Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENGIKUT ALUR (A SLICE OF LIFE & SEX)

Bidadari pendamping Yas favorit suhu di sini?

  • Inne

  • Dita

  • Ojay


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
PENGIKUT ALUR BAGIAN III: MERAJUT LABIRIN

1

Tak terasa sudah 6 bulan lamanya tinggal di kota orang. Mulai mendapatkan kenalan baru dan teman baru, mulai mengetahui daerah, hingga tak sadar perlahan-lahan mulai terbawa aksen gaya bicaranya.

Selama itu banyak sekali hal-hal yang telah kulalui, suka duka, tawa, bahagia, hingga luka dan kecewa kurasakan di kota ini. Aku syukuri semuanya selagi kaki ini masih kuat menopang badan.

Akhirnya sedikit-sedikit bisa mengirimi uang hasil kerjaku pada keluarga di rumah. Rasa bangga dan nikmat begitu luar biasa saat dengan pertama kalinya aku mengirimi ibu uang dengan gaji pertamaku. Sangat nikmat ketika bisa membantu teman-teman meringankan bebannya.

Saat itu aku mulai disibukkan dengan pekerjaan kantor yang menumpuk. Pak Sofwan menginstruksikanku agar membantu bagian staff marketing, hal itu membuatku sering lembur dan menginap di kantor.

Sedangkan Rini, naik jabatan menjadi supervisor karena kinerjanya yang apik. Dan ia telah tunangan dengan Rey, kekasihnya. Hanya kerabat dan kedua belah pihak dari keluarganya saja yang menghadiri. Sebenarnya aku pun turut diundang untuk menghadirinya, namun Rini mengetahui kesibukanku dan ia memakluminya.

Cipeng mulai mengembangkan usaha thrifting dan aku menyimpan sedikit uang padanya ketika ia mengunjungiku untuk mengantarkan motor. Waktu itu Cipeng mengunjungiku dengan Aldi. Cipeng membawa motorku dan Aldi membawa motornya yang sama denganku.

Satu bulan yang lalu aku atur jadwal dengan Cipeng agar bisa bertemu.

“Hari apa jadinya, Peng?” tanyaku.

“Sabtu, Yas. Aku sama Aldi udah janjian.”

“Iya ajak juga Aldi, Peng. Aku pengen ketemu.”

“Siap, Yas. Nanti dikabari lagi, aku masih kerja, haha,” ucap Cipeng seraya menutup telepon.

Aku tersenyum di meja kerjaku tak sabar ingin segera bertemu dengan Cipeng dan Aldi. Seketika pikiranku melayang jauh ke masa lalu ketika kami; Aku, Aldi, Cipeng, Ojak, dan Eko sedang berkumpul di taman kota sembari menikmati anggur kolesom bersama-sama. Kami tertawa sangat pecah kala itu menembus keheningan malam yang sepi dan mulai melantur menertawakan tingkah kami masing-masing. Ingin rasanya ku ulangi moment itu.

“Yas, ngopi yok. Sambil nyebat di bawah,” ajak Mas Reno yang menyadarkanku dalam lamunan.

“Siap, Mas.”

Aku segera bangkit dari kursiku dan berjalan mengikuti Mas Reno menuju tempat yang disediakan untuk khusus merokok. Mas Reno seniorku. Kami cukup dekat setelah tahu kami sama-sama fans Manchester United. Ia masih lajang, sudah mapan bila melihat gaya hidupnya yang mewah. Menurut informasi yang beredar di kantor Mas Reno adalah anak dari pengusaha yang sekarang memegang sebagian saham salah satu pabrik rokok terbesar di Indonesia. Meski begitu ia tetap bekerja dan tidak besantai-santai menikmati kekayaan orang tuanya. Itu yang ku salut dari Mas Reno.

“Gimana, Yas. Kerjaanmu?” tanyanya.

“Cukup padat, Mas. Belakangan ini.”

“Pak Sofwan percaya sama kamu, Yas.”

Ucapnya yang mengetahui aku ditarik oleh Pak Sofwan untuk membantu marketing.

“Iya, Mas,” jawabku sopan.

“Setidaknya gajimu double,” katanya seraya tertawa dan menyeruput kopi.

Kami berbincang cukup panjang, sampai akhirnya ia bercerita telah mengalami dua kali kegagalan dalam menjalani hubungan yang akan dibawa ke tahap serius. Pasangannya selalu selingkuh, dan memanfaatkan uang Mas Reno saja. Baginya uang bisa dicari, namun kepercayaan susah dikembalikan.

Aku setuju dengan perkataan terakhir Mas Reno. Kepercayaan sangat mahal harganya, tak bisa dibeli dengan uang bagiku.

“Semoga cepat menemukan yang cocok, Mas,” ucapku.

“Aku ga mau dikasihani, Yas,” jawabnya.

“Aku hanya ingin ditemani, dan diskusi yang mengalir dibawah tegukan alkohol,” lanjutnya sembari tertawa.

Memang ia sering memintaku untuk menemaninya minum, entah itu di bar, atau di club yang berujung pembungkusan. Aku tak melarangnya, itu haknya. Aku yakin Mas Reno mengetahui apa yang seharusnya ia lakukan. Seringkali ia menawariku wanita-wanita penghibur, namun aku selalu menolaknya dengan halus. Aku menghormati wanita itu sebagai manusia dan tak ingin bercinta hanya karena hal komersial.

2

Waktu yang ditunggu telah tiba, aku masih bermalas-malasan di kamar kos karena tidak ada aktivitas hari ini. Cipeng dan Aldi sedang dalam perjalanan menuju ke tempatku, terakhir mengabari mereka berangkat jam 3 pagi. Tak sabar ingin segera bertemu.

Aku memutuskan untuk kembali tidur setelah seminggu belakangan ini tidurku tidak cukup. Pola tidurku acak-acakan gegara sering lembur di kantor. Semuanya kujalani karena perlahan mulai kunikmati kesibukan baru itu. Seringkali aku diingatkan oleh rekan-rekan kerja di kantor agar memperhatikan kesehatan. Dalam seminggu biasanya aku mengambil 4 hari lembur, sisanya nine to five. Untungnya aku tak merasakan gejala apa-apa pada tubuhku, selain sesekali merasakan pusing karena kurang tidur.

Pukul 11 siang aku terbangun karena perutku mulai keroncongan. Segera kulangkahkan kaki terlebih dahulu ke kamar mandi untuk mencuci muka dan sikat gigi. Tadinya hendak memesan makanan melalui aplikasi, namun ku urungkan, rasanya berjalan kaki ke luar kosan lebih asyik.

Kupakai jaket jeans hitam robek-robek tanpa mengancingkannya, kuraih slingbag yang menggantung di hanger. Kumasukan ponsel dan sebungkus rokok yang tinggal menyisakan beberapa batang lagi. Setelah membukakan pintu, aku baru tersadar masih menggunakan celana kolor pendek. Tak kuhiraukan, rasanya lebih nyaman begini pikirku daripada harus menggantinya terlebih dahulu menggunakan celana panjang.

Kuturuni tangga menuju lantai pertama, di sana terdapat lahan untuk parkir. Kudapati di kursi tamu ada Pak Ade sedang memainkan ponselnya, pemilik kos ini.

“Pak,” tergurku ramah.

“Eh, Yas. Libur tah?” tanyanya.

“Iya, Pak. Kan hari Minggu hehe.”

“Ngontrol kosan, Pak?” lanjutku.

“Iya, Yas. Biasa ada yang ingin ngekos di sini mahasiswa baru.”

“Oalah, mahasiswa x bukan, Pak?” tanyaku.

“Betul, orang Bandung dia, Yas. Cewek, lagi diantar orang tuanya ke sini.”

“Oh gitu, Pak. Saya keluar dulu, Pak. Cari debu hehe,” ucapku.

Pak Ade memang mengetahui bahwa aku berasal dari Bandung. Sebelumnya aku sering bertemu dengan Pak Ade di kantor, kebetulan ia adalah klien Rini. Aku mengetahui Pak Ade memiliki kos-kosan yang nyaman ini ketika kami berbincang di ruang tunggu tamu saat menunggu Rini yang saat itu belum masuk kantor.

Kulangkahkan kaki menuju warteg, setelah berjalan dari kosan sekitar 100 meter. Kurasakan cuaca hari itu cukup terik, banyak orang-orang bersepeda dan jalan santai pada saat itu, memanfaatkan weekendnya.

Ketika sedang menunggu pesanan makanan, ponselku berbunyi. Kulihat Inne menelepon.

“Halo, Yas? Di mana?” tanyanya.

“Lagi makan di deket kosan, kenapa, In?”

“Aku kesana ya, sekalian pengen makan juga hehe.”

“Ya udah sini, di warteg deket taman x sebelah SMPN 2,” jawabku.

“Oh iya tau, aku kesana.”

Inne saat itu sedang berada di dokter mata, konsultasi kacamata yang akan dipakai olehnya. Aku tak tahu ia mempunyai keluhan di matanya. Karena sudah lama tidak berkabar dengannya. Ia sibuk mengajar dan sibuk menjadi wali kelas. Aku sibuk dengan perkerjaan kantor.

Tak lama kemudian kulihat Inne memarkirkan motornya di depan warteg dan masuk menghampiriku. Saat itu Inne langsung memakai kacamata minusnya dengan model yang kekinian. Framenya tipis dan bentuknya oval warna silver. Seperti biasanya ia mengenakan outfit yang cukup edgy, kaos band Queen oversize dan manset hitam yang selaras dengan warna kaos dan kerudung segi empatnya.

Jeans yang dipakainya warna biru, bawahnya lebar dan bagian kedua dengkulnya robek agak lebar namun dilapisi oleh kain yang senada dari bagian dalam. Sepatu converse klasik ia kenakan untuk menutupi kakinya. Itu mengingatkanku pada Kurt Cobain yang sering mengenakan sepatu model seperti itu.

Aku selalu suka dari cara berpakain Inne yang satu selera denganku.

“Jangan ngeliatin gitu!” ucapnya melotot dengan tersenyum.

“Hahaha pangling,” kataku dengan tertawa.

Ia melemparku dengan tisu yang ada di atas meja.

“Aku bilangin ah ke si ibunya kamu ngacak-ngacak tisu,” kataku, yang menyadari ibu warteg berjalan ke arahku mengantarkan makanan pesananku.

“Ih jang…”

“Ini, Mas. Mangga. Minumnya air anget atau dingin, Mas?” tanya Ibu itu sembari melirik ke arah Inne setelah berbicara padaku.

“Air anget aja, Bu,” jawabku setengah tertawa karena melihat Inne yang menundukan wajahnya di atas meja karena malu.

Inne tertawa pecah setelah Ibu warteg berlalu meninggalkan kami berdua.

“Awas ya kamu!” ucapnya padaku dengan menahan tawa.

Aku tertawa saja menyatap makananku.

Inne memesan makanannya ke depan menuju Ibu warteg.

“Buuu, beliii,” ucapnya dengan nada seperti anak kecil.

“Monggo, Nduk. Mau sama apa?” kata Ibu warteg dengan tersenyum karena tingkah Inne.

Aku yang memperhatikannya tertawa dan sedikit tersedak, Inne menolah ke arahku.

“Syukuriiin,” ucapnya hampir tak bersuara.

Kami menikmati makan siang di warteg itu dengan berbincang-bincang. Ternyata Inne matanya minus sedari dulu. Hanya saja ia baru memutuskan untuk memakai kacamata sekarang setelah akhir-akhir ini matanya sering berair.

Tak terasa kami berbincang satu jam lebih, Inne banyak bercerita dan banyak menanyai kerjaanku. Ia mengingatkanku untuk lebih fokus ke kesehatan karena ia telah mengetahui sedari awal bahwa aku sering lembur di kantor.

“Udah ini mau kemana lagi, Yas?” tanyanya.

“Ya ke kosan, mau kemana lagi emang?” tanyaku balik.

“Kesana yu, udah lama aku ga jenguk kosan kamu haha.”

“Ga ada lagi jadwal?” tanyaku.

“Engga.”

Setelah sepakat ke indekosku, kami membayar makanan pesanan masing-masing.

“Yas, bayarin hehe,” katanya nyengir.

“Enak aja.”

“Ihhh.”

Ia mencubit pinggangku, aku tertawa.

“Jadi berapa, Bu?” tanyaku.

“Apa aja, Mas?”

“Sama yang Mbak ini,” kataku sembari menunjuk Inne dengan mataku.

Inne tertawa melihatku seraya mencubit lenganku tanpa melihatnya.

“Semuanya jadi x, Mas.”

Setelah selesai membayar, aku langsung menuju ke mini market di seberang jalan untuk membeli rokok dan beberapa cemilan untuk di kosan.

“Eh, mau kemana?” tanyanya.

“Mau beli dulu.”

“Beli apa?” tanyanya.

“Beli kamu, boleh?” kataku tertawa.

“Boleeeh…,” ia juga tertawa yang lalu beranjak dari motornya yang di parkir. Dan menghampiriku.

Kami menyebrangi jalan yang cukup padat, Inne menggandengkan tangannya di lenganku hingga sikut jahanamku merasakan benda kenyal miliknya😁. Disengaja atau tidak, seteleh menyebrangi jalan ia tak melepaskan gandengan tangannya di lenganku. Aku diam. Bahkan setelah hendak membukakan pintu mini market ia menarik tanganku ke samping agar melihat bayangan kami di kaca.

“Yas, Yas, kamu di mana? Kok ga keliatan,” ucapnya meledekku yang lebih pendek darinya. (Emang kadang becandanya ga pake akhlak teteh edgy satu ini😌)

“Ini di sini, keliatan kan?” jawabku, sembari menjinjitkan kaki hingga sejajar dengannya.

Ia tertawa membungkuk yang membuat kepalanya bersandar di dadaku. Tak henti-hentinya ia tertawa karena menyadariku menjinjitkan kaki agar terlihat sama tinggi dengannya.

Kami pun memasuki mini market, kali ini ia melepaskan gandengannya. Ia berjalan ke arah pengharum ruangan, aku tak tahu maksudnya. Namun aku tak bertanya, membiarkannya.

Sedangkan aku langsung menuju kasir untuk membeli rokok dan memilih beberapa cemilan di dekatku saja, tak lama ia menghampiriku yang membawa dua pengharum ruangan, beberapa cemilan dan minuman.

“Jadi berapa, Mbak semuanya?” tanya Inne.

“Sama rokok dan ini juga, Mbak?” tanya kasirnya.

“Iya,” ia mengiyakan seraya mengambil cemilan yang kupilih di ranjang belanjaku.

Aku menatapnya, ia menoleh tapi raut mukanya menunjukan tak ingin diprotes. Terlihat dari sikapnya yang langsung memberikan beberapa lembaran uang berwarna biru ke kasir setelah muncul bill pembayarannya.

Kami pun menyebrangi jalan lagi menuju motor yang masih terparkir di depan warteg. Kali ini aku yang dibonceng dan ia membawa motor. Setelah sebelumnya ia mengatakan lupa harus di gang ke berapa untuk belok ke kosanku.

“Nih, aku lupa jalannya,” katanya seraya menyerahkan kunci motor.

“Kalo lupa harus nyetir biar inget,” kataku.

“Oke, siapa takut, jangan nyesel dibonceng pembalap,” katanya tengadah.

Akupun tertawa.

“Buruan naik, tak tinggal nih,” protesnya.

“Ninggalin ke mana? Kan ga tau jalannya,” jawabku.

“Iiihhh, cepet!” katanya tertawa kesal.

3

Setelah sampai di kosanku ternyata gerbang telah terbuka, dan Inne langsung memasukan motor memarkirkannya.

Rupanya di kursi tamu terlihat Pak Ade sedang berbincang dengan penghuni kos baru yang tadi sempat dibicarakan. Di sana terdapat 4 orang, 2 laki-laki dan 2 perempuan. Kutebak yang sedang berbincang dengan Pak Ade adalah ayah dari gadis berkerudung hitam berwajah khas Sunda yang sedang menyender ke bahu ibunya. Sedangkan lelaki yang satunya, aku tak tahu.

“Nah itu, Mas Yassar juga orang Bandung,” katanya pada mereka seraya memandang ke arahku.

Aku dan Inne kaget ketika mendengar namaku disebut dalam perbincangannya. Aku hanya menganggukan kepala pada mereka. Inne melemparkan senyum.

Untuk ke kamarku yang ada di lantai dua otomatis aku dan Inne menuju ke arah Pak Ade yang sedang berbincang di kursi tamu. Pak Ade pun memanggilku dan aku menghampirinya. Inne menunggu di tangga menyimak obrolan.

“Kamu Bandungnya di X kan, Yas?” tanyanya memastikan.

“Iya, Pak. Betul.”

“Tuh Mas Yassar juga dari X, sama berarti yah, Pak?” ucap Pak Ade kepada Pak Yusuf.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Setelah berbincang agak lama dengan mereka rupanya aku dan Dita (penghuni kos baru) adalah tetangga desa. Dita kuliah di Universitas X, kebetulan itu kampusnya Inne dulu. Ketika mereka menanyakan informasi tentang kampus tersebut, aku langsung memanggil Inne.

“In, sini,” ucapku.

Inne menghampiriku seraya tersenyum pada mereka dan bersalaman. Kemudian langsung berbincang mengenai kampus tersebut, mulai dari sistem pembelajarannya, program beasiswa, sampai lingkungan kampusnya. Kesupelan Inne terlihat di sana sehingga membuat suasana hangat.

Dita kuliah di fakultas yang sama dengan Inne, sehingga mereka semakin membaur dalam perbincangan. Satu hal yang menarik; mereka cukup terkejut ketika mengetahui Inne adalah seorang pengajar matematika di salah satu SMA unggulan di kota ini. Aku mengira karena cara berpakaian Inne yang tidak memperlihatkan seorang pengajar hahaha🤣.

Aku dan Inne saling pandang dan tertawa ketika mereka menganggap Inne sebagai mahasiswa.

“Mahasiswa berkarat,” ucapku pada mereka.

Inne hanya tertawa seraya tangannya mencubit ke arah pinggangku tanpa menoleh. Aku yakin mereka melihatnya karena kemudian mereka pun tertawa.

Akhirnya setelah perbincangan yang cukup panjang, aku dan Inne izin untuk menuju kamar kosku setelah sebelumnya orang tua Dita meminta nomor WhatsAppku dan Inne untuk menitipkan anak bungsunya. Aku tak keberatan dan memberikannya, begitupun dengan Inne.

Inne merebahkan tubuhnya di kasurku setelah ia merapikannya, dua pengharum ruangan yang dibelinya di mini market tadi digantungkan di ventilasi udara dan di jendela. Kami membahas kembali perbincangan di bawah sampai tertawa terpingkal-pingkal karena menurut kami itu lucu.

Dita yang ternyata adalah tetangga desaku dan Inne yang dikira masih mahasiswa padahal ia sudah 26 tahun. Awalnya aku menganggap usia Inne dibawahku atau paling tidak seumuran denganku, namun akhirnya Inne memperlihatkan KTP-nya dan aku percaya saat itu.

Inne sangat tidak terima ketika mengetahui bahwa aku lebih muda dua tahun darinya. Ia kesal karena aku memanggilnya dengan sebutan “tante” secara berulang-ulang dengan sengaja. Itu membuatnya frustasi dan memilih untuk tidur dari pada lelah meladeni ledekanku.

Kulihat Inne terlelap, kuperhatikan wajah cantiknya yang indah. Bagaimana tidak, perempuan tinggi semampay bening, hidungnya mancung. Alisnya tebal sehingga ia jarang menggunakan pensil alis untuk mempertegas garis alisnya. Satu lagi yang baru kutahu, ternyata Inne memiliki kumis tipis saat kuperhatikan terdapat bulir keringat di atas bibirnya. Dibalik bibir yang sensualnya terdapat gigi gingsul yang menarik untuk dipandang.
 
“Hayolooo, ketauan ngeliatin,” ucapnya yang tiba-tiba membuka mata.

Aku yang kaget tak punya persiapan untuk mencari alasan.

“Ehhh…, ehhh…, engga itu tadi ada nyamuk pengen perosotan di idung kamu,” jawabku ngasal.

“Hahaha mana adaaa,” balasnya sembari mencubit betisku.

“Adaaa…, da manusia mah ada-ada aja,” kataku tak mau kalah.

Inne tersenyum lalu duduk sila di atas kasur meminum minuman yang dibelinya di mini market. Aku hendak membukakan jendela karena ingin merokok.

“Kamu mah! Aku sengaja udah beli pengharum ruangan malah ngerokok!” ucap Inne mengernyitkan dahi sembari menatapku.

“Ya atuda pengen ngerokok asem,” jawabku tak memperdulikannya.

“Nih minum, biar ga ngeroko terus,” Inne memberiku minuman dingin.

“Ga mau ah, pengennya ngeroko.”

“Ngeroko mulu, ga mau aku gitu?”

“Mau, tapi haram.”

“Ih! Kok?”

“Kan bukan muhrim.”

Kemudian ia menengguk minumannya lagi, ia sedang berusaha mencari sesuatu di tulisan botol minumannya.

“Nih liat, aku udah minum. Ini ada cap halalnya, jadi akunya juga udah halal,” Inne berbicara seperti menunjukkan bukti.

Aku tertawa melihatnya, ia pun akhirnya tertawa juga karena tertular.

“Ih malah ketawa! Coba di rokok kamu ada cap halalnya ngga?” tanyanya.

“Adaaa…,” kataku tak berusaha mencarinya.

“Manaaa ngga ada,” ucapnya seraya meraih bungkus rokok dan memcari label halalnya.

“Adaaa, tapi sengaja ga di taro di bungkusnya.”

“Kenapa?”

“Riya,” ucapku polos.

Inne kembali tertawa tangan kirinya menutupi mulutnya sedangkan tangn kanannya memukul-mukul dadaku. (Biasa ciri khas ciwi-ciwi🤣)

Iseng kutarik pinggangnya agar Inne jatuh ke pelukanku. Rupanya berhasil, tak ada penolakan dari Inne, malah kini ia menyenderkan kepalanya di dadaku sembari tangannya memeluk pinggangku.

Jantungku berdegup cukup kencang, karena tak menyangka akan seperti ini. Aku yang memulai tapi aku yang degdegan hahaha🤣. Kuyakin Inne menyadari detak jantungku karena pasti terdengar oleh kupingnya yang menempel di dadaku.

“Kenapa deg-degan?” tanyanya tanpa menatapku.

“Bersyukur,” jawabku.

“Hah?”

“Iya jantungku masih berdebar saat dipeluk bidadari,” ucapku nyengir kayak kuda.

“Emmm, diajarin siapa hah?” tanyanya kembali duduk sila menghadapku dengan wajah guru matematika killernya.

“Udah berani gombal sekarang mah,” tambahnya seraya mencolek hidungku.

Kini ia duduk menegakan badannya, sehingga aku agak melihat ke atas memandangnya.

“Ga usah ditegakin juga, ngapaiiin?” kataku padanya.

“Hahaha, tumbuh itu ke atas, Mas,” ucapnya tertawa dengan puas.

“Anjir itu mulut,” balasku.

Aku pegang tangannya agar lebih dekat, ingin balas dendam aku gelitikin badannya. Tangan Inne pun berusaha menepis tanganku sembari tertawa-tawa.

“Hahaha ihhh…, geli, Yas, geliii…, hahaha,”

“Iyaaasss udaahhh…, geliii tauuu…, udah ah ampun-ampun,” ucapnya menyerah.

Akhirnya kami ambruk berdua ke atas kasur, Inne di sebelahku. Kami sama-sama terlentang.

“Geli ih, udah ah aku ga suka di gelitikin, jahat kamu mah,” ucap Inne.

“Ya lagian kamu mulai duluan,” balasku.

“Hehehe, iya deh iya, kan udah ampun tadiii.”

Ia kembali merapatkan badannya padaku, aku inisiatif langsung memeluknya. Ia tak protes, malah menyambut pelukanku. Kami saling diam tak bicara, hanya pelukan kami yang mewakili komunikasinya.

Kuberanikan diri untuk mengecup keningnya dengan lembut, kulihat Inne memjamkan matanya sembari tersenyum dan menarik nafas dalam-dalam saat bibirku menyentuh keningnya yang lembut.

Tangan Inne memegangi pipiku, mengelusnya dengan lembut. Aku menopang badan dengan sikut sehingga posisi kepalaku berada di atas Inne yang masih terlentang. Mata kami saling berpandangan, tak sepatah kata pun kami berucap. Aku penasaran berusaha untuk memancingnya hehehe😁.

“Ih, ngapain liatin mulu, maluuu,” ucapnya seraya menutupi mukanya dengan tanganku yang diraihnya.

“Pengen aja manjain mata liat manusia cantik bat,” ucapku dengan tersenyum.

“Mulaiiiii…,” jawabnya sembari membalikan telapak tanganku yang menutupi mukanya. Kemudian “Cuppp…,” Inne mencium punggung tanganku tanpa menatapku.

Hatiku bersorak, akhirnya Inne memberi sinyal duluan. Tak sungkan aku kecup kembali keningnya. Namun sengaja aku tak langsung mengarahkan bibirku ke keningnya. Aku sejajarkan dulu dengan wajahnya. Mata Inne fokus melihat bibirku, bibirnya terbuka dan perlahan mengikuti arah bibirku yang bergerak ke atas mengecup keningnya.

“Iiihhhh…,” ucap Inne seraya mencubit pinggangku.

“Apaaa ih?” jawabku dengan sedikit tawa.

“Ga!” ucapnya dibuat marah, namun kelihatan ia menahan tertawa, sehingga ekspresinya jadi lucu.

Aku yang melihatnya menjadi tertawa dan mencubit pipinya lembut dan memainkannya, sehingga bibirnya terbuka karena pipinya aku tekan duaduanya. Melihat bibirnya yang terbuka aku dekatkan bibirku untuk melumatnya. Inne diam tak bergeming. Aku lepaskan dan menatapnya. Ia tersenyum malu menutupi wajahnya dengan tangan.

Aku ciumi tangan yang menutupi wajahnya, perlahan tangannya terbuka dan memegang pundakku. Tatapan Inne mulai sayu, seperti tak tahan lagi telah dipermainkan olehku. Tak banyak basa-basi aku lumat bibir Inne yang sensual itu.

“Mmmhhhhh…,” lenguhan Inne mulai sayup-sayup terdengar.

Kuhisap bibir atas dan bawahnya secara bergantian. Inne pun mulai memagut bibirku, matanya terpejam rapat menikmati sensasi persilatan lidah.

Kumasukan lidahku ke mulutnya, Inne menyambutnya dan langsung membelit lidahku dengan lidahnya. Cukup lama mulut kami saling memagut. Hingga akhirnya kami berdua terengah-engah kehabisan nafas.

“Huuuhhhh…,” Inne menarik nafas dalam-dalam.

“Abis olahraga, Mbak?” tanyaku menatapnya.

Ia hanya mencubit lenganku dengan tersenyum, dan kembali memagut bibirku. Kali ini Inne yang lebih mendominasi pergumulan bibir. Kepala Inne berada di atas, sedangkan tubuh kami masih bersebalahan. Ia menghisap bibirku seraya tangan kirinya memegangi pipi kananku. Kulihat paha Inne mulai blingsatan, ia mengatup-ngatupkan pahanya. Merapatkan dan merenggangkannya berkali-kali.

Mengetahui itu, aku sosor lehernya dan menghisapnya perlahan.

“Aahhhh…, Yaaasss…,” ucap Inne dengan suara parau serta dahi yang mengernyit.

Kutelusuri inci demi inci lehernya yang bening nan jenjang. Wangi badannya membuatku semakin bernafsu. Hilang sudah pertahananku melihat reaksi Inne yang sungguh mempesona. Kini jemari Inne meremas dan menjambak rambutku pelan. Inne tak henti-hentinya mendesah dan berdesis saat lidahku menyapu tengkuknya.

“Merahin,” ucap Inne seraya mengecup kepalaku.

Aku tak menjawabnya, namun langsung kuturuti keinginannya. Tanganku menyingkapkan jilbab segi empatnya yang masih terpasang rapih.

“Eemmhhhh…, Ahhhhh…,” Inne merespons saat kuhisap lehernya meninggalkan noda merah.

Tanganku secara otomatis membimbing Inne agar menindihku. Kakinya diangkat perlahan dan ia mulai memelukku dari atas menikmati sapuan lidahku di lehernya. Dengan iseng kuangkat pinggulku agar batangku yang sudah mengeras mengenai vaginanya yang masih terbungkus celananya. (FYI: Inne memakai jeans yang bahannya tipis).

Sontak Inne mengangkat pinggulnya kaget dan semakin menjadi-jadi desahannya.

“Aaahhhhh…, Yaaasss, geliii…,” ucapnya yang tak berani menekan pinggulku yang tetap berusaha menempelkan batangku ke vaginanya yang masih terbungkus celana.

Inne kemudian menarik kepalanya, dan mulai menyambar lagi bibirku. Ia semakin agresif melumat bibirku hingga ludahnya mengumpul di tepi bibirnya. Tak kuasa melihatnya aku balas melumatnya tak kalah bernafsu.

Di saat seperti itu, sengaja pinggulku berhenti untuk menyentuh vaginanya dengan batangku. Bagai kehilangan sumber kenikmatan, pinggul Inne secara tak sadar mulai bergerak-gerak sendiri ingin mendapatkan kenikmatan yang hilang. Pinggulnya menekan-nekan batangku, kadang Inne memaju mundurkan pinggulnya sembari tetap menghisap bibirku.

Situasi yang seperti aku gunakan untuk meraih payudaranya, tanganku yang sedari tadi memegang pinggulnya perlahan bergerak ke gundukan kenyal itu dan meremasnya dari pelan hingga keras.

“Aaaahhhhh…, mhhhh…, mmmhhh, ahhhh…,” Inne melepaskan pagutannya, mendesah menikmati payudaranya yang sedang kumainkan. Inne tak berani membuka matanya untuk menatapku. Kurasa ia malu namun tak rela kalau kenikmatan yang sedang dirasakannya hilang.

Perlahan kusingkapkan kaos Inne ke atas, awalnya ia menahan tanganku sembari menggelengkan kepala namun tetap pinggulnya bergerak menggesakan vaginanya ke batangku yang masih sama-sama berpakaian lengkap.

Setelah beberapa kali mencoba akhirnya Inne pasrah kaosnya disingkapkan olehku. Kulihat perutnya yang rata dan mulus. Yang lebih kaget ternyata payudara Inne lebih besar dari yang kubayangkan. Kelak kutahu ukuran payudaranya 32B saat mengantar berbelanja dengannya. Belahan dadanya terlihat begitu jelas. Kelihatannya jarang dijamah badan dan payudaranya.

“Ih jangan diliatiiin gituuu…,” ucapnya dengan manja, yang kemudian aku langsung menyosor ke payudaranya. Kubalikan badan Inne, sehingga ia sekarang terlentang. Inne terlihat pasrah menanti serangan kenikmatan yang akan kuberikan. Aku menciumi belahan payudaranya yang memyembul dan menggesek-geseknya dengan hidungku. Inne kembali memejamkan matanya dan mengigit bibirnya menahan desahnya. Tangannya meremas rambutku. Kuarahkan kepalaku ke pusarnya, gila ini body mulus banget sejenak kukagumi badan Inne yang bening bersih. Kukecup pusarnya seraya mendengusnya mencium aroma badannya yang memabukan birahi.

Perlahan kujilati sekitar pusarnya, Inne melenguh “Aaahhhhhh…,” seraya menekuk kedua kakinya. Kujelajahi setiap inci perutnya, kuendus, jilat, yang semakin membuat Inne penasaran. Hingga akhirnya kusingkapkan bra Inne. Inne menahan tanganku seraya menatap mataku. Aku menatapnya balik sembari mengecup keningnya. Ia balik mencium pipi kanan dan kiriku. Ketika Inne mencium pipiku. Tanganku yang jahanam sudah menyusup ke balik branya dan merasakan daging empuk miliknya.

Mendapatkan serangan tiba-tiba Inne mendesah sembari menutupi mulutnya sendiri dengan tangan. Sengaja jariku tak langsung menyentuh putingnya. Jariku bermain di sekitar areolanya dan meremasnya bergantian. Bibirku menyumpal bibir Inne yang desahannya semakin tak terkontrol. Ia langsung memagut bibirku dalam-dalam. Lidahnya menerobos masuk ke dalam mulutku mencari-cari pasangannya untuk saling berkait. Inne semakin gusar karena putingnya tak kunjung ku sentuh, hingga akhirnya ia dengan sendiri membuka kaitan bra dibelakang punggungnya, tiba-tiba branya longgar. Aku yang menyadari itu langsung menyapu putingnya yang sudah tegak berwarna merah. Aku caplok putingnya yang sebelah kiri, sedangkan putingya yang kan kumainkan dengan jariku memilin-milin dan menjepitnya dengan telunjuk dan jempolku.

Inne semakin tak terkendali, pinggulnya bergerak-gerak. Kadang Inne merapatkan kedua pahanya kemudian merenggangkannya lagi. Aku tahu vagina Inne sudah terasa gatal, atau mungkin sudah becek, karena belum kusentuh, dan tak akan kusentuh sebelum ia menginginkannya terlebih dahulu.

Posisiku disamping Inne selama menghisap kedua payudaranya. Hingga akhirnya Inne menarik kedua tanganku untuk menindihnya. Tatapannya sayu, wajah Inne semakin menggoda ketika dilanda birahi berat. Tatapan Inne seolah berbicara kepadaku bahwa aku harus menuruti kemauannya.

Dengan cepat kini posisiku sudah berada di atas Inne dan melanjutkan menikmati bibir dan payudaranya yang kenyal dan bulat. Pinggul Inne mulai bergerak-gerak lagi menuju batangku. Kutekan pinggulku ke bawah, Inne kelojotan tubuhnya bergetar pelan. Kuhentikan gerakan pinggulku dan kulepaskan hisapanku di payudaranya. Kuangkat wajahku. Kulihat wajah Inne memerah dahinya berkerut, bibirnya setengah terbuka. Menyadari aku yang memperhatikannya, Inne membuka matanya yang sayu. Kemudian ia malu dan menutupi mukanya dengan bantal.

“Iiiihhhh…, nyebeliiinnnn…,” ucapnya memukul-mukul dadaku.

“Ih ada yang maluuu ih,” jawabku menggodanya.

“Ih jangan gituuuuuuu…,” balas Inne dengan wajah cemberut.

Aku melihatnya malah tertawa. Inne tetap memukul-mukul dadaku. Yang kemudian ia menarik kaosku untuk dilepas. Tak lama kini aku sudah bertelanjang dada. Inne masih utuh namun sudah tak memakai bra yang sudah tergeletak disamping kanannya. Payudaranya masih terlihat jelas. Inne tak berusaha menutupinya lagi dengan kaosnya.

Kami kembali berciuman dengan panas, payudaranya tak pernah kuanggurkan. Hingga akhirnya kubimbing tangan Inne ke penisku yang sudah tegang sejak dari tadi. Kugerakan tangan Inne agar mengelusnya. Inne menurutinya dan kadang-kadang mencengkramnya.

Tanganku kembali sibuk di payudaranya, setelah bosan kuberanikan diri mengelus vaginanya. Kebetulan kaki Inne sedang ditekuk. Ketika jariku mengelus vaginanya dari luar kurasakan sedikit lembab. Inne melenguh sedikit kencang serta mengangkat pinggulnya “Eeemmmhhhh…,” untung tetangga kosku lagi pada balik kampung pikirku.

Ternyata badan Inne sensitif sekali, jelas ciri khas perempuan berlalis tebal dan berkumis tipis, hehehe. Apalagi tangannya yang berbulu tipis.

Karena terbawa suasana tangan Inne masuk ke dalam celana kolor yang kukenakan dan langsung menggenggam penisku, aku sedikit kaget dan menahan lenguhanku. “Eeuuhhh…,” ucapku terpejam mendapatkan serangan balik dari Inne.

Melihatku yang seperti itu Inne tertawa kecil melihat ekspresiku.

“Hihihi, kenapa, Mas?” tanyanya dengan genit.

“Pelanggaran kamu,” ucapku yang masih merem melek.

“Gedeee ihhh…, takut…,” jawabnya sembari meremas-remas penisku.

“Sotoy gitu emang pernah liat?,” pancingku agar Inne melakukan lebih.

Tiba-tiba Inne menarik kolorku, lalu terbebaslah kontolku dari siksaan sempak yang ketat. Wajah Inne merah, matanya terbelalak melihat kontolku yang sudah ngaceng maksimal. Tangannya tetap menggenggam.

“Udah ah, ngeriii…,” ucapnya sembari melepaskan kontolku agar tertutupi lagi celana kolorku.

Aku diam tak protes meskipun agak sedikit nyesss di hati hahaha. Takkan kupaksa Inne sampai dia mau melakukannya sendiri. Kuterapkan trik Play and Will. Aku berusaha memainkan perasaan dan akal sehatnya melalui sentuhan dan gerakan yang membuatnya adiktif. Verra mantanku bertekuk lutut apabila sudah di posisi seperti ini hehe.

Inne kembali mengelus kontolku dibalik celana kolor. Kuhisap bibir Inne dalam-dalam bersamaan dengan masuknya tanganku ke dalam celananya. Aku terkejut rupanya celana dalamnya sudah basah kuyup oleh lendir vaginanya. Tangan Inne memegang tanganku namun tak berusaha menghentikan gerakan tanganku yang mengelus memeknya di celana dalam yang sudah basah kuyup.

Masih penasaran kumasukan lagi tanganku ke balik celana dalamnya. Inne semakin kelojotan, tubuhnya bergetar kecil. Kurasakan bulunya tipis, menandakan ia sering cukuran. Desahan Inne semakin menjadi-jadi saat jari tengahku membelah belahan memeknya. “Aaahhhh…, emmmhhh…, Yasss…, Yaaasss…,” Inne mendesah memanggil namaku sembari pinggulnya bergerak mengikuti gerakan jariku di memeknya.

Tangan Inne mulai kembali masuk ke dalam celana kolorku meremas kontolku secara langsung.

“Kkkkaammhhuuu currraanggg, Yaass…,” ucapnya sembari mendesah sesaat sebelum memasukan tangannya ke dalam celana kolorku mengenggam kontol.

Perlahan kusibak bibir memeknya, kutemukan clitorisnya dan kumainkan. “Aaahhhhh…, Yaassss…, Geliii…,” aku memainkannya dengan lembut, kadang cepat. Ketika aku menggesek klitorisnya dengan lembut secara otomatis pinggul Inne yang bergerak cepat. Kuhisap lagi teteknya yang menganggur karena aku terlalu fokus ke memek dan desahan Inne. Perlahan jari tengahku mencari lubang kenikmatan Inne, ia semakin kelojotan.

Setelah kutemui titik lubangnya perlahan kutekan-tekan jariku di lubangnya yang sudah sangat banjir hingga terdengar bunyi “Crak…, crak…, crak…,”.

“Emmmhhh…, Yas…, jangghaannn di giithhuuiinnn,” ucap Inne menggelengkan kepalanya sembari merapatkan bibirnya menahan desahan.

Namun, berbanding terbalik dengan pinggulnya yang tetap bergerak mengikuti gerakan jariku di memeknya. Perlahan kumasukan jari tengahku ke lubang memeknya, sangat sempit. Kondisi memeknya sudah banjir tapi jariku seperti terhalang sesuatu.

“Aaahhh…, Yaasss…, jaangghhaaannn…, sakkhiitt…, perihhh…,” ucapnya di sela desahan dan goyangan pinggulnya.

Deggg…, apakah Inne masih perawan? Hatiku bertanya-tanya. Meskipun nafsu sudah di ubun-ubun tapi aku masih bisa mengontrolnya. Aku tak mau memaksanya.

Tangan Inne menarik tanganku dan diarahkan ke klitorisnya, aku langsung memainkan benda kenikmatan Inne itu.

“Diginiin aja?,” tanyaku menatapnya.

“Heem,” jawabnya mengangguk dengan memanyunkan bibirnya.

Aku tersenyum sembari mengecup keningnya. Innr kembali berdesis dan mendesah. Kali ini tangan Inne mengocok kontolku sesuai arahanku.

“Ginii, In,” ucapku membimbing tangan Inne mengocok kontolku.

Jariku kembali memainkan klitoris dan lubang memeknya, sesekali Inne memintaku untuk mencium bibirnya bergantian dengan menyusu di teteknya. Gerakan pinggul Inne semakin liar, aku yang sadar Inne akan segera orgasme aku percepat gerakan tanganku mengelus lubang memeknya.

“Aaahhh…, aahhhh…, aaahhh…, emmmhhhh…, Yhhaass…, aaakuu…, penghen pihpiiisss, geliiii…, teruss…, Yhaasss, enaaakkk…,” ucap Inne meracau.

Gerakan jariku dan pinggulnya bersinergi, hingga akhirnya “Aahhh…, Yhaasss…,” memek Inne berkedut-kedut. Pahanya menjepit jariku, tubuhnya mengejang melengking bak tersengat listrik, kulihat hitam mata Inne menghilang ke atas.

“Aaahhhhh…, aaaaahhhhhhh…, mmmhhhh…, Yhhaasss…, akh akhuuu pipiiiisss…”.

Jariku tersiram cairan cinta yang hangat milik Inne. Cairan Inne kurasakan begitu banyak membasahi seluruh pergelangan tanganku yang terjebak di jepitan pahanya.

“Haaahhhh…, haaahhhh…, haahhhh…,” napas Inne tersenggal-senggal, matanya terpejam, dan badannya masih mengejang-ngejang menikmati sisa orgasme. Setelah beberapa menit badan Inne kembali normal sudah tak mengejang lagi, ia membuka matanya memandangku lalu tersenyum memukul dadaku.

“Kamuuu ih, aku diapaiiin,” ucapnya dengan tersenyum manja seraya menyelusupkan wajahnya di dadaku.

“Maaf khilaf,” kataku dengan sedikit tertawa.

“Percaya bangetttt,” ucap Inne yang langsung mencium pipiku dengan gemas.

“Eh, In.” ucapku.

“Iya?” Jawab Inne.

“Tangan aku.”

“Kenapa tangan kamu?”

“Itu…,” mataku mengarahkan ke tanganku yang masih dijepit pahanya.

“Eh! Hahaha, maaf ih, ga sengaja, khilaf,” balasnya dengan malu.

Tanganku cukup pegal setelah dijepit paha Inne dengan kuat. Perlahan kutarik tanganku, dan mulai duduk bertumpu pada lutut. Iseng aku mendekatkan tanganku ke hidung ingin mencium aroma cairan memek Inne yang telah orgasme.

“Hhhmmmmpphh…,” ucapku menghirup cairan memek Inne yang basah di tanganku.

“Hehhhh…, ihhhh…, jooroookk,” kata Inne yang menyadari kelakuanku.

“Hehehe wangiii.”

“Ngaco. Basah gitu ih, tangannya,” ucap Inne.

“Iya punya kamu.”

“Ihhh jangan gituuu…, maluuu tauuu…,” ucapku seraya mengecup keningnya.

“Ih masih berdiri,” Inne melihat kontolku yang masih ngaceng maksimal.

“Hehe iya, ga tidur-tidur,” balasku yang dengan reflek mengocok kontolku sendiri.

“Ih! Ih! Ngapaiiinnn…?” ucap Inne tersenyum jahat.

“Mau dibantuin?” lanjutnya.

Tanpa menunggu jawabanku Inne meraih kontolku dengan tangannya dan dikocoknya dengan lembut. Sontak aku melenguh kontolku yang tegang dikocok lembut oleh tangan yang halus dan bening.

“Mmmhhhh…,” ucapku menahan kenikmatan surgawi.

Wajah Inne mendekati kontolku seperti ingin menciumnya. Namun, wajahnya nampak ragu setelah melihat kontolku di depan matanya.

“In, cium,” ucapku.

“Ih!” balasnya.

Inne menatapku ke atas. Sungguh pemandangan yang indah ketika melihat Inne yang cantik sedang mengocok kontolku yang masih lengkap dengan jilbabnya. Teteknya masih belum tertutupi kaosnya yang menggulung ke atas.

Perlahan kudekatkan kontolku ke arah mukanya, Inne diam. Kugesekkan kontolku ke pipinya yang merah nan lembut beberapa kali. “Mmmhhh…,” ucap Inne kembali mendesah pipinya digesekkan oleh kontolku. Inne benar-benar sensitif sekali.

Kemudian kutempelkan kontolku ke bibir Inne, ia menatapku ke atas aku mengangguk. Ia mencium kontolku dengan ragu. Lembut bibirnya membuat kontolku berkedut sekali-kali. “Mmmhhhh…,” lenguhku memejamkan mata.

“Enak, Sayang?” tanya Inne.

“Enak banget.”

Eh. Barusan ia memanggilku dengan kata “Sayang”? Inne masih mencium dan mengendus-ngendus kontolku.

“Jilatin, In, ehh euu, Yang,” kataku mengikuti alur.

Ia menengok ke atasku sembari mencium-cium kontolku. Ia tersenyum ke arahku. Inne mulai menjilati kontolku perlahan, masih ada sedikit kecanggungan ketika Inne menjilati kontolku. Aku gerak-gerakan kontolku di lidah Inne yang menjulur. Lidahnya mengikuti kemana kontolku bergerak.

Semakin lama Inne sudah terbiasa mencium,enjilat dan menghirup aroma kontolku.

“Cukurrr ih, jorok,” ucap Inne seraya memegangi jembutku.

“Hehee, iya nanti,” balasku polos.

“Masukin In,” ucapku pada Inne.

Tapi Inne tiba-tiba melepas tangannya di kontolku, dan melepaskan jilatannya di kontolku. Apa yang membuat Inne tiba-tiba berubah. Dengan cepat aku menyadari keinginan Inne.

“Hehe, masukin sayaaaanggg…,” sembari mendekatkan kembali kontolku ke bibirnya.

Inne mencubit pahaku, ia menahan senyum.

“Jangan ngilangin mood,” ucapnya seraya membuka mulut mencoba memasukan kontolku ke mulutnya.

Perlahan-lahan Inne memasukan kontolku ke mulutnya. Aku tak ingin cepat-cepat. Membiarkan Inne nyaman dengan sendirinya.

Kudorong kontolku lebih dalam lagi, Inne menepuk-nepuk pahaku. Aku menghentikannya. Inne menarik kepalanya mengambil napas lalu mengulum lagi kontolku. Kugerakan maju mundur kontolku di mulut Inne sampai Inne merasa nyaman. Perlahan kepala Inne beradaptasi kepalanya memaju mundurkan kepalanya. Lidahnya diputar-putar menggelitik lubang kencingku. Kubiarkan Inne bermain dengan mainan barunya. Tangan Inne meraba bijiku diremasnya pelan-pelan yang kemudian diciumu dan dijilatinya.

Sesekali Inne mendesah saat ngeblowjob, hingga akhirnya pertahananku jebol.

“Aaarrghhh…, hhmmmm…, eeeuuhhh…, aku mau keluar yang,” Inne mempercepat kulumannya.

“Hhrrgghhh…, eeeuuuhhh…, lepas yang…,” ucapku.

Inne melepaskan kulumannya, aku langsung mengocok kontolku dan mengarahkan ke teteknya. “Crooottt…, crooottt…, croootttt…,”

“Haaahhhh…, hhhmmmhhh…, hhmmhhh…,” aku mengatur napas dan ambruk di samping Inne.

“Panaaass ih,” ucap Inne menatap tersenyum ke arahku yang sedang terengah-engah.

Inne mengoles spermaku yang tumbah di teteknya. Memainkannya. Ia mendekatkan jari yang ada spermanya ke hidungnya.

“Kayak santan yah?,” ucap Inne.

“Gatau,” kataku setengah tertawa.

Aku segera bangkit mengambil tisu kering dan tisu basah di meja sebelah kasur. Kemudian aku lap payudara dan perutnya yang terkena spermaku.

“Maaf ya, muntah di mana aja,” kataku.

“Iya ih, lain kali muntah jangan di mana aja, Mas,” jawabnya tersenyum menatapku.

“Oke lain kali muntahnya di tempa*”

“Ngga, engga, gaboleh,” potong Inne menjulurkan lidah.

“Hahahaha,” aku tertawa ia juga.

Inne mencubit hidungku dan mengacak-ngacak rambutku dengan ekspresi gemas, bibirku dikecupnya. Sesegera mungkin aku kecup balik bibirnya. Takut diprotes hehehe☹️.

“Nakaaaaall kamuuuu…,” ucapnya menggelendot manja di dadaku.

“Khilaf,” ucapku memainkan rambutnya.

“Jangan sekali-kali lagi.”

Kali ini Inne terlihat serius, aku down serius.

“Iya ngga, maaf.”

Aku mendadak merasa bersalah terhadap Inne. Tapi sikapnya sama sekali tak berubah, tak memperlihatkan kekecewaan padaku. Aku tetap ga mau kurang ajar. Bahkan setelah mengatakan itu, Inne masih mengecup bibirku sekali lagi. Aku diam tak membalasnya.

Kemudian Inne ke kamar mandi kamarku untuk bersih-bersih. Kemudian aku, bergantian. Jujur aku yang agak canggung ke Inne. Tapi Inne seakan semuanya tak terjadi apa-apa. Bingung aku dibuatnya.

“Anterin pulaaaanggg ih,” ucapnya dengan manja.

“Iyaaa hayuuu…,” jawabku tersenyum.

“Motor aku simpen di sini aja, nanti udah nganterin aku bawa lagu sama kamu motornya.”

“Siapgrak Bu Guru!”

“Siapgrak siapgrak, jangan nakal!” balasnya melotot dengan tersenyum yang kemudian mencubut pinggangku.

“Hehe iya ngga,” balasku nyengir.

Kami berkemas bersiap-siap. Aku mengganti celana kolorku dengan hyperjeans abu, kaos Deep Purple kupilih yang masih terbungkus plastik laundry. Terakhir jaket varsity hitam kuraih di hanger yang menggantung. Inne memperhatikanku, dan sesekali memberikan saran untuk memilih jaket mana yang akan kupakai.

“Jamnya ngga di pake?” tanya Inne mengambilkannya agar dipake olehku.

Aku memakainya, dan langsung mengambil sling bag dan masker.

“Kamu seneng sama brand Mater*** Disas***? Tanyanya.

“Jelas dong cinta produk lokal hehehe,” ucapku.

“Pantes masker, jam, sampe sepatu, satu brand semua,” balasnya seraya memasang konektor masker.

“Ke aku sama ngga kayak ke produk lokal?,” lanjutnya.

“Apa? Terjangkau dan berkualitas?” balasku.

“Ih, bukaaannn…”

“Sama kan kamu juga berkualitas dan terjangkau olehku,” jawabku yang merangkul pundaknya.

“Hahahaha, jadi ngegombal mulu, heran,” ucapnya.

Setelah itu kami menuju kos Inne yang hanya 30 menit saja. Di perjalanan kami seperti biasa berhaha-hihi ngobrol random. Sampai banyak yang menertawakan tingkah kami di jalan.

Kini Inne sudah tak ragu lagi menempelkan badannya ke punggungku saat ngobrol di atas motor. Inne request pecel lele untuk kami makan di kosannya. Aku menepi setelah Inne menyuruh berhenti. Aku turun menemani Inne. Ternyata harus nunggu lama dulu. Kemudian kami duduk menunggu di luar. Inne seperti ingin berbicara padaku. Karena situasinya sedang rame, maka aku menangkap sinyal Inne yang ingin berbisik. Aku membungkukkan badan dan mendekatkan telingaku pada Inne.

“Si Mas-Masnya lamaaa, pengen ganti celanaaa…,” ucapnya padaku.

Aku sedikit tertawa mendengarnya, Inne mencubit lenganku.

“Emang kenapa?” balasku.

“Gara-gara kamuuu, ga enak ih basah…,” ucapnya.

Aku tertawa lagi, dan lagi-lagi menerima no look cubitan dari dia.

Hari itu kami full haha-hihi berbahagia, berbagai momen candaan dan tawaan, begitu membekas di ingatanku. Inne, berhasil meluluhlantahkan segala pertahananku. Benar-benar kagum, tergenjutsu, terhipnotis. Alur semesta kali ini cukup menegangkan. Menegangkan segala-galanya baik aku dan Inne.
 
Cerita mantepssss bgt ..
Ngalir, pas bgt
Kayak gaya awal" Pacarannya orang" Wkwkwk
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd