Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Pendekar Elang Salju

Bab 59

“Tanpa perlu saya jawab pun,
saya rasa Den Paksi bisa menyimpulkan sendiri terhadap racun yang mengeram dalam tubuh Nawara,” tutur Gineng bijak.

Paksi Jaladara yang duduk di sebuah balai hanya mendesah, sedang Gineng berdiri di sampingnya juga sulit mengungkapkan sesuatu yang dianggapnya tabu saat itu. Sedang di samping kiri dan kanan berdiri Retno Palupi dan Nawala, saudara kembar Nawara yang hanya saling pandang tidak mengerti percakapan dari dua pemuda di hadapannya.

“Memangnya cara apa yang bisa menyembuhkan Nawara, Kakang Paksi?”

“Ini ... “
Suara Paksi tercekat di tenggorokan, sebab sulit sekali ia mengatakan sebuah hal yang mungkin saja akan menyinggung harga diri kekasihnya, walau sebenarnya ia pun mengetahui bahwa gadis berbaju biru itu sudah membuka pintu hatinya untuk diduakan oleh pemuda berbaju putih ini.

“Paksi, memangnya dengan cara bagaimana Nawara bisa sehat kembali?” tanya Nawala dengan nada ditekan.
Pemuda itu sangat khawatir dengan kondisi fisik Nawara yang merah matang seperti mangga masak itu.

“Aku ... aku tidak bisa mengatakannya,” kata Paksi kemudian,
“Lebih baik Kakang Gineng saja yang berbicara.”

Dua pasang mata Nawala dan Retno Palupi langsung beralih ke Gineng.
Mereka berdua tahu bahwa Gineng adalah murid Tabib Sakti Berjari Sebelas, tentu saja tentang racun dan penawarnya sedikit banyak ia mengetahuinya.

“Kakang Gineng, bisakah kau katakan padaku bagaimana menawarkan racun aneh ini?” tanya Nawala kemudian.

Sambil menghela napas panjang, akhirnya Gineng berkata,
“Sebenarnya yang bisa menawarkan racun pembangkit birahi ini hanya orang-orang yang memiliki tenaga unik saja, seperti orang yang memiliki 'Hawa Inti Salju' misalnya ... “

“Lho, bukankah Kakang Paksi menguasai ilmu ini,” tukas Gadis Naga Biru heran.
“Lalu apa masalahnya?”

Sedang Paksi hanya diam saja, sambil terus mengalirkan 'Hawa Inti Salju' ke dalam raga Nawara lewat telapak tangan kanan.

“Masalahnya bukan pada 'Hawa Inti Salju'nya, tapi ... “

“Tapi apa?”

“Tapi proses penyembuhannya yang bermasalah,” lanjut Gineng kemudian.

“Bermasalah bagaimana? Langsung ngomong saja pada pokok permasalahannya gimana, sih?
Berbelit-belit amat!” kata Retno Palupi jengkel.

“Baiklah! Untuk menyembuhkan racun birahi yang berhawa panas atau berunsur api membutuhkan lawan jenis yang memiliki hawa es atau berunsur salju, dan untuk menyembuhkannya mereka ... “ kata Gineng agak tersendat, lalu ia memandang Paksi, dan dibalas dengan anggukan lemah, “ ... mereka harus dalam keadaan telanjang bulat dan melakukan posisi layaknya hubungan suami istri.”

“Hah?”

“Apa!?” sahut Nawala, kaget.

Suasana di dalam ruangan kembali sunyi.
Yang terdengar hanyalah napas halus dari mereka semua yang ada ditempat itu.

“Ya! Hanya itu caranya memunahkan racun birahi ini,” sahut Gineng, memecah kesunyian.

Nawala terduduk lesu, sambil memandangi Nawara yang tertotok tak berdaya.
Memang gadis itu sengaja di totok agar ia tidak melakukan perbuatan yang bisa mempermalukannya seumur hidup, sementara yang bisa dilakukan Nawara adalah mendesis-desis seperti cacing kepanasan, meski jika diajak bicara ia normal.

“Kalau begitu ... lakukan saja ... “ kata Gadis Naga Biru,
“Kakang Paksi, aku harap Kakang bisa menyelamatkan nyawa Nawara.”

“Tapi Nimas, itu artinya ... “

“Jangan khawatir, aku sudah punya pemecahan masalahnya,” kata gadis itu.

“Benarkah?” kata Paksi sambil bangkit berdiri, kemudian memegang tangan kanan Gadis Naga Biru, sedang tangan kirinya masih menggenggam erat tangan Nawara.

“Sebelum aku jawab pertanyaan Kakang, aku ada sebuah pertanyaan dan sebuah permintaan untukmu.”

“Apa hubungannya?”

“Sangat erat!”

“Baik, apa yang Nimas tanyakan,” ucap Paksi Jaladara tanpa pikir panjang.

“Hanya satu pertanyaan untukmu, Kakang mencintai Nawara?”

Pertanyaan itu bagai sambaran petir yang menghantam kepala Paksi dengan telak.
Pemuda itu hanya menunduk sambil menghela napas pelan,
“Apa pertanyaan ini harus kujawab?”

“Ya dan harus!”

“Kau tidak membenciku dengan jawaban yang aku berikan nanti!”

“Tidak sama sekali!” sahut Retno Palupi dengan tenang, seolah gadis itu sudah tahu jawaban apa yang akan dilontarkan dari mulut Paksi Jaladara.

“Sebenarnya, aku ... aku juga menyukai dan menyayangi Nawara seperti halnya diriku menyukai dan menyayangimu, Nimas,” ucap Paksi pada akhirnya,
“Jujur saja, saat berjumpa pertama kali dengan kalian berdua, jantungku berdebar keras.
Namun, aku menyadari bahwa maksud hatiku untuk mendapatkan kalian berdua sekaligus tidak bakalan mungkin terjadi.
Hingga pada akhirnya Nimas-lah yang pertama kali mengungkapkan isi hatiku.
Meski dalam hati kecilku sendiri, aku masih mengharapkan kalian berdua.
Aku takut Nimas nantinya menganggapku serakah atau tamak, tapi itulah sebenarnya yang ada dalam hatiku.”

Tegas dan tidak bertele-tele Paksi Jaladara mengatakan seluruh isi hatinya pada Retno Palupi, Gineng dan Nawala.
Pemuda itu sudah siap jika dua gadis yang sama-sama dicintainya akan membenci dirinya seumur hidupnya.

Bukannya marah besar, justru gadis berbaju biru itu memeluk erat Paksi Jaladara!

“Terima kasih atas kejujuranmu, Kakang!” ucap Retno Palupi dengan isak tangis bahagia,
“Selama Kakang bisa adil terhadap kami berdua, Retno tidak akan menyesalinya, Kang!”

“Benar?”

Gadis itu hanya mengangguk pasti.

Tiba-tiba Nawala bangkit berdiri.

“Paksi, sebenarnya ... Nawara juga mencintaimu.
Hanya saja ia lebih baik memendam rasa cintanya padamu karena sudah ada Retno Palupi di hatimu,” kata Nawala sambil mendekati Paksi,
“Itu adalah hal yang menjadi sebab kenapa selama beberapa hari belakangan ini saudaraku seperti memiliki banyak masalah.”

“Apa yang kau ucapkan itu hal yang sebenarnya, Nawala?”

“Leherku sebagai jaminan!” kata tegas Nawala.

Tiba-tiba saja, Ayu Parameswari masuk ke dalam bilik sambil berkata,
“Kisah cinta segi tiga Ketua Paksi dengan dua gadis secantik bidadari ini sekarang tidak lagi bermasalah.
Bukanlah mereka berdua juga punya perasaan yang sama dengan Ketua?” lanjut Ayu sambil memeluk erat lengan Nawala.
“Dan aku yakin, semua sudah bisa menerima apa-adanya.”

“Lalu ... bagaimana dengan dirimu?” tanya Nawala sambil mencubit hidung mancung Ayu.

“Kalau hal itu ... tidak ada yang perlu ditanyakan.
Semua sudah jelas!” kata Ayu diplomatis.

Paksi dan Retno hanya tersenyum simpul melihat cara Nawala mengungkapkan isi hatinya.

Benar-benar unik!

“Nah, sekarang ... apa permintaan yang tadi Nimas ingin katakan padaku?” tanya Paksi Jaladara.

“Katakan saja, Retno.
Jika hal itu bisa menyelamatkan jiwa saudara kembarku, aku akan melakukan apa saja,” kata Nawala.

“Kau tidak akan bisa melakukannya, Nawala,” kata Retno Palupi melepas pelukannya, berjalan ke arah balai dan duduk menyebelahi Nawara yang tertotok, lalu tangan kanan meraih kedua tangan Paksi dan masing-masing diletakkan di telapak tangan Nawara dan dirinya.

“Kenapa aku tidak bisa!?” tanya Nawala heran.

“Karena permintaanku pada Kakang Paksi adalah ... menikahi kami berdua sekarang ini!
Di tempat ini pula dan malam ini juga!” kata tegas Retno Palupi. “Kakang bersedia, bukan?”

Paksi Jaladara terlonjak kaget.

Nawala dan Ayu saling pandang.

Gineng justru tersenyum lebar, dalam otaknya berkata, “Benar-benar gadis yang luar biasa!
Dia bisa menyelesaikan suatu masalah rumit yang menyangkut urusan hati semudah membalik telapak tangan.
Benar, hanya itu jalan satu-satunya, sebab hanya dengan jalan melakukan pernikahan yang bisa menghindarkan seorang gadis dari aib yang menimpanya.”

“Nimas serius?” tanya Si Elang Salju, meyakinkan.

“Aku serius! Benar-benar serius!”

Pemuda entah bagaimana langsung merasakan sekujur kepalanya gatal.

“Kau tidak mau!?” tanya Retno lebih lanjut.

“Aduh ... gimana, ya?”

“Jarang lho ada orang seberuntung Den Paksi,” seloroh Gineng yang disambut dengan gelak tawa oleh Ayu dan Nawala.

“Bukan begitu, Kang! Masa' belum apa-apa sudah dapat dua istri sekaligus,” kata Paksi Jaladara sambil nyengir kuda.

“Hua-ha-ha-ha!”

Tawa Gineng langsung meledak melihat gaya khas cengiran Paksi yang memang sedari dulu mau tidak mau pasti memancing tawanya, karena cengiran itu lebih mirip monyet gondrong kesambet batu daripada cengir kuda yang paling jelek sekalipun!

Sambil menggaryuk-garuk kepalanya, Paksi Jaladara justru duduk menyebelahi Nawara dan berkata,
“Nimas Nawara, apa kau setuju dengan usul gila Nimas Retno?”

Paksi sudah mengubah panggilan terhadap Nawara begitu mengetahui perasaan gadis itu yang sesungguhnya, meski lewat mulut Nawala.
Nawara hanya tersipu-sipu malu, sulit sekali mengungkapkan apa yang ada di hatinya.

“Bagaimana? Jika kau malu berbicara, kedipkan saja matamu dua kali jika kau setuju?' sergah Retno Palupi.
Karena memang gadis bersulam rajawali itu tertotok, sehingga tidak bisa berkata sepatah pun.

“Retno brengsek!
Kenapa mengatakan hal seperti ini di hadapan semua orang?” pikir Nawara,
“Bikin aku malu saja. Duhh ... pasti mukamu merah padam, nih.”
Kemudian gadis itu mengedipkan matanya ... dua kali!

Retno Palupi langsung merangkul Nawara yang tertotok, sambil membisiki sesuatu ke telinga gadis itu,
“Kalau begitu, nanti malam Kakang Paksi 'kita bantai' habis-habisan, kau setuju?”

Nawara hanya tersenyum kecil mendengar 'rencana licik' gadis berbaju biru itu.

Justru senyuman itu membuat Paksi curiga.

“Apa yang kalian bicarakan?” tanyanya heran setelah melihat Retno melepas rangkulannya ke Nawara.

“Ah ... ini urusan perempuan!
Laki-laki tidak boleh tahu!” kata Retno cepat.

Setelah diperoleh kata sepakat, bahwa memang cara itu satu-satunya yang bisa menyelamatkan selembar nyawa Nawara,
sebab jika sampai tengah malam proses penyembuhan ajaib yang amat sangat langka itu tidak lakukan,
bisa dipastikan nyawa gadis itu sebagai taruhannya.
Hanya karena aliran 'Hawa Inti Salju' saja yang membuat gadis itu bisa bertahan hingga sekarang ini.

Ki Dalang Kandha Buwana, Juragan Padmanaba, Bidadari Berhati Kejam dan semua orang yang terlibat dalam permasalahan akibat bencana Gerhana Matahari Kegelapan hanya terpana, kemudian tersenyum simpul mengetahui proses penyembuhan yang hanya akan dan hanya oleh Paksi yang bisa melakukannya.
Sebab diantara mereka, hanya pemuda itulah yang memiliki 'Hawa Inti Salju' dan yang pasti ... mereka berdua, bertiga dengan Retno Palupi saling mencintai satu sama lain!
Benar-benar jalinan kasih yang langka!

Saat itu pula, Nawala dan Ayu Parameswari langsung berangkat ke Pesanggrahan Gunung Gamping, dan menemui salah satu sesepuh yang kini menggantikan kedudukan Panembahan Wicaksono Aji yang bernama Begawan Wali Bumi, yang sebenarnya masih terhitung saudara seperguruan, meski lain guru.

Jika Panembahan Wicaksono Aji adalah murid Pertapa Gunung Gamping, maka Begawan Wali Bumi adalah murid dari adik kandung dari Pertapa Gunung Gamping yang bernama Pertapa Sakti Dari Tanah Tandus yang hanya memiliki dua murid, yaitu Begawan Wali Bumi dan Begawan Rikma Seta.

Karena kekosongan yang ada di Pesanggrahan Gunung Gamping, Begawan Wali Bumi membagi tugas dengan Begawan Rikma Seta dimana salah satu dari mereka harus memimpin Pesanggrahan Gunung Gamping tinggalan mendiang Panembahan Wicaksono Aji, dan akhirnya diputuskan bahwa yang menjaga dan memimpin Pesanggrahan Tanah Tandus adalah Begawan Rikma Seta, sedang Pesanggrahan Gunung Gamping dipimpin oleh Begawan Wali Bumi.

Begawan Wali Bumi memang usianya tidak jauh beda dengan Panembahan Wicaksono Aji, hanya selisih beberapa bulan saja, tapi dari bentuk raut muka dan postur tubuh, seperti masih berusia empat puluhan tahun saja.

Setelah mengutarakan maksud kedatangan pasangan muda ini sebagai utusan dari Ki Dalang Kandha Buwana dari Padukuhan Songsong Bayu, Begawan Wali Bumi langsung berangkat bersama dengan murid Naga Sakti Berkait dan Nini Naga Bara Merah.

Ketika sampai di Padukuhan Songsong Bayu waktu sudah merembang petang bahkan bisa dikatakan malam karena pancaran sinar matahari sore sudah tidak terlihat lagi, tiga orang beda usianya langsung menemui ki dalang kandha buwana dan juragan padmanaba.

“Begitu rupanya,” kata Begawan Wali Bumi dengan arif bijaksana,
“Jika memang hanya itu jalan satu-satunya yang harus ditempuh, aku sebagai orang tua justru bangga dengan mereka berdua ... “

“Bertiga, Bapa Begawan,” ralat Juragan Padmanaba.

“Bertiga?” tanya heran Begawan Wali Bumi, “ ... lalu siapa orang yang ketiga?”

“Saya, Kakek Begawan.”

Sebuah suara merdu menyeruak.
Begitu mendengar suara yang sangat akrab di telinga, kakek itu langsung membalikkan badan.
Mukanya langsung mengulas senyum kecil melihat sesosok gadis berbaju biru laut yang berdiri di ambang bilik.
Kakek arif itu tahu betul, bawah cuma satu orang yang memanggil dengan sebutan ‘Kakek Begawan’ saja di muka bumi ini.
Siapa lagi jika bukan gadis bengal anak dari Ki Dirga Tirta!

“Rupanya, kau gadis nakal!” ucap Begawan Wali Bumi.

“Bapa Begawan kenal dengan Retno Palupi?” tanya heran Ki Dalang Kandha Buwana alias Kakek Pemikul Gunung.

“Bukan hanya kenal, tapi bocah bengal itu sudah membuat aku susah tidur gara-gara ia pergi tanpa pamit dari Wisma Samudera,” tutur Begawan Wali Bumi, “bahkan sampai-sampai Si Dirga Tirta menyuruh Wisnu Jelantik untuk mencarinya.”

“Lho, memangnya kenapa kau pergi tanpa pamit, Nimas Retno?” tanya Paksi yang tiba-tiba saja keluar.

Melihat pemuda berbaju putih berikat kepala merah,
begawan yang sidik paningal (bermata hati tajam) langsung berdiri,
kemudian ia menghormat dengan sedikit membungkuk,
“Terimalah salam hormat hamba, Kanjeng Pangeran!”

-o0o-
Kentang huu
 
matok ahhh ... inget waktu SMP-SMA menghabiskan uang jajan untuk sewa kho ping hoo dan chin yu.

ceritanya bagus meski baru baca sampai part 10, eh awal ceritanya si paksi dan arjuna ini umur brp? 5 th yah??
btw awal cerita bagusnya umur 10 - 13 th bukan umur 5 th. jadi dialog untuk menjelaskan background cerita tentang pertempuran besar jahat dan baik dianggap wajar. lah klo 5 th mah masih ga mudeng klo di kasih cerita besar, mau nya cerita yang sesuai dengan minat dia (yg dalam hal ini adalah silat)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd