“Hahahaha... Betul. Angga telah beristri. Kakakku hanyalah pacar gelapnya saja.”
“Ya. Angga telah beristri. Kakakku hanyalah pacar gelapnya saja,” kataku berulang-ulang dengan keras.
---&&&&&&---
“Rico...Rico....Rico....”
Sayup-sayup kudengar suara kakakku memanggil namaku.
“Angga telah beristri. Kakakku adalah pacar gelapnya saja.”
“Rico, hentikan. Kau mengigau,” terdengar suara kakakku yang kini kudengar cukup jelas di dekatku.
Mengigau?
Kesadaranku semakin pulih. Kubuka mataku. Kulihat kakakku berada di dekatku. Tangannya memegang bahuku.
“Cie...Cie Stefany...tempat apa ini. Kenapa aku bisa disini?” tanyaku menoleh kearahnya.
“Rico, akhirnya lu terbangun juga. Lu udah ga sadar seharian. Sekarang tenangkan dirimu dulu. Minum ini dulu,” kakakku mengambil segelas air putih dan membantuku meminumnya.
“Hampir seharian?? Jadi sekarang Senin malam? Ini lu sudah balik dari Bali?” tanyaku keheranan.
Kakakku menundukkan kepalanya tak menjawab.
Lalu aku teringat. Tempat mewah itu. Blackjack. Pakaian kakakku disitu berbeda dengan sekarang. Jadi semua itu adalah mimpi!, aku berteriak dalam hati. Sungguh tak terbayangkan apabila kejadian itu betul-betul nyata.
Lalu kulihat Angga. Ia berdiri tak jauh dari tempatku. Ia sedang melihat ke arahku. Seketika emosiku meluap. “Angga bangsat! Aku belum selesai membuat perhitungan denganmu. Kau yang sudah berkeluarga masih bisa menjalin hubungan dengan kakakku bahkan kau tega mengorbankannya!” desisku sambil berusaha berdiri untuk menghadapinya. Namun seluruh tenaga pada tubuhku seolah mengkhianatiku, membuatku tak bisa beranjak dari tempatku berbaring.
Ya, kejadian itu hanyalah mimpi buruk. Blackjack adalah mimpi buruk. Namun sesaat sebelum itu, semuanya adalah nyata. Bahkan kini kuingat cowok itulah yang memukul kepalaku dari belakang. Juga kuingat sesaat sebelumnya samar-samar kulihat sinar lampu mobil di belakangku dan bayangan beberapa orang keluar dari mobil dan berjalan mendekat. Sebelum kemudian semuanya jadi gelap.
“Rico, tenang dulu. Semuanya tidak seperti yang kauperkirakan. Nanti akan kujelaskan semuanya. Tapi lu harus tenang dulu.” Cie Stefany berkata sambil memandangku.
“Cie, lu masih aja terus ngebelain dia. Memang apa sih yang bikin lu jadi tergila-gila sama dia? Sampai-sampai logika sudah ga dipakai lagi. Lu itu sudah dikadalin sama dia, lalu dikorbanin. Padahal dia itu sudah punya istri dan anak. Orang kayak gitu masih lu belain? Dan satu lagi, dia kemarin dengan pengecut memukul dari belakang sampai aku baru sadar barusan,” kataku sambil memandang tajam kearahnya.
“Rico, lu tertidur lama bukan karena dia tapi lebih karena pengaruh obat bius. Lu tenang dulu nanti aku jelasin semua, Ok?” kata kakakku memegang pundakku.
“Tapi betulkan dia yang memukulku kemarin malam?” tanyaku dengan menatap kakakku.
“Memang betul Rico. Memang kemarin akulah yang membuatmu tak sadarkan diri. Aku minta maaf untuk itu. Tapi sebenarnya aku tak bermaksud melakukan itu. Dan aku punya alasan kuat untuk melakukan itu,” Angga akhirnya ikut bicara.
“Minta maaf? Ok, aku maafkan perbuatanmu terhadapku. Anggaplah kau punya alasan kuat untuk itu. Tapi bagaimana dengan perlakuanmu kepada Cie Stefany? Ga usah kita bicara hal-hal lain. Satu hal saja...satu! Kau jelas telah mempermainkan dirinya padahal kau sendiri sudah berkeluarga. Bagaimana kau akan minta maaf untuk hal ini? Lagipula, apa arti permintaan maafmu bagi kakakku atau keluarga kami. Itu hanya untuk dirimu saja supaya kau merasa seolah jadi orang baik. Perlu kauketahui Angga, sebelumnya aku punya kesan baik terhadap dirimu. Itu sebabnya aku pernah bilang ke kakakku kalau aku akan membantu hubungan kalian untuk mengatasi beberapa kendala yang ada. Namun perbuatanmu selama ini membuatku sangat kecewa. Alih-alih kau serius menjalin hubungan dengan kakakku, niat baikku ini justru dimanfaatkan untuk memenuhi nafsu bejatmu saja!”
“Rico!” bentak kakakku dengan keras. Namun Angga memberi isyarat lalu ia melanjutkan,
“Aku tahu apa yang ada dalam pikiran dan perasaanmu. Tapi perlu kauketahui Rico... diantara kakakmu dan aku, kita tak ada hubungan apa-apa! Apa yang kau katakan barusan memang betul. Aku telah beristri dan punya anak perempuan berusia 3 tahun yang keduanya sangat aku cintai. Oleh karena hal itulah maka aku tak bisa ada hubungan spesial dengan kakakmu. Tidak hubungan percintaan, tidak pula hubungan perasaan, juga tidak hubungan fisik seperti yang kau kira.“
“Apa yang barusan Mas Angga bilang memang betul, Rico. Diantara kita sebenarnya tak ada hubungan apa-apa,” timpal kakakku.
“Tapi aku bisa mengerti denganmu. Kalau aku berada di pihakmu, mungkin aku juga berpikiran sama. Ok... pada saat ini rasanya tak ada gunanya bersikap munafik. Aku bisa katakan terus terang kalau kakakmu memang seorang gadis yang sangat cantik. Tak hanya sekedar cantik dari penampilan luar saja, namun ia mempunyai sesuatu dari dalam dirinya yang membuat banyak cowok pasti suka kepadanya. Termasuk aku.”
“Namun aku mencintai istriku. Aku telah mengikat janji dengannya dan aku tak akan mengkhianati janjiku itu. Seandainya saat ini aku masih single, tentu aku akan mengejarnya dan menjadikannya pacarku bahkan mungkin lebih dari itu. Namun saat ini, hubungan kita tak berjalan seperti yang kaukira. Sama sekali jauh dari itu.”
Pada saat itu kudengar pintu di belakangku terbuka. Terdengar suara langkah seseorang yang masuk ke dalam dan menimpali omongan Angga.
“Heh! Biar kau masih single sekalipun, memang kau kira dia mau kaujadikan pacarmu?” tukasnya dengan suara yang agak berat.
Aku menoleh ke belakang dan alangkah terkejut diriku melihat orang itu. Pak Zul!
Baik Angga maupun kakakku mereka keduanya berdiri dan menyapanya. Namun bapak itu malah berjalan menghampiri dan menyapaku. “Ah..Kau pasti Rico, adik Stefany,” katanya sambil menatapku dalam dan mengulurkan tangannya. “Saya Pramono.”
“Rico,” jawabku sambil menyalaminya.
“Ok, mungkin kini saatnya untuk menjelaskan semuanya karena saya percaya Rico berhak untuk mengetahui semuanya. Pertama-tama, saya Pramono minta maaf sebesar-besarnya atas segala ketidaknyamanan yang Rico alami selama ini,” katanya sambil menaruh kedua tangan di dada lalu menundukkan tubuhnya dengan sikap sungguh-sungguh. “Apapun kesalahan yang mereka lakukan, boleh ditimpakan ke saya saja karena sayalah yang bertanggung jawab untuk semuanya.”
“Saya adalah bagian dari Lembaga Pemberantasan Korupsi di negeri kita ini. Mirip seperti ICAC kalau di Hongkong atau KPK begitu kalau di Indonesia. Fokus kami menjaring koruptor-koruptor dan pelaku pencucian uang kelas ikan hiu. Saya adalah ketua dari tim intelejennya. Dia (sambil tangannya mengarah ke Angga) adalah Kapten Turangga atau nama panggilannya Angga, seorang perwira militer yang mendapat tugas khusus membantu tim kami. Sekaligus, ia adalah keponakan saya, yaitu anak dari kakak perempuan saya.”
“Tentu kau mengenal gadis muda ini,” katanya sambil mengarahkan tangannya dan tersenyum melihat kakakku. “Ia adalah Stefany Liauw yang tak lain dan tak bukan adalah kakakmu. Ia telah bergabung dalam tim kami sejak 4 tahun lalu. Siapa yang menyangka seorang gadis muda dan cantik, dari latar belakang keluarga kaya dan - maaf kalau boleh saya sebut golongan – dari kelompok yang selama ini tak banyak berkecimpung di bidang penegakan hukum – telah berjasa membantu banyak pekerjaan kami menangkapi maling-maling pencuri duit rakyat. Mereka para koruptor kelas hiu yang tertangkap itu semua mengira ia adalah mangsa empuk. Dikiranya kakakmu ini seorang gadis yang mendambakan hidup mewah. Dikiranya ia anak orang yang “dulunya kaya” terus jatuh melarat namun telah terbiasa hidup mewah sehingga kini ia butuh uang banyak dengan cara cepat. Padahal justru mereka itulah yang menjadi mangsa empuk. Pada saat mereka sadar, semua sudah terlambat. Hahaha...”
“Apa?! Jadi selama ini sebenarnya lu adalah seorang polisi yang menyamar, Cie?” tanyaku kepada kakakku.
“Mirip tapi tidak sepenuhnya benar. Secara resmi aku tak tergabung dalam satuan manapun. Keterlibatanku disini sifatnya adalah freelance. Sejak awal waktu direkrut Om Pram, aku katakan kalau aku tak ingin ada ikatan. Sewaktu-waktu aku bisa keluar kapan pun. Dan Om Pram setuju untuk itu. Namun kini tak terasa telah 3 tahun lebih bahkan hampir 4 tahun aku terlibat disini.”
“Bisa saya tambahkan bahwa waktu 3-4 tahun itu lebih lama dari perkiraan awal saya. Dan meski secara resmi ia tak terdaftar namun selama ini prestasinya sangat luar biasa,” Om Pram menambahkan.
“Hmm... Ada banyak hal yang menjadi pertanyaanku. Untuk itu bolehkah aku bertanya mulai dari awal? Kalau Pak Pramono tak keberatan?” tanyaku memandang ke arah bapak itu.
“Tentu, tentu. Silakan kau bertanya apa saja, Rico,” katanya. “Tapi omong-omong, kita jangan terlalu formal. Panggil saja saya Om Pram. Karena sebenarnya kita adalah orang sendiri. Nanti akan aku jelaskan mengapa. Sekarang silakan ada pertanyaan apa?”
“Mengenai obsesi lu dengan olahraga,” kataku memandang kakakku,”Itukah awal mulainya lu menjalani semua ini?”
“Ya betul. Itu adalah saat-saat awal ketika aku mulai menjalani latihan fisik. Dan apa yang lu pernah lihat sebenarnya masih belum apa-apa. Aku juga berlatih beberapa macam bela diri bersama Mas Angga dan yang lain. Tentu selama ini aku merahasiakan itu karena kalau tahu lu pasti heran dan bertanya-tanya.”
“Ya betul sekali Rico,” timpal Om Pram. “Disaat-saat awal kami menggembleng dulu Stefany baik secara fisik, emosi dan mental. Karena kami dan aku terutama punya tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa anakbuahku telah punya cukup “senjata” sebelum diturunkan ke lapangan. Terus terang, pernah saya sempat ragu apakah ia mampu melewati semua latihan yang berat itu. Namun setelah saya perhatikan sendiri saat ia berlatih fisik, aku tahu kalau pilihanku tak salah. Mentalnya sungguh luar biasa. Membuat diriku impressed terhadapnya. Apalagi mengingat background-nya yang sangat berkecukupan dan kehidupan yang nyaman, jauh dari hal-hal yang bersifat fisik. “
Hmm....aku membatin, jadi di tempat fitness itu, waktu itu ia memonitor cara kakakku men-drill fisiknya. Gestur acknowledgement-nya yang terlihat waktu itu menunjukkan kalau ia puas dengan pilihannya. Juga hal ini menjawab semua kesimpulanku saat itu. Tentu ia mengenal kakakku dan perkenalannya bersifat rahasia. Juga sebaliknya dari kakakku terhadapnya. Karena kakakku adalah anak binaan yang sedang dipersiapkan untuk melakukan misi rahasia. Tentu ia punya interest tertentu kepadanya. Ia ingin melihat kakakku punya mental kuat untuk menjalani latihan fisik yang berat itu. Ok, sampai titik ini sepertinya aku terlalu cepat melompat ke kesimpulan dengan menduga kakakku adalah cewek simpanan Om Pram. Demikian pula dengan dugaanku saat itu bahwa bapak ini adalah pejabat korup. Padahal sebenarnya ia justru kepala intelejen yang selama ini telah menangkapi para koruptor besar.
Om Pram memandangku dengan tersenyum dan bertanya,”Ada pertanyaan lagi?”
“Tentang “bisnis MLM” itu?... Sebenarnya lu ga pernah jalanin. Lu gunakan itu sebagai alasan yang kayaknya cukup masuk akal digunakan saat lu harus pulang malam. Syukur-syukur aku percaya. Kalo nggak, sebagai kontinjensi lu bikin kesan seolah lu jadi simpanan om-om atau semacamnya untuk menutupi kegiatan lu yang sesungguhnya?”
“Ya betul. Kerahasiaan ini harus kujaga betul. Untuk itu, lebih baik aku dikira sebagai cewek gak bener daripada membuka kegiatanku yang sebenarnya. Meski mungkin itu memberikan image yang kurang baik bagiku sebagai cewek. Tapi lu tahu sendiri tentang diriku Rico. Bagiku hal yang sesungguhnya jauh lebih penting dibanding image ke luar. Yang penting aku tak pernah melakukan hal-hal yang memalukan itu!” kata kakakku tegas.
Aku memandang sekilas ke Om Pram dan balik ke kakakku. Kuingin bertanya sesuatu namun akhirnya terlontar pertanyaan lain.
“Why? Aku tahu memang lu orang yang sangat memegang prinsip dan sangat committed dengan apa yang lu anggap benar. Tapi dengan mengorbankan citra lu dengan telak seperti itu? Padahal lu cewek. Kenapa lu sampe mau melakukan itu?”
“Lu ingat waktu kita dalam masa-masa sulit? Kenapa kita dikirim Papa kesini dan saat kita baru datang disini? Aku paling benci dengan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh orang-orang yang merasa berkuasa dan merasa bisa menindas orang lain seenaknya. Siapapun itu dan dari kelompok manapun. Dengan melakukan korupsi gila-gilaan, tidakkah perbuatan mereka itu sewenang-wenang dan merugikan orang banyak? Dengan ikut Om Pram, aku bisa melakukan tindakan nyata untuk menghajar mereka yang berbuat sewenang-wenang. Sekaligus untuk membuka mata mereka kalau perempuan bukan kaum lemah tapi juga bisa melakukan banyak hal. Sebaliknya aku ga terlalu peduli akan pencitraan. Nanti cowok yang betul-betul mencintaiku pasti akan mengerti dan mempercayaiku dibanding gosip yang – kalau ada - beredar di luaran.
“Lu dapat cukup banyak penghasilan dari kegiatan ini?” tanyaku.
“Ya betul sekali, Rico,” timpal Om Pram yang menjawab pertanyaanku. “Lembaga ini, terutama tim yang saya pimpin ini khususnya, punya budget yang cukup besar untuk dana operasional. Apalagi untuk role yang dilakukan kakakmu ini sebagai anak keluarga kaya yang terbiasa hidup mewah dan suka akan barang-barang mahal. Selain itu, kita punya sistem persentase sebagai komisi mengingat tingginya tuntutan pekerjaan ini. Uang korupsi atau pencucian uang yang terbukti, semuanya akan disita untuk negara. Dari situ, sekian persennya diberikan kepada mereka-mereka yang telah berjuang keras di lapangan.”
“Dan aku sudah dapet bayaran dari sejak aku menyatakan gabung lalu melakukan segala macam latihan itu. Meski secara riil aku belum menyumbang apa-apa. Malah mengeluarkan dana iya,” kata kakakku.
“Wow. Ini sungguh luar biasa, Om. Pekerjaan besar reward-nya juga besar. Karena itu tak heran kakakku giat dalam kegiatan ini,”selorohku sambil tersenyum. “Dan ini juga menjelaskan pertanyaan dalam pikiranku sebelumnya. Kenapa lu ga segera nyari cowok. Waktu itu lu bilang karena masalah di keluarga kita masih banyak. Padahal penghasilan lu udah banyak. Sekarang semuanya masuk akal. Lu kaga mungkin pacaran selama melakukan ini.”
“Sebenarnya kepuasan utamaku adalah menindak dan membawa mereka-mereka yang sewenang-wenang itu supaya diadili dan harta haramnya disita. Imbalan materi adalah prioritas kedua buatku. Lu juga tahu hal itu,” kata kakakku dengan tersenyum. “Meski aku ga munafik juga dengan uangnya apalagi saat keluarga kita sedang butuh cukup banyak. Tapi, omongan lu tentang pacaran itu betul. Saat itu pacaran adalah prioritas kesekian.”
“Jadi pacaran lu dengan Angga, semua itu adalah bohong-bohongan doang? Juga kerja kantoran lu, aku rasa juga itu rekayasa doang sebagai tambahan alibi untuk menutupi kegiatan asli lu? Yang betul adalah sejak lulus kuliah, lu fokus disini full time?
“Ya betul sekali. Selesai kuliah, aku pura-pura kerja kantoran padahal itu hanya rekayasa.”
“Mengenai “pacaran” lu dengan Angga ini,” kataku menatap kakakku,” kenapa ada perubahan strategi yang drastis dibanding sebelumnya. Dulu lu melakukan sandiwara dengan bisnis MLM dll tapi semua itu lu bungkus dengan kabut misteri. Namun sekarang justru malah lu buka.”
“Hmm... sebenarnya “pacaran” ku ini juga masih dibungkus kabut misteri ke dunia luar. Mas Angga telah berkeluarga, tentu jauh lebih baik kalau pacaran pura-pura ini jangan sampai diketahui mereka. Juga sebaliknya ke keluarga kita. Apalagi, pasti ada yang menjadikan bahan gosip dll. Keduanya tak baik untuk penyamaran kita. Sebenarnya perubahan strategi ini hanya ditujukan terhadap lu saja, Rico,” kata kakakku dengan tertawa geli.
“Mengapa? Karena semakin kemari lu ini semakin pintar. Kalau sebelumnya lu selalu nurut dan gampang dibuat percaya dengan sedikit tipuan kecil, belakangan ini lu jadi semakin sulit. Bahkan aku juga tahu diam-diam lu suka melakukan penyelidikan terhadap kakakmu sendiri. Karena itu lebih baik dibuka aja sekalian. Syukur-syukur lu percaya. Kalau nggak ya paling nggak bisa ngerem dikit keingintahuan lu itu. Jadi lu nggak terlalu penasaran lalu mencari-cari dengan tak terkendali. Keuntungan lainnya, kami bisa menyusun rencana dan berdiskusi selama berjam-jam tanpa terganggu atau menimbulkan kecurigaan orang luar kalau itu dilakukan di rumah dibanding kalau bertemu di tempat umum atau di markas pusat.”
“Namun satu hal yang diluar perkiraanku, ternyata lu ini jauh lebih pintar dibanding perkiraan awalku. Juga persistensi lu jauh lebih tinggi dari yang kusangka. Aku ga menyangka lu bisa dengan tepat menduga status Mas Angga, lalu nge-hack messagenya, dan mengikuti kami kemarin malam.”
“Hmm... sebenarnya saya tak akan pernah menyetujui pendekatan untuk mengelabui adikmu itu, Stefany. Tapi rupanya secara diam-diam kalian melakukan itu. Karena bagaimana pun pertaruhannya terlalu besar. Rico bisa dengan mudah salah paham lalu situasi menjadi tak terkontrol. Kemarin malam nyaris saja terjadi bencana dengan kemunculan Rico tiba-tiba yang tak disangka-sangka. Untunglah semuanya berjalan baik dan kita bisa bernapas lega sekarang. Juga, hal itu bisa membahayakan dirimu sendiri. Bagaimana kalau Angga jadi lupa diri saat kalian sedang berdua di kamar misalnya? Meski aku tahu ia adalah seorang pemuda yang mentalnya telah digembleng sejak kecil. Tapi bagaimana pun resiko selalu ada. Namun, kau tak pernah melakukan sesuatu terhadap Stefany yang bisa memalukan keluarga kita bukan, Angga?”
“Nggak Om. Aku berani bersumpah akan hal itu. Tak pernah sekalipun aku melakukan hal-hal yang sekiranya dapat merugikan Stefany. Juga hal ini aku nyatakan sekali lagi kepadamu, Rico,” kata Angga sambil menatapku. “Dan aku minta maaf atas semua yang aku perbuat yang sekiranya membuatmu tidak enak.” Kubalas tatapannya dan kuterima pernyataannya. Rasanya aku bisa mempercayai ucapannya.
“Sebenarnya jujur saja, aku juga kurang setuju dengan hal itu. Namun Stefany memaksaku. Bahkan ia mengancam kalo aku ga menurutinya, ia akan keluar dari tim karena semua upaya yang telah dikerjakan akan sia-sia. Bahkan di saat-saat awal ia melarangku mengatakan kepada Om,” kata Angga sambil memandang ke arah kakakku. “Maafkan aku Stefany, rasanya kini bisa aku buka khan tentang hal ini,” kata Angga sambil tersenyum.
“Jadi sebenarnya semua ini salah lu dong, Cie,” kataku.
“Wah, wah, semua jadi menyalahkan aku. Om Pram, Mas Angga, dan juga Rico semuanya nyalahin aku,” kata Stefany sambil tertawa.
“Hmm...Memang langkahmu itu terlalu ekstrim sebenarnya,” kata Om Pram. “Aku tahu kau orang yang sangat berkomitmen namun ada kalanya kau bisa mengeremnya sedikit. Tapi yah, kalau nggak gini mungkin bukan Stefany namanya. Hahaha. Untung saja semuanya berakhir dengan baik. Tapi lain kali sebaiknya jangan kaulakukan hal seekstrim itu.”
Hmm.. ya aku setuju memang sangat ekstrim. Namun ia tak tahu kalau kakakku bahkan melakukan show off dengan berpakaian tak lengkap lalu menggunakan pakaian dalamnya sebagai provokasi. Namun tentu aku tak dapat mengungkapkan semua itu secara gamblang kepada mereka saat ini.
“Mengenai kepergianku ke Australia... apakah ada keterlibatan lu di belakang layar, Cie?”
“Hahaha, sepertinya memang tak ada yang bisa disembunyikan dari lu,” timpal kakakku sambil tertawa.
“Ya, adikmu ini memang hebat, Stefany,” kata Om Pram dengan tersenyum memandangku.
“Ya betul, saat itu aku menemui Dekan dan Ketua Jurusan lu untuk meminta, meyakinkan, memohon atau apapun namanya itu supaya lu dikirim keluar. Jangan salah mengerti, selama ini lu adalah temanku yang paling dekat. Namun untuk urusan ini lu juga adalah lawan terberat yang harus kuhadapi. Karena itu ada baiknya untuk sementara lu ga ada disini. Apalagi saat itu aku dan Mas Angga barusan ditugasi untuk menangkap basah seorang pejabat tinggi korup. Perkiraan awal kami bisa menyelesaikan tugas ini sebelum kau balik. Namun rupanya ia orang yang sangat licin. Agar upaya kami selama ini tak mentah lagi itulah, maka aku mengambil satu langkah berani dengan merekayasa hubunganku dengan Mas Angga. Jadi sebenarnya aku ada alasan kuat juga melakukan itu, Om,” kata kakakku menimpali ucapan Om Pram tadi. “Lagipula, bukankah Om berkali-kali pernah bilang, saat berada di lapangan kita punya otoritas untuk menentukan apa yang terbaik dan tak harus selalu mengikuti perintah atasan dari jauh? Hehehehe.”
“Sebenarnya semua ini hanya masalah timing saja,” tambah Cie Stefany. “Om Pram dan kita semua sepakat setelah kasus yang sedang berjalan ini selesai, kita akan jelasin semuanya ke lu, Rico. Seperti sekarang ini. Jadi sebenarnya kita sedang buying time. Tapi lu udah keburu ga sabaran. Kalo lu mau dengerin omongan Cie-cie lu ini dan mempercayai kalo aku “ke Bali” trus mau menunggu sampe hari ini, semuanya akan berjalan jauh lebih mulus tanpa ribut-ribut. Tapi rupanya memang lu ini orangnya ga boleh dibikin penasaran sedikit pun.”
“Adikmu ini memang luar biasa Stefany. Kau juga luar biasa. Kalian berdua memang hebat untuk hal yang berbeda. Papa kalian pasti bangga dengan anak-anaknya.”
“Makasih Om,” kataku agak tersipu. “Aku masih perlu banyak belajar. Kuakui dalam beberapa hal aku sering bertindak ceroboh. Seperti kemarin malam. Aku minta maaf kalo hampir menggagalkan operasi yang telah cukup lama direncanakan. Juga aku minta maaf kepadamu, Mas Angga, karena berpikiran negatif.”
“Ah, tak perlu meminta maaf Rico. Justru akulah yang selama ini telah menyusahkanmu,” jawab Angga.
“Ya, kau masih sangat muda. Baru berusia 20 tahun, karena itu cukup wajar kalau bertindak sembrono. Tapi kau punya potensi luar biasa. Apabila dipoles dengan baik, kau bisa jadi sangat hebat nantinya.”
“Makasih atas pujian Om,” kataku. “Aku ada satu pertanyaan ke Om,” lanjutku.
“Silakan.”
“Apa yang membuat Om percaya kepada Cie Stefany. Apalagi dia nggak ngikutin aturan yang ada, bahkan ingin bekerja secara freelance saja. Padahal pekerjaan gini khan bukan main-main. Sementara argo bayaran sudah langsung bergulir.”
“Ya kau betul. Pada mulanya aku tak bisa menyetujuinya. Namun ia tetap keukeuh. Kakakmu ini meski cewek, masih muda, namun ia orang yang sangat teguh dengan apa yang ia yakini. Akhirnya aku yang mengalah. Karena kulihat ia orang yang punya karakter. Orang seperti ini tak akan main-main. Pada akhirnya kini semua itu terbukti. Bagiku memang karakter orang itu yang paling utama. Hal-hal lain seperti kemampuan dsb semua itu bisa dipelajari. Tapi karakter tak bisa diajarkan,” kata Om Pram dengan menatapku dalam-dalam. Membuat kami saling menatap dengan dalam untuk beberapa saat.
Aku menoleh ke kakakku. “Pekerjaan ini khan ga gampang buat lu, Cie. Apalagi lu ditemukan dengan koruptor. Tentu ia pasti menginginkan sesuatu dari lu. Trus selama ini gimana lu mengatasi itu?”
“Hahaha. Semua itu menggunakan faktor psikologi. Mungkin mereka one way or another semua pengin tidur sama aku, itu maksudmu khan? Banyak orang mengira dalam situasi seperti itu perempuan pasti akan jatuh ke tangan mereka. Tapi disisi lain, mereka semua adalah orang yang terpandang yang tak ingin reputasinya jatuh. Disitu ada celah yang bisa dimanfaatkan. Selain itu juga ada kelebihan perempuan yang bisa digunakan untuk mengendalikan ego laki-laki. Saat pandangan mereka bisa diubah menjadi seperti ngeliat anak ceweknya, pikiran untuk meniduri itu akan hilang.”
“Dan perlu aku tambahkan Rico,” kata Angga. “Selama ini kalau di lapangan antara kakakmu dan aku ada komunikasi. Jadi kalau skenario berubah jadi tak terkendali, aku akan selalu siap sedia. Namun selama ini kakakmu selalu bisa mengatasi hal-hal seperti itu sendiri.”
“Kalo boleh jujur nanya... kapan lu akan berhenti, Cie?”
“Hmm, sebenarnya sih... tak lama lagi,” jawab kakakku sambil menoleh ke Om Pram. “Bagaimana menurut Om?” tanyanya. “Hmm... ya. Sesuai kesepakatan kita sebelumnya, dengan tertangkap basahnya tokoh kita ini akhirnya sebenarnya tugasmu telah selesai dan kau bisa “menghilang” saat ini juga. Apalagi beberapa hari lalu kalian juga telah berhasil membuat bersalah seorang bandar narkoba kelas hiu kaki tangan tokoh kita itu. Serangan dari dua arah ini akan merontokkan semua sekutu-sekutunya.”
“Ooh... apakah dia orang yang seolah tak sengaja lu tepuk pinggangnya di lantai disko itu, Cie?!” seruku dengan antusias. Ya saat itu kakakku seperti tak sengaja menyentuh orang itu. Namun sebenarnya ia menempelkan sesuatu pada tubuh orang itu. Beberapa saat kemudian, ia dan pasangannya meninggalkan tempat menuju lift. Disaat hampir bersamaan Angga memberi isyarat lalu mereka berdua menuju lift. Kemudian mereka berempat naik keatas.
“Rico, kok lu bisa tahu?” kakakku terlihat cukup terkejut. Demikian pula Angga. Bahkan Om Pram pun kulihat kedua alisnya terangkat. Aku sadar mungkin aku agak keceplosan karena terlalu antusias. Namun rasanya kini tak ada yang perlu disembunyikan lagi.
“Hmm, yah.. karena waktu itu diam-diam aku mengikuti kalian disana,” jawabku.
“Nah, Om dengar sendiri khan adikku ini gimana. Dan kamu juga, Mas,” kata kakakku dengan nada gembira bercampur bangga. “Kalo dia sudah ingin tahu, dia akan mencari segala macam cara untuk menemukan jawabannya. Makanya jangan salahkan aku kalo bersandiwara sedikit dengan Mas Angga untuk mengerem keingintahuannya. Sudah direm aja masih begini. Apalagi kalo nggak. Bisa-bisa nanti dia datengin rumah Mas Angga untuk ketemu dengan istri Mas. Khan malah jadi berabe nanti semuanya. Hahaha.”
“Ah, aku nggak mungkin lah berbuat seperti itu. Kalo mencari tahu alamat rumahnya, mungkin iya,” kataku sambil tersenyum.
“Nah, dengar sendiri apa yang diucapkan. Jadi yang kulakukan untuk pura-pura pacaran itu memang sudah tepat.”
“Hahaha. Mungkin sebaiknya kita rekrut dia aja, Om,” kata Angga kepada Om Pram.
“Boleh. Boleh. Hal itu bisa kita omongkan nanti.”
“Wah gila. Lu kayak ada dimana-mana aja. Sepertinya nanti kita perlu bicara Rico,” kata kakakku dengan senyum yang cukup punya arti.
“Untung tugasmu sudah selesai disini, Stephany. Ya, mungkin memang sekarang adalah saat yang tepat bagimu. Kalau tidak, maka adikmu akan mengikuti semua gerak-gerikmu hahaha. Meski kita semua terutama aku pasti akan kehilanganmu, salah satu anggota terbaik yang aku miliki. Namun aku juga ingin kau bisa menjalani kehidupan yang normal. Sama seperti gadis-gadis seusiamu. Kini usiamu 23 tahun. Masih cukup muda untuk melakukan apa pun yang ingin kaudapatkan. Namun hal itu jangan ditunda-tunda karena nanti tak terasa waktu akan berlalu dengan cepat.”
“Om, aku ada satu pertanyaan lagi,” kataku. “Kalo kini akhir masa kerja Cie Stefany telah jelas. Lalu bagaimana dengan awalnya. Bagaimana Om ketemu dia kemudian merekrut dia?”
“Hahaha... Aku senang kau menanyakan itu Rico. Masih ingat di saat awal tadi aku bilang kalau kita adalah orang sendiri? Tahukah kau kenapa? Karena aku adalah teman baik Papamu. Dulu waktu kecil kita sering main kelereng bareng. Aku asalnya dari kota yang sama juga dengan kalian. Hubungan antar keluarga kita sudah terjadi sejak jaman kakek kamu dan ayah saya bahkan juga ayah mereka masing-masing. Meski keluarga kita beda etnis beda agama beda kebiasaan dan tempat tinggal (ayah kakek kamu dulu tinggal di kota sementara kakek saya asalnya dari desa dekat situ), namun hubungan diantara dua keluarga ini terjalin cukup akrab sejak lama.”
“Saat itu aku pulang kampung setelah sekian lama tak pernah balik. Saat itu aku mencari Papamu. Namun rupanya ia telah pindah kota. Aku cari alamat rumahnya sampai akhirnya kita ketemu dan dari situ aku dengar tentang masalah yang sedang dihadapinya. Dia cerita kalau kalian melanjutkan sekolah di ibukota. Saat itu aku dapat nomor kontak tantemu. Setelah balik kesini, aku berniat menemui kalian dan berusaha membantu apa yang bisa saya bantu. Dulu kakek kamu dan ayahnya banyak membantu keluarga saya saat kita sedang dalam masa-masa susah. Adalah keterlaluan sekali kalau sekarang saya tidak membantu kalian yang sedang mengalami kesusahan. Namun saat itu kalian telah pindah dan ia tak tahu kalian tinggal dimana. Kemudian aku kontak lagi Papamu dan aku mendapat nomor telpon kakakmu. Saat itu kakakmu baru kuliah tingkat satu. Aku ingin bertemu kalian berdua namun karena kesibukan jadwal akhirnya aku hanya bisa bertemu kakakmu.”
“Awalnya aku ingin membantu keuangan saja. Namun saat aku melihat kakakmu, aku melihat karakter yang luar biasa dalam dirinya. Oleh karena itu akhirnya aku berubah pikiran. Daripada sekedar memberi ikan, kini aku akan memberi ia kapal ikan. Namun ia harus berjuang untuk mendapatkan itu. Awalnya ia tak begitu percaya bahkan agak curiga dikiranya aku punya niat kurang baik. Bisa dimaklumi. Namun akhirnya ia menerima tawaranku. Selanjutnya ya kau telah tahu semuanya.”
“Oh, wow... Tak kusangka ternyata Om Pram teman Papa sejak kecil.”
“Ya, dunia memang sempit. Hehehe. Sebenarnya aku juga ingin bertemu denganmu. Namun nature profesiku ini tak memungkinkan untuk itu. Tapi untunglah akhirnya hari ini kita bisa bertemu.”
“Selama Cie Stefany melakukan pekerjaan ini, apakah Om sering ketemu dia?”
“Dulu saat awal-awal cukup sering. Karena aku masih harus membinanya. Juga aku ada tanggung jawab moral dengan Papamu. Namun belakangan ini semakin jarang. Karena ia juga telah independen. Paling hanya kasih update saja. Sekarang ia jauh lebih sering kerja bersama Angga.”
“Cie Stefany sungguh beruntung bisa ketemu dan berguru dari Om secara intensif. Membuatku iri sebenarnya,” kataku dengan tersenyum. Hmm..Iri kepada siapa ya? Tanyaku dalam hatiku.
“Jangan kuatir tentang hal itu,” kata Om Pram sambil tersenyum. “Apabila nanti memang jalannya seperti itu, mungkin suatu saat kita akan sering bertemu.”
“Bisa untuk hal yang sama, atau mungkin untuk hal lain. Apalagi kita bisa saling bertemu, juga dengan kakakmu, dalam kapasitas sebagai orang sipil.”
“Ya, betul sekali Om,” jawabku.
“Ada yang ingin ditanyakan lagi?” tanyanya.
Tentu! Ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan. Namun sepertinya saat ini bukan saat yang tepat untuk itu.
Aku tersenyum dan berkata,”Tak ada Om. Semuanya kini sudah jelas. Terima kasih atas waktu dan kesabaran Om menjawab semua rasa penasaranku.”
Aku adalah orang yang mampu menyembunyikan apa yang kupikirkan dan kurasakan sesungguhnya. Saat diperlukan, aku mampu membuat semua orang mempercayai apa yang kuucapkan.
Om Pram juga tersenyum dan berkata,”Bagus, bagus, kalau semuanya telah jelas. Semoga kini tak ada salah paham dan prasangka lagi.”
“Kalau kau sudah tak ada pertanyaan lagi, aku ada satu pertanyaan buatmu Rico,” kata Angga.
“Apa itu Mas.”
“Darimana kau tahu aku telah punya istri bahkan anak? Tak hanya sekedar tahu, tapi kau terlihat begitu yakin dengan itu. Sepertinya kau mampu melihat beberapa petunjuk. Padahal karena pekerjaan ini aku sengaja tak pernah memakai cincin kawin. Jadi tak ada petunjuk di jariku.”
“Ya, memang ada beberapa petunjuk yang mengarah kesana, Mas. Pertama, waktu Cie Stefany “mengaku” berpacaran, ia punya concern dengan masalah perbedaan ras dan perbedaan lain-lainnya. Aku bilang kepadanya kalau aku tak ada masalah dengan itu bahkan aku akan membantunya. Namun aku tak melihat ada inisiatif dari Mas untuk menjadikan aku “sekutu atau teman” dalam hal ini. Kedua, sebaliknya Mas tak cerita banyak tentang keluarga Mas. Ketiga, aku melihat adanya ketidakcocokan karakter yang cukup besar saat aku melihat Mas sebagai individu dengan Mas sebagai pacar Cie Stefany. Sebagai individu, aku cukup impressed dengan Mas, namun sebagai pacar sikap Mas seperti oportunis yang mencari kesempatan. Keempat, saat di dalam rumah kalian berdua terlihat begitu, ehm.. mesra, namun diluar bersikap seperti kayak teman saja.”
“Rico,” kata Angga tiba-tiba memotong dengan wajah agak merah,”Tentang sikap “mesra” itu semua itu adalah akting saja. Kau tahu tentang itu khan. Sebenarnya, jujur aku juga tidak nyaman dengan semua itu.”
“Ya aku tahu itu. Karena ada yang memaksa ya,” kataku sambil melirik kakakku dengan tersenyum.
“Anyway, dari semua itu ditambah hal-hal lain mengindikasikan kalau Mas tak serius dengan kakakku. Juga kuperkirakan Mas telah menikah apalagi mengingat usia Mas. Dalm hal ini kehidupan Mas bagaikan makhluk amfibi yang hidup di dua dunia, hahaha.”
“Dua hal yang membuatku akhirnya yakin kalau Mas telah berkeluarga yaitu faktor anak kecil. Kita bertiga jarang pergi keluar bareng. Cukup masuk akal karena semua ini adalah rekayasa yang hanya ditunjukkan ke aku saja namun disembunyikan ke dunia luar. Namun ada saat dimana kita bertiga mampir ke Starbucks untuk take away. Saat itu Cie Stefany sedang ke toilet. Mas sedang berdiri nunggu pesanan. Sementara aku juga di dalam. Saat itu pengunjung tak terlalu ramai. Ada beberapa cewek yang lumayan cantik. Ada suami istri. Ada beberapa orang lagi. Terus terang, perhatianku tertuju ke cewek-cewek cantik itu. Tapi dari semua orang disitu, perhatian Mas tertuju ke anak kecil yang sedang berlari-lari sendirian di tengah. Mas nggak melihat cewek-cewek itu atau ke siapapun yang lain tapi pandangan Mas menerawang melihat anak itu. Seperti pandangan seorang ayah yang kangen dengan anaknya yang masih kecil yang sedang ditinggalkannya.”
“Yang kedua, saat itu aku di sofa ruang tengah mencari-cari channel TV yang menarik. Mas duduk disitu juga. Aku sengaja menggantinya dengan agak pelan sehingga ada waktu beberapa detik untuk setiap channel. Mas nggak terlalu tertarik berita, sepakbola, film action, komedi, semuanya. Namun saat di channel film kartun, tiba-tiba pandangan Mas berubah jadi tertarik. Padahal beberapa hari sesudah itu secara sekilas aku bertanya acara / film kesukaan Mas, jawabannya jauh dari film kartun. Kesanku saat itu Mas teringat dengan momen yang sangat berharga namun langka, yaitu ketika duduk bersama menemani putri Mas yang masih kecil menonton film kartun.
“Dari semua itu aku berani memastikan kalau Mas tak ada perasaan apa-apa dengan Cie Stefany. Sebaliknya, hati Mas justru berat dengan keluarga Mas.”
“Wow!!! Kau sungguh-sungguh hebat Rico. Dengan usiamu yang masih muda, kejelian dan kemampuanmu melihat telah melebihi banyak orang yang lebih senior termasuk diriku. Kita sungguh beruntung Om, Stefany, ia tak menjadi musuh kita,” kata Angga sambil tertawa. “Dapat dibayangkan betapa sulitnya menyusup dan berpura-pura dalam organisasi yang ada orang secermat dia.”
“Tentang apa yang kausimpulkan itu, ya kau betul. Sangat betul. 100%. Kesibukan pekerjaan ini membuatku jarang bertemu dengan keluargaku. Kalau aku bisa koreksi sedikit tentang pernyataanmu mengenai diriku yang hidup di dua dunia, hmm... sebenarnya belakangan ini aku hidup di 4 atau 5 dunia yang berbeda. Aku sebagai ayah dan suami dalam keluarga. Aku dalam pekerjaanku. Aku sebagai “pacar” Stefany. Aku sebagai “anggota mafia yang belakangan berbuat kesalahan.” Aku sebagai “anggota mafia yang belakangan berbuat kesalahan dan mengorbankan “pacarku” untuk menebus kesalahanku”. Kau lihat, ada topeng demi topeng terpasang di wajahku tempat dimana aku menghabiskan sebagian besar waktuku. Sementara waktu untuk orang-orang yang terpenting dan kucintai dalam hidupku justru sangat terbatas,” katanya dengan nada sendu.
“Namun aku adalah seorang prajurit. Tugasku yang paling utama adalah berjuang untuk negara,” ujarnya dengan tegas. “Sungguh aku beruntung punya istri yang penuh pengertian”.
Aku salut kepadamu, Angga. Karakter seperti inilah yang kulihat pada dirimu yang sebenarnya pada saat-saat itu. Aku sungguh bersimpati terhadap kerelaannya berkorban untuk kepentingan orang banyak.
“Aku yakin pengabdian Mas tak akan sia-sia,” kataku. “Apa yang telah Mas berikan, pada saatnya nanti keluarga Mas akan mendapatkan berkahnya. Karena Tuhan tak pernah tidur.”
“Terima kasih Rico. Aku harap kita bisa bertemu lagi nanti,” kata Angga dengan kita saling menggenggam tangan dengan kuat untuk melakukan salam komando.
“Sepertinya kita memang harus berpisah sekarang,” kata Om Pram. “Sampai ketemu lagi Rico. Semoga kau semakin sukses dan terus berkembang,” katanya sambil kita berjabat tangan erat.
“Stefany, saat kau melangkah meninggalkan ruangan ini, kau tak ada kaitan apa-apa lagi dengan kegiatan kami.” Wajah Cie Stefany terlihat tergerak mendengar perkataan itu.
“Oh ya, motormu ada di depan dengan tambahan satu helm lagi. Kakakmu tahu tempatnya,” kata Om Pram kepadaku.
“Goodbye and good luck, Stefany. Semoga kita bisa bertemu lagi. Adalah suatu kehormatan bagiku bisa kenal dan bekerja bersamamu selama bertahun-tahun,” kata Angga dengan tersenyum kepada Stefany.
“Goodbye juga, Mas Angga,” kata Cie Stefany dengan suara terharu,” Selama bertahun-tahun Mas telah membimbingku dengan sabar. Thank you Mas. Thank you atas segalanya.” Cie Stefany kemudian memeluk Angga dengan erat. Ia membenamkan wajahnya di leher Angga sambil menangis sesenggukan. “I’ll miss you,” katanya terbata-bata disela-sela tangisnya.
“I’ll miss you too, Stefany,” kata Angga sambil menepuk punggung kakakku.
Baru kali ini aku melihat sikap emosional kakakku sampai seperti itu. Juga pada saat itu kulihat ikatan batin yang cukup kuat diantara keduanya. Bukan ikatan percintaan antara pria dan wanita namun ikatan persaudaraan antara kakak dan adik. Menyaksikan itu dan menilik karakter Angga, aku percaya tak ada hubungan perasaan atau fisik diantara mereka. Biarpun seandainya mereka tidur sekamar semalaman sekalipun.
“Take care, sis,” kata Angga akhirnya sambil melepaskan pelukannya.
“Hati-hati, Mas. Ingat, selalu hati-hati.”
“Yes, I will. I will.”
“Sampai ketemu lagi, Stefany,” kata Om Pram sambil menyalami kakakku. “Kita pasti akan bertemu lagi.”
“Sampai ketemu dan thank you, Om. Terima kasih banyak sekali,” kata Cie Stefany.
“No, sayalah yang mesti berterima kasih,” jawab Om Pram.
Sejenak mereka berpelukan. Namun bukan pelukan seerat tadi. Dan hanya berlangsung singkat saja.
Tak lama kemudian kami meninggalkan tempat itu. Motor yang kukendarai melaju kencang membawa kami pulang ke rumah.