Cerita 019.1 (tes ombak)
Tidak ada yang lebih menyenangkan menyambut pagi dengan secangkir sarapan kesukaan. Contoh simpelnya adalah sepiring roti selai, segelas susu, teh atau kopi untuk yang tidak ingin ribet. Atau bagi sebagian orang makanan berat seperti bubur dan paket 10 ribu warung nasi Tegal sudah bisa menyenangkan sebanyak dua kali dalam sehari.
Hal itu juga berlaku ke Puput yang membuat secangkir teh krisan favoritnya pada pagi hari ini. Namun semua semangat pagi itu pun perlahan luntur karena teh yang ia buat tumpah dan terciprat di kemeja putihnya karena ulah salah satu karyawan yang tidak sengaja menyenggol tubuhnya.
Puput pagi ini juga sudah berada di ruangannya, tidak henti mengetik di dan menggerakan mouse nya kesana kemari. Ekspresi wajahnya terlihat kencang dan tajam karena pagi harinya diawali dengan tumpahnya teh tadi. Noda bekas tumpahan tersebut pun terlihat cukup meluas dan mengotori dengan warna coklat terang.
Yang membuat ia semakin sebal adalah teh tersebut adalah stok terakhir dia untuk bulan ini. Alhasil Puput harus menunggu akhir bulan lagi untuk membeli stok teh nya karena semua daftar pengeluarannya sudah ia catat dan tak bisa diganggu gugat.
Dua haru setelah perayaan ‘bridal shower’ nya diadakan, semua kembali seperti sedia kala; bekerja, kembali ke indekos, lalu ulangi hal tersebut sampai bertemu di akhir pekan.
Umumnya, pasangan yang akan melaksanakan pernikahan akan repot mengurusi hal yang berhubungan dengan kelangsungan acara nanti seperti gaun dan jas pengantin, tempat acara dilaksanakan, vendor, serta keperluan laiinnya. Namun sampai beberapa minggu sebelum acara dimulai, tidak ada yang dilakukan Rangga atau Puput untuk mengurusi acara tersebut. Yang Puput tahu Rangga berkata sudah mengurusinya semua dan Puput hanya tinggal datang ke tempat penyewaan gaun pengantin kenalan dari Rangga.
Ia sebenarnya masih menyimpan rasa curiga dengan siasat Rangga yang seakan2 sudah menyelesaikan setiap urusan untuk acara pernikahan nanti. Memang ia sudah melihat hasil sepakat dari penyewaan tempat, pembayaran kontan berbagai vendor, serta urusan kepada orang tua Puput yang tidak berada di dalam negeri.
“Kamu yakin kamu udah urus semuanya?” tanya Puput dalam obrolan telepon pagi ini setelah ia menyelesaikan beberapa urusan pekerjaannya.
“Yakin kok. Jadi nanti kamu tinggal dateng aja ketemu sama aku di tempat yang udah aku ‘share’ alamat nya ya di chat.
Puput melihat kolom chatnya dengan Rangga. Terlihat sebuah situs navigasi peta sebuah lokasi penyewaaan gaun pengantin telah diberikan oleh Rangga. Ia terlihat menunjukan keseriusannya dalam hal ini walaupun sempat Puput tadi ‘ngedumel’ karena tidak adanya hal yang didiskusikan terlebih dahulu dengan dirinya saat ini mengenai pernikahannya.
“Jam berapa nanti?” tanya Puput setelah menarik napas pelan.
“Abis kamu pulang ngantor aja, sayang. Atau mau aku jemput aja nanti?”
“Gak usah. Entar aku aja yang kesono sendiri.” Puput menolak tawaran Rangga karena ia sedang malas membahas hal jemput dijemput oleh tunangannya satu ini. Jangan sampai hal sepele seperti ini semakin merusak ‘mood’ nya lagi.
“Yaudah, entar aku nunggu disono aja ya.”
“Hm..”
“Bye, love you. Semangat kerjanya!” Rangga memberikan semangat kepada Puput.
“Ya. Love you too…” balas Puput singkat lalu mengakhiri panggilan.
Setelah ia menggeletakan ponselnya, ia lalu bersandar di kursinya dan merenggangkan tubuhnya yang sudah mulai kaku. Perasaan bobroknya belakangan ini semakin menggerogoti sekujur tubuhnya yang membuat ia gampang lelah dan kaku.
“Apa jangan2 karena gw udah gak nge ‘gym’ lagi ya, jadi kaku semua badan gw gini?” gumam Puput memberikan pijatan kecil di pundaknya.
Ia pun melanjutkan pekerjaannya kembali. Jari jemarinya sibuk mengetik beberapa paragraf untuk sebuah surat yang akan diberikan kepada salah satu kepala divisi. Tentu saja hal itu harus Puput yang juga kerjakan mengingat staff HR nya cukup lamban dalam menangani hal tersebut.
“Semua mua nya gw lagi, semua mua nya gw mulu! Ah, cape banget gw idup yaowoh!!”
Ia kembali bersandar di kursinya. Puput memijat kedua pelipisnya agar meredakan sakit kepalanya yang semakin terasa seiring dengan intensitas laju pekerjaannya. Pasca waktu datang bulan saat ini malah membuat dirinya menjadi letih lesu lunglai serta turun semangat juang untuk menjalani hidup. Terkadang ia mengelus perutnya yang masih terasa sedikti nyeri akibat sisa bulanannya yang sebentar lagi akan berakhir.
“Shhh, aduh… kenapa sih jadi cewe begin banget, harus tiap bulan ngilu sana sini segala macemnya??”
Tak terasa ocehan demi ocehan di balik ketikan ‘keyboard’ tosca nya, waktu sudah menunjukan pukul 12 sudah waktunya makan siang. Seperti biasa, duet maut Resti dan Los langsung mengetuk pintu ruangan Puput. Tanpa balasan sahutan dari Puput, mereka pun langsung membuka pintu dan melongokan kepala masing2 menatap Puput yang menatap mereka nanar.
“Makan gak bestai?” tanya Resti menaikan kedua alisnya.
“Gw gak keluar2 dulu deh ni hari. Sorry ya kawan2…” ucap Puput lemas dan tetap memasang senyuman tipis walaupun perasaannya sedang gundah.
“Kak Puput lagi kenapa?” tanya Los langsung menghampiri Puput “kakak lagi sakit?” Los memberikan pelukan manis dari belakang punggung Puput.
“Enggak kok sayang, cintaku, manisku. Aku cuman abis bulanan aja, jadi badan lemes banget rasanya.” Puput mengelus rambut panjang serta poni Los dengna lembut.
“Kakak mau nitip apa gak?” tanya Los pelan.
“Enggak usah deh, dek. Hari ini aku bawa bekal kok.”
“Beneran?” Los memastikan “kakak” nya ini tidak kenapa2.
“Iya, beneran. Makasih ya udah perhatian sama aku.”
“Hmm, masama.”
“Kamu tuh ya, udah umur segini kelakuannya sam aku tuh kolokan banget cii??” Puput mengelus pipi Los yang menggembung menyembunyikan bibir manyunnya.
“Mmm emang gak boleh aku perhatian sama kak Puput?”
“Iya2 boleh. Udah ah dek, akunya berat nih daritadi kau gelendotan terus di samping aku begini.
“Hemm iya2 deh nih aku lepas.”
Setelah mereka bertiga mengobrol singkat, Resti dan Los pun pergi ke luar gedung untuk membeli makan siang. Puput yang sempat berubah pikiran pun akhirnya menitip sekotak susu stroberi atau biskuit bersalut krim stroberi. Hanya dua itulah yang dapat mengembalikan sedikit ‘mood’ nya saat ini dikala hari2nya yang sedang muram.
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Bunyi nyaring mesin kopi tak henti2nya berbunyi di kedai kopi tempat Arman bekerja saat ini. Atau sekarang lebih tepatnya kedai kopi milik Arman. Setelah rundingan panjang dengan Ardan, akhirnya Arman secara resmi menjadi pemilik tetap kedai ini beserta seisi ruko nya. Namun tentu ia tidak bisa asal begitu saja mempunyai semuanya. Ada langkah2 yang harus ia ketaui sebelum semuanya diberikan oleh Ardan untuk adiknya ini. Saat ini kedai kopi tersebut terlihat sibuk lantaran sudah memasuki jam makan siang. Banyak karyawan/i yang bekerja di dekat sana mampir untuk sekadar beristirahat sambil ditemani secangkir kopi atau minuman lain, atau yang melaksanakan WFC (Work From Cafe) dengan sejumlah lembaran dokumen perusahaan yang sedang mereka bawa serta laptop yang hampir masing2 pengunjung membukannya di meja masing2.
Arman sedang sibuk membuat berbagai macam minuman yang telah dipesan. Mulai dari gelas2 plastik untuk ‘take away’ sampai cangkir2 kopi yang sudah ditaruh di dekat mesin kopi. Gerakannya yang terlihat cekatan membuat Ardan yang duduk di ujung jauh dari bilik barista terlihat mengangguk pelan melihat adiknya yang sangat berpotensi menjadi pemikil sekaligus barista kedai kopi salah satu warisan dari ayahnya.
“Kopi susu gula aren 4 biji buat meja 6, Jal.” ucap Arman memberikan nampan kepada Ijal, salah satu karyawan yang bekerja disana.
“Siap pak bos.”
“Belom.” celetuk Arman tertawa pahit ketika mendengar Ijal memanggil Arman dengan sebutan bos.
“Yeee masih aja lo mah. Udah dibilang sekarang lo owner disini, masih aja ngelak lo…” Ardan menghampiri bilik melihat Arman yang membersihkan mesin kopi setelah dipakai.
Arman tidak menyahut abangnya satu ini. Sejujurnya ia masih tidak biasa dengan panggilan tersebut. Atau memang ia benar2 tidak biasa jika dirinya dipanggil sebagai seorang bos atau pimpinan. Arman lebih suka langsung turun ke medan perang dan menghadapi para pelanggan ketimbang bersantai2 ria seperti yang ia lakukan diatas ruko seperti biasa. Baginya hal ini adalah tanggun jawab barunya sebagai seorang yang dipercayakan oleh anggota keluarganya dan juga sebagaia sebuah hal baru dimana ia akhirnya tidak menjadi laki2 banyak uang yang tanpa arah tujuan.
“Entar kalo lo udah abis dari sini, gw ajarin gimana caranya lo ‘manage’ nih tempat.” Ardan menepuk punggung Arman.
“Ngapa kagak sekarang aja sih, bang?” tanya Arman heran mengapa abangnya harus menahan hal tersebut.
“Ya kan lo sendiri yang mau turun jadi barista. Berarti kalo dah gitu mah gw biarinin aja dulu, biar lo enjoy dulu sana ginian dulu, biar terbiasa gitu lah…”
“Ya dah, serah lo aja bang. Entar juga paling soal manage2 gw belajar sendiri dari youtube atau seminar kecil2an.”
“Asiiiikk!! Gini nih gw suka kalo adek gw inisiatip kayak gini!! You gak Jal?? Adek gw Jaaaall… adek gw!! Masih lo2 pada ngeremehin nih orang??? Hahahaa….” seru Ardan riang kepada Ijal dan semua karyawan disana.
Ardan semakin bangga mendengar tekad Arman tadi. Padahal hal tersebut ia lakukan demi tidak membuat kedai kopi ini menjadi bangkrut atau hal2 kacau lainnya. Melihat betapa idealis saudaranya satu ini, ia sepertinya harus berjuang mulai dari bawah secara terselubung. Arman memang memilki modal, namun ia belum memiliki kemampuan2nya untuk menjalankan ini semua.
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
“Gimana Put? Yang ini cantik kok…”
Rangga memandang Puput yang mengenakan gaun pengantin serta ornamen2 tambahannya. Ia sedang duduk di sebuah kursi, memandang dirinya yang begitu cantik mengenakan gaun putih yang begitu panjang sampai menutup seluruh bagian bawah tubuhnya.
“Bagus sih, cuman yang ini kok rada sempit ya di aku sekarang?” tanya Puput kepada Rangga.
“Sempit gimana maksud kamu?”
Perlahan Puput mengisyaratkan Rangga untuk mendekati dirinya. Lalu ia membisikan sesuatu dengan begitu pelan.
“.......”
“Hah?”
“.......”
“Apa Put? Aku gak bisa denger kamu walau kamu bisik2 juga.” Rangga menggeleng menatap Puput yang terlihat malu.
“Ishhh, iniiii…”
Puput celinga celinguk melihat keadaan sekitar sebelum ia kembali memberitahu Rangga.
“Ini lho… di bagian dada aku nyesek banget. Kamu enggak liat apa?”
Terlihat lengan kiri Puput menutup bagian payudaranya yang tergencet oleh gaun yang terasa sempit. Saking sempitnya, bagian dada gaun tersebut sampai membuat payudara semok Puput mengetat dan terlihat penuh.
“Iya kok, aku liat.”
“Ya terus menurut kamu gimanaaaa??”
“Bagus kok, tete kamu jadi seksi gitu.”
Seketika Puput memberikan tamparan keras dan nyaring di lengan Rangga. Terdengar nyaring sampai seorang karyawati disana yang cukup jauh sedang merapihkan gaun disana menengok kearah mereka berdua.
“Gimana? Udah kak?” tanyanya kepada Puput.
“Enggg, yang kayak gini ada ukuran yang gedean dikit gak, mbak?” tanya Puput.
“Kenapa kak?”
“Ini, ennggg.. ini aku rada sempit bagian dadanya soalnya.”
“Ohhh gitu, yaudah coba kucariin lagi ya kak.”
“Atau model yang lainnya boleh gak, mbak? Aku liat2 dulu aja gitu…”
“Oh boleh2, silahkan.”
Puput lalu beranjak dari kursi dan melepaskan gaun sempit tersebut. Ia merasa beberapa bulan lalu gaun tersebut masih muat di tubuhnya. Dan sekarang ia tidak bisa menggunakannya lagi lantaran tubuhnya mulai sedikit…. menggendut.
“APA!!? APA LO BILANG, THOR!! LO YAA!! MAU GW ILANGIN LAGI MOOD LO NANTI HAH, BIAR LO KAGAK BISA NGETIK2 CERITA!!?? HAHHH?? BIAR LO AMPE MAMPUS DICARI2IN SAMA YANG NGEBACA CERITA GW!! JANGAN MACEM2 YA LO BILANG2 GW GENDUT SEGALA MACEM!! GW KETEKIN MUKA LO ENTARR!!!”
“Put, kamu ngomong sama siapa?” tanya Rangga menatap heran Puput yang mendadak mengoceh.
“Gak, tadi lagi mumet aja…”
つづく