n00bietol
Semprot Baru
- Daftar
- 27 Jan 2015
- Post
- 48
- Like diterima
- 234
DISCLAIMER :
Cerita ini bukan orisinal buatan tangan ane. Seinget ane, cerita ini dibuat oleh akun bernama Itoy di detik dot com yang sub forum cerpannya sudah almarhum (B*****e). Sayangnya, tidak banyak yang berusaha menyelamatkan cerita ini dari kemusnahan. versi yang beredar di Internet sekarang adalah versi singkat (cerita ketiga) yang sayangnya kehilangan awal ceritanya. Nah untungnya, ane pernah dapat versi awal cerita ini (Cerita pertama). Sayangnya lagi, Cerita kedua hilang tak tentu rimbanya, juga cerita keempat nya juga hilang. Sebagai catatan, Itoy menulis cerita ini tidak sampai tamat, karena seharusnya setelah cerita keempat, ada cerita lain (mungkin endingnya).
Maka dengan semangat untuk melestarikan cerita-cerita seru yang berkualitas, ijinkan ane menulis ulang cerita ini, semoga sampai tamat. Jika Admin kurang berkenan dengan posting ini, mhn sarankan tempat yang benar untuk menaruh cerita ini. Enjoy!
INDEX
BAB I. pelajaran Pertama (ada di halaman ini) + lanjutannya
BAB II. Pelajaran Kedua
lanjutan bab II
lanjutan bab II
selesai bab II
BAB III. Ujian Akhir
lanjutan bab III <--- Update terbaru 21 April 2017
Pelajaran Mimin
BAB I. Pelajaran Pertama
Keputusan isteriku untuk mengangkat Mimin sebagai anak angkat karena alasan utamanya adalah menolong anak perempuan miskin itu untuk tetap bisa meneruskan sekolah ke SMP di Cianjur tempat Aku dan isteriku tinggal. Isteriku langsung "jatuh cinta" begitu melihat Mimin untuk pertama kalinya. Mimin tergolong anak pintar sedesanya di pelosok sana, sayang kalau tak melanjutkan sekolah karena orang tuanya tak sanggup lagi membiayai.
Alasan lainnya adalah kedua anak lelaki kami sudah tidak tinggal di rumah karena sekolah di Bandung sesuai permintaan mereka. Mereka berdua kost di Bandung. Juga karena isteriku ingin punya anak perempuan. Jadilah Mimin yang baru lulus SD di desanya kami angkat anak dan kami daftarkan di sebuah SMP di Cianjur.
Kebetulan orangtua kandung Mimin masih bersaudara dengan isteriku, dan mereka sudah punya enam orang anak dengan umur yang berdekatan (orang desa jarang yang berKB).
Selain pintar dan santun, anak ini juga lincah, terbuka, cepat menyesuaikan diri dan sedikit manja. Kami berdua sudah dianggapnya sebagai ayah dan ibu sendiri. Sebelum berangkat ke sekolah Mimin selalu pamitan dengan mencium tangan ibu dan bapak barunya. Terkadang isteriku memeluknya persis seorang ibu kandung yang merindukan anaknya, apalagi kalau Mimin pulang agak telat karena ikut les bahasa Inggris. Mimin juga ikut memelukku setelah mencium tanganku. Akupun tak segan menyambut pelukannya sebagai layaknya seorang ayah terhadap anak perempuannya. Kalau aku pulang kantor agak malam Mimin menghambur memelukku setelah mencium tanganku.
"Ayah kerja sampai malem sih...," katanya manja. Salah satu kesukaannya adalah, mendengarkan cerita atau dongeng pada waktu mau tidur. Isteriku tidak terlalu telaten dengan itu, sehingga selalu saja aku yang memperdengarkan cerita kepada Mimin.
Mimin mudah sekali menyesuaikan diri di dalam keluarga kami.
Isteriku terlihat senang dengan keakraban kami bertiga. Dia serasa mendapatkan anak lagi. Apalagi ini anak perempuan yang telah lama dia idamkan.
Buat Mimin sudah kami sediakan salah satu kamar anakku yang kosong di lantai atas, tapi Mimin takut tidur sendirian di kamarnya.
"Kalau diizinkan, Mimin di kamar belakang saja," katanya kepada isteriku.
"Itu kan sempit Min, entar meja belajar kamu ga muat."
Isteriku sebenarnya tak tega memberikan kamar pembantu kepada anak angkatnya.
Akhirnya terjadi kesepakatan Mimin menempati "kamar bayi" begitu kami menyebutnya, yaitu kamar di sebelah kamar utama dengan pintu penghubung, tempat anak-anak kami waktu bayi tinggal. Meskipun tak besar tapi masih lebih luas dibanding kamar pembantu. Boks bayi dikeluarkan, dipan dan meja belajar untuk Mimin dimasukkan.
Mimin manja sekali kepadaku. Aku sering diingatkan isteriku supaya tak terlalu memanjakan dia. Ga baik, A', katanya. Tapi entahlah. Setelah lama tak punya anak kecil, rasanya aku pengen memberikan dia apapun yang dia minta. Makanya Mimin justru lebih sering bercerita kepadaku, alih-alih isteriku, tentang apapun. Tak segan dia duduk lama di pangkuanku sambil bercerita tentang kejadian di sekolah, atau tentang teman-temannya.
Kedua anak lelaki kamipun tampaknya senang mendapatkan adik perempuan baru yang pintar dan lincah. Mereka sering bermain sama-sama sewaktu anakku pulang liburan. Eka dan Dwi (anak laki-lakiku kembar) memang suka sekali jalan-jalan dan sering mengajak kami dan Mimin untuk jalan keluar rumah waktu liburan. Hidup kami sekeluarga menjadi lebih menyenangkan dengan kedatangan Mimin si anak angkat. Istriku sendiri tampak lebih ceria mendapatkan seorang teman perempuan di rumah yang didominasi laki-laki. Maklum pembantu terakhir kami pulang kampung dan tak kembali lagi.
Sampai tak terasa waktu telah berjalan dua tahun....
Sore itu seperti biasa Mimin menghambur ke pelukanku ketika aku pulang kantor, seperti biasa pula aku lalu memeluknya. Tapi yang tak seperti biasa ada perasaan aneh menjalari tubuhku sewaktu memeluk Mimin. Kurasakan dua gumpalan di dada Mimin ketika aku dengan erat memeluknya. Ah, anak ini sudah bertumbuh, tentu saja karena sudah kelas III SMP. Cepat-cepat kusingkirkan pikiran aneh yang tadi sempat berkelebat. Dia segera naik ke pangkuanku, seperti biasa.
Tapi perasaan tadi datang lagi ketika aku memperhatikan terus wajah Mimin yang asyik bercerita di pangkuanku. Anak ini telah tumbuh menjadi gadis cantik! Selama ini Aku sama sekali tak pernah memperhatikan wajahnya. Baru kali inilah. Sehingga sewaktu Mimin pamitan sebelum turun dari pangkuanku, kucium pipinya kuat-kuat. Ini ciuman dengan rasa yang berbeda dibanding biasanya. Ciuman dengan penuh nafsu.
Tapi aku jadi terbebani rasa bersalah telah melakukan ciuman yang "berbeda" barusan. Kenapa Aku sebagai seorang ayah, walaupun ayah angkat, telah mencium anaknya dengan penuh nafsu. Untung tadi Mimin tak menampakkan perubahan apa-apa, masih seperti biasa. Ini mungkin karena sudah beberapa hari ini Aku tak melakukan hubungan seks karena isteriku sedang "dapet". Maklumlah, nafsu seks telah bertumpuk tanpa penyaluran (Aku adalah seoarng suami yang setia). Begitulah caraku "membela diri" atas kesalahanku yang barusan Aku buat.
Sejak peristiwa itu kini Aku jadi lebih sering memperhatikan anak angkatku ini. Dan jadi semakin sering pula Aku mengusir perasaan aneh itu. Untunglah perasaan aneh itu hilang ketika isteriku sudah "selesai" dan Aku menumpahkan seluruh nafsuku ke tubuh isteriku tadi malam. Suatu hubungan seks yang memuaskan dan indah....
Sialnya (atau untungnya ?) perasaan itu datang lagi ketika isteriku mens berikutnya. Aku jadi makin sering memandangi anak angkatku. Melihat Mimin berganti pakaian adalah hal biasa tak menimbulkan perasaan apapun pada diriku, tapi sejak beristiwa "tekanan dua gumpalan dada Mimin" itu Aku melihatnya membuka baju dengan perasaan yang "lain".
Tentu saja Mimin masih seperti biasa acuh berganti baju walaupun Aku sedang di kamarnya (ingat, kamar kami terhubung dengan sebuah pintu saja). Hanya Aku saja yang menanggapinya dengan perasaan berbeda. Buah dadanya mulai bertumbuh. Bulat kecil dengan puting mungil coklat muda. Alangkah indahnya. Ini menjadi "hiburan tersendiri" bagiku. Oohhhh ......
***
Belum juga Aku meletakkan tas kerja sepulang kantor pada suatu sore, Mimin menyongsongku dengan pelukan erat.
"Ayah lama banget sih pulangnya, Mimin udah nunggu-nunggu dari tadi," katanya di pelukanku.
Gumpalan itu makin besar, atau ini hanya perasaanku saja?
"Kan ada Ibu," kataku.
"Ibu juga belum pulang".
Oh iya, Aku baru ingat, isteriku tadi pagi pamitan mau mengunjungi kakaknya.
Tiba-tiba Mimin menangis.
"Kenapa Min?"
Dia tak menjawab, masih menangis. Aku mengelus rambutnya.
"Udahlah... cerita ke ayah ada apa tadi."
Aku menenangkannya dengan menciumi pipinya. Karena pergerakan wajahnya ciumanku mendarat agak ke bawah, menyentuh sedikit bibirnya. Alih-alih Aku bukannya "mengkoreksi" kesalahan ini, malah menggeser mulutku lebih ke tengah dan mendarat di bibirnya yang mungil. Kucium bibirnya dengan penuh nafsu. Mimin cepat-cepat melepaskan bibirnya, bola mata indahnya menatapku dengan aneh, tapi hanya sebentar, kemudian kembali memelukku.
Rupanya hanya soal perlakuan tak adil dari gurunya yang menyebabkan dia menangis. Ulangan Matematikanya dapat nilai 60 karena kesalahan penilaian gurunya. Dia sudah protes tapi tak diterima. Kirain masalah apa...
"Udahlah... 60 kan bukan nilai jelek" kataku menghibur.
Yang jadi pikiranku bukan soal nilai 60, tapi soal ciuman dibibir tadi. Tapi rupanya Mimin tak berubah oleh karena kenakalanku tadi. Dia tetap lincah, ceria dan manja. Pada pelukan di hari-hari berikutnya, dengan sikap bercanda Aku mengulangi kecupan tapi cuma sekejap-sekejap. Tentu saja kalau di depan isteriku Aku hanya mencium pipinya saja. Bahkan Mimin meniruku, dengan bercanda dia sekejap mendaratkan bibirnya ke bibirku...
Suatu malam saat Aku membantu Mimin mengerjakan PR Matematika di kamarnya.
.
"Yah, Mimin cakep ga sih".
Terus terang Aku kaget, dan lalu menduga-duga ada apa nih.
"Kamu cantik dong, kan anak Ayah. "
"Yang bener Yah..."
"Bener. Mata kamu bulat indah, hidungmu mancung..."
kataku sambil jari-jariku menelusuri hidungnya.
Dia diam menunggu kata-kataku berikutnya.
"Pipi kamu halus...," kubelai pipinya. Mimin masih diam menunggu.
"Bibir kamu tipis sensual," Jari-jariku ke bibirnya.
"Sensual apaan Yah?"
Duh, salah ngomong.
"Yaa.... gimana ya, menarik gitu. Tapi ngomong-ngomong ada apa sih kamu nanya?"
Setelah lama berdiam, dia mulai cerita. Ada cowo sekelasnya yang menarik perhatian dia, tapi kayanya cowo itu acuh saja. Mimin menganggap ini suatu penolakan, karena dia menganggap dirinya tidak menarik.
Biasa, masalah remaja. Aku udah mikir yang bukan2, seperti karena ciumanku ke bibirnya membuat dia "goyah". Untunglah dia masih menganggapku ayahnya.
"Mimin seksi ga Yah?" Kembali Aku dibuat kaget.
"Mimin tau kata itu darimana?"
Kami bukan keluarga yang konservatif, tapi agak kaget juga Mimin mengetahui kata itu. Memang selama ini Aku dan isteriku tertutup masalah seks, jadi tak pernah memberitahu Mimin masalah yang satu itu.
"Dari teman lah, anak-anak laki-laki di sekolah suka pada cerita artis-artis gitu siapa, Mimin denger."
"Artinya apa coba?"
"yah gitulah, badannya bagus, kulitnya mulus, dadanya gede, bokongnya mantab."
"Uhmm, kalo gitu Mimin seksi kok, kulitmu putih dan mulus,"
Aku hendak meneruskan kata-kata yang berisi ceramah tentang inner beauty dan semacamnya ketika ...
"Tapi dada Mimin kecil...."
Otomatis Aku memandang dadanya.
"Ah, Mimin kan masih 15 tahun. Masih bisa berkembang," kataku.
"Tapi temen Mimin kok udah pada ya gede Yah, malah ada yang 34C ukuran BHnya."
"Emang punya Mimin ukuran berapa?"
"32A."
"Boleh ayah lihat?" kataku meluncur begitu saja.
Pembicaraan tentang ukuran dada membuat darahku menghangat. Dan tanpa ada prasangka apapun Mimin dengan tenang membuka bajunya. Memang sudah biasa dia berganti baju di depan ayah dan ibu angkatnya.
Tampaklah bra warna krem yang mencangkup buah kembar yang amat putih dan mulus. Cup bra itu tampak dengan ketat menyangga sepasang dada Mimin. Kelihatan sesak. Mimin tak tahu dadaku jadi berdesir. Nafasku rada sesak, dan penisku mulai menggeliat.
"Kaya'nya emang sesek deh, kamu udah pernah nyoba pakai ukuran B?"
"Belum Yah."
"Coba deh, kayanya bra kamu udah kekecilan."
"Masa sih Yah ..." terpancar rasa senang dari mata Mimin. Tak disangka gadis kecil ini menggerakkan kedua tangannya menggapai punggung dan melepaskan kaitan bra-nya. Ooh.... ampun...
Bra itu terlepas dari tempatnya. Buah dada mungil dan cukup membulat, putih, mulus banget kini terpampang di depanku. Puting kecil itu nyaris berwarna pink dengan areola yang kecil pula. Aku gelisah. Dengan wajah inocent dia membusungkan dadanya di depanku. Sikap yang wajar kepada ayahnya, tapi membuatku jadi "tak wajar"...
"Lihat nih.... bekas bra, menandakan terlalu kecil cup-nya," kataku sambil jari telunjukku menelusuri "garis" yang tercetak di dadanya karena bra yang sempit.
Ohoo.... kulit dadanya begitu haluuuuss...
"Nanti minta beliin yang 32B pasti pas deh". Lho... suaraku kok jadi serak.
"tapi ... puting Mimin kecil banget..."
Lingkaran coklat muda itu memang kecil, dan nyaris tak ada tonjolan di tengahnya. Masih wajar, puting seorang remaja yang baru tumbuh.
Jari-jari Mimin lalu merabai puting dadanya sendiri. Ooh...Mimin... kamu ga tahu kalo kelakuanmu ini menambah aliran darah deras ke arah penis ayah angkatmu. Aku terangsang hebat.
"Iya sekarang kecil, tapi nanti kan tumbuh," kataku tak ketinggalan ikut merabai puting indahnya, dengan dua jari tentu saja. Aku makin tak karuan.
"Geli Yah...," katanya sambil menyingkirkan tanganku.
Padahal Aku baru saja berniat meremas buah dadanya.
"Punya Lina pentilnya gede lho Yah...," katanya. Mimin mengambil bra-nya hendak memakaikannya.
"Heh, kamu kok tahu?"
"Suka liat kalo abis ganti baju olahraga. Suka ngecap di BHnya juga."
"Orang kan beda-beda Min, selera orang juga beda-beda. Sebagai laki-laki Ayah sih lebih suka yang begini."
Dia terdiam. Bra urung dipakai, memberi mataku kesempatan untuk menikmatinya.
"Tapi punya ibu kan gede Yah..."
"Ah engga, 34B kayanya," kataku.
"Maksud Mimin pentilnya."
"Ibu kan udah pernah menyusui"
"Nanti punya Mimin bisa gede juga, Yah?"
"Mungkin. Pentil kan ga mesti gede juga nantinya."
"Satu lagi yah...."
"Apa Min?"
"Ehmm.... malu ah ngomongnya."
"Ya udah ga usah diomongin." Aku benar-benar penasaran.
"Mmm.... kok punya Mimin belum numbuh bulu," katanya sambil melirik ke selangkangannya.
Khas remaja, yang selalu ingin tahu tentang tubuhnya sendiri yang mulai berubah karena puber.
"Vagina? Itu normal, kamu kan masih 15 tahun."
"Tapi Yah, punya Meli udah lebat loh, padahal dia juga baru 15."
"Kok kamu tahu?"
"Ih Ayah tanyanya gitu mulu. Tadi kan Mimin udah ngomong..."
"Setiap orang kan beda-beda waktu tumbuhnya. Ada yang cepat ada yang lambat. Pasti ada temen kamu yang belum numbuh juga. Namanya pubertas."
"Iya sih.... tapi punya Mimin kok yang paling polos," katanya lagi.
"Coba Ayah lihat," kataku sekonyong-konyong, refleks. Bukan otakku yang berbicara.
"Ih... Ayah nih....malu dong."
"Ayah cuman becanda, hehehe,"
Aku segera mengkoreksi. Takut Mimin ngomong ke isteriku. kan berabe.
Lalu Aku kasih semacam "wejangan" bahwa tubuhnya jangan pernah dilihat atau diraba orang lain, selain ayah dan ibu.
"Engga dong Yah, kalau itu sih Mimin udah tahu," katanya.
"Iya, tapi Mimin tadi bilang suka liat punya teman di sekolah. Mereka juga liat punya Mimin kan?"
Dia tersenyum malu.
Tiba-tiba saja Mimin memelorotkan roknya.
Dentuman jantung terasa kencang sekali di kepalaku.
Kemudian celana dalamnya juga.
Aduuuhhh, aku ga bisa cerita deh, betapa indahnya kelamin remaja putri yang sedang tumbuh. Kulihat dari atas memang polos. Tapi .... enggalah, ada sedikit banget bulu-bulu amat halus menghiasi vagina Mimin yang terlihat segaris itu. Sayang Aku tak bisa melihat detil belahannya, walaupun sebetulnya ingin.
"Tuh udah mulai numbuh...."
Mimin membungkuk, memperhatikan dengan teliti. Ingin sekali Aku merabainya, tapi untung Aku masih bisa menahan diri.
"Iya ya.... ada dikit, " katanya, lalu menutupkan kembali cdnya dan membetulkan roknya.
"Kalo punya Ibu lebat ga ya Yah...,"
"Iya dong.... semakin berumur kita ya semakin lebat."
"Masa sih Yah?"
"Laki-laki perempuan sama saja. Punya ayah juga lebat."
Mimin senyum. Eh diam-diam anak ini senyumnya manis...
"Mimin boleh ...."
"Boleh apa Min?"
"Anu, .... boleh lihat bulu Ayah?"
Sungguh mati, Aku kaget dibuatnya. Justru Aku yang ragu-ragu jadinya, bukan apa-apa. Punyaku masih super tegang!
"Ga usahlah ..., cukup kamu tahu saja," kataku.
"Ayo dong Yah ..."
Bukannya aku malu memperlihatkan penisku yang lagi tegang, cuman aku tak mau Mimin tahu bahwa aku terangsang gara-gara memandangi tubuh anak angkatnya.
"Mimin ga boleh lihat ya Yah?"
"Bukan ga boleh, cuman... (aku berbisik) kalo ibu tahu kan ga baik."
"Iya juga..." katanya mengangguk-angguk.
Dia lalu kembali ke buku PRnya. Aku membantunya mengerjakan beberapa soal terakhir. Dia (dan aku) tampak sudah kesulitan berkonsentrasi.
"Entar yah...Mimin mo ambil minum."
Dia keluar kamar. Beberapa menit kemudian dia masuk lagi membawa minuman.
"Yah.... Ibu masih sibuk di dapur, lihat sekarang dong, bentar aja," katanya berbisik.
Karena ikut mikir soal matematika tadi, penisku sudah susut normal kembali. Tanpa bicara lagi Aku segera bangkit, membuka rits celana dan menurunkan cdku sampai bagian atas kelaminku terbuka di hadapannya. Tentu tidak semua aku tunjukkan.
Ekspresi Mimin tak dapat aku tebak. Entah dia heran, kagum, atau malah jijik....
"Lebat banget ya yah. Bulunya panjang-panjang." Aku mengangguk saja.
"Kalo itunya yah?"
"Itunya apa?"
".... Burung?"
Aku menimbang-nimbang apakah perlu aku menunjukkan penisku. Ternyata setan menang. Kuturunkan CDku sampai paha.
"Besar ya Yah ....," Ukuranku termasuk rata-rata saja dan dalam kondisi "tidur". Mungkin dia membandingkan dengan penis anak-anak atau lelaki sebayanya. Jelas saja dia bilang besar. Rupanya dia lebih tertarik melihat batang dibanding bulu-bulunya...
Tangannya bergerak hendak memegang penisku. Aku menahan tangannya.
"Udah ya, cukup," kataku sambil menyudahi eksibisionisme ini.
***
Cerita ini bukan orisinal buatan tangan ane. Seinget ane, cerita ini dibuat oleh akun bernama Itoy di detik dot com yang sub forum cerpannya sudah almarhum (B*****e). Sayangnya, tidak banyak yang berusaha menyelamatkan cerita ini dari kemusnahan. versi yang beredar di Internet sekarang adalah versi singkat (cerita ketiga) yang sayangnya kehilangan awal ceritanya. Nah untungnya, ane pernah dapat versi awal cerita ini (Cerita pertama). Sayangnya lagi, Cerita kedua hilang tak tentu rimbanya, juga cerita keempat nya juga hilang. Sebagai catatan, Itoy menulis cerita ini tidak sampai tamat, karena seharusnya setelah cerita keempat, ada cerita lain (mungkin endingnya).
Maka dengan semangat untuk melestarikan cerita-cerita seru yang berkualitas, ijinkan ane menulis ulang cerita ini, semoga sampai tamat. Jika Admin kurang berkenan dengan posting ini, mhn sarankan tempat yang benar untuk menaruh cerita ini. Enjoy!
INDEX
BAB I. pelajaran Pertama (ada di halaman ini) + lanjutannya
BAB II. Pelajaran Kedua
lanjutan bab II
lanjutan bab II
selesai bab II
BAB III. Ujian Akhir
lanjutan bab III <--- Update terbaru 21 April 2017
Pelajaran Mimin
BAB I. Pelajaran Pertama
Keputusan isteriku untuk mengangkat Mimin sebagai anak angkat karena alasan utamanya adalah menolong anak perempuan miskin itu untuk tetap bisa meneruskan sekolah ke SMP di Cianjur tempat Aku dan isteriku tinggal. Isteriku langsung "jatuh cinta" begitu melihat Mimin untuk pertama kalinya. Mimin tergolong anak pintar sedesanya di pelosok sana, sayang kalau tak melanjutkan sekolah karena orang tuanya tak sanggup lagi membiayai.
Alasan lainnya adalah kedua anak lelaki kami sudah tidak tinggal di rumah karena sekolah di Bandung sesuai permintaan mereka. Mereka berdua kost di Bandung. Juga karena isteriku ingin punya anak perempuan. Jadilah Mimin yang baru lulus SD di desanya kami angkat anak dan kami daftarkan di sebuah SMP di Cianjur.
Kebetulan orangtua kandung Mimin masih bersaudara dengan isteriku, dan mereka sudah punya enam orang anak dengan umur yang berdekatan (orang desa jarang yang berKB).
Selain pintar dan santun, anak ini juga lincah, terbuka, cepat menyesuaikan diri dan sedikit manja. Kami berdua sudah dianggapnya sebagai ayah dan ibu sendiri. Sebelum berangkat ke sekolah Mimin selalu pamitan dengan mencium tangan ibu dan bapak barunya. Terkadang isteriku memeluknya persis seorang ibu kandung yang merindukan anaknya, apalagi kalau Mimin pulang agak telat karena ikut les bahasa Inggris. Mimin juga ikut memelukku setelah mencium tanganku. Akupun tak segan menyambut pelukannya sebagai layaknya seorang ayah terhadap anak perempuannya. Kalau aku pulang kantor agak malam Mimin menghambur memelukku setelah mencium tanganku.
"Ayah kerja sampai malem sih...," katanya manja. Salah satu kesukaannya adalah, mendengarkan cerita atau dongeng pada waktu mau tidur. Isteriku tidak terlalu telaten dengan itu, sehingga selalu saja aku yang memperdengarkan cerita kepada Mimin.
Mimin mudah sekali menyesuaikan diri di dalam keluarga kami.
Isteriku terlihat senang dengan keakraban kami bertiga. Dia serasa mendapatkan anak lagi. Apalagi ini anak perempuan yang telah lama dia idamkan.
Buat Mimin sudah kami sediakan salah satu kamar anakku yang kosong di lantai atas, tapi Mimin takut tidur sendirian di kamarnya.
"Kalau diizinkan, Mimin di kamar belakang saja," katanya kepada isteriku.
"Itu kan sempit Min, entar meja belajar kamu ga muat."
Isteriku sebenarnya tak tega memberikan kamar pembantu kepada anak angkatnya.
Akhirnya terjadi kesepakatan Mimin menempati "kamar bayi" begitu kami menyebutnya, yaitu kamar di sebelah kamar utama dengan pintu penghubung, tempat anak-anak kami waktu bayi tinggal. Meskipun tak besar tapi masih lebih luas dibanding kamar pembantu. Boks bayi dikeluarkan, dipan dan meja belajar untuk Mimin dimasukkan.
Mimin manja sekali kepadaku. Aku sering diingatkan isteriku supaya tak terlalu memanjakan dia. Ga baik, A', katanya. Tapi entahlah. Setelah lama tak punya anak kecil, rasanya aku pengen memberikan dia apapun yang dia minta. Makanya Mimin justru lebih sering bercerita kepadaku, alih-alih isteriku, tentang apapun. Tak segan dia duduk lama di pangkuanku sambil bercerita tentang kejadian di sekolah, atau tentang teman-temannya.
Kedua anak lelaki kamipun tampaknya senang mendapatkan adik perempuan baru yang pintar dan lincah. Mereka sering bermain sama-sama sewaktu anakku pulang liburan. Eka dan Dwi (anak laki-lakiku kembar) memang suka sekali jalan-jalan dan sering mengajak kami dan Mimin untuk jalan keluar rumah waktu liburan. Hidup kami sekeluarga menjadi lebih menyenangkan dengan kedatangan Mimin si anak angkat. Istriku sendiri tampak lebih ceria mendapatkan seorang teman perempuan di rumah yang didominasi laki-laki. Maklum pembantu terakhir kami pulang kampung dan tak kembali lagi.
Sampai tak terasa waktu telah berjalan dua tahun....
Sore itu seperti biasa Mimin menghambur ke pelukanku ketika aku pulang kantor, seperti biasa pula aku lalu memeluknya. Tapi yang tak seperti biasa ada perasaan aneh menjalari tubuhku sewaktu memeluk Mimin. Kurasakan dua gumpalan di dada Mimin ketika aku dengan erat memeluknya. Ah, anak ini sudah bertumbuh, tentu saja karena sudah kelas III SMP. Cepat-cepat kusingkirkan pikiran aneh yang tadi sempat berkelebat. Dia segera naik ke pangkuanku, seperti biasa.
Tapi perasaan tadi datang lagi ketika aku memperhatikan terus wajah Mimin yang asyik bercerita di pangkuanku. Anak ini telah tumbuh menjadi gadis cantik! Selama ini Aku sama sekali tak pernah memperhatikan wajahnya. Baru kali inilah. Sehingga sewaktu Mimin pamitan sebelum turun dari pangkuanku, kucium pipinya kuat-kuat. Ini ciuman dengan rasa yang berbeda dibanding biasanya. Ciuman dengan penuh nafsu.
Tapi aku jadi terbebani rasa bersalah telah melakukan ciuman yang "berbeda" barusan. Kenapa Aku sebagai seorang ayah, walaupun ayah angkat, telah mencium anaknya dengan penuh nafsu. Untung tadi Mimin tak menampakkan perubahan apa-apa, masih seperti biasa. Ini mungkin karena sudah beberapa hari ini Aku tak melakukan hubungan seks karena isteriku sedang "dapet". Maklumlah, nafsu seks telah bertumpuk tanpa penyaluran (Aku adalah seoarng suami yang setia). Begitulah caraku "membela diri" atas kesalahanku yang barusan Aku buat.
Sejak peristiwa itu kini Aku jadi lebih sering memperhatikan anak angkatku ini. Dan jadi semakin sering pula Aku mengusir perasaan aneh itu. Untunglah perasaan aneh itu hilang ketika isteriku sudah "selesai" dan Aku menumpahkan seluruh nafsuku ke tubuh isteriku tadi malam. Suatu hubungan seks yang memuaskan dan indah....
Sialnya (atau untungnya ?) perasaan itu datang lagi ketika isteriku mens berikutnya. Aku jadi makin sering memandangi anak angkatku. Melihat Mimin berganti pakaian adalah hal biasa tak menimbulkan perasaan apapun pada diriku, tapi sejak beristiwa "tekanan dua gumpalan dada Mimin" itu Aku melihatnya membuka baju dengan perasaan yang "lain".
Tentu saja Mimin masih seperti biasa acuh berganti baju walaupun Aku sedang di kamarnya (ingat, kamar kami terhubung dengan sebuah pintu saja). Hanya Aku saja yang menanggapinya dengan perasaan berbeda. Buah dadanya mulai bertumbuh. Bulat kecil dengan puting mungil coklat muda. Alangkah indahnya. Ini menjadi "hiburan tersendiri" bagiku. Oohhhh ......
***
Belum juga Aku meletakkan tas kerja sepulang kantor pada suatu sore, Mimin menyongsongku dengan pelukan erat.
"Ayah lama banget sih pulangnya, Mimin udah nunggu-nunggu dari tadi," katanya di pelukanku.
Gumpalan itu makin besar, atau ini hanya perasaanku saja?
"Kan ada Ibu," kataku.
"Ibu juga belum pulang".
Oh iya, Aku baru ingat, isteriku tadi pagi pamitan mau mengunjungi kakaknya.
Tiba-tiba Mimin menangis.
"Kenapa Min?"
Dia tak menjawab, masih menangis. Aku mengelus rambutnya.
"Udahlah... cerita ke ayah ada apa tadi."
Aku menenangkannya dengan menciumi pipinya. Karena pergerakan wajahnya ciumanku mendarat agak ke bawah, menyentuh sedikit bibirnya. Alih-alih Aku bukannya "mengkoreksi" kesalahan ini, malah menggeser mulutku lebih ke tengah dan mendarat di bibirnya yang mungil. Kucium bibirnya dengan penuh nafsu. Mimin cepat-cepat melepaskan bibirnya, bola mata indahnya menatapku dengan aneh, tapi hanya sebentar, kemudian kembali memelukku.
Rupanya hanya soal perlakuan tak adil dari gurunya yang menyebabkan dia menangis. Ulangan Matematikanya dapat nilai 60 karena kesalahan penilaian gurunya. Dia sudah protes tapi tak diterima. Kirain masalah apa...
"Udahlah... 60 kan bukan nilai jelek" kataku menghibur.
Yang jadi pikiranku bukan soal nilai 60, tapi soal ciuman dibibir tadi. Tapi rupanya Mimin tak berubah oleh karena kenakalanku tadi. Dia tetap lincah, ceria dan manja. Pada pelukan di hari-hari berikutnya, dengan sikap bercanda Aku mengulangi kecupan tapi cuma sekejap-sekejap. Tentu saja kalau di depan isteriku Aku hanya mencium pipinya saja. Bahkan Mimin meniruku, dengan bercanda dia sekejap mendaratkan bibirnya ke bibirku...
Suatu malam saat Aku membantu Mimin mengerjakan PR Matematika di kamarnya.
.
"Yah, Mimin cakep ga sih".
Terus terang Aku kaget, dan lalu menduga-duga ada apa nih.
"Kamu cantik dong, kan anak Ayah. "
"Yang bener Yah..."
"Bener. Mata kamu bulat indah, hidungmu mancung..."
kataku sambil jari-jariku menelusuri hidungnya.
Dia diam menunggu kata-kataku berikutnya.
"Pipi kamu halus...," kubelai pipinya. Mimin masih diam menunggu.
"Bibir kamu tipis sensual," Jari-jariku ke bibirnya.
"Sensual apaan Yah?"
Duh, salah ngomong.
"Yaa.... gimana ya, menarik gitu. Tapi ngomong-ngomong ada apa sih kamu nanya?"
Setelah lama berdiam, dia mulai cerita. Ada cowo sekelasnya yang menarik perhatian dia, tapi kayanya cowo itu acuh saja. Mimin menganggap ini suatu penolakan, karena dia menganggap dirinya tidak menarik.
Biasa, masalah remaja. Aku udah mikir yang bukan2, seperti karena ciumanku ke bibirnya membuat dia "goyah". Untunglah dia masih menganggapku ayahnya.
"Mimin seksi ga Yah?" Kembali Aku dibuat kaget.
"Mimin tau kata itu darimana?"
Kami bukan keluarga yang konservatif, tapi agak kaget juga Mimin mengetahui kata itu. Memang selama ini Aku dan isteriku tertutup masalah seks, jadi tak pernah memberitahu Mimin masalah yang satu itu.
"Dari teman lah, anak-anak laki-laki di sekolah suka pada cerita artis-artis gitu siapa, Mimin denger."
"Artinya apa coba?"
"yah gitulah, badannya bagus, kulitnya mulus, dadanya gede, bokongnya mantab."
"Uhmm, kalo gitu Mimin seksi kok, kulitmu putih dan mulus,"
Aku hendak meneruskan kata-kata yang berisi ceramah tentang inner beauty dan semacamnya ketika ...
"Tapi dada Mimin kecil...."
Otomatis Aku memandang dadanya.
"Ah, Mimin kan masih 15 tahun. Masih bisa berkembang," kataku.
"Tapi temen Mimin kok udah pada ya gede Yah, malah ada yang 34C ukuran BHnya."
"Emang punya Mimin ukuran berapa?"
"32A."
"Boleh ayah lihat?" kataku meluncur begitu saja.
Pembicaraan tentang ukuran dada membuat darahku menghangat. Dan tanpa ada prasangka apapun Mimin dengan tenang membuka bajunya. Memang sudah biasa dia berganti baju di depan ayah dan ibu angkatnya.
Tampaklah bra warna krem yang mencangkup buah kembar yang amat putih dan mulus. Cup bra itu tampak dengan ketat menyangga sepasang dada Mimin. Kelihatan sesak. Mimin tak tahu dadaku jadi berdesir. Nafasku rada sesak, dan penisku mulai menggeliat.
"Kaya'nya emang sesek deh, kamu udah pernah nyoba pakai ukuran B?"
"Belum Yah."
"Coba deh, kayanya bra kamu udah kekecilan."
"Masa sih Yah ..." terpancar rasa senang dari mata Mimin. Tak disangka gadis kecil ini menggerakkan kedua tangannya menggapai punggung dan melepaskan kaitan bra-nya. Ooh.... ampun...
Bra itu terlepas dari tempatnya. Buah dada mungil dan cukup membulat, putih, mulus banget kini terpampang di depanku. Puting kecil itu nyaris berwarna pink dengan areola yang kecil pula. Aku gelisah. Dengan wajah inocent dia membusungkan dadanya di depanku. Sikap yang wajar kepada ayahnya, tapi membuatku jadi "tak wajar"...
"Lihat nih.... bekas bra, menandakan terlalu kecil cup-nya," kataku sambil jari telunjukku menelusuri "garis" yang tercetak di dadanya karena bra yang sempit.
Ohoo.... kulit dadanya begitu haluuuuss...
"Nanti minta beliin yang 32B pasti pas deh". Lho... suaraku kok jadi serak.
"tapi ... puting Mimin kecil banget..."
Lingkaran coklat muda itu memang kecil, dan nyaris tak ada tonjolan di tengahnya. Masih wajar, puting seorang remaja yang baru tumbuh.
Jari-jari Mimin lalu merabai puting dadanya sendiri. Ooh...Mimin... kamu ga tahu kalo kelakuanmu ini menambah aliran darah deras ke arah penis ayah angkatmu. Aku terangsang hebat.
"Iya sekarang kecil, tapi nanti kan tumbuh," kataku tak ketinggalan ikut merabai puting indahnya, dengan dua jari tentu saja. Aku makin tak karuan.
"Geli Yah...," katanya sambil menyingkirkan tanganku.
Padahal Aku baru saja berniat meremas buah dadanya.
"Punya Lina pentilnya gede lho Yah...," katanya. Mimin mengambil bra-nya hendak memakaikannya.
"Heh, kamu kok tahu?"
"Suka liat kalo abis ganti baju olahraga. Suka ngecap di BHnya juga."
"Orang kan beda-beda Min, selera orang juga beda-beda. Sebagai laki-laki Ayah sih lebih suka yang begini."
Dia terdiam. Bra urung dipakai, memberi mataku kesempatan untuk menikmatinya.
"Tapi punya ibu kan gede Yah..."
"Ah engga, 34B kayanya," kataku.
"Maksud Mimin pentilnya."
"Ibu kan udah pernah menyusui"
"Nanti punya Mimin bisa gede juga, Yah?"
"Mungkin. Pentil kan ga mesti gede juga nantinya."
"Satu lagi yah...."
"Apa Min?"
"Ehmm.... malu ah ngomongnya."
"Ya udah ga usah diomongin." Aku benar-benar penasaran.
"Mmm.... kok punya Mimin belum numbuh bulu," katanya sambil melirik ke selangkangannya.
Khas remaja, yang selalu ingin tahu tentang tubuhnya sendiri yang mulai berubah karena puber.
"Vagina? Itu normal, kamu kan masih 15 tahun."
"Tapi Yah, punya Meli udah lebat loh, padahal dia juga baru 15."
"Kok kamu tahu?"
"Ih Ayah tanyanya gitu mulu. Tadi kan Mimin udah ngomong..."
"Setiap orang kan beda-beda waktu tumbuhnya. Ada yang cepat ada yang lambat. Pasti ada temen kamu yang belum numbuh juga. Namanya pubertas."
"Iya sih.... tapi punya Mimin kok yang paling polos," katanya lagi.
"Coba Ayah lihat," kataku sekonyong-konyong, refleks. Bukan otakku yang berbicara.
"Ih... Ayah nih....malu dong."
"Ayah cuman becanda, hehehe,"
Aku segera mengkoreksi. Takut Mimin ngomong ke isteriku. kan berabe.
Lalu Aku kasih semacam "wejangan" bahwa tubuhnya jangan pernah dilihat atau diraba orang lain, selain ayah dan ibu.
"Engga dong Yah, kalau itu sih Mimin udah tahu," katanya.
"Iya, tapi Mimin tadi bilang suka liat punya teman di sekolah. Mereka juga liat punya Mimin kan?"
Dia tersenyum malu.
Tiba-tiba saja Mimin memelorotkan roknya.
Dentuman jantung terasa kencang sekali di kepalaku.
Kemudian celana dalamnya juga.
Aduuuhhh, aku ga bisa cerita deh, betapa indahnya kelamin remaja putri yang sedang tumbuh. Kulihat dari atas memang polos. Tapi .... enggalah, ada sedikit banget bulu-bulu amat halus menghiasi vagina Mimin yang terlihat segaris itu. Sayang Aku tak bisa melihat detil belahannya, walaupun sebetulnya ingin.
"Tuh udah mulai numbuh...."
Mimin membungkuk, memperhatikan dengan teliti. Ingin sekali Aku merabainya, tapi untung Aku masih bisa menahan diri.
"Iya ya.... ada dikit, " katanya, lalu menutupkan kembali cdnya dan membetulkan roknya.
"Kalo punya Ibu lebat ga ya Yah...,"
"Iya dong.... semakin berumur kita ya semakin lebat."
"Masa sih Yah?"
"Laki-laki perempuan sama saja. Punya ayah juga lebat."
Mimin senyum. Eh diam-diam anak ini senyumnya manis...
"Mimin boleh ...."
"Boleh apa Min?"
"Anu, .... boleh lihat bulu Ayah?"
Sungguh mati, Aku kaget dibuatnya. Justru Aku yang ragu-ragu jadinya, bukan apa-apa. Punyaku masih super tegang!
"Ga usahlah ..., cukup kamu tahu saja," kataku.
"Ayo dong Yah ..."
Bukannya aku malu memperlihatkan penisku yang lagi tegang, cuman aku tak mau Mimin tahu bahwa aku terangsang gara-gara memandangi tubuh anak angkatnya.
"Mimin ga boleh lihat ya Yah?"
"Bukan ga boleh, cuman... (aku berbisik) kalo ibu tahu kan ga baik."
"Iya juga..." katanya mengangguk-angguk.
Dia lalu kembali ke buku PRnya. Aku membantunya mengerjakan beberapa soal terakhir. Dia (dan aku) tampak sudah kesulitan berkonsentrasi.
"Entar yah...Mimin mo ambil minum."
Dia keluar kamar. Beberapa menit kemudian dia masuk lagi membawa minuman.
"Yah.... Ibu masih sibuk di dapur, lihat sekarang dong, bentar aja," katanya berbisik.
Karena ikut mikir soal matematika tadi, penisku sudah susut normal kembali. Tanpa bicara lagi Aku segera bangkit, membuka rits celana dan menurunkan cdku sampai bagian atas kelaminku terbuka di hadapannya. Tentu tidak semua aku tunjukkan.
Ekspresi Mimin tak dapat aku tebak. Entah dia heran, kagum, atau malah jijik....
"Lebat banget ya yah. Bulunya panjang-panjang." Aku mengangguk saja.
"Kalo itunya yah?"
"Itunya apa?"
".... Burung?"
Aku menimbang-nimbang apakah perlu aku menunjukkan penisku. Ternyata setan menang. Kuturunkan CDku sampai paha.
"Besar ya Yah ....," Ukuranku termasuk rata-rata saja dan dalam kondisi "tidur". Mungkin dia membandingkan dengan penis anak-anak atau lelaki sebayanya. Jelas saja dia bilang besar. Rupanya dia lebih tertarik melihat batang dibanding bulu-bulunya...
Tangannya bergerak hendak memegang penisku. Aku menahan tangannya.
"Udah ya, cukup," kataku sambil menyudahi eksibisionisme ini.
***
Terakhir diubah: