Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERPEN Reya

Status
Please reply by conversation.

Earmuffs

Semprot Baru
Daftar
25 Oct 2017
Post
30
Like diterima
9
Bimabet
Tanganku digenggamnya dengan erat. Si mungil kecilku. Dia terlihat begitu senang bersekolah hari ini. Aku sedikit bingung. Seingatku, tidak ada suatu hal spesial yang dinantikannya di sekolah. Tidak ada juga persiapan yang berbeda dengan hari-hari sebelumnya.

Kecuali satu: aku tidak mengantarnya. Peranku digantikan oleh istriku. Dia sendiri sudah berada di dalam mobil. Si mungil itu yang memintanya tepat ketika kami selesai sarapan bersama. Sebenarnya, aku sedikit tak terima dengan pencopotan jabatan kerjaku sebagai seorang supir. Aku ingin menjadi yang terbaik baginya. Tetapi, ketika si bos sendiri yang memintanya, aku bisa berbuat apa?

"Kamu kenapa gak mau diantar ayah, sih?" tanyaku padanya. Aku berusaha mencari tahu alasannya.

"Gak enak," dia menjawab, "jagoan mama nyetirnya."

Jawaban macam apa itu? Aku menggeleng-gelengkan kepala.

"Memangnya ke sekolah itu balapan?" tanyaku lagi. Dia tidak menjawab, hanya tersenyum malu-malu.

Dia kemudian meninggalkanku masuk ke dalam mobil dari pintu sisi kiri, tepat di samping pengemudi. Istriku kemudian membuka jendela mobil untuk bangku pengemudi. Aku mendekat ke sana.

"Nanti sore jadi nonton ke bioskop gak?" tanyanya.

"Jadi," jawabku.

"Janji, ya?"

Aku tertegun. Telingaku agak sensitif dengan kalimat itu. Seseorang yang kukenal sering mengucapkannya. Dulu.

"Kenapa, sayang?" tanya istriku, heran. Aku tersenyum lalu menggeleng.

"Enggak." Aku mengedikkan kepala. "Hati-hati di jalan, ya?"

"Iya."

Dia memberikan sebuah kecupan di pipiku. Begitu pula anakku. Sesudah itu, dia lantas memacu mesin mobil dan mobil pun segera menghilang dari pandanganku. Aku menutup pagar.

Selama berjalan kembali ke dalam rumah, kalimat yang diucapkan istriku itu terus menerus berputar di kepalaku bak kaset rusak. Suara istriku kemudian berubah menjadi suara seorang perempuan yang sudah lama tak kudengar, dan lambat laun, suara itu justru menyuruhku mendatangi gudang. Aku tidak bisa melawan. Tungkai-tungkaiku terus melangkah mengikuti apa yang diinginkannya.

Ketika suara itu hilang, aku mendapati diriku telah berada di dalam gudang. Apek dan sumpek. Sudut dinding dipenuhi dengan jaring laba-laba yang bertebaran. Ruangan ini memang sudah lama tak dibersihkan. Maklum, jarang dikunjungi.

Di sana, ada sebuah lemari kayu yang menarik minat mata. Peliturnya sudah memudar. Lemari itu kubuka. Ada beberapa barang dan baju yang tertata rapih. Kuambil salah satu baju dari sana. Baju berwarna biru dengan gambar siluet singa berwarna hitam di tengahnya. Pikiranku seketika melayang kembali menuju sepuluh tahun silam.

-----

Dahulu, kelab adalah tempat favoritku untuk datang bersambang. Di antara puluhan kelab yang ada di kota, aku menjadikan salah satu yang ada di selatan sebagai "sarangku". Saking seringnya aku datang, para pelayan di sana pun sudah hafal dengan bentuk wajahku. Beberapa dari mereka bahkan mengetahui nama lengkapku.

Dan sama seperti malam-malam yang telah terjadi sebelumnya, malam itu, aku datang ke sana untuk mengusir penat. Aku tengah bergoyang mengikuti dentum musik yang menggelegar ketika tiba-tiba kudengar sebuah seruan dari sisi kiriku.

"Lo jelek banget sih goyangnya."

Aku menoleh. Seorang perempuan.

"Kayak lo enggak," jawabku sembarang.

Musik berhenti. Dia pergi meninggalkanku. Aku yang merasa tidak terima kalau pembicaraan itu terputus begitu saja tanpa suatu konklusi yang jelas memutuskan untuk mengejarnya.

Setelah berusaha menyelinap di antara lautan manusia yang berdesakan, aku akhirnya berhasil meraih tangannya. Kami telah mencapai area bar saat itu. Suasana agak lengang.

"Sorry," katanya.

"Gak apa-apa. Boleh kenalan? Gue Yandi."

"Reya. Panggil saja Rey."

Kami berbincang. Hampir seluruh pembicaraan itu hanya singgah sejenak di telinga karena pikiranku terlalu sibuk menelusuri keindahan wajahnya; warna cokelat manis, mata berbentuk kacang almond, dan hidung mancung. Sebuah kombinasi yang tidak basi.

Aku lantas mentraktirnya minuman alkohol, dengan harapan dia mau menemaniku lebih lama. Yang terjadi adalah kami sama-sama larut dalam cairan biadab itu. Segala akal pun dibuatnya melarikan diri, berganti dengan naluri yang membuncah.

Kami akhirnya keluar dari kelab dan menyewa satu kamar di sebuah penginapan yang lokasinya berdekatan dengan kelab. Kamar itu segera dipenuhi dengan suara batingan tubuh ke dinding. Kami saling bergantian melakukannya. Kesopanan menguap begitu saja. Siapa butuh kesopanan jika nafsu sudah merajalela menguasai tubuh?

Dengan segera, segenap pakaian kami telah terlucut. Dalam benakku, dia bersinar malam itu. Dia begitu mempesona; menebar birahi, memicu hasrat.

Aku melemparnya ke atas ranjang. Dia merelakan aku menguasai tubuhnya. Kucium sekujur tubuhnya dengan segera: leher jenjangnya, putingnya yang mencuat...

Tiba-tiba, terdengar sebuah senggukan. Aku mendongak. Dia tengah menangis.

"Hei. Ada apa?" tanyaku.

Dia menggeleng. "Tidak. Lanjutkan saja."

Kesadaranku mendadak pulih. Aku pun waras kembali. Segera kuubah posisiku menjadi duduk.

"Gue gak akan melakukannya kalau lo gak mau."

"Enggak apa-apa."

Dia menarik kepalaku untuk menjangkau vaginanya. Aku mengelak.

"Rey, jangan."

Tangannya berhenti bergerak. Dia menatapku. Tatapannya tajam menghunus, seolah menandakan dirinya enggan mengalah. Tetapi, beberapa detik kemudian, pertahanannya pecah. Dia terisak.

"Gue itu perempuan yang menyedihkan," katanya terbata. "Umur hampir tiga puluh, belum kawin, kerjaannya ngewe sama orang..."

"Jalan hidup orang kan beda-beda."

"Ya tapi sampai kapan gue harus kayak gini? Gue juga ingin punya orang yang bisa gue kasihi. Orang yang gak bakal pergi pas gue lagi butuh."

Aku menatapnya. Matanya membulat tak berdaya. Mengapa harus ada bendung yang pecah dari mata semenawan itu? Aku segera mendekapnya. Dia menghabiskan sedu sedannya di bahuku.

Kami akhirnya tidak jadi bersenggama malam itu. Kami menggantinya dengan sesi curhat. Aku pun jadi tahu kalau orang tua Reya sudah bercerai sejak dia masih berumur lima tahun. Dia kemudian ikut ayahnya. Hubungannya dengan sang ayah pun kurang harmonis. Mereka jarang berbincang, apalagi setelah sang ayah menikah. Dia merasa jadi sesosok mahluk asing di rumahnya.

Sebelum berpisah di pagi hari, kami menyempatkan diri untuk saling bertukar nomor ponsel. Sejak hari itu, kami pun menjadi sering berkomunikasi. Selama itu pula, rasa sukaku tumbuh mekar terhadapnya.

Namun, aku tak pernah berani mengungkapkan perasaan itu kepadanya. Aku tak mau gegabah dalam membuat sebuah keputusan. Lagi pun, aku selalu merasa waktu tak pernah berpihak. Ketika pertama kali aku bertemu dengannya, dia baru saja putus dengan pacarnya, dan tiga hari kemudian, dia sudah punya pacar baru.

Sampai lima tahun berlalu, aku tak kunjung jua mendapat kesempatan. Antrean untuk menjadi pacarnya mengular panjang, dan aku selalu menempati urutan paling buncit. Aku ingat semua nama pacarnya: Ridho, Anto, Banu, Ikhsan...

Dan semua hubungan asmaranya selalu bermuara pada satu hasil yang sama: putus. Tisu demi tisu terbuang belaka. Tenaga demi tenaga terkuras sia-sia. Perasaan demi perasaan terpatahkan selalu.

Hingga suatu hari, setelah puluhan kata putus terlontar maupun dilontarkan, dia mengajakku untuk datang ke kamar kosnya. Kami menghabiskan waktu saling memandang wajah masing-masing di atas tempat tidur, sebelum kemudian dia memanggilku.

"Yan?"

"Iya?"

"Kalau semua rencana gue gagal dan gue sudah gak punya pilihan lain, lo mau kan jadi pacar gue?"

Tentu saja aku menjawabnya dengan nada setuju. Meski begitu, kabar itu tidak membuatku jadi lupa menjejakkan kaki di darat. Aku justru sedikit kecewa dengannya.

Sejujurnya, aku ingin hubungan asmara di antara kami terjalin saat itu juga. Memangnya, apa yang dia perlukan? Tak perlulah membeli steik jika nasi dan telur mata sapi saja sudah membuatmu bahagia.

Akan tetapi, sepertinya dia menginginkan steik. Benar-benar menginginkan steik. Aku tak bisa memaksa.

Dan tanpa ada yang menahan, sebuah rangkaian yang familiar pun kembali menghantuinya secara berulang.

Dua tahun kemudian terlewat begitu saja. Aku saat itu tengah rapat di kantor. Sebuah pesan masuk ke dalam ponselku. Dari Reya. Aku tidak membukanya sampai rapat benar-benar usai.

Ketika aku akhirnya membuka pesan itu, rasa kaget segera menyambarku. Pesan itu mengatakan kalau pesawat yang ditumpangi Rey tengah mengalami masalah teknis, dan dia tidak yakin kalau dirinya akan selamat sebab pesawat itu telah melakukan putaran 180 derajat selama berpuluh-puluh kali, dan ketinggian pesawat terus menurun drastis. Dia kemudian berkata kalau segalanya berjalan tidak baik dan memang terlihat tidak baik, dia hanya ingin memberitahuku kalau dia benar-benar mencintaiku. Dia memintaku untuk menikmati sisa hidupku sebaik-baiknya, sama seperti teman-temannya. Dia kemudian kembali berucap bahwa dia benar-benar mencintaiku dan berjanji akan menemuiku sesampainya aku di sana. Kalimat terakhirnya mengutarakan kalau dia berharap bisa menelponku lagi nanti.

Aku menangis sejadi-jadinya.

Pada hari itu, proposal kerjaku diterima. Sebuah kesuksesan besar untukku. Tetapi, itu tak seberapa. Ada berita sedih yang jauh lebih besar menyaputi kegemilanganku. Rey tak kunjung menelponku lagi. Dia meninggal bersama ratusan penumpang lain di dalam pesawat tersebut.

Aku pun mau tak mau langsung teringat akan hubunganku dengannya. Tentang perasaanku kepadanya. Tentang janjinya kepadaku. Semua tidak akan pernah bersambut. Segalanya telah berakhir. Aku lantas jadi bertanya-tanya. Siapa yang sesungguhnya bersalah dalam kasus ini? Dia? atau aku?

Setelah dipikir-pikir lama, kurasa tidak ada yang berhak menentukan jawabannya.

Termasuk diriku sendiri.

-----

Aku terlempar kembali ke masa sekarang. Hidungku mendengus. Kucium baju yang sedari tadi ada di genggaman tanganku. Baju miliknya. Baju favoritnya.

Entah khayalanku yang bermain atau apa, wangi yang menguar dari sana rupanya masih sama seperti saat terakhir kucium dahulu: wangi pemiliknya. Wangi yang khas; serupa bunga anggrek putih. Wangi yang tak pernah sedikitpun luntur dari ingatanku.

Kutaruh kembali baju itu ke tempatnya semula dan menutup pintu lemari. Seandainya dia masih ada, mungkin baju itu sudah terpacak pada tubuhnya.

Tetapi, itu hanya seandainya. Seandainya: harapan yang tak pernah terwujud. Sebuah kata penuh kesia-siaan. Itu kuyakin pasti.

Tetapi, tidak pernah ada kata sia-sia untuk hubungan kami. Aku sungguh teramat yakin dengan hal tersebut. "Seandainya" juga bukanlah sebuah kata yang cocok untuk disematkan pada alur cerita hubungan kami. Indah? Itu lebih pas.

Sesaat sebelum aku menutup pintu gudang untuk mengakhiri kunjungan, aku melihat bayangannya. Bayangan yang perlahan menjelma menjadi sosok nyata dirinya. Reya. Bibirnya menyunggingkan sebuah senyum manis. Aku balas tersenyum. Aku takkan melupakanmu.

Kututup pintu itu.
 
Crita bagus... Sayang tidak ada yg mengapresiasi... Lanjutkan Hu .....
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd