13. Kegemparan di kota Wu-han
Waktu seakan tidak pernah berubah mengitari ruang lingkup manusia didunia, tetapi terkadang waktu berjalan berbeda dengan kehidupan seorang manusia seperti halnya aliran air, kadang terbelokkan oleh secuil puing, atau oleh tiupan angin sepoi-sepoi. Tapi jika kita perhatikan sebuah sungai didesa atau kota tempat tinggal kita misalnya. Dimana air sungai tersebut mengalir dari hilir ke hulu atau dari atas turun kebawah, maka begitu juga dengan waktu. Setiap desahan detik, menit dan jam pasti berawal dan akan berakhir.
Orang-orang pertapaan memandang waktu sebagai bukti adanya Tuhan. Tak ada yang tercipta sempurna tanpa adanya Sang Pencipta. Tak ada yang universal yang tidak bersifat ketuhanan. Semua yang mutlak adalah bagian dari Maha Mutlak. Lalu bagaimanakah dengan perputaran waktu yang tidak pernah berubah bak sebuah lingkaran. Artinya apa yang terjadi sekarang pernah terjadi jutaan tahun sebelumnya. Semua pertanyaan ini tidak dapat dijawab oleh manusia. Sebab manusia hanya bisa melekat pada waktu yang menggelinding di jalurnya sendiri-sendiri. Ada yang melekat pada waktu kesedihan, ada pula yang melekat pada waktu gembira. Cepat atau lambatnya tergantung mana yang lebih dipercaya oleh manusia itu sendiri apakah waktu mekanis atau waktu tubuh; Waktu yang pertama kaku, tak dapat ditolak dan telah ditetapkan sebelumnya. Waktu yang kedua meliuk-meliuk, dan mengambil keputusan sekehendak hati. Atau mungkin jika ada yang ingin waktu berjalan lambat terus menerus sehingga wajah cantiknya tidak akan punah dan pudar, dia dapat tinggal di daerah pegunungan karena menurut para ilmuwan waktu akan berjalan semakin lambat jika letak berpijak manusianya menjauh dari pusat bumi, sedangkan pegunungan adalah tempat yang tinggi dan tentunya jauh dari pusat bumi. Lain cara lagi manusia dapat tinggal saling berjauhan dengan jarak yang sangat jauh. Sebab pada kenyataannya waktu di setiap tempat berbeda dan berubah-ubah, maka setiap detik mendekati penuaan dan kematian di satu kota, akan terlambat seper sekian detik dari waktu di kota lainnya.
Andaikata manusia dapat memilih ruang waktu dan tidak terjebak dengan kepasrahan dan tawakkal maka dimensi waktu dapat terlihat oleh mereka, seperti kelahiran-kelahiran, pernikahan- pernikahan, kematian-kematian adalah pertanda sebagai adanya dimensi waktu. Beberapa orang merasa takut meninggalkan saat-saat yang membahagiakan. Mereka memilih berlambat-lambat, berjingkat melintasi waktu, mencoba mengakrabi kejadian demi kejadian. Sedangkan yang lain tergesa-gesa berpacu menuju masa depan. Manusia dapat memilih waktu seperti empat buah probabilitas seorang lelaki muda yang hendak bertemu seorang perempuan yang suka menyeleweng dan mengkritik, dan mungkin akan membuat hidupnya sengsara. Probabilitas pertama ia tidak jadi menemui perempuan itu. Kedua, ia menemui perempuan itu dan bercinta dengannya lalu pergi saja meninggalkan rumahnya. Ketiga pria itu menemui si wanita tersebut akan tetapi tidak bisa mengutarakan cintanya. Dan yang terakhir mereka saling mencintai dan hidup bersama. Disamping itu masih terdapat rentetan kemungkinan lain yang dapat terjadi.
Jika benar waktu seperti itu maka tidak ada lagi benar atau salah. Salah atau benar mensyaratkan adanya kebebasan dalam memilih. Dan kalau tiap tindakan telah dipilihkan, maka kemerdekaan untuk memilih tak mungkin lagi ada. Di dunia dimana masa depan telah pasti, tak seorang pun terbebani tanggung jawab. Ruang-ruang telah diatur sebelumnya. Maka Ucapan selamat bagi orang yang merasakan kebebasan ganjil, bisa melakukan apa pun yang ia sukai, bebas didalam dunia tanpa kebebasan.
Misteri waktu yang tidak pernah terbantahkan oleh setiap mahluk hidup membuat kita seringkali terkukung sesuatu yang absurd oleh nasib dan sesuatu yang banyak orang menyebutnya ketetapan Tuhan, namun seberapa seringkah otak manusia bertanya maksud Tuhan dari penciptaan waktu tersebut. Cobalah dekati Tuhan untuk bertanya soal waktu. Seorang Einsten pun sebelum menyelesaikan teori relativitasnya sempat berkata pada Besso sahabat karibnya,
"Aku ingin mengerti waktu karena aku ingin mendekati Tuhan.". Betapa hebatnya waktu sampai- sampai Tuhan pun bersumpah demi diri sang waktu tersebut, apakah waktu bukan ciptaan tuhan atau seiring waktu yang berjalan sehingga terciptalah Tuhan? Apakah waktu sebuah keabadian?.
Waktu, seperti kemarin terus berlalu begitu cepat, seperti angin, tak terasa meninggalkan hari demi hari, berganti minggu menuju kedua belas bulan, tuk menggenapi tahun. Terkadang bila dihitung waktu berjalan lambat sekali. ... Namun terkadang tak terasa begitu cepat. Lima tahun tlah berlalu.
Suatu hari di kota Wu-han di keresidenan Hu-bei sedang berlangsung Festival Pertengahan Musim Gugur atau Festival Bulan yang berlangsung pada hari ke lima belas di bulan ke delapan penanggalan Tiongkok. Konon menurut legenda pada malam festival ini bulan memiliki cahaya yang lebih terang dan bentuknya lebih bulat. Perayaan penting ini akan menjadi kesempatan bagi penduduk kota untuk berkumpul bersama sambil mencicipi kue bulan dan menonton serangkaian pertunjukan yang di gelar di jalan-jalan utama kota ini.
Di bawah cahaya terang bulan musim gugur ini, persahabatan dijalin dan diperbarui lagi. Beberapa penyair terkenal telah menulis syair tentang kisah kasih asmara dua insan yang telah lama tidak berjumpa dan akhirnya menemukan jalan pertemuan kembali antara satu dengan lainnya pada malam khusus ini, diantaranya karangan penyair terkenal Li Pai yang berjudul "Rindu d'Hening Malam"...
Cahaya rembulan depan pagar perigi
Sudahkah embun beku, menutupi bumi
Dongakkan kepala, ternyata terang bulan
Begitu menunduk, rindu kampung halaman
Sedangkan bagi yang sendirian di malam festival ini, tidak ketinggalan merayakannya sambil berpelesir dengan perahu di danau di bawah cahaya bulan sambil membawakan syair bertemakan minum arak di tengah rembulan...
Sepoci arak, di antara kembang,
Tak ada sanak, teguk sendirian.
Tawari rembulan, sambil 'kat cawan,
Jadi b'tiga, bila hitung bayangan.
Nikmatnya arak, bulan tak fahami,
Bayangan pun cuma, bisa buntuti.
T'pi bulan bayangan, sedang temani,
Perlu pesta pora, mumpung 'simsemi.
Bulan berayun, kala ku bernyanyi,
Bayangan oleng, kala ku menari.
Baku hibur, tatkala masih waras,
Terus bubaran, kala aku mabuk.
Kekal rekat, lewat guyonan ini,
Rindu bersua, nun di bimasakti.
Di tengah danau nampak seorang pemuda perlente bersama beberapa teman dan kekasih mereka sedang berperahu di sungai sambil berpesta minum. Bulan purnama bercahaya kemilau. Dia mengangkat gelas mengajak rembulan, dan melihat bayangan rembulannya terpantul di permukaan sungai. Setengah mabuk dia hendak menceburkan dirinya ke sungai, merangkul rembulan, untung teman-temannya dapat mencegahnya. Seorang gadis muda berwajah cantik, berbaju merah muda sibuk menolong menyadarkan si pemuda tersebut, rupanya dia adalah kekasih pemuda itu.
Tak jauh dari situ, sebuah perahu kecil berpenumpang satu orang pria berusia sekitar dua puluh lima tahunan menyaksikan kejadian tadi dengan tersenyum kecil dan mata yang berbinar- binar terutama ke arah gadis muda cantik. Wajah pemuda tersebut cukup tampan dan halus, senyumannya mampu menarik hati gadis-gadis muda, hanya sorot matanya yang sedikit ganjil, seolah-olah hendak menelan bulat-bulat setiap gadis muda yang di tatapnya. Pakaian berwarba putih yang dikenakannya sangat rapi dan bersih menandakan pemiliknya sangat memperhatikan penampilan.
Tanpa sepengetahuan pemuda perlente dan kawan-kawannya, pemuda berbaju putih tersebut mengikuti dengan perlahan perahu mereka yang menuju pinggiran danau untuk menepi. Ternyata rombongan pemuda-pemudi tadi hendak kembali rumah, pertama-tama si gadis berbaju merah muda tersebut di antar pulang oleh mereka kembali ke kediaman orang tuanya. Suasana kediaman gadis tersebut masih ramai dan hiruk pikuk celotehan kerabat-kerabatnya yang berkumpul di ruang tengah merayakan festival ini sambil menunggu fajar. Dia berhenti sebentar memberi salam kepada saudara-saudaranya sebelum dengan alasaan sudah mengantuk ia berpamitan dan menuju kamarnya yang terletak di ujung bangunan tersebut. Dengan ditemani seorang pelayan wanita, dia membersihkan diri dan bersiap-siap untuk tidur. Tanpa sepengetahuan siapa pun di atas atas kamar tersebut, pemuda berbaju putih yang ada di danau tadi dengan tenang nangkring di wuwungan mengamati si gadis tersebut membersihkan diri.
Tampak si gadis tadi di bantu sang pelayan sedang menanggalkan bajunya pelan-pelan sehingga tampak pakaian dalam warna merah. Pundaknya yang putih mulus terlihat jelas dengan buah dada membusung ketat di balik pakaian dalamnya. Sosok tubuhnya yang berkulit putih bersih dan bobot badannya ideal membuat penampilan gadis ini sangatlah menggoda lebih-lebih kalau dilihat oleh kaum lelaki. Pemuda di atas atap tersebut menelan ludahnya susah payah, birahinya mulai bangkit perlahan-lahan melihat pemandangan di kamar tersebut.
Sambil berjalan menuju lemari pakaian, gadis tersebut melepaskan pakaian dalamnya jatuh ke lantai, mempertontonkan tubuh bugilnya yang mulus dan memperlihatkan keindahan buah dadanya yang ranum dan dihiasi puting kecil kecoklatan serta belahan di antara kedua buah dada terlihat simetris. Bagian bawah si gadis itu juga tak kalah menggairahkan, paha yang putih mulus dengan kaki yang ramping, pinggang yang ramping serta bentuk pantat yang aduhai indahnya. Di antara kedua pahanya ditutupi bulu-bulu halus bagaikan beludru sutera yang halus.
Si pelayan wanita mengambil handuk, membasahinya dengan air panas yang ada di baskom, lalu mengusap-usapkannya ke seluruh tubuh nonanya.
Tidak tahan menyaksikan pemandangan yang terpampang di depan matanya, si pemuda dengan lweekang yang tinggi meniup padam lampu lilin satu-satunya yang terletak di atas meja. Dengan sebat dalam suasana gelap ia menutuk si pelayan dan pada saat yang bersamaan menerkam ke arah si gadis yang belum menyadari sepenuhnya apa yang akan menimpa dirinya. Dia hanya merasa tubuhnya yang telanjang di peluk dan di pondong ke pembaringan lalu di tindih seseorang. Belum sempat ia mengeluarkan suara dari mulutnya, bibirnya yang merah merekah telah di bungkam dengan ciuman yang penuh nafsu. Sambil menangis, dia berusaha meronta- ronta melepaskan diri dari dekapan orang tersebut, namun semakin kuat ia meronta semakin bernafsu pemuda ini, ia sangat suka memperkosa gadis yang masih hijau dan mendengarkan rintihan mereka.
Tangannya bergerilya kemana-mana, meremas-remas kedua buah dada yang kenyal dan memain-mainkannya sambil mulutnya menciumi, menghisap, mengigit kecil puting susu yang berwarna kecoklatan.
Kecapaian dan kalah tenaga membuat rontaan gadis tersebut melemah, dan akhirnya pasrah. terasa olehnya orang tersebut mengulum bibirnya, lidahnya terus mendorong- dorong memaksa ingin masuk ke mulutnya. Mulutnya pun pelan-pelan mulai terbuka membiarkan lidahnya masuk dan bermain di dalamnya, lidahnya secara refleks beradu dan terasa menyentil-nyentil seakan mengajaknya ikut menari. suara desahan tertahan, deru nafas terrdengar jelas olehnya. mulutnya perlahan-lahan turun mencium perutnya yang rata dan terus berlanjut makin ke bawah.
Darahnya semakin bergolak oleh permainannya yang erotis itu matanya yang terpejam terbuka ketika dirasakan tangan orang tersebut mengelusi paha mulusnya, dan terus mengelus menuju pangkal paha. jarinya menekan-nekan liang kewanitaannya dan mengusap-ngusap belahan bibirnya dari luar, membuatnya menggelinjang, terlebih lagi jari-jari lainnya menyusup dan menyentuh dinding- dinding dalam liang itu.
"ooohhh...nikmat sekali!" ucapnya sambil menatapi wajah gadis yang pucat dengan matanya yang mengigil ketakutan. belum pernah ia di sentuh pria seperti ini. tubuhnya jadi bergetar, kedua belah pahanya semakin erat mengapit. pria tersebut membentangkan kedua paha gadis ini dan mengambil posisi berlutut di antaranya, gerbang kewanitaannya terbuka memancarkan warna merah merekah diantara bulu-bulu beludru halus, siap untuk menyambut yang akan memasukinya. "aaakkhh...!" erangnya kesakitan sambil mengepalkan tangannya yang mungil erat-erat saat kejantanan pria tersebut melesak masuk ke dalam tubuhnya.
"aauuuhhh....!" gadis ini menjerit lebih keras dengan tubuh berkelejotan karena hentakan keras benda yang menghujam diantara kedua pahanya. dengan gerakan perlahan dia menarik mundur kejantanannya lalu ditekan ke dalam lagi seakan ingin menikmati dulu gesekan-gesekan pada himpitan lorong sempit yang bergerinjal- gerinjal itu.
Gadis ini bergelinjang kesakitan dan membuatnya semakin menggila, kedua gunungnya jadi ikut terguncang-guncang dengan kencang. pria tersebut merintih makin tak karuan menyambut klimaks yang sudah mendekat bagaikan ombak besar yang akan menghantam pesisir pantai. tangannya terus menjelajahi lekuk-lekuk tubuh si gadis, mengelusi punggung, pantat, dan paha. hingga akhirnya mencapai suatu titik dimana tubuhnya mengejang, detak jantung mengencang, dan pandangan agak kabur lalu disusul erangan panjang tanda kenikmatan.
Si gadis merintih sambil menggigit bibirnya menahan rasa perih akibat tusukan benda tumpul pada gerbang kewanitaannya. air matanya meleleh keluar. tubuh pria tersebut tergolek lemas bersebelahan.
Sambil mengenakan pakaiannya, pemuda berbaju putih tersebut lalu mengebaskan tangannya menghantam pelipis gadis itu, dan membuatnya terkulai mati tanpa suara. Sedangkan si pelayan wanita dengan tubuh kaku menyaksikan semua ini terbelalak ketakutan namun ia pun mengalami nasib yang sama dengan nonanya. Dengan melepaskan sepotong bunga bwe ke jalan darah Thay-yang-hiat (daerah pelipis) yang mematikan mengarah kepada si pelayan, pemuda tersebut menghilang di kegelapan malam.
Keesokan harinya, kota Wu-han gempar akan berita matinya si gadis tersebut yang merupakan puteri dari hartwan Cin dan merupakan kembang kota yang diperebutkan oleh pemuda-pemuda kaya kota tersebut. Tidak ada yang tahu siapa yang memperkosa dan membunuh gadis tersebut dengan keji. Tapi berdasarkan bukti sepotong bunga bwe yang menancap di pelipis si pelayan wanita tersebut, yang menjadi tersangka sementara dan di duga dilakukan oleh Bwe-hoa-cat (penjahat bertanda bunga bwe) seorang jai-ho-cat (penjahat pemetik bunga) yang sangat terkenal beberapa tahun belakangan ini namun tak seorang pun pernah melihat wajah dan nama aseli si penjahat ini. Ia hanya meninggalkan sebuah bunga bwe pada setiap korban-korbannya. Pada awalnya jai-hoa-cat ini mengincar dan memperkosa gadis-gadis biasa namun lama kelamaan ia semakin berani menganggu puteri hartawan, puteri kaum kangouw, puteri pejabat pemerintahan bahkan puteri selir raja pun tak luput dari gangguannya sehingga pihak kerajaan sampai mengirim wie-su pilihan dan Tong-leng (pemimpin Gie-lim-kun) – Sun Kai Shek yang berjuluk Kip-hong-kiam (si pedang angin lesus) untuk memburu penjahat tersebut.
Cukup banyak kaum gagah persilatan mencoba mencari dan membasminya tapi sampai sekarang keberadaannya masih misterius. Bahkan mereka yang berhasil berhadapan dengannya pulang tinggal nama. Kelihaian jai-ho-cat mengetarkan seluruh dunia persilatan karena lawan- lawannya merupakan jago-jago silat kelas satu dan selama ini belum pernah kalah diantaranya jago-jago muda dari Bu-Tong-Pai yang terkenal dengan julukan Bu-Tong-Sam-Kiam-Hiap (Tiga Pendekar Pedang dari Bu-Tong) semuanya mati terbunuh setelah sebelumnya memperkosa satu- satunya anggota wanita dari Bu-Tong-Sam-Kiam-Hiap – Si Lim Ci. Jago silat lain yang turut menjadi korban adalah pendeta muda dari Shao-Lin – murid utama wakil ketua Shao-Lin, jago muda nomer satu dari Hoa-San-Pai yang berjuluk Kun-Cu-Kiam (si pedang jantan) Cia Sun, merupakan murid kesayangan ketua Hoa-San-Pai Master Yu-Kang serta yang paling menghebohkan ia berhasil membunuh sute dari ketua Go-Bi-Pai yang berjuluk Kim-To-Bu-Tek (si golok emas tanpa tanding) yang telah malang melintang puluhan tahun tanpa tanding.
Namun kecerdikan Bwe-hoa-cat selama tak ada yang menandingi, terbukti tak seorang pun yang dapat melihat wajah aselinya dan selama beberapa tahun ini selalu berhasil menghindarkan diri dari kejaran para jago dunia persilatan.
Mendengar Bwe-hoa-cat beraksi kembali di kota Wu-han, jago-jago persilatan yang selama ini selalu menguntit dan memburu jai-hoa-cat ini berbondong-bondong datang ke kota Wu-han. Di antaranya terdapat jago muda terlihai dari Kun-Lun-Pai – Sie Han Li, murid utama ketua Go-Bi-Pai – Lu Gan, pendekar muda dari Kay-Pang – Tiauw Ki yang merupakan murid utama wakil Kay-Pang Kam-lokai, kedua tojin dari Bu-Tong-Pai yaitu Tiong-Cin-Tojin dan Tiong-Jin-Tojin dan para wie-su pilihan dari pihak kerajaan serta Tong-leng (pemimpin Gie-lim-kun) – Sun Kai Shek. Mereka datang secara terpisah namun berkumpul dan berdiam sementara di rumah penginapan terbesar di kota Wu-han ini, menantikan kabar mengenai Bwe-hoa-cat.
--- 000 ---
Di suatu pagi hari yang cerah, matahari pelan-pelan naik ke tangga langit. Awan sedikit kelabu menampakkan sisa hujan musim kemarau tadi malam. Embun diatas rumput masih tampak segar dan membentuk hamparan butiran air jernih yang menyejukkan mata. Udara juga terasa sangat dingin. Tepat sekitar jam tujuh -setelah bebenah dan menyapu - ketika pelayan warung makan membuka pintu warung, angin pagi mendesiu dan mendesak masuk ke dalam ruangan. Membuat badan terasa menggigil, tapi tampak segar dan..ngantuk, segera ia mulai menyeduh teh buat pelanggan-pelanggan hari ini.
Pelanggan pertama datang tak berapa lama kemudian, seorang pemuda dua puluh tahunan berbaju putih dengan wajah yang tampan dan halus, serta sinar mata yang tajam dan potongan tubuh seperti seorang siucai (pelajar) memasuki warung makan serta memesan semangkok bakmi dan sepoci teh harum.
"Kongcu baru tiba di kota ini ?" tanya si pelayan.
"Benar lopek, apakah lopek bisa memberitahu rumah penginapan yang bersih di kota ini" kata si pemuda tersebut.
"Sebaiknya kongcu menginap di rumah penginapan di tengah kota ini, terkenal sangat bersih dan pelayanannya sangat baik. Tapi cayhe kurang tahu apakah masih tersedia kamar kosong karena sejak beberapa hari belakangan ini banyak tamu yang menginap di sana"
"Memangnya ada peristiwa apa lopek hingga banyak tamu yang berdatangan ke kota ini ?'' tanya si pemuda ingin tahu.
"Kota ini mengalami musibah, seorang jai-hoa-cat memperkosa dan membunuh mati kembang kota ini, putri hartawan Cin. Kabarnya penjahat ini sudah lama di buru kaum kangouw karena sering memperkosa dan membunuh korban-korbannya".
"Oh rupanya begitu" kata si pemuda tertarik hatinya.
Selesai bersantap pagi pemuda tersebut berjalan menuju tengah kota untuk mencari rumah penginapan sesuai saran si pelayan.
Untung baginya masih tersedia sebuah kamar kosong di rumah penginapan ini. Sambil menaruh buntalan pakaiannya di pembaringan, ia duduk bersila untuk memulihkan tenaga.
Siang harinya ia turun dari loteng penginapan ke rumah makan yang terletak di bawah rumah penginapan ini. Suasana rumah makan sangat ramai dengan tetamu yang makan siang. Di mana- mana tercium bau harum masakan yang lezat yang teruar dari dapur warung makan tersebut. Pemuda tersebut memilih duduk di pojokan yang menghadap pintu masuk. Sambil menunggu pesanan datang, ia memandang sekelilingnya. Ia melihat banyak tamu yang menyandang pedang menandakan mereka adalah kaum kangouw. Ia menduga mereka adalah orang-orang yang diceritakan oleh si pelayang warung makan tadi, yang hendak memburu jai-hoa-cat.
Di sebelah kirinya, duduk dua orang pemuda menyandang pedang di punggung mereka. Yang satu berbaju biru, berwajah cukup tampan tapi angkuh, memiliki sinar mata mencorong ketika tanpa sengaja pemuda itu dengan pemuda berbaju biru ini saling bertatapan. Sedangkan pemuda yang satu lagi berbaju kuning, berusia dua-tiga tahun lebih muda dari teman seperjalanannya dan memanggil si pemuda berbaju biru suheng.
"Suheng, siauwte dengar kabarnya penjahat jai-hoa-cat ini masih berkeliaran di kota ini" kata si pemuda berbaju kuning dengan lirih, namun dengan lweekangnya yang tinggi, pemuda berbaju putih tersebut masih mampu mendengarnya dengan jelas.
"Banyak kabar yang berseliweran, belum tentu pasti kebenarannya. Cuma menurut kabar yang dapat di percaya memang benar si penjahat masih berada di kota ini bahkan kabarnya akan beraksi kembali dalam waktu dekat" jawab si pemuda berbaju biru sambil melirik curiga ke arah pemuda berbaju putih.
Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan berjalan menuju ke meja pemuda berbaju putih tersebut. Sambil menyoja ia berkata "Rupanya looheng (saudara) baru tiba di kota ini, bolehkah cayhe tahu nama besar looheng"
Pemuda berbaju putih tersebut berdiri dan balas menyoja "Cayhe kebetulan mamang baru tiba di kota ini pagi tadi, nama cayhe Li Kun Liong"
Ternyata pemuda berbaju putih ini adalah jagoan kita Li Kun Liong. Setelah lima tahun memperdalam ilmu silat dan pertabiban bersama tabib sakti, ia diperbolehkan sucouwnya untuk kembali ke Tiongkok. Sedangkan tabib sakti yang sudah merasa terlalu tua, tetap berdiam di kediamannya menghabiskan masa tuanya.
"Rupanya Li-heng, cayhe Lu Gan dari Go-Bi-Pai, kalau boleh tahu dari aliran mana dan siapa gerangan guru Li-heng"
"Cayhe bukan dari aliran mana pun, sedangkan guru cayhe bukan dari kalangan yang terkenal"
jawab Li Kun Liong diplomatis.
"Kalau Li-heng tidak keberatan, mari duduk bersama" kata Lu Gan sambil menyoja kembali namun kali ini di sertai dengan pengerahan tenaga dalam yang mengarah ke Li Kun Liong. Rupanya ia penasaran ingin menguji ketangguhan ilmu silat Li Kun Liong.
Sambil tersenyum tawar, seolah-olah tidak tahu apa pun, Li Kun Liong balas menyoja dan berkata "Terima kasih Lu-heng, tapi cayhe tidak berani menganggu kalian." Lalu ia duduk kembali ke meja untuk meneruskan makan siangnya.
Lu Gan merasakan tenaga dalam yang ia lancarkan melalui kedua tangannya tadi seolah-olah batu yang menyemplung di lautan yang maha luas. Ia merasa kaget dan tidak menyangka Li Kun Liong memiliki tenaga dalam yang sangat sempurna. Dengan muka berubah ia kembali ke mejanya dan bersantap sambil berdiam diri
Kejadian saling mengukur kepandaian dengan saling menyoja merupakan kebiasaan yang lumrah di kalangan dunia persilatan sehingga sewaktu peristiwa yang barusan terjadi tidak luput dari pengamatan para tetamu persilatan. Mereka umumnya mengenal Lu Gan sebagai jago muda paling lihai dari Go-Bi-Pai, wajah mereka pun turut berubah ketika menyaksikan Li Kun Liong tidak merasakan apa pun. Pendapat mereka terhadap Li kun Liong sebelumnya menganggap enteng ketika Li Kun Liong memasuki ruang makan tersebut berubah menjadi kekaguman.
Namun diantara mereka tidak ada satu pun yang mengenal Li Kun Liong sehingga seperti Lu Gan mereka menaruh perhatian khusus terhadapnya.
Sehabis bersantap, Li Kun Liong kembali ke kamar untuk memulihkan tenaga kembali. Sore harinya ia keluar berkeliling menikmati suasana kota Wu-han. Kota Wu-han adalah kota dengan kehidupan yang ramai, di sekeliling jalan utama terhampar bangunan-bangunan yang terdiri atas warung-warung makan, rumah penginapan, warung arak, rumah pelesiran, dan rumah perjudian serta pedagang-pedagang kaki lima yang menjajakan makanan, minuman, mainan, dan lain-lain.
Ia mampir di sebuah warung arak dan menikmati arak buatan kota ini, cukup harum walaupun tidak seharum arak buatan kota asalnya, Siang-yang. Ia terkenang akan masa kecilnya bersama ayahnya berkeliling kota Siang-yang di sore hari sambil menikmati jajanan manisan yang dibelikan ayahnya. Biasanya setelah lelah berkeliling, ayah mengajaknya makan bakmi langganan mereka di pinggir jalan. Ia termenung mengingat keluarganya, sekarang ia hidup sebatang kara, berkelana di dunia kangouw yang kejam demi menuntut balas kematian orang tuanya. Kesedihan yang mendalam tampak di wajah Li Kun Liong. Adakah yang pernah merasakan getaran-getaran rasa yang mendalam justru ketika kesedihan meluncur demikian dalamnya ? Mungkin hanya mereka yang bernasib sama dengannya mampu memahami kesedihan yang dialaminya. Kehidupan macam apa yang dapat menghidupkan jiwa yang yang berhati kesedihan mendalam. Sambil menghela nafas, Li Kun Liong mereguk secawan arak dalam genggamannya.
Tahu-tahu malam telah menjelang tiba, dia pun pergi meninggalkan warung arak, berjalan tak tentu arah, menerobos lalu lalang orang, menuju rumah penginapannya dengan langkah yang gontai, dia mencari sesuatu yang tak akan pernah ia temui lagi, kenangan pada orang tua telah membuat Li Kun Liong sedih. Dadanya dipenuhi akan kesedihan dan jiwanya yang terluka berbicara, mengisahkannya pada alam dan cakrawala, pada malam-malam yang hening, pada bulan yang berjaga, dan pada bintang-gemintang, pada semuanya ia kabarkan betapa kesedihan telah membelenggunya.
Li Kun Liong gelisah, tak sekejappun ia sanggup memejamkan mata. Malam semakin kelam, ia berjalan keluar rumah penginapan berjalan tak tentu arah.
Tiba-tiba ia melihat sekelabatan bayangan orang melintas di atas wuwungan, tergerak hatinya untuk mengikuti bayangan tersebut. Bayangan tersebut bergerak luar biasa cepat hingga Li Kun Liong kehilangan jejaknya. Ia merasa kaget melihat kelihaian ginkang bayangan itu, sambil memasang mata ia berputar-putar di mana bayangan tadi menghilang. Sekonyong-konyong ia mendengar sebuah jeritan yang diteriakkan oleh seorang wanita di kejauhan, dengan sebat ia menuju arah jeritan tersebut. Ia tiba di depan sebuah gedung yang berdiri megah tempat jeritan tadi berasal, melompati tembok gedung tersebut, di bagian tengah gedung tersebut, tiba-tiba ia bersampokan dengan seorang pemuda berbaju putih yang sedang keluar dari salah satu kamar.
Tanpa suara pemuda tersebut menerjang ke arahnya, gerakannya sangat cepat, tahu-tahu pukulan yang dilancarkannya telah tiba di depan mata. Li Kun Liong menghindar dengan gerakan Lee-hie-tha-teng (ikan gabus melentik) sambil membalas dengan serangan Hwe-hong-sau-liu (angin puyuh menyambar pohon). Masing-masing merasa kaget melihat kelihaian lawan, tanpa membuang banyak waktu pemuda berbaju putih tersebut melancarkan gerakan Pek-ho-ciong-cian (burung ho putih menembus awan). Selagi Li Kun Liong menghindari jurus tersebut, pemuda berbaju putih mundur menghilang dengan gerakan Teng-peng-touw-sui (menginjak rumput menyebrang sungai). Li Kun Liong hendak mengejar pemuda tersebut namun berhenti ketika mendengar rintihan kesakitan seorang wanita di dalam ruangan di mana pemuda berbaju putih tadi keluar.
Memasuki kamar tersebut, ia melihat seorang gadis muda tanpa pakaian sama sekali berbaring lemah di lantai. Wajahnya sangat cantik, tapi pucat pasi dengan nafas yang tinggal satu-satunya. Tubuhnya yang telanjang putih mulus dengan sepasang buah dada bulat naik turun membuat siapa pun yang melihatnya akan terpesona. Dengan mengeraskan hati Li Kun Liong menutupi tubuh gadis tersebut dengan selimut, ia mencoba menyadarkan gadis tersebut. Gadis tersebut membuka matanya yang sayu, terlihat kesedihan dan perasaan terhina di wajahnya, ia berusaha bicara tapi tak sepatah kata pun berhasil ia keluarkan, luka di pelipis wajahnya sangat parah, beruntung ia masih bisa bertahan selama ini. Gadis tersebut mengangkat tangan kirinya dengan lemah, memperlihatkan sebuah bunga bwe sebelum akhirnya ia mati dengan mata terbuka.
Li Kun Liong mengambil bunga bwe tersebut dari tangan si gadis, namun sebelum ia tahu apa yang harus diperbuatnya, tiba-tiba belakang punggungnya di ancam serangan sebilah pedang yang tajam. Secepat kilat ia menghindari bokongan tersebut dan membalikkan tubuhnya menghadap ke arah si penyerang. Ternyata yang menyerang dirinya adalah pemuda yang tadi pagi ia temui di rumah makan, Lu Gan. Lu Gan pun tampak terkejut begitu mengenali orang yang ia serang barusan adalah pemuda yang bernama Li Kun Liong.
"Bagus, akhirnya ketahuan siapa sesungguhnya Bwe-hoa-cat, ternyata rupanya engkau" teriak Lu Gan sambil kembali melancarkan serangan. Ia tidak sungkan-sungkan mengeluarkan jurus-jurus terlihai dari ilmu pedangnya menghadapi Li Kun Liong. Ia sadar Bwe-hoa-cat ini memiliki ilmu silat yang sangat lihai bahkan susioknya pun mati di tangan penjahat ini.
Sambil menghindari serangan lawan, Li Kun Liong berteriak "Lu-heng engkau salah sasaran, aku pun baru tiba di sini"
Tapi Lu Gan tidak memperdulikan perkataan Li Kun Liong, ia merasa yakin seratus persen Li Kun Liong adalah Bwe-hoa-cat yang selama ini mereka buru, terbukti ilmu silatnya sangat lihai, berusia dua puluhan tahun, dan berbaju putih seperti yang biasa dikenakan jai-hoa-cat tersebut.
Selagi mereka bertempur dengan seru, berdatangan kaum persilatan yang selama ini memburu Bwe-hoa-cat diantaranya terdapat Sie Han Li, Tiauw Ki , kedua tojin dari Bu-Tong-Pai yaitu Tiong- Cin-Tojin dan Tiong-Jin-Tojin. Ke dua tojin tersebut sebenarnya mengenali Li Kun Liong namun mereka berpura-pura tidak mengenalnya karena mereka curiga orang yang mencuri dengar rahasia mereka di peternakan kuda dan mereka keroyok tiga tahun yang lalu adalah pemuda ini.
Melihat kedatangan beberapa orang ini, hati Li Kun Liong semakin cemas akan kesalahpahaman ini terutama ketika ia melihat dua musuh besarnya ikut hadir dan berpura-pura tidak mengenalnya. Ia melompat keluar dari jendela kamar dengan gerakan Tu-it-chung-bonggoat (mendorong jendela melihat bulan).
"Jangan biarkan ia lolos, dia adalah Bwe-hoa-cat yang kita cari selama ini" teriak Lu Gan yang mengira Li Kun Liong hendak melarikan diri.
Tiong-Cin-Tojin dan Tiong-Jin-Tojin bergerak paling dahulu menghadang jalan pergi Li Kun Liong. Dengan hati panas membara dan tidak memperdulikan segala akibatnya Li Kun Liong menyerang ke dua tojin tersebut dengan jurus-jurus yang selama ini ia pelajari dari sucouwnya. Kalau tiga tahun yang lalu ia keteteran menghadapi keroyokan mereka, sekarang ia dapat membuat kedua tojin ini kelabakan menghadapi setiap serangan yang ia lancarkan. Sie Han Li, Tiauw Ki dan Lu Gan yang melihat dikerubuti dua jago lihai dari Bu-Tong-Pai, penjahat ini masih dapat melayani gabungan serangan pedang dari kedua tojin tersebut, diam-diam sangat kagum.
Sejak ia kembali berkelana, baru kali ini Li Kun Liong mempraktekkan semua pelajaran ilmu silat yang selama tiga tahun belakangan ini ia pelajari. Kalau dahulu ia merasa bingung dan kepayahan menghadapi serangan mereka, sekarang ia dapat melihat titik lemah dari ilmu pedang mereka. Cukup dengan jurus-jurus sederhana ia mampu membuat kedua tojin ini berkeringat dingin belum pernah mereka melihat jurus yang nampak sederhana tapi dapat menahan serangan terlihai dari ilmu pedang Bu-Tong-Pai bahkan sewaktu-waktu dengan gerakan yang tiba-tiba berbalik menyerang mereka. Pundak kiri Tiong-Jin-Tojin sudah terluka oleh tusukan pedang Li Kun Liong, darah segar nampak bercucuran keluar dari pundak Tiong-Jin-Tojin dan membuat gerakan tubuhnya melemah. Kesempatan ini tidak disia-siakan Li Kun Liong, ia terus mencecar Tiong-Jin- Tojin dengan serangan-serangan yang paling lihai. Tiong-Cin-Tojin berusaha melindungi sutenya sekuatnya namun kurang berhasil bahkan kini pun lengan kirinya sudah terluka tergores pedang Li Kun Liong, walaupun tidak separah luka Tiong-Jin-Tojin namun sudah membuat nyalinya kuncup.
"Menghadapi penjahat seperti ini, tidak perlu kita memperhatikan aturan kangouw, mari kita maju membantu kedua totiang dari Bu-Tong" kata Lu Gan.
Sebenarnya Sie Han Li dan Tiauw Ki merasa kurang layak mengeroyok satu orang berlima, namun apa yang dikatakan Lu Gan memang beralasan, bila penjahat ini bisa lolos, entah berapa banyak gadis yang akan menjadi korban-korban berikutnya. Apalagi ketika melihat ke dua tojin tersebut telah terluka dan sewaktu-waktu dapat di kalahkan Li Kun Liong.
Akhirnya mereka maju mengeroyok Li Kun Liong. Sie Han Li adalah jago muda terlihai dari Kun- Lun-Pai, begitu pula dengan Tiauw Ki dari Kay-Pang dan Lu-Gan dari Go-Bi-Pai, dengan masuknya mereka bertiga dalam pertempuran mengubah jalannya pertandingan. Sekarang Li Kun Liong di kurung selapis sinar-sinar pedang yang berkelabat di sekitar tubuhnya, diselingi tongkat pemukul anjing dari Tiauw Ki yang tak kalah lihai.
Namun beruntung bagi Li Kun Liong, ia telah memahami intisari dari ilmu silat sehingga sejauh ini ia masih dapat melayani kerubutan mereka. Puluhan jurus berlalu dengan cepat, suasana pertempuran semakin mencekam, masing-masing pihak mengerahkan semua kepandaian yang mereka miliki. Li Kun Liong mulai merasa tanaga dalamnya mulai terkuras banyak, bila diteruskan bukan tidak mungkin ia akan terjungkal. Sayang memang, tenaga dalamnya masih belum mampu menandingi tenaga dalam ke dua tojin dari Bu-Tong-Pai ini. Walupun setiap serangan yang ia lancarkan mampu membuat lawan-lawannya kaget dan bersusah payah menghindarinya, tanpa di dukung tenaga dalam yang seimbang, tentu saja serangannya tidak berhasil sepenuhnya.
Apabila satu lawan satu, ia yakin mampu mengalahkan mereka semua. Tiba-tiba ia melancarkan serangan Hong-jiu-siu-liu (angin menghembus pohon liu) ke arah Tiong-Jin-Tojin yang sedari tadi sudah tampak pucat kehabisan darah, Tiong-Jin-Tojin berusaha menangkis serangan Li Kun Liong dengan pedangnya tapi mendadak serangan Li Kun Liong berubah arah mengincar perutnya yang tak terjaga. Alangkah terkejutnya Tiong-Jin-Tojin menghadapi perubahan yang sangat mendadak ini, ia berusaha mengelit namun terlambat sedetik, ujung pedang Li Kun Liong berhasil menembus perut Tiong-Jin-Tojin. Tapi keberhasilannya membinasakan Tiong-Jin-Tojin harus dibayarnya cukup mahal, serangan tongkat pemukul anjing Tiauw Ki berhasil ia hindarkan, dengan sedikit mengegos ia pun berhasil menghindari tusukan pedang Lu Gan yang mengincar dadanya, tapi sabetan pedang dari Tiong-Cin-Tojin yang mengarah ke punggung belakang tidak dapat ia hindarkan sepenuhnya. Luka sepanjang dua dim di punggungnya mengeluarkan darah, membuat bagian belakang baju putih yang dikenakannya berubah menjadi merah. Melihat sutenya binasa, Tiong-Cin-Tojin semakin kalap menyerang tanpa memperdulikan pertahanan tubuhnya. Menghadapi serangan kalap Tiong-Cin-Tojin, Li Kun Liong agak kepayahan, apalagi gerakannya sedikit terganggu akibat luka di punggung, sedangkan serangan dari yang lainnya tidak dapat di anggap enteng. Suatu ketika ujung pedang Sie Han Li berhasil menghujam setengah dim dada Li Kun Liong dan tongkat pemukul anjing Tiauw Ki menghantam betis dan membuat kakinya berdenyut kesakitan. Li Kun Liong mulai mencari ketika untuk meloloskan diri dari kepungan mereka berempat, kesalahpahaman yang terjadi bisa ia jelaskan di kemudian hari, yang terpenting adalah menyudahi pertempuran sebelum terlambat.
Sambil melompat menghindari serangan pedang Sie Han Li, ia melontarkan pedangnya ke arah Tiong-Cin-Tojin sepenuh tenaga, dengan gerakan yang manis bersalto keluar dari kurungan mereka dan menghilang di kegelapan malam. Li Kun Liong tidak tahu serangan pedang terbang yang barusan ia lancarkan berhasil menembus dan memutuskan tulang pundak Tiong-Cin-Tojin, untuk selanjutnya ilmu silat Tiong-Cin-Tojin mengalami penurunan yang berarti. Melihat kedashyatan serangan terakhir Li Kun Liong, Lu Gan bertiga terkesima, membuat nyali mereka pecah untuk melakukan pengejaran.
Keesokan harinya kembali kota Wu-han gempar dengan berita matinya puteri satu-satunya kepala kota Wu-han akibat diperkosa Bwe-hoa-cat. Namun kali ini aksi si jai-hoa-cat tidak berlangsung mulus, ia kesampok oleh jago-jago silat dunia persilatan dan mengalami luka yang cukup serius. Dunia persilatan pun gempar dengan terbukanya rahasia siapa sesungguhnya Bwe- hoa-cat yang misterius tersebut. Nama Li Kun Liong mendadak terkenal seantero dunia kangouw sebagai Bwe-hoa-cat, buruan nomer satu kaum persilatan.
14. Satu-persatu binasa