Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENGIKUT ALUR (A SLICE OF LIFE & SEX)

Bidadari pendamping Yas favorit suhu di sini?

  • Inne

  • Dita

  • Ojay


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Bimabet
cuma 1 kata hu ..
mantab
sengaja saya pentengin dari awal smp barusan sls
ditunggu updatenya suhu
 
EKSTRAS PENGIKUT ALUR BAGIAN IV

KOMITMEN DAN TRAGEDI

Perjalanan yang panjang nan melelehkan sedikitnya tak terasa begitu membosankan, kehangatan kami bagai buih-buih di lautan yang senantiasa menyatu kembali dengan air meskipun sempat berjarak.

Perjalanan merupakan momen yang harus tetap dirawat, agar nantinya menjadi kenangan yang menggantung di atap rumah menghiasi keistimewaan karunia dari-Nya.

Perempuan edgy-ku kini telah kembali bersandar di pundakku. Dengan ketenangannya yang ia rindukan, sikap manis dan yang lainnya menyatu sehingga menjadi karakter yang pas bagiku. Sebuah kombinasi sempurna yang bisa kurasakan. Entah berapa kali aku harus mengecupnya, harus menggenggam erat tangannya agar kami selalu menyatu.

“So, what if I never hold you

Or kiss your lips again?

So I never want to leave you

And the memories of us to see I beg don't leave me.”


Sebuah lagu yang kuputar membuat Inne semakin erat memelukku dari samping. Kedua tangannya gemetar, air matanya perlahan menetes. Namun, bibirnya tersenyum merekah bersamaan dengan matanya yang terpejam.

Suasana hati yang haru, dadaku sesak dalam kebahagiaan yang sulit untuk kuungkapkan. Yang bisa kulakukan saat itu hanya menggenggam jemarinya dan mengelusnya. Perlahan wajahnya mendongak melihat wajahku. Tak kuasa menahan haru bahagia, air mataku pun menetes. Perasaan yang tenang, jari yang tertaut, air mata bahagia, hingga ribuan syukur yang tak terucap.

“Aku selalu ingin bersamamu,” ucap Inne memandangku.

“Sampai kelak, kuharap kamu yang selalu jadi tempat pulangku,” balasku.

Karena perasaan yang membuncah dan suasana yang menggebu. Setelah keluar dari jalan tol, kutepikan mobil hanya untuk memeluknya dengan nyaman, dengan tenang, sampai perasaan ini hanyut, lalu jatuh ke dalam sanubarinya.

Tak banyak kata yang terucap, membiarkan rasa haru yang meletup-letup menuntaskan perasaan kami untuk menyatu. Selama 10 menit kami berpelukan dan saling mengusap punggung.

“Yuk jalan lagi yuk, udah-udah,” ucap Inne mengusap dan menepuk-nepuk punggungku.

Aku diam, tak bergeming. Perlahan ia melepaskan pelukannya. Aku masih tertunduk, masih terbuai dengan suasana melankolis, ia mengangkat daguku, menatap mataku dengah senyuman yang indah.

“Udah yaaa, mwachhh…,” ucapnya seraya mencium kening dan mengecup bibirku.

“Masa gangster nangiiisss…,” sambungnya seraya menyeka air mataku.

Aku tersenyum, tanganku menangkap kedua tangannya yang berada di pipiku. Kuraih punggung tangannya sembari menciumnya dengan penuh rasa kasih, cinta, dan hormat.

“Aaaaa ayang udah ah, aku udah tegar nih,” katanya yang berubah menjadi merengek.

“Hahahaha iya-iya udah,” spontan aku tertawa.

“Nih ngerokok dulu nih biar kamunya tenang,” ucapnya menyodorkan bungkus rokok.

Memang benar, untuk menetralkan semuanya rokok menjadi ampuh sebagai alternatif.

--oOo--​

Sekitar pukul 10.00 kami sampai di rumah Ibu, kampung halamanku. Kulihat ekpresi Inne begitu sumringah ketika ia bertemu dengan Ibu, Teh Ola, A Ogoy, Bi Asih. Sifatnya yang cepat akrab dan supel, juga keluargaku yang being welcome to the strangers who close with me. Keluargaku tipe keluarga yang tidak gampang canggung jika bertemu dengan orang baru. Makanya si Cipeng bisa mendapatkan full access ketika di rumahku. Wkwk.

Aku dan Inne langsung menuju rumah ketika mendapat kabar dari Teh Ola bahwa Ibu sudah pulang.

“Hih! Ari rek balik teh lain bebeja! Meh aya keur suguhkeuneun, jaba ti Jogja langsung ka dieu,” ucap Teh Ola setelah diriku salim dan cipika-cipiki padanya.

“Hih! Kalo mau pulang tuh bukannya kasih tau! Biar ada buat jamuannya, apalagi dari Jogja langsung ke sini.”

“Teh…” ucap Inne ramah yang juga ikut salim ke Teh Ola.

“Eh meni jangkuuunggg… Nya geulis deuih, A!” kata Teteh sembari menyambut tangan Inne dan cipika-cipiki juga.

“Eh tinggi banget, cantik lagi, A!”

“Eh! Makasih Teteh, hehe,” jawab Inne.

“Duh, capek ya dari Jogja ke sini kasian, deudeuh aing mah ih dadaekanan geulis-geulis dibabawa ku si Aa, hahaha.”

“Duh, capek ya dari Jogja ke sini kasian, mau-maunya cantik-cantik gini dibawa-bawa sama Iyas, hahaha.”

Aku hanya tertawa saja melihat tingkah Teteh dan tingkah Inne yang pipinya mulai memerah.

“Hehe lumayan, Teh. Eh ini, Teh. Tadi beli di jalan sama Aa,” kata Inne seraya menyerahkan berbagai macam makanan yang tadi sempat mampir ke mini market dan drive-thru ke Md’C (sengaja dibalik wkwk).

“Euleuhhh, repot-repot, harusnya juga Teteh yang nyediain, hehe.”

“Biii… Ini punten, Bi…,” sambung Teteh memanggil Bibi.

Tak lama kemudian Bibi datang yang sedang di dapur.

“Yeeehhh… Acep sugan teh saha aing mah ieuh, sehat kasep?” ucap Bibi seraya meraba-raba badanku.

“Yeeehhh… Acep kirain siapa, sehat tampan?”

“Sehat, Bi. Alhamdulillah,” jawabku yang langsung salim ke Bibi.

“Eeeeleuhhh… Mojang Jogja ieu teh, Cep? Meni jiga model kieu jangkung lenjang,” kata Bibi kepada Inne.

“Eeeeleuhhh… Mojang Jogja ini, Cep? Kayak model gini, tinggi semampai.”

“Iya, ya, Bi. Jangkung lenjang,” timpal Teteh.

“Hehe, Bibi… Makasih, Bi,” jawab Inne yang juga salim kepada Bibi.

“Aduh duh duh,” ucapku kaget yang tiba-tiba Inne mencubit (no looking cubit) pinggangku karena malu.

“A! Coba gera A, ngarendeng jeung si Neng, hahahaha,” ucap Teteh.

“A! Coba berdiri sampingan sama si Neng, hahahaha.”

Aku dan Inne hanya tertawa saja dengan bertatapan.

Teteh dan Bibi tertawa bersamaan melihatnya. Kemudian Inne digandeng oleh Teteh untuk menuju ke kamar Ibu. Sedangkan aku menyusul karena ngobrol sebentar dengan Bibi.

Ketika aku masuk ke kamar Ibu. Kulihat Ibu sedang duduk di tepi kasur, Inne duduk bersimpuh, Teteh duduk di tepi kasur seraya memeluk pundak Ibu.

“Geuliiisss… Jauh-jauh dari Jogja atuh, alhamdulillah Ibu udah sehat sekarang mah, Neng. Udah bisa ketawa-ketawa lagi…,” ucap Ibu seraya mengelus pundak Inne.

“Kaseeeppp… Kumaha sehat bageur? Meni maksakeun ai Iyas atuh bisi ngaganggu padamelan suuu…,” ucap Ibu padaku.

“Tampaaannnn… Gimana sehat? Kenapa maksain Iyas nanti ngeganggu kerjaan.”

Aku langsung menghampirinya untuk salim, memeluknya, menciumi pipinya dan keningnya. Kulihat raut wajah Ibu terpancar senyuman bahagia. Kerutan di wajahnya seakan ikut tersenyum menyambut kedatanganku. Aku kemudian mengambil posisi yang sama dengan Inne. Duduk bersimpuh di hadapan Inne.

“Iyas sehat, Bu. Alhamdulillah. Kaleresan Iyas damel nuju libur, ieu ge Inne nuju libur sami, waktosna pareng, Bu. Tos waktosna sosonoan ngariung mungpulung…,” jawabku pada Ibu seraya menyenderkan kepalaku di lutut Ibu.

Inne melirik ke arahku tersenyum, Ibu mengelus-ngelus kepalaku, kemudian Ibu melirik Inne, tersenyum padanya seraya tangannya melambai memberikan kode agar Inne mendekat. Sedangkan Teteh yang duduk di tepi kasur bersama Ibu, menyenderkan kepalanya di bahu Ibu.

Tangan kiri Ibu mengelus kepalaku, tangan kananya mengelus kepala Inne. Tangan teteh meraih tanganku juga tangan Inne.

“Anak-anak Ibu… Hiduplah yang berbahagia, kejarlah keinginan kalian. Jangan lupa bersyukur, do’a Ibu pasti selalu menyertai kalian,” ucap Ibu dengan nada yang tegas nan tegar.

Kemudian Ibu melanjutkannya dengan do’a, kami mengaamiinkan. Tak lama dari itu, kulihat Inne sesenggukan seperti menahan tangis. Ibu yang menyadari itu semakin kencang mengelus-ngelus bahu dan kepala Inne. Teteh turun dari tepi kasur dan mengelus kedua bahu Inne.

“Neng… Makasiiihhh… Udah mau membimbing Yassar, mau menemaninya saat susah, seneng, bareng-bareng. Ibu do’akan yang terbaik untuk Neng.” ucap Ibu kepada Inne.

“Ibuuu… Teteeehhh…” ucap Inne dalam tangisnya.

“Hmmm???” jawab Ibu dan Teteh.

“Mau peluk, boleh?” tanya Inne.

“Sini sayang peluk,” jawab Teteh yang mendudukan Inne ke tepi kasur sehingga Teh Ola dan Inne memeluk Ibu yang berada di tengah mereka.

Hatiku terenyuh, akupun memeluk kaki Ibu dari bawah. Begitu sangat terasa kasih sayang Ibu kepada kami. Setiap belaiannya seakan memberikan transfer energi yang benar-benar menyuntik kehampaan batin. Tak lama, Bi Asih pun bergabung bersama kami memeluk Ibu.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd