Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENGIKUT ALUR (A SLICE OF LIFE & SEX)

Bidadari pendamping Yas favorit suhu di sini?

  • Inne

  • Dita

  • Ojay


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Asseekkkk... Gaskeun Huuuu
Nungguin Yas nanggepin undangan Dita. Mudah2an sukses malem mingguanna kasih Dita kenang2an tsunami nikmat sblm berangkat hohoho. Klo iya, si Yas jagoanlah bisa brace dlm seminggu, ehhh sehari maksudnya wkwkwk, setelah sebelumnya bikin Ojay banjir bandang :genit:
Monggo dilanjut Hu
 
Akhirnya sampai di page 76, setelah beberapa hari ane cicil bacanya. Ini real bukan sih? Misal fiksi pun, menurut ane kayak real sih 😀 jalan ceritanya mengalir, pembaca dibuat bisa merasakan bbrp tempat dan momen yg di deskripsikan TS, sehingga pesan yg ingin disampaikan TS, sampai ke pembaca..bagaimana rasanya jatuh hati sama Inne, tergoda sm Ojay dan Dita.

Cuma yg masih jd uneg2 ane dan ingin bertanya dr kemarin, yaitu saat awal pertemuan awal dengan Inne di kereta, si Yassar sesuai asalnya kan berangkat dari arah barat (bandung) ya, dan Inne baru pulang training dari Surabaya? dan mereka bertemu di kereta? Atau stasiun di Yogya?

sama 1 lagi, misal ini cerita fiksi, agak aneh sepertinya saat Inne tiba2 kerasukan leluhur dan bisa melawan Novian dan pria2 bertopeng, hingga babak belur 😀, alih2 dibuat cerita tiba2 codot dkk datang menolong di saat yg tepat hehe. Namun, misal ini real, ya udah ane percaya aja scene bagian tsb supaya tidak merusak imajinasi ane dengan cerita ini secara keseluruhan.

sori yak, komen ane panjang beut..karena menurut ane cerita ini menarik, dan ane tidak ingin imajinasi ane ke distract aja dgn bbrp kebingungan 🤣🤣

Oke, keep update sampai tuntas ya hu..keren ceritanya
 
Terakhir diubah:
Akhirnya sampai di page 76, setelah beberapa hari ane cicil bacanya. Ini real bukan sih? Misal fiksi pun, menurut ane kayak real sih 😀 jalan ceritanya mengalir, pembaca dibuat bisa merasakan bbrp tempat dan momen yg di deskripsikan TS, sehingga pesan yg ingin disampaikan TS, sampai ke pembaca..bagaimana rasanya jatuh hati sama Inne, tergoda sm Ojay dan Dita.

Cuma yg masih jd uneg2 ane dan ingin bertanya dr kemarin, yaitu saat awal pertemuan awal dengan Inne di kereta, si Yassar sesuai asalnya kan berangkat dari arah barat (bandung) ya, dan Inne baru pulang training dari Surabaya? dan mereka bertemu di kereta? Atau stasiun di Yogya?

sama 1 lagi, misal ini cerita fiksi, agak aneh sepertinya saat Inne tiba2 kerasukan leluhur dan bisa melawan Novian dan pria2 bertopeng, hingga babak belur 😀, alih2 dibuat cerita tiba2 codot dkk datang menolong di saat yg tepat hehe. Namun, misal ini real, ya udah ane percaya aja scene bagian tsb supaya tidak merusak imajinasi ane dengan cerita ini secara keseluruhan.

sori yak, komen ane panjang beut..karena menurut ane cerita ini menarik, dan ane tidak ingin imajinasi ane ke distract aja dgn bbrp kebingungan 🤣🤣

Oke, keep update sampai tuntas ya hu..keren ceritanya
Waduh, hahaha. Oke, buat pertanyaan pertama yak: Inne dan Yassaar ketemu di kereta. Pertanyaan kedua: gak bakalan dijawab. Hahahaha. Btw terima kasih suhu reviewnya. Jadi semangat lagi nih kalo ada yang review detail kayak gini, hehehe.
 
Terakhir diubah:
22

“Gimana, Ibu, udah minum obat lagi?” tanyaku pada Teh Ola.

“Udah, A. Aman. Oh iya, dokter tadi ngasih tau, Ibu dioperasi 3 hari lagi, A.”

“Alhamdulillah...” jawabku lega.

“Kondisi Ibu cepet membaik, Yas. Dokter juga tadi salut sama perkembangan Ibu,” tambah A Ogoy.

“Iya syukur. Bu... alhamdulillah...”

“A, biayanya gimana? Teteh sama Aa Ogoy nambahin berapa atuh?” tanya Teh Ola.

“Udaaahhh, aman. Nanti aja, kalo Iyas butuh bilang, hahaha...”

“Dasar...” jawab Teh Ola.

“Aya nanaon mah bilang we, Yas,” kata A Ogoy kemudian.

“Bibi mana?” tanyaku pada mereka.

“Bibi balik dulu, kasian biar istirahat, dipesenin ojol tadi.”

“Sekarang jaga malem siapa?”

“Udah we Iyas lah gak papa, Teteh pulang aja sama Aa, pake tuh mobil,” sambungku.

Mereka pun menyetejuinya. Sesudah mengantarkan Ojay ke apartnya, akupun kembali lagi ke RS karena tak enak membuat mereka menunggu lama-lama.

Kulihat Ibu masih tertidur lelap karena efek obat yang diminumnya, sengaja dokter memberikan racikan obat agar Ibu bisa istirahat full. Akupun sedikit lega, tak sabar ingin segera melihatnya kembali riang bersahaja.

Setelah berbincang beberapa saat, Teh Ola dan A Ogoy pun pamit, aku menyerahkan kunci mobil padanya.

“Nih, Teh!”

Ia pun menerimanya. Kini, tinggal aku sendiri di ruangan Ibu, memandanginya dengan perasaan yang berseri-seri. Tapi, selang beberapa lama akupun teringat sesuatu yang bisa mengguncangkan alam semesta. Segera aku meraih ponsel di saku celana.

“Teh! Teh! Udah berangkat belum? Kela... kela... ada yang ketinggalan di mobil,” ucapku di telepon setengah panik.

“Hah? Belum... belum... ya udah atuh sini ke parkiran...” jawabnya.

Aku pun dengan terburu-buru beranjak ke luar dan menuju parkiran dengan perasaan yang tak menentu.

“Bangsaaatthhh...” umpatku setengah berlari.

“Hahhh... hahhh... hahhh...” nafasku tersenggal saat sampai di parkiran.

A Ogoy dan Teh Ola saling bertatapan melihatku.

“Kenaon, Yas? Aya naon?” Tanya A Ogoy.

Aku tak menjawabnya, malah langsung membuka pintu depan dan membuka dashboard, mengambil kantong kresek hitam.

“Ngambil ini, hehe... ketinggalan, lupa...” jawabku polos.

“Ya Allah... astagfirullah...” ucap Teh Ola menggeleng-gelengkan kepala.

“Meni sampe lari-lari gitu atuh... emang apa itu?” tanya Teh ola kemudian.

“Ini... oleh-oleh dari Ojay, haha...”

“Ampuuunnn...” jawab Teh Ola dan A Ogoy serempak.

“Hehehe... ya udah, tiati yaaa...” jawabku menutup perbincangan.

Mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala menatapku. Lalu mereka pun memasuki mobilku.

“Njirrr... wangi gini euy!” ucap A Ogoy.

“Iya, ih!”

“Yeee... ya emang wangi atuh di perawatannya juga mahal mobil ini mah,” jawabku ngasal.

“Perasaan tadi nggak sewangi ini, Yas...” ucap A Ogoy memicingkan matanya.

“Wangi ah! Udah... udah sana jalan, Iyas mau ke atas lagi...” jawabku melengos meninggalkan mereka.

Setelah sampai di ruangan Ibu kembali, kulihat ia masih terlelap. Aku tarik kursi ke dekat ranjangnya sembari selonjoran dan bermedsos ria. Berjaga-jaga bila Ibu terbangun.

Saat melihat-lihat Ig, kulihat Inne memposting foto selfienya dengan background Abbey Road, sebetulnya aku sudah lihat duluan foto itu karena ia mengirimkannya terlebih dahulu padaku di WA. Betapa cantiknya Inne di foto itu, tak ada perbedaan yang signifikan jika melihat di foto dan aslinya secara langsung. Aku pun iseng untuk meneleponnya video call.

*tuuttt... tutttt... tuuuttt...”

“Assalamu’alaikum, sayanggg...” ucap Inne.

“Wa’alaikumsalam, sayang... lagi di mana sayang?”

“Aku baru aja kelar kelas yang, ini mau otw ke apart...”

“Gimana-gimana, rame nggak belajarnya sayang?”

“Rameee banget tauuu yang, aku banyak dapat insight baru. Pokoknya aku dibikin takjub sayang, haha...” jawabnya antusias.

“Oalah, jadi gak sabar dapetin ilmu baru dari Bu Dosen, nih...” jawabku.

“Hahaha... iya-iyaaa... aku janji nanti bakal diskusi banyak buat kamu, aku juga bakal bawa oleh-oleh penelitian buat kamu haha...”

“Haha boleh deh, siapa takut... aku suka malahan...”

“Mana Ibu yaaanggg... pengen liaattt...” tetiba ucapnya.

Aku pun langsung mengarahkan ponsel ke Ibu yang masih tertidur.

“Aaaaa... Ibuuu... Neng kangen banget, Buuu...” ucapnya.

“Ibu udah minum obat ya, yang?” sambungnya.

“Iyaaa, abis disuapin juga sama teteh tadi...”

“Mana teteh?”

“Teteh pulang dulu yang sama aa...”

“Eh, eh, katanya si neng mau ke sana ya?”

“Iya mau ke sini katanya.”

“Uluh... uluh... yang mau ketemu dulu sama Aa-nya sebelum ke Jogja lagi...”

“Sama pacarnya yang?” sambungnya.

“Iya katanya, soalnya pada langsung mau berangkat ke Jogja abis dari sini...”

*toktoktok*

“Tuh datang gera...” ucapku yang menyadari ada yang mengetuk pintu.

Aku pun beranjak dan membukakan pintu, kulihat Dita bersama Atar yang langsung salim kepadaku, sedangkan Dita langsung memelukku.

“Aa... kangeeennn...” ucap Dita manja.

Aku tak membalas pelukannya karena tanganku yang satunya masih memegang hp, aku hanya tersenyum sembari melihat ke arah Atar, ia pun tersenyum.

“Ekkhhmm...” ucap Inne di videl call.

“Eh, siapa, A?” Dita kaget yang langsung melepaskan pelukannya padaku.

“Eh, Teteeehhh...” sambungnya sembari mengabil hp di tanganku.

“Ngapain peluk-peluk pacar aku, hah!?” ucap Inne.

“Iiiihhh... Tetehhh...” jawab Dita merengek.

“Gak boleh ya! Awas sekali-kali lagiii...”

“Atuuhhh... iyaa... iyaa... maaf...”

“Hahaha...” jawab Inne tertawa.

“Ayo-ayo masuk...” ucapku pada pacar Inne.

Kemudian kami pun duduk di kursi sofa yang agak panjang, Dita masih anteng berbincang dengan Inne di video call.

“Langsung mau pada berangkat ke Jogja ini?” ucapku pada Atar.

“Iya, A. Sekalian, sengaja malem biar nggak macet, hehe...”

“Waduh, awas atuh ngatuk nanti di jalannya.”

“Nggak, A. Aman, tadi udah tidur seharian soalnya hehe...”

“Ya udah, nitip Dita ya...”

“Siap laksanakan, A.”

“Ibu kapan A dioperasinya?” sambungnya.

“Tiga hari kalo kata dokter, doanya aja...”

“Semoga cepet sembuh seperti biasanya ya a...”

“Aamiin...”

“A, nih...” ucap Dita memberikan ponsel.

Kulihat ponselnya masih terhubung dengan Inne.

“Apa cenah yang?” tanyaku pada Inne.

“Udah dimarahin sama aku, peluk-peluk kamu, haha...”

“Iya?” tanyaku pada Dita yang dijawab dengan anggukan.

“Hahaha...” ucapku tertawa.

“Ya lagian... udah punya pacar sendiri juga masih aja peluk-peluk Aa-nya...”

Kulihat wajah Dita cemberut, pundaknya dielus-elus oleh Atar yang duduk di sampingnya.

“Ya udah, udah dulu ya sayang, nanti sama aku dikabarin lagi...” ucapku pada Inne.

“Iyaaa... i’ll waiting baby... love youuu...”

“Love you more...” jawabku.

Kami pun lalu berbincang-bincang mengenai Ibu cukup lama sampai akhirnya Ibu terbangun. Kami pun langsung menghampirinya. Aku langsung mengelus kening dan mengecupnya.

“Gimana, Bu? Enakan?” tanyaku.

Ibu hanya mengangguk dan tersenyum.

“Bu, ini Neng Dita tea sama pacarnya, jenguk Ibu...”

Ia tersenyum memalingkan wajahnya ke Dita dan Atar. Mereka pun lansung salim pada Ibu.

“Euleuh... repot-repot...” ucap Ibu seraya tersenyum pada mereka.

“Ibuuu...” ucap Dita.

“Bu...” ucap Atar.

“Ini teh adeknya si Neng tea ya, A?” kata Ibu.

“Iya, Bu. Hehe...” jawab Dita.

“Meni mirip pisan gustiii...” ucap Ibu.

Itu baru pertama Ibu bertemu secara langsung dengan Dita, karena sebelumnya hanya mendengar cerita-cerita dari Inne. Tapi, Ibu sudah mengetahui Dita bukan adik kandung Inne. Memang yang banyak bercerita kepada Ibu tentang Dita adalah Inne.

Tak terasa, kami pun berbincang sampai dengan jam 8 malam, Ibu banyak tertawa karena obrolanku. Dita memang tak sesupel dan semenarik Inne saat berinteraski. Dita dan Atar hanya menimpali dan menyambung topikku saja. Tak lama kemudian Bibi dan Mamang datang dengan menenteng rantang di tangannya.

“Assalamu’alaikum...” ucap Bibi dan Mamang.

“Wa’alaikumsalam...” jawab kami.

“Eh, Ibuuu...” ucap Bibi yang langsung menghampiri Ibu.

Dita dan Atar pun salim kepada Mamang dan Bibi, aku memperkenalkannya pada mereka. Respons Bibi pun sama yang mengatakan bahwa Dita sangat mirip sekali dengan Inne.

“Meni mirip banget Neng Inne ya, Bu?” kata Bibi seraya melihat Ibu.

“Iya puguhan, kembar we sugan ieu mah, Bi...” jawab Bibi.

“Mamang gak ngeronda?” tanyaku kemudian pada Mamang.

“Ah, nggak, Den. Di sini aja ngerondanya nemenin Aden...” jawab Mamang.

Aku pun langsung berbincang dengan Mamang, kulihat Dita dan Atar pun sedang berbincang-bincang pelan. Tak lama, Dita menghampiriku.

“A, Neng jalan sekarang ya, takut kemaleman...” ucapnya padaku.

“Oh, iya-iya sok, Neng. Iya atuh bisi kemaleman...”

“Pada mau ke mana ini teh?” tanya Mamang.

“Mau langsung ke Jogja, Mang. Ada kegiatan di kampus katanya...” jawabku.

“Hehe iya, Mang, ada kegiatan kampus...” jawab Dita yang langsung salim kepada Mamang, diikuti oleh Atar.

Mereka pun salim kepada Bibi dan Ibu.

“A, anterin atuh ke depan...” ucap Bibi.

“Heem, jung...” tambah Ibu.

Setelah mereka berpamitan, aku pun mengantarkan mereka.

“Udah pada makan dulu belum kalian?” tanyaku pada Dita dan Atar.

“Udah, A. Tadi sebelum ke sini makan dulu,” jawab Atar.

“Iya ini ge masih kenyang. Tapi ntar juga mampir makan dulu sih, A,” ucap Dita.

“Tar... kamu duluan aja ke mobil, aku mau ada yang mau diomongin dulu sama Aa bentar,” tetiba ucap Dita pada Atar.

“Oh, boleh, aku langsung ke mobil aja berarti ya,” jawab Atar.

Dita hanya mengangguk, aku hanya diam. Merasa tak enak oleh Atar sebenarnya.

“Mau ngomong apaan emang, Neng? Sekarang weh atuh...” kataku.

Dita diam tak menjawab, Atar yang menyadari posisinya yang kikuk, ia langsung berpamitan dan meninggalkan kami berdua di lorong menuju parkiran.

Aku mengeluarkan rokok dan mulai menghisapnya.

“Fyuuhhh... mau ngomong apa si Neng? Gak enak sama Atar loh...” ucapku memecah keheningan.

“Gak papa, dianya juga ngerti kok.”

“Neng udah harus bisa jaga perasaan dia atuh, meskipun dia juga tau hubungan kita gimana...”

“Iya... iya... ngerti...”

“Iya sok atuh, terus apa yang mau diomongin...”

Dita terlihat menarik nafas panjang dulu sebelum akhinya berbicara padaku.

“A... Neng teh sebenernya pengen waktu berdua sama Aa doang... tapi nggak tau keadaannya lagi gini, Neng gak tau ibu dirawat... tadinya Neng pengen ke mana gitu malem ini sama Aa berdua doang, pengen manja-manjaan sama Aa, pengen peluk-peluk Aa lagiii...” ucapnya menatapku dengan mata yang berkaca-kaca.

“Hush... jangan gitu ah, kasian Atar. Dia bela-belain nganterin Neng ke Jogja tuh. Berarti dia sayang banget sama Neng, masa Neng mau nyia-nyiain dia yang udah keliatan segitu sayangnya sama Neng?”

Wajahnya memerah mendengar ucapanku yang seperti itu.

“Aa kenapa sih? Atar terus, Atar lagiii...??? Aa cuman mikirin gimana perasaan Atar, gak enak sama Atar, Neng gimana, A? Gak mikirin perasaan Neng juga!?” ucapnya.

“Aa tuh selalu aja ngeduluin perasaan orang lain, Neng gimana? Neng mah selalu dinomorduakan sama Aa, Aa nyadar gak sih, A?”

Aku diam, tak menyangka ia akan berbicara seperti itu. Air matanya sudah terkumpul seperti siap untuk menetes membasahi pipinya.

“Waktu itu, di lampu merah! Neng tau Aa di mobil sama cewek! Neng gak bilang sama teteh, Aa berduaan di mobil!”

“Neng ngejaga biar hubungan kalian baik-baik aja, apalagi sekarang lagi ldr. Neng kira, Neng bisa lebih deket sama Aa pas teteh jauh di sana, Neng kira, Neng bisa gantiin posisinya teteh untuk sementara. Meskipun sikap Neng kayak gini ke Aa juga, Neng gak bakalan ngancurin hubungan Aa sama Teteh. Teteh sama Aa tuh udah jadi sebagian hidup, Neng! Aa gak bakalan ngerti kenapa Neng ngomong kayak gini!”

“Haaahhh... fyuhhh...” aku menghisap rokok dalam-dalam.

“Aku selalu minta waktu ke Aa... tapi Neng tau Aa lebih banyak waktu sama cewek itu! Neng ngerti itu temen kantor Aa, tapi emang gak seluang itu waktu buat Neng, A?”

“Bahkan, pas tadi aja aku minta ketemu, posisi Aa lagi sama cewek itu kan?” sambungnya.

Aku masih diam, mencerna semua ucapannya di otakku. Kulihat ia mulai meneteskan air matanya dan menahan sesak di dadanya dengan sesenggukan.

“Udah, A. Makasih!” ucapnya tetiba setelah menenangkan diri.

Ia pun melangkahkan kaki pergi meninggalkanku. Aku tetap mengikutinya dari belakang, agar tidak menimbulkan kecurigaan pada Atar. Jalanku agak berjarak dengan Dita. Kulihat Atar sudah menunggu di parkiran dan tersenyum ke arahnya. Aku pun memutuskan untuk mendekati mereka, seakan tak terjadi apa-apa sebelumnya dengan Dita.

“Yuk yang...” ajak Dita pada Atar dengan ekspresi wajah yang ceria.

“Iya yang...” jawab Atar.

Aku memandangi mereka dengan tersenyum.

“A, berangkat dulu...” ucap Atar padaku tersenyum.

“Iya... hati-hati di jalannya...” ucapku setelah Atar salim.

Dita yang sudah ada di dalam mobil seperti terlihat baik-baik saja, namun tak menatapku. Aku hanya berintaraksi dengan Atar saja.

“Hati-hati, Neng...” ucapku inisiatif.

“Iya, A.” jawabnya singkat.

Setelah mereka pergi meninggalkan parkiran, aku sedikit termenung dengan ucapan-ucapan Dita barusan. Aku tak mengerti maksudnya ke mana, arahnya ke mana. Aku sampai bingung menerka-nerka dibuatnya. Aku duduk termenung di parkiran sembari menghabiskan sisa rokok. Sebelumnya, tak pernah terbayang sama sekali akan melihat Dita yang seperti itu. Perasaanku campur aduk dan bingung. Ada sedikit perasaan merasa bersalah, namun aku bingung kenapa harus ada perasaan itu. Logikaku tak cukup sampai menerka kejadian itu. Seperti klise.

Bagaimana lagi semesta akan menggiringku menuju alurnya, skenario apa yang telah dipersiapkan untuk hidupku sekarang. Apakah dibalik semua peristiwa yang kujalani sekarang ada tebusan atau semacam dadu yang dilempar dan menampakan hasilnya tanpa bisa diprediksi(?).

(bersambung).
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd