Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Bimabet
Keesokan paginya semua terasa berjalan seperti biasa. Aku masih belum tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya. Aku juga masih kebingungan bagaimana aku harus bersikap terhadap Umi.

Kebetulan sekali pada hari itu semua orang ada di rumah. Adikku mengajak teman-temannya bermain di rumah. Abah menerima beberapa tamu dari luar kota. Kakakku ikut menerima tamu. Umi sibuk memasak penganan untuk disuguhkan pada para tamu. Aku, yang biasanya langsung sigap membantu Umi ini-itu, pada hari itu bahkan tidak keluar dari kamar. Aku bahkan tidak beranjak dari tempat tidurku kecuali sekali untuk ke kamar mandi.

Pikiranku masih melayang-layang. Sebagian takjub. Sebagian tak percaya atas apa yang terjadi. Sebagian merasa bersalah. Sebagian lagi merasa jijik pada diriku sendiri. Namun, bagian yang paling besar dari semua itu adalah pikiran yang mewanti-wanti, akankah peristiwa itu terulang lagi? Akankah aku bisa bercinta lagi dengan Umi?

Sambil memejamkan mata, bayangan pergesekan antara alat kelamin kami semakin menghantui ingatanku. Rasa hangatnya. Rasa licinnya. Kulit tubuh kami yang saling menempel dan lengket karena keringat. Aroma tubuh Umi yang berbeda dari biasanya. Desahan kecil di setiap genjotan yang kulakukan. Juga ritme napas yang terengah-engah. Semua itu seperti sebuah adegan film yang diputar berkali-kali di dalam pikiranku. Membuatku konak sepanjang waktu.

Meskipun sudah sange berat, anehnya aku tak ingin masturbasi. Tanganku tak ada sedikit pun bergerak mengusap-usap penis. Yang kuinginkan hanya Umi. Aku ingin dipeluk lagi oleh Umi, dengan erat. Lebih mantap lagi kalau sambil penisku bersarang di memeknya. Hanya kesadaran tipis yang menahanku dari berlari keluar kamar dan mencari Umi untuk segera mewujudkan hasratku yang sudah di ubun-ubun.

Karena saking kuatnya perasaan yang kualami, juga kebingungan yang tak kunjung pergi, aku pun tanpa sadar tertidur lagi. Dalam mimpi, Umi datang kepadaku, membelai rambutku, lalu menciumku lama sekali. Rasanya panjang sekali ciuman itu, tetapi aku tak kunjung mendapat perasaan penuh dan utuh. Aku terus mengecup sekuat tenaga, tapi tak sampai jua. Sensasinya berbeda dengan ciuman betulan yang kurasakan kemarin.

Aku berusaha merengkuh Umi tetapi badanku seperti lumpuh. Tangan dan kakiku tak sudi kusuruh-suruh.

Lalu ciuman itu pun berakhir. Umi menatapku sejenak, lantas beranjak pergi meninggalkanku. Aku berusaha sekuat tenaga, berteriak memanggilnya, tetapi, lagi-lagi, pita suaraku seperti terkunci. Tak secuil pun suara muncul.

Aku mulai merasa panik. Aku tak mau Umi pergi. Aku tak mau ciuman kami berakhir. Aku tak mau dia menjauh.

Umi kian menjauh hingga menjadi seperti bayangan. Lama-lama bayangan itu pun semakin kabur.

Dengan penuh tenaga aku berusaha bangkit dari posisi tidur. Tapi sia-sia. Semakin aku ingin bangkit, semakin tubuhku seperti dipaku, menempel erat pada tempat tidurku. Aku benar-benar tak berdaya.

Pada puncak perasaan pasrah itulah aku mulai merasakan badanku berguncang. Awalnya pelan, tapi semakin lama semakin kencang. Samar-samar aku mendengar suara yang memanggilku.

“Wan…”

Sudah jelas itu suara siapa.

“Wan…!!”

Umi!

“Wan!!!”

Aku terbangun. Wajah Umi membayang di atas pandang. Ia tampak cemas.

“Wan. Kamu kenapa?”

“Umi?”

Aku masih sedikit linglung.

“Kamu kayak habis mimpi dikejar setan.”

Umi masih memandangku dengan tatapan penuh cemas. Menunggu penjelasan.

“Aku habis mimpi.”

“Mimpi buruk?”

Aku mengangguk pelan. Untuk sejenak aku memalingkan tatapanku darinya. Takutnya menangis kalau menatap lebih lama.

Umi tidak lanjut bertanya. Ia hanya diam. Lalu mengusap-usap tanganku.

Masih tak menatapnya, aku berkata, “Tadi mimpi Umi pergi.”

“Pergi? Pergi ke mana?”

“Pergi aja. Ninggalin Ridwan.”

Umi menghela napas. Aku bisa merasakan tatapannya lekat sekali di wajahku. Aku bisa merasakan kekhawatirannya.

“Kamu belum makan sama sekali dari kemarin.” Umi menjulurkan tangannya, lalu menyentuh dahiku. “Kamu agak demam. Makan ya, Wan. Habis itu minum obat.”

Aku memberanikan diri untuk mengangkat wajahku, menatap Umi. Dia tersenyum kepadaku. Rasa gundahku seketika menguap. Kini hanya rindu yang memenuhi rongga dadaku. Betapa tidak, lihatlah senyum teduh itu yang ia tujukan kepadaku. Umi tidak marah atau membenciku, itu yang terpenting.

“Umi ambilin makan ya.”

Umi beranjak, melangkah menuju pintu kamar.

“Umi, maafin Ridwan.” Tiba-tiba saja kata-kata itu meluncur lancar dari mulutku. Wajahku tertunduk dalam. Tak berani melihat reaksi Umi.

Sebetulnya aku juga tak berani jika Umi merespon perkataanku dengan apapun. Serba salah. Bagaimana jika Umi bertanya maaf soal apa? Aku sendiri belum terlalu yakin apa yang ingin kuucapkan setelahnya jika Umi merespon.

Mendengar ucapanku, Umi berhenti sebentar, lantas lanjut meraih gagang pintu dan keluar dari kamarku.

Setidaknya aku sudah berbicara lagi dengan Umi. Dan kemungkinan besar dia tidak marah atau membenciku. Aku harus fokus pada hal itu.

Tak berapa lama Umi kembali masuk kamar, membawa nampan yang di atasnya ada sepiring makanan, yaitu nasi dan lauk kesukaanku, semur daging. Lengkap dengan minuman kesukaanku juga, jus melon.

Umi tersenyum lagi begitu melihatku. Aku berusaha membalas senyumnya.

“Mau Umi suapin atau mau makan sendiri?”

Aku bingung bagaimana menjawabnya. Jelas sekali sekujur tubuhku ingin terus-terus berdekatan dengan Umi, tapi rasanya amat canggung. Malu.

Sebelum aku sempat menjawab, Umi melanjutkan. “Umi suapin aja ya.”

Aku hanya mengangguk.

Dengan amat telaten Umi menyuapiku. Aku menerima saja tanpa banyak omong. Aku sungguh merasa buntu soal apa yang harus kukatakan kepada Umi. Banyak sekali pikiran berputar-putar di kepalaku.

Bagaimana Umi menganggap kejadian kemarin? Apakah ia menganggap itu satu kejadian yang tidak disengaja? Apakah Umi menyesal telah melakukannya? Apakah Umi akan menjauhiku setelah ini? Apakah semuanya salahku? Apakah Umi akan melapor pada Abah? (Rasanya tak mungkin sih. Tapi bagaimana jika iya.)

Umi jelas berkata bahwa ia tidak marah. Itu menenangkanku. Sedikit. Tapi apakah itu betul-betul apa yang dia rasakan?

Dan bukan hanya dia, aku sendiri masih kelabakan soal bagaimana aku menganggap kejadian kemarin itu. Memang luar biasa rasanya, tapi ini pengalaman yang teramat baru bagiku. Tak pernah kubayangkan sebelumnya. Jangankan bersetubuh, berpegangan tangan dengan lawan jenis saja rasa-rasanya tak pernah. Aku memang pernah punya pacar tapi tidak ada hal lebih jauh yang kulakukan dengannya selain bertukar surat cinta. Itu pun sudah lama, ketika aku SMP.

Ada kebingungan besar yang sepertinya mengendap di hatiku. Namun, untuk sementara ini, semua rasa-rasa lain mungkin kalah dengan rasa penasaran. Aku ingin melakukannya lagi. Jujur. Bahkan sebetulnya aku tidak terlalu peduli dengan acara makan ini.

“Enak?” Umi bertanya.

Lucu Umi ini, aku menghabiskan makananku dengan cepat, mana mungkin tidak enak. Aku jawab dengan mengangguk.

Umi lalu menyuruhku minum obat meskipun sebetulnya aku merasa tidak perlu.

“Nanti jusnya juga diminum ya.”

Aku mengangguk lagi.

Umi meletakkan piring bekas makan di atas nampan, bersiap-siap untuk beranjak, tapi tampak ragu. Ia bangkit dari duduk, aku masih tidak buka suara. Sekejap kemudian Umi kembali duduk.

“Kamu nggak apa-apa, Wan?”

Aku seketika menoleh, menatap Umi, dan mata kami langsung bertemu. Aku tahu betul maksud pertanyaan itu. Bukan perkara fisik sebab tadi baru saja aku minum obat.

Lama mata kami bersitatap.

“Umi nggak marah sama Ridwan?” Akhirnya aku, meski masih tak jelas ingin bilang apa, mengucapkan pikiran yang paling serius menggangguku.

Umi tersenyum sebelum menjawab sambil menggeleng. “Nggak dong, sayang.”

Mendengar kata ‘sayang’ darinya, dadaku langsung bergemuruh.

Umi membelai wajahku, yang mana membuat jantungku ingin berjumpalitan.

“Ridwan marah? Umi minta maaf kalau–”

Buru-buru aku menggeleng sekuat tenaga, seraya kugenggam tangannya yang sedang membelai wajahku.

“Ridwan takut banget Umi marah.”

Umi menatapku sangat intens. Sulit kubaca, tapi kurasakan ada berbagai macam perasaan dalam tatapannya itu. Ia lalu meraihku untuk memeluk. Kami berpelukan. Umi mengusap-usap punggungku. Seperti ada yang tidak, atau mungkin belum, bisa dia katakan kepadaku.

“Ya udah, kamu istirahat aja ya, biar cepet sembuh.”

“Iya, Umi.”

Rasanya aku tidak pernah sakit. Sejujurnya aku cuma bingung tak karuan–dan horny tak tertahankan.

Selama satu minggu penuh rumahku tidak kunjung sepi. Orang-orang rumah yang biasanya berkeliaran di luar, entah kenapa, betah sekali di rumah. Adikku selalu mengundang teman-temannya untuk bermain di rumah. Abah sedang sering-seringnya menerima tamu.

Selama seminggu itu aku tidak terlalu banyak keluar kamar. Hanya untuk makan saja.

Hatiku gundah luar biasa. Ah, salah. Bukan hatiku.

Aku berpikir bahwa persetubuhanku dengan Umi tidak mungkin terjadi lagi jika semua orang rumah selalu ada di rumah. Tapi memangnya bakal terjadi lagi? Memangnya Umi mau? Kepedean sekali diriku.

Selama seminggu itu aku seperti kembali ke masa sebelum kami dekat. Berbicara dengan Umi hanya seperlunya saja. Aku pun jarang, atau hampir tak pernah malah, membantu Umi. Bukan aku tak ingin, tapi tak kuasa aku menahan diri kalau terlalu lama berdekatan dengannya. Sungguh menyiksa.

Hingga akhirnya suatu kesempatan yang bagai rejeki nomplok tiba.

Abah tiba-tiba memanggil orang serumah untuk menyampaikan pengumuman

“Besok lusa ada walimahan anaknya Yai Husnul yang di Kuningan. Kita sekeluarga diundang.” Abah mengedarkan pandang ke semua. “Habis dari acara itu kita sekalian lanjut ziarah keliling. Nanti dari sini bareng rombongan sama yai-yai yang lain juga. Pas banget tanggalnya.”

Aku langsung merasa sebal. Aku tidak pernah suka acara jalan-jalan, apalagi yang jauh jaraknya dan lama durasinya. Sudah kubayangkan jengahnya berada di tengah-tengah rombongan. Apalagi acara pernikahan, pasti ramai tak tanggung-tanggung.

Belum ada yang menanggapi pengumuman Abah. Kakakku jelas ikut. Dia dan Abah itu satu paket kalau ada acara-acara begini. Tapi sebetulnya kami belum tahu apakah Abah hanya sekadar mengumumkan atau sedang menanyakan kesediaan kepada kami semua. Cenderung yang pertama sih. Hampir tak pernah Abah menanyakan kesediaan atau meminta persetujuan pada siapapun.

“Pulangnya nanti bisa mampir dulu ke pantai.”

Adikku langsung menyambar. “Bener, Bah? Ke pantai?”

“Iya, Nduk.”

“Asik…” Adikku kegirangan. Dia mungkin pada awalnya enggan juga karena harus berpisah sejenak dari teman-teman bermainnya tapi ide main ke pantai membuatnya berubah pikiran.

“Nanti rombongan langsung pulang, kita bisa nginep semalam lagi.”

“Di mana Bah pantainya?” Adikku bertanya dengan antusiasme yang sama dengan tadi.

Ada jeda beberapa saat sebelum Abah menjawab. Pada jeda itu aku melihat Abah memperhatikan raut wajah Umi lekat-lekat.

“Umi nggak bisa ikut.” Umi berkata sambil matanya menatap ke toples kue-kue di atas meja.

Mengejutkan. Ini sungguh di luar dugaan. Orang yang menyatakan keengganan justru Umi.

Ada hening sejenak. Mungkin semua orang juga kaget.

Adikku yang akhirnya bertanya. “Kenapa Umi?”

“Umi harus ke tempat lelayu di Malang. Teman dekat Umi baru saja kena musibah, suaminya kecelakaan dan meninggal.”

“Siapa?” Itu Abah yang bertanya.

“Asri.” Jawab Umi pendek, tanpa menggeser pandangannya sedikit pun.

Abah tak lanjut bertanya.

“Jadi Umi nggak ikut ke pantai?” Adikku bertanya memastikan.

Umi menggeleng. “Kalian berangkat saja.”

“Umi ke Malang sendirian?” Kakakku bertanya. Aku diam-diam berterima kasih karena dia mewakilkan pertanyaanku.

Umi menatapku. Aku sedikit gelagapan seperti orang bego.

Kami sebetulnya ada dua mobil, tapi yang bisa menyetir hanya Abah dan kakaku. Aku tak bisa menyetir karena memang tak terlalu tertarik juga.

“Umi sama Ridwan.”

Aku terkesiap. Aku? Rasa terkejut itu dalam waktu singkat langsung berubah menjadi keceriaan yang mati-matian kusembunyikan dari siapapun.

“Ridwan kan nggak bisa nyetir.” Ucap kakakku. Sekarang aku mengutuknya.

“Umi berencana naik kereta.”

Adikku tampak sedikit keberatan bahwa Umi tidak ikut. Tapi sepertinya dia tidak akan mau menukar liburan ke pantai dengan perjalanan singkat ke Malang.

Tidak ada tambahan pembicaraan berarti setelah itu. Kesimpulannya adalah Abah, kakakku, dan adikku akan bertolak ke Kuningan besok bersama rombongan dengan beberapa mobil, sedangkan Umi dan aku akan ke Malang naik kereta. Rombongan Abah akan tindak setidaknya untuk lima hari, atau bahkan satu minggu karena mereka berencana mampir ke pantai setelahnya. Sementara perjalananku dengan Umi masih belum aku ketahui rencana pastinya akan seperti apa.

Kepalaku langsung dipenuhi banyak pikiran yang membuat perutku pegal. Hatiku berdebar-debar. Malam itu aku sulit untuk tidur, membayangkan banyak sekali kemungkinan-kemungkinan. Setidaknya, yang sudah bisa kupastikan sekarang juga adalah bahwa perjalanan kami akan jauh lebih singkat dibandingkan dengan perjalanan rombongan Abah. Itu membuat pikiranku bertualang liar, menyambangi hasrat dan fantasi yang tumbuh bak jamur.

Keesokan paginya, kami berangkat lebih dulu karena mesti mengejar jadwal kereta. Kami ke stasiun diantar kakakku. Selama perjalanan ke stasiun hampir dilalui tanpa obrolan, sampai akhirnya kakakku bertanya ketika mobil sudah hampir sampai.

"Berapa jam sih, Mi, ke Malang?"

"Lima atau enam."

"Nanti Umi nginep di Malang?"

Good job, Mas. Ucapku dalam hati. Sambil mengacungi jempol. Juga dalam hati.

"Mungkin. Kayaknya sih iya."

"Nginep di dalem-nya teman Umi."

"Iya." Entah perasaanku saja atau memang Umi terdengar enggan menjawab pertanyaan kakakku.

Mobil pun sampai di stasiun. Umi membawa sebuah tas wanita yang hanya muat peralatan kecil seperti alat make up atau alat-alat elektronik. Sementara aku bahkan tidak membawa tas apapun.

"Mau nginep tapi gak bawa baju ganti?" Kakakku bertanya entah pada siapa.

Tidak ada satupun dari kami yang menjawab.

"Kamu nanti langsung berangkat, sepulang dari stasiun?"

"Iya. Nanti kumpul di lapangan pondok dulu katanya. Berangkatnya bareng-bareng."

"Ya udah, hati-hati aja. Jangan ngebut. Itu adek kamu dijagain."

Setelah kakakku salim, Umi bergegas masuk ke stasiun.

"Jagain Umi, Wan." Ucap kakakku kepadaku sebelum menutup kaca mobil dan putar balik.

Tidak ada satu jam, aku dan Umi sudah duduk di bangku kereta menuju Malang. Beberapa saat lagi kereta akan segera berangkat.

Kami menaiki kereta ekonomi karena jadwalnya paling cepat. Susunan kursi di kereta ekonomi saling berhadapan. Aku dan Umi duduk berhadapan di sisi dekat jendela.

Sampai kereta bergerak berangkat, jejeran bangku kami tak ada orang lain selain aku dan Umi. Mujur betul, pikirku.

Aku memperhatikan wajah Umi yang sedang memandang ke luar. Ingin benar aku tahu apa yang dia pikirkan. Sungguh misteri. Kuyakin pasti berbeda dengan isi pikiranku yang sejak semalaman hampir semuanya dipenuhi oleh bayangan-bayangan sensual yang membuat perutku agak ngilu.

"Umi." Aku beranikan diri memanggilnya.

Umi menoleh, tampak sedikit kaget. Dia seperti lupa bahwa aku ada di hadapannya.

"Kenapa, Wan?"

"Teman Umi yang mau kita ketemu ini teman dari mana?"

Aku melihat perubahan raut wajah ketika Umi hendak menjawab. Dari yang tadinya tampak tegang, jadi lebih rileks.

"Teman SMA."

"Umi SMA di Malang?"

Umi tersenyum. "Di Surabaya."

"Kok aku nggak tahu?" Sebentar. Ini jadi terasa janggal. Bagaimana mungkin selama ini aku tidak tahu di mana Umi bersekolah.

"Ya, kamu nggak pernah nanya."

Astaga. Bukan cuma sekolahnya, selama ini tak ada satu hal pun yang kuketahui tentang masa lalu Umi. Bagiku, seumur hidupku, dia sudah menjadi Umi, yakni ibuku. Aku selama ini tidak menyadari bahwa ibuku juga adalah seorang manusia utuh yang tentu saja punya cerita dan warna-warni kehidupan yang dia alami sebelum menjadi ibuku.

Untuk sejenak, selama perjalanan di kereta, pikiranku soal hasratku berhasil ditahan oleh rasa penasaranku terhadap kehidupan Umi. Yang bikin semuanya jadi tambah gayeng adalah Umi tampak sangat antusias saat bercerita. Rasanya seperti aku sedang mengobrol dengan Umi dari 20 tahun yang lalu.

Mataku berbinar-binar menyaksikan sisi baru Umi yang mungkin hanya aku yang sempat menyaksikannya.

Perjalanan berjam-jam jadi seolah beberapa menit saja.

**

Kecurigaan awalku langsung terbit begitu kami tiba di Malang. Kami naik taksi dari stasiun. Umi menyebutkan nama sebuah rumah sakit.

Kok rumah sakit? Bukan alamat rumah.

Aku penasaran tapi tak mau bertanya. Kurasa tak perlu. Lagipula aku tidak peduli mau pergi ke mana pun. Yang penting bersama Umi.

Aku sempat mengira akan dibawa ke rumah duka yang letaknya ada di dalam rumah sakit. Ternyata tidak.

Kami memasuki sebuah ruangan VIP. Aku melihat Umi bertemu dengan temannya yang bernama Asri itu. Sangat lama mereka berpelukan, saling mengusap punggung.

Dari apa yang kudengar, suaminya Bu Asri ini mengalami kecelakaan beberapa hari lalu, sempat masuk ICU, tapi sekarang masa kritisnya sudah lewat.

Aku tercengang. Umi berbohong. Tapi kenapa?

Setelah cukup lama mengobrol, Umi akhirnya memperkenalkanku kepada temannya. Kami bersalaman.

"Ganteng tenan lho, Mbak, anak e sampeyan."

"Ah, bisa aja kamu, Sri."

Umi memegang kedua bahuku. Aku bingung harus bereaksi bagaimana.

Cukup lama kami di rumah sakit. Mungkin sekitar dua jam. Banyak sekali Umi mengobrol dengan Bu Asri. Kebanyakan mereka membahas masa lalu. Aku senang-senang saja mendengar kisah tentang Umi. Sesekali aku ditanya-tanya, sekadar supaya dianggap ikut dalam obrolan. Bu Sri sering menggoda Umi, bilang bahwa dulu Umi adalah gadis incaran satu sekolah, bahkan anak SMA lain pun banyak yang tahu Umi.

Setelah puas bertukar kabar dan membayar rasa rindu, Umi pamit undur diri. Bu Sri menawarkan supaya kami menginap di rumahnya saja, nanti ada orang yang menjemput. Umi menolak dengan halus, berkata dia sudah memesan penginapan.

Jantungku semakin pegal.

Ini kebohongan kedua.

Keluar rumah sakit kami langsung mencari makan. Hari sudah cukup sore rupanya. Kami sama-sama lupa makan. Di kereta lupa karena asyik mengobrol, begitu juga ketika di rumah sakit. Tahu-tahu perut sudah keroncongan.

Jam menunjukkan pukul 16.13 ketika kami memasuki lobby sebuah hotel. Umi berjalan ke resepsionis dan memesan sebuah kamar.

Kebohongan ketiga. Umi bohong kepada temannya.

Aku sudah betul-betul ingin gila rasanya. Aku hampir tak sanggup menahan gejolak di dadaku ini. Senang. Bingung. Horny. Was-was.

"Untuk tipe kamarnya mau pesan yang double atau twin, Ibu?"

"Twin saja, Mas."

"Baik. Mohon dibantu untuk tanda pengenalnya."

Umi menyerahkan KTP-nya. Beberapa saat kemudian dikembalikan.

"Mohon maaf sebelumnya, Ibu, berdasarkan peraturan di hotel kami, izinkan saya untuk bertanya, Ibu memesan satu kamar untuk dua orang, betul, Ibu?"

"Betul, Mas."

"Mohon izin Ibu, sekiranya berkenan, dengan siapa Ibu berencana menginap?"

"Ini anak saya."

"Oh, baik, Ibu. Mohon maaf."

Petugas itu tampak malu. Cepat-cepat dia menyerahkan kartu yang menjadi kunci kamar hotel.

Tanpa banyak omong, aku dan Umi berjalan menuju lift. Kamar kami ada di lantai 5.

Di dalam lift, perasaanku sudah seperti mau pingsan. Hasratku rasanya ingin langsung meledak. Sementara itu kulihat Umi tampak biasa-biasa saja.

"Kenapa kamu?" Umi menempelkan tangannya di dahiku. "Demam lagi?"

Aku buru-buru menggeleng. "Enggak, Umi." Daripada orang demam, aku lebih mirip orang sakau narkoba.

Kami sampai di lantai 5. Perjalanan dari lift menuju kamar betul-betul mendebarkan.

Ah, gila. Sialan!!! Tak kuat aku.

Umi dengan lihai meletakkan kartu di kusen pintu, lalu membukanya dengan satu gerakan tegas. Kami pun masuk.

Demi Tuhan aku ingin pingsan.

Umi melepaskan sepatunya. Menaruh tasnya di atas meja. Lalu duduk di atas kasur dan meminum air botol yang tersedia di atas meja.

Aku masih berdiri bengong. Tak tahu harus berbuat apa. Badanku kaku.

"Wan, kamu mau mandi duluan atau Umi?"

Aku yang ditanya tak tanggap menjawab. Linglung sudah.

"Umi dulu ya."

Umi lalu masuk kamar mandi yang letaknya dekat pintu. Aku tahu Umi memperhatikanku yang sedang tampak sangat bodoh.

"Nanti habis Umi mandi kamu juga mandi ya." Itu yang dikatakannya sebelum menutup pintu kamar mandi.

Aku hanya mengangguk.

Setelah mendengar suara kucuran air dari dalam kamar mandi, aku berjalan pelan, melepaskan sepatuku, lantas langsung rebahan di atas salah satu kasur.

Aku memejamkan mataku.

Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah Umi sengaja melakukan semua ini? Dia sampai berbohong kepada Abah dan kakakku.

Apakah Umi sengaja membawaku ke hotel? Apakah Umi ingin melakukan—

Aku tak bisa menenangkan hatiku. Rasanya seperti menahan bola api liar.

Apakah kejadian luar biasa itu akan terulang lagi?

Ada sedikit aku merasa ingin tenggelam saja ke dalam kasur yang sedang kutiduri. Aku mungkin tidak akan sanggup menghadapi semua kegilaan ini.

Entah antara tidur atau bangun. Atau antara mimpi dan sadar.

Saat kubuka mataku, yang terpampang di hadapanku adalah tubuh setengah telanjang Umi. Dibalut handuk putih yang sama sekali tak kuasa menutupi lekuk-lekuk indahnya.

"Sana mandi." Ucap Umi santai.

Dia tidak tahu betapa mataku hampir lompat dari tempurungnya.

Mungkin ketika masih kecil dulu pernah sekali atau dua kali aku melihat Umi ketika sehabis mandi hanya mengenakan handuk. Tapi sejak aku SMP, kami pindah ke rumah lebih besar yang setiap kamarnya ada kamar mandi.

"Sana mandi. Nanti Umi pijitin habis mandi. Kamu pegel-pegel nggak?"

Bukan itu masalahnya, Umi cantik. Anakmu ini sedang konak tingkat tinggi karena melihat tubuhmu yang luar biasa indahnya itu.

Hampir aku termakan rasa gemas, ingin rasanya kuterjang saja langsung dia. Hanya sekali tarik, maka lepas lah handuk sialan itu. Pasti.

Meski pikiranku sudah tidak karu-karuan, ada sedikit—sangat sedikit—rasa waras yang akhirnya memampukanku untuk beranjak dari kasur, lantas masuk ke dalam kamar mandi.

Begitu telanjang, jelas saja pelirku sudah ereksi sangat berat. Kunyalakan shower, guyuran air tak mampu meredakannya. Dalam kondisi telanjang gemuruh di dalam dadaku semakin menggelora.

Ini semua omong kosong. Mandi ini omong kosong. Pergi ke Malang adalah omong kosong. Rasa-rasanya semua sandiwara.

Aku tak repot-repot menyelesaikan mandiku. Aku keluar dari kamar mandi.

"Cepet banget man—"

Ucapan Umi terhenti begitu melihat aku keluar kamar mandi tak memakai sehelai apapun.

Umi menatapku tak berkedip. Sebuah lipstik bertengger di tangan kanannya.

"Habis mandi ngapain pake lipstik? Emangnya mau ke mana?"

Hah! Rasakan seranganku, Umi.

Umi segera meletakkan lipstiknya.

"Kamu kenapa nggak pakai handuk?" Balas Umi. Dia sendiri masih pakai handuk yang tadi.

"Susah pakenya."

Awas saja kalau dia sampai tanya kenapa. Apa dia tidak lihat pelirku sudah tegang mentok begini?

Sambil berkali-kali menelan ludah, aku berjalan perlahan ke arah Umi yang duduk di atas kasur.

Ketika aku semakin dekat, Umi berdiri.

"Umi kenapa belum pake baju?" Serangan pamungkasku.

Semuanya terjadi begitu cepat, tapi sama sekali tidak terburu-buru.

Kami berciuman.

Kami berpelukan.

Kami berciuman sambil berpelukan.

Tanpa ditahan, erangan kami berdua langsung memenuhi seisi ruangan. Kecipak suara bibir kami. Deru napas kami.

Aku masih sedikit terkejut ketika tangan Umi meraih kontolku. Di tengah kami berciuman. Umi mengusap-usap kontolku perlahan.

Gila.

Sinting.

Nikmatnya tak bisa kugambarkan.

Tanganku malu-malu berusaha meraih payudara Umi. Masih ragu-ragu.

Umi melepaskan ciuman kami sebentar. Tersenyum nakal kepadaku, lantas ditanggalkannya handuk putih yang melilit tubuhnya. Mataku langsung lahap menjalari pemandangan amat indah di hadapanku.

Raut wajah Umi seperti di tengah kemenangan melihatku begitu lekat memelototi tubuh telanjangnya.

Kami berciuman lagi. Lebih panas. Lebih ganas.

Lidahku dan lidahnya berpagutan.

Tanpa ragu, kuremas payudara Umi yang kini sudah tak terhalang apapun. Kunikmati ketika Umi mengerang lebih keras begitu kugesek putingnya dengan jari tanganku.

Sekitar lima menit kami bercumbu sambil berdiri.

"Pindah kasur, yuk."

Aku menurut saja. Umi menarik tubuhku. Ia rebahan di atas kasur dan membawa tubuhku supaya menindihnya.

Aku bertumpu pada lutut dan siku, pelirku menggelantung tepat di atas rambut-rambut kemaluan Umi. Kuturunkan wajahku dan kami berciuman lagi.

Aku merasa tak akan bisa puas menciumnya.

Umi menekan punggungku supaya aku benar-benar menindihnya. Perlahan, aku menggeser lututku ke samping, kontolku semakin dekat dan akhirnya menempel pada bulu-bulunya. Aku juga merasakan dadaku menyentuh dadanya.

Ciuman kami tidak berhenti.

Tanpa bisa kukendalikan, pinggulku bergerak-gerak dengan sendirinya. Pelirku menggesek-gesek rambut kemaluan Umi. Agak sakit gesekan itu terasa, tapi enaknya jauh melebihi.

Seakan mengerti kondisiku, Umi mengangkat pinggulku sebentar, lalu ia ubah posisi kakinya menjadi mengangkang lebar, membuka total daerah kewanitaannya. Tampak begitu jelas tanpa halangan, vagina Umi yang sudah sedemikian becek.

"Ayo sini gesek lagi, Wan. Geseknya di memek Umi biar ga sakit."

Wah, gila.

AMPUN!!!

TAK KUAT AKU.

Aku menurunkan pinggulku lagi, sementara lututku menyangga paha Umi yang sedang mengangkang.

Pelirku kini tepat menempel di atas belahan vagina Umi.

Becek. Licin.

Secara naluriah pinggulku langsung bergerak maju-mundur.

OHHH…

Rasa nikmatnya sungguh bajingan.

Kami tak lanjut ciuman. Umi memandangi wajahku. Aku memandangi pergesekan kelamin kami.

Mimpikah ini? Aku sungguh tak percaya.

Aku lalu menoleh ke Umi, mata kami bertemu. Umi tersenyum.

"Enak, sayang?"

Aku kembali memperhatikan gesekan kelamin kami. Kupejamkan mata. Aku mendesah.

Lalu kubuka mataku lagi untuk menatapnya. "Enak banget, Umii… ahhh…"

"Sini, sayang."

Umi merentangkan tangannya. Aku jatuh ke pelukannya. Bibirku jatuh di bibirnya. Lidahku berjabat tangan dengan lidahnya. Sambil masih aku menggesekkan kontolku di atas memeknya, bahkan semakin cepat.

Gerakan menggenjotku sudah betul-betul penuh. Seperti betul sudah mengentot.

Aku tak sempat berpikir apa-apa, tubuhku bergerak terus semaunya.

Genjotanku semakin cepat. Semakin cepat. Ciuman kami terus mendalam.

Mendeteksi gerakanku yang semakin cepat dan kurang ritmis, Umi segera menghentikan ciuman kami. Ditahannya pinggulku dengan lembut.

"Wan, kamu nggak mau masukin?"

Aku gelagapan. Sedang keenakan.

"Kamu cuma pengen gesek aja?"

Aku meraih kembali kesadaranku.

"Pengen, Umi."

"Pengen apa, sayang?"

"Pengen masukin."

"Masukin apa?"

Otakku segera ngeh bahwa ini sedang bermain.

"Masukin kontol Ridwan."

"Mau dimasukin ke mana kontol Ridwan?"

"Kontol Ridwan mau dimasukin ke memek Umi."

Umi tersenyum. Ya, sebetulnya sedari tadi dia sudah senyum-senyum.

Bertumpu pada sikunya, Umi sedikit mengangkat badannya supaya bisa melihat selangkangan kami.

"Umi juga pengen masukin kontol kamu ke memek Umi." Sambil berkata begitu, Umi meraih pelirku lalu mengarahkannya.

"Dorong pelan-pelan."

Kupatuhi. Berkat bimbingan Umi, kontolku berhasil masuk (lagi) ke dalam lubang hangat itu. Pertama hanya kepalanya. Semakin kudorong, semakin ambles dia.

"Terus, sayang. Pelan-pelan."

Umi kembali rebahan begitu dirasa kontolku sudah masuk cukup dalam.

"Terus masukin sampai mentok."

Kudorong terus pinggulku. Gesekan antara batang kontolku dan dinding vagina Umi terasa menjalar di sekujur tubuhku. Rasanya hingga ubun-ubun. Kenikmatan macam apa ini?

Akhirnya pun mentok.

"Ahhhh…" Umi melenguh. "Enak banget, sayang." Matanya merem-melek.

Aku mati-matian mengatur napasku. Silap sedikit bisa langsung K.O. aku alias ejakulasi dini. Gila nikmatnya benar-benar keterlaluan.

"Genjot pelan-pelan dulu, biar kamu terbiasa."

Mengikuti arahannya, aku tarik perlahan kontolku. Sialan. Lagi-lagi gesekan antara kelamin kami bikin kepalaku seperti ngilu—tapi nikmat.

Kudorong lagi. Perlahan. Lalu kutarik lagi. Kudorong lagi. Kutarik lagi. Kudorong lagi. Berulang beberapa kali hingga aku terbiasa, kemudian kugenjot dengan ritme yang cukup.

Sepanjang genjotanku, Umi mendesah keenakan.

"Ahhhh… hhhhhnm…. ahhh…"

"Hmmm… aahhhhh… ahhh…"

"Ahhh.. ahhh.. ahhh.."

Setiap desahan itu, juga membuatku nikmat tak terkira. Suka sekali aku mendengarnya.

"Wan…"

"Iya, Umi…?"

"Kamu masih lama?"

"Nggak tahu, Umi."

"Hmmmm… Kamu udah mau keluar? Ahhh…"

Sebetulnya kalau tidak kutahan, sudah sedari tadi kumuntahkan muatan spermaku.

"Kalau mau keluar …, …ahhh … nggak usah ditahan …, …ahhhh… Keluarin aja, sayang …, hmmmhh…"

"Iya, Umi."

"Keluarin …, …ahhh … di dalem aja. AHHHH!!"

"Di dalem, Umi?"

"Iya, keluarin di dalem memek Umi aja."

Langsung saja kecepatan genjotanku bertambah. Selain kecepatannya, hentakannya pun bertambah keras. Mulai terdengar suara beradunya selangkangan kami.

Tak berapa lama.

"Wan …, …ahhh …"

"Ridwan mau keluar, Umi…"

Umi mengalungkan tangannya di leherku, lalu menarik kepalaku mendekat. Kami berciuman.

"Ayo, terus sayang. Genjot terus." Ucap Umi di selang percipokan kami.

Aku pun semakin terpacu untuk sampai.

"Umi…! Umi…!"

"Iya. Ayo terus, sayangku. Ridwan… anak lanangku… ayo terus sayang… genjot terus…"

"AHHHH…!!! UMIIII…!!!"

Umi semakin erat memelukku. Semakin rapat. Satu tangannya bahkan mendorong pantatku supaya menghujam semakin dalam.

Gerakanku semakin cepat tidak karuan. Sudah hilang kendaliku atas pinggulku sendiri. Dia bergerak mengikuti naluri alaminya. Semakin keras dan cepat.

Tangan Umi semakin kuat mendorong supaya kontolku benar-benar menusuk dalam, menghujam lubang memeknya. Memikirkan hal itu saja sebetulnya sudah cukup buatku.

Sepersekian detik berikutnya, dalam pelukan Umi yang begitu erat, juga lidah kami yang saling berpagutan, puncak kenikmatan yang sudah dibendung di ujung penisku akhirnya berhamburan keluar, muncrat sepenuh-penuhnya.

Mungkin sekitar tujuh hentakan ejakulasi yang kurasakan.

Dalam setiap hentakan itu, Umi mendorong pantatku agar semakin melesak, seperti dia ingin mengembalikan aku masuk ke dalam rahimnya.

LANJUTAN
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd