Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Pendekar Cinta ~ Dendam Kesumat (1)

9. Perayaan ulang tahun ketua partai Bu-tong-pay

Keesokan paginya selagi mereka berdua sedang menikmati sarapan pagi di warung penginapan, Lie Kun Liong mendengar namanya di panggil-panggil. Ketika ia menengok ke arah suara panggilan itu, tampak sedang menuruni anak tangga loteng penginapan itu Cin-Cin, Tang Bun An dan ketua partai Thay-san-pay – Master The Kok Liang. Dengan girang Lie Kun Liong berdiri dan menyambut kedatangan mereka sambil berkata "Cin-moy, Tang-heng rupanya kalian juga sudah turun gunung". Ia lalu memberi hormat ke Master The-Kok-Liang.

Sambil tertawa gembira Cin-Cin berkata "Ayah mendapat undangan perayaan ulang tahun ke 80 ketua partai Bu-tong – Kiang Ti Tojin, jadi sekalian untuk menambah pengalaman kami ikut pergi sedangkan ibu tetap tinggal di rumah.
"Sebenarnya kami bisa langsung ke Bu-tong tapi Cin-moy merengek-rengek mau melihat-lihat keindahan kota raja dulu" kata Tang Bun An sambil tertawa mengoda.

Sambil memonyongkan mulutnya Cin-Cin berkata "Padahal aku tahu suheng sebenarnya kepingin juga melihat-lihat kota raja"
"Sudahlah kalian berdua ini selalu ribut-ribut, malu di dengar orang" kata Master The-Kok- Liang.
Lie Kun Liong lalu mengenalkan mereka teman seperjalanannya – Bai Mu An.

Sambil sarapan pagi bersama, Cin-Cin berkata "Liong-ko bagaimana kalau engkau ikut bersama kami ke Bu-tong, di sana pasti ramai sekali dan banyak tokoh-tokoh silat kenamaan yang datang untuk megucapkan selamat ulang tahun kepada Kiang Ti Tojin"
"Benar Lie-heng, sebaiknya kita pergi bersama-sama untuk menambah pengalaman" sahut Tang Bun An sambil menoleh ke arah suhunya meminta ijin.
Master The-Kok-Liang mengangguk-anguk tanda setuju sambil mengusap jenggotnya. "Benar A Liong, ini kesempatan yang langka, jarang terjadi kita bisa memenuhi undangan dari parai Bu- tong., sekalian ajak hiantit Bai Mu An" kata Master The Kok Liang.
"Terima kasih cianpwe atas ajakannya tapi wanpwe masih ada urusan pribadi di kota raja ini" jawab Bai Mu An dengan hormat.
Lie Kun Liong tahu Bai Mu An masih penasaran hendak mencari Liok In Hong sampai ketemu sehingga ia tidak telalu mendesak.
Selesai sarapan Bai Mu An pergi untuk menyelesaikan urusan pribadinya sedangkan mereka bersiap-siap melanjutkan perjalanan ke Bu-tong-pay.

Sepanjang perjalanan Lie Kun Liong menceritakan pengalamannya secara garis besar saja selama beberapa bulan ini termasuk peristiwa semalam.
"Aneh sekali, siapa gerangan angkatan tua yang bisa memerintahkan Maling Sakti untuk melakukan pencurian yang sangat beresiko di istana. Setahu lohu Maling Sakti memiliki ginkang yang tiada taranya dan ilmu silat yang tinggi, termasuk salah satu jago kosen dunia persilatan" kata Master The Kok Liang.

Sepanjang perjalanan ke Bu-tong mereka melihat banyak orang-orang persilatan mulai dari pengemis, pendeta dan lain-lain juga menuju ke Bu-tong-san. Rupanya kali ini pihak Bu-tong-pay merayakan ulang tahun ketua partainya besar-besaran.
Sekilas mengenai partai Bu-tong saat itu, dengan ribuan murid yang tersebar di seluruh penjuru, tak pelak lagi Bu-tong-pay merupakan salah satu partai terkuat di dunia persilatan saat ini.

Pimpinan tertinggi Bu-tong-pay selain ketua adalah hu-ciangbujin (wakil ketua) partai yang saat ini dipegang sute Kiang-Ti-Tojin bernama Kiang-Siang-Tojin serta para tianglo (sesepuh perguruan) yang merupakan sute-sute Kiang-Ti-Tojin dan Kiang-Siang-Tojin.

Sedangkan angkatan kedua partai Bu-tong merupakan murid-murid utama pimpinan partai ini yang rata-rata sudah berumur 40-50 tahunan terkecuali murid penutup Kiang-Ti-Tojin yang baru berusia 19 tahunan bernama Tan Sin Liong. Sedangkan angkatan muda partai Bu-tong saat ini yang memiliki kepandaian tertinggi adalah 7 pendekar dari Bu-tong yang merupakan murid-murid angkatan kedua Bu-tong-pay.

Di bawah kedudukan wakil ketua adalah kedudukan pelaksana harian yang mengatur semua kegiatan sehari-hari Bu-tong-pay termasuk kegiatan perayaan ulang tahun ini, dipimpin oleh murid pertama Kiang-Ti-Tojin yang bernama Tiong-Pek-Tojin. Tiong-Pek-Tojin ini baru berusia pertengahan 50 tahunan disebut-sebut sebagai calon ciangbujin (ketua) Bu-tong-pay menggantikan gurunya Kiang-Ti-Tojin. Ilmu silatnya adalah yang paling lihai di angkatan ke dua
Bu-tong-pay dan dikabarkan telah mewarisi semua ilmu gurunya sehingga sangat cocok menjadi calon pengganti ciangbujin saat ini dan didukung sebagian besar sute-sutenya serta kalangan muda Bu-tong-pay.

Namun dikalangan angkatan ke dua Bu-tong-pay yang sangat berambisi menjadi calon pengganti ciangbujin adalah murid satu-satunya Kiang-Siang-Tojin yang bernama Tiong-Cin-Tojin berusia dua tahun lebih muda dari Tiong-Pek-Tojin. Dari segi ilmu silat ia masih kalah seurat dari suhengnya Tiong-Pek-Tojin tapi dari segi kecerdikan Tiong-Pek-Tojin kalah jauh dari sutenya ini. Tiong-Pek-Tojin wataknya teguh, dapat dipercaya dan jujur sedangkan Tiong-Cin-Tojin cerdik cenderung licik, supel dan kurang mempunyai wibawa di mata murid-murid Bu-tong-pay.
Lain dengan suhengnya yang menjabat sebagai pelaksana harian, Tiong-Cin-Tojin lebih suka berkelana dan memiliki pergaulan yang luas dengan berbagai kalangan.

Kiang-Siang-Tojin tentu saja lebih menginginkan murid satu-satunya ini yan menjadi calon ciangbujin tapi yang berhak membuat keputusan adalah ketua partai. Menurut kabar angin selain merayakan ulang tahunnya yang ke 80, Kiang-Ti-Tojin juga akan mengumumkan siapa yang menjadi calon penggantinya. Itulah sebabnya mengapa perayaan ulang tahun ini dirayakan besar- besaran.

Sedangkan bagi para undangan, mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk memberi selamat kepada tokoh paling terkemuka juga untuk mengenal lebih dekat calon ciangbujin Bu- tong-pay yang baru.

Setibanya mereka di gunung Bu-tong sudah banyak undangan lain yang hadir. Mereka di sambut oleh murid-murid penerima tamu dan begitu mengetahui yang datang adalah caingbujin Thay-san-pay segera mereka memberitahu pelaksana harian Tiong-Pek-Tojin yang keluar menyambut mereka. Walaupun menurut tingkatan Master The-Kok-Liang sejajar dengan ciangbujin Bu-Tong-Pay tapi Master The-Kok-Liang bersahabat kekal dengan Tiong-Pek-Tojin karena selain berusia hampir sama, juga mereka terjun ke dunia kangouw dan mengangkat pada masa yang sama.
"Apa khabar The-heng, sudah puluhan tahun tidak bertemu ternyata The-heng masih kelihatan muda dan tidak berubah banyak" kata Tiong-Pek-Tojin dengan gembira menyambut kawan lamanya.
"Baik-baik saja Can-heng, engkau juga tidak berubah malah semakin gagah" balas Master The- Kok-Liang gembira. Ia menyebut nama Tiong-Pek-Tojin sebelum ia menjadi Tojin (pendeta Tao).
"Bagaimana kabar dengan Chen Kouwnio" Tiong-Pek-Tojin menanyakan kabar istri Master The- Kok-Liang.
"Baik-baik saja, Hui-Lan tetap di Thay-San mengurus partai" kata Master The-Kok-Liang. Lalu ia memperkenalkan rombongannya.
Tiong-Pek-Tojin mengajak rombongan Thay-San-Pay ini duduk di bagian tamu kehormatan. Para undangan yang hadir hanya sedikit yang mengenal ketua Thay-san-pay ini karena selain sudah lama tidak berkecimpung di dunia persilatan, letak gunung Thai-san yang jauh serta murid- murid partai Thai-san-pay jarang yang berkelana membuat partai ini sedikit kurang dikenal kalangan persilatan. Tapi begitu mengetahui mereka berasal dari Thai-san-pay dan dipimpin langsung oleh ketuanya yang tersohor, kebanyakan undangan menjulurkan leher mereka untuk melihat lebih jelas rombongan Thay-san-pay. Apalagi rombongan Master The-Kok-Liang terutama Cin-Cin yang cantik jelita sudah menarik minat kalangan muda yang hadir.

Memang Cin-cin memiliki bentuk tubuh dan paras rupa yang sempurna. Ia dihiasi dengan kecantikan, kemanisan, keindahan, kejelitaan, kehalusan, kelemah-lembutan, dan segala sifat-sifat keperibadian yang terpuji di samping bentuk tubuhnya yang mempesona serta memikat hati setiap yang memandangnya.

Sedangkan Lie Kun Liong dan Tang Bun An adalah pemuda-pemuda pilihan dan tampan sehingga menarik minat para dara muda yang hadir.
Di bagian tamu kehormatan ternyata sebagian besar sudah terisi, sepanjang jalan sebentar- sebentar Master The-Kok-Liang berhenti menyambut sapaan kenalan-kenalan lamanya.

Ternyata selain ketua Thay-san-pay, juga hadir ketua partai Hoa-San-Pay – Master Yu-Kang, ketua Go-Bi-Pay – Ong-Sun-Tojin, ketua Kun-Lun-Pay – Sie-Han-Cinjin, wakil ketua partai Kay- Pang – Kam Lo-kai, serta sute ketua biara Shao-Lin – Tiang-Lok Hwesio serta ketua partai-partai lainnya.
Boleh di bilang perayaan kali ini termasuk peristiwa langka di dunia persilatan, di mana pimpinan utama 7 partai besar yaitu Shao-Lin, Bu-Tong-Pay, Thay-San-Pay, Hoa-San-Pay, Go-Bi- Pay, Kun-Lun-Pay dan perkumpulan Kay-Pang hadir semua di sini.
Dengan wajah berseri-seri, murid-murid Bu-Tong melayani para tetamu dengan hormat. Mereka tahu para tamu undangan yang datang kali ini merupakan tokoh-tokoh utama dunia kangouw.

Bagi Lie Kun Liong ini merupakan kesempatan yang baik untuk mencari tahu keadaan Bu-Tong- Pay karena seperti yang ia dengar dari pelayan warung makan mengenai kematian kedua orang tuanya sangat erat kaitannya dengan Bu-Tong.

Sedangkan di pihak Bu-Tong-Pay, seluruh pimpinan dan murid-murid utama telah dikerahkan menyambut kedatangan tamu kehormatan diantaranya nampak Tiong-Pek-Tojin, Kiang-Siang- Tojin, Tan Sin Liong, 7 pendekar Bu-Tong, dan lain-lain.
Setelah di rasa waktunya telah tiba, ketua partai Bu-Tong Kiang-Ti-Tojin keluar. Tampak seorang tua dengan rambut telah putih semua memasuki ruangan,
wajahnya masih tampak sehat kemerahan, sinar matanya masih bersinar terang menandakan lweekang yang sudah sempurna – Inilah salah satu tokoh paling terkemuka di dunia persilatan. Kiang-Ti-Tojin lalu mengucapkan terima kasih atas kehadiran para tamu undangan dan mempersilakan para tamu untuk mencicipi hidangan yang telah disediakan, lalu ia menghampiri dan menyapa para tamu kehormatan satu per satu untuk mengucapkan terima kasih atas kesediaan mereka datang ke Bu-Tong-Pay.

Setelah melihat para hadirin sudah puas makan minum hidangan yang disediakan, Kiang-Ti- Tojin lalu berdiri dan berkata kepada para tamu undangan "Pinto berterima kasih atas kunjungan para sahabat sekalian. Seperti yang diketahui, sekarang ini pinto sudah berusia 80 tahun dan selama ini kewajiban pinto sebagai ketua diwakili sute Kiang-Siang-Tojin dan murid pinto – Tiong- Pek-Tojin dalam mengurus keseharian partai ini. Saat ini pinto bersama sute Kiang-Siang-Tojin dan para tianglo sepakat untuk menyerahkan tampuk pimpinan ke angkatan yang lebih muda dan lebih bersemangat untuk memajukan partai. Sedangkan pinto bersama sute dan para tianglo hanya akan mengawasi dan memberi pertimbangan-pertimbangan jika diperlukan. Setelah melalui berbagai macam pertimbangan, pinto memutuskan untuk menunjuk murid pertama pinto – Tiong- Pek-Tojin sebagai pejabat ciangbujin untuk mengantikan pinto dan akan dilantik secepatnya"

Terdengar tepukan tangan yang ramai dari murid-murid Bu-Tong-Pay dan para tamu undangan tanda penunjukan Tion-Pek-Tojin sesuai dengan harapan mereka.
Demikianlah pidato Kiang-Ti-Tojin mengakhiri perayaan ulang tahunnya dengan meriah. Para tamu undangan merasa puas dengan pelayanan murid-murid Bu-Tong-Pay dan menyebarkan kabar penting ini ke seluruh penjuru dunia persilatan. Tiong-Pek-Tojin sibuk melayani ucapan selamat yang diterimanya dari para tamu undangan khususnya dari Master The-Kok-Liang yang merasa sangat gembira sahabat lamanya sekarang menjadi ketua partai Bu-Tong sejajar kedudukannya dengan dirinya.
Tiong-Pek-Tojin mendesak Master The-Kok-Liang untuk tinggal selama beberapa hari di Bu- Tong dan di sambut dengan sukarela oleh Master The-Kok-Liang dan rombongan.
Lie Kun Liong, Cin-Cin dan Tang Bun An selama di Bu-Tong-Pay ditemani oleh murid penutup Kiang-Ti-Tojin – Tan Sin Liong. Dengan cepat mereka merasa akrab dan cocok satu sama lain. Mereka diajak Tan Sin Liong bertamasya di gunung Bu-Tong yang sangat terkenal atas keindahannya. Mereka begitu takjub melihat keindahan Bu-Tong-San, tinggi menjulang, biru dari kejauhan dan terkadang tertutupi awan dipuncaknya

Kawasan gunung Bu-Tong tidak hanya menyajikan panorama alam nan sejuk, tetapi juga memiliki air terjun yang indah. Mereka dapat menikmati keindahan alam dan segarnya air terjun dengan beraneka macam kupu-kupu beterbangan di sana sini.
Uniknya lagi, di bagian bawah air terjun ini terdapat sebuah gua. Di dalam gua itu terdapat stalaktit yang cukup indah. Dari dalam gua mereka bisa dapat melihat lembar-lembar air terjun yang jatuh ke bumi bagaikan tirai.

Mereka bertiga merasa puas sekali tinggal di gunung Bu-Tong dan berteman dengan Tan Sin Liong. Wajah Tan Sin Long cukup tampan namun terkesan pendiam alias tidak banyak bicara. Bagi Tan Sin Liong mereka merupakan teman-teman yang baru pertama kali ia temui, walaupun di gunung Bu-Tong ini pemuda-pemudi yang sebaya dengan dirinya cukup banyak namun karena secara kedudukan tingkatannya lebih tinggi, mereka menjadi agak sungkan dan bergaul pun menjadi kurang akrab. Memang di jaman itu, masalah tingkatan masih dianggap sangat penting sehingga walaupun umur mereka sebaya, mereka tetap harus memanggilnya susiok (paman guru).

Selama berada di Bu-Tong, Lie Kun Liong berusaha mencari tahu hubungan Bu-Tong dengan ayahnya. Ia mencoba minta bantuan Master The-Kok-Liang dengan menceritakan semua yang ia dengar mengenai kematian ke dua orangtuanya dari pelayan warung makan, dimana sebelum meninggal ayahnya meninggalkan goresan kata Bu-Tong. Dengan serius Master The-Kok-Liang mendengarkan penuturan Lie Kun Liong. Ia lalu berkata "Ini memang perkara yang aneh, apakah ada murid Bu-Tong-pay yang terlibat dengan kematian ke dua orangtuamu masih belum bisa dipastikan kebenarannya. Begini saja, biar lohu mencari tahu dari Tiong-Pek-Tojin dan sute- sutenya apakah mengenal ayahbundamu. Mungkin dari sini kita bisa mendapatkan sedikit petunjuk".

Tapi selama beberapa hari tinggal di Bu-Tong, Lie Kun Liong tidak dapat menemukan kabar apa pun mengenai kematian kedua orangtuanya. Master The-Kok-Liang memberitahukan hasil penyelidikannya dengan bertanya kepada Tiong-Pek Tojin dan sute-sutenya bahwa tak seorang pun yang mengenal kedua orangtuanya.

Di malam terakhir mereka di Bu-Tong, Lie Kun Liong tidak dapat tidur, ia kecewa tidak mendapatkan petunjuk apapun. Apakah kematian kedua orangtuanya tidak akan pernah terungkap, sebagai anak ia merasa telah mengecewakan harapan orangtuanya.
Akhirnya untuk menenangkan diri ia berjalan keluar kamar menuju taman tidak jauh dari kamarnya. Ia duduk termenung sambil menatap kilauan bintang-bintang di langit malam, tak ada bulan hanya ada awan yang datang menyelimuti, ia merasakan malam begitu kelam sekelam pikirannya. Tiba-tiba kupingya yang tajam mendengar sayup-sayup suara lirih dari balik tembok taman lalu menghilang. Di picu rasa ingin tahu, Lie Kun Liong melompat melewati tembok taman dan mencari sumber suara tadi. Agak jauh ke depan dari belakang tembok taman merupakan hutan yang dipenuhi pepohonan, dengan hati-hati ia memasuki hutan itu. Suara tadi mulai ia dengar kembali. Dari balik pepohonan ia melihat dua orang murid Bu-tong sedang melakukan pembicaraan. Lie Kun Liong mengenal kedua orang itu sebagai sute-sute Tiong-Pek-Tojin, entah apa gerangan yang mereka bicarakan di malam yang sudah larut ini. Pria pertengahan yang wajahnya terlihat jelas ia kenal bernama Tiong-Jin-Tojin sedangkan pria yang satunya lagi bernama Tiong-Kok-Tojin, keduanya adalah suheng-suheng Tan Sin Liong.

Ia memasang telinga baik-baik, karena jarak persembunyiannya cukup jauh ia hanya mendengar sepotong-sepotong pembicaraan mereka. Tapi yang membuat hatinya melonjak adalah ketika ia mendengar kata "Pemuda itu.....Lie Kun Liong....anak mereka..... Lie Hong Kiat"
Akhirnya ia mendapat petunjuk terang mengenai sebab kematian kedua orangtuanya, mata Lie Kun Liong mulai meletupkan sinar berapi-api. Sudah jelas ada murid Bu-Tong-Pay terlibat dalam pembunuhan kedua orang tuanya. Jangan-jangan kedua orang ini turut terlibat dalam pengeroyokan dua belas tahun yang lalu.

Lie Kun Liong menunggu ke dua orang itu pergi sebelum ia keluar dari tempat bersembunyinya, lalu kembali ke kamarnya. Ia tidak mau bertindak sembrono sebelum mengetahui semuanya dengan jelas dan mengungkapkan siapa dalang dari pembunuhan ke dua orangtuanya.
Keesokan paginya ia menemui Tan Sin Liong untuk memancing informasi lebih lanjut mengenai kedua orang itu semalam.
"Tan-heng, aku lihat masa depan Tan-heng ke depan pasti gilang-gemilang dengan terpilihnya suhengmu Tiong-Pek-Tojin sebagai ciangbujin berikutnya, bukan tidak mungkin Tan-heng dagkat sebagai wakil ketua atau pelaksana harian" kata Lie Kun Liong membuka pembicaraan.

Dengan menghela nafas panjang Tan Sin Liong mengeluarkan unek-uneknya dan berkata"Lie- heng sebagai orang luar mungkin tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di tubuh partai kami saat ini. Kelihatannya semua murid-murid Bu-Tong saling rukun tetapi sebenarnya terdapat perselisihan-perselisihan kecil yang kalau dibiarkan bisa membesar"
"Kalau Tan-heng percaya sama aku, persoalan apa yang terjadi di Bu-Tong-Pay saat ini ?" "Tentu saja aku percaya sama Lie-heng yang sudah aku anggap sebagai teman karib. Persoalan ini mengenai Tiong-Cin suheng beserta murid-murid yang mendukungnya. Sudah bukan rahasia lagi Tiong-Cin suheng memiliki ambisi untuk menjadi ciangbujin Bu-Tong-Pay, dengan ditunjuknya Tiong-Pek suheng sebagai ciangbujin menggantikan suhu, membuat pihak Tiong-Cin suheng kecewa. Sebelumnya sudah berulangkali Tiong-Cin suheng mengkritik Tiong-Pek suheng dalam melaksanakan tugas sehari-hari partai Bu-Tong namun selama ini Tiong-Pek suheng cukup arif tidak melayani provokasi Tiong-Cin suheng. Tapi bila terus diprovokasi bukan tidak mungkin Tiong- Pek suheng terpancing sehingga bisa terjadi bentrokan. Ini yang aku khawatirkan terjadi, Bu-Tog- pay bisa menjadi lemah dari dalam." kata Tan Sin Liong.
"Kira-kira siapa saja yang berada di pihak Tiong-Cin-Tojin, apakah cukup banyak ?"
"Di angkatan kami hanya Tiong-Jin suheng dan Tiong-Kok suheng yang mendukung Tiong-Cin suheng sedangan suheng-suheng yang lain ada yang mendukung Tiong-Pek suheng, ada juga yang netral. Sedangkan di angkatan yang lebih muda, tentunya murid-murid Bu-Tong mendukung masing-masing suhu mereka" jawab Tan Sin Liong.
"Apakah pihak Tiong-Cin-Tojin yang kecewa bisa mengundang orang luar untuk ikut campur?" tanya Lie Kun Liong.
"Walaupun aku tahu Tiong-Cin suheng memiliki pergaulan yang luas di kalangan kangouw tapi aku harap itu tidak terjadi. Ini bisa dianggap menghianati partai, aku rasa Tiong-Cin suheng tidak akan bertindak sejauh itu" kata Tan Sin Liong dengan mimik serius.

10. Pengeroyokan di peternakan kuda
 
10. Pengeroyokan di peternakan kuda

Setelah berpamitan, siang harinya mereka meninggalkan Bu-Tong-Pay. Rombongan Master
The-Kok-Liang hendak menuju ke kota Nan-chang yang terletak di sebelah selatan Bu-Tong-San di keresidenan Jiang-Xi untuk berkunjung kepada sanak saudaranya sebelum kembali ke Thay-san. Lie Kun Liong yang masih ingin menyelidiki lebih lanjut penemuannya di Bu-Tong menolak dengan halus ajakan Master The-Kok-Liang untuk berjalan bersama. Cin-Cin yang mendengar Lie Kun Liong akan melanjutkan perjalanannya sendiri merasa kecewa dan merasa sedih.
"Liong-ko, mengapa engkau tidak mau ikut kami ke kota Nan-chang ?" tanya Cin-Cin penasaran.

Sambil menghela nafas panjang Lie Kun Long menjawab "Cin-moy masih banyak urusan yang harus kuselesaikan, sampai saat ini belum satupun yang selesai. Tapi aku harap kali ini mendapatkan titik terang mengenai kematian orangtuaku. Aku tidak boleh melewatkan petunjuk yang kudapatkan menjadi sia-sia, untuk itulah aku tidak bisa menyertai kalian"
"Kalau begitu aku akan minta ayah untuk mengijinkanku dan suheng membantumu melakukan penyelidikan, lagipula ini kesempatan bagi kami untuk terjun ke dunia kangouw"
"Tidak usah Cin-moy, urusan balas dendam adalah urusan pribadi, aku tidak mau melibatkanmu dan Tang-heng dalam masalah ini"
Cin-Cin terdiam, ia tahu tidak boleh terlalu mendesak karena masalah balas dendam memang menurut aturan kangouw harus diselesaikan oleh yang bersangkutan.

Di ujung persimpangan jalan mereka berpisah dengan Lie Kun Liong. Merasa sepi dan sendirian setelah beberapa hari berkumpul dengan kawan-kawannya, Lie Kun Liong beristirahat di bawah pohon rindang di tepi jalan, ditiup angin silir-silir sambil memikirkan langkah apa yang harus ditempuh untuk mengungkapkan misteri kematian orangtuanya. Sekarang ia tidak buta samasekali akan kematian ayah bundanya, jelas murid Bu-Tong terlibat, hanya ia tidak tahu seberapa jauh mereka terlibat dan apakah mereka biang keladinya ataukah hanya pion saja. Yang jelas ia harus mencari tahu melalui Tiong-Jin-Tojin dan Tiong-Kok-Tojin yang ia dengar pembicaraanya semalam.

Selagi duduk termenung, terdengar derap kaki kuda di kejauhan mendekat kearahnya. Lie Kun Liong tidak ingin bertemu siapa pun saat ini, ia bangkit dan berjalan menjauhi jalanan menuju jalan setapak ke hutan sebelah dalam dari jalanan.
Samar-samar ia mendengar irama teratur hentakan kaki kuda yang berlari mendekat di atas jalan yang berdebu dan bertebangan mengiringi derap kaki kuda yang terpacu dengan cepat. Dari jauh ia mengawasi ke dua ekor kuda itu melintas, kuda-kuda itu ditunggangi oleh dua orang pria berusia pertengahan. Lapat-lapat Lie Kun Liong mengenali punggung ke dua penunggang kuda itu adalah Tiong-Jin-Tojin dan Tiong-Cin-Tojin. Kebetulan sekali ia sedang bingung langkah apa yang harus dilakukannya, dengan cepat ia mengembangkan ilmu meringankan tubuh mengikuti derap kaki kuda itu semakin lama terdengar menjadi semakin jauh.

Untungnya ilmu ginkangnya sudah mencapai taraf tertinggi hingga tidak mengalami kesulitan mengikuti kuda-kuda itu.
Tiba di kota terdekat, mereka berhenti di sebuah warung makan untuk mengisi perut dan memberi makan kuda. Lie Kun Liong tidak berani masuk ke warung dan mengawasi mereka dari ujung jalan.

Demikianlah selama dua-tiga hari ia mengikuti mereka dengan ketat dan mulai kepayahan. Keduanya memacu kuda mereka tanpa henti, hanya pada malam hari saja mereka berhenti dan beristirahat di penginapan. Lie Kun Long tidak berani meninggalkan mereka sebentarpun untuk membeli kuda, takut mereka berlalu tanpa sepengetahuannya.

Syukur di hari ketiga gelagatnya sudah sampai ke tujuan, mereka memasuki sebuah gedung yang terletak di sebuah peternakan kuda yang luas, kira-kira masih duabelas mil lagi ke kota Hui- Chang.
Di sisi kiri gedung sejauh mata memandang nampak lembah hijau yang sangat luas. Dari atas laksana padang rumput berlatar belakang dua gunung hijau. Di tengah "padang rumput" itu ratusan ekor kuda sedang makan rumput dan ilalang yang tersedia melimpah.

Sementara itu, di antara pepohonan yang rimbun dan teduh nampak seorang pemuda tanggung mengangon dan mengawasi kuda-kuda itu. Lie Kun Liong menghampiri dan menyapanya. Ia mengaku sebagai pelancong yang hendak beristirahat sebentar sebelum melanjutkan perjalanan ke kota terdekat.
"Adik kecil, peternakan kuda ini punya siapa, pasti seorang yang memiliki kedudukan tinggi di pemerintahan" kata Lie Kun Liong.
"Siangkong salah, peternakan ini dimiliki oleh hartawan Bok-Wangwe (hartawan Bok)" jawab peganggon kuda yang dipanggil Siau kecil.

Sambil bercakap-cakap dengan Siau kecil, Liu Kun Liong berhasil mendapat tahu pemilik peternakan kuda ini adalah Bok-San yang terkenal kaya raya dan juga memiliki penginapan, rumah judi dan beberapa rumah makan di kota Hui-Chang. Bok-Wangwe tinggal di sebuah gedung megah di tengah kota Hui-Chang dengan beberapa orang selir dan hanya mempunyai seorang anak perempuan berumur enam belas tahun dari istri tuanya.

Sesampai di kota Hui-Chang ia langsung mencari penginapan untuk memulihkan tenaganya yang terkuras selama tiga hari ini dan memesan makanan untuk diantarkan di kamarnya. Begitu sadar dari siu-lan (semedi), ternyata hari sudah malam. Tubuhnya terasa segar siap untuk melakukan penyelidikan ke peternakan kuda tadi. Dengan cepat ia mengganti pakaiannya dengan pakaian pejalan malam – hitam kelam dan mengantung pedang di punggungnya. Sambil berlari menggunakan ilmu meringankan tubuh Liok-Tee-Hui-Teng (terbang di atas bumi) ia dengan cepat sampai di peternakan tadi dan melayang ke atap gedung yang berada di tengah peternakan kuda. Suasana gedung itu tenang, gelap dan sunyi-senyap, kelihatannya semua penghuni gedung telah terlelap dalam tidurnya. Tapi di salah satu ruangan yang terletak di bagian belakang gedung masih terlihat nyala lampu dan bayangan tubuh orang yang sedang duduk. Dengan hai-hati ia berjalan mendekati ruangan tersebut, dari jendela yang terbuka ia melihat dua orang buruannya tadi yaitu Tiong-Cin-Tojin dan Tiong-Jin-Tojin sedang bercakap-cakap.

Dengan mengerahkan segenap ilmu ginkang, ia berindap-indap mendekati jendela yang terbuka dan berusaha mendengarkan percakapan mereka. Ia tahu kedua Tojin ini memiliki ilmu silat yang sangat tinggi, sedikit lengah dapat berakibat persembunyiannya konangan. Ia tidak berani bernafas keras-keras, jaraknya dengan mereka tidak lebih dari lima meter jauhnya, hanya dipisahi dinding ruangan itu.
Terdengar suara Tiong-Jin-Tojin sedang bertanya kepada Tiong-Cin-Tojin,
"Apa suheng yakin anak Lie Hong Kiat tidak akan mengetahui sebab kematian kedua orangtuanya"
"Percayalah sute, malam itu ketika kita mengeroyok Lie Hong Kiat dan istrinya tidak ada seorang pun yang tahu, lagipula saat itu kita mengenakan pakaian hitam dan berkedok. Jangankan orang lain, Lie Hong Kiat dan istrinya belum tentu tahu bahwa yang mengeroyok mereka saat itu adalah sahabatnya sendiri" kata Tiong-Cin-Tojin tertawa bangga.
"Engkau memang pintar suheng bisa bersahabat dengan orang semacam Lie Hong Kiat yang menganggapmu sebagai saudara sendiri, kalau tidak kita tidak akan mengetahui rahasia yang dimilikinya"
"He..he itu pun hanya kebetulan saja, waktu itu dia sedang memandangi lukisan pemandangan yang tergantung di kamarnya dengan wajah bingung. Iseng-iseng aku menanyakan apa yang sedang ia pikirkan. Ternyata beberapa tahun yang lalu ia pernah menolong seorang tua yang terluka parah di tengah hutan habis di begal oleh gerombolan perampok. Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, orang tua itu menyerahkannya segulungan kain yang disembunyikannya di balik punggungnya sehingga tidak ikut di rampas gerombolan perampok kepada Lie Hong Kiat. Si kakek tua memberitahu Lie Hong Kiat bahwa lukisan pemandangan itu memiliki rahasia besar. Bagi yang berhasil memecahkannya akan mendapatkan suatu ilmu peninggalan jago silat paling kosen ratusan tahun yang lalu. Namun sayangnya orang tua itu pun tidak tahu rahasia lukisan ini" kata Tiong-Cin-Tojin sambil mengeluarkan segulungan kain lukisan dari saku bajunya yang longgar.
"Bagaikan geluduk mengelegar di atas kepalanya, mata Lie Kun Liong mengeluarkan api yang dapat membakar hangus sekitarnya. Akhirnya ia dapat memecahkan misteri kematian kedua orangtuanya. Ternyata ayahnya bersahabat kental dengan Tiong-Cin-Tojin tapi sampai mati pun mungkin ayahnya tidak tahu siapa yang mengeroyok mereka. Hanya dari gerakan ilmu silat yang mengeroyoknya, ayahnya tahu si pengeroyok memiliki ilmu silat aliran Bu-Tong-pay dan meninggalkan goresan kata Bu-Tong sebelum meninggal. Demikian dugaan Lie Kun Liong.
"Tapi sehabis membunuh Lie Hong Kiat dan istrinya, kita tidak menemukan siapa pun di dalam rumahnya termasuk anak lelakinya yang sekarang masih hidup dan aku rasa memiliki ilmu silat yang tinggi." kata Tiong-Jin-Tojin sambil mengerutkan dahi.
"Jangan khawatir berlebihan sute, kalaupun anak Lie Hong Kiat memiliki ilmu silat yang tinggi dan mendapat tahu sebab kematian orangtuanya, lalu kenapa, tidak mungkin ia bisa mengalahkan kita dan tidak mungkin juga ia mengetahuinya selama kita berlima tidak membuka mulut kepada siapapun. Yang perlu kita khawatirkan saat ini adalah Tiong-Pek suheng, aku rasa ia mulai curiga terhadap kita bertiga yang sering turun gunung, apalagi sekarang ia sudah menjadi ciangbujin, kita harus semakin waspada."
"Sudah sekian lama kita mencari tahu rahasia dari lukisan ini namun tidak berhasil mendapatkan petunjuk secuil pun, apa orang tua yang memberikan lukisan ini kepada Lie Hong Kiat berbohong" kata Tiong-Jin-Tojin.

Selagi mendengarkan percakapan, tiba-tiba Lie Kun Liong merasakan hembusan pukulan yang mengarah ke punggungnya. Ada orang yang membokongnya, dengan sebat ia melayang ke depan menghindari pukulan itu sambil mencabut pedang di punggungnya dan melancarkan serangan balasan ke belakang tubuhnya. Tampak seorang pria gendut berpakaian mewah berusia lima puluh tahunan dan memiliki gerakan tubuh yang sangat gesit sedang bergerak menghindar dari serangan pedang yang ia lancarkan. Mendengar suara ribut-ribut, Tiong-Cin-Tojin dan Tiong-Jin- Tojin memburu keluar.
"Apa yang terjadi Bok-heng, siapa orang yang berkedok ini" tanya Tiong-Cin-Tojin sambil mengawasi Lie Kun Liong lekat-lekat.
"Tidak tahu, aku melihat dia sedang mendengarkan pembicaraan kalian di dekat jendela tadi" jawab pria gendut itu yang ternyata adalah tuan rumah gedung ini – Bok Wangwe alias Bok San.

Dengan wajah kaget Tiong-Jin-Tojin berteriak "Jangan biarkan dia lolos, dia sudah mendengarkan rahasia kita"
Mereka bertiga mengepung Lie Kun Liong dengan rapat.
"Siapa engkau, mau apa datang ke sini" tanya Bok-San mengancam.
Lie Kun Liong dengan tenang menghadapi mereka, ia tidak mau membuka rahasianya sebelum ia tahu siapa saja ke lima orang yang telah mengroyok ayah bundanya. Sekarang ia sudah tahu dua orang, masih tiga oran lagi belm ia ketahui namanya.

Melihat orang berkedok itu diam tidak menjawab sepatah kata pun, Tiong-Jin-Tojin dengan tidak sabar melancarkan serangan pedang ke arah pundak diikuti ke dua kawannya.
Menghadapi kerubutan tiga orang yang memiliki ilmu silat yang tidak boleh dianggap main- main, Lie Kun Liong mempertahankan diri sebaik-baiknya sambil melancarkan serangan balasan yang bertubi-tubi terutama kepada kedua Tojin ini.
Tiong-Cin-Tojin dan Tiong-Jin-Tojin merupakan pentolan teratas Bu-Tong-Pay terutama Tiong- Cin-Tojin sudah mencapai tingkat tertinggi ilmu pedang dan memiliki pengalaman tempur puluhan tahun. Lalu masih ada Bok-San teman sehaluan yang memiliki ilmu andalannya Eng-Jiauw-Kang (ilmu pukulan Cakar Garuda) yang telah mencapai kesempurnaan, mereka bertiga yakin dapat dengan mudah menundukkan pria berkedok ini.

Bagi Lie Kun Liong ini adalah pertempuran terhebat yang pernah ia alami. Untung baginya sejak turun gunung ia telah beberapa kali mengalami pertempuran yang hebat dengan jago-jago kosen dunia persilatan mulai dari perampok barang piaukiok sampai Bai Mun An si Pedang Kilat.
Dengan ketat ia mempertahan diri dari serangan mereka, namun sayang pengalaman bertempurnya masih kurang cukup hingga kadang-kadang ia masih ragu-ragu dan menghilangkan banyak peluang membalas serangan mereka. Dari segi ilmu silat apabila satu lawan satu, ia yakin dapat menandingi mereka. Tapi dikeroyok bertiga oleh jago-jago top persilatan saat ini, ia mulai keteteran. Suatu ketika ia di serang dari tiga jurusan yang berbeda, yang satu mengincar pundaknya, pedang yang satu lagi mengincar batang leher, serta bagian perutnya. Tidak sempat berpikir sejenakpun Lie Kun Liong mengerahkan segala kemampuan yang ia miliki menghindari serangan-serangan itu. Dua serangan berhasil ia gagalkan, hanya serangan yang dilakukan Tiong- Cin-Tojin yang mengincar pundaknya kurang berhasil ia lewati. Ujung pedang Tiong-Cin-Tojin berhasil mengores sisi lengan kirinyanya dan mengeluarkan darah segar. Sadar akan bahaya yang dihadapinya bila ia meneruskan pertempuran ini, dengan mengigit bibirnya kencang-kencang Lie Kun Liong mulai melancarkan jurus andalan "Ilmu Pedang Terbang" perguruannya. Sekonyong- konyong sambil mundur menjauh dari kepungan, ia melemparkan pedangnya ke atas dan melompat ke atas pohon terdekat. Dengan lweekang yang dimiliki ia mengendalikan pedang yang terlempar ke arah Tiong-Jin-Tojin yang tidak menyangka akan di serang sedemikian rupa. Dengan susah payah ia mencoba menangkis pedang Lie Kun Liong dengan pedangnya namun kalah cepat sedikit, pedang Lie Kun Liong berhasil menggores luka yang cukup dalam di bagian pundaknya. Gerakan pedang Lie Kun Liong tidak berhenti di situ saja, sekarang ujung pedangnya mengarah ke Bok-Wangwe secepat kilat. Sebelum Bok-Wangwe sadar dan menghindar ujung pedang Lie Kun Liong sudah mendekat dan mengancam dadanya, untung baginya, Tong-Cin-Tojin yang berada di dekatnya bertindak cepat menangkis pedang Lie Kun Liong dan terlontar ke atas kembali ke tuannya. Dalam pertarungan antara ahli silat yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan, menang kalah kadang kala di tentukan dari unsur kejutan yang dihadirkan lawan, semakin terkejut lama semakin besar peluang berhasil. Demikian juga dengan serangan Lie Kun Liong, lawan tidak menyangka sama sekali ia sudah menguasai ilmu pedang yang dapat menyerang lawan dari jarak jauh.

Boleh di bilang serangan barusan hanya terjadi dalam waktu sepersekian detik. Sambil memegang pedangnya kembali Lie Kun Liong melayang turun dan berlari ke arah belakang peternakan kuda itu. Tiong-Cin-Tojin dan teman-temannya tidak mau melepaskan Lie Kun Liong semudah itu. Mereka mengejar sekuat tenaga dan mengintil dengan ketat Lie Kun Liong.

Saling kejar pun terjadi, ilmu meringankan tubuh mereka sama kuatnya hanya Bok-Wangwe yang sedikit ketinggalan. Beberapa li telah berlalu namun jarak mereka dengan Lie Kun Liong masih tetap sama beberapa depa saja.
Apabila ada orang awam yang menyaksikan kejar mengejar itu, mungkin ia akan mengira melihat bayangan-bayangan setan yang berkelabat dengan cepatnya melayang di atas tanah padang rumput pada tengah malam yang gelap gulita.

Luka di lengan Lie Kun Liong mulai mengeluarkan darah yang banyak dan membuatnya sedikit pusing, sambil berlari Lie Kun Liong melihat sekelilingnya mencari tempat yang baik untuk menyembunyikan diri. Mereka sekarang berada di bagian bawah pegunungan dengan pepohonan yang tampak menjulang tinggi dari kejauhan. Dengan cepat Lie Kun Liong memasuki hutang pegunungan dan memanfaatkan kegelapan malam menghilang dari kejaran mereka bertiga. Ia terus berlari memasuki bagian dalam hutan dan baru berhenti setelah ia yakin telah berhasil lolos dari kejaran mereka. Tak jauh dari situ terdapat sebuah sungai di tengah hutan. Ia membersihkan luka-lukanya, wajahnya pucat tanda kehilangan banyak darah, tubuhnya sangat letih. Ia merasa lemah sekali kehabisan tenaga, memang suhunya pernah memberitahu kalau ilmu pedang terbang membutuhkan pengerahan tenaga dalam yang besar, mereka yang belum memiliki tenaga dalam yang sempurna tidak dapat mempelajari ilmu ini bahkan bisa berbahaya bagi kesehatan apabila dipaksakan.

Lie Kun Liong jatuh pingsan kelelahan. Setelah melancarkan ilmu pedang terbang yang mebutuhkan pengerahan tenaga dalam yang besar, ia masih harus berlari berjam-jam lamanya dalam keadaan terluka hingga otomatis tenaganya semakin terkuras habis.
Diluar tahunya, sejak ia datang sudah ada sepasang mata bening menatap kedatangannya tanpa bersuara di atas pohon besar di sebelah kiri. Sepasang mata itu dimiliki oleh seorang dara muda yang cantik. Rupanya gadis ini adalah gadis kangouw yang kemalaman dan memutuskan bermalam di hutan sebelum melanjutkan perjalanan. Dia sedang beristirahat ketika melihat bayangan orang berlari mendekat dan berhenti di depan sungai. Ia tidak dapat melihat jelas siapa pria itu sehingga ia memutuskan untuk tidak mengunjukkan diri. Namun ketika dilihatnya pria itu jatuh pingsan dan mukanya menghadap ke arah persembunyiannya baru ia mengenali pemuda ini adalah Lie Kun Liong, pria yang sudah tinggal dalam sanubarinya sejak pertemuan pertama mereka.
Ia melayang turun dari pohon menghampiri Lie Kun Liong dan membawanya ke bawah pohon. Gerakan ilmu meringankan tubuhnya sangat lihay. Ia menyandarkan tubuh Lie Kun Liong di pohon dan memeriksa luka-lukanya. Untung ia membawa bekal obat-obatan secukupnya, lagipula luka Lie Kun Liong tidak terlalu parah. Di atas luka di bagian lengan kiri Lie Kun Liong ia bubuhi bubuk obat lalu dibebatnya dengan sepotong kain untuk mencegah darah kembali keluar. Ia tahu Lie Kun Liong pingsannya bukan karena lukanya yang parah tapi karean kehabisan tenaga dan terlalu banyak mengeluarkan darah, cukup beristirahat satu-dua hari akan pulih kembali.

Di kala mentari pagi mulai beranjak dari batas langit ketika tetes embun masih bergayut erat di dedaunan, Lie Kun Liong sadar dari pingsannya dan melihat lukanya sudah dibersihkan dan di ikat dengan sepotong kain. Rupanya selagi dirinya jatuh pingsan ada orang yang menolongnya. Ia memandang sekelilingnya mencari si penolong tapi tidak nampak seorang pun.
Merasa haus Lie Kun Liong bangkit dan berjalan ke arah sungai di mana ia jatuh pingsan semalam. Sambil berjongkok di atas batu sungai yang besar ia meraup air sungai yang dingin dan jernih dengan tangannya ke mulutnya.
Tidak jauh dari tempatnya jongkok, di balik batu besar di sebelah kanan ia mendengar suara gemericik air. Dengan mendongakkan kepalanya ia melihat seorang wanita muda muncul dari balik batu besar berenang menghampirinya. Ia mengenali wajah gadis itu – Si Erl kecil, putri dari Maling Sakti. Matahari mulai bersinar sangat terangnya, cahaya keperakan, menimpa sungai dengan tenang dan lembutnya membuat tubuh telanjang si Erl kecil nampak jelas di bawah air sungai yang bening.

Sepasang mata Lie Kun Liong tidak lepas dari tubuh yang sangat menggiurkan itu, terlebih-lebih terlihat jelas dalam keadaan telanjang bulat dan sedang mandi di sungai. Ini kedua kalinya ia melihat si Erl kecil dalam keadaan polos.

Dengan tenang si Erl kecil keluar dari sungai memperlihatkan tubuh telanjangnya yang sintal, indah dan sensual. Sepasang buah dada yang kenyal dan mungil seperti buah ceri bergoyang- goyang mengikuti gerak tubuhnya yang putih mulus.
Masih dengan tubuh telanjangnya, Si Erl kecil mendekati Lie Kun Liong, terpana pada tubuh dan payudara yang berdiri di depannya! Jantungnya berdenyut lebih kencang, secara reflek matanya menatap buah dada dan pangkal paha Si Erl kecil.
Ia tidak merasa malu atau canggung telanjang di depannya, dan melihat Erl kecil begitu wajar dengan ketelanjangannya. Tidak tampak grogi atau malu. Ia malah seperti dengan sengaja memamerkan keindahan lekuk liku tubuhnya yang memang indah. Bagian bawahnya di sela-sela kedua pahanya tertutup rapat, hanya menyisakan sedikit miniatur rumput liar.

Pengaruh suasana pagi yang cerah dan tubuh yang masih sedikit lemah membuat Lie Kun Liong menyerah pasrah. Dalam keadaaan seperti ini tidak ada seorang lelaki pun yang sanggup bertahan terhadap godaan di depan matanya ini kecuali seorang lelaki yang impoten!
Bunga bermekaran, seresah dan tanah basah, yang menyajikan simphoni bau harum alam. ... Air yang masih mengalir dari tubuhnya ketika si Erl kecil memeluk dengan erat Lie Kun Liong, bau harum segar seorang gadis muda terpencar menerpa hidungnya dan membuat gairahnya bangkit perlahan-lahan.
Si Erl kecil mendesah dan mengelinjang kedinginan dalam pelukan Lie Kun Liong. Ia memang sudah merancang kejadian ini dengan teliti sampai ke detail-detailnya dan ternyata berhasil dengan baik.

Lie Kun Liong mencium dan memagut bibir Erl kecil yang merah terbuka bagaikan ombak mencium pasir dengan lembut dan membuat Erl kecil merintih kecil. Rasanya manis bagaikan buah anggur merah.
Dengan lembut Erl kecil berbaring di atas rerumputan selembut beludru, diam-diam dia sudah mulai bergairah dan menikmati tatapan mata Lie Kun Liong yang mesra yang berbaring di sampingnya.

Tangan Li Kun Liong meraih buah dada Siau Erl yang bulat penuh dan kenyal dengan puting kemerahan lalu meremas-remasnya dengan lembut membuat Siau Erl mengerang penuh kenikmatan, puting payudaranya tegak tegang dipacu nafsu yang mengalir pada semua pembuluh darah dan semakin mengeras ketika lidah Lie Kun Liong menyentuh puting susunya, lalu mengulum putingnya yang kemerahan sambil sesekali menyedotnya dan mengigit pelan-pelan puncak puting yang keras itu sedangkan tangannya memain-mainkan puting susunya yang lain, membuat Siau Erl mengerang kecil penuh kenikmatan.
Perlahan-lahan Lie Kun Liong mulai menindih tubuh mulus Siau Erl, terasa olehnya tubuh Siau Erl menegang sekejap ketika merasakan kejantanannya menyisip ke dalam gerbang kewanitaannya.

Sambil mengelinjang, mengerang dan sesekali merintih, Siau Erl mengerak -gerakkan tubuh dan pinggulnya yang erotis dengan cepat dan lincah mengikuti gerakan naik-turun tubuh Lie Kun Liong.
Terasa oleh Lie Kun Liong desah nafas Siau Erl semakin memburu dan terasa ada sesuatu yang menarik-narik dan menjepit miliknya, hangat rasanya diantara paha Siau Erl. tiba-tiba Siau Erl mendekap Lie Kun Liong dengan kencang, tubuhnya mengejang ke atas, mulutnya mengeluarkan jeritan tertahan lalu bersamaan dengan itu, kakinya melingkar di pinggang Lie Kun Liong dan mengunci dengan erat.

Sementara Lie Kun Liong hampir tidak bisa bergerak dan hanya menekankan kejantanannya semakin dalam, tak lama kemudian Siau Erl mendesah semakin keras penuh kenikmatan tiada tara dan akhirnya mulai tampak rileks dan melonggarkan kakinya. sementara Lie Kun Liong meneruskan dayungan keluar-masuk secara perlahan-lahan dan Siau Erl hanya diam kelelahan dengan nafas yang tidak teratur.

Tidak lama, tampaknya birahi Siau Erl mulai bangkit lagi dan menggerakkan pingulnya lagi. Lie Kun Liong merasakan kejantanannya semakin menegang dan dengan erangan panjang ia merasakan sesuatu yang memuncrat bagai pancuran air mancur merenggut sebagian kesadarannya. Ia merasa bagaikan berada di langit ke tujuh. dengan tubuh lunglai Lie Kun Liong berbaring di samping Siau Erl yang sedang tersenyum sungging lemah.
Daun pepohonan nyiur melambai, angin pagi yang segar membelai wajah mereka yang kuyu. Dengan perlahan Erl kecil menyentuh dan membelai-belai Lie Kun Liong.

Lie Kun Liong duduk diam membisu, tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya, perlahan kesadaranya mulai pulih membumi. Penyesalan yang luar biasa mulai menyentuh hatinya terhadap apa yang telah dilakukannya, terhadap ketakberdayaannya terhadap godaan. Ternyata ia hanyalah manusia biasa yang tak kan selalu putih, pun tak ingin hitam lagi. Ia bukan manusia super yang memiliki kekuatan luar biasa dan mampu menolak segala halangan di depan mata.
Erl kecil menatap wajah Lie Kun Liong dan tahu apa yang sedang dipikirkannya. Ia bertanya apakah Lie Kun Liong menyesal dengan apa yang barusan mereka lakukan. Dengan tenang ia berkata "Aku tidak mengharapkan atau menuntut apa pun, apa yang tadi terjadi telah tejadi dan bagiku merupakan salah satu peristiwa yang paling indah selama hidupku. Aku akui bukan wanita yang sesuai dengan harapan kalangan umum, bagiku asal suka sama suka sudah lebih dari cukup dan urusan kita berdua selanjutnya terserah pada masing-masing". Ternyata Si Erl kecil yang masih semuda itu memiliki pandangan yang bebas terhadap hubungan pria dan wanita. Apalagi pada jaman itu, seorang gadis yang bertindak sebebas ini akan di sebut wanita jalang, bahkan di jaman modern saat ini masih banyak yang menganggap pandangan ini secara negatif.

Dengan perasaan malu dan berterima kasih Lie Kun Liong memegang tangan Erl kecil dengan erat tanpa sanggup berkata-kata. Mereka kemudian meninggalkan hutan yang menjadi saksi bisu keintiman yang dilakukan sepasang manusia ini.
Setiba di kota mereka mencari rumah penginapan dan mengisi perut di rumah makan yang terletak di bawah loteng penginapan ini. Lalu pergi ke kamar untuk beristirahat.

Si Erl kecil menceritakan pengalaman hidupnya, mulai dari masa kecil di mana ia hanya tinggal berdua ayahnya si Maling Sakti dan di tinggal mati ibunya sejak ia lahir. Mereka hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sebelum ayahnya memutuskan untuk menetap dan mengusahakan pelesiran Bunga Merah sebagai kediaman tetap mereka sejak sepuluh tahun yang lalu. Ia bernama Cu-Siang-Erl namun biasa dipanggil ayahnya Erl kecil, julukannya Jian-jiu-lo-sat (si hantu wanita bertangan seribu) ia peroleh dari kaum kangouw atas keahliannya mencopet dan mencuri yang dipelajari dari ayahnya.
"Begitulah cara kami mempertahankan hidup sampai kejadian beberapa waktu lalu yang meyebabkan ayah binasa" kata Erl kecil dengan nada sedih.
Dengan simpati ia mengenggam tangan Erl kecil, lalu berkata "Mengapa sekarang engkau berkelana, apakah mereka yang menyebabkan ayahmu mati berhasil menemukan kediamanmu ?"
"Benar sekali, mengikuti anjuranmu agar aku menyingkir dahulu dari rumah pelesiran sementara waktu maka setelah engkau pergi, buru-buru aku menginap sementara di rumah penginapan yang terletak persis di seberang rumah pelesiran kami tanpa memberitahu siapapun kemana aku pergi. Beberapa hari tidak ada kejadian apa pun sehingga aku memutuskan untuk kembali, namun di malam hari sebelum aku kembali terjadi peristiwa yang menyebabkan rumah pelesiran kami terbakar habis.
"Apa yang terjadi" tanya Li Kun Liong ingin tahu.
"Berdasarkan penuturan kacung kami yang selamat, malam itu kebetulan tamu yang datang tidak terlalu banyak karena habis hujan deras di sore harinya.

Tiba-tiba menerobos datang empat orang berkedok hitam tanpa ba..bi..bu.. langsung mencari pemilik pelesiran dan mengobrak-abrik pelesiran kami seolah-olah mencari sesuatu. Setiap kamar mereka masuki dan di obrak-abrik mulai dari meja kursi, lemari bahkan dinding dan atap mereka bongkar, dan di kamarku mereka berhasil menemukan ruangan tersembunyi di balik lemari tapi untungnya barang-barang berharga termasuk lukisan sudah kubawa serta sehingga mereka tidak menemukan apa-apa. Sesudah itu mereka langsung membakar rumah pelesiran kami hingga hangus tak bersisa. Demikianlah sejak itu aku langsung meninggalkan kota raja dan berkelana" kata Erl kecil
"Apakah lukisan itu masih berada di tanganmu"
"Masih" kata Erl kecil sambil mengambil lukisan itu dari buntalan pakaiannya. Sejak mendengar pembicaraan Tiong-Cin-Tojin dan Tiong-Jin-Tojin di peternakan kuda semalam, ia akhirnya ingat di mana ia pernah melihat lukisan pemandangan ini yaitu di kamar ayah bundanya. Memang sering ia melihat ayahnya memandangi lukisan ini tapi yang membuat ia heran, manakah di antara kedua lukisan itu yang asli. Dengan seksama, sekali lagi ia memeriksa lukisan itu tapi tetap tidak menemukan petunjuk apa pun.

Melihat Li Kun Liong begitu tertarik dengan lukisan itu, Erl kecil berkata "Sebaiknya lukisan ini engkau saja yang membawanya"
"Tidak boleh begitu, lukisan ini adalah barang peninggalan ayahmu" seru Li Kun Liong sambil menyerahkan kemabali lukisan tersebut namun dengan tegas ditolak Erl kecil.
"Aku tidak mau, lebih baik engkau saja yang membawanya, gara-gara lukisan ini aku kehilangan ayah, rumah dan sekarang dikejar-kejar mereka. Lebih baik lukisan ini tidak bersamaku sehingga aku tidak selalu was-was"
Akhirnya dengan perasaan apa boleh buat, Li Kun Liong menggulung lukisan itu dan memasukkan ke dalam sakunya.
"Sebaiknya engaku kembali ke kamarmu dan beristirahat" kata Li Kun Liong. "Memang kenapa kalau di sini saja" jawab Erl kecil tersenyum menggoda. Dengan muka merah Li Kun Liong memelototkan matanya.
"Baiklah aku pergi" sungut Erl kecil sambil berjalan keluar kamar.

11. Hutang Darah Bayar Darah
 
Wah, updatenya borongan nih :mantap:, jadi penasaran gmna nasib Li Kun Liong pas udah megang lukisan aslinya. Apa dia bakalan nemu jurus rahasia yg ada di lukisan itu?

:jempol:
 
dimana sech nyari ebook fullnya..... ****+++nya pada di sensor semua....
 
11. Hutang Darah Bayar Darah

Sore harinya Li Kun Liong mencari tahu dari pelayan penginapan rumah kediaman Bok- Wangwe, ia masih penasaran untuk mencari tahu siapa-siapa saja yang mengeroyok mati orangtuanya. Ia curiga Bok-Wangwe merupakan salah satu diantara lima pengeroyok itu.
Ia mengajak Erl kecil berjalan-jalan dan menuju tengah kota di mana kediaman Bok-Wangwe berada.

Gedung kediaman Bok-Wangwe dengan mudah ditemukan, merupakan bangunan yang paling besar dan megah, terletak persis di sudut jalan yang paling ramai di kota ini. Terlihat dua orang penjaga berdiri tegak di pintu gerbang gedung tersebut, setiap tamu yang datang harus melalui mereka dahulu sebelum diijinkan masuk. Sambil berjalan perlahan-lahan, dari sudut matanya ia melihat seorang berpakaian pelayan bergegas keluar dari pintu gerbang menuju ke arah luar kota sambil menyelipkan sepucuk surat di saku jubahnya. Tergerak hati Li Kun Liong untuk mengikutinya, bersama Erl kecil mereka menguntit pelayan tersebut. Lalu Erl kecil mendemonstrasikan kelihaiannya dalam mencopet, ia mendahului si pelayan dan di tikungan jalan berikut ia muncul sambil berjalan santai menyongsong pelayan tersebut. Saat mereka berpapasan, dengan kecepatan kilat tangan Erl kecil yang mungil dan lentik merogoh saku si pelayan tanpa sedikitpun disadarinya. Dengan tersenyum manis, Erl kecil menunjukkan dua pucuk surat yang berhasil ia ambil dari si pelayan.

Mereka segera kembali ke rumah penginapan dan langsung membuka serta membaca isi surat tersebut yang ternyata hampir sama isinya. Rupanya hari ini merupakan hari keberuntungan Li Kun Liong, di dalam surat tersebut yang masing-masing ditujukan kepada Sim-Gan yang tinggal di kota Jing-Men yang terletak di keresidenan Hu-bei dan Lu-Seng-Hok yang tinggal di kota Huai-Nan yang terletak di keresidenan An-Hui. Dalam suratnya Bok-Wangwe menulis mengenai peristiwa pengeroyokan mereka terhadap seorang pria berkedok yang mencuri dengar pembicaraan Tiong- Jin-Tojin dan Tiong-Cin-Tojin tentang lukisan pemandangan, ia juga menceritakan kemunculan Li Kun Liong sebagai anak Li Hong Kiat yang mereka keroyok dua belas tahun yang lalu. Bok- Wangwe meminta mereka untuk tenang dan waspada.

Akhirnya tanpa susah payah Li Kun Liong berhasil mengetahui semua musuh-musuh yang mengeroyok ayahnya. Bok-Wangwe pasti tidak menyangka sama sekali bahwa surat yang ia kirim telah berhasil di rampas dan di baca Li Kun Liong.
Ia memberitahu Erl kecil rencananya untuk membalas dendam dengan cara menghadapi mereka satu-persatu karena bila tidak agak susah baginya menghadapi pengeroyokan mereka. Dengan satu lawan satu ia yakin mampu membalas dendam kematian orangtuanya. Pertama-tama ia akan mendahului pelayan yang membawa surat dari Bok-Wangwe, membunuh Sim-Gan dan Lu- Seng-Hok terlebih dahulu mumpung mereka belum mengetahui rahasia mereka telah terbongkar. Dari situ baru ia akan berurusan dengan Bok-Wangwe serta Tiong-Cin-Tojin dan Tiong-Jin-Tojin bertiga. Ilmu silat keduanya belum diketahuinya namun dari ke lima orang tersebut, ia rasa yang paling lihai adalah kedua Tojin dari Bu-Tong.

Untuk mengejar waktu mereka bergegas malam itu juga berangkat ke kota Huai-Nan terlebih dahulu untuk menghabisi Lu-Seng-Hok.
Kota Huai-Nan terbentuk pada waktu Liu-Bang berkuasa, ketika itu ia memberi gelar Raja Huai- Nan kepada salah satu panglima yang paling ia percayai – Ying-Bu.

Mereka tiba di kota Huai-Nan beberapa hari kemudian di waktu malam hari. Kediaman Lu-Seng- Hok terletak di pinggiran kota berbentuk perkampungan kecil dengan beberapa rumah tinggal mengelilingi bangunan terbesar, kelihatannya bangunan ini tempat di mana Lu Seng Hok dan keluarga bermukim.

Bagaikan elang mereka berdua melayang di atas genting gedung utama tersebut dan mengamati keadaan sekelilingnya dengan penuh perhatian. Di sebelah kiri terlihat sebuah loteng yang masih bersinar cahaya terang. Di dalam loteng tersebut nampak seorang pria berusia lima puluh lima tahun seorang diri sedang sibuk menghitung dengan sipoanya. Selagi sibuk mengerakkan jari-jarinya di atas sipoa tersebut, tahu-tahu menerobos sesosok bayangan tubuh ke dalam ruangan. Reaksi pria ini cukup cepat, ia melemparkan sipoa yang dipegangnya ke arah lilin sehingga ruangan menjadi gelap gulita. Terdengar suara gedubrakan meja dan kursi, di dalam kegelapan mereka ternyata sudah saling bergebrak melancarkan pukulan yang beruntun ke masing-masing lawan. Li Kun Liong yakin pria ini adalah Lu Seng Hok, ilmu silatnya ternyata di luar dugaanya semula, lebih tinggi seurat dari Bok-Wangwe, setingkat dengan Tiong-Jin-Tojin.

Setiap pukulan yang dilancarkan dibarengi dengan kesiuran angin menandakan tenaga dalam yang sempurna. Dalam gebrakan pertama tadi hampir saja ia terkena pukulan Lu Seng Hok yang sangat lihai.

Tiba-tiba ruangan ini terang benderang kembali, cahaya yang muncul berasal dari lilin yang dipegang Erl kecil. Otomatis pertarungan terhenti, masing-masing pihak mundur mengamati lawan masing-masing. Wajah pria pertengahan tersebut kurus tirus, agak kekuning-kuningan dengan sedikit kumis tipis, matanya agak sipit dan licik.

"Siapa kalian, mengapa datang malam-malam begini" tanyanya dengan penuh curiga. "Apakah engkau yang dipanggil Lu Seng Hok" tanya Li Kun Liong.
"Benar, aku adalah Lu Seng Hok, ada urusan apa dan mau apa kalian ?"
"Masih ingatkah kejadian 12 tahun yang lalu di kota Siang-Yang, di mana kalian berlima mengeroyok secara pengecut ayah saya Li Hong Kiat, aku adalah anaknya. Siap-siaplah untuk menerima pembalasan atas perbuatan kalian tersebut" sahut Li Kun Liong sambil mencabut pedang dan melancarkan tusukan mengincar bagian depan dada Lu Seng Hok.

Dengan wajah terkejut Lu Seng Hok menghindarkan tusukan pedang Li Kun Liong dengan manis sambil mundur menjauh dan meraih pedang yang tergantung di dinding ruangan tersebut.
Terjadilah perang tanding yang seru, masing-masing mempunyai pikiran yang sama untuk menyudahi pertempuran ini secepat mungkin hingga langsung mengeluarkan jurus andalan mereka.

Secepat kilat tebasan pedang Li Kun Liong mengarah ke kaki Lu Seng Hok diikuti dengan gerakan menusuk ke atas. Lu Seng Hok menghindarkan diri dengan gerakan lee-hie-tha-teng (ikan gabus melentik) sambil mundur dengan gerakan tui-po-lian-hoan (mundur berantai), lalu dengan tiba-tiba melancarkan tusukan bertubi-tubi mengarah tubuh Li Kun Liong. Pertempuran mati hidup terus berlangsung dengan cepat, puluhan jurus telah berlalu, masing-masing pihak mampu bertahan terhadap serangan lawan sekaligus melakukan serangan mematikan.

Dengan khawatir Erl kecil memperhatikan pertempuran yang terjadi, ia berharap Li Kun Liong berhasil membalas dendam. Kalau menurut dorongan hati, ingin sekali ia ikut membantu Li Kun Liong menghadapi pria ini, namun Li Kun Liong sudah wanti-wanti berpesan padanya untuk tidak ikut terlibat, ia ingin membalas dendam kematian kedua orangtuanya dengan tangannya sendiri.

Melihat kelihaian ilmu silat Lu Seng Hok, Li Kun Liong sangat terkejut, ia baru menyadari sepenuhnya nasehat gurunya bahwa di dunia kangouw sangat banyak jago-jago kosen yang tersembunyi alias tidak di kenal. Cukup dengan melihat kelihaian ilmu silat Lu Seng Hok ini, boleh di bilang merupakan jago kosen kelas satu, tidak kalah dengan tokoh-tokoh terkenal dari tujuh partai utama.

Sambil melayani serangan pedang lawan, Li Kun Liong mencari kesempatan untuk melancarkan ilmu pedang terbang, ketika itu ia dapatkan tidak lama kemudian. Di saat ujung pedang lawan mengincar pundaknya, ia berlagak seolah-olah kewalahan dan mundur teratur. Melihat peluang baik ini tentu saja tidak disia-siakan oleh Lu Seng Hok, ia terus maju mencecar Li Kun Liong. Dengan tergesa-gesa Li Kun Liong menangkis serangan lawan dengan pedangnya dan terlontar ke atas. Di saat yang bersamaan, setelah berhasil melepaskan pedang lawan, Lu Seng Hok makin memperhebat serangannya.

Dengan tangan kirinya Li Kun Liong melancarkan pukulan pek-lek-ciu (tangan geledek) menangkis serangan pedang lawan, di waktu yang sama tangan kanannya mengendalikan pedang yang terlempar ke atas meluncur dan menusuk tubuh Lu Seng Hok dari samping. Sebelum Lu Seng Hok menyadari serangan dashyat tersebut, telah terlambat baginya untuk mengelakkan serangan pamungkas dari Li Kun Liong ini. Dengan telak ujung pedang yang sangat tajam menghujam iganya tembus sampai ke bagian perut.

Dengan mengeluarkan jeritan yang menyayat hati, Lu Seng Hok mundur sempoyongan, darah muncrat dan mengalir dengan deras dari iganya.
"Il..mu pe.dang te..r.baang" teriaknya dengan mata terbelialak dan nafasnya putus saat itu juga.

Sambil menarik pedangnya dari tubuh Lu Seng Hok, Li Kun Liong berlutut dan berdoa bagi ketenangang arwah kedua orangtuanya. Akhirnya ia berhasil membalas sebagian hutang darah keluarganya.
"Sebaiknya kita segera pergi dari sini Liong-ko" kata Erl kecil terburu-buru. Ia telah melihat sejumlah penghuni telah bangun dan keluar menuju ke loteng sumber jeritan tadi.
Li Kun Liong dan Erl kecil berlari ke arah belakang bangunan dan menghilang di kegelapan malam.

----000-----

Gedung tersebut dari kejauhan nampak seperti bayangan hitam besar oleh kegelapan malam di tengah kota Jing-Men. Tapi dari dekat tampak megah dan berkilauan dengan pendaran cahaya lampu gantung seperti bersolek menyambut tamu yang datang, sangat indah. Jelas pemiliknya seorang yang kaya-raya atau paling tidak pejabat pemerintahan yang berkedudukan tinggi.
Kali ini Li Kun Liong dan Erl kecil masuk dengan terang-terangan melalui pintu gerbang yang terbuka sebelum penjaga gedung sadar ada yang menerobos masuk ke dalam.

Sambil mengerahkan lweekangnya Li Kun Liong berteriak "Orang yang bernama Sim-Gan lekas keluar untuk membayar hutang-hutangmu". Suaranya bergema di seluruh gedung dan mengagetkan penghuni gedung tersebut. Tidak lama kemudian keluar serombongan orang sekitar enam sampai tujuh orang mendatangi. Yang berjalan di paling tengah adalah seorang pria berusia sekitar lima puluhan, bertubuh buncit dengan jubah keemasan berkibar mengikuti langkah kakinya. Wajahnya bulat kemerahan dengan mata yang agak sayu seolah-olah memikul beban kehidupan yang berat. Sedangkan di samping kanan ia didampingi seorang wanita berusia akhir empat puluh tahunan yang masih memperlihatkan garis-garis kecantikan di masa muda. Di sebelah kiri nampak sepasang anak muda, yang satu gadis muda belasan tahun dengan baju hijau, wajahnya cukup manis dengan tahi lalat kecil di sekitar dagu menambah kemanisan wajahnya. Sedangkan yang satu lagi adalah seorang pemuda delapan belas tahunan berbaju kuning dengan wajah biasa-biasa saja, nampak berjalan dengan cukup gagah sambil memegang sebuah kipas tangan bergambar naga. Agak sedikit belakang pemuda tersebut, berjalan dengan langkah lamban dan santai, seorang tua berusia sekitar delapan puluh tahunan. Wajahnya masih kelihatan segar dengan jenggot putih melambai-lambai di tiup angin, sorot matanya sangat tajan dan mencorong. Di antara rombongan orang-orang ini, Li Kun Liong merasa orang tua ini yang paling lihai dan patut di waspadai.

"Siapa kalian, mengapa teriak-teriak di malam hari?" kata pria berperut buncit tersebut sambil memandang dengan tajam ke arah mereka berdua.
"Apakah engkau Sim-Gan" tanya Li Kun Liong.
"Benar, lohu adalah Sim-Gan, kepala keluarga di sini, siapakah siangkong dan ada perlu apa ?" "Aku Li Kun Liong datang untuk menagih hutang darah berikut rentenya!"

Dengan wajah sedikit pucat Sim-Gan bertanyaa "Bisa dijelaskan hutang darah apa yang harus lohu lunasi ?"
"Masih ingatkah engkau dengan kejadian dua belas tahun yang lalu di kota Siang-Yang, dengan pengecut kalian mengeroyok kedua orang tuaku sampai binasa".
"Sii.ap..a..kah orang tuamu, apakah Li Hong Kiat" tanya Sim-Gan gagap.
"Apakah benar engkau anak Li Hong Kiat ?" tanya si orang tua sambil maju mendekat ke arah Li Kun Liong.
"Benar, aku adalah anak mereka yang lolos dari perbuatan kalian yang keji" teriak Li Kun Liong dengan hati panas membara.

Sekonyong-konyong si orang tua tersebut bergerak dengan kecepatan kilat menyerang Li Kun Liong dengan gerakan Liong-Heng-Coan-Cian (naga
menembus tangan), untung Li Kun Liong sudah mewaaspadai orang tua ini sejak tadi hingga dengan gerakan yang susah payah ia masih dapat menghindarkan diri dari serangan tersebut. Belum sempat ia memperbaiki kedudukan, gelombang serangan kedua telah datang mengincar pundaknya.

Kali ini ia tidak sempat mengelakkan diri, dengan telak jari si orang tua telah menotok Thian-Cong-Hiatnya (urat nadi di bagian pundak) yang membuat tubuhnya kaku. Ibarat elang yang menyambar buruannya, si orang tua dengan secepat kilat mennyambar tubuh Li Kun Liong dan melayang pergi dengan ginkang yang tiada tara.

Hanya sekejap ia telah menghilang. Erl kecil tidak sempat bereaksi sekejap pun, hakekatnya kejadian barusan hanya berlangsung sekian detik saja. Selama hidupnya belum pernah ia melihat kepandaian silat selihai itu.
Apabila Erl kecil sangat terkejut, apalagi buat Li Kun Liong, walaupun sudah berjaga-jaga namun ia masih tidak mampu menghadapi serangan si orang tua tadi yang sangat aneh. Ia hanya merasa pundaknya sedikit kesemutan, tahu-tahu tubuhnya sudah di kempit si orang tua dan di bawa pergi entah kemana. Ia tidak mau berteriak, dengan pasrah ia membiarkan si orang tua memperlakukan dirinya sesukanya sambil mengerahkan tenaga dalamnya untuk membebaskan urat nadi yang tertotok. Namun kali ini pun ia tercekat, urat nadi Thian-Cong-Hiatnya terasa sangat sakit tergempur arus tenaga dalamnya. Tapi jika ia tidak mengerahkan tenaga dalam untuk membebaskan totokan, tidak terasa sakit. Ternyata ilmu totokan si orang tua lain dari pada yang lain, sangat lihai dan aneh. Ia semakin menyadari nasehat suhunya bahwa diantara manusia yang lihai masih ada yang lebih lihai lagi, diantara bukit yang tinggi masih ada yang lebih tinggi lagi. Kelihaian orang tua ini susah diukur bahkan pada hakekatnya mendengar pun belum pernah, mungkin lebih tinggi dari tokoh-tokoh kosen saat ini.

Setelah berlari sepertanakan nasi lamanya, mereka tiba di sebuah perbukitan dengan pepohonan yang rimbun. Tak lama kemudian mereka tiba di sebuah kelenteng kuno yang sudah tak berpenghuni, si orang tua membebaskan totokannya hingga Li Kun Liong mampu bergerak kembali. Dengan tenang si orang tua menghadapi sikap permusuhan Li Kun Liong, ia berkata "Tahukah engkau hubungan lohu dengan Sim-Gan ?"
"Tidak" jawab Li Kun Liong singkat. "Dia adalah muridku"
"Jadi cianpwe hendak membela murid sendiri ?"
Sambil menghela nafas sedih, si orang tua berkata "Sebaiknya engkau duduk terlebih dahulu, masalahnya tidak sesederhana yang kau pikirkan"
Dengan ragu-ragu Li Kun Liong mengikuti saran si orang tua.
Sambil mengelus jengotnya yang sudah putih semua, orang tua tersebut berkata "Lohu mau menceritakan sedikit mengenai murid-muridku. Lohu mempunyai tiga orang murid, yang pertama telah meninggal dunia, yang kedua adalah Sim-Gan yang ingin kau bunuh untuk balas dendam, sedangkan yang ketiga adalah seorang wanita yang akhirnya menjadi istri muridku yang pertama.
"Sebenarnya murid pertama lohu lebih berbakat dari Sim-Gan, di samping menguasai ilmu silat, ia juga menguasai ilmu pertabiban dari lohu bahkan dia akhirnya lebih tertarik akan ilmu pertabiban dari pada ilmu silat, sayang ia mati muda. Sedangkan Sim-Gan kurang tertarik dengan ilmu pertabiban, ia lebih suka mempelajari ilmu silat saja. Dari segi watak, murid pertama lohu lebih baik dan jujur sedangkan Sim-Gan memiliki watak agak lemah dan sedikit malas, mungkin karena ia keturunan hartawan hingga suka mengagulkan kekayaan orang tua di masa mudanya.

Tapi pada dasarnya sifatnya tidak terlalu jelek. Hubungan mereka berdua pun baik-baik saja, di bilang akrab juga tidak karena mereka mempunyai sifat yang berbeda. Keretakan mulai terjadi kala masing-masing jatuh cinta pada sumoi sendiri, sedangkan murid lohu yang terakhir ini sifatnya halus dan pendiam hingga lebih cocok dengan murid pertama lohu. Mereka berdua di luar tahu Sim-Gan sudah saling mengikat janji sehidup semati, jadi ketika orang tua Sim-Gan meminta ijin lohu untuk meminang murid lohu ketiga ini, barulah lohu dan Sim-Gan tahu asmara mereka hingga otomatis membuat Sim-Gan kecewa sekali. Ia merasa di khianati saudara seperguruan sendiri.

Sejak berkeluarga masing-masing semakin jarang bertemu, murid pertama dan ketiga lohu pindah ke kota Siang-Yang dan membuka toko obat sambil berpraktek sebagai tabib. Engkau sekarang mungkin sudah dapat meraba siapa murid pertama dan ketiga lohu tersebut" kata si orang tua.

"Jaa..di Sim-Gan dan ayahku adalah saudara seperguruan" teriak Li Kun Liong kaget. Dengan wajah bingung ia berlutut di hadapan sucouwnya (kakek guru).
Dengan terharu si orang tua yang ternyata adalah guru dari ayahnya mengelus rambut cucu muridnya.
"Sejak pinangannya di tolak, Sim-Gan lebih suka mabuk-mabukan. Kejadian pengeroyokan kedua orang tuamu itu bermula dari mulutnya, di waktu mabuk tanpa sengaja ia menceritakan rahasia suhengnya sendiri, apakah engkau sudah tahu mengapa kedua orangtuamu di bunuh ?"
"Sudah sucouw, setelah bersusah payah akhirnya aku berhasil mengetahui sebab musababnya. Yang tidak aku sangka adalah Sim-Gan dan ayah adalah saudara seperguruan"
"Memang semua ini terjadi karena kelalaian Sim-Gan, ia bergaul dengan kaum terpandang persilatan yang munafik seperti kedua Tojin dari Bu-Tong-Pai tersebut. Begitu mereka tahu rahasia ayahmu, mereka bersekongkol untuk merebut lukisan tersebut. Malam itu dengan membawa Sim- Gan yang sedang mabuk, mereka berempat mengeroyok kedua orang tuamu sedangkan Sim-Gan terlalu mabuk untuk menyadari ulah yang telah ia lakukan. Begitu tahu menyesal pun telah terlambat, sejak itu Sim-Gan dihinggapi rasa bersalah yang mendalam, lohu tahu ia benar-benar menyesal atas perbuatannya. Lohu tidak mau mencampuri urusan balas dendammu, semua terserah kebijaksanaanmu sendiri untuk memutuskan masalah ini".
Li Kun Liong mengangguk lemah, ia sendiri bingung untuk memutuskan masalah ini.

12. Si Tabib Sakti
 
12. Si Tabib Sakti

Atas pemintaan sucouwnya, Li Kun Liong setuju ikut ke tempat kediaman kakek gurunya untuk memperdalam ilmu silat. Ia merasa kepandaiannya saat ini masih kurang, di samping ia kini merasa masih mempunyai terdekat dari kedua orang tuanya.

Sepanjang perjalanan Li Kun Liong mendengarkan penuturan latar belakang kakek gurunya. Kakek gurunya berjuluk Si Tabib Sakti, ilmu pertabiban yang ia kuasai di akui oleh seluruh dunia kangouw sebagai nomer satu, tidak ada penyakit yang tidak dapat ia sembuhkan bahkan orang yang buntung tangan atau kakinya, sepanjang belum terlalu lama, masih bisa ia pulihkan kembali. Ia juga mengenal semua jenis racun mematikan, bagaimana meramu dan menangkalnya. Namun jarang kalangan kangouw mengetahui di samping lihai ilmu pengobatannya, ilmu silat yang ia kuasai juga nomer wahid.

Lagi pula ia jarang terjun ke dunia kangouw hingga seberapa lihai ilmu silatnya tidak ada yang tahu. Sejak muda ia sering berkelana jauh kepedalaman bahkan sampai keluar dari tembok besar untuk mencari tanaman-tanaman untuk ramuan-ramuan obat.

Semua orang yang terluka atau sakit pasti tidak akan ia tolak, hanya satu pantangannya yaitu ia tidak pernah mau menyembuhkan pasien yang ia ketahui berasal dari kalangan baik-baik tapi di baliknya sebenarnya musang berbulu domba.

Ia pernah mengalami peristiwa yang pahit bahkan hampir merengut nyawanya. Waktu itu ia mengobati seorang pemuda yang terluka berat, pemuda tersebut bernama Tan Kin Hong. Dengan telaten ia mengobati luka-luka pemuda tersebut hingga sembuh total, bahkan karena si pemuda sangat tertarik akan pengetahuannya akan racun dengan sukarela ia mengajari pemuda tersebut segala sesuatu tentang racun, mulai dari cara menangkal, mengenali, meramu racun-racun yang berasal dari hewan-hewan maupun dari tanaman-tanaman beracun. Tapi tanpa sepengetahuannya si pemuda tersebut mengincar buku racun yang ia tulis dengan susah payah berdasarkan pengalaman-pengalamannya selama ini. Pemuda tersebut mencampur racun yang paling lihai yaitu tak berwarna dan tak berbau ke dalam minumannya hingga membuatnya hampir mati. Syukur sejak muda tubuhnya sudah sering menjadi kelinci percobaannya dalam mencari ramuan- ramuan yang mujarab hingga memiliki kekebalan yang tidak lumrah terhadap racun. Apabila bagi orang biasa racun yang di minum pasti akan membinasakan dalam waktu sekejap, tapi ia masih bisa bertahan bahkan mampu membuat pemuda tersebut melarikan diri dengan terluka parah akibat pukulannya. Sayangnya buku racun yang dimilikinya berhasil di bawa lari pemuda tersebut. Sejak itu ia paling benci dengan orang yang kelihatannya baik tapi sebenarnya munafik.

Mendengar penuturan sucouwnya, Li Kun Liong memberitahu bahwa pemuda yang bernama Tan Kin Hong tersebut sebenarnya adalah susioknya yang telah tersesat. Suhunya sendiri telah berpesan untuk membasminya apabila ia terus berbuat kejahatan.

Di waktu senggang, Li Kun Liong menerima pelajaran ilmu silat dan ilmu pertabiban dari sucouwnya, ternyata ia memiliki bakat yang baik sekali akan ilmu pertabiban, semua pelajaran dengan cepat dapat ia kuasai dengan baik sekali. Si tabib sakti sangat kagum dan gembira cucu muridnya mampu mempelajari ilmu yang diberikan dengan cepat, bahkan ia berkata sepanjang hidupnya belum pernah ia melihat bakat sebagus yang dimiliki Li Kun Liong. Li Kun Liong minta diajari jurus serangan yang pernah dilancarkan kakek gurunya sewaktu membekuknya di rumah kediaman Sim-Gan, ia sangat kagum akan jurus tersebut.

Sambil tersenyum Tabib Sakti berkata "Sebenarnya ilmu silat yang engkau miliki sekarang sudah jarang ada yang mampu menandingimu, kalau waktu itu lohu mampu membuatmu tak berdaya bukan karena ilmu silat yang kau miliki kalah dari ilmu lohu tapi karena engkau belum menguasai atau menyelami teori sesungguhnya dari ilmu silat. Sebenarnya semua ilmu silat berasal dari sumber yang sama, hanya variasi-variasi jurusnya saja yang berbeda.

Engkau tidak boleh melihat jurus serangan lawan dan berpikir dengan jurus apa menghadapinya, yang perlu engkau perhatikan adalah mencari titik kelemahan dari serangan lawan dan mencari usaha bagaimana menghindarinya. Jurus apa pun yang engkau termasuk jurus yang sederhana sekali pun – apabila di pergunakan pada saat yang tepat bisa berubah menjadi jurus yang paling lihai. Jadi engkau sebaiknya jangan terpaku pada jurus-jurus silat yang selama ini engkau pelajari, semua jurus bisa berubah sesuai dengan keadaan.

Tidak berubah adalah berubah, dengan tidak berubah menghadapi semua perubahan itulah teori ilmu silat tertinggi. Ini berlaku untuk semua cabang ilmu silat baik ilmu pedang, ilmu pukulan, ilmu tutuk jari, ilmu tombak, ilmu golok, dll. Bila engkau mampu menyelami kata-kata lohu barusan berarti engkau sudah mencapai tingkat tertinggi dari ilmu silat".

Dengan wajah termangu dan tatapan mata nanar Lie Kun Liong berusaha menyerapi kata-kata sucouwnya tadi, pikirannya berjalan cepat bagaikan roda yang terus berputar. Kata-kata tadi merangsek pola pikirnya selama ini, bagaikan tikar, tumpang tindih, kadang-kadang ia terbentur teori yang selama ini ia pelajari makin lama makin ruwet.. sederhana tapi tidak sederhana untuk dimengerti. Bagaikan angin utara yang memporak-pandakan pengertiannya selama ini, kata-kata tersebut mungkin berbeda dengan pemikiran orang kangouw kebanyakan namun perlahan-lahan ia mulai dapat menangkap intisarinya, matanya mulai berpijar bagaikan nyala lilin di kegelapan. Pikirannya melonjak bagaikan melingkar-lingkar, bagaikan topan yang dengan dahsyatnya menimbulkan putaran-putaran air serta gelombang yang bergolak mengerikan. Sedangkan di sela- sela riuhnya gelombang yang membentur pantai itu, terselip pula sebuah nada yang melukiskan seolah-olah sebuah perahu yang kecil sedang menyusup diantara gelegak ombak, berusaha mencapai pantai.

Menyaksikan Li Kun Liong terus berdiam diri dengan muka pucat, kadang-kadang dengan dahi berkerut kencang, tatapan mata sebentar kosong sebentar bersinar, tabib sakti tahu cucu muridnya sedang dalam tahap yang menentukan bagi kemajuan ilmu silatnya. Ia tidak berani menganggu bahkan bernafas pun pelan-pelan takut menganggu pemusatan pikiran Li Kun Liong, bisa sangat berbahaya bagi kesehatannya.

Perlahan-lahan wajah Li Kun Liong mulai bersemu merah, gelagatnya ia berhasil menyelami perkataan sucouwnya tadi.
Menyaksikan perubahan tersebut, Tabib Sakti dengan ternganga saking kagumnya, ia tidak menyangka dalam waktu sesingkat ini Li Kun liong mampu menyelami perkataannya. Ia sendiri memerlukan waktu belasan tahun untuk menyelami semuanya.

Timbul rasa hormatnya bagi bakat langka yang dimiliki cucu muridnya tersebut. "Apakah engkau sudah mengerti semuanya" tanya Tabib Sakti ingin tahu.
"Sudah, berkat petunjuk berharga dari sucouw, aku sekarang bisa melihat sisi lain ilmu silat yang selama ini terpikirkan pun tidak pernah"
Sambil tertawa terbahak-bahak, tiba-tiba tabib sakti bergerak secepat kilat menyerang Li Kun Liong. Namun kali ini dengan tenang Li Kun Liong menghindarkan serangan sucouwnya sambil melancarkan serangan balasan yang tak kalah ampuhnya.

Serangan bergelombang tabib sakti terus menerpa Li Kun Liong bagaikan angin yang berhembus sangat kencang, namun tak satu pun yang berhasil merobohkan Li Kun Liong. Ilmu silat yang dimainkannya masih tetap yang dulu namun sekarang perbawanya berubah seratus delapan puluh derajat, jauh lebih lihai dan susah di tebak arah serangannya. Bahkan kadang- kadang terselip jurus-jurus baru sesuai dengan keadaan dalam pertempuran.

Li Kun Liong sekarang dengan Li Kun Liong beberapa saat yang lalu bagaikan kupu-kupu yang baru keluar dari bungkus kepompong, dengan sayap berwarna-warni, melayang-layang berterbangan dengan indah dan bebas, walaupun di terpa angin ia akan hanyut bersama arah angin yang membawanya.

--- 000 ---

Beberapa bulan kemudian, mereka tiba di kota Leh di negeri Tibet atau di kenal sebagai negeri "atap dunia" karena terletak ribuan kaki di atas permukaan laut. Kota ini terkenal dengan Istana besar bertingkat sembilan, yakni Istana Sengge Namgyal —raja Leh, istana tersebut adalah sebuah hasil karya yang indah dan eksplisit dari seni arsitektur Tibet, yang dipercaya telah mengilhami pembangunan istana Dalai Lama terkenal di Lhasa, Tibet - Istana Potala.

Selama beberapa hari, mereka menginap di kota ini guna mempersiapkan bekal dan pakaian secukupnya.
Dengan menempuh jalan yang berliku liku dan tidak rata, mereka melintasi pegunungan Nangba La (atau sekarang di kenal sebagai pegunungan Himalaya).

Dalam perjalanan, udara cukup segar, walaupun mereka telah menutupi tubuh dengan pakaian tebal, namun udara tetap dapat menembus hingga mereka perlu mengerahkan lweekang untuk menahan dingin. Sesekali muncul marmot-marmot kecil kecoklatan dan lucu-lucu yang agak mirip anak kucing yang terawat baik, melompot-lompat dari batu ke batu dan kadang-kadang saling kejar mengejar di dekat mereka dalam jarak yang aman. Tapi jika Li Kun Liong sengaja berhenti untuk mengendong mereka, mereka pun menghilang ke balik batu-batu besar.

Langit diatas pegunungan dan sekitarnya biru seperti tinta, bahkan suara pun tidak ada, suasana terasa hening dan sepi.
Kadang-kadang mereka beristirahat kami melepaskan pandangan ke sekeliling dan pemandangannya benar-benar menakjubkan. Ditengah-tengah pemandangan yang tertutup salju tersebut, terlihat melihat ratusan umbul umbul dalam multiwarna berkibas-kibas ditiup angin seolah-olah sedang berdoa demi kedamaian dan ketenangan para penduduk yang dibawa oleh sepasukan tentara Tibet.

Sambil memandang ke arah selatan, ke Lembah Indus yang terkenal, yang mungkin masih menyembunyikan rahasia dibalik perabadan sekarang ini, Li Kun Liong melihat barisan gunung- gunung yang tertutup salju yang termasuk kedalam Barisan Pegunungan Zanskar. Di sebelah utara terlihat Sasser Massif, yang termasuk kedalam Pegunungan Karakoram.

Tabib sakti yang sudah terbiasa melintasi daerah-daerah pergunungan, menjadi pemandu Li Kun Liong selama perjalanan. Pengetahuannya tentang lembah ini cukup luas sehingga ia bisa mengenal daerah lebih dekat. Lembah Nubra (berarti taman) yang terletak antara Khardungla dan Glatsier Siachin, memperoleh namanya dari Sungai Nubra - anak Sungai Shyok, yang berhulu dari hamparan es mencair sepanjang tujuh puluh delapan kilometer - Glatsier Siachin Kedua sungai tersebut berhulu dari Sasser Massif masing-masing di timur dan di barat, lalu menyatu menjadi Sungai Shyok dan dalam perjalanannya sungai ini berkembang menjadi sungai Indus yang sangat besar di Baltistan. Sungai-sungai tersebut dalam perjalanan mereka selanjutnya memecah menjadi kali-kali yang mengalir ke lembah-lembah. Ketika salju mulai mencair sungai-sungai tersebut berubah menjadi jeram-jeram dengan ombak yang bergelombang-gelombang.

Untuk mencapai kediaman tabib sakti, mereka juga harus mcnyelusuri endapan-endapan es, Li Kun Liong menyaksikan pemandangan yang menakjubkan sepertia adanya tonjolan-tonjolan es yang tidak mencair, tumbuh atau bergantung seperti stalaktik dan stalagmit disepanjang jalan yang mereka lewati. Mereka terpaksa mengerahkan ginkang untuk menghindari gumpalan- gumpalan es itu.

Alam memperlihatkan keindahannya yang lain lagi setelah mereka tiba di suatu lembah yang bernama Lembah Nubra. Tanpa ditumbuhi pepohonan, daerah-daerah yang terletak di puncak- puncak pegunungan ini terasa kering dan gersang. Alam disini menampakkan warna-warna seperti abu-abu, coklat atau jingga, dan disamping itu tampak juga warna-warna magenta, kuning dan biru. Di beberapa tempat Lembah Nubra di tutupi oleh semak-semak berduri dan pepohonan. Disana sini mereka menyaksikan pula bunga-bunga mawar yang tumbuh liar dengan warna magenta, crimson, kuning dan merah, yang memberikan gambaran seperti sebuah karya sulam bermotif bunga yang tergantung di alam raya.

Banyak pula terdapat tanaman-tanaman liar yang sesekali di petik tabib sakti untuk bahan ramuan obat. Selama beberapa bulan melakukan perjalanan bersama kakek gurunya, Li Kun Liong semakin tertarik dengan ilmu pertabiban yang diajarkan tabib sakti. Pada awalnya ia hanya mempelajari sekedarnya terutama ilmu racun dan ilmu totok urat nadi, tapi semakin lama mempelajarinya ia semakin menghargai kelihaian ilmu pertabiban ini yang tak pernah ada titik henti. Ia dihadapkan dengan masalah-masalah pelik yang tak kalah dengan jurus-jurus ilmu silat yang ia pelajari dari tabib sakti seperti bagaimana meramu berbagai macam tanaman, menakar jumlah yang diperlukan, menumbuk dan meraciknya untuk menghasilkan pil-pil yang mujarab.

Setelah melewati daerah padang yang luas, mereka melewati jalan menuju Glatsier Siachin yang berliku-liku. Perjalanan sepanjang Sungai Nubra sangat menyenangkan, dengan melalui dusun-dusun yang ramai. Tabib sakti memberi tahu Li Kun Liong bahwa dusun-dusun ini rnerupakan rute perdagangan ke daerah tengah (Iran, Persia pada masa kini), sehingga ramai dan sibuk dengan kegiatan-kegiatan para kafilah yang membawa rempah-rempah dan garam. Mereka senang singgah disini untuk mengumpulkan tenaga sebelum meneruskan perjalanan selama dua pekan melewati padang pasir Karakoram dan pegunugan Kunlun. Suatu perjalanan dimana orang tidak akan menemukan sesuatu yang bisa disantap atau diminum di tengah perjalanan. Bahkan untuk makanan ternak yang menarik kereta-kereta kafilah itu juga tidak ada. Dengan demikian, dusun-dusun yang tersear di daerah itu, menjadi sangat penting artinya bagi perdagangan.

Dalam perjalanan sepanjang jalan itu mereka menemukan beberapa mata air panas berbelerang, yang bersumber dari pegunungan, yang membuat tanah sekitarnya berwarna kuning oker. Tabib sakti memberitahu Li Kun Liong bahwa mata air panas tersebut mengandung khasiat penyembuhan, penduduk sekitarnya membangun saluran-saluran dan kolam-kolam kecil untuk mandi.

Suatu hari mereka tiba gurun pasir. Gurun pasir ini tak jemu-jemunya menyuguhkan kejutan- kejutan kepada mereka. Tatkala mereka menuju pegunungan Hundar, mereka melihat bukit-bukit pasir besar dengan pola-pola arah angin jelas tergores diatas pasirnya yang dingin, berwarna kelabu. Bukit-bukit pasir setinggi 60-80 kaki tersebut sama berbahayanya dengan bukit-bukit pasir di daerah Jaisalmer (sekarang Rajasthan) yang lebih mudah ditempuh. Tetapi disini tersedia unta berpunuk ganda, unta Bactria— asli Mongolia— yang dengan mudahnya bisa melaju di padang pasir tersebut. Unta-unta ini adalah alat transportasi utama yang digunakan oleh para pedagang.

Mereka meneruskan perjalanan dengan mengikuti matahari yang sedang menuju peraduannya, sehingga dia tampak seperti sebuah bola besar berwana kemerahan. Langit biru dan awan-awan pun ikut berubah warna menjadi crimson. Dan tanpa disadari bayang-hayang pun semakin memanjang begitu sore beranjak malam untuk memberi kesempatan kepada manusia dan makhluk bernyawa lainnya yang mendiami daerah ini untuk beristirahat dan melepaskan penat dari keganasan siang harinya.

Sambil memandang langit terbuka malam itu dengan bintang-bintang berserak jelita di atas sana, Li Kun Liong terkenang pada gadis-gadis yang dikenalnya, mulai dari Cin-Cin yang rupawan dan ceria, Liok Han Ki yang sampai saat ini belum pernah ia lihat wajah aslinya sebagai seorang gadis namun tubuh mulus dan buah dadanya yang ranum menantang sudah pernah ia lihat serta di sentuhnya. Juga percintaannya dengan Erl kecil merupakan pengalamannya yang pertama dan tak terlupakan. Masih jelas terbayang di benaknya aroma tubuh harum Erl kecil dengan buah dada yang putih dan puting yang merona merah – mampu membuat kejantanannya berkedut kencang bila mengingatnya.
Kadang kali ia rindu akan semua itu, perjalananan ini tidak ia sesali bahkan merupakan ujiaan buatnya untuk melatih diri kuat terhadap segala macam godaan. Di samping itu, ia sangat menikmati pengembaraan ini dan melihat hal-hal baru.

Sejak ia mampu menyelami arti sesungguhnya ilmu silat dan mempelajari bermacam-macam jurus dari sucouwnya, terasa olehnya ilmu silatnya maju pesat, tapi entah seberapa jauh kemajuaannya ia tidak tahu karena hingga sekarang ia tidak pernah bertempur dengan siapapun. Bahkan dalam memberikan petunjuk pun tabib sakti hanya memberi penjelasan lisan dengan contoh-contoh sekedarnya buatnya untuk berlatih.

Lagipula sebagian besar waktunya sekarang dihabiskan untuk mempelajari ilmu pertabiban yang tidak mudah dan rumit.
Keesokan harinya, tabib sakti memberitahu kediamannya sudah dekat tidak terlalu jauh lagi. Dua hari kemudian, mereka tiba di suatu pegunungan yang nampak indah dan permai. Untuk menjangkau puncak gunung tersebut mereka harus melalui tebing-tebing yang curam dan jurang- jurang yang mengangga menanti ketidakhati-hatian mereka yang tidak memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna. Setiba di atas puncak gunung tersebut, wajah mereka di terpa hembusan angin gunung yang kencang dengan udara yang sangat dingin. Di sini mereka bisa menikmati suatu panorama yang indah dengan hutan-hutan yang lebat menghijau. Ini tempat yang menantang dan karena beratnya medan terbayar dengan pemandangan alamnya yang indah.

Di atas puncak gunung tersebut, terlihat sebuah bangunan gubuk sederhana berdinding bambu berlantai kayu dengan beberapa ruangan yang di isi oleh perabotan yang sederhana. Di salah satu ruangan tampak berpuluh-puluh botol obat dengan tulisan kecil-kecil yang menunjukkan nama dan khasiat obat-obatan tersebut.

Di bagian belakang gubuk terdapat kebun tanaman obat yang sangat luas, beratus-ratus jenis tanaman tumbuh secara alami di sekelilingnya. Li Kun Liong sudah bisa mengenali beberapa jenis tanaman yang tumbuh tersebut. Kebun tanaman ini merupakan perpustakaan hidup bagi tabib sakti, di sinilah ia menghabiskan waktunya melakukan percobaan-percobaan.
Demikianlah mulai saat itu Li Kun Liong tinggal bersama tabib sakti memperdalam ilmu pertabiban dan ilmu silat sekaligus.

13. Kegemparan di kota Wu-han
 
13. Kegemparan di kota Wu-han

Waktu seakan tidak pernah berubah mengitari ruang lingkup manusia didunia, tetapi terkadang waktu berjalan berbeda dengan kehidupan seorang manusia seperti halnya aliran air, kadang terbelokkan oleh secuil puing, atau oleh tiupan angin sepoi-sepoi. Tapi jika kita perhatikan sebuah sungai didesa atau kota tempat tinggal kita misalnya. Dimana air sungai tersebut mengalir dari hilir ke hulu atau dari atas turun kebawah, maka begitu juga dengan waktu. Setiap desahan detik, menit dan jam pasti berawal dan akan berakhir.

Orang-orang pertapaan memandang waktu sebagai bukti adanya Tuhan. Tak ada yang tercipta sempurna tanpa adanya Sang Pencipta. Tak ada yang universal yang tidak bersifat ketuhanan. Semua yang mutlak adalah bagian dari Maha Mutlak. Lalu bagaimanakah dengan perputaran waktu yang tidak pernah berubah bak sebuah lingkaran. Artinya apa yang terjadi sekarang pernah terjadi jutaan tahun sebelumnya. Semua pertanyaan ini tidak dapat dijawab oleh manusia. Sebab manusia hanya bisa melekat pada waktu yang menggelinding di jalurnya sendiri-sendiri. Ada yang melekat pada waktu kesedihan, ada pula yang melekat pada waktu gembira. Cepat atau lambatnya tergantung mana yang lebih dipercaya oleh manusia itu sendiri apakah waktu mekanis atau waktu tubuh; Waktu yang pertama kaku, tak dapat ditolak dan telah ditetapkan sebelumnya. Waktu yang kedua meliuk-meliuk, dan mengambil keputusan sekehendak hati. Atau mungkin jika ada yang ingin waktu berjalan lambat terus menerus sehingga wajah cantiknya tidak akan punah dan pudar, dia dapat tinggal di daerah pegunungan karena menurut para ilmuwan waktu akan berjalan semakin lambat jika letak berpijak manusianya menjauh dari pusat bumi, sedangkan pegunungan adalah tempat yang tinggi dan tentunya jauh dari pusat bumi. Lain cara lagi manusia dapat tinggal saling berjauhan dengan jarak yang sangat jauh. Sebab pada kenyataannya waktu di setiap tempat berbeda dan berubah-ubah, maka setiap detik mendekati penuaan dan kematian di satu kota, akan terlambat seper sekian detik dari waktu di kota lainnya.

Andaikata manusia dapat memilih ruang waktu dan tidak terjebak dengan kepasrahan dan tawakkal maka dimensi waktu dapat terlihat oleh mereka, seperti kelahiran-kelahiran, pernikahan- pernikahan, kematian-kematian adalah pertanda sebagai adanya dimensi waktu. Beberapa orang merasa takut meninggalkan saat-saat yang membahagiakan. Mereka memilih berlambat-lambat, berjingkat melintasi waktu, mencoba mengakrabi kejadian demi kejadian. Sedangkan yang lain tergesa-gesa berpacu menuju masa depan. Manusia dapat memilih waktu seperti empat buah probabilitas seorang lelaki muda yang hendak bertemu seorang perempuan yang suka menyeleweng dan mengkritik, dan mungkin akan membuat hidupnya sengsara. Probabilitas pertama ia tidak jadi menemui perempuan itu. Kedua, ia menemui perempuan itu dan bercinta dengannya lalu pergi saja meninggalkan rumahnya. Ketiga pria itu menemui si wanita tersebut akan tetapi tidak bisa mengutarakan cintanya. Dan yang terakhir mereka saling mencintai dan hidup bersama. Disamping itu masih terdapat rentetan kemungkinan lain yang dapat terjadi.
Jika benar waktu seperti itu maka tidak ada lagi benar atau salah. Salah atau benar mensyaratkan adanya kebebasan dalam memilih. Dan kalau tiap tindakan telah dipilihkan, maka kemerdekaan untuk memilih tak mungkin lagi ada. Di dunia dimana masa depan telah pasti, tak seorang pun terbebani tanggung jawab. Ruang-ruang telah diatur sebelumnya. Maka Ucapan selamat bagi orang yang merasakan kebebasan ganjil, bisa melakukan apa pun yang ia sukai, bebas didalam dunia tanpa kebebasan.
Misteri waktu yang tidak pernah terbantahkan oleh setiap mahluk hidup membuat kita seringkali terkukung sesuatu yang absurd oleh nasib dan sesuatu yang banyak orang menyebutnya ketetapan Tuhan, namun seberapa seringkah otak manusia bertanya maksud Tuhan dari penciptaan waktu tersebut. Cobalah dekati Tuhan untuk bertanya soal waktu. Seorang Einsten pun sebelum menyelesaikan teori relativitasnya sempat berkata pada Besso sahabat karibnya,
"Aku ingin mengerti waktu karena aku ingin mendekati Tuhan.". Betapa hebatnya waktu sampai- sampai Tuhan pun bersumpah demi diri sang waktu tersebut, apakah waktu bukan ciptaan tuhan atau seiring waktu yang berjalan sehingga terciptalah Tuhan? Apakah waktu sebuah keabadian?.
Waktu, seperti kemarin terus berlalu begitu cepat, seperti angin, tak terasa meninggalkan hari demi hari, berganti minggu menuju kedua belas bulan, tuk menggenapi tahun. Terkadang bila dihitung waktu berjalan lambat sekali. ... Namun terkadang tak terasa begitu cepat. Lima tahun tlah berlalu.

Suatu hari di kota Wu-han di keresidenan Hu-bei sedang berlangsung Festival Pertengahan Musim Gugur atau Festival Bulan yang berlangsung pada hari ke lima belas di bulan ke delapan penanggalan Tiongkok. Konon menurut legenda pada malam festival ini bulan memiliki cahaya yang lebih terang dan bentuknya lebih bulat. Perayaan penting ini akan menjadi kesempatan bagi penduduk kota untuk berkumpul bersama sambil mencicipi kue bulan dan menonton serangkaian pertunjukan yang di gelar di jalan-jalan utama kota ini.

Di bawah cahaya terang bulan musim gugur ini, persahabatan dijalin dan diperbarui lagi. Beberapa penyair terkenal telah menulis syair tentang kisah kasih asmara dua insan yang telah lama tidak berjumpa dan akhirnya menemukan jalan pertemuan kembali antara satu dengan lainnya pada malam khusus ini, diantaranya karangan penyair terkenal Li Pai yang berjudul "Rindu d'Hening Malam"...

Cahaya rembulan depan pagar perigi
Sudahkah embun beku, menutupi bumi
Dongakkan kepala, ternyata terang bulan
Begitu menunduk, rindu kampung halaman


Sedangkan bagi yang sendirian di malam festival ini, tidak ketinggalan merayakannya sambil berpelesir dengan perahu di danau di bawah cahaya bulan sambil membawakan syair bertemakan minum arak di tengah rembulan...

Sepoci arak, di antara kembang,
Tak ada sanak, teguk sendirian.
Tawari rembulan, sambil 'kat cawan,
Jadi b'tiga, bila hitung bayangan.
Nikmatnya arak, bulan tak fahami,
Bayangan pun cuma, bisa buntuti.
T'pi bulan bayangan, sedang temani,
Perlu pesta pora, mumpung 'simsemi.
Bulan berayun, kala ku bernyanyi,
Bayangan oleng, kala ku menari.
Baku hibur, tatkala masih waras,
Terus bubaran, kala aku mabuk.
Kekal rekat, lewat guyonan ini,
Rindu bersua, nun di bimasakti.


Di tengah danau nampak seorang pemuda perlente bersama beberapa teman dan kekasih mereka sedang berperahu di sungai sambil berpesta minum. Bulan purnama bercahaya kemilau. Dia mengangkat gelas mengajak rembulan, dan melihat bayangan rembulannya terpantul di permukaan sungai. Setengah mabuk dia hendak menceburkan dirinya ke sungai, merangkul rembulan, untung teman-temannya dapat mencegahnya. Seorang gadis muda berwajah cantik, berbaju merah muda sibuk menolong menyadarkan si pemuda tersebut, rupanya dia adalah kekasih pemuda itu.
Tak jauh dari situ, sebuah perahu kecil berpenumpang satu orang pria berusia sekitar dua puluh lima tahunan menyaksikan kejadian tadi dengan tersenyum kecil dan mata yang berbinar- binar terutama ke arah gadis muda cantik. Wajah pemuda tersebut cukup tampan dan halus, senyumannya mampu menarik hati gadis-gadis muda, hanya sorot matanya yang sedikit ganjil, seolah-olah hendak menelan bulat-bulat setiap gadis muda yang di tatapnya. Pakaian berwarba putih yang dikenakannya sangat rapi dan bersih menandakan pemiliknya sangat memperhatikan penampilan.

Tanpa sepengetahuan pemuda perlente dan kawan-kawannya, pemuda berbaju putih tersebut mengikuti dengan perlahan perahu mereka yang menuju pinggiran danau untuk menepi. Ternyata rombongan pemuda-pemudi tadi hendak kembali rumah, pertama-tama si gadis berbaju merah muda tersebut di antar pulang oleh mereka kembali ke kediaman orang tuanya. Suasana kediaman gadis tersebut masih ramai dan hiruk pikuk celotehan kerabat-kerabatnya yang berkumpul di ruang tengah merayakan festival ini sambil menunggu fajar. Dia berhenti sebentar memberi salam kepada saudara-saudaranya sebelum dengan alasaan sudah mengantuk ia berpamitan dan menuju kamarnya yang terletak di ujung bangunan tersebut. Dengan ditemani seorang pelayan wanita, dia membersihkan diri dan bersiap-siap untuk tidur. Tanpa sepengetahuan siapa pun di atas atas kamar tersebut, pemuda berbaju putih yang ada di danau tadi dengan tenang nangkring di wuwungan mengamati si gadis tersebut membersihkan diri.

Tampak si gadis tadi di bantu sang pelayan sedang menanggalkan bajunya pelan-pelan sehingga tampak pakaian dalam warna merah. Pundaknya yang putih mulus terlihat jelas dengan buah dada membusung ketat di balik pakaian dalamnya. Sosok tubuhnya yang berkulit putih bersih dan bobot badannya ideal membuat penampilan gadis ini sangatlah menggoda lebih-lebih kalau dilihat oleh kaum lelaki. Pemuda di atas atap tersebut menelan ludahnya susah payah, birahinya mulai bangkit perlahan-lahan melihat pemandangan di kamar tersebut.

Sambil berjalan menuju lemari pakaian, gadis tersebut melepaskan pakaian dalamnya jatuh ke lantai, mempertontonkan tubuh bugilnya yang mulus dan memperlihatkan keindahan buah dadanya yang ranum dan dihiasi puting kecil kecoklatan serta belahan di antara kedua buah dada terlihat simetris. Bagian bawah si gadis itu juga tak kalah menggairahkan, paha yang putih mulus dengan kaki yang ramping, pinggang yang ramping serta bentuk pantat yang aduhai indahnya. Di antara kedua pahanya ditutupi bulu-bulu halus bagaikan beludru sutera yang halus.
Si pelayan wanita mengambil handuk, membasahinya dengan air panas yang ada di baskom, lalu mengusap-usapkannya ke seluruh tubuh nonanya.
Tidak tahan menyaksikan pemandangan yang terpampang di depan matanya, si pemuda dengan lweekang yang tinggi meniup padam lampu lilin satu-satunya yang terletak di atas meja. Dengan sebat dalam suasana gelap ia menutuk si pelayan dan pada saat yang bersamaan menerkam ke arah si gadis yang belum menyadari sepenuhnya apa yang akan menimpa dirinya. Dia hanya merasa tubuhnya yang telanjang di peluk dan di pondong ke pembaringan lalu di tindih seseorang. Belum sempat ia mengeluarkan suara dari mulutnya, bibirnya yang merah merekah telah di bungkam dengan ciuman yang penuh nafsu. Sambil menangis, dia berusaha meronta- ronta melepaskan diri dari dekapan orang tersebut, namun semakin kuat ia meronta semakin bernafsu pemuda ini, ia sangat suka memperkosa gadis yang masih hijau dan mendengarkan rintihan mereka.
Tangannya bergerilya kemana-mana, meremas-remas kedua buah dada yang kenyal dan memain-mainkannya sambil mulutnya menciumi, menghisap, mengigit kecil puting susu yang berwarna kecoklatan.

Kecapaian dan kalah tenaga membuat rontaan gadis tersebut melemah, dan akhirnya pasrah. terasa olehnya orang tersebut mengulum bibirnya, lidahnya terus mendorong- dorong memaksa ingin masuk ke mulutnya. Mulutnya pun pelan-pelan mulai terbuka membiarkan lidahnya masuk dan bermain di dalamnya, lidahnya secara refleks beradu dan terasa menyentil-nyentil seakan mengajaknya ikut menari. suara desahan tertahan, deru nafas terrdengar jelas olehnya. mulutnya perlahan-lahan turun mencium perutnya yang rata dan terus berlanjut makin ke bawah.

Darahnya semakin bergolak oleh permainannya yang erotis itu matanya yang terpejam terbuka ketika dirasakan tangan orang tersebut mengelusi paha mulusnya, dan terus mengelus menuju pangkal paha. jarinya menekan-nekan liang kewanitaannya dan mengusap-ngusap belahan bibirnya dari luar, membuatnya menggelinjang, terlebih lagi jari-jari lainnya menyusup dan menyentuh dinding- dinding dalam liang itu.
"ooohhh...nikmat sekali!" ucapnya sambil menatapi wajah gadis yang pucat dengan matanya yang mengigil ketakutan. belum pernah ia di sentuh pria seperti ini. tubuhnya jadi bergetar, kedua belah pahanya semakin erat mengapit. pria tersebut membentangkan kedua paha gadis ini dan mengambil posisi berlutut di antaranya, gerbang kewanitaannya terbuka memancarkan warna merah merekah diantara bulu-bulu beludru halus, siap untuk menyambut yang akan memasukinya. "aaakkhh...!" erangnya kesakitan sambil mengepalkan tangannya yang mungil erat-erat saat kejantanan pria tersebut melesak masuk ke dalam tubuhnya.
"aauuuhhh....!" gadis ini menjerit lebih keras dengan tubuh berkelejotan karena hentakan keras benda yang menghujam diantara kedua pahanya. dengan gerakan perlahan dia menarik mundur kejantanannya lalu ditekan ke dalam lagi seakan ingin menikmati dulu gesekan-gesekan pada himpitan lorong sempit yang bergerinjal- gerinjal itu.

Gadis ini bergelinjang kesakitan dan membuatnya semakin menggila, kedua gunungnya jadi ikut terguncang-guncang dengan kencang. pria tersebut merintih makin tak karuan menyambut klimaks yang sudah mendekat bagaikan ombak besar yang akan menghantam pesisir pantai. tangannya terus menjelajahi lekuk-lekuk tubuh si gadis, mengelusi punggung, pantat, dan paha. hingga akhirnya mencapai suatu titik dimana tubuhnya mengejang, detak jantung mengencang, dan pandangan agak kabur lalu disusul erangan panjang tanda kenikmatan.

Si gadis merintih sambil menggigit bibirnya menahan rasa perih akibat tusukan benda tumpul pada gerbang kewanitaannya. air matanya meleleh keluar. tubuh pria tersebut tergolek lemas bersebelahan.

Sambil mengenakan pakaiannya, pemuda berbaju putih tersebut lalu mengebaskan tangannya menghantam pelipis gadis itu, dan membuatnya terkulai mati tanpa suara. Sedangkan si pelayan wanita dengan tubuh kaku menyaksikan semua ini terbelalak ketakutan namun ia pun mengalami nasib yang sama dengan nonanya. Dengan melepaskan sepotong bunga bwe ke jalan darah Thay-yang-hiat (daerah pelipis) yang mematikan mengarah kepada si pelayan, pemuda tersebut menghilang di kegelapan malam.

Keesokan harinya, kota Wu-han gempar akan berita matinya si gadis tersebut yang merupakan puteri dari hartwan Cin dan merupakan kembang kota yang diperebutkan oleh pemuda-pemuda kaya kota tersebut. Tidak ada yang tahu siapa yang memperkosa dan membunuh gadis tersebut dengan keji. Tapi berdasarkan bukti sepotong bunga bwe yang menancap di pelipis si pelayan wanita tersebut, yang menjadi tersangka sementara dan di duga dilakukan oleh Bwe-hoa-cat (penjahat bertanda bunga bwe) seorang jai-ho-cat (penjahat pemetik bunga) yang sangat terkenal beberapa tahun belakangan ini namun tak seorang pun pernah melihat wajah dan nama aseli si penjahat ini. Ia hanya meninggalkan sebuah bunga bwe pada setiap korban-korbannya. Pada awalnya jai-hoa-cat ini mengincar dan memperkosa gadis-gadis biasa namun lama kelamaan ia semakin berani menganggu puteri hartawan, puteri kaum kangouw, puteri pejabat pemerintahan bahkan puteri selir raja pun tak luput dari gangguannya sehingga pihak kerajaan sampai mengirim wie-su pilihan dan Tong-leng (pemimpin Gie-lim-kun) – Sun Kai Shek yang berjuluk Kip-hong-kiam (si pedang angin lesus) untuk memburu penjahat tersebut.

Cukup banyak kaum gagah persilatan mencoba mencari dan membasminya tapi sampai sekarang keberadaannya masih misterius. Bahkan mereka yang berhasil berhadapan dengannya pulang tinggal nama. Kelihaian jai-ho-cat mengetarkan seluruh dunia persilatan karena lawan- lawannya merupakan jago-jago silat kelas satu dan selama ini belum pernah kalah diantaranya jago-jago muda dari Bu-Tong-Pai yang terkenal dengan julukan Bu-Tong-Sam-Kiam-Hiap (Tiga Pendekar Pedang dari Bu-Tong) semuanya mati terbunuh setelah sebelumnya memperkosa satu- satunya anggota wanita dari Bu-Tong-Sam-Kiam-Hiap – Si Lim Ci. Jago silat lain yang turut menjadi korban adalah pendeta muda dari Shao-Lin – murid utama wakil ketua Shao-Lin, jago muda nomer satu dari Hoa-San-Pai yang berjuluk Kun-Cu-Kiam (si pedang jantan) Cia Sun, merupakan murid kesayangan ketua Hoa-San-Pai Master Yu-Kang serta yang paling menghebohkan ia berhasil membunuh sute dari ketua Go-Bi-Pai yang berjuluk Kim-To-Bu-Tek (si golok emas tanpa tanding) yang telah malang melintang puluhan tahun tanpa tanding.

Namun kecerdikan Bwe-hoa-cat selama tak ada yang menandingi, terbukti tak seorang pun yang dapat melihat wajah aselinya dan selama beberapa tahun ini selalu berhasil menghindarkan diri dari kejaran para jago dunia persilatan.

Mendengar Bwe-hoa-cat beraksi kembali di kota Wu-han, jago-jago persilatan yang selama ini selalu menguntit dan memburu jai-hoa-cat ini berbondong-bondong datang ke kota Wu-han. Di antaranya terdapat jago muda terlihai dari Kun-Lun-Pai – Sie Han Li, murid utama ketua Go-Bi-Pai – Lu Gan, pendekar muda dari Kay-Pang – Tiauw Ki yang merupakan murid utama wakil Kay-Pang Kam-lokai, kedua tojin dari Bu-Tong-Pai yaitu Tiong-Cin-Tojin dan Tiong-Jin-Tojin dan para wie-su pilihan dari pihak kerajaan serta Tong-leng (pemimpin Gie-lim-kun) – Sun Kai Shek. Mereka datang secara terpisah namun berkumpul dan berdiam sementara di rumah penginapan terbesar di kota Wu-han ini, menantikan kabar mengenai Bwe-hoa-cat.

--- 000 ---

Di suatu pagi hari yang cerah, matahari pelan-pelan naik ke tangga langit. Awan sedikit kelabu menampakkan sisa hujan musim kemarau tadi malam. Embun diatas rumput masih tampak segar dan membentuk hamparan butiran air jernih yang menyejukkan mata. Udara juga terasa sangat dingin. Tepat sekitar jam tujuh -setelah bebenah dan menyapu - ketika pelayan warung makan membuka pintu warung, angin pagi mendesiu dan mendesak masuk ke dalam ruangan. Membuat badan terasa menggigil, tapi tampak segar dan..ngantuk, segera ia mulai menyeduh teh buat pelanggan-pelanggan hari ini.
Pelanggan pertama datang tak berapa lama kemudian, seorang pemuda dua puluh tahunan berbaju putih dengan wajah yang tampan dan halus, serta sinar mata yang tajam dan potongan tubuh seperti seorang siucai (pelajar) memasuki warung makan serta memesan semangkok bakmi dan sepoci teh harum.
"Kongcu baru tiba di kota ini ?" tanya si pelayan.
"Benar lopek, apakah lopek bisa memberitahu rumah penginapan yang bersih di kota ini" kata si pemuda tersebut.
"Sebaiknya kongcu menginap di rumah penginapan di tengah kota ini, terkenal sangat bersih dan pelayanannya sangat baik. Tapi cayhe kurang tahu apakah masih tersedia kamar kosong karena sejak beberapa hari belakangan ini banyak tamu yang menginap di sana"
"Memangnya ada peristiwa apa lopek hingga banyak tamu yang berdatangan ke kota ini ?'' tanya si pemuda ingin tahu.
"Kota ini mengalami musibah, seorang jai-hoa-cat memperkosa dan membunuh mati kembang kota ini, putri hartawan Cin. Kabarnya penjahat ini sudah lama di buru kaum kangouw karena sering memperkosa dan membunuh korban-korbannya".
"Oh rupanya begitu" kata si pemuda tertarik hatinya.

Selesai bersantap pagi pemuda tersebut berjalan menuju tengah kota untuk mencari rumah penginapan sesuai saran si pelayan.
Untung baginya masih tersedia sebuah kamar kosong di rumah penginapan ini. Sambil menaruh buntalan pakaiannya di pembaringan, ia duduk bersila untuk memulihkan tenaga.

Siang harinya ia turun dari loteng penginapan ke rumah makan yang terletak di bawah rumah penginapan ini. Suasana rumah makan sangat ramai dengan tetamu yang makan siang. Di mana- mana tercium bau harum masakan yang lezat yang teruar dari dapur warung makan tersebut. Pemuda tersebut memilih duduk di pojokan yang menghadap pintu masuk. Sambil menunggu pesanan datang, ia memandang sekelilingnya. Ia melihat banyak tamu yang menyandang pedang menandakan mereka adalah kaum kangouw. Ia menduga mereka adalah orang-orang yang diceritakan oleh si pelayang warung makan tadi, yang hendak memburu jai-hoa-cat.

Di sebelah kirinya, duduk dua orang pemuda menyandang pedang di punggung mereka. Yang satu berbaju biru, berwajah cukup tampan tapi angkuh, memiliki sinar mata mencorong ketika tanpa sengaja pemuda itu dengan pemuda berbaju biru ini saling bertatapan. Sedangkan pemuda yang satu lagi berbaju kuning, berusia dua-tiga tahun lebih muda dari teman seperjalanannya dan memanggil si pemuda berbaju biru suheng.
"Suheng, siauwte dengar kabarnya penjahat jai-hoa-cat ini masih berkeliaran di kota ini" kata si pemuda berbaju kuning dengan lirih, namun dengan lweekangnya yang tinggi, pemuda berbaju putih tersebut masih mampu mendengarnya dengan jelas.
"Banyak kabar yang berseliweran, belum tentu pasti kebenarannya. Cuma menurut kabar yang dapat di percaya memang benar si penjahat masih berada di kota ini bahkan kabarnya akan beraksi kembali dalam waktu dekat" jawab si pemuda berbaju biru sambil melirik curiga ke arah pemuda berbaju putih.
Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan berjalan menuju ke meja pemuda berbaju putih tersebut. Sambil menyoja ia berkata "Rupanya looheng (saudara) baru tiba di kota ini, bolehkah cayhe tahu nama besar looheng"

Pemuda berbaju putih tersebut berdiri dan balas menyoja "Cayhe kebetulan mamang baru tiba di kota ini pagi tadi, nama cayhe Li Kun Liong"
Ternyata pemuda berbaju putih ini adalah jagoan kita Li Kun Liong. Setelah lima tahun memperdalam ilmu silat dan pertabiban bersama tabib sakti, ia diperbolehkan sucouwnya untuk kembali ke Tiongkok. Sedangkan tabib sakti yang sudah merasa terlalu tua, tetap berdiam di kediamannya menghabiskan masa tuanya.
"Rupanya Li-heng, cayhe Lu Gan dari Go-Bi-Pai, kalau boleh tahu dari aliran mana dan siapa gerangan guru Li-heng"
"Cayhe bukan dari aliran mana pun, sedangkan guru cayhe bukan dari kalangan yang terkenal"
jawab Li Kun Liong diplomatis.
"Kalau Li-heng tidak keberatan, mari duduk bersama" kata Lu Gan sambil menyoja kembali namun kali ini di sertai dengan pengerahan tenaga dalam yang mengarah ke Li Kun Liong. Rupanya ia penasaran ingin menguji ketangguhan ilmu silat Li Kun Liong.

Sambil tersenyum tawar, seolah-olah tidak tahu apa pun, Li Kun Liong balas menyoja dan berkata "Terima kasih Lu-heng, tapi cayhe tidak berani menganggu kalian." Lalu ia duduk kembali ke meja untuk meneruskan makan siangnya.
Lu Gan merasakan tenaga dalam yang ia lancarkan melalui kedua tangannya tadi seolah-olah batu yang menyemplung di lautan yang maha luas. Ia merasa kaget dan tidak menyangka Li Kun Liong memiliki tenaga dalam yang sangat sempurna. Dengan muka berubah ia kembali ke mejanya dan bersantap sambil berdiam diri

Kejadian saling mengukur kepandaian dengan saling menyoja merupakan kebiasaan yang lumrah di kalangan dunia persilatan sehingga sewaktu peristiwa yang barusan terjadi tidak luput dari pengamatan para tetamu persilatan. Mereka umumnya mengenal Lu Gan sebagai jago muda paling lihai dari Go-Bi-Pai, wajah mereka pun turut berubah ketika menyaksikan Li Kun Liong tidak merasakan apa pun. Pendapat mereka terhadap Li kun Liong sebelumnya menganggap enteng ketika Li Kun Liong memasuki ruang makan tersebut berubah menjadi kekaguman.

Namun diantara mereka tidak ada satu pun yang mengenal Li Kun Liong sehingga seperti Lu Gan mereka menaruh perhatian khusus terhadapnya.
Sehabis bersantap, Li Kun Liong kembali ke kamar untuk memulihkan tenaga kembali. Sore harinya ia keluar berkeliling menikmati suasana kota Wu-han. Kota Wu-han adalah kota dengan kehidupan yang ramai, di sekeliling jalan utama terhampar bangunan-bangunan yang terdiri atas warung-warung makan, rumah penginapan, warung arak, rumah pelesiran, dan rumah perjudian serta pedagang-pedagang kaki lima yang menjajakan makanan, minuman, mainan, dan lain-lain.

Ia mampir di sebuah warung arak dan menikmati arak buatan kota ini, cukup harum walaupun tidak seharum arak buatan kota asalnya, Siang-yang. Ia terkenang akan masa kecilnya bersama ayahnya berkeliling kota Siang-yang di sore hari sambil menikmati jajanan manisan yang dibelikan ayahnya. Biasanya setelah lelah berkeliling, ayah mengajaknya makan bakmi langganan mereka di pinggir jalan. Ia termenung mengingat keluarganya, sekarang ia hidup sebatang kara, berkelana di dunia kangouw yang kejam demi menuntut balas kematian orang tuanya. Kesedihan yang mendalam tampak di wajah Li Kun Liong. Adakah yang pernah merasakan getaran-getaran rasa yang mendalam justru ketika kesedihan meluncur demikian dalamnya ? Mungkin hanya mereka yang bernasib sama dengannya mampu memahami kesedihan yang dialaminya. Kehidupan macam apa yang dapat menghidupkan jiwa yang yang berhati kesedihan mendalam. Sambil menghela nafas, Li Kun Liong mereguk secawan arak dalam genggamannya.
Tahu-tahu malam telah menjelang tiba, dia pun pergi meninggalkan warung arak, berjalan tak tentu arah, menerobos lalu lalang orang, menuju rumah penginapannya dengan langkah yang gontai, dia mencari sesuatu yang tak akan pernah ia temui lagi, kenangan pada orang tua telah membuat Li Kun Liong sedih. Dadanya dipenuhi akan kesedihan dan jiwanya yang terluka berbicara, mengisahkannya pada alam dan cakrawala, pada malam-malam yang hening, pada bulan yang berjaga, dan pada bintang-gemintang, pada semuanya ia kabarkan betapa kesedihan telah membelenggunya.
Li Kun Liong gelisah, tak sekejappun ia sanggup memejamkan mata. Malam semakin kelam, ia berjalan keluar rumah penginapan berjalan tak tentu arah.

Tiba-tiba ia melihat sekelabatan bayangan orang melintas di atas wuwungan, tergerak hatinya untuk mengikuti bayangan tersebut. Bayangan tersebut bergerak luar biasa cepat hingga Li Kun Liong kehilangan jejaknya. Ia merasa kaget melihat kelihaian ginkang bayangan itu, sambil memasang mata ia berputar-putar di mana bayangan tadi menghilang. Sekonyong-konyong ia mendengar sebuah jeritan yang diteriakkan oleh seorang wanita di kejauhan, dengan sebat ia menuju arah jeritan tersebut. Ia tiba di depan sebuah gedung yang berdiri megah tempat jeritan tadi berasal, melompati tembok gedung tersebut, di bagian tengah gedung tersebut, tiba-tiba ia bersampokan dengan seorang pemuda berbaju putih yang sedang keluar dari salah satu kamar.

Tanpa suara pemuda tersebut menerjang ke arahnya, gerakannya sangat cepat, tahu-tahu pukulan yang dilancarkannya telah tiba di depan mata. Li Kun Liong menghindar dengan gerakan Lee-hie-tha-teng (ikan gabus melentik) sambil membalas dengan serangan Hwe-hong-sau-liu (angin puyuh menyambar pohon). Masing-masing merasa kaget melihat kelihaian lawan, tanpa membuang banyak waktu pemuda berbaju putih tersebut melancarkan gerakan Pek-ho-ciong-cian (burung ho putih menembus awan). Selagi Li Kun Liong menghindari jurus tersebut, pemuda berbaju putih mundur menghilang dengan gerakan Teng-peng-touw-sui (menginjak rumput menyebrang sungai). Li Kun Liong hendak mengejar pemuda tersebut namun berhenti ketika mendengar rintihan kesakitan seorang wanita di dalam ruangan di mana pemuda berbaju putih tadi keluar.

Memasuki kamar tersebut, ia melihat seorang gadis muda tanpa pakaian sama sekali berbaring lemah di lantai. Wajahnya sangat cantik, tapi pucat pasi dengan nafas yang tinggal satu-satunya. Tubuhnya yang telanjang putih mulus dengan sepasang buah dada bulat naik turun membuat siapa pun yang melihatnya akan terpesona. Dengan mengeraskan hati Li Kun Liong menutupi tubuh gadis tersebut dengan selimut, ia mencoba menyadarkan gadis tersebut. Gadis tersebut membuka matanya yang sayu, terlihat kesedihan dan perasaan terhina di wajahnya, ia berusaha bicara tapi tak sepatah kata pun berhasil ia keluarkan, luka di pelipis wajahnya sangat parah, beruntung ia masih bisa bertahan selama ini. Gadis tersebut mengangkat tangan kirinya dengan lemah, memperlihatkan sebuah bunga bwe sebelum akhirnya ia mati dengan mata terbuka.

Li Kun Liong mengambil bunga bwe tersebut dari tangan si gadis, namun sebelum ia tahu apa yang harus diperbuatnya, tiba-tiba belakang punggungnya di ancam serangan sebilah pedang yang tajam. Secepat kilat ia menghindari bokongan tersebut dan membalikkan tubuhnya menghadap ke arah si penyerang. Ternyata yang menyerang dirinya adalah pemuda yang tadi pagi ia temui di rumah makan, Lu Gan. Lu Gan pun tampak terkejut begitu mengenali orang yang ia serang barusan adalah pemuda yang bernama Li Kun Liong.
"Bagus, akhirnya ketahuan siapa sesungguhnya Bwe-hoa-cat, ternyata rupanya engkau" teriak Lu Gan sambil kembali melancarkan serangan. Ia tidak sungkan-sungkan mengeluarkan jurus-jurus terlihai dari ilmu pedangnya menghadapi Li Kun Liong. Ia sadar Bwe-hoa-cat ini memiliki ilmu silat yang sangat lihai bahkan susioknya pun mati di tangan penjahat ini.

Sambil menghindari serangan lawan, Li Kun Liong berteriak "Lu-heng engkau salah sasaran, aku pun baru tiba di sini"
Tapi Lu Gan tidak memperdulikan perkataan Li Kun Liong, ia merasa yakin seratus persen Li Kun Liong adalah Bwe-hoa-cat yang selama ini mereka buru, terbukti ilmu silatnya sangat lihai, berusia dua puluhan tahun, dan berbaju putih seperti yang biasa dikenakan jai-hoa-cat tersebut.

Selagi mereka bertempur dengan seru, berdatangan kaum persilatan yang selama ini memburu Bwe-hoa-cat diantaranya terdapat Sie Han Li, Tiauw Ki , kedua tojin dari Bu-Tong-Pai yaitu Tiong- Cin-Tojin dan Tiong-Jin-Tojin. Ke dua tojin tersebut sebenarnya mengenali Li Kun Liong namun mereka berpura-pura tidak mengenalnya karena mereka curiga orang yang mencuri dengar rahasia mereka di peternakan kuda dan mereka keroyok tiga tahun yang lalu adalah pemuda ini.

Melihat kedatangan beberapa orang ini, hati Li Kun Liong semakin cemas akan kesalahpahaman ini terutama ketika ia melihat dua musuh besarnya ikut hadir dan berpura-pura tidak mengenalnya. Ia melompat keluar dari jendela kamar dengan gerakan Tu-it-chung-bonggoat (mendorong jendela melihat bulan).
"Jangan biarkan ia lolos, dia adalah Bwe-hoa-cat yang kita cari selama ini" teriak Lu Gan yang mengira Li Kun Liong hendak melarikan diri.
Tiong-Cin-Tojin dan Tiong-Jin-Tojin bergerak paling dahulu menghadang jalan pergi Li Kun Liong. Dengan hati panas membara dan tidak memperdulikan segala akibatnya Li Kun Liong menyerang ke dua tojin tersebut dengan jurus-jurus yang selama ini ia pelajari dari sucouwnya. Kalau tiga tahun yang lalu ia keteteran menghadapi keroyokan mereka, sekarang ia dapat membuat kedua tojin ini kelabakan menghadapi setiap serangan yang ia lancarkan. Sie Han Li, Tiauw Ki dan Lu Gan yang melihat dikerubuti dua jago lihai dari Bu-Tong-Pai, penjahat ini masih dapat melayani gabungan serangan pedang dari kedua tojin tersebut, diam-diam sangat kagum.

Sejak ia kembali berkelana, baru kali ini Li Kun Liong mempraktekkan semua pelajaran ilmu silat yang selama tiga tahun belakangan ini ia pelajari. Kalau dahulu ia merasa bingung dan kepayahan menghadapi serangan mereka, sekarang ia dapat melihat titik lemah dari ilmu pedang mereka. Cukup dengan jurus-jurus sederhana ia mampu membuat kedua tojin ini berkeringat dingin belum pernah mereka melihat jurus yang nampak sederhana tapi dapat menahan serangan terlihai dari ilmu pedang Bu-Tong-Pai bahkan sewaktu-waktu dengan gerakan yang tiba-tiba berbalik menyerang mereka. Pundak kiri Tiong-Jin-Tojin sudah terluka oleh tusukan pedang Li Kun Liong, darah segar nampak bercucuran keluar dari pundak Tiong-Jin-Tojin dan membuat gerakan tubuhnya melemah. Kesempatan ini tidak disia-siakan Li Kun Liong, ia terus mencecar Tiong-Jin- Tojin dengan serangan-serangan yang paling lihai. Tiong-Cin-Tojin berusaha melindungi sutenya sekuatnya namun kurang berhasil bahkan kini pun lengan kirinya sudah terluka tergores pedang Li Kun Liong, walaupun tidak separah luka Tiong-Jin-Tojin namun sudah membuat nyalinya kuncup.
"Menghadapi penjahat seperti ini, tidak perlu kita memperhatikan aturan kangouw, mari kita maju membantu kedua totiang dari Bu-Tong" kata Lu Gan.
Sebenarnya Sie Han Li dan Tiauw Ki merasa kurang layak mengeroyok satu orang berlima, namun apa yang dikatakan Lu Gan memang beralasan, bila penjahat ini bisa lolos, entah berapa banyak gadis yang akan menjadi korban-korban berikutnya. Apalagi ketika melihat ke dua tojin tersebut telah terluka dan sewaktu-waktu dapat di kalahkan Li Kun Liong.

Akhirnya mereka maju mengeroyok Li Kun Liong. Sie Han Li adalah jago muda terlihai dari Kun- Lun-Pai, begitu pula dengan Tiauw Ki dari Kay-Pang dan Lu-Gan dari Go-Bi-Pai, dengan masuknya mereka bertiga dalam pertempuran mengubah jalannya pertandingan. Sekarang Li Kun Liong di kurung selapis sinar-sinar pedang yang berkelabat di sekitar tubuhnya, diselingi tongkat pemukul anjing dari Tiauw Ki yang tak kalah lihai.

Namun beruntung bagi Li Kun Liong, ia telah memahami intisari dari ilmu silat sehingga sejauh ini ia masih dapat melayani kerubutan mereka. Puluhan jurus berlalu dengan cepat, suasana pertempuran semakin mencekam, masing-masing pihak mengerahkan semua kepandaian yang mereka miliki. Li Kun Liong mulai merasa tanaga dalamnya mulai terkuras banyak, bila diteruskan bukan tidak mungkin ia akan terjungkal. Sayang memang, tenaga dalamnya masih belum mampu menandingi tenaga dalam ke dua tojin dari Bu-Tong-Pai ini. Walupun setiap serangan yang ia lancarkan mampu membuat lawan-lawannya kaget dan bersusah payah menghindarinya, tanpa di dukung tenaga dalam yang seimbang, tentu saja serangannya tidak berhasil sepenuhnya.

Apabila satu lawan satu, ia yakin mampu mengalahkan mereka semua. Tiba-tiba ia melancarkan serangan Hong-jiu-siu-liu (angin menghembus pohon liu) ke arah Tiong-Jin-Tojin yang sedari tadi sudah tampak pucat kehabisan darah, Tiong-Jin-Tojin berusaha menangkis serangan Li Kun Liong dengan pedangnya tapi mendadak serangan Li Kun Liong berubah arah mengincar perutnya yang tak terjaga. Alangkah terkejutnya Tiong-Jin-Tojin menghadapi perubahan yang sangat mendadak ini, ia berusaha mengelit namun terlambat sedetik, ujung pedang Li Kun Liong berhasil menembus perut Tiong-Jin-Tojin. Tapi keberhasilannya membinasakan Tiong-Jin-Tojin harus dibayarnya cukup mahal, serangan tongkat pemukul anjing Tiauw Ki berhasil ia hindarkan, dengan sedikit mengegos ia pun berhasil menghindari tusukan pedang Lu Gan yang mengincar dadanya, tapi sabetan pedang dari Tiong-Cin-Tojin yang mengarah ke punggung belakang tidak dapat ia hindarkan sepenuhnya. Luka sepanjang dua dim di punggungnya mengeluarkan darah, membuat bagian belakang baju putih yang dikenakannya berubah menjadi merah. Melihat sutenya binasa, Tiong-Cin-Tojin semakin kalap menyerang tanpa memperdulikan pertahanan tubuhnya. Menghadapi serangan kalap Tiong-Cin-Tojin, Li Kun Liong agak kepayahan, apalagi gerakannya sedikit terganggu akibat luka di punggung, sedangkan serangan dari yang lainnya tidak dapat di anggap enteng. Suatu ketika ujung pedang Sie Han Li berhasil menghujam setengah dim dada Li Kun Liong dan tongkat pemukul anjing Tiauw Ki menghantam betis dan membuat kakinya berdenyut kesakitan. Li Kun Liong mulai mencari ketika untuk meloloskan diri dari kepungan mereka berempat, kesalahpahaman yang terjadi bisa ia jelaskan di kemudian hari, yang terpenting adalah menyudahi pertempuran sebelum terlambat.

Sambil melompat menghindari serangan pedang Sie Han Li, ia melontarkan pedangnya ke arah Tiong-Cin-Tojin sepenuh tenaga, dengan gerakan yang manis bersalto keluar dari kurungan mereka dan menghilang di kegelapan malam. Li Kun Liong tidak tahu serangan pedang terbang yang barusan ia lancarkan berhasil menembus dan memutuskan tulang pundak Tiong-Cin-Tojin, untuk selanjutnya ilmu silat Tiong-Cin-Tojin mengalami penurunan yang berarti. Melihat kedashyatan serangan terakhir Li Kun Liong, Lu Gan bertiga terkesima, membuat nyali mereka pecah untuk melakukan pengejaran.

Keesokan harinya kembali kota Wu-han gempar dengan berita matinya puteri satu-satunya kepala kota Wu-han akibat diperkosa Bwe-hoa-cat. Namun kali ini aksi si jai-hoa-cat tidak berlangsung mulus, ia kesampok oleh jago-jago silat dunia persilatan dan mengalami luka yang cukup serius. Dunia persilatan pun gempar dengan terbukanya rahasia siapa sesungguhnya Bwe- hoa-cat yang misterius tersebut. Nama Li Kun Liong mendadak terkenal seantero dunia kangouw sebagai Bwe-hoa-cat, buruan nomer satu kaum persilatan.

14. Satu-persatu binasa
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd