IV
‘Iiih Ray, belum apa-apa kok sudah gini sih kamu’
Sore itu aku datang ke rumah Rania, orang tuanya sedang pergi ke kota sebelah menghadiri acara pernikahan relasi bisnis ayahnya. Sudah cukup lama aku berpacaran dengan Rania, semenjak SMA kelas satu aku sudah menjalin hubungan cinta dengan dia. Baru saja dia membuka pintu rumahnya, aku langsung menyerang bibirnya yang merekah itu.
Rania ini anak bungsu dari dua bersaudara, kakak lakinya sudah bekerja di Surabaya. Ada jarak umur yang cukup jauh antara kakak lakinya dan Rania. Rupanya cantik jelita, matanya yang belok, dan kedua buah tulang pipinya yang cukup kentara, membuat wajahnya terlihat makin manis. Kulitnya berwarna sawo matang seperti puteri-puteri Mataram, tidak terlalu gelap tapi tidak terlalu ringan juga. Badannya cukup tinggi, tidak terlalu kurus tapi ideal dengan buah dada yang tidak terlalu besar. Aset terbesar Rania itu berada di pantatnya. Pantatnya yang bulat dan kencang, sangat-sangat menggiurkan. Aku suka paling suka membelai pantatnya secara halus. Rania juga sepertinya suka ketika aku merangsang dirinya melalui belaian halus di pantatnya.
‘Ray, muaah muaah ,,,aaah ... bentaran dulu dong’
Akupun langsung melepas ciumanku,
‘Kan dah lama gak gini, yang. Kangen loh’
‘Iyaa, tapi tadi katanya mau jalan dulu, aku gak diajak makan dulu gitu? Mau langsung makanan penutup aja?’
‘Ya maunya sih, kamu laper ya, yang?’
‘Iya nih, laper aku dari tadi. Pingin makan pizza, eh kamunya ngotot ngasih pisang’, kata Rania sambil membelai penisku yang sudah mengeras.
Mata Rania terbelalak ketika dia menyadari penisku yang sudah keras, tau keadaan penisku seperti itu bukannya dia melepaskan tangannya, tapi malah menggenggamnya semakin erat.
Sedikit tersentak aku merasakan ngilunya.
‘Kalo gitu quickie aja deh, abis ini langsung makan? Oke?’
‘Ah .. enggak aah, aku dah laper, dah rapi gini. Tar keringetan lagi, lecek .. ngak mau’, jawab Rania dengan suaranya yang manja.
‘Oke okee … apapun untuk kesayanganku’
‘Nggak ngambek kan?’, tanya Rania
‘Enggak dong, beb, simpen buat terakhir aja kalo gitu, biar kamunya makin bertenaga’, jawabku sambil sekali lagi mencium Rania dan memaksa lidahku masuk kedalam mulutnya, menjelajahi setiap relung mulutnya. Manis.
Kala aku sedang menikmati makan malam dengan Rania, tiba-tiba HP ku yang aku taruh di meja bergetar, keluar notifikasi pesan dari Kak Amel. Cepat-cepat aku buka pesannya sebelum Rania yang membukanya terlebih dahulu. Sedikit posesif memang, tapi namanya juga cinta anak remaja.
‘Ray, dah balik belum? Lapeeerr’
Pesan itu hanya aku baca tapi tidak aku balas, nanti saja pikirku.
Setelah makan malam, langsung saja aku dan Rania pulang ke rumah Rania. Sudah tidak sabar rasanya aku untuk menikmati jamuan paripurna malam ini. Rasa-rasanya Rania juga sudah terangsang, karena begitu sampai ke dalam rumahnya, dia langsung menarikku untuk langsung masuk ke kamarnya.
Sampai di kamar, aku langsung melucuti pakaian yang Rania kenakan. Baju terusan berwarna pink dengan motif bunga yang cukup ketat sehingga mengaksentuasi likuk pinggulnya. Setelah berhasil kuloloskan baju yang ia kenakan, aku lemparkan saja pakaian penghalang itu. Rania yang hanya menyisakan bra dan celana dalam krem pada tubuhnya, berbalik badan dan mengecup singkat bibirku, sembari ia berjalan mundur menuju ke kasurnya. Sebuah undangan yang tak akan aku sia-siakan. Cepat saja aku melepaskan kaos dan celana yang aku pakai. Sama-sama kami menyisakan pakaian dalam ini. Di atas kasur, bibirku tak pernah lepas dari bibirnya. Dalam satu gerakan tangan aku berhasil melepaskan pengait branya. Kuturunkan tali bra dari pundaknya, dan terpampanglah payudara yang sudah aku idam-idamkan sedari sore tadi.
Aku mainkan putingnya dengan lidahku dan sesekali kugigit puting menggemaskan itu. Gesekkan jemari ku pada vaginanya dan rangsangan pada payudaranya sudah mulai membuahkan hasil, celana dalamnya mulai lembab karena rangsanganku pada dua titik sensualnya.
‘Aaah yaank, jilatin meki aku dong, jangan pentilnya terus yang dimainin’, racau Rania ketika aku masih sibuk dengan putingnya.
Aku suka sekali kalau Rania mulai berbicara kotor ketika dia sudah mulai terangsang. Nada bicaranya yang manja selalu berhasil menaikkan gairahku.
Mendapat perintah untuk memuaskan liang kenikmatannya, langsung saja aku turun ke bagian bawah tubuhnya. Dengan satu dorongan, aku rebahkan Rania keatas kasur, aku tarik celana dalamnya, pantatnya yang indah sedikit terangkat untuk memudahkan aku meloloskan celana dalamnya.
Walau sudah berkali-kali aku tusuk vaginanya dengan penisku, vaginanya masih rapat dan tembem. Bulu-bulu kemaluannya juga sudah semakin tebal. Pertama-tama aku mulai dengan merangsang bagian paha dalamnya, aku tahu Rania suka betul ketika aku jilati paha bagian dalamnya. Jari telunjukku pun sudah masuk dalam ke dalam vaginanya.
‘Yaang, aaah pake lidaah, jangan pake jari, enakan pake lidah aaah aaah’
Menuruti kata pacar kesayanganku, aku mengarahkan lidahku untuk bermain-main di area selangkangannya.
Lidahku mulai menari-menari pada bibir vaginanya, aku masih menolak memasukkan lidahku kedalam vaginanya. Aku ingin menyiksa dia lebih lanjut.
‘Beeb, ayook dong , cepetaaan, abis ini pake kontol kamu’
‘Pake apa?’
‘Pake kontoool …aaah aaah’
Semakin aku mendengar dia berkata kotor, semakin naik nafsuku ke ubun-ubun, aku masukkan lidahku kedalam vaginanya, menari-nari didalam liang basah dan pekat itu.
Sebentar saja aku bermain menggunakan lidah, penisku sudah tegang maksimal, tapi masih terkungkung di dalam celana dalam. Berdiri dari tepi ranjang, aku lepaskan celana dalamku, aku posisikan tubuhku diatas perutnya, sehingga penisku tepat berada di depan mulutnya. Dia tahu apa yang aku inginkan dan dengan segera membuka mulutnya dan mengulum penisku dalam-dalam. Lidahnya bermain-main memainkan lubang kencingku, hampir saja kelepasan aku dibuatnya.
Rania adalah pengalaman pertamaku, dan aku adalah pengalaman pertamanya. Kami sama-sama masih perjaka dan perawan ketika pertama kali melakukan hubungan seks. Semenjak pertama kali melakukan itu, banyak cara yang sudah kami coba. Blowjob, titjob semuanya kami coba bersama-sama. Cuma ada satu yang belum pernah aku coba, … anal. Ngeri saja aku membayangkannya. Entah, mungkin suatu hari nanti aku akan coba untuk melakukan anal. Kalau banyak orang yang suka, pasti tidaklah teramat buruk bukan?
Merasa cukup, aku keluarkan penisku dari mulut Rania.
‘Dah yuk, sini penisnya Ray, masuk ke sangkar, udah malam’, ujar Rania sembari merekahkan vagina dengan jarinya. Aku bisa melihat warna dalam vaginanya yang berwarna pink. Kontras dengan warna kulit tubuhnya yang coklat.
Dengan perlahan tapi pasti, aku masukkan penisku sedikit demi sedikit. Rania tidak suka bercinta dengan kasar, dia suka diperlakukan dengan halus. Sambil aku pompa perlahan penisku kedalam vaignanya, tak lupa aku ciumi bibir indahnya, lidah kami saling bergulat dan air liru pun bertukar dalam mulut kami. Rasa air liur Rania entah kenapa rasanya selalu manis.
Bosan diatas, aku minta Rania untuk berganti posisi dengan aku. Aku berbaring di kasurnya, dan Rania berjongkok diatasku, memasukkan senti demi senti penisku ke vaginanya.
‘Aaaah beeb, beeeb, teruss teruss’, tak bisa kusangkal woman on top adalah salah satu posisi bercinta yang aku suka, dengan posisinya diatas, aku bisa melihat ekspresi wanita yang dimabuk nafsu karena penis didalam tubuhnya, dan juga payudara yang bergoyang-goyang naik turun.
Rania terus merintih keenakan, aku yang sibuk menikmati muka binalnya, tak lupa terus memainkan putingnya, sebentar-sebentar aku kulum putingnya yang kiri, lalu berganti yang kanan.
‘Cepetin .. cepetin, aku dah mau nyampe nih. Aaah aaha aaaah aaah’
Aku tau Rania baru saja mendapat orgasme pertamanya, pinggulnya bergetar hebat dan badannya melemas.
‘Sekarang gantian aku yang dapet ya, kamu dibawah aja, nungging’
Rania yang sudah lemas, langsung saja menggeletak di kasur, dan hanya dengan sedikit tenaga aku angkat pinggulnya dan memposisikan pantatnya untuk aku tusuk dari belakang.
Ketika aku sedang sibuk menggenjot tubuhnya, Rania menoleh kebelakang sambil tersenyum binal,
‘Aah ray, love you ... kontol kamu enaak banget’
Aku yang sudah mencapai tahap terakhirku juga semakin memperkencang genjotanku, suara pinggangku yang bertabrakan dengan pantat Rania, suara erangan Rania memenuhi kamar itu. Sebelum aku mencapai klimaks, aku tarik keluar penisku dari vaginanya,
‘Plop …’,
Aku tuntaskan spermaku pada punggungnya.
Setelah merasakan ada cairan kental hangat pada punggungnya, Rania langsung tersungkur jatuh di kasurnya. Berusaha mengumpulkan nafas dan energi.
Aku lihat jam di dinding, jam minnie mouse berwarna pink itu menunjukkan angka 8 lebih 30 menit. Langsung pikiranku menuju ke pesan singkat dari Kak Amel,
‘Kak Amel sudah makan atau belum ya?’
Rania masih tergeletak lemas ketika aku membersihkan tumpahan sperma di punggungnya. Mencoba-coba mencari alasan untuk bisa secepatnya pulang.
‘Beb, aku dah dicariin nenek nih, Kakak Sepupu aku dateng tadi pagi, bentar lagi aku harus pulang ya’
‘Loh,, padahal bapak sama ibu pulangnya agak maleman loh, kamu gak mau temenin aku dulu disini?
‘Iya .. dah dicariin nih, besok pagi deh aku ganti, pagi-pagi aku jemputin kita jalan lagi’
‘Oke..?’
Rania tak menjawab, tampaknya dia sudah terlalu letih setelah bercinta denganku.
‘Dah ya, aku pulang dulu, baju kamu dipakai sana, masa tidur telajang gitu’
‘Pakaiin dong, badan aku lemes banget nih’, sahut Rania dengan manja
Aku hanya bisa tersenyum saja melihat tingkah lakunya, aku carikan baju tidur dari lemari, dan aku kenakan. Rania hanya meringis ketika aku dengan sengaja menggesekkan jariku pada vaginanya ketika aku menaikkan celananya.