Part 18 Akankah terulang !!!
Aku terlonjak kaget dari pelukan Mang Dedi saat mendengar suara ketukan pada pintu kontrakannya. Pintu tersebut di gedor begitu keras, di barengi oleh suara seorang wanita yang terdengar seperti marah-marah dengan bahasa yang sama sekali tidak aku mengerti.
Segera saja ku tatap wajah Mang Dedi untuk meminta penjelasan. Namun dengan santainya Mang Dedi tersenyum melihatku yang tampak panik duluan.
"Udah biarin aja Dek!" ucap Mang Dedi mengencengkan pelukannya.
Tapi suara ketukan di pintu kontrakannya itu terdenger semakin keras, "Capat buka pintunya Dedi!! ato ta langsung dobrek ini!!" teriak suara
"Marah tuh dia Mas!!" ucapku semakin panik walau tidak mengerti apa yang wanita itu katakan.
Mang lalu Dedi berdecih malas, Kamu pakai baju dulu aja Dek! Biar aku yang buka pintu" ucapnya melepas pelukan.
"Tapi itu siapa??" tanyaku ikut penasaran.
"Hmm.., Kakak aku paling...," jawab Mang Dedi begitu santai.
Saat itu juga jantungku serasa mau copot mengetahui kalau ternyata yang menggedor pintu tersebut adalah kakak dari Mang Dedi. Aku kaget dan langsung mencabut batang penis Mang Dedi yang sedari tadi masih tertancap nyaman dalam vaginaku dengan cepat, "Awwh...," ucapku merasa sedikit ngilu.
"Ka-kakak kamu Mas?" sambungku bertanya dengan gugupnya.
Pikiran dan rasa maluku tiba-tiba muncul saat membayangkan kalau sebentar lagi aku mungkin akan bertemu dengan salah satu anggota keluarga Mang Dedi. Hatiku semakin panik dan perasaanku ikut bingung karena aku tidak tau bagaimana harus bersikap dan memperkenalkan diriku jika seandainya kami bertatap muka.
"Hehehee.. gausah salting gitu sayang ." celetuk Mang Dedi terkekeh.
Kupukul bahunya dengan pelan karena dia seperti menganggap remeh situasi seperti ini, "Ih serius Mas!! Aku harus gimana ini Mas??" tanyaku semakin panik.
"Gimana apanya?? kamu tinggal pake
bajumu doang sayang." balas Mang Dedi bangkit dari atas kasur dan memakai celana pendeknya.
"Atau kamu mau tetep begitu aja di depan kakak aku??" goda Mang Dedi tertawa nyeleneh.
"Dih!! serius Mas!! Nanti kalau kakak Mas liat aku gimana??" tanyaku balik.
Mang Dedi lalu tersenyum santai ke arahku, "Ya gapapa Dek! kamu kan istri aku.." balasnya tertawa.
"Emang kakak Mas gak bakal curiga??"
tanyaku lagi.
"Curiga kenapa sih sayang?? udah gede ini kok. Dia pasti ngerti lah" jawab Mang Dedi mengerlingkan matanya. "Udah gapapa.. kamu pake baju aja." lanjutnya kemudian berlalu ke arah depan.
Sambil berjalan Mang Dedi terdengar membalas perkataan kakaknya dengan suara tak kalah tinggi, "Sabar sadiki kwa!! Ada sakit ngana bataria terus" ucapnya dalam bahasa yang ikut tak kumengerti.
Dengan cepat akupun beranjak dari atas kasur menuju kamar mandi Mang Dedi. Tanpa sadar kusentuh vaginaku dengan tangan sambil menatap nanar wajahku
di depan cermin. Gelenyar panas dan ngilu masih amat terasa pada liang yang menerima sodokan penis si tukang sayur langgananku itu. Semuanya terasa seperti candu yang ingin kunikmati lagi, lagi dan lagi.
Dan aku benci itu semua. Benci karena hubungan kita adalah hubungan yang begitu terlarang.
Bagaimana aku akan menjelaskan kepada kakak Mang Dedi tentang
keberadaanku ini?? Bagaimana pula cara aku memperkenalkan diri kalau seandainya dia menanyakan apa hubunganku dengan adiknya?? atau yang lebih parah, bagaimana kalau dia mengetahui apa yang telah kami perbuat barusan??
Plakk!!
Aku menampar pipiku sendiri mencoba meraih kesadaran dari rasa gugup yang menumbuhkan banyak sekali pertanyaan-pertanyaan dalam hatiku. Setelah beberapa saat mengatur nafas, aku lalu merapikan make up wajahku yang sedikit berantakan akibat pergumulanku dengan Mang Dedi barusan, lalu kemudian memakai kembali pakaianku satu persatu dan beranjak keluar dari kamar mandi.
Begitu aku membuka pintu, telingaku langsung menangkap beberapa suara dari arah depan kontrakan Mang Dedi seperti
riuh dengan beberapa orang.
"So tau jomblo, pas dapa suruh kaweng ngana nimau" Ucap kakak Mang Dedi dengan logat yang terdengar sangat kental seperti logat dari indonesia timur.
"Serta saki, beking siksa banya orang ngana.." Lanjut kakaknya lagi.
Lalu Mang Dedi terdengar membalas, " Sok tau ngoni samua!! Kita so nda jomblo skarang doe" ucapnya dengan nada tak kalah tinggi.
"Co mo lia depe foto?" Kata kakak Mang Dedi sekali lagi.
Karena aku penasaran, akupun melangkahkan kakiku berjalan pelan menuju tempat Mang Dedi berada dengan hati yang berdebar-debar. Aku takut kalau Mang Dedi sedang ada masalah dengan kakaknya sehingga mereka terdengarsedikit agak ribut.
"Nda perlu foto, depe orang langsung leh kita se lia" Jawab Mang Dedi yang tiba-tiba saja berjalan muncul di depanku.
Aku panik melihat hal tersebut sedangkan Mang Dedi hanya tersenyum menggenggam tanganku, "Ke-kenapa Mas??" tanyaku bingung.
Namun Mang Dedi tidak menjawab dan hanya menarik tanganku berjalan mengikutinya ke arah depan, "Ni orangnya !!" ucap Mang Dedi dengan lantang.
Aku tersentak ketika melihat kalau ternyata di ruangan itu terdapat tiga orang lagi selain Mang Dedi. Mereka tampak tak kalah kaget pula melihatku tiba-tiba muncul di hadapan mereka. Rasanya kikuk, canggung dan malu saat ketiga orang yang semuanya wanita berbeda usia itu menatapku dengan tatapan tidak percaya.
"Sapa pe anak leh yang ngana di bawa ka rumah?" Tanya wanita paling muda yang ternyata adalah kakak dari Mang Dedi. Kutahu itu dari suaranya yang dari tadi paling sering terdengar.
Kakak Mang Dedi itu terlihat masih sedikit muda dengan kulit yang amat putih, jauh berbeda dari kulitnya Mang Dedi. Rambutnya panjang tidak diikat dan dicat dengan warna ke kuning-kuningan.
"Kita pe cewe nooo!!" balas Mang Dedi mengangkat tanganku.
Tiba-tiba aku menjadi kian gugup, walau tidak terlalu mengerti apa yang diucapkan oleh Mang Dedi dan kakaknya itu, namun aku dapat sedikit menerka bahwa aku sedang di perkenalkannya kepada mereka.
"Jang mangaku-mangaku ngana. Mana mungkin cewe pe pasung bagini mo
mau pa ngana!!" ucap salah satu wanita lagi.
Kuperhatikan wanita yang berbicara seperti meledek itu tampak lebih tua dari kakak Mang Dedi, namun lebih muda dari yang ada di sebelahnya. Dandanan wanita itu cukup mencolok, dengan make up yang cukup tebal dan lipstick merah menyala seperti yang ku pakai, rambutnya juga hitam pekat disasak cukup tinggi, memberi kesan angkuh pada penampilannya.
"Tante boleh tanya langsung jo pa dia .." jawab Mang Dedi menunjukku.
"Kenalin Dek. Ini Tante aku namanya Julie." ucap Mang Dedi memberitahuku kalau yang barusan berbicara ternyata adalah tantenya.
Aku mengangguk pelan sambil mengulurkan tanganku, "Liya Tante"
ucapku memperkenalkan diri. Ditatapnya aku penuh selidik dan nanar dari ujung kaki sampai ujung kepala sebelum akhirnya dia menjabat tanganku, "Julie" jawabnya tersenyum.
"Kalau yang dari tadi cerewet terus, itu kakak aku Dek. panggil aja Kak Bela" lanjut Mang Dedi memperkenalkan kakaknya, kusalami dan kuperkenalkan namaku juga.
Terakhir, tinggallah wanita yang paling tua diantara mereka bertiga. "Nah.. kalau yang terkahir ini, Mama aku tercinta. Namanya Mama Martha!!" Ucap Mang Dedi lantang seperti seorang MC di acara dangdutan.
Kusapa Ibu Mang Dedi tersebut dengan penuh ramah tamah sambil mengulurkan tangan. Beliau menjawabnya sambil tersenyum tak kalah ramah kepadaku. Disambutnya uluran tanganku
dan kuciumi punggung tangannya dengan sopan.
"Sa--saya Liya Bu" ucapku tergugup mengucap salam.
Namun belum sempat ku salami dengan benar, Ibu Mang Dedi tersebut memegang erat tanganku dan langsung bertanya, "Kamu beneran pacar anak saya ??" ucapnya dengan nada yang tidak percaya.
"Ah.., masa mama ba bilang bagitu!!" protes Mang Dedi cemberut.
Lalu dia segera di marahi oleh ibunya, "Sudah jo badiang jo ngana!!" tatapnya tajam.
Aku terhening menatap ke arah Mang Dedi sebentar sebelum aku menjawab, "I- iya Bu, saya pacarnya Mas Dedi" balasku tersenyum.
Entah apa yang terlintas dipikiranku saat itu hingga aku dengan beraninya mengaku sebagai pacarnya Mang Dedi di depan orang tuanya sendiri. Sementara pada kenyataannya, kami berdua tak lebih dari sekedar pasangan selingkuh. Namun kulihat Mang Dedi berdengus bangga mendengar jawabanku tersebut.
"Tuh kan. Kalian saja yang gak pernah percaya!!" Ucapnya mencibir ketiga wanita yang ada didepannya. Sedangkan kakak dan tante Mang Dedi malah senyum-senyum sumringah meledek ke arahnya.
"Jangan panggil Ibu! Panggil mama saja." ucap Ibu Mang Dedi memegang tanganku dengan kedua tangannya.
Kuperhatikan sejenak raut muka ibu Mang Dedi yang sudah bisa dibilang cukup berumur, tapi dengan potongan
rambutnya yang dibuat sependek mungkin itu menambah kesan kalau dia masihlah cukup awet muda untuk ukuran wanita seusianya.
Kuanggukkan kepalaku pelan, "I--iya Ma!" jawabku gugup memaksa tersenyum.
"Kamu umur berapa sekarang??"
tanya Ibu Mang Dedi sekali lagi.
"27 tahun, Ma" balasku singkat.
"Hmm... masih muda" ucap Ibu Mang Dedi mengangguk-angguk pelan.
Disebelahnya, kakak Mang Dedi bertepuk tangan, "Luar biasa pelet kau Dedi" ucapnya meledek.
"Enak saja! Ini murni karena cinta woi. lya gak Dek??" tanya Mang Dedi menyentuh punggungku dengan pelan.
Dengan sedikit malu aku kemudian
mengangguk, "I-iya Kak, Mas Dedi gak pakai pelet kok" jawabku membela Mang Dedi.
Memang bukanlah ilmu hitam ataupun pelet yang membuatku jatuh ke dalam pelukan Mang Dedi. Justru sikap dan caranya berkomunikasilah yang membuatku hanyut semakin melupakan diri. Apalagi di tambah dengan keperkasaan dan kejantanannya yang senantiasa memberikan kepuasan syahwat kepadaku, membuat aku semakin tidak bisa melepaskan diri dari daya pikat tukang sayur langgananku tersebut.
"Emang sudah edan dunia ini" timpal Tante Mang Dedi menggeleng tidak percaya.
Namun kemudian Ibu Mang Dedi tampak menyadari kalau di jari manisku terdapat sebuah cincin, "Kamu sudah menikah Liya??" tanyanya tiba-tibamengangkat jariku.
DEGH!
Hatiku berdetak kaget, jantungku bergemuruh kencang dan tubuhku merasa panas. Rasanya aliran darahku berhenti seperti terbakar dan meledak seketika, mungkin juga saat ini wajahku sedang pucat pasi kehilangan kata-kata untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh ibu Mang Dedi tersebut.
"Jujur aja sama Mama! Gapapa kok" sambung Ibu Mang Dedi sekali lagi.
Aku kemudian mengalihkan pandanganku lagi kearah Mang Dedi seolah meminta bantuan darinya, akan tetapi Mang Dedi hanya mengangguk tersenyum memintaku agar menjawabnya sendiri entah harus berbohong atau jujur.
Ku hela nafasku pelan dan mengangguk ragu, "Su-sudah Ma"
jawabku tergugup. Aku rasa tak ada gunanya berbohong karena pasti akan langsung ketahuan.
"Tapi tetep masih mau sama bujang lapuk ini??" tanyanya kembali menunjuk Mang Dedi. Lagi-lagi aku berdiam diri sebentar, kehabisan kata-kata.
Beruntung, akhirnya Mang Dedi memotong pembicaraan ini dan langsung saja menjawab, "Ya pasti mau lah Ma!!! Kalau gak, ngapain dia mau kesini segala. lya gak Dek??" tanya Mang Dedi merangkul bahuku.
Aku lalu menatap bingung padanya, seolah meminta penjelasan dari perkataannya tersebut. Tapi yang kudapat dari sorot mata Mang Dedi justru sebuah permintaan untuk mengiyakan saja perkataannya mengikuti arus pembicaraan.
"I-iya Ma! Masih kok" jawabku mengangguk.
Hatiku bergemuruh dengan kencang penuh penolakan, disatu sisi aku memang masih ingin melanjutkan hubungan terlarangku ini bersama Mang Dedi, tapi di sisi lain nuraniku berkata kalau aku sudah terlalu jauh melangkah mengkhinati suamiku sendiri, bahkan dengan memberitahu ibu Mang Dedi bahwa aku masih menginginkan anaknya walau aku sudah mempunyai suamisekalipun.
Namun tanpa kuduga reaksi Ibu Mang Dedi begitu berlawanan dengan apa yang aku takutkan, ia tersenyum sumringah, Yasudah kalau gitu gapapa" ucapnya padaku.
Cukup kaget juga mendengar persetujuan dari Ibu Mang Dedi walaupun dia tahu kalau statusku sudah menjadi istri dari orang lain. Namun entah kenapa dia tampak senang-senang saja setelah mengetahui hal tersebut.
"Mama tidak masalah selama kamu menjaga anak Mama dengan baik" sambung Ibu Mang Dedi sekali lagi.
Disebelahnya, kakak Mang Dedi ikut menimpali, "Iya Ma! Daripada kita terus yang repot jagain dia kalau ada apa-apa" ucapnya.
"Jang ngana lupa kase selamat pa dia Dedi. Gagah ini ngana beking jadi ngana pe bini" sahut tante Mang Dedi tiba-tiba tersenyum.
Mang Dedi mengelus hidungnya sambil tertawa, "Wahaha.. batenang jo tante. sementara olah ini" ucapnya dengan bangga.
Walau aku tidak mengerti sama sekali
apa yang mereka bicarakan tersebut, namun hatiku amat senang mendapati kalau aku cukup di terima baik oleh keluarga Mang Dedi. Rasanya perkenalan awalku berjalan mulus meski selanjutnya tampak seperti sebuah ajang wawancara.
Ibu, Tante, dan Kakak Mang Dedi begitu mendominasi pembicaraan dengan melontarkan banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang mengorek lebih jauh kehidupan pribadiku. Mulai dari tempat dan asalku berada, keseharianku, hingga yang paling gila tentang hubunganku dengan suamiku sendiri.
"So itu kwa dia suka pa ngana, lantaran depe suami pe lolo kacili." ucap Kakak Mang Dedi masih dengan bahasa daerahnya.
Mang Dedipun tertawa membalas, " Butul komaling. Liar deng binal ini parampuan satu. Nyanda pias deng depe laki" jawabnya memelukku.
"Kalian pada ngomong apaan sih??" ucapku bingung dan heran.
Kini giliran tante Mang Dedi yang menimpali, "Mereka pada bilang kamu cantik Liya" balasnya menjelaskan padaku.
Seketika aku bersemu merah mendengar hal tersebut, "Dia le lebe sanang kalo kita mo bilang binal." Sambung tante Mang Dedi lagi.
"Brenti jo. Kiapa ngoni ni dia be tatawa kita pe maitua." protes Mang Dedi pada keluarganya.
Namun ibu Mang Dedi tidak tinggal diam menyahuti, "So dapa ba cuki frey tagal itu ngana bela" ucapnya.
"Yang penting kita so rasa depe sadap ma" balas Mang meledek.
Mereka bersama-sama tertawa berbarengan tanpa aku ketahui sama sekali apa yang mereka bicarakan tersebut. Aku hanya sesekali menyahuti pertanyaan mereka jika aku mengerti apa yang mereka bicarakan, lalu sisanya aku mengikuti mereka tertawa dan mengangguk-angguk saja seperti orang bodoh.
Pembicaraan kamipun semakin asik dan mulai lugas seperti orang yang sudah akrab satu sama lain, bahkan tak jarang baik Ibu ataupun tante Mang Dedi begitu bersemangat menggodaku jika hal tersebut bersangkutan dengan urusan ranjang dan topik-topik mesum.
"Wah. Berarti tadi Mama mengganggu kalian dong ya?" ucap Ibu Mang Dedi.
Dengan santai Mang Dedi lalu menjawab, "Gak kok Ma! Udah selesai satu
ronde" ucap Mang Dedi tersenyum.
"Silahkan kalau kalian mau lanjut, Mama mau balik dulu" ucap Ibu Mang Dedi mengerlingkan mata padaku. "Jangan lupa bikinin Mama cucu ya Liya" sambungnya menahan tawa menggodaku.
Aku menunduk malu mengetahui kalau ibu Mang Dedi ternyata amat paham dengan apa yang baru saja aku lakukan dengan anaknya. Rasanya seperti tertangkap basah sudah berbuat sesuatu, namun ujung-ujungnya diizinkan begitu saja.
"Wiihh.. Baru direstuin udah mau minta cucu aja nih!" sahut Kakak Mang Dedi. "Emang bisa kamu bisa ngasih Ded? ?" sambungnya menyenggol lengan Mang Dedi.
Dengan wajah yang di tegakkan Mang Dedi lalu menjawabnya, "Ya tentu bisadong. Ya gak Dek?" balasnya menatapku.
"Apaan sih Mas!! malu ahh" jawabku mencubit lengannya.
Merekapun kembali tertawa terbahak-bahak begitu senang, "MAMAM!!" ucap Tante Mang Dedi meledek keponakannya itu.
Tidak berapa lama kemudian keluarga Mang Dedipun berpamitan pulang kepadaku usai berbicara panjang lebar dan bercanda riuh denganku. Tak lupa aku berjanji kepada mereka untuk sesegera mungkin mampir ke rumah besar keluarga Mang Dedi, setelah tadinya mereka mengatakan kalau mereka ingin bertemu denganku dilain hari.
Setelah kepergian keluarga Mang Dedi tersebut, Beberapa kali aku melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul lima sore, yang itu berarti sudah
lebih dari tiga jam lamanya aku berada di rumah Mang Dedi.
"Udah mau pulang Dek??" tanya Mang Dedi melihatku merapikan tempat makan yang tadi ku bawa dari rumah.
Aku mengangguk pelan, "Iya Mas! Nanti aku dicariin suamiku. Sudah jam lima soalnya" balasku menjelaskan.
"Tapi aku masih pengen lagi nih" ucap Mang Dedi memelukku dari belakang. "Nanti biar aku yang nganterin kamu ke rumah deh" sambungnya sambil berbisik.
"Mas lagi sakit juga. Gausah!" balasku menolak.
"Ayolah Dek. Aku kalau sama kamu bisa sembuh kok" katanya tidak menyerah.
Kueratkan pejaman mataku dan cengkraman pada baju gamisku. Begitu menggiurkannya tawaran kenikmatan dari
perlakuan Mang Dedi hingga tanpa sadar aku menggigit bibir bawahku menahan gejolak birahi yang sekali lagi datang mendorong-dorong.
Aku mencoba sekuat tenaga untuk tidak terpengaruh dengan kata tersebut mengingat saat ini hari sudah cukup sore. Aku pasti akan dicurigai suamiku jika aku terlambat untuk pulang. Namun sekali lagi, aku tak dapat menguasai diriku didalam pelukan dan tindakan hangat Mang Dedi tersebut.
"Tuh! Kamu sebenernya masih pengen juga kan!!" ucap Mang Dedi setengah berbisik.
Mang Dedi merayapkan tangannya ke perutku, memelukku erat hingga merapatkan tubuh kami berdua. Dadanya yang sedikit berlemak itu melekat erat di punggungku. Wajahnya diletakkan begitu saja di bahuku, diantara lekukan leher
yang tertutupi oleh hijab yang ku pakai.
Membuat bulu kudukku meremang seketika, "Udah Mas!! aku mau pulang" pintaku berusaha mengatur nada suaraku yang bergetar. Menutupi debaran jantungku yang semakin tak berirama.
"Jangan pulang dulu sayang ih" sahutnya santai di telingaku.
"Tapi ini udah sore Mas!! Suamiku pasti nyariin" balasku memperingatkannya.
Namun Mang Dedi tetap saja bersetingkah menekan benda keras yang ada diselangkangannya ke bagian belakang tubuhku. Seolah sedang membuktikan bahwa dia amat bergairah saat ini.
"Biar aku yang tanggung jawab Dek Liya" balasnya tiba-tiba mendaratkansebuah ciuman ringan di leherku.
"Oh Tuhaan jangan lagi!!" batinku hampir terlonjak.
Membuat satu desahan keluar dan lolos dari bibirku, "Ehhmmm..."
Mang Dedi tampak senang mendengarnya, apalagi ketika desahan lain segera menyusul keluar dari mulutku saat bibirnya mulai menyusuri bagian leher dan tengkukku. Lalu memperdalam kecupannya disitu sambil menggigit memberikan tanda cupang dari balik hijab lebar yang tengah ku pakai.
Hingga akhirnya dia melepas kecupannya, "Jangan pulang dulu ya?" pintanya merajuk seketika memutar tubuhku menghadapnya.
Mata Mang Dedi terlihat sayu penuh gairah menatapku. Napas kamu berdua
sama-sama mulai memburu. Lalu secepat kilat, bibirnya mendarat di bibirku. Lidahnya begitu saja memasuki mulutku, berusaha melilit dan menarik lidahku.
"Ahhh... terulang lagi..," batinku akhirnya pasrah dalam ciuman kami yang begitu bergairah.
Rasanya darahku kembali berdesir dan ciumanku terasa menuntut untuk kembali dipenuhi. Apalagi di tambah dengan tangan Mang Dedi yang merayap menjelajah bagian-bagian sensitif tubuhku, membuatku semakin kehilangan akal sehatku yang dari tadi sudah diburu waktu.
"Mas kamu nakal!!" ucapku tersenyum menepuk pundaknya.
Mang Dedi mengecupku membalasnya, "Tapi kamunya suka kan Dek Liya??" tanyanya terkekeh.
Mang Dedi lalu memposisikan kedua lengannya di bawah bokongku, dan dengan begitu saja tubuhku tiba-tiba melayang naik saat dia mengangkatku begitu mudah dalam gendongannya. Secara spontan aku mengalungkan lenganku erat di lehernya. Lalu kedua kakiku melingkar di pinggangnya, terkait sempurna pada tubuhnya yang menopang tubuhku dengan kedua tangannya agar aku tidak jatuh.
Kami lagi-lagi berciuman dengan liar. Hingga akhirnya suara smartphoneku berdering menghentikan aksi gila ini.
"Ahh mengganggu saja!!" Ucap Mang Dedi menggeram menghentikan ciumannya.
Kulirik layar hapeku sedikit melihat kalau nama "Suamiku" tertera memanggil disana.
Lantas aku beranjak mengambil smartphone ku dan langsung mengangkat panggilan dari "suamiku" dengan perasaan yang takaruan.