Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Santri dan Syahwat

Status
Please reply by conversation.
Semoga saja cerita ini lanjut sampe selesai ..
Biasanya cerita model gini cuma setengah jalan langsung mandek gak ada lanjutannya ..di situ buat kami pembaca setia merasa sedih:((:((:((:((
 
Chapter 3: Terbelenggu Cinta







Ning Sarah





Latifah





Zainab





Aku berlari tanpa menghiraukan gerombolan semak yang menghadang di depanku, kakiku lincah meloncati ya seperti pendekar yang sudah terlatih. Entah di mana Kang Zuber yang berlari meninggalkanku, sarung yang dikenakannya tidak menghalangi Kang Zuber berlari cepat. Sedangkan aku terpaksa membuka sarung dan menyampaikannya di pundak agar tidak menghambat kecepatan lariku. Hingga akhirnya aku sampai di sebuah halaman pekarangan rumah yang cukup luas, terpisah beberapa puluh meter dari rumah Gus Nur. Tanpa berpikir panjang, aku bersembunyi di bawah pohon mangga yang rimbun, pada saat itulah aku melihat rumah Gus Nur hanya berjarak kurang lebih 10 meter. Gila, ternyata aku berlari mengelilingi area pesantren yang membawaku kembali ke tempat yang tidak jauh dari rumah Gus Nur.


Dari balik persembunyian, aku lihat Gus berjalan mengelilingi rumahnya mencari orang yang sudah mengintipnya, bukan mengintip tapi nguping. Ternyata benar, para Yai dan keturunannya mempunyai karomah yang sulit dicerna akal sehat, buktinya aku yang hanya bisa berlari di tempat. Apa yang harus kulakukan sekarang, entah hukuman apa yang aku terima kalau Gus Nur tahu akulah salah satu santri yang mengupingnya.


"Latifah, jangan tinggal aku..!" Sering gadis dari arah sampingku, refleks aku menoleh ke sumber suara dengan jantung berdegup kencang. Celaka, kalau mereka melihat keberadaan ku.


"Kamu Nab, cuma pipis aja harus diantar..!" Gerutu wanita yang dipanggil Latifah, suaranya seperti aku kenal. Tidak perikanan, aku ingat orang yang menelponku siang tadi bernama Latifah dan suaranya hampir sama dengan di telpon.


"Aku takut, kata orang di kamar mandi ada genduruwo.." jawab gadis yang dipanggil Nab, entah kepanjangannya apa.


Mendengar nama genduruwo membuat bulu kudukku bangkit, aku melirik kiri kananku untuk memastikan tidak ada genduruwo seperti yang dikatakan gadis itu. Genduruwo hanya cerita yang ditujukan untuk menakuti anak anak agar tidak keluar malam. Dan aku sudah bukan anak anak lagi, usiaku 19 tahun bisa dikatakan dewasa. Hidup di pesantren membuatku cepat dewasa karena jauh dari orang tua, membuatku harus mengerjakan semuanya sendiri


"Hush, percuma kamu nyantri kalau masih takut dengan mahluk ciptaan Allah, mereka sama lemahnya dengan kita." Nasihat Latifah, aku setuju sekali dengannya. Tapi, kenapa bulu kudukku semakin merinding, tengkukku terasa dingin saat kusentuh. Bisa saja gendoruwo itu benar benar datang karena merasa dipanggil atau merasa tersinggung mendengar ke dua gadis itu membicarakannya.


"Kamu juga takut, kan? Buktinya kamu nggak pernah mau ke kamar mandi sendiri, pasti minta antar." Jawab Nab membuka kedok Latifah yang ketakutan seperti dirinya sendiri.


Gadis bernama Nab itu sepertinya pernah kulihat, ya aku baru ingat dia adalah Zainab dan aku melihatnya memasak untuk di dapur menjamu para Kyai dan tamu yang datang menemui Abah Yai Nafi'. Ya, benar, wajah Nab terlihat jelas saat melintasi bagian yang lebih terang. Wajahnya yang manis membuat rasa takutku berangsur hilang, sedang gadis bernama Latifah juga cukup cantik.


"Aku nggak takut genduruwo, aku takut ada yang ngintip." Jawab Latifah tidak mau mengakui rasa takutnya, alasan yang dikatakannya cukup beralasan. Sudah menjadi rahasia umum, ada santri nakal yang iseng mengintip santriwati saat di kamar mandi.


"Berisik Fah, aku nggak tahan mau pipis." Jawab Zaenab menarik tangan Latifah masuk ke kamar mandi yang berada di sampingku, ya Allah aku baru sadar berdiri tepat di samping kamar mandi santriwati. Entah ini keberuntungan atau justru musibah kalau sampai mereka melihatku dan menganggap ku sedang mengintip. Pikiran seperti ini justru mengusik kenakalanku yang selama ini berusaha kulawan, aku memperhatikan dinding kamar mandi setinggi 2 meter, dari celah celah atap keluar cahaya temaram lampu yang berasal dari dalam, disampingnya tembok ada sumur yang ditutupi papan lebar, tidak ada alat timba untuk mengambil air, digantikan oleh pompa air listrik.


"Ichhh, bulu kamu banyak amat Nab, kenapa tidak kamu bersihkan sebagai bagian dari amalan Sunnah?" Tanya Latifah membuatku menahan nafas, godaan yang datang begitu dahsyat untuk aku lawan. Tidak ada salahnya aku mengintip ke dua gadis itu selagi ada kesempatan harus aku manfaatkan sebaik baiknya, masalah ketahuan itu urusan nanti.


"Gatel Fah, memekku langsung merah kalau dicukur." Jawab Zaenab membuatku menelan air liur membayangkan bentuk memek Zaenab, selebat apa bulu jembutnya. Selama ini aku selalu menemukan memek para santriwati yang bersih tanpa bulu, belum pernah aku mengintip santriwati yang mempunyai jembut.


Aku melihat celah di atas tembok, cukup lebar untuk kugunakan mengintip, persoalannya mencari alas pijakan agar wajahku bisa mencapai celah itu. Sip, ada balok besar sepanjang 50 centimeter dan bisa kugunakan untuk pijakan kakiku mengintip ke dua gadis itu. Dengan sangat berhati hati aku meletakkan balok yang kutemukan menempel di dinding, perlahan satu kakiku menginjak balok dan tanganku memegang tembok atas. Hore berhasil, aku melihat ke dalam kamar mandi. Zaenab mengikuti Latifah keluar kamar mandi.


Sial, aku telat, mereka sudah selesai menunaikan hajatnya. Aku berjalan lunglai menuju tempat persunyianku yang tadi sambil menunggu situasi aman dan aku bisa mencari Kang Zuber yang sudah meninggalkanku begitu saja, teman yang tidak baik hanya mencari keselamatan dirinya sendiri.


"Itu,....ituuu !" Seru Zaenab menunjuk ke arahku yang berdiri mematung di bawah pohon mangga, siap aku berdiri di tempat yang salah. Temaram lampu membuat sosokku terlihat olehnya, berlari hanya akan membuat mereka berteriak meneriakiku. Aku terpaku, tubuhku kaku tidak bisa kugerakkan, tamatlah riwayat ku.


"Siapa, itu?" Tanya Latifah, keberaniannya membuatku semakin ketakutan.


"Akkku..!" Jawabku pasrah, hanya ini yang bisa kulakukan sambil mencari alasan tepat yang tidak membuat mereka semakin mencurigaiku.


Latifah menghampiriku dengan keberanian yang membuatku kagum, gadis ini berbeda dengan Zainab. Mungkin alasan iipula yang membuat Ning Sarah menyuruh Latifah menelponku.


"Jangan, Fah...!" Cegah Zainab ngeri membayangkan sosok yang berdiri di balik pohon adalah genduruwo yang akan merenggut kesucian mereka seperti kisah kisah tahayul yang sering didengarnya, sia sia bertahun tahun dia belajar kitab kuning di pesantren kalau masih percaya dengan hal tersebut. Hei, apa bedanya denganku yang juga masih mempercayai cerita tentang genduruwo.


Aku melihat Latifah yang berjalan pelan, langkahnya pasti semakin mendekatiku. Apa yang terjadi, terjadilah. Sebuah alasan tepat terpikir olehku saat jarak kami tinggal dua meter.


"Siapa kamu, kenapa bersembunyi?" Tanya Latifah, menatapku tajam berusaha mengenali wajahku yang tersembunyi di balik bayangan pohon sehingga dia tidak bisa mengenaliku atau bahkan memang belum pernah melihat wajahku sebelumnya. Harapan terakhir lebih masuk akal, semoga itu yang terjadi.


"Aku Baharuddin, sedang meronda." Jawabku pelan, semoga tidak ada santri lain yang melihat kejadian ini dan membuat posisiku semakin rumit.


"Ka, kamu...?" Tanya Latifah, dahinya berkerut seperti sedang mengingat sesuatu.


"Ya, tadi kamu nelpon aku bukan?" Tanyaku menusuk kesadarannya, aku tidak tahu pertanyaannya akan berguna atau tidak.


"Sssttt, pelan nanti terdengar Zainab." Kata Latifah lirih, sepertinya dia berusaha menyembunyikan kejadian menelponku.


"Memangnya kenapa?" Tanyaku bodoh, setidaknya posisiku saat ini cukup aman.


"Kata Ning Sarah, tidak ada yang boleh tahu aku menelponku." Kata Latifah setengah berbisik agar tidak terdengar oleh Zainab yang berdiri agak jauh.


"Oh, kenapa?" Tanyaku mendesak.


"Malu, apa kata orang kalau mereka tahu Ning Sarah tahu nomer hapmu. Pasti akan timbul ghibah." Jawab Latifah lugu, aku semakin bingung maksud Ning Sarah menyuruh Latifah menelponku, terutama dari mana dia mendapatkan nomer telponku.


"Dari mana, Ning Sarah dapat nomer telponku?" Tanyaku heran.


"Ternyata benar kata Ning Sarah, kamu sombong sampai tidak mengenali Ning Sarah." Jawab Latifah membuatku heran, kata sombong lebih pantas ditujukan ke Ning Sarah dari pada aku.


"Kok malah aku yang, sombong?" Tanyaku heran.


"Buktinya kamu tidak mengenali Ning Sarah, padahal kalian satu pondok di Cirebon." Kata Latifah mengejutkanku.


************


"Akang, dari mana?" Seru Ning Sarah menyambut kedatanganku dengan mulut cemberut, justru hal itu membuatnya terlihat semakin cantik. Sifat manjanya tidak juga berkurang sejak kami menikah, dia memelukku seakan lama kami tidak berjumpa.


"Maaf, tadi ketiduran, kecapean sayang.!” Kubelai kepala yang tertutup khimar itu dengan lembut, kucium ubin ubinnya penuh kasih sayang. Ning Sarah meregangkan pelukannya dan menatapku lekat, ah tatapan matanya selalu membuat dadaku berguncang keras seperti saat pertama kali kami bertemu.


“Lain kali bilang sedang apa, ada di mana, biar aku nggak bingung.” gerutu Ning Sarah, bibirnya belum juga tersenyum, semahal itulah senyumnya yang membuatku jatuh bertekuk lutut dalam pesonanya.


“Iya, iya. Ma’af. Syauqi sudah tidur?” tanyaku, hampir saja aku melupakan malaikat kecilku hasil buah cinta kami. Kehadiran bocah itu membuat hari-hariku kian terasa indah, menambah semangat dan memperat jalinan cinta kedua orang tuanya.


“Sudah, lihat dia begitu lelap dalam balutan mimpinya..” jawab Ning Sarah menunjuk Syauqi di atas ranjang, senyumnya terlihat samar dan membuat hatiku terus menerus berdesir tanpa bisa dicegah. Cantik, inilah bidadari yang berhasil kusunting lewat perjuangan panjang, dan aku berharap dia akan menjadi Bidadari ku hingga surga.


“Maaf, tadi Syauqi aku marahi lagi,” sesalnya menahan air mata yang akan segera jatuh dari matanya yang mulai berkaca-kaca.


“Kenapa?” tanyaku lembut, aku sudah hafal dengan tabiatnya.


“Lha wong bikin ribut saja, masa taplak meja digeret padahal di atasnya ada beberapa cangkir berisi kopi panas, untung tidak mengenai dia, Kang. Refleks aku tepuk bokongnya." Ning Sarah menunduk dengan perasaan bersalah, meluluh lantakkan keangkuhannya.


“Ya lain kali jangan dimarahi, anak seusianya belum tahu kalau itu salah. Ingat, bentakan itu akan membunuh ribuan sel otak. Jangankan manusia, tumbuhan yang mendengar caci maki saja ia akan layu dan mati.” kataku mengingatkanya, walau aku sudah berkali kali dan aku tidak pernah bosan untuk terus mengingatkan nya.


Aku tahu ia pasti menyesali semua perbuatannya, terlihat dari wajahnya yang berubah sendu setiap kali selesai memarahi Syauqi. Namun, dia selalu mengulanginya, emosinya tidak pernah bisa dikendalikannya. Begitulah sifat sebagian besar wanita yang aku tahu.


“Maafkan aku ya, Kang, selalu nggak bisa mengontrol emosi. Bagaimana caranya aku bisa berubah, Kang ?”Kini air mata itu luruh saling berkejaran di pipinya di pipinya yang halus, membuat jantungku bergetar lebih hebat dari biasanya.


“Pasti bisa, watak itu bisa dirubah seperti takluknya kuda liar oleh manusia. Jika kuda liar saja bisa dijinakkan, apalagi manusia?” kataku lembut, hanya perlu waktu yang akan membuatnya lebih bijak, tanda tandanya sudah terlihat apa lagi dia punya dasar kuat.


“Sepertinya sulit, aku selalu begini terus dari dulu persis umi. Heran kenapa watakku tidak mewarisi abah yang lembut dan bijak.” ucap lirih Ning Sarah mengetuk hatiku, aku kembali memeluknya dengan mesra. Perbedaan sifat kami telah menyatukan kami.


“Watak itu bisa dirubah dengan dilatih dan kebiasaan. Kalau tidak bisa untuk apa ada agama, untuk apa ada nasehat dan kenapa harus ada Alquran,” ujarku sambil mempererat pelukanku.


“Kang, tentang curahan hati di kertas itu, apa benar yang jenengan maksud adalah aku, bukan wanita lain?” tanya Ning Sarah, menatapku curiga.


“Siapa lagi? Siapa yang minta diantar buru-buru ke Gedung Wanita?” tanyaku mengingatkan kejadian saat pertama kali kami berjalan bersama, pengalaman yang terus membekas di hatiku.


“Udah lama kenapa masih tanya terus?” kuangkat dagunya, kami saling bertatap dengan mesra.


“Cuma memastikan.” jawab Ning Sarah, tersipu malu.


“Emmm, Syauqi sudah tidur, kan?” tanyaku berbisik pelan, aku menoleh ke arah Syauqi buah hati kami yang berusia 3 tahun, tertidur lelap di pojok ranjang.


Ning Sarah hanya mengangguk, seketika warna semu kemerahan terlihat di kedua pipinya yang halus.


“Khumairaku ….” bisikku di telinganya, tanganku membelai pipinya yang halus.


“Kalau sudah tidur emang kenapa?” sahutnya menggoda gairahku.


Aku hanya tersenyum sembari menatap lekat kedua bola matanya yang semakin menawan karena berpadu dengan pendar cahaya rembulan. Mata yang telah menawan hatiku bertahun tahun lamanya. Kutatap wajahnya hingga ia menutup kedua mata itu seakan pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketika jarak kedua bibir ini sangat dekat, tiba-tiba saja ia membuka mata membuatku terhenyak dan menatapnya heran melihatnya menutup mulut seakan menolak untuk kucium.


“Sebentar, aku gosok gigi dulu. Mulutku bau Pete..!" Setengah berlari ia menuju kamar mandi meninggalkanku yang tertawa lebar, lucu sekali kamu Ning. Hanya karena bau Pete pada mulutmu, membuatmu bertingkah seperti gadis remaja, benar-benar membuatku gemas.


“Sudah, nggak usah gosok gigi juga nggak apa-apa, Niing …. Bau Pete yang keluar dari mulutmu, seperti bau kesturi di hidungku." bujukku tak sabar ingin segera merengkuh tubuhnya dalam kenikmatan birahi surga dunia.


“Sebentar sajaaa,” teriaknya dari dalam kamar mandi yang ada di kamar, suara air yang keluar dari keran memudarkan suaranya. Waktu yang hanya beberapa menit, terasa sangat panjang membuatku tidak mampu bertahan lebih lama lagi.


“Sudah belum, Ning? Menunggunya menggosok gigi seperti, seperti Berjam jam lamanya. Terkadang wanita cantik itu keterlaluan, semuanya harus serba sempurna.


“Sebentar,” jawabnya kurang jelas karena busa yang masih berada di mulutnya, beberapa detik kemudian terdengar suara Ning berkumur membersihkan sisa sisa bisa odol.


“Ayolah, Nyonya Baharuddin jangan membuatku menunggu lama, aku bisa mati berdiri di sini.,” pintaku dengan wajah memelas sembari menghempaskan bahu pada tembok di samping pintu kamar yang terasa dingin. Sepuluh menit aku menunggu, mendengarkan setiap suara yang keluar dari kamar mandi.


“Sudah belum?" Tanyaku, kesabaranmu semakin menipis.


“Belum.” jawabnya tidak peduli dengan birahiku yang semakin menggila.


Sedang apa sih, istriku ini, ritual sebelum berhubungan itu rumit sekali. Apa karena pemahaman agama yang dipelajarinya atau? Entahlah.


“Sedang apa?” tanyaku dengan nada jengkel.


“Cuci muka.” jawabnya, kudengar gemericik air yang jatuh ke lantai kamar mandi.


“Luluran juga, nggak?” tanyaku lagi.


“Wakakak, ya enggak, lah.” tawa riang Ning Sarah membuatku tersenyum geli.


Lama menunggu membuat kedua kakiku kesemutan membuatku menyerah, akhirnya aku duduk di pinggir ranjang. Tidak lama pintu kamar mandi terbuka memperlihatkan sosok bidadari yang memamerkan pesonanya, senyumnya yang indah membungkam kesadaranku. Deretan giginya yang putih teratur terlihat semakin putih setelah digosok selama hampir sepuluh menit.


“Ning, jilbabmy nggak dilepas, tadi?” tanyaku melihat jilbabnya sebagian basah terkena air, Ning Sarah hanya menggelengkan kepalanya sambil mengulum senyum.


“Ya Allah, basah kuyub itu. Cepat sana ganti,” perintahku sambil menggelengkan kepala melihat kelakuannya yang seperti gadis remaja. Ning Sarah bergegas melepas jilbabnya itu dan membuka almari hendak mengambil jilbab yang lain.


“Stop!" Buru-buru kucegah ketika rambut hitam sebahunya yang terlampau mempesona itu akan tertutup lagi. Bukankah berlebihan berdua dengan suami sendiri masih tetap mengenakan hijab.


“Kenapa?” tanya Ning Sarah heran, dia merapikan rambutnya yang hitam. Matanya yang jernih menatapku heran. Disitulah aku merasa ia benar-benar tidak peka, atau sengaja menggoda birahiku.


“Apakah ini, jelek?.” tanya Ning Sarah menunjukkan jilbab yang dipegangnya.naku hanya mengangguk mengiyakan perkataannya.


“Oh, aku tahu jenengan suka sama warna lavender, kan?” tanyanya berbinar-binar,
Ning Sarah meletakkan Jilbab yang dipegangnya dan kembali mengobok-obok isi almari demi menemukan jilbab dengan warna yang dimaksud.


“Warna apapun tetap jelek, Ning. Yang model bagaimana pun juga akan jelek.” kataku sambil mengamit tangannya menjauh dari lemari, dia menatapku heran. Ada semburat kekecewaan di wajahnya, terlihat jelas olehku.


“Untuk malam ini, jilbab apapun akan tetap jelek. Kamu lebih cantik dengan keadaan seperti ini." Kataku lembut, kutatap wajahnya yang bersemu merah mendengar rayuanku. Perlahan senyum simpul timbul di bibirnya yang tipis dan basah alami, seperti gendewa yang melepaskan anak panah asmara menawan hatiku.. Kutatap lekat manik hitam berkilauan disertai bulu lentik itu mengedip pelan, mengusap hatiku yang terpana oleh semua yang ada pada dirinya. Kusisir rambut lembutnya dengan jari sambil sesekali menyematkan beberapa helai ke belakang telinganya, kaulah bidadari sayang. Kedua telapak tanganku memegang wajahnya, merasakan kulitnya yang halus.


Kecantikannya terasa semakin menonjol oleh temaram cahaya rembulan yang berpendar menerobos jendela kaca, mempermainkan gejolak syahwat yang mengalir di setiap pembuluh darahku. Hasrat yang tak pernah padam, bahkan semakin menggelora setelah sekian tahun ikatan kalimat suci menyatukan jiwa dan raga kami.


“Kang ….” suaranya yang lembut, membelai jiwaku.


“Hemm?” gumamku, membalas tatapannya yang lembut.


“Jenengan tadi juga makan pete, ya?” tanya Ning Sarah, bibirnya bergetar menahan tawa yang sewaktu waktu akan pecah. Tangannya menutup mulut, takut suara tawanya akan pecah membangunkan Syauqi yang tertidur lelap


“Hehe, iya.” jawabku malu.


“Iiih, nggak adil. Aku tadi udah gosok gigi,” rengeknya seraya memukuli dadaku dengan manja.


“Hehe, maaf,” ucapku enteng tanpa dosa, lupa kalau tadi juga makan pete.


“Sana buruan gosok gigi!” Dengan cemberut, ia mendorongku menuju kamar mandi.


Detik kemudian aku sudah berada di kamar mandi dan menggosok gigi dengan senyum tetap mengembang, merasa lucu dengan ekspresi ning Ishma saat terkontaminasi bau pete. Hehe.


“Cepet banget.” Ia mengernyirkan dahi karena hanya dua menit aku sudah keluar.


“Memangnya sampean, gosok giginya lama,” ujarku seraya membopong tubuh rampingnya ke atas peraduan, menuntaskan hasrat yang sempat tertunda gara-gara pete. Ia melingkarkan kedua tangannya di leher ini, otomatis semakin dekat jarak kami hingga bisa kurasakan embusan napasnya nafasnya yang hangat. Perlahan aku meletakkan tubuhnya di ranjang empuk agar tidak membangunkan Syauqi yang lelap tertidur di pojok ranjang.


“Mumpung Syauqi tidur. Sudah saatnya,” bisiknya di telingaku yang hanya kurespon dengan senyuman dan memilin rambutnya dengan jemariku, begitu halus dan harum shampo kuhirup memenuhi paru paru ku.


“Pasti udah mikir yang aneh-aneh,” ucapnya seraya memencet hidung bangirku,


“Gimana to, Ning?” tatapku heran.


“Maksudnya … sudah saatnya samakan hafalan mumpung Syauqi tidur, terus … ngaji kitab.” jawab Ning Sarah membuatku sedikit kecewa, syahwatku harus kembali tertunda.


“Oh … hehe iya. Kita simakan hafalan dulu, setelah itu kita..,! Kamu minta disimak juz berapa?” tanyaku saat ia mengenakan jilbab panjang dari atas nakas, kali ini terpaksa aku biarkan Ning Sarah kembali memakai jilbab.


“Juz dua puluh lima .” jawab Ning Sarah mulai membaca ayat dengan suara yang merdu dan susunan makhrajnya tepat.


“Kaulah Bidadari, Ning..” ucapku takjub,setelah dia selesai membaca ayat demi ayat.


“Alaaaaah, jangan gitu ah, jadi nggak konsen, niiiih,” sergahnya setengah tersipu, lalu Ning Sarah mendesis memikirkan ayat selanjutnya membuatku tertawa geli.


“Shodaqallahul’adziiim.” Ning Sarah mengahiri bacaannya setelah sepuluh lembar juz dua puluh lima ia menutup mushaf itu dan meletakkannya di atas meja seberang tempat tidur.


“Terus ngapain lagi kita?”tanyaku sok polos, berharap Ning melepaskan seluruh pakaian yang dikenakannya dan tubuh kami saling bersatu dalam balutan syahwat.


“Ngaji kitab. Jelaskan, apa benar yang jenengan bilang tadi kalau watak itu bisa dirubah dengan pembiasaan dan latihan? Jenengan cuma mengarang atau memang ada dalam sebuah kitab?” todongnya, lalu duduk bersamaku di atas tempat tidur lagi.


“Oke.” jawabku mulai mencari beberapa kitab yang berderet rapi di almari pojok kamar tidur. Setelah menemukan kitab yang dimaksud aku segera duduk di sampingnya. Ning Sarahbenyandarkan kepalanya pada dadaku, tangannya melingkar di perut ini, barulah kubuka kitab untuk kajian cinta malam ini.


“Baiklah, sayangku. Ini dia kitab Mau’idzotul mukminin min ihya’ ulumuddin oleh Imam Al-Ghozali.”


"Kang Bahar, bangun. Sampeyan di suruh nyusul Kang Zuber ke rumah Gus Nur...!" Seru Kang Shomad mengundang guncang tubuhku dengan keras.


"A....ada....apa...! Mana Ning Sarah?" Tanyaku setengah sadar, tidak ada Ning Sarah yang sedang memelukku dan Syauqi yang tertidur lelap di pojok ranjang.


"Sampeyan ngomong, apa? Tadi Kang Zuber dipanggil Gus Nur, tidak lama kemudian datang Amar mencari kamu diminta ke rumah Gus Nur." Kata Kang Shomad, aku berusaha mencerna apa yang dikatakan oleh Kang Shomad. Perlahan kesadaranku pulih, semalam aku nguping Gus Nur yang masih pengantin baru, lalu kami ketahuan dan kami berpencar melarikan diri. Jadi kejadian dengan Ning Sarah adalah mimpi?


Bersambung.....
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd