Dari batas pancang itu, aku pernah berdiri menatap punggungmu. Pada sebuah petang yang mulai hitam menjelang kelam, ketika matahari telah pulang berpamitan.
Lalu kubaca kepergianmu, seperti jejak kaki yang tertinggal di tanah basah selepas hujan. Aku punya ribuan malam yang dingin, jauh sebelum dua orang kekasih datang sebagai pengantin. Di kota yang warna langitnya serupa kembang sepatu, katamu, seseorang menulis tentang kota yang pernah diramaikan rindu.
Di kepala kita yang batu--dingin dan beku, kesedihan tak mengenal kata-kata juga luka-luka. Seperti huruf-huruf pucat, para hati mengenang yang lalu-lalang dengan puisi. Kita tak ditinggalkan oleh apa pun, atau seperti kesepian seekor ikan yang hidup dalam genang sendirian, kita tak pernah benar-benar saling memiliki.
"Semua orang akan pergi. Entah dengan hati gembira atau punggung terluka. Di atas panggung orkestra itu, kita hanya lakon drama. Sesekali tertawa, kemudian menangis dan berlagak gila. Orang-orang bertepuk tangan, terkadang, karena itu kita bersedih dari balik topeng peran."
"Hidup memang sudah seperti ini sejak dulu. Seperti dua mata koin dan partikel yang bersisihan. Meski kadang kita takut dan gugup, tapi tetap layak disebut kehidupan, bukan?"
Kita bertemu dengan seseorang yang dengannya kemudian kita seperti menemukan penyangga--dari tatih langkah yang payah. Kita menggambar dunia, laut, langit dan semesta. Namun petang selalu datang mengaburkan pandangan, menambah warna kelam, menutupnya dengan rupa-rupa.
Ada yang tersesat di kota dalam kepala kita. Kenangan yang manis di awal, selalu tertinggal sebagai peluk yang janggal. Kita tahu, betapa rapuhnya kata-kata menyimpan air mata.
"Aku tidak bersedih atas kesepian ini selepas kau pergi. Aku hanya telah ditinggalkan kata-kata, dan tak bisa berpuisi lagi. Lalu dengan apa kusampaikan segala yang terjadi?"
Lalu kubaca kepergianmu, seperti jejak kaki yang tertinggal di tanah basah selepas hujan. Aku punya ribuan malam yang dingin, jauh sebelum dua orang kekasih datang sebagai pengantin. Di kota yang warna langitnya serupa kembang sepatu, katamu, seseorang menulis tentang kota yang pernah diramaikan rindu.
Di kepala kita yang batu--dingin dan beku, kesedihan tak mengenal kata-kata juga luka-luka. Seperti huruf-huruf pucat, para hati mengenang yang lalu-lalang dengan puisi. Kita tak ditinggalkan oleh apa pun, atau seperti kesepian seekor ikan yang hidup dalam genang sendirian, kita tak pernah benar-benar saling memiliki.
"Semua orang akan pergi. Entah dengan hati gembira atau punggung terluka. Di atas panggung orkestra itu, kita hanya lakon drama. Sesekali tertawa, kemudian menangis dan berlagak gila. Orang-orang bertepuk tangan, terkadang, karena itu kita bersedih dari balik topeng peran."
"Hidup memang sudah seperti ini sejak dulu. Seperti dua mata koin dan partikel yang bersisihan. Meski kadang kita takut dan gugup, tapi tetap layak disebut kehidupan, bukan?"
Kita bertemu dengan seseorang yang dengannya kemudian kita seperti menemukan penyangga--dari tatih langkah yang payah. Kita menggambar dunia, laut, langit dan semesta. Namun petang selalu datang mengaburkan pandangan, menambah warna kelam, menutupnya dengan rupa-rupa.
Ada yang tersesat di kota dalam kepala kita. Kenangan yang manis di awal, selalu tertinggal sebagai peluk yang janggal. Kita tahu, betapa rapuhnya kata-kata menyimpan air mata.
"Aku tidak bersedih atas kesepian ini selepas kau pergi. Aku hanya telah ditinggalkan kata-kata, dan tak bisa berpuisi lagi. Lalu dengan apa kusampaikan segala yang terjadi?"
