Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Pendekar Elang Salju

Bimabet
Bab 48

Rupanya Sepasang Golok Mengejar Bulan telah beraksi.
Sepasang golok berbentuk lengkung seperti bulan sabit dengan lima cerukan di bagian tengah bergerak dalam aturan-aturan tertentu seperti menggunakan jurus-jurus pedang.

Untuk pertama kalinya pemuda sakti berbaju putih menggunakan jurus pedang tunggal aliran Partai Matahari Terbit yang bernama jurus ‘Terbit Di Timur, Tenggelam Di Barat’ untuk menggerakkan sepasang golok lengkung.
Adakalanya tangan kiri bergerak dengan pola-pola serangan ke arah kiri, begitu pula tangan kanan bergerak dengan pola serangan ke arah kanan.

Sett ... reett!!

Suara gesekan angin semakin keras menyayat laksana ratapan hantu di siang bolong.
Semakin cepat bergerak, suara sayatan semakin membuat gendang telinga para penghuni alam gaib laksana ditusuk-tusuk ribuan jarum.
Saat dilanjutkan dengan gerakan menebas, Paksi Jaladara mengubah gerakan menjadi arah yang berseberangan, satu bergerak ke kiri dan satunya bergerak ke kanan dengan kecepatan yang lebih tinggi hingga nampak kelebatan bayangan putih kehitaman, sehingga kelihatan menjadi dua serangan yang berbeda meski tetap menggunakan jurus yang sama.
Tampak dua bayangan yang seolah saling berlomba membantai lawan.
Kali ini gabungan Ilmu ‘Mengendalikan Badai’ dan jurus pedang ‘Terbit Di Timur, Tenggelam Di Barat’ bagai tangan panjang Paksi Jaladara.

Rrrtt ... critt ... ! Crriing!! Triing ... !!

Kepulan asap abu-abu semakin banyak memenuhi tempat itu.

“Pantas Kakang Paksi bersikukuh menggunakan golok uniknya, rupanya ia mahir menggunakan senjata aneh itu dengan cara luar biasa,” kata hati Gadis Naga Biru atau Retno Palupi yang menggunakan Ilmu ‘Pedang Naga Laut’ warisan sang kakek lewat Pedang Samurai Kazebito yang digenggam dengan tangan kanan, sedang tangan kiri merapal ‘Tiga Belas Pukulan Telapak Kosong’, sehingga diantara desingan pedang terselip suara gemuruh ombak yang menghantam batu karang.
Saking cepatnya ia bergerak membuat tubuh gadis itu berubah menjadi sebentuk bayangan biru yang berkelebat cepat menyambar-nyambar bagai camar di laut.

Gadis Naga Biru, putri tunggal Majikan Wisma Samudera bertarung sengit dengan Senopati Segawon Alas, dimana 'Tenaga Gaib Siluman Serigala' sudah dikerahkan hingga maksimal bahkan Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat coklat dikerahkan sampai tingkat tertinggi.
Sehingga seluruh arena pertarungan dipenuhi dengan gulungan bayangan pedang yang menari-nari liar disertai suara tapak menggemuruh laksana badai di laut beradu tanding dengan hujan cakar serigala yang gesit dan adakalanya melakukan gebrakan-gebrakan tak terduga.
Bahkan lontaran beberapa pukulan sakti sering terdengar diantara celah-celah pertarungan.

Akan tetapi, terdapat keanehan pada gerak siluman serigala di kala pedang aneh yang ada di tangan lawan mengejar dirinya.
Siluman berdarah campuran yang kebal senjata karena Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat coklat tidak berani membenturkan sepasang tangan dengan pedang aneh panjang melengkung di tangan gadis jelita yang menjadi lawannya.

“Aneh, kenapa aku memiliki rasa takut terhadap pedang melengkung di tangan gadis itu?” pikirnya sambil mengerahkan tendangan beruntun ke arah kuda-kuda kokoh si dara cantik berbaju biru. “Lebih baik aku rebut dulu pedangnya, baru orangnya kuhabisi belakangan.”

Wukk! Wukk!

Gadis Naga Biru melenting sambil mengayunkan pedang panjang lewat jurus 'Naga Siluman Menjulurkan Lidah' berusaha membuntungi sepasang kaki Senopati Segawon Alas dari atas, sedang tangan kanan menyerang dengan jurus 'Selaksa Tapak Membelah Laut'.

Werr ... swerrr ... ziing ... !

Melihat kaki terancam putus sebatas lutut sedang bagian atas dihadang puluhan tapak yang datang bagai gelombang membuat Senopati Segawon Alas mengambil resiko tinggi. Mengandalkan Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat coklatnya, manusia serigala berguling ke depan dan membiarkan bagian punggung terhantam serangan lawan.

Dess! Prakk! Brakk!

Bersamaan dengan itu pula, sepasang kakinya berhasil lolos dari sergapan pedang, namun ia melupakan satu hal!
Bagian ekor!
Di bagian itu terlupa sama sekali, karena ia hanya memikirkan sepasang kaki. Hingga tanpa bisa dicegah lagi, ekor panjang Senopati Segawon Alas terbabat putus setengah lebih.

Crasss ... !!

“Aaauuuungg ... “

Suara raungan serigala kesakitan langsung terdengar keras.
Darah kental coklat kehitaman menetes keluar dari bekas potongan ekor.

“Sial ... ternyata mata pedang berasal dari batu dingin dari Pegunungan Himalaya,” terdengar gumaman lirih saat merasakan rasa dingin menjalar masuk lewat bagian ekornya yang terpotong putus.
Darah kental kecoklatan menetes keluar disertai bau amis.

Melihat lawan terluka membuat serangan Retno Palupi semakin meningkat.
“Serigala jelek! Lebih baik kau menyerah saja!” serunya sambil memutar-mutar pedang membentuk gulungan-gulungan tajam, kemudian dikibaskan ke depan diiringi bentakan keras. “Terima jurusku ... ! Hiyaaa ... !”

Wuuukk ... wuuk ... werr ... !

Sebentuk gulungan hawa pedang dari jurus 'Tarian Naga Laut' langsung menggebah maju disertai serangan tapak yang menyusul belakangan. Jurus kedua dari ‘Tiga Belas Pukulan Telapak Kosong’ yang bernama 'Dewa Samudera Memecah Gelombang' menggebah dengan dashyat bagai mendorong maju gulungan hawa pedang dari jurus 'Tarian Naga Laut'!

'Tenaga Gaib Siluman Serigala' sudah tidak seperti sebelumnya, menurun separoh lebih karena putusnya bagian ekor, sebab di bagian ekorlah sebenarnya merupakan titik lemah paling utama dari ilmu tenaga gaib tersebut.
Meski tanpa sengaja terputus oleh lawan, membuat Senopati Segawon Alas harus berpikir dua kali lipat memapaki dua jurus serangan lawan. Namun saat ini tidak ada waktu lagi untuk berpikir panjang.
Tidak ada pilihan lain, dengan kekuatan tersisa ia mengemposkan 'Tenaga Gaib Siluman Serigala' ke tahap yang paling tinggi bisa ia kerahkan.

“Brengsek! Hanya bisa pada tingkat ke lima!” pikirnya kuatir, sedang serangan lawan kini sejarak setengah tombak lagi di depannya.
Diikuti raungan keras, sepuluh kuku jari Senopati Segawon Alas berubah memanjang.

Crakk! Crakk! Crakk!

Ilmu 'Sepuluh Kuku Serigala Setan' dengan manis memotong-motong hawa pedang dari jurus 'Tarian Naga Laut', bahkan puluhan serangan tapak dari jurus 'Dewa Samudera Memecah Gelombang' pun kandas di bawah Ilmu 'Sepuluh Kuku Serigala Setan' yang dilancarkan si manusia serigala.

Blarr ... blarrr ... !

“Ha-ha-ha! Bagus, rupanya kemampuanmu tidak setangguh yang kukira, anak manusia!” seru Senopati Segawon Alas setelah mengetahui bahwa tenaga sakti milik lawan tidak sehebat penampakannya.
Hal itu membuat semangatnya meninggi seketika.
Namun rasa senangnya hanya sesaat.
Tiba-tiba sebuah gulungan kecil menyeruak di antara pecahan hawa pedang dan tapak.

Crass! Crass! Crass! Crass!

Akibatnya, dari ujung jari sampai pangkal lengan Senopati Segawon Alas terbabat putus membentuk potongan-potongan daging kecil-kecil.

Plukk! Plukk! Blushh ... !!

“Auuuungg ... auuungg ... Bangh ... shhat ... !”

Kembali terdengar raungan serigala kesakitan untuk kedua kalinya, kali ini lebih keras dan lebih menyayat hati!
Kehilangan ekor masih bisa ditumbuhkan lagi dengan bertapa selama dua purnama, tapi kehilangan dua tangan sekaligus dalam waktu bersamaan justru membutuhkan waktu puluhan tahun untuk menumbuhkan tangan baru yang sama bentuk dan sifatnya.

Rupanya Gadis Naga Biru menerapkan teori 'di dalam jurus ada jurus'.
Saat ia mengerahkan hawa pedang dari jurus 'Tarian Naga Laut' memang dikerahkan bentuk hawa bayangan tanpa ada tenaga dalam yang menyertainya.
Demikian pula dengan jurus 'Dewa Samudera Memecah Gelombang' yang meski terlihat garang dari luar, tapi kosong di dalam.
Itulah sebabnya mengapa Ilmu 'Sepuluh Kuku Serigala Setan' milik Senopati Segawon Alas dengan mudah membuat dua jurus maut tersebut tercerai-berai.

Begitu dua jurus pancingannya berhasil memancing kelengahan lawan, jurus 'Naga Meliuk Menelan Mangsa' yang berbentuk sebuah gulungan kecil menerobos di antara celah-celah jurus yang hancur.
Dan hasilnya, dari ujung jari sampai lengan Senopati Segawon Alas hancur tercacah-cacah!
Kembali senopati Kerajaan Iblis Dasar Langit kalah telak!

“Bagaimana?
Kita lanjutkan pertarungan?” kata Gadis Naga Biru sambil menodongkan ujung mata pedang ke leher Senopati Segawon Alas diiringi senyum penuh kemenangan.

“Kau hebat, anak manusia! Aku mengaku kalah padamu! Kalau mau bunuh, bunuhlah!” seru Senopati Segawon Alas, namun di otak liciknya ia berkata lain, “Setahuku, para manusia biasanya akan melepaskan lawan yang sudah menyerah kalah.
Begitu ia lengah ... aku bisa membokongnya dari belakang!”

“Kalau begitu ... dengan senang hati, sobat!”

“Tung ... “

Crasss ... !

Pedang Samurai Kazebito langsung berkelebat cepat dari kiri ke kanan di atas leher.

Buushhh ... !

Jurus sederhana tanpa variasi telah menamatkan riwayat Senopati Segawon Alas dengan kepala lepas dari lehernya.

“Huh, siluman jelek macammu berusaha mengkadali aku? Tolol bin bego namanya,” gerutu Gadis Naga Biru.
Tiba-tiba dari mulut Gadis Naga Biru menetes darah segar!
Rupanya serangan terakhir lawan secara tidak langsung mengenai bagian dalam tubuhnya sedikit berguncang, hingga membuat gadis cantik berbaju biru laut mengalami luka dalam meski tidak terlalu parah.
Gadis itu segera menyusut darah yang menetes keluar.

Paksi Jaladara yang melihat Gadis Naga Biru terluka, segera berkelebat menghampiri.

“Kau terluka, Nimas?”

“Hanya luka ringan, kakang. Tidak apa-apa.”

“Lebih baik kau sembuhkan dulu lukamu di sana,” kata Paksi Jaladara sambil memapah Gadis Naga Biru, lalu berjalan cepat di depan bola cahaya kuning kunang-kunang.

“Cepat telan ini,” kata Paksi Jaladara sambil memasukkan sebuah bola kecil ke dalam mulut kekasihnya.

Gadis Naga Biru menurut saja, membuka mulut dan menelan benda putih yang rasanya manis dan harum, kemudian duduk bersemadi menyembuhkan luka.

Dengan tewasnya Senopati Monyet Plangon dan Senopati Segawon Alas, membuat para pendekar yang lain semakin bersemangat.

Di posisi lain, Senopati Babi Angot si siluman babi telah berubah bentuk menjadi celeng hutan seukuran kerbau bunting.
Berbulu hitam legam seperti arang dan mengkilat seperti berminyak.

Sudah berulang kali Gineng, murid tunggal Tabib Sakti Berjari Sebelas dari Pulau Khayangan menyarangkan tendangan dan pukulan-pukulan sakti tapi selalu meleset.
Tidak ada satu pun yang tepat sasaran.

“Aneh, semua jurus-jurusku seperti menyentuh benda licin.
Jurus ‘Pisau Lidah Naga’ seperti tidak berguna sama sekali,” pikirnya sambil menyerang beberapa titik kelemahan celeng raksasa yang main seruduk dengan sepasang taring tajam di mukanya.

Syutt! Sett!!

Kembali jurus 'Pisau Menusuk Enam Nadi' gagal.

“Bocah ingusan! Grook ... Kau tidak akan bisa menembus Ilmu 'Kulit Celeng Emas' dengan cara apa pun! Grook!” seru Senopati Babi Angot sembari menyeruduk ke depan dengan cepat.

Memang pada dasarnya siluman babi ini tidak memiliki satu jurus silat pun dan dia pula satu-satunya senopati dari Kerajaan Iblis Dasar Langit yang tidak memiliki jurus-jurus silat, akan tetapi jika ilmu-ilmu kesaktian, dialah gudangnya.
Ilmu 'Baju Besi Iblis' bisa dikuasai hingga tingkat emas, sedang para senopati lain paling banter cuma tingkat hitam, coklat atau merah itu pun sudah bisa dibilang tangguh.
Dan dia pulalah satu-satunya siluman yang berani menggabungkan Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat emas dengan 'Tenaga Gaib Siluman Babi' hingga menghasilkan ilmu baru yang dinamainya sendiri Ilmu 'Kulit Celeng Emas' dimana ilmu berupa selubung cahaya hitam keemasan yang bisa mementalkan segala macam senjata dan pukulan sakti apa pun baik dari golongan manusia dan mahkluk gaib.

Sekilas kemampuan Ilmu 'Kulit Celeng Emas' mirip sekali dengan Ajian 'Belut Putih' atau Ilmu 'Lembu Sekilan' yang bisa mementalkan serangan dalam jarak sejengkal tangan.
Akan tetapi yang paling diandalkan siluman babi ini adalah sebentuk benda bulat merah muda seperti gelang yang tersangkut di hidungnya.
Benda sakti yang paling diburu para manusia yang konon katanya bisa membuat kebal, menghilang tanpa bayangan bahkan menjadi orang paling sakti di seluruh jagad.
Rantai Babi!

Gineng bergerak lincah menghindari serudukan lawan.

Brakk!

Pohon jati sebesar sepelukan orang dewasa langsung tumbang!

“Gila, pohon segede gitu bisa tumbang,” pikir Gineng sambil menghindari rubuhan pohon jati.
“Kepalanya pasti dari batu dia!”

Brassh ... !

Begitu pohon tumbang menyentuh tanah, Gineng kembali melakukan serangan yang lebih dahsyat.
Kali ini ia tidak menggunakan Ilmu Silat ‘Tangan Seribu Depa’ atau pun Jurus ‘Pisau Lidah Naga’ yang diajarkan oleh Ki Ragil Kuniran, tapi sebentuk ilmu silat yang hanya dimiliki oleh orang-orang dari Pulau Khayangan.
Ilmu Silat ‘Aliran Pulau Khayangan’!
Sepasang tangan Gineng bergerak lincah menampar, menebas, menusuk dan menotok dengan kecepatan kilat disertai hamparan hawa panas menggila.

Tukk! Takk! Took! Prakk! Jrubb!

Hawa serangan panas langsung menyusup masuk ke dalam tubuh lawan.
Berulang kali Gineng melakukan serangan tersebut hingga celeng raksasa merasakan sekujur tubuhnya bagai dimasukkan dalam kuali mendidih, sehingga beberapa bagian dari tubuh Senopati Babi Angot yang terselubungi Ilmu 'Kulit Celeng Emas' terlihat koyak di hampir seluruh tubuhnya.
Dan akibatnya ... tubuh besar itu bagai di bakar api dari dalam!

Grroook ... groookk ... !

Dengusan keras keluar dari lubang hidung disertai semburan api.
Rupanya Senopati Babi Angot berusaha meredam hawa panas yang membakar tubuh dari dalam dengan menggunakan kelebihan Ilmu 'Kulit Celeng Emas'-nya. Tanpa perlu tempo lama, tenaga asing yang masuk ke dalam tubuh bisa dikeluarkan sebagian besar.

“He-he-he, anak manusia! Rupanya kau masih berhubungan dengan si Naga Khayangan!”

“Huh, aku tidak kenal dengan si Naga Khayangan!” seru Gineng setelah melihat jurus 'Menampar Matahari Menghias Langit'-nya gagal.

Memang perlu diketahui, pemuda yang dulu pernah menjadi kusir Ki Ragil Kuniran ini memang baru tiga tahun lamanya diangkat sebagai murid terakhir dari Ki Gedhe Jati Kluwih atau yang terkenal dengan julukan Tabib Sakti Berjari Sebelas.
Namun dengan waktu yang sependek itu, ia sudah harus turun gunung membantu Paksi Jaladara yang sedang menghadapi masalah pelik yang erat kaitannya dengan kelangsungan hidup umat manusia di muka bumi.
Sampai-sampai silsilah Aliran Pulau Khayangan pun tidak sempat diceritakan oleh gurunya, karena waktu itu sudah sangat mendesak sekali.

Dengan berbekal ilmu silat baru, ia langsung beradu cepat dengan waktu yang semakin sedikit dan pada akhirnya ia sampai di tempat tujuan tepat pada waktunya.

“Apa? Kau tidak kenal dengan si Naga Khayangan?” kata Senopati Babi Angot dengan heran.
“Lalu bagaimana kau bisa menguasai ‘Tenaga Sakti Pulau Khayangan’?”

“Karena aku murid Tabib Sakti Berjari Sebelas dari Pulau Khayangan!” bentak Gineng sambil melancarkan dua pukulan lurus ke depan.

“Huh, cuma ‘Tonjokan Dewa Melintas Langit’! Apa bagusnya?” jengek Senopati Babi Angot sambil menggoyangkan kepala.
Dari Rantai Babi meluncur seberkas cahaya merah yang langsung memapaki gumpalan api yang berasal dari ‘Tonjokan Dewa Melintas Langit’!

Blamm!

Gineng langsung terpental ke belakang disertai tersemburnya darah merah dari mulut.

Brugh!

Pemuda itu terkapar dengan napas kembang kempis, jelas bahwa murid dari Tabib Sakti Berjari Sebelas dalam kondisi terluka parah.

Meski cuma satu serangan saja, Rantai Babi yang ada di hidung Senopati Babi Angot sekelas dengan gempuran delapan orang tokoh sakti rimba persilatan.

Jika pemuda itu masih bisa menggerakkan kepala dan jari tangan itu sudah merupakan keberuntungan yang tak ternilai.
“Celaka! Siluman babi ini lebih kuat dari perkiraanku sebelumnya,” pikir Gineng sambil berusaha bangun.

Baru saja mengangkat kepala, sebuah bayangan hitam sudah melayang di udara, siap menimpa tubuh Gineng dari atas.

“Mampus kau, anak muda!” seru Senopati Babi Angot dari ketinggian.

Gineng hanya bisa membelalakkan mata dan bayangan kematian terlintas di dalam benaknya.
Meski otaknya menginginkan ia bergerak menghindar, tapi luka dalamnya tidak memungkinkan tubuh pemuda itu bergeser sedikit pun juga. Semua bagian tubuhnya seperti dirontokkan dari dalam.
Satu-satunya yang masih bisa bergerak hanyalah jari tangan kiri!

“Simbok! Guru! Ki Ragil! Aku pamit mendahului kalian!” seru Gineng keras-keras sambil menghimpun ‘Tenaga Sakti Pulau Khayangan’ sekuatnya.

Paksi Jaladara yang melihat Gineng dihimpit maut hanya bisa terpana.
Pemuda itu seakan terbius oleh kejadian yang terjadi di depan mata.
Sulit sekali si Elang Salju menggerakkan kaki tangan yang seolah-olah terpaku kencang di bumi.

Wutt!! Blamm ... Blamm ... !

Tubuh celeng hutan jelmaan dari Senopati Babi Angot dengan keras menghantam tubuh lunglai Gineng.
Bobot ribuan kati dengan manis menggencet tubuh pemuda yang dulu sangat akrab dengan Paksi Jaladara.
Tiba-tiba sebentuk kesadaran muncul dalam keterlambatan.

“Kakang Gineng!” seru Paksi sambil jatuh berlutut melihat Gineng yang sudah dianggap sebagai saudara sendiri mati mengenaskan.
Mata pemuda itu nanar memandang kepulan debu yang membuncah menutupi tempat pertarungan antara Gineng dengan Senopati Babi Angot terjadi.

Begitu debu meluruh, terlihat suatu pemandangan ganjil!
Tubuh celeng raksasa itu seperti mengambang sejarak sejengkal dari tubuh Gineng, sedang pemuda itu terlihat menutup mata sambil tangan kiri menusukkan sesuatu ke dalam perut lawan yang berusaha menindihnya dari atas.

“Kau ... kau ... grookk ... “

Hanya itu yang terdengar dari mulut Senopati Babi Angot yang secara berangsur-angsur berubah wujud menjadi sesosok tubuh besar laki-laki dengan badan gemuk luar biasa.
Seluruh tubuhnya terbungkus baju tebal warna hitam, hanya di bagian hidung yang tetap berbentuk seperti moncong babi sedang di tangan kanan terdapat sebentuk gelang Rantai Babi.
Sesaat kemudian tubuh serba hitam itu diselimuti pijaran cahaya biru keemasan yang membungkus dengan cepat tubuh besar yang semula ingin menindih Gineng.

Sratt ... srattt ... rett ... !!

Sebuah senyum terukir di bibir bertaring.
“Terima kasih, anak muda!
Kau telah menyempurnakan diriku yang terbelenggu dalam naungan iblis,” kata lirih Senopati Babi Angot.

“Apa maksudmu?”

-o0o-
Lancrotkan hu, di tunggu updatenya selalu
 
Bab 48

Rupanya Sepasang Golok Mengejar Bulan telah beraksi.
Sepasang golok berbentuk lengkung seperti bulan sabit dengan lima cerukan di bagian tengah bergerak dalam aturan-aturan tertentu seperti menggunakan jurus-jurus pedang.

Untuk pertama kalinya pemuda sakti berbaju putih menggunakan jurus pedang tunggal aliran Partai Matahari Terbit yang bernama jurus ‘Terbit Di Timur, Tenggelam Di Barat’ untuk menggerakkan sepasang golok lengkung.
Adakalanya tangan kiri bergerak dengan pola-pola serangan ke arah kiri, begitu pula tangan kanan bergerak dengan pola serangan ke arah kanan.

Sett ... reett!!

Suara gesekan angin semakin keras menyayat laksana ratapan hantu di siang bolong.
Semakin cepat bergerak, suara sayatan semakin membuat gendang telinga para penghuni alam gaib laksana ditusuk-tusuk ribuan jarum.
Saat dilanjutkan dengan gerakan menebas, Paksi Jaladara mengubah gerakan menjadi arah yang berseberangan, satu bergerak ke kiri dan satunya bergerak ke kanan dengan kecepatan yang lebih tinggi hingga nampak kelebatan bayangan putih kehitaman, sehingga kelihatan menjadi dua serangan yang berbeda meski tetap menggunakan jurus yang sama.
Tampak dua bayangan yang seolah saling berlomba membantai lawan.
Kali ini gabungan Ilmu ‘Mengendalikan Badai’ dan jurus pedang ‘Terbit Di Timur, Tenggelam Di Barat’ bagai tangan panjang Paksi Jaladara.

Rrrtt ... critt ... ! Crriing!! Triing ... !!

Kepulan asap abu-abu semakin banyak memenuhi tempat itu.

“Pantas Kakang Paksi bersikukuh menggunakan golok uniknya, rupanya ia mahir menggunakan senjata aneh itu dengan cara luar biasa,” kata hati Gadis Naga Biru atau Retno Palupi yang menggunakan Ilmu ‘Pedang Naga Laut’ warisan sang kakek lewat Pedang Samurai Kazebito yang digenggam dengan tangan kanan, sedang tangan kiri merapal ‘Tiga Belas Pukulan Telapak Kosong’, sehingga diantara desingan pedang terselip suara gemuruh ombak yang menghantam batu karang.
Saking cepatnya ia bergerak membuat tubuh gadis itu berubah menjadi sebentuk bayangan biru yang berkelebat cepat menyambar-nyambar bagai camar di laut.

Gadis Naga Biru, putri tunggal Majikan Wisma Samudera bertarung sengit dengan Senopati Segawon Alas, dimana 'Tenaga Gaib Siluman Serigala' sudah dikerahkan hingga maksimal bahkan Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat coklat dikerahkan sampai tingkat tertinggi.
Sehingga seluruh arena pertarungan dipenuhi dengan gulungan bayangan pedang yang menari-nari liar disertai suara tapak menggemuruh laksana badai di laut beradu tanding dengan hujan cakar serigala yang gesit dan adakalanya melakukan gebrakan-gebrakan tak terduga.
Bahkan lontaran beberapa pukulan sakti sering terdengar diantara celah-celah pertarungan.

Akan tetapi, terdapat keanehan pada gerak siluman serigala di kala pedang aneh yang ada di tangan lawan mengejar dirinya.
Siluman berdarah campuran yang kebal senjata karena Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat coklat tidak berani membenturkan sepasang tangan dengan pedang aneh panjang melengkung di tangan gadis jelita yang menjadi lawannya.

“Aneh, kenapa aku memiliki rasa takut terhadap pedang melengkung di tangan gadis itu?” pikirnya sambil mengerahkan tendangan beruntun ke arah kuda-kuda kokoh si dara cantik berbaju biru. “Lebih baik aku rebut dulu pedangnya, baru orangnya kuhabisi belakangan.”

Wukk! Wukk!

Gadis Naga Biru melenting sambil mengayunkan pedang panjang lewat jurus 'Naga Siluman Menjulurkan Lidah' berusaha membuntungi sepasang kaki Senopati Segawon Alas dari atas, sedang tangan kanan menyerang dengan jurus 'Selaksa Tapak Membelah Laut'.

Werr ... swerrr ... ziing ... !

Melihat kaki terancam putus sebatas lutut sedang bagian atas dihadang puluhan tapak yang datang bagai gelombang membuat Senopati Segawon Alas mengambil resiko tinggi. Mengandalkan Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat coklatnya, manusia serigala berguling ke depan dan membiarkan bagian punggung terhantam serangan lawan.

Dess! Prakk! Brakk!

Bersamaan dengan itu pula, sepasang kakinya berhasil lolos dari sergapan pedang, namun ia melupakan satu hal!
Bagian ekor!
Di bagian itu terlupa sama sekali, karena ia hanya memikirkan sepasang kaki. Hingga tanpa bisa dicegah lagi, ekor panjang Senopati Segawon Alas terbabat putus setengah lebih.

Crasss ... !!

“Aaauuuungg ... “

Suara raungan serigala kesakitan langsung terdengar keras.
Darah kental coklat kehitaman menetes keluar dari bekas potongan ekor.

“Sial ... ternyata mata pedang berasal dari batu dingin dari Pegunungan Himalaya,” terdengar gumaman lirih saat merasakan rasa dingin menjalar masuk lewat bagian ekornya yang terpotong putus.
Darah kental kecoklatan menetes keluar disertai bau amis.

Melihat lawan terluka membuat serangan Retno Palupi semakin meningkat.
“Serigala jelek! Lebih baik kau menyerah saja!” serunya sambil memutar-mutar pedang membentuk gulungan-gulungan tajam, kemudian dikibaskan ke depan diiringi bentakan keras. “Terima jurusku ... ! Hiyaaa ... !”

Wuuukk ... wuuk ... werr ... !

Sebentuk gulungan hawa pedang dari jurus 'Tarian Naga Laut' langsung menggebah maju disertai serangan tapak yang menyusul belakangan. Jurus kedua dari ‘Tiga Belas Pukulan Telapak Kosong’ yang bernama 'Dewa Samudera Memecah Gelombang' menggebah dengan dashyat bagai mendorong maju gulungan hawa pedang dari jurus 'Tarian Naga Laut'!

'Tenaga Gaib Siluman Serigala' sudah tidak seperti sebelumnya, menurun separoh lebih karena putusnya bagian ekor, sebab di bagian ekorlah sebenarnya merupakan titik lemah paling utama dari ilmu tenaga gaib tersebut.
Meski tanpa sengaja terputus oleh lawan, membuat Senopati Segawon Alas harus berpikir dua kali lipat memapaki dua jurus serangan lawan. Namun saat ini tidak ada waktu lagi untuk berpikir panjang.
Tidak ada pilihan lain, dengan kekuatan tersisa ia mengemposkan 'Tenaga Gaib Siluman Serigala' ke tahap yang paling tinggi bisa ia kerahkan.

“Brengsek! Hanya bisa pada tingkat ke lima!” pikirnya kuatir, sedang serangan lawan kini sejarak setengah tombak lagi di depannya.
Diikuti raungan keras, sepuluh kuku jari Senopati Segawon Alas berubah memanjang.

Crakk! Crakk! Crakk!

Ilmu 'Sepuluh Kuku Serigala Setan' dengan manis memotong-motong hawa pedang dari jurus 'Tarian Naga Laut', bahkan puluhan serangan tapak dari jurus 'Dewa Samudera Memecah Gelombang' pun kandas di bawah Ilmu 'Sepuluh Kuku Serigala Setan' yang dilancarkan si manusia serigala.

Blarr ... blarrr ... !

“Ha-ha-ha! Bagus, rupanya kemampuanmu tidak setangguh yang kukira, anak manusia!” seru Senopati Segawon Alas setelah mengetahui bahwa tenaga sakti milik lawan tidak sehebat penampakannya.
Hal itu membuat semangatnya meninggi seketika.
Namun rasa senangnya hanya sesaat.
Tiba-tiba sebuah gulungan kecil menyeruak di antara pecahan hawa pedang dan tapak.

Crass! Crass! Crass! Crass!

Akibatnya, dari ujung jari sampai pangkal lengan Senopati Segawon Alas terbabat putus membentuk potongan-potongan daging kecil-kecil.

Plukk! Plukk! Blushh ... !!

“Auuuungg ... auuungg ... Bangh ... shhat ... !”

Kembali terdengar raungan serigala kesakitan untuk kedua kalinya, kali ini lebih keras dan lebih menyayat hati!
Kehilangan ekor masih bisa ditumbuhkan lagi dengan bertapa selama dua purnama, tapi kehilangan dua tangan sekaligus dalam waktu bersamaan justru membutuhkan waktu puluhan tahun untuk menumbuhkan tangan baru yang sama bentuk dan sifatnya.

Rupanya Gadis Naga Biru menerapkan teori 'di dalam jurus ada jurus'.
Saat ia mengerahkan hawa pedang dari jurus 'Tarian Naga Laut' memang dikerahkan bentuk hawa bayangan tanpa ada tenaga dalam yang menyertainya.
Demikian pula dengan jurus 'Dewa Samudera Memecah Gelombang' yang meski terlihat garang dari luar, tapi kosong di dalam.
Itulah sebabnya mengapa Ilmu 'Sepuluh Kuku Serigala Setan' milik Senopati Segawon Alas dengan mudah membuat dua jurus maut tersebut tercerai-berai.

Begitu dua jurus pancingannya berhasil memancing kelengahan lawan, jurus 'Naga Meliuk Menelan Mangsa' yang berbentuk sebuah gulungan kecil menerobos di antara celah-celah jurus yang hancur.
Dan hasilnya, dari ujung jari sampai lengan Senopati Segawon Alas hancur tercacah-cacah!
Kembali senopati Kerajaan Iblis Dasar Langit kalah telak!

“Bagaimana?
Kita lanjutkan pertarungan?” kata Gadis Naga Biru sambil menodongkan ujung mata pedang ke leher Senopati Segawon Alas diiringi senyum penuh kemenangan.

“Kau hebat, anak manusia! Aku mengaku kalah padamu! Kalau mau bunuh, bunuhlah!” seru Senopati Segawon Alas, namun di otak liciknya ia berkata lain, “Setahuku, para manusia biasanya akan melepaskan lawan yang sudah menyerah kalah.
Begitu ia lengah ... aku bisa membokongnya dari belakang!”

“Kalau begitu ... dengan senang hati, sobat!”

“Tung ... “

Crasss ... !

Pedang Samurai Kazebito langsung berkelebat cepat dari kiri ke kanan di atas leher.

Buushhh ... !

Jurus sederhana tanpa variasi telah menamatkan riwayat Senopati Segawon Alas dengan kepala lepas dari lehernya.

“Huh, siluman jelek macammu berusaha mengkadali aku? Tolol bin bego namanya,” gerutu Gadis Naga Biru.
Tiba-tiba dari mulut Gadis Naga Biru menetes darah segar!
Rupanya serangan terakhir lawan secara tidak langsung mengenai bagian dalam tubuhnya sedikit berguncang, hingga membuat gadis cantik berbaju biru laut mengalami luka dalam meski tidak terlalu parah.
Gadis itu segera menyusut darah yang menetes keluar.

Paksi Jaladara yang melihat Gadis Naga Biru terluka, segera berkelebat menghampiri.

“Kau terluka, Nimas?”

“Hanya luka ringan, kakang. Tidak apa-apa.”

“Lebih baik kau sembuhkan dulu lukamu di sana,” kata Paksi Jaladara sambil memapah Gadis Naga Biru, lalu berjalan cepat di depan bola cahaya kuning kunang-kunang.

“Cepat telan ini,” kata Paksi Jaladara sambil memasukkan sebuah bola kecil ke dalam mulut kekasihnya.

Gadis Naga Biru menurut saja, membuka mulut dan menelan benda putih yang rasanya manis dan harum, kemudian duduk bersemadi menyembuhkan luka.

Dengan tewasnya Senopati Monyet Plangon dan Senopati Segawon Alas, membuat para pendekar yang lain semakin bersemangat.

Di posisi lain, Senopati Babi Angot si siluman babi telah berubah bentuk menjadi celeng hutan seukuran kerbau bunting.
Berbulu hitam legam seperti arang dan mengkilat seperti berminyak.

Sudah berulang kali Gineng, murid tunggal Tabib Sakti Berjari Sebelas dari Pulau Khayangan menyarangkan tendangan dan pukulan-pukulan sakti tapi selalu meleset.
Tidak ada satu pun yang tepat sasaran.

“Aneh, semua jurus-jurusku seperti menyentuh benda licin.
Jurus ‘Pisau Lidah Naga’ seperti tidak berguna sama sekali,” pikirnya sambil menyerang beberapa titik kelemahan celeng raksasa yang main seruduk dengan sepasang taring tajam di mukanya.

Syutt! Sett!!

Kembali jurus 'Pisau Menusuk Enam Nadi' gagal.

“Bocah ingusan! Grook ... Kau tidak akan bisa menembus Ilmu 'Kulit Celeng Emas' dengan cara apa pun! Grook!” seru Senopati Babi Angot sembari menyeruduk ke depan dengan cepat.

Memang pada dasarnya siluman babi ini tidak memiliki satu jurus silat pun dan dia pula satu-satunya senopati dari Kerajaan Iblis Dasar Langit yang tidak memiliki jurus-jurus silat, akan tetapi jika ilmu-ilmu kesaktian, dialah gudangnya.
Ilmu 'Baju Besi Iblis' bisa dikuasai hingga tingkat emas, sedang para senopati lain paling banter cuma tingkat hitam, coklat atau merah itu pun sudah bisa dibilang tangguh.
Dan dia pulalah satu-satunya siluman yang berani menggabungkan Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat emas dengan 'Tenaga Gaib Siluman Babi' hingga menghasilkan ilmu baru yang dinamainya sendiri Ilmu 'Kulit Celeng Emas' dimana ilmu berupa selubung cahaya hitam keemasan yang bisa mementalkan segala macam senjata dan pukulan sakti apa pun baik dari golongan manusia dan mahkluk gaib.

Sekilas kemampuan Ilmu 'Kulit Celeng Emas' mirip sekali dengan Ajian 'Belut Putih' atau Ilmu 'Lembu Sekilan' yang bisa mementalkan serangan dalam jarak sejengkal tangan.
Akan tetapi yang paling diandalkan siluman babi ini adalah sebentuk benda bulat merah muda seperti gelang yang tersangkut di hidungnya.
Benda sakti yang paling diburu para manusia yang konon katanya bisa membuat kebal, menghilang tanpa bayangan bahkan menjadi orang paling sakti di seluruh jagad.
Rantai Babi!

Gineng bergerak lincah menghindari serudukan lawan.

Brakk!

Pohon jati sebesar sepelukan orang dewasa langsung tumbang!

“Gila, pohon segede gitu bisa tumbang,” pikir Gineng sambil menghindari rubuhan pohon jati.
“Kepalanya pasti dari batu dia!”

Brassh ... !

Begitu pohon tumbang menyentuh tanah, Gineng kembali melakukan serangan yang lebih dahsyat.
Kali ini ia tidak menggunakan Ilmu Silat ‘Tangan Seribu Depa’ atau pun Jurus ‘Pisau Lidah Naga’ yang diajarkan oleh Ki Ragil Kuniran, tapi sebentuk ilmu silat yang hanya dimiliki oleh orang-orang dari Pulau Khayangan.
Ilmu Silat ‘Aliran Pulau Khayangan’!
Sepasang tangan Gineng bergerak lincah menampar, menebas, menusuk dan menotok dengan kecepatan kilat disertai hamparan hawa panas menggila.

Tukk! Takk! Took! Prakk! Jrubb!

Hawa serangan panas langsung menyusup masuk ke dalam tubuh lawan.
Berulang kali Gineng melakukan serangan tersebut hingga celeng raksasa merasakan sekujur tubuhnya bagai dimasukkan dalam kuali mendidih, sehingga beberapa bagian dari tubuh Senopati Babi Angot yang terselubungi Ilmu 'Kulit Celeng Emas' terlihat koyak di hampir seluruh tubuhnya.
Dan akibatnya ... tubuh besar itu bagai di bakar api dari dalam!

Grroook ... groookk ... !

Dengusan keras keluar dari lubang hidung disertai semburan api.
Rupanya Senopati Babi Angot berusaha meredam hawa panas yang membakar tubuh dari dalam dengan menggunakan kelebihan Ilmu 'Kulit Celeng Emas'-nya. Tanpa perlu tempo lama, tenaga asing yang masuk ke dalam tubuh bisa dikeluarkan sebagian besar.

“He-he-he, anak manusia! Rupanya kau masih berhubungan dengan si Naga Khayangan!”

“Huh, aku tidak kenal dengan si Naga Khayangan!” seru Gineng setelah melihat jurus 'Menampar Matahari Menghias Langit'-nya gagal.

Memang perlu diketahui, pemuda yang dulu pernah menjadi kusir Ki Ragil Kuniran ini memang baru tiga tahun lamanya diangkat sebagai murid terakhir dari Ki Gedhe Jati Kluwih atau yang terkenal dengan julukan Tabib Sakti Berjari Sebelas.
Namun dengan waktu yang sependek itu, ia sudah harus turun gunung membantu Paksi Jaladara yang sedang menghadapi masalah pelik yang erat kaitannya dengan kelangsungan hidup umat manusia di muka bumi.
Sampai-sampai silsilah Aliran Pulau Khayangan pun tidak sempat diceritakan oleh gurunya, karena waktu itu sudah sangat mendesak sekali.

Dengan berbekal ilmu silat baru, ia langsung beradu cepat dengan waktu yang semakin sedikit dan pada akhirnya ia sampai di tempat tujuan tepat pada waktunya.

“Apa? Kau tidak kenal dengan si Naga Khayangan?” kata Senopati Babi Angot dengan heran.
“Lalu bagaimana kau bisa menguasai ‘Tenaga Sakti Pulau Khayangan’?”

“Karena aku murid Tabib Sakti Berjari Sebelas dari Pulau Khayangan!” bentak Gineng sambil melancarkan dua pukulan lurus ke depan.

“Huh, cuma ‘Tonjokan Dewa Melintas Langit’! Apa bagusnya?” jengek Senopati Babi Angot sambil menggoyangkan kepala.
Dari Rantai Babi meluncur seberkas cahaya merah yang langsung memapaki gumpalan api yang berasal dari ‘Tonjokan Dewa Melintas Langit’!

Blamm!

Gineng langsung terpental ke belakang disertai tersemburnya darah merah dari mulut.

Brugh!

Pemuda itu terkapar dengan napas kembang kempis, jelas bahwa murid dari Tabib Sakti Berjari Sebelas dalam kondisi terluka parah.

Meski cuma satu serangan saja, Rantai Babi yang ada di hidung Senopati Babi Angot sekelas dengan gempuran delapan orang tokoh sakti rimba persilatan.

Jika pemuda itu masih bisa menggerakkan kepala dan jari tangan itu sudah merupakan keberuntungan yang tak ternilai.
“Celaka! Siluman babi ini lebih kuat dari perkiraanku sebelumnya,” pikir Gineng sambil berusaha bangun.

Baru saja mengangkat kepala, sebuah bayangan hitam sudah melayang di udara, siap menimpa tubuh Gineng dari atas.

“Mampus kau, anak muda!” seru Senopati Babi Angot dari ketinggian.

Gineng hanya bisa membelalakkan mata dan bayangan kematian terlintas di dalam benaknya.
Meski otaknya menginginkan ia bergerak menghindar, tapi luka dalamnya tidak memungkinkan tubuh pemuda itu bergeser sedikit pun juga. Semua bagian tubuhnya seperti dirontokkan dari dalam.
Satu-satunya yang masih bisa bergerak hanyalah jari tangan kiri!

“Simbok! Guru! Ki Ragil! Aku pamit mendahului kalian!” seru Gineng keras-keras sambil menghimpun ‘Tenaga Sakti Pulau Khayangan’ sekuatnya.

Paksi Jaladara yang melihat Gineng dihimpit maut hanya bisa terpana.
Pemuda itu seakan terbius oleh kejadian yang terjadi di depan mata.
Sulit sekali si Elang Salju menggerakkan kaki tangan yang seolah-olah terpaku kencang di bumi.

Wutt!! Blamm ... Blamm ... !

Tubuh celeng hutan jelmaan dari Senopati Babi Angot dengan keras menghantam tubuh lunglai Gineng.
Bobot ribuan kati dengan manis menggencet tubuh pemuda yang dulu sangat akrab dengan Paksi Jaladara.
Tiba-tiba sebentuk kesadaran muncul dalam keterlambatan.

“Kakang Gineng!” seru Paksi sambil jatuh berlutut melihat Gineng yang sudah dianggap sebagai saudara sendiri mati mengenaskan.
Mata pemuda itu nanar memandang kepulan debu yang membuncah menutupi tempat pertarungan antara Gineng dengan Senopati Babi Angot terjadi.

Begitu debu meluruh, terlihat suatu pemandangan ganjil!
Tubuh celeng raksasa itu seperti mengambang sejarak sejengkal dari tubuh Gineng, sedang pemuda itu terlihat menutup mata sambil tangan kiri menusukkan sesuatu ke dalam perut lawan yang berusaha menindihnya dari atas.

“Kau ... kau ... grookk ... “

Hanya itu yang terdengar dari mulut Senopati Babi Angot yang secara berangsur-angsur berubah wujud menjadi sesosok tubuh besar laki-laki dengan badan gemuk luar biasa.
Seluruh tubuhnya terbungkus baju tebal warna hitam, hanya di bagian hidung yang tetap berbentuk seperti moncong babi sedang di tangan kanan terdapat sebentuk gelang Rantai Babi.
Sesaat kemudian tubuh serba hitam itu diselimuti pijaran cahaya biru keemasan yang membungkus dengan cepat tubuh besar yang semula ingin menindih Gineng.

Sratt ... srattt ... rett ... !!

Sebuah senyum terukir di bibir bertaring.
“Terima kasih, anak muda!
Kau telah menyempurnakan diriku yang terbelenggu dalam naungan iblis,” kata lirih Senopati Babi Angot.

“Apa maksudmu?”

-o0o-
Di tunggu kelanjutannya ki
 
Update suhuuuuuuu
siap om,
makasih ya

tau aja om,,,,, ya sama sama makasih kembali ane bisa baca ks ini ,,,,,,
makasih om masih betah bacanya

Siap ditunggu suhuu
iya om,
makasih ya

Moga aja jos nih update 6 part wkwk
hmmm...

seri pendekar salju baru sampe jilid 1 ya gan? nyari jilid 2 nya blm nemu gua
iya om, kabarnya jilid 2 nya mau naik cetak tp keknya ada masalah sm penerbitnya,
cmiiw

makasih update makin seru om tarungnya
makasih om

Pertaaa....... :haha:
duhh si eneng,
makasih ya

Mantap hu ceritanya
makasih om

Imaacih om updatennya...:ampun:
sama2 neng canteek,
makasih ya

matursuwun om....
Sehat&suksez sllu om
sama2 om,
sehat & sukses jg buat anda om,
makasih ya
Ada sie eneng di mari...
Belum tdur ajja nieh..
si eneng mah ga doyan tidur om

Mantap hu...
Di tunggu pokoknya sampe tamat...
siap om,
makasih ya

Wow mantap
makasih om

jos jos jos di tunggu kelanjutannya begawan :semangat::semangat:
hahahaha bisa aja nih om,
makasih ya

:aduh:..... misbar-gerimis bubar pilemnya ga bisa dilanjut :galau:

apaa itu kata terakhir senopati babi angot...:galak:
tenang gineng masi idup:dansa:

:benjol: lanjutin besok deh
makasih suhu :cup:
sama2 om,
makasih ya masih nungguin lanjutannya

Matur tankkyu kisanak.pendekar semprot....
sama2 kisanak,
makasih ya

Makasih updatenya kisanak:beer:
Jiaan kebangeten motongnya,update lagi dong om:D
makasih jg adipati masih berkenan singgah disini

Agi cari inspirasi lewat silat om hehe..
hmmm...
mau bikin cersil kah?

asiik nih dilanjut segera dong neng abang nungguin inih:bata:
ikuuuuttt

Thanks suhuu updatenya....
Makin seruu... nagih banget bacanya ..
Dinantikan kelanjutannya....
siap om,
makasih jg adipati masih berkenan singgah disini

Page 13..certa panjang berasa dikit saking asiknya..makasih up nya
makasih jg om

Thanks kisanak :ampun::mantap:
sama2 om,
makasih ya

Trimakasih kisanak luarbiasa abdetannya.... pasti sabar menanti kelanjutannya..:semangat::mantap::tepuktangan:
makasih jg hulubalang Mokiman msh betah dimari

Makasi updatenya hu....:mantap:
sama2 om,
makasih ya

masih trs menunggu kisah ini darimu kisanak...apakah cukup dgn waktu sepeminuman teh...atau perlu ke kafe utk pesan kopi?kwkwkwk....lanjut suhu.....
keknya senanak nasi deh om,
makasih ya

Masih menanti kelanjutan...!!!
siap om, bentar lg
makasih ya

sampurasan ssuhu
cerita berkelas...

updatenya menunggu brp penanakan nasi hu ?
rampess...hehehe
tergantung berasnya brp liter om

Kisanak dipun rantos up.date ipun
siap om bentar lg yah,
makasih ya

Lancrotkan hu, di tunggu updatenya selalu
siap juragan,
makasih ya

Wah... Ane bacanya sehari semalem nih... Yg ini ada kelanjutannya sampai tamat kan om @oyeckpunkerz??
siap om, dari sumbernya hanya sampai tamat jilid 1

Up up up suhu ditunggu suhu biar ga tenggelam
makasih om

Akhirnya...selese baca juga...
Hmm..lanjut terus om..
...
Si buta gmn kbr ny om Ts ?:pandapeace:
kabarnya kabur menuju gelap gulita om,
makasih ya

Cerita ini juga tidak tamat Mas Bro,mentok sampai jilid I saja.Kaya "Pendekar Si Pemanah Gadis cuma sampai
jilid III tapi tidak tamat.
yah gitu deh om,
makasih ya

Cius nih yahhhh padahal dah suka .. tanggung banget Doong terus buat apa di gelar di sini ya...kalo gak sampe TAMAT
jilid 1 tamat kok om

bang-bang pilemnya kapan dimulai yaa... :ngupil:
bentar lg senopati,
makasih ya

Ciaaaaaatttttttt......
Loh.....durung nongol to,ngiler meneh ahhhhh...
Grookk....grookk
sabar ki lurah

Di tunggu kelanjutannya ki
siap empu,
makasih ya

Wih tak kira udah update:pandaketawa:
wih tak kira belum,
makasih ya
 
Bab 49

“Dulu aku juga manusia sepertimu! Si Naga Khayangan yang aku tanyakan tadi masih terhitung temanku sendiri!
Hanya karena harta dan wanita aku bisa jadi seperti ini,” kata Senopati Babi Angot semakin lirih, sedang pijaran cahaya biru keemasan semakin kental membungkus tubuh gemuknya.

“Paman ... “

“Waktuku tidak banyak lagi!
Gurumu pasti bisa menjawab jika kau sebutkan nama Pati Wulung.
Ingat baik-baik nama itu, anak muda!”
Sosok Senopati Babi Angot yang mengaku bernama Pati Wulung semakin memudar .... memudar .... dan memudar.

Bushh ... wushh ... !!

Asap berbau harum langsung tercium saat tubuh Senopati Babi Angot meluruh bagai asap.
Seluruh tubuh Pati Wulung lenyap.
Hilang tak berbekas.
Yang tersisa hanya sebuah gelang merah muda tergeletak di tanah.

Entah mendapat kekuatan darimana, Gineng bisa bangkit dari tempatnya terkapar, menyisipkan kembali senjata anehnya, lalu memungut gelang yang sebelumnya melingkar di tangan kanan Pati Wulung.

Sebuah suara menyusup ke dalam dinding telinga si pemuda.
“Anak muda, kuberikan Gelang Rantai Babi itu padamu!
Gunakan untuk berbuat kebaikan, tolonglah sesama yang membutuhkan, tidak peduli siapa pun dia!”
Suara itu hanya sekali terdengar, kemudian menghilang di telan kegelapan.

“Terima kasih, Paman Pati Wulung,” bisik Gineng sambil memakai Gelang Rantai Babi di tangan kanan.

Sebenarnya, apa yang terjadi pada Gineng?
Rupanya kesadaran Gineng yang sudah hilang sebagian, membuatnya tidak sadar mencabut pisau pendek berbentuk aneh yang terselip di pinggang, pisau yang sebelumnya telanjang namun dimasukkan kembali ke dalam sarung saat terjadi pertarungan.
Cahaya pijar biru keemasan memancar keluar saat benda aneh itu tercabut dari sarungnya, suatu benda keramat yang sebenarnya milik Sesepuh Pulau Khayangan yang diwariskan turun temurun sebagai simbol jabatan ketua aliran.

Pisau Cula Badak Gaib!

Pisau Cula Badak Gaib berasal dari badak langka yang hidupnya sudah ratusan tahun lamanya menghuni Pulau Khayangan, bahkan umurnya lebih tua dari Tirta Kamandanu, kura-kura raksasa peliharaan Kura-Kura Dewa Dari Selatan.
Begitu binatang langka itu mati karena usia tua, seluruh tubuhnya melebur menjadi dua buah benda.
Satu berupa sarung pisau warna hitam kelabu dan satunya berbentuk pisau melengkung sepanjang satu jengkal yang memancarkan cahaya biru keemasan!

Tabib Sakti Berjari Sebelas maklum bahwa muridnya akan menghadapi masalah pelik, maka si kakek tabib meminjamkan Pisau Cula Badak Gaib sebagai pemandu jalan bagi muridnya.
Jarak dari Istana Elang dan Padukuhan Songsong Bayu yang seharusnya bisa ditempuh dalam tiga pekan perjalanan bisa dipersingkat lewat jalur gaib bila menggunakan Pisau Cula Badak Gaib.
Itulah sebabnya mengapa waktu Gineng datang pertama kali pisau itu masih tergenggam di tangannya.

Bagai digerakkan kekuatan gaib, pisau pusaka dari badak langka itu langsung menembus tepat di ulu hati Senopati Babi Angot!

Jrebb!

Pada awalnya Senopati Babi Angot yang merasakan rasa sakit di bagian ulu hati ingin mati bersama dengan lawan dengan cara menghantamkan pusaka Rantai Babi ke tubuh Gineng.
Tapi niat itu diurungkan karena entah darimana datangnya, sesosok tubuh laki-laki tua berkumis dan berjenggot putih bersih sudah berdiri di hadapannya dengan roman muka penuh kedamaian.
Sosok laki-laki berbaju putih kuning seperti pendeta terlihat mengukir senyuman sambil mengulurkan tangan.
Sosok itu hanya dirinya saja yang bisa melihat dan mendengar apa yang diucapkan sosok gaib tersebut.

“Apa kau siap berangkat, Pati Wulung?” kata lembut si laki-laki tua.

“Kau ... Kakang Naga Khayangan?” kata lirih Senopati Babi Angot atau Pati Wulung.

Laki-laki itu hanya mengangguk pelan.

Justru Gineng yang kebingungan melihat lawan bergumam tanpa diketahui ia berbicara dengan siapa.

“Hukumanmu telah selesai, sobat!
Kita bisa berkumpul kembali di Pulau Khayangan,” kata si Naga Khayangan.

“Terima kasih, kakang! Terima kasih!”

“Berterima kasihlah kau pada anak muda itu.
Karena uluran tangannya-lah kau bisa bebas dari hukuman yang membelenggu dirimu seumur hidup!
Aku menunggumu di pintu gerbang Pulau Khayangan, sobat lama!” kata si Naga Khayangan dengan sosok tubuh yang memudar, kemudian membentuk cahaya putih kekuningan dan meleset ke timur.

Kejadian tersebut hanya berlangsung sekejap.
Begitu sosok gaib Naga Khayangan raib, Pati Wulung segera meringankan bobot tubuhnya sehingga terlihat mengambang di udara sejarak satu jengkal dari tubuh Gineng yang tergolek di tanah.
Itulah yang terlihat oleh Paksi Jaladara dan Retno Palupi saat debu mulai meluruh, bahkan saat Senopati Babi Angot raib bisa diikuti dengan penglihatan sepasang kekasih itu.

Mereka hanya heran saja saat melihat Gineng berjalan dengan lambat-lambat menghampiri mereka berdua.

“Kakang Paksi, kau mencium sesuatu yang lain?”

“Aku tidak mencium apa pun, Nimas,” sahut Paksi Jaladara karena masih dalam keterpanaan sesaat.

“Bau harum bunga melati!” kata halus Retno Palupi, “Padahal biasanya akan tercium bau busuk saat para makhluk gaib itu tewas.”

Seolah sadar dari mimpi panjang, Paksi Jaladara menyahut, “Benar katamu, Nimas! Entah apa yang sebenarnya terjadi kakang Gineng.”

Begitu Gineng sampai di tempat mereka berdua, Paksi langsung menghujani dengan pertanyaan,
“Kakang, apa yang terjadi? Kau tidak apa-apa?”

“Nanti saja aku ceritakan, Den Paksi,” kata Gineng pendek.

-o0o-

Dua ekor harimau hitam dan putih sedang menikmati makan besar hari ini.
Bagaimana tidak makan besar, jika dihadapan dua raja hutan itu terhampar ribuan ekor ular besar kecil yang siap menghuni perut mereka.

Crakk! Crakk!

Beberapa ekor ular sawah sebesar lengan orang dewasa putus kepala saat mulut besar harimau hitam raksasa mencabik-cabik tubuh mereka.
Meski dua ekor harimau peliharaan Simo Bangak juga mendapat gigitan mematikan bukan hanya sekali dua, tapi dua raja hutan itu seperti tidak merasakan sakit sama sekali.
Tubuh mereka bagai terbuat dari besi saat taring-taring berbisa dengan menancap di kulit berbulu tebal itu.

Grrhh! Aummm ... ! Crakk! Blushh ... !

Beberapa ekor ular jejadian langsung mengasap saat tercakar kuku-kuku tajam si raja hutan.
Memang di antara binatang melata itu terdapat tidak kurang dari sekitar seratusan ular jejadian dari Barisan Ular Setan, sedang selebihnya adalah ular-ular asli.

Dengan naluri seekor harimau yang terlatih dengan baik, tentu saja Maung Pethak dan Maung Ireng bisa membedakan mana yang ular asli dan mana yang tidak.
Akan tetapi dua raja hutan itu seakan tidak peduli sama sekali apakah yang tergigit hingga leher putus atau tercabik-cabik cakar mereka asli atau bukan.
Pokoknya jika ada ular mendekat ... langsung disikat!

Sementara anak buahnya kocar-kacir menghadapi dua ekor harimau raksasa, justru Senopati Taksaka Sunti menikmati pertarungannya dengan si bocah sableng, Simo Bangak.
Bocah pewaris Sang Tanah yang menjadi lawannya berulang kali melakukan serangan maut berupa cakaran, tendangan dan lontaran pukulan-pukulan maut, tapi bisa diredam dengan Ilmu 'Selongsong Kulit Ular' yang hanya dimiliki bangsa ular siluman, dimana ilmu ini setara dengan Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat coklat.

“Hi-hi-hik! Bocah ganteng, kenapa tanganmu hanya menowel-nowel seluruh tubuhku saja?” tanya siluman ular Taksaka Sunti yang berulang kali ia seantero tubuhnya terkena sentuhan tangan Simo Bangak.
“Kecil-kecil sudah bisa membangkitkan selera, entah bagaimana kalau besar nanti?” kikik siluman ular sambil mengibaskan ekornya.

Wrakk!! Blarr ... !

Bocah dari Bukit Harimau itu berjumpalitan beberapa kali menghindari terjangan ekor ular sambil tangan kiri kanan melakukan cakaran di belakang kepala Senopati Taksaka Sunti.

Crakk crakk!

Jurus 'Harimau Menggulung Topan' tepat sasaran, namun hasilnya sama seperti yang sudah-sudah. Tubuh lawan licin seperti ular sehingga serangan jenis apa pun tidak bisa menembus tubuh siluman ular itu.
Bocah sableng berompi hitam dengan celana hitam setinggi lutut berikat pinggang sabuk kain warna hitam garis-garis hijau kembali berjumpalitan kiri dan ke kanan dengan lima jari tangan masih membentuk cakar harimau dan dengan sigap menerjang ke jurusan dada dan ulu hati. Kali ini jurus 'Harimau Hitam Menggetarkan Langit' dikerahkan dengan delapan bagian dari 'Hawa Sakti Seribu Harimau'!

Crakk Crakk!

Blarrr .... dharr ... !

Tubuh ular berbadan manusia terlempar beberapa tombak ke belakang, menimpa sebagian penghuni alam gaib yang sedang bertarung sengit.

Blumm ... blushh ... !

Banyak diantaranya yang tewas akibat tertimpa tubuh panjang Senopati Taksaka Sunti.
“Kurang ajar!” geram Senopati Taksaka Sunti sambil bangkit kemudian ekor panjangnya melakukan sabetan beruntun ke arah si bocah.

Wutt! Wutt!

Ekor sepanjang sembilan tombak menerjang diikuti dengan deru angin tajam disertai bau amis yang memualkan perut.

Simo Bangak dengan sigap menghindar dengan jurus 'Harimau Malas Menggeliat' dimana tubuhnya melengkung sedikit rupa ke belakang.

Sett!

Melihat serangannya gagal, sepasang tangan Senopati Taksaka Sunti yang membentuk kepala ular ikut menyusulkan serangan dadakan sambil berteriak, “Kalau kau bisa menghindar dari jurus 'Patukan Tangan Ular'-ku, kau ... “

“Hebat maksudmu?” potong si bocah sambil bergulingan di tanah. Bukannya bergerak menjauh menghindari serangan tapi ia malah mendekat ke arah perut lawan.

Bukk! Bukk! Buuk!!

Kembali suara gedebukan terdengar saat sepasang cakar Simo Bangak beradu keras dengan Ilmu 'Selongsong Kulit Ular'.
Bersamaan dengan itu pula, sebuah patukan dahsyat mendarat di punggung si bocah dengan telak.

Dhess ... !

Si bocah langsung terpelanting ke kanan dengan keras.

Brughh!

“Uuukh ... dasar ular brengsek! Dielus-elus kok tidak mau?” umpat Simo Bangak mengusap-usap punggung sambil mengalirkan 'Hawa Sakti Seribu Harimau' untuk mengurangi rasa nyeri.

“Huh! Dari tadi aku sudah membiarkan tangan jahilmu menikmati sekujur tubuhku!” bentak Senopati Taksaka Sunti sambil menggelung ekor panjangnya,
“Apa masih kurang?”

“Tentu saja masih!” kata Simo Bangak sedikit menggerutu.
“Belum banyak dari tubuhmu aku jelajahi!”

“Dasar bocah jahil!” bentak Senopati Taksaka Sunti sambil meludah ke arah Simo Bangak.

Cuhh!

Si bocah langsung menggeser tubuh ke kiri satu tombak.

Blushh!

Air ludah langsung membuat tanah menjadi bubur.

“Wah ... air liurmu hebat juga!” kata Simo Bangak bergidik ngeri,

“Kapan-kapan aku mau minta bantuanmu, deh.”

“Bantuan apa?”

“Bantuin buat bubur ayam, he-he-heh!”

Tiba-tiba tubuh si bocah berkelebat cepat.

Takk! Takk! Plakk!

Dua gumpalan padat dan kenyal di dada Senopati Taksaka Sunti yang bebas merdeka karena memang sengaja tidak ditutupi langsung terhajar kuat, dilanjutkan dengan sebuah tendangan cepat ke arah pusar yang langsung membuat wanita siluman ular itu mengkernyitkan alis meski sekilas.

“Wahh, dadamu benar-benar empuk!” seru Simo Bangak sambil membuka tutup kedua tangan, lalu hidungnya mengendus-endus pelan,
“Tapi sayang ... “

“Sayang apa?”

“Berbau busuk!” seru Simo Bangak sambil pura-pura mengibas-ngibaskan kedua tangan, seakan membuang benda busuk yang ada di tangan.

“Meski berbau busuk, tapi kau khan menikmatinya, cah bagus!” ucap Senopati Taksaka Sunti, pikirnya,
“Bocah ini ilmunya tidak seberapa tinggi, paling banter juga seperti tadi cuma menghempasku saja tanpa bisa membuatku cedera.
Lebih baik aku tawan saja dia, lima enam tahun ke depan ia pasti bisa memuaskan gairahku!”

Sejahil-jahilnya Simo Bangak, tentu saja ia penuh dengan perhitungan.
Sedari awal pertarungan ia sepertinya tidak sungguh-sungguh dalam melakukan serangan, semuanya bisa dikategorikan jurus picisan tanpa tenaga sama sekali.
Ada kalanya ia menowel pipi, mengusap dagu, meniup telinga bahkan sampai mengusap lembut ekor panjang milik Taksaka Sunti.
Bahkan ia dengan berani meremas dada kencang sang siluman ular dengan kedua tangan.

Senopati Taksaka Sunti pada mulanya menyangka bahwa bocah yang ditemani dua harimau hitam dan putih itu termasuk tokoh kelas tinggi.
Ia sudah bersiap-siap saat melihat beberapa kawannya langsung mengerahkan ilmu-ilmu kesaktian bangsa mereka pada tataran tertinggi.
Namun, melihat gerak dan tingkah laku si bocah yang menurutnya tidak memiliki ilmu tinggi membuatnya terlena sehingga ia membiarkan saja bocah berompi hitam melakukan aksi jahilnya.
Karena kelengahannya itu pulalah yang membuatnya terlempar deras akibat serangan jurus 'Harimau Hitam Menggetarkan Langit' dikerahkan dengan delapan bagian dari 'Hawa Sakti Seribu Harimau' milik si bocah.
Namun pikiran itu dibuang jauh-jauh saat si bocah kembali dengan sifat jahilnya.

Benarkah si bocah setolol itu menghadapi lawan?
Tentu saja tidak!
Apa yang dilakukan Simo Bangak semata-mata untuk mencari titik lengah lawan, sedang perkara bagian yang disentuh itu urusan lain, dianggapnya sebagai selingan.
Beberapa kali ia merasakan bahwa seluruh tubuh lawan bagai diselimuti sebentuk kekuatan tak kasat mata yang membuat setiap serangannya membalik dikala berhasil menyentuh tubuh Senopati Taksaka Sunti.
Untunglah ia hanya menggunakan tenaga biasa saat mencari titik lemah lawan, jika dilambari hawa tenaga dalam, mungkin ia sudah terluka parah sekarang ini.
Untuk mengetahui kebenaran dari analisanya, ia coba-coba mengerahkan jurus 'Harimau Hitam Menggetarkan Langit' disertai delapan bagian dari 'Hawa Sakti Seribu Harimau' dan akibatnya, selain bisa mementalkan lawan, ia merasakan serangan balik pada tubuhnya.

Meski mulutnya ngoceh tak karuan, otak cerdiknya justru bekerja keras.
“Dari semua tempat yang telah aku sentuh, baru satu titik kelemahannya di bagian pusar saja yang kuketahui.
Waktu kutendang tadi, tidak ada daya pantul sama sekali dari sana, dan sekilas kulihat ia mengkernyitkan alis.
Pasti di situ salah satu titik kelemahan!
Satu kukira sudah cukup!
Dan sekarang ... sudah saatnya mengirim siluman yang tak suka bagai baju ini menghadapi Sang Pencipta!” pikir si bocah, di luarnya justru ia berkata,
“Siluman cantik, boleh aku meminta sesuatu darimu, tidak?”

“Apa yang kau minta, cah bagus?”

“Aku mau ... memenggal lehermu dalam satu serangan! Boleh?”

Benar-benar permintaan gila!
Mana ada orang mau dengan sukarela mengijinkan lehernya dipenggal oleh orang lain.
Mungkin hanya orang gila yang mau mengijinkan orang memenggak lehernya sendiri.
Tapi kali ini yang gila bukan orang, tapi wanita siluman ular yang sudah miring otaknya!
 
Bab 50

“Hi-hi-hik, rupanya hanya itu permintaanmu, cah bagus!” kata Senopati Taksaka Sunti, lalu sambungnya,
“Baiklah ... aku kabulkan permintaanmu!
Tapi ... ada syaratnya.”

“Syarat?”

“Nyawaku sebagai taruhannya, tentu saja aku punya syarat untukmu!”

“Baiklah, katakan saja!” sahut Simo Bangak enteng, pikirnya,
“Emangnya gue pikirin!”

“Jika kau tidak bisa membunuhku, kau harus jadi pengikutku ... selama-lamanya!”

Dengan pura-pura berpikir keras, akhirnya Simo Bangak menjawab dengan jawaban mengambang,
“Menjadi pengikut wanita cantik sepertimu kukira tidak ada jeleknya.”

“Bagus! Ingat dengan janjimu!” kata Senopati Taksaka Sunti kegirangan tanpa pikir panjang, pikirnya,
“Akhirnya keinginanku tercapai.”

“Dengan apa kau akan memenggalku?”

“Dengan ini!”

Tangan kiri meraba pinggang kanan.
Melihat gerakannya saja, sudah bisa diperkirakan anak itu benar-benar bertangan kidal.

Srakkk! Criiing!

Sebilah golok dengan gagang kepala harimau putih sepanjang satu setengah kali panjang golok biasa tercabut keluar dari sarung kulit harimau yang membungkusnya.
Jika gagang golok warna putih berbentuk kepala harimau, justru bilah golok semuanya berwarna hitam kelam dengan pendaran cahaya hitam temaram.

Golok Hitam Taring Harimau!

Begitu Golok Hitam Taring Harimau keluar dari sarung, sepasang mata harimau Simo Bangak yang berwarna hijau menyala semakin terang dengan sebuah garis kuning melintang di tengah bola mata.
Cahaya hijau terang bagaikan setitik cahaya menerangi suasana kelam akibat Gerhana Matahari Kegelapan.

“Dengan golok seperti itu kau akan memenggalku bocah? Hi-hi-hi-hik!” ejek Senopati Taksaka Sunti,

“Perlu kau ketahui, ribuan senjata pusaka bangsa manusia tidak akan mempan terhadap Ilmu 'Selongsong Kulit Ular'-ku, bocah ganteng!”

“Kau masih tetap mengijinkan aku memenggal lehermu?” tanya Simo Bangak.
Kali ini suaranya terdengar berat dan dingin, tidak seperti sebelumnya yang cenderung ugal-ugalan.

“Boleh ... boleh .... ! Aku beri kau tiga kesempatan!
Aku tidak akan bergeser sedikit pun dari tempatku!” ucap Senopati Taksaka Sunti dengan sombongnya.

“Tidak akan membalas?”

“Sesuai keinginanmu, bocah muda!”

Simo Bangak segera menghempos 'Hawa Sakti Seribu Harimau' langsung ke tingkat dua belas, hingga sebentuk hawa padat berpendar-pendar paduan antara hitam dan hijau membungkus seluruh tubuh si bocah dalam jarak sejengkal.

Jwosssh ... wosshh ... !!

“Hehh, ilmu picisan seperti itu tidak bakal mempan padaku, bocah!” seru sang lawan.

Lain di kepala lain di ekor, itulah sifat asli seekor ular!
Melihat pancaran hawa si bocah yang berbeda dari sebelumnya, Senopati Taksaka Sunti menambah daya pental dari Ilmu 'Selongsong Kulit Ular' hingga ke tingkat menengah.

Werr ... !

Begitu 'Hawa Sakti Seribu Harimau' sudah pada puncaknya, Simo Bangak melenting ke tinggi atas sambil mengelebatkan golok di tangan kiri sampai menerbitkan suara mengaum keras bagai harimau lapar.
Salah satu jurus dari dua jurus ‘Golok Taring Harimau’ yang bernama 'Taring Harimau Menaklukkan Dewa' telah digelar, dimana Golok Hitam Taring Harimau berkelebat cepat ke sana kemari bagaikan mulut harimau yang terbuka lebar siap menerkam mangsa.

Craanng ... crangg!

Benturan keras disertai percikan bunga api terjadi saat Golok Hitam Taring Harimau dengan telak menebas leher Senopati Taksaka Sunti yang mengerahkan tahap menengah Ilmu 'Selongsong Kulit Ular'-nya.
Begitu serangan pertama gagal, tangan kanan Simo Bangak berkelebat cepat ke arah golok di tangan tangan kiri.

Sratt!!

Golok terbagi menjadi dua!

Tentu saja Senopati Taksaka Sunti terkejut bukan alang kepalang mengetahui golok di tangan bocah itu ternyata golok berpasangan!

Simo Bangak langsung memutar tubuh ke bawah sehingga posisi kaki di atas dengan kepala dibawah, sedang tangan kanan yang memegang golok langsung menggerakkan jurus kedua yang bernama 'Di Dunia Penuh Taring Harimau' sehingga seluruh tubuh Senopati Taksaka Sunti bagai dikurung ribuan bayangan golok yang merencahnya.

Crangg ... Criing!! Triing! Triing!

“Mampus kau!” pekik Simo Bangak sambil menggerakkan golok sebelah kiri, menusuk ke arah pusar!

Blesssh!!!

“Huaaaa ... “

Senopati Taksaka Sunti langsung menjerit saat Golok Hitam Taring Harimau terbenam hingga sampai gagangnya, tembus ke punggung.
Tubuh panjang itu langsung menggelepar-gelepar di tanah sambil mendekap pusarnya yang tertusuk golok.

Brakk! Brakk! Brull!

Badan ular itu menghancurkan apa saja yang disentuhnya, termasuk pula Simo Bangak harus pontang-panting menghindari sergapan ekor ular yang menggila.

“Huaaaa ... sakittt ... “

Jeritan Senopati Taksaka Sunti semakin keras, dan bersamaan dengan terlukanya siluman ular itu, Senopati Segawon Alas juga mengalami nasib yang tidak jauh berbeda di tangan Gadis Naga Biru.

Mati dengan leher tertebas pedang!

“Kau ... kau bohong padaku, bocah!” geram Senopati Taksaka Sunti dengan masih menggelepar-gelepar, sedang tangan kanan berusaha mencabut golok yang menancap di pusar, tapi ia urungkan.
Sebab jika sampai golok itu dicabut, itu sama saja dengan mempercepat kematiannya.

“Di bagian mana aku berbohong padamu, siluman jelek!” seru Simo Bangak sambil berkacak pinggang sebelah.

“Bukankah kau ingin ... memenggal leherku?”

“Sudah kulakukan!” jawab Simo Bangak enteng, sambil tangan kiri dan kanan saling menggosok satu sama lain, sedang golok satunya sudah tertancap di tanah.

“Lalu kenapa kau ... menusuk pusarku? Aaah .... aaa ... “ keluh kesakitan Senopati Taksaka Sunti.

“Sebenarnya aku yang pintar atau kau yang ******, sih?” sahut si bocah dengan tangan masih saling menggosok,

“Aku tanya padamu.”

“Katakan ... “

“Berapa kali kau memberiku kesempatan menyerangmu?”

“Tiga kali!”

“Nah, serangan pertama aku arahkan ke lehermu sesuai dengan permintaanku padamu.” tukas pewaris Sang Tanah,
“ ... orang bego namanya jika gagal di satu tempat tidak mencoba tempat yang lain.”

“Bukankah kau berjanji ingin menebas leherku tiga ... “
ucap siluman ular dengan menyeringai kesakitan saat asap hitam keluar dari bekas tusukan golok.

“Aku tidak berjanji begitu!” potong Simo Bangak cepat,
“Janjiku padamu hanya memenggal leher satu serangan, tapi tidak berjanji serangan berikutnya. Paham?”

“Kau ... kau ... dasar bocah licik!”

“He-he-he, kau sendiri yang licik!
Bukankah tadi kau bilang tidak akan membalas, kenapa malah menambah tenaga?”
Benar-benar bocah yang pandai bersilat lidah!

“Dan tadi juga kudengar dari mulut ularmu yang berbisa itu,
'jika kau tidak bisa membunuhku, kau harus jadi pengikutku!' bukankah begitu?” tanya Simo Bangak sambil terus menggosok-gosok ke dua telapak tangan semakin cepat,
“Nah ... sekarang kita lihat! Jika pada serangan ke tiga aku tidak bisa membunuhmu, aku benar-benar akan menjadi pengikutmu.
Tapi yang menjadi pengikutmu bukanlah diriku jika aku gagal membunuhmu, tapi cuma mayatku! Paham?”

Kabut hitam dan putih mengepul keluar dari gosokan tangan yang dilakukan oleh Simo Bangak, semakin lama semakin menebal.

Senopati Taksaka Sunti yang sedang dalam keadaan sekarat karena titik lemahnya telah hancur, berulangkali berusaha mencabut Golok Hitam Taring Harimau.
Baru satu jari ditarik sudah dilepas lagi karena asap hitam mengepul keluar.
Semakin banyak asap hitam berbau amis keluar, semakin lemah pula daya tahan siluman ular tersebut.

“Anak muda ... kita buat kesepa ... katan ... “

“Wah ... jangan deh ... “

“Tolong ... lah, anak muda ... sekali ini saja.”

“Wah, ngga bisa! Ini sudah keluar semua!” kata Simo Bangak semakin cepat menggosok-gosokkan ke dua tangan.

“Ngga bisa ditarik seenaknya saja!”

Woshh ... woshh ... !

Kabut hitam dan putih bergumpal-gumpal di kiri dan kanan kemudian membentuk dua sosok harimau raksasa yang berdiri mengambang di udara yang bentuknya sangat mirip dengan dua harimau peliharaan si bocah.
Itulah yang dinamakan sebagai ‘Tapak Bukit Harimau’!

“Baiklah ... “

“Terima kasih ... anak muda ... “ potong Senopati Taksaka Sunti sambil menghela napas.
“Kau telah ... mengabul ... kan perminta ... anku.”

“Baiklah, aku akan mengirimmu ke Sang Pencipta pada serangan ke tiga ini!” Simo Bangak berkata melanjutkan ucapannya yang terpotong.

“Apa ... ?” seru Senopati Taksaka Sunti.

Belum lagi kekagetannya sirna, dua bentuk kabut yang berwujud harimau hitam dan putih bergerak cepat laksana kilat seiring dengan lontaran telapak tangan Simo Bangak.

“Heeeaaaa ... !”

Wess! Sweeess ... !

Blarrr ... Glarrr!!

Tubuh Senopati Taksaka Sunti hancur tercerai berai diterjang Ilmu ‘Tapak Bukit Harimau’.
Tubuh siluman ular itu benar-benar hancur dan bisa dipastikan ia akan menjadi keraknya neraka!
Begitu hancur, langsung diselimuti asap hitam bergulung-gulung kemudian memudar dengan pelan, dan akhirnya ... hilang, bersatu dengan alam yang menggulita dalam kegelapan.

“Maaf, ternyata kau terbunuh pada serangan ke tiga ... “ ucap Simo Bangak sambil memungut sepasang goloknya, lalu dimasukan ke dalam sarung golok yang ada di pinggang kanan.
“ ... jadi aku tidak bisa menjadi pengikutmu!”

Bersamaan dengan tewasnya pimpinan mereka, beberapa ular jejadian tiba-tiba meletus sendiri tanpa sebab dan pada akhirnya hilang mengasap.

Blush ... blushh ... !

Sedang ular-ular yang asli langsung semburat melarikan diri.
Ada yang menyusup ke dalam tanah, ada yang langsung melata dengan cepat dan bersembunyi di rimbunnya pohon.

“Pethak! Ireng! Biarkan saja mereka pergi!” perintah Simo Bangak saat melihat dua harimaunya berniat mengejar mangsa yang lolos.

Grrrh ... grrhhh ... !

“I ya! Aku tahu! Tapi membiarkan lawan yang sudah kalah juga merupakan perbuatan baik, bukan?” kata Simo Bangak sambil mengelus leher si Maung Ireng dan Maung Pethak.
“Kita berkumpul melindungi bintang ke delapan bersama Ketua!”
 
Bab 51

Simo Bangak menghampiri tempat Paksi berada.
Begitu sampai sebuah sindiran pedas langsung keluar dari mulut seorang gadis.

"Sudah puas?"

"Puas? Apanya?" tanya heran si bocah.

"Itu tuh ... meremas-remas milik orang lain?" sindir si gadis.

"He-he-he, kau juga kepingin, ya?
Bilang dong!" kata Simo Bangak sambil menjungkit-jungkitkan alis, lalu tangannya terulur ke depan.

"Satu jengkal lagi tanganmu maju, kutebas tangan busukmu dengan pedangku!" bentak Retno Palupi sambil menarik sedikit pedang samurai yang ada di tangan kiri.

Jarak antara tangan Simo Bangak dengan dada membusung Retno Palupi hanya tinggal setengah tombak.
Pada mulanya bocah sinting itu ingin melanjutkan aksinya, tapi begitu ia melihat tatapan berwibawa dari Paksi Jaladara, ia langsung mengurungkan niatnya sambil berkata, "Jadi ngga nafsu nih ... "

Gineng hanya tertawa kecil mendengar celotehan ngawur si bocah bergolok.
"Dasar bocah bertangan jahil," gumamnya,
"Pantasnya kau digelari Bocah Harimau Bertangan Jahil ... "

Paksi justru menimpali ucapan kawan dekatnya,
"Hem ... Bocah Harimau Bertangan Jahil! Bagus juga sebutannya!"

"Betul! Sebutan itu lebih cocok baginya, tapi lebih cocok lagi jika diubah menjadi Bocah Harimau Bertangan Jahil Berotak Mesum Tukang Remas Kurang Ajar Bermulut Usil Tukang Intip Bermata Juling Ber ... "

"Berani kau tambahi dengan yang lebih jelek lagi, kucium habis kau!" ancam Simo Bangak dengan mata melotot, pura-pura marah.

"Aah ... kalian ini! Kalau ketemu pasti perang mulut," gerutu Paksi Jaladara.

"Mungkin kalau mereka kakak adik pasti mereka sangat akrab satu sama lain," timpal Gineng sambil senyum-senyum melihat tingkah dua manusia beda kualitas itu.

"Punya adik macam dia?" tuding Retno Palupi ke arah jidat simo,
"Bisa mati berdiri aku!"

"Memangnya aku juga mau punya kakak bawel sepertimu!" sahut Simo Bangak cepat sambil membalik badan memunggungi Retno Palupi.
"Ngga usah, ya?"

"Boro-boro punya, mikir punya adik tengil macam dirimu juga tidak!" balas Retno Palupi sambil bersungut-sungut.

Paksi hanya geleng-geleng saja melihat perang mulut antara kekasihnya dengan pewaris Sang Tanah, yang entah karena apa, Paksi berpikiran bahwa mereka berdua cocok satu sama lain sebagai dua bersaudara.
Meski tidak bermusuhan tapi sifat keras kepala dan mau menang sendiri mereka benar-benar seperti tingkah laku dua saudara kandung.
Istilahnya ... teman bebuyutan!

-o0o-

‘Ilmu Tongkat Daun Bambu Melayang‘ yang diwarisi Rintani dari si Kutu Buku Berbambu Ungu berkelebatan dengan ganas dan liar.
Meski pada dasarnya ia gadis yang lemah lembut, namun menghadapi busur pertarungan yang aneh dan sulit diterima dengan akal sehat tersebut, justru membuat gadis itu seperti harimau betina yang berubah liar karena menghadapi kepungan para pemburu.

Wuuung ... wungg ... !

Tubuhnya berkelebatan cepat diiringi suara kesiuran tongkat panjang yang menderu-deru.
Hawa tenaga dalam pun memancar ke segala arah, sehingga gerakan Rintani laksana bayangan pembawa maut.

Prakk! Prakk! Wutt!

Gerakan tongkat mengait, menangkis, menusuk, memutar, menempel dan menebas yang luar biasa telah dikerahkan secara maksimal oleh murid tunggal si Kutu Buku Berbambu Ungu.
Bahkan dengan pergeseran jurus tongkat yang tak terduga membuat beberapa penghuni alam gaib kelabakan dibuatnya.

Wuuung! Rett! Rrrttt ... !

Tak pelak lagi, beberapa mahkluk alam gaib terkena sambaran angin yang diakibatkan oleh jurus tongkat bambu itu berhamburan kesana kemari mengikuti arah gerak tongkat, hingga nampak seperti daun kering melayang-layang di udara.
Bahkan belasan tuyul dan jin kecil-kecil terlihat menjerit-jerit mengeluarkan suara yang mendirikan bulu roma.
Begitu berada pada puncaknya, Rintani melakukan liukan tajam ke bawah dengan badan sedikit membungkuk ke depan sambil melakukan ayunan tongkat bambu dengan cepat melalui jurus ‘Daun Bambu Berguguran Dari Atap Langit’ dimana tongkat panjangnya melakukan gerakan menghantam tanah diikuti dengan hempasan hawa tenaga dalam tinggi.

Wutt! Wushh!!

Dharr ... blarrr ... blarrr ... !

Belasan tuyul dan jin kecil-kecil bagai dibanting dari atas ketinggian.
Begitu menghantam tanah, langsung terdengar ledakan keras disertai kepulan asap hitam.
Beberapa jin kecil yang sempat selamat mengeluarkan pekik ngeri ketakutan.
Baru saja mereka terbebas dari jurus tongkat milik Rintani, tiba-tiba tanah tempat mereka berpijak berubah melunak dengan cepat.

Blubb ... Blubb ... !

Mereka langsung terperosok masuk ke dalam tanah.
Bahkan dalam jarak tiga empat tombak, tanah yang ada di tempat itu juga melunak, lalu dengan cepat membentuk pusaran tanah yang menyedot ke bawah.
Akibatnya, ratusan penghuni alam gaib dari Kerajaan Iblis Dasar Langit terjebak dalam pusaran tanah.

"Rupanya Kakang Seto sudah mengeluarkan ilmu kesaktiannya," pikir Rintani.
Lalu gadis itu segera memutar tongkat panjangnya di atas kepala.

Wukk ... wukkk ... !

Begitu putaran tongkat yang telah berubah seperti baling-baling terus dilempar ke atas.

Wutt ... !

Sampai pada jarak lima tombak dari atas ketinggian, Rintani segera berkelebat, melenting ke atas.

Tapp!

Begitu mendarat di atas baling-baling yang berputaran di angkasa, sontak tubuh gadis itu terseret pusaran baling-baling yang melayang-layang. Bukannya jatuh, tapi justru dengan adanya gadis berbaju coklat-coklat yang menunggang tongkat membuat pusaran tongkat semakin cepat dan menghasilkan jalinan udara membentuk satu gulungan angin puyuh.
Rupanya Rintani berniat menggunakan ‘Ilmu Tongkat Daun Bambu Melayang‘ pada jurus ke sembilan yang bernama 'Pusaran Angin Puyuh Menyapu Daun'.

Weeerrr ... werr ... !!

Pusaran angin puyuh berputar-putar mengelilingi sekitar lokasi pertarungan, melempar-lemparkan para penghuni alam gaib ke dalam pusaran tanah yang melunak.

Blubbb ... byurrr ... !

Beberapa gendruwo berilmu tinggi yang dihadapi Bidadari Berhati Kejam ikut terseret masuk ke dalam pusaran angin puyuh, kemudian dilemparkan ke dalam kubangan tanah.
Begitu seterusnya, sampai sedikit demi sedikit jumlah lawan berkurang.
Saat melihat ada beberapa mahkluk yang berusaha meloloskan diri, pusaran angin puyuh langsung menghantam dari samping.

Brakk!

Akibatnya, mereka kembali tercebur ke dalam kubangan tanah lunak.

Tiga Golok Empat Pedang dari Perguruan Karang Patah yang saat itu sedang kuwalahan menghadapi setan-setan berkepala besar dan ratusan tengkorak berjalan bagai menemukan semangat baru saat melihat libasan angin puyuh yang semakin mengencang dan menenggelamkan ratusan penghuni alam gaib.

Wutt! Wutt!

Dengan serta merta mereka mengumpankan lawan ke arah pusaran angin, yang langsung menelan begitu saja benda-benda yang ada dideaktnya. Bahkan salah seorang diantara Tiga Golok yang tangan kanannya putus akibat tersambar tulang kering yang digunakan tengkorak berjalan sebagai senjata dengan sigap mengelebatkan golok di tangan kiri ke arah kumpulan beberapa mahkluk yang berniat membokong salah seorang saudaranya.

"Dasar setan keparat!"

Tubuhnya berkelebat cepat, dan entah dengan cara bagaimana, lima mahkluk langsung terhumbalang jatuh.
Tercebur ke dalam kubangan tanah lunak.

Begitu melihat bahwa tinggal beberapa gelintir lawan saja yang masih selamat, sedang sebagian besar masuk ke dalam kubangan tanah lunak, Rintani berteriak dari atas,
"Kakang Seto! Sekarang giliranmu!"

Begitu nama Seto disebut, tiba-tiba terjadi keanehan.
Tanah yang semula lembek, lunak dengan cepat berubah mengeras dari arah pinggir ke tengah, bahkan mungkin lebih keras dari sebelumnya.

Krakk! Krakk! Krakk!!

"Aaaa ... !! Arghh ... !! Uaghhh ... !!"

Terdengar jerit kematian saat para penghuni alam gaib yang berjumlah ribuan terbenam ke dalam tanah yang mengeras.
Bahkan ada beberapa setan kecil yang terseret masuk ke dalam pusaran tanah langsung tewas mengeluarkan asap hitam pekat sebelum tanah berubah menjadi keras seperti sekarang ini.

Krakk! Krakk! Grhh!

Tanah mengeras ... mengeras ... dan akhirnya ... seluruh tanah yang ada dalam jarak lima enam tombak telah membatu sempurna.
Dan akibatnya ...

Blushh ... blushh ... bubbb ... blesshh ... !

Terdengar letupan disana-sini yang terdengar saling bersahut-sahutan dan bersamaan dengan itu pula, kembali medan pertarungan diselimuti gumpalan asap hitam pekat bergulung-gulung yang menebarkan bau busuk menyengat.

Jika sebelumnya hanya satu persatu kepulan asap hitam, kali ini justru terjadi secara massal.

Begitu asap sirna, terlihat seorang pemuda gagah berbaju loreng berdiri kokoh dengan sabuk hitam tebal melilit pinggang.
Dialah Seto Kumolo, Ketua Perguruan Gerbang Bumi, yang mengukir nama besar Sabuk Hitam Macan Loreng!

Bersamaan dengan musnahnya penghuni alam gaib yang terjebak dalam kubangan tanah, pusaran angin puyuh langsung mereda, dan akhirnya ...

Wutt! Jlegg!

Rintani berdiri dengan anggun, dimana tongkat tergenggam cantik di tangan kanan, berjajar dengan Seto Kumolo.
Kali ini, pemuda yang juga kekasih dari Rintani telah mengerahkan Ilmu ‘Tenaga Sakti Gerbang Inti Bumi’ tingkat ke sepuluh yang bernama jurus 'Sedot Bumi Serap Nyawa'!
Dan hasilnya adalah kemenangan yang cantik untuk mereka berdua!
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd