisapan di bibir atas gue, yang gue balas dengan hal serupa. Lnagkas selanjutnya, gue yang aktif duluan, gue keluarkan lidah menerobos masuk rongga mulutnya yang dibalas dengan hisapan di ujung lidah, lalu lidahnya bergiliran masuk ke rongga mulut gue, mencoba menggapai langit-langitnya.

Ahhhh seketika kontol gue berontak. Teh Dina pun merasakannya, lalu seketika melepas ciumannya dengan pelan dan diakhiri dengan kecupan di bibir gue.

Meskipun tangan gue masih erat di pinggulnya, badan Teh Dina menjauh dari dada gue, dengan senyum manisnya,

“Naahhh kaann, ada yang nakaaal yaaa”

Gue cuma bisa nyengir, ga memungkiri fakta kalau gue hanyut dalam rangsangan ciuman.

“Lain kali yaaa” Dengan gemas Teh Dina mencubit hidung gue pertanda waktunya habis.

Kami pun berpisah di lobi, sebuah perpisahan yang menjadi awalan.


..........To be conticrot 🙂
 
Jangan bulatkan yg bukan tekad, karna akan Ada yg berdiri tegak tp bukan keadilan...
 
Lain kaliii
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd