Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Rapuh -TAMAT

Bimabet
Bagian 13

Mimpi Jannah terus berlanjut. Masa lalu yang mengikatnya tak akan bisa dia lupakan. Memori manusia adalah sesuatu yang ditanam di otak yang akan sulit untuk dilepaskan kecuali dicabut secara paksa. Manusia hanya bisa berdamai dengan apa yang ada di dalam ingatannya. Namun, tidak bagi Jannah. Dia tidak bisa berdamai dan akan tetap terus ingat.

Di antara bagian pecahan-pecahan memorinya, Jannah menemukan hal baru. Semakin dia mengingatnya, maka partikel-partikel itu semakin memadat. Dia merasa berada di dalam mimpinya, mimpi tentang masa lalunya yang penuh dengan kenangan indah.

Tak bisa dipungkiri, dari setiap kenangan indah, maka kenangan indah itu adalah Arief. Kenapa dia bisa mulai menyayangi Arief? Kenapa bisa sampai cinta? Semua karena Arief selalu ada untuknya. Seperti saat Arief berkorban untuknya dengan membayari ongkos untuk pergi ke tempat tinggal Thalib.

Mereka naik bus bersama. Hanya membawa ransel yang berisi baju ganti seadanya, sebab mereka memang tak mau berlama-lama pergi ke luar kota. Agaknya Arief baru tahu kalau tempat yang dituju oleh Jannah cukup jauh, menghabiskan waktu nyaris seharian. Dari berangkat pagi, tiba saat matahari nyaris terbenam.

Setelah mereka sampai di sebuah terminal besar, kemudian naik angkutan pedesaan, mereka sampai di sebuah tempat yang cukup jauh dari kota. Mau cari penginapan di desa ini? Tidak mungkin. Tak akan ada penginapan di desa ini, kecuali mereka cukup cerdas untuk meminta para penduduk desa yang baik hati mengizinkan mereka tinggal.

Selama perjalanan Arief terbilang sangat gentlemen. Dia selalu menawarkan Jannah makanan, minuman, bahkan tak pernah protes saat Jannah ketiduran dan bersandar di bahunya. Lengan Arief cukup kekar, tak tahu apa yang dilakukan oleh pemuda ini sampai punya otot seperti itu.

“Yakin di sini tempatnya?” tanya Arief, “ini jauh dari perkotaan lho, bahkan ini desanya terlihat jarang ada penduduk.”

“Tapi dia memberiku alamat ini. Di desa ini,” jawab Jannah.

“Kalau gitu segera saja kita ke alamat itu,” kata Arief.

Mereka pun melanjutkan dengan jalan kaki. Jalanan yang mereka lalui adalah jalanan aspal tipis dan tidak rata. Terkadang mereka menyandung kerikil-kerikil kecil. Langit sudah berwarna jingga dan di ufuk timur kegelapan mulai menyapa. Beberapa kampret terlihat terbang di antara sela-sela pepohonan, jangkrik-jangkrik juga mulai bernyanyi. Dari kejauhan tampak rumah-rumah penduduk mulai menyalakan lampu.

“Desa ini benar-benar sepi,” gumam Arief.

“Coba kita tanya ke warung itu,” tunjuk Jannah ke sebuah warung yang tak jauh dari tempat mereka sekarang berjalan.

Ada beberapa orang di warung tersebut, termasuk ibu-ibu penjaga warung. Mereka memperhatikan dua orang yang berjalan ke warung tersebut.

“Malam bapak-bapak, bu?” sapa Jannah.

“Malam. Adik-adik ini dari mana mau kemana?” tanya ibu penjaga warung.

“Anu, kamu mencari alamat ini,” ucap Jannah sambil menunjukkan secarik kertas bertuliskan alamat.

Salah seorang bapak-bapak menerima secarik kertas itu lalu membacanya. “Oh, ini rumahnya Kyai Lutfi. Memangnya adik-adik ini mau ketemu beliau? Memang banyak sih orang yang ingin sowan ke beliau. Tapi untuk anak muda seperti kalian rasanya jarang.”

“Saya teman anaknya,” ucap Jannah.

Semua orang tiba-tiba saling berpandangan. Ibu penjaga warung kemudian berkata, “Memangnya Kyai Lutfi punya anak?”

Jannah dan Arief pun saling berpandangan.

* * *​

Rumah Kyai Lutfi ternyata mudah dicari. Sebenarnya dari tadi rumah itu sudah kelihatan dari jauh. Rumahnya merupakan salah satu rumah yang paling besar, letaknya berada di tanah yang lebih tinggi. Di sebelah rumahnya ada sebuah surau yang biasa digunakan orang-orang untuk salat berjama’ah. Arief dan Jannah lagi-lagi harus berjalan ke tempat ini. Waktu itu sudah lewat salat Isya’ dan para jama’ah dari surau juga sudah pulang dari rumah masing-masing setelah melakukan wirid.

Arief menyempatkan diri juga untuk salat, sekaligus melakukan salat yang belum sempat ia lakukan. Jannah juga salat di belakangnya. Surau itu adalah saksi bisu keduanya salat bersama untuk pertama kali. Setelah Arief selesai salat, seorang lelaki paruh baya menghampirinya.

“Assalaamualaikum,” sapa lelaki itu.

“Wa’alaikumsalam,” jawab Arief. Sebagai sopan satun, Arief pun menjabat tangan orang tua ini.

“Ada perlu apa sampai kalian ke tempat seperti ini?” tanya laki-laki tersebut.

“Maaf, sebelumnya. Apakah bapak kenal dengan Kyai Lutfi?” tanya Arief.

“Saya sendiri,” jawab laki-laki itu yang tak lain adalah Kyai Lutfi yang selama ini mereka cari.

“Alhamdulillah, syukurlah. Kami langsung bertemu dengan Kyai. Saya kemari sedang mengantarkan teman saya untuk mencari seseorang,” kata Arief sambil menunjuk Jannah yang ada di bilik wanita.

“Maaf, Pak Kyai. Apa benar Kyai ini orang tuanya Thalib?” tanya Jannah dari bilik wanita.

Kyai Lutfi mengerutkan dahi. Dia kemudian mendesah. “Kalian salah kalau mencari anak itu di sini.”

“Kenapa?” tanya Jannah, “Thalib memberikanku alamatnya di sini, Kyai. Tapi para penduduk tadi bilang kalau Kyai tidak punya anak.”

Kyai Lutfi mengangguk. “Mereka tidak salah.”

“Jadi, Thalib berbohong kalau ….,” ucapan Jannah dipotong oleh Kyai Lutfi.

“Tapi mereka juga tidak sepenuhnya benar. Thalib tidak menyandang bin Lutfi. Dia anak hasil hubungan gelapku dengan seseorang,” ujar Kyai Lutfi sambil tiba-tiba menangis.

Malam itu Kyai Lutfi bercerita tentang masa lalunya. Thalib memang anak biologisnya, tetapi bukan anak dari pernikahan. Kyai Lutfi dulu saat muda pernah menyukai seorang perempuan bernama Ida. Keduanya saling mencintai, tetapi terhalang akibat status keluarga masing-masing. Singkat cerita keduanya pun punya ide gila, ingin kawin lari. Hingga akhirnya terjadilah hubungan terlarang itu. Sayangnya Kyai Lutfi tertangkap oleh anak buah dari keluarga Ida. Dia dihajar habis-habisan dan akhirnya keduanya pun dipisahkan. Hasil dari hubungan satu malam itulah kekasihnya hamil. Tak terima anak mereka hamil, Ida diusir dan harus melahirkan mandiri.

Kyai Lutfi suatu saat diberitahu oleh seorang tentang keadaan Ida. Begitu mendapatkan kabar tentang Ida, Kyai Lutfi pun segera menemuinya. Sayangnya Ida meninggal setelah melahirkan anaknya. Anaknya telah dinamai oleh ibunya dengan nama Thalib.

Tentu saja, tidak mungkin membawa Thalib ke dalam keluarganya. Akhirnya Thalib dititipkan di panti asuhan. Di sanalah akhirnya Thalib tumbuh dan belajar agama. Dididik hingga besar. Setiap sebulan sekali Kyai Lutfi menjenguknya. Thalib tidak pernah tahu alasan ayahnya menitipkannya ke panti asuhan, hingga akhirnya diceritakan setelah cukup umur. Thalib menerima semuanya dan memaafkan orang tuanya.

“Thalib adalah dosa terbesarku, Nak,” kata Kyai Lutfi, “Setiap aku melihatnya, aku jadi teringat dosa-dosaku di masa lalu.”

Arief dan Jannah tak mampu berbicara lagi. Mereka hanya bisa memperhatikan orang tua yang tenggelam dalam rasa bersalahnya. Kesimpulannya, mereka tak tahu dimana Thalib. Pemuda itu seperti menghilang begitu saja dan pencarian pun harus diakhiri.

* * *​

Hari sudah larut. Jannah sedang duduk di teras surau. Di sebelahnya ada Arief, yang boleh dibilang adalah malaikat penolongnya. Lelah, itulah yang sedang dirasakan oleh Jannah. Pencariannya pun sia-sia. Janji Thalib tidak ditepati dan menghilang begitu saja. Arief membiarkan perempuan itu larut dalam lamunan. Hal itu dia sengaja agar Jannah bisa berkompromi dengan perasaannya sekarang ini.

Kyai Lutfi sangat baik hati. Keduanya dipersilakan untuk menginap di rumahnya. Rumah tersebut hanya ditinggali oleh Kyai Lutfi dan istrinya. Mereka sampai sekarang tak dikarunai anak. Sehari-hari mereka hanya mengolah ladang, kalau sore Kyai Lutfi mengisi pengajian. Hidup mereka bersahaja, seperti yang dibilang Kyai Lutfi kalau beliau ingin bertaubat dan membersihkan dosa-dosa masa lalunya. Keduanya tampak bahagia saat menyambut Jannah dan Arief.

“Mbak nggak istirahat?” tanya Arief.

“Aku masih ingin di sini,” jawab Jannah.

“Aku kalau begitu pergi ke kamar dulu,” ucap Arief, tetapi tiba-tiba Jannah menarik tangan pemuda itu.

Tekejut. Jannah tidak mengerti kenapa tangannya tiba-tiba reflek menarik tangan Arief. “M-maaf.” Buru-buru Jannah melepaskannya.

“Aku nggak tahu kalau Thalib seniorku, maklum aku orang yang jarang gaul,” kata Arief, “aku heran aja, kalian kan sama-sama aktivis kampus, bagaimana bisa kalian pacaran? Well, aku tak mau men-judge orang lain sih, hanya saja aneh menurutku.”

“Aku manusia biasa, Mas. Memangnya nggak boleh melakukan dosa?”

“Sekali lagi aku tidak menghakimimu. Seharusnya kau memberi contoh yang baik. Apalagi kau cukup dihormati oleh teman-teman kerohanian. Mbak Jannah, seorang aktivis kampus yang cukup vokal, sering menjadi panitia dalam kegiatan-kegiatan besar. Aku juga pernah melihat mbak memberikan angket ataupun selebaran dakwah, membimbing teman-teman mahasiswi ke dalam pengajian, mengajari mereka mengaji. Maksudku, sangat kontras. Aku sendiri… aku bukan pemuda baik-baik. Maka dari itulah aku rasanya tidak pantas jadi aktivis. Aku hanya ingin belajar, maka dari itulah aku selalu mengikuti ustadz Hamzah dan belajar ilmu dari beliau. Aku masih belum bisa jadi contoh yang baik,” ujar Arief.

“Tapi mas orang baik. Mas mau menolongku, bahkan sampai mengantarkanku ke tempat ini. Bahkan di perjalanan juga mas menjagaku.”

Arief tersenyum. “Karena aku menghargai kehidupan.”

Jannah mengernyit. “Menghargai kehidupan?”

“Aku nggak mau mbak tersesat dan kehilangan harapan. Jujur, aku bukan orang yang menghargai kehidupan sampai aku mendengar ceramah ustadz Hamzah. Bagiku, mbak harus melanjutkan kehidupan dan melupakan Thalib. Dia tak ingin ditemukan dan tak mau menemui mbak. Itu sudah cukup untuk pergi dari bayang-bayangnya.”

Jannah terdiam sejenak. Kepalanya menunduk memikirkan kata-kata Arief. Memang benar apa yang dikatakan Arief. Dia harus menatap masa depan. Sudah berbulan-bulan Thalib tak ada kabar bahkan di rumah yang diberikan alamatnya saja tidak ada. Orang tuanya juga tidak tahu sekarang dia ada dimana.

“Ayo, tidur! Besok kita pulang, perjalanan jauh lho,” ajak Arief.

Jannah pun berdiri. “Mas!?”

Arief menoleh kepadanya.

“Sekali lagi, terima kasih.”

Arief mengangguk, lalu pergi meninggalkan Jannah. Malam pun makin larut. Jannah pun hari itu mantab melepaskan Thalib. Meskipun mungkin dia masih berharap, hanya saja harapan itu sudah sirna atau mengecil.

Kyai Lutfi dan istrinya menjamu Arief dan Jannah dengan baik. Sebelum Arief dan Jannah pulang, mereka sempat diajak untuk sarapan bersama. Arief dan Jannah diberi hadiah buku keagamaan dan Al-Qur’an. Tidak buruk, rasanya pergi sejauh ini. Bahkan, keduanya diberi nasihat-nasihat yang menyentuh.

Perjalanan pulang bukan sesuatu yang buruk. Rasanya Jannah sudah lega, walaupun tidak bertemu lagi dengan Thalib untuk waktu yang lama.

Waktu berlalu begitu cepat. Jannah teringat bagaimana Arief dan dia makin dekat. Sering bertemu di masjid, di perpustakaan, diajak makan bersama, hingga akhirnya mereka pun wisuda bersama.

Jannah masih teringat bagaimana Arief menghampirinya setelah acara wisuda itu. Saat itu dirinya berfoto dengan orang tuanya. Arief tiba-tiba menyalami ayahnya Jannah.

“Bapak, saya ingin melamar putri bapak. Bolehkah?” tanya Arief secara langsung.

Tentunya hal itu membuat orang-orang terkejut, baik orang tua maupun Jannah. Well, Jannah kebingungan dengan pertanyaan itu. Arief memang orangnya baik dan mereka mungkin ada kecocokan. Dan boleh diakui atau tidak Jannah selalu membutuhkan Arief, selama perkuliahan ini hubungan mereka makin dekat.

Singkat cerita pernikahan mereka sangat sederhana. Karena memang Arief saat itu hanya punya sedikit harta dari bapaknya dan belum bekerja.

Kilasan-kilasan memori di dalam kepala Jannah makin menjadi-jadi. Getaran bayangannya makin jelas, ketika di depan penghulu dia melihat Arief mengucapkan Ijab Qabul. Setiap mata tertuju kepada Arief untuk bisa mendengarkan perkataannya dengan jelas, hingga semua saksi berkata sah.

Sebenarnya Jannah bukan pertama kali melihat tubuh lelaki. Dia sudah melihat tubuh Thalib, walaupun tidak sampai bercinta. Mereka petting, saling memuaskan diri meskipun tanpa penetrasi. Sekarang Jannah harus menerima kenyataan menjadi suami dari seorang yang bahkan tidak dia kenal sebelumnya. Namun, ia mencoba untuk berdamai dengan keadaan. Dia sudah bulatkan tekad untuk bisa setia kepada lelaki yang kini sudah bertelanjang dada di hadapannya. Kini lelaki itu berlutut di depannya, menatapnya yang sejak tadi menunduk.

“Kau grogi?” tanya Arief.

Wajah Jannah yang cantik malam itu membuat lelaki manapun akan mabuk kepayang. Bibir Jannah melemparkan senyuman. “Menurut Mas?”

Arief menggeleng. “Aku tak peduli dengan masa lalumu, Sayang. Sebagaimana kau juga tak peduli dengan masa laluku. Demi kamu aku rela mengubur masa laluku. Kuharap kau juga begitu.”

“Mas sudah nggak perjaka?” tanya Jannah.

“Aku sudah bilang kalau aku bukan orang yang baik,” jawab Arief, “kau lupa?”

Jannah menggeleng. “Aku masih ingat. Justru karena mas mau jadi orang baik, aku akhirnya menerima Mas.”

“Can I kiss you?” tanya Arief.

Jannah memejamkan mata. Arief kemudian bangkit, duduk di sebelahnya. Setelah itu ia pegangi kepala Jannah, lalu mengecup bibirnya. Ini untuk pertama kalinya mereka berciuman. Perempuan itu memejamkan mata dan menikmati ciuman itu dengan syahdu. Hari itu dia yakin untuk melupakan Thalib selama-lamanya. Sejak saat itu ia bertekad kalau Arief adalah cinta terakhirnya dan akan seperti itu selamanya.

Kedua bibir yang saling mengecup pun berganti jadi memagut. Lidah mereka saling bersilaturahim. Getaran-getaran listrik mulai menggelitik bulu kuduk mereka. Jannah meneteskan air mata, entah air mata bahagia atau air mata kesedihan. Arief menghapus air mata itu.

“Aku akan pastikan kamu akan selalu tersenyum dan tak pernah menangis lagi,” ucap Arief.

“Bisakah mas melakukannya untukku?”

“Kamulah salah satu alasanku untuk berubah.”

Jannah tersenyum manis. Tidak ada lagi kata-kata yang bisa mereka ucapkan selain bahasa tubuh. Arief pun mulai membuka satu per satu baju yang menutupi Jannah. Kamar yang mereka tempati sekarang akan jadi saksi bisu bagaimana dua insan akan bersatu dalam memadu kasih. Mencumbu satu sama lain, memberikan kehangatan satu sama lain dalam kondisi halal.

Setiap helai pakaian yang menutupi perempuan itu kini terlepas. Bahkan Jannah membantu Arief untuk melepaskan bajunya sendiri. Perempuan itu berbaring, rambut panjangnya tergerai di sprei, menguarkan aroma kecantikan sejatinya. Arief juga sudah melepaskan celana satu-satunya yang dia pakai hingga kini batang kejantanannya mengacung tegak seperti menantang Jannah.

Batang penis kedua yang dia lihat. Jannah tidak malu. Bahkan saat Arief mendekatkan penis itu ke wajahnya. Jannah pasrah membuka mulutnya, menjilati kepala penis yang sudah keras dan mengkilap karena cahaya itu, padahal kamar mereka cukup remang-remang. Arief tak pernah bertanya bagaimana Jannah tidak jijik ataupun bertanya darimana Jannah belajar mengisap penis lelaki. Dengan telatennya Jannah meremas-remas dan mengocok batang penis tersebut sambil mengisapnya kuat-kuat.

“Ahh…istriku…nikmat sekali,” desah Arief.

Begitu syahdu kocokan dan hisapan Jannah, membuat Arief tak mau cepat-cepat mengakhiri momen ini. Pinggulnya pun bergoyang-goyang mengimbangi hisapan mulut istrinya. Jannah melanjutkannya dengan meremas-remas dua bolanya. Rasanya membuat Arief melayang.

Puas dengan servis istrinya, Arief mulai turun. Penisnya benar-benar penuh dengan air liur Jannah. Perempuan itu tersenyum, tak ingin batang penis itu pergi, tetapi ia juga penasaran apa yang akan dilakukan oleh Arief?

Pemuda itu menciumi wajahnya. Keningnya, pipinya, hidungnya, bibirnya, lehernya, lalu turun ke dua buah dada yang padat. Ah, kesukaan para pria. Pria mana yang tidak suka dua bukit kembar itu? Jannah terangsang saat lidah Arief menyapu putting susunya. Dia menjerit kecil ketika Arief menggelitiki pentil coklat kemerahan miliknya. Lelaki ini sekarang menyusu seperti bayi, dengan kedua tangannya aktif meremas-remas memberikan rangsangan.

“Maassshhh….ohhh…. ehmmm, tetekku diapain?” lenguh Jannah. Tak perlu dijawab, dia sudah tahu apa yang dilakukan Arief.

Sebagai seorang yang tidak sembarangan jajan, Arief punya keistimewaan yang tidak pernah diketahui oleh orang lain. Dia tahu cara memperlakukan wanita. Setiap sentuhannya seperti punya sesuatu yang bisa membuat perempuan terangsang. Mungkin kemampuan ini sudah lama didapatkan dari bapaknya. Sebagai seorang yang disebut kepala preman, Suroso mengajarkan Arief cara menaklukkan orang dengan sentuhan. Setuhannya itulah yang membuat tidak ada orang yang bisa menolaknya.

Lenguhan demi lenguhan seperti senandung merdu di ruangan bercahaya temaram. Rasanya tak akan pernah puas dua insan ini bercumbu. Hingga tak terasa bibir Arief sudah mengobok-obok vagina gadis perawan ini. Jannah tak kuasa. Sentuhan Arief membuatnya muncrat berkali-kali.

“Mas, nggak tahaaan!” ucapnya.

“Aku belum masuk lho sayang,” kata Arief.

“Masukin saja mas. Ambil perawanku!” pinta Jannah.

“Kau yakin?”

Jannah mengangguk. “Sekarang, aku menyerahkan hidupku ama mas. Perawanku juga.”

“Jangan begitu. Kau tak perlu menyerahkan hidupmu kepadaku.”

“Tapi keperawanan bagi kaum wanita adalah hal yang paling berharga. Mereka akan melindungi benda itu untuk suaminya. Maka dari itulah aku menjaganya selama ini,” ucap Jannah.

“Baiklah, aku ambil sekarang,” kata Arief.

Jantung Jannah berdebar-debar saat Arief mulai bersiap-siap. Batang kontolnya yang perkasa sudah dia tempatkan di garis vaginanya. Arief sengaja menggodanya dengan menggesek-gesek kelaminnya. Jannah sudah tak sabar, pinggulnya mulai gelisah.

“Masshh….masukin…. please!” pinta Jannah.

Awalnya kepala penis yang masuk. Cukup lancar karena dibantu dengan cairan pelumas yang terus banjir keluar dari celah sempit tersebut. Satu dorongan perlahan, tapi menusuk membuat Jannah tersentak. Sedikit batang penis yang masuk saja terasa perih. Arief tak memberi kesempatan Jannah untuk bernapas, karena hentakan kedua membuat penis itu makin jauh masuk ke dalam, setelah itu Arief berhenti, terlebih saat memek istrinya mencengkeram batang kontolnya.

“Maass….ehhmmmm…aahhhhh…..perih,” ucap Jannah.

“Bertahanlah!” kata Arief.

Jannah mengangguk sambil menggigit bibirnya. Arief pun bergoyang perlahan, dia tarik lalu dorong, tarik dorong, tarik dorong, hingga Jannah terbiasa. Lama kelamaan hanya suara desahan yang terdengar dari dua insan ini.

“Sayang, aku kayaknya ingin muncrat,” kata Arief.

“Keluarkan saja, Mas. Ohh…suamiku…aku akan terima pejumu,” kata Jannah.

Arief lalu memeluk Jannah. Mereka berpelukan erat sambil berciuman, sementara pinggul Arief terus menerus membobol memek istrinya. Jannah menggeleng-geleng tak kuasa akan gelombang orgasme yang akan melandanya lagi.

“Maasss…..aaahhhkkk!!!” pekiknya. Dia sadar penis Arief makin berkedut liar. Hingga lepaslah semburan sperma kuat, kental dan panas ke dalam rahimnya.

Nikmat sekali rasanya. Keduanya merasa nikmat. Itulah pertama kali mereka merasakan nikmatnya bercinta dan akan terulang lagi, lagi dan lagi.

Setelah itu tidak ada hari tanpa bercinta. Kedua insan ini benar-benar ketagihan seks. Di kamar mandi, di dapur, di ruang keluarga, bahkan Arief pun tetap mendapatkan servis dari Jannah saat haidh dengan cara dioral.

Kebahagiaan mereka bertambah saat Jannah hamil. Betapa Arief sangat bahagia kala itu. Jannah juga demikian, tak sia-sia mereka selalu bercinta hampir setiap waktu.

Apakah ini kebahagiaan bagi Jannah?

Dia sudah bahagia. Sayangnya kebahagian yang sudah dia dapatkan adalah kebahagiaan semu. Mimpi Jannah yang indah, tiba-tiba berubah menjadi mimpi buruk yang gelap dan penuh darah.

* * *

============= mimpi buruk Jannah masih berlanjut ==============
 
Ki Dalang mengucapkan matur nuwun ingkang kathah. Ternyata banyak yang masih setia untuk mengikuti cerita asal-asalan saya ini. Padahal saya baru nulis kok ya udah banyak yang baca.
Jujur Ki Dalang tidak berharap banyak dari tulisan ini, karena isinya WTF banget.
Siapakah yang sakit di cerita ini? Arief? Thalib ataukah Jannah? Ataukah Wina? Ataukah Ki Dalang sendiri yang sakit? :pandaketawa:
Cerita ini jauh dari sempurna, tapi saya masih fokus pada inti cerita. Sehingga para pembaca dapat memahami makna Rapuh dari judul cerita ini.

Biarkan Ki Dalang bercerita, gunung sari belum muncul, pertanda cerita masih terus berlanjut. Ini adalah perang Barata Yudha bagi Arief. Saat sumpah dan janji setia dilanggar, maka orang itu harus membayar apa yang telah dia tuai.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd