Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Nenekku, Pahlawanku [TAMAT]

Happy ending or sad ending?


  • Total voters
    499
***

Satu ronde yang cukup mendebarkan menguji adrenalin telah usai.

Setelah bersih-bersih ala kadarnya, kami masuk ke kamar. Kamarku.

Kata Nenek, ia masih rindu kepadaku. Makanya minta tidur bareng. Padahal itu hanya akal-akalan Nenek agar dimanja olehku.

Alhasil, bermodalkan lampu ublik yang menerangi di sudut ruangan, aku rebah di atas ranjang sambil memeluk Nenek. Kuelus-elus rambutnya yang lepek karena masih berkeringat.

Satu kalimat bernada perintah yang meluncur dari Nenek sebelum akhirnya terlelap adalah, "Nenek pengen tidur sambil tempik Nenek diganjel kontol gedhemu, Sayang."

Aku tak langsung menuruti. Bukan apa-apa. Aku hanya takut berakhir Nenek mendesah-desah keras seperti tadi. Bukan tak mungkin jikalau Kakek yang entah sedang apa di kamar depan, mendengar istri binalmya ini bermain gila bersama cucu kesayangannya.

Beberapa saat berlalu. Dengan tetap memeluk Nenek yang mendengkur halus, tetiba aku dikejutkan oleh getar ponselku yang kontan layarnya menyala menerangi kamar.

Tanganku terulur panuang menjangkau nakas. Kulihat di layar ada pesan dari Bu Rini. Wanita paruh baya yang sebentar lagi menggendong cucu. Cukup kubaaa dari bar notifikasi tanpa membuka isi chatnya.

Bu Rini
Nak, kamu di mana?
Emak nungguin kamu


Aku menahan nafas. Tegang. Panas dingin. Baru saja aku mengeluarkan spermaku. Terlebih kekuatanku berkurang setengah. Apa kira-kira aku kuat? Apa aku mampu?

Terlalu banyak berpikir tidak menghasilkan apa-apa. Kuputuskan untuk membalas pesan Bu Rini: singkat, padat, liar.

Kobe
OTW DEMI SEMONGKO!

Otw sih otw. Tapi masalahnya sekarang adalah, bagaimana aku keluar dari situasi ini? Di bawah selimut tebal motif zebra, Nenek yang telanjang bulat memeluk badanku erat. Sebagian tubuhnya menimpa tubuhku.

Aku berpikir keras. Mengetuk-ngetuk kening. Mencari solusi. Kuedarkan pandanganku ke sekitar. Tak ada inspirasi. Buntu.

Sepertinya malam ini harus batal demi memakan semangka Bu Rini yang mantul-mantul padat berisi. Niatku sudah lenyap. Nafsuku yang semula menggebu mulai ambyar.

Hingga kemelut pikiranku yang semakin tergerus bayang kenikmatan bersama Nenek yang baru saja kami rengkuh menyelinap menggelitik batang kontolku. Membuat si Palu Gatot kembali ereksi.

Namun, apalah daya. Rasa kantuk ikut menyerang. Lebih kuat ketimbang kontolku yang mengangguk-angguk di bawah meminta jatah. Lagi.

Sedetik. Dua detik.

Mataku terpejam.

Kegelapan pun menyambut kedatanganku dengan senyum lebar. Membawaku masuk lebih dalam, lalu ... hanyut.

***

Keras suara kokok ayam di pagi hari membangunkanku dari dunia mimpi.

Mengerjapkan mata sebentar. Sekalian mengumpulkan nyawa, aku menguap lebar. Selangkanganku sedikit ngilu, tapi badanku jauh lebih segar ketimbang malam sebelumnya.

Apakah ini yang dinamakan the power of ngentot?

Pantas saja semua orang suka bercinta. Tak peduli statusnya sah secara agama dan negara atau tidak, asal dua hati mengikrarkan cinta, penyatuan kelamin jelas tak terhindarkan. Luapan cinta sedahsyat itu.

Tetapi, sesuatu yang bernama cinta itu apakah sudah tumbuh di dalam hatiku untuk wanita berumur 55 tahun yang tidur laksana kucing garong ini? Iya, kucing garong. Lihat saja. Tanpa sehelai benang pun, kaki kanan wanita tua ini berada di wajahku. Sedang kaki kirinya sedikit menekuk menjejak di dadaku. Apa wanita tua ini layak mendapat cinta anak muda sepertiku?

Serandom ini Nenekku, Nurul Fauziah. Masih terngiang-ngiang ucapan ngelindurnya yang membuat telingaku berdengung. Berseru lantang sambil mengepalkan tangan ke atas, "Kobe jangan dulu nikah sampai Nenek mati."

Apa-apaan ini, jancok?!

Ucapan di luar nalar manusia yang keluar dari mulut Nenek, sukses membuatku gentar. Pasalnya, aku tak menyangka jika Nenek memiliki perasaan lebih kepadaku. Aku kira, hubungan badan yang sudah dua kali kami lakukan hanya sebatas senang-senang tanpa melibatkan hati. Nyatanya ... ah, sudahlah.

Kugeser kedua kaki Nenek. Aku bangun dari ranjang. Memakai sarung yang di lipatannya kuselipkan sebungkus rokok dan korek. Berikut menggenakan kaus lengan panjang. Kenapa? Ya dingin, cuk! Dikira ini di kota, yang panasnya melebihi neraka? Bajingan.

Sebelum keluar kamar, aku selimuti Nenek. Tak lupa kecupan ringan di keningnya aku berikan untuknya.

Suasana luar masih gelap. Kiranya sekarang pukul 4.00 pagi. Lebih sedikit, mungkin.

Terlebih dahulu aku masuk bilik kamar mandi. Sekadar cuci muka, kontol, dan gosok gigi.

Sambil membawa handuk kecil yang kusampirkan di pundak, aku duduk di depan tungku perapian. Berbekal sedikit pengalaman persami yang diadakan rutin sebulan sekali di sekolah dulu, aku mulai menyalakan api.

Wus!

Hangat.

Rokok sudah kubakar. Tinggal menunggu air mendidih di dalam panci yang sebelumnya telah kuambil dari gentong penyimpanan air bersih.

Otakku sedikit fresh.

Berbagai inspirasi muncul.

Inspirasi?

Iya. Inspirasi memasak.

Lho, tunggu dulu. Apa benar aku bisa masak?

Aku hanya bisa tersenyum kecil sambil meludahi wajah orang-orang yang meremehkan nama panggung seorang koki abal-abal kelas kecamatan. Kobe, alias koki berbakat. Pastinya nama adalah doa. Aku senang ayah dan ibuku setuju memberiku nama ini. Ternyata ada cerita unik bagaimana mereka memutuskan menamaiku Kobe.

Ayah. Ia adalah seorang koki kapal pesiar. Pulangnya tak menentu. Kerap keliling dunia dalam jangka waktu yang lama. Meski hanya berjibaku di medan pertempuran bernama dapur, ayah mendapat titel secara tak langsung dariku. Bang Toyib Gila Masak.

Tak mengherankan jika sedari kecil, tepatnya saat aku berumur 10 tahun, ayah mengenalkanku di dunia masak. Dari pengalaman, teknik serta refesensi ayah dalam menghidangkan makanan itulah, semuanya diwariskan kepadaku secara bertahap.

Namun, dari sekian banyak masakan berbagai negara, berikut teknik mengolahnya, minatku hanya pada masakan Indonesia yang kucampur hidangan ala Jepang.

Sup Kenchinjiru dengan sandingan tonkatsu atau irisan daging ayam berlumur tepung renyah.

Aku pilih sup Kenchinjiru karena sup ini cocok sekali dengan suasana pedesaan di kaki gunung. Hawa dingin yang menusuk kulit pas sekali untuk menghangatkan badan. Sup ini kuahnya encer dengan rasa gurih yang tak begitu kuat. Yang kumasukkan ke dalamnya tak lain adalah: rebusan dashi, soyu, dan aneka sayuran seperti jamur, kentang, wortel, dan umbi-umbian.

Hanya butuh waktu kurang dari 2 jam sambil mondar-mandir di dapur hingga pekaran rumah mencari remah, masakanku pun sudah tersaji rapi di atas meja makan.

Sekarang, karena langit sudah mulai terang, sudah waktunya untuk onani. Ah, maksudku mandi. Sekalian mencuci peralatan masak di pancuran.

Byar, byur, byar, byur!

Kali ini tanpa ritual onani. Sungguh. Aku tidak berdusta. Hanya ritual pengeluaran tai yang memakan waktu lama.

Selesai.

Aku keluar dari bilik kamar mandi. Berjalan ringan sambil bersiul dengan hati tenang tanpa beban menuju kamar.

Kudapati Nenek masih terlelap. Mendengkur agak keras. Oh, shit. Yang menjadi perhatianku bukanlah gaya tidur Nenek, atau bibirnya yang terlikus bekas liur sampai leher, melainkan aroma yang menyengat di kamar ini begitu kompleks. Syarat akan bebauan kelamin yang memuakkan.

Beres memakai pakaian santai ala atlit joging tukang cari muka ke mbak-mbak kampung, aku membangunkan Nenek. Menepuk-nepuk pipinya lembut.

"Nek. Bangun, Nek. Sudah sore." Candaku. Tapi, tak ada respon. Nenek semakin nyaman dalam tidurnya. Apalagi bibirnya menggumam 'nyam-nyam' dengan ekspresi tengah menyantap hidangan kelas atas restoran ternama. Kembali aku menepuk Nenek. Yang kutepuk adalah buah dadanya. "Nek. Bangun, nggak? Kalau nggak bangun, aku kenthu, lho!"

Masih belum ada jawaban. Responnya hanya sebatas deham tak jelas dari bibir tebal Nenek. Menyebalkan. Memang merepotkan orang tua satu ini.

Aku tepuk pipi Nenek masih tak ada reaksi. Aku geliti juga tak ada tanda-tanda untuk bangun. Apa aku sedang menghadapi zombie tua yang sudah mati rasa? Bajingan.

Mau tak mau, aku mengeluarkan jurus terakhir: Kobel Tempik No Jutsu.

Tanpa menunggu istri maling berseragam dihamili bocah bau kencur, aku kangkangkan kedua paha gempal Nenek.

Terpampanglah hutan rimba yang terdapat wahana gua birahi. Gua tempat bersamayamnya para batang-batang nakal pecinta wanita paruh baya.

Lick!

Jilatan pertama kuberikan secara vertikal dari bagian klitoris sampai batas antara lubang kemaluan dan duburnya yang rapat berwarna hitam pekat.

Bajingan.

Nafsuku menggelegak.

Jilatan demi jelitan semakin gencar kulakukan. Membuat liang senggama Nenek merespon. Cairan beningnya pun perlahan keluar. Baunya masih sama. Belum berubah. Sungguh memabukkan.

Hingga beberapa saat, kudengar Nenek mulai mendesis, "Sssshhhh ... ssshhh ... hmmm ... hmmm ... sssshhhh ...." Sambil badannya menggeliat laksana koruptor hidup-hidup.

Semakin bersemangat diriku mengisangi memek Nenek. Sampai di mana Nenek mulai gelisah. Tangannya refleks mencari sesuatu untuk diremas. Dapat!

Adalah rambut kepalaku yang tepat berada di selangkangannya. Bekerja tanpa disuruh memanjakan memek yang membuatku selalu penasaran ingin merasakan jepitannya lagi dan lagi.

Lick! Lick! Lick!

Sembari meningkatkan intensitas jilatan, kupersiapkan dua jari tangan kanan untuk menusuk memeknya. Liang coklat dengan gelambir hitam menggiurkan. Pun klitorisnya yang mulai membesar dan tegang. Tak lagi bisa disembunyikan saat giginya ikut andil menggigit-gigit kecil.

Clok! Clok! Clok!

Hisapanku menguat seiring jemari tanganku memasuki memek Nenek secara perlahan. Mengocoknya maju-mundur menyentuh titip G-spot. Lancar sekali. Wajar, memek Nenek semakin banjir cairan akibat keisenganku.

Sampai tak lama, desisan Nenek berubah menjadi desahan. Nenek membuka mata. Saat tahu aku yang ada di bawah sana tengah mendongak menatapnya, Nenek terkejut campur heran. Hanya sebentar. Nafas Nenek serta merta memburu. Yang kemudian, berimbas pada perubahan ekspresinya yang keenakan.

"Ohhhh! Sssshhh! Ssshhh! Kamu nakal banget, Sayang! Jancukkk! Enaknyaaa! Ssshhh! Nakalll! Ahhhh! Jilatin tempek Nenek pagi-pagi! Ohhhh! Ohhhh! Terus, sayang! Iyaaa! Ituuu! Itilkuuu! Emut itilkuuu! Ohhhhhh!" erangan keras Nenek penuh gelora. Kakinya mengunci kepalaku. Kedua tangannya membenamkan mukaku lebih dalam ke memeknya.

Sesaat permainanku sedikit kendor. Pasalnya aku susah nafas. Untung saja aku sempat mengambil nafas agak panjang, sebelum akhirnya mendiamkan bibirku mengulum klitoris Nenek, dan satu jariku kembali masuk. Tiga jari yang bergerak lancar meski tak terlalu dalam. Mengocok memek Nenek dengan cepat.

Sedetik ...

Crats! Crats! Crats! Crats!

"AHHHHHHHHH!" Nenek mendesah panjang. Matanya memutih dengan pinggul terangkat jauh ke atas. Getaran hebat kedua pahanya merangsang liang surgawinya yang berdenyut kuat.

Lalu, jebol sudah pertahanan Nenek. Semprotan mahadahsyat air squirt Nenek menghantam wajahku. Baik hidung, mulut, mau pun jariku terkena cairan cintanya. Jancok jaran.

"Sayang ... ohhhh ... ohhhh ... enak ... ohhhh ... aduhhh ...." Terengah-engah Nenek mendapatkan klimaksnya di pagi hari.

Namun, ini belum berakhir.

Saat jambakan Nenek di rambutku terlepas, pun pahanya mulai melemah jatuh di kedua pundakku, aku keluarkan ketiga jariku dari dalam memek Nenek. Nampak jelas memeknya yang menganga lebar. Merekah indah memperlihatkan lubang dengan lipatan daging di dalamnya. Begitu tembem dan lezat.

Sejurus, aku tatap mata Nenek dengan pandangan nakal. "Siap-siap, Nek."

"Udah, Sayang, udah, hhh ... ampun ... Nenek lemes ini ... Nenek ... AHHHHHHHH!!!" rintih Nenek, yang diakhiri desahan panjang saat tanganku bergerak memutari klitoris dan lubang surgawinya, lalu kupercepat ke kanan-kiri.

Hanya butuh waktu tak kurang dari semenit, tubuh Nenek kembali mengejang. Air mancurnya keluar untuk kedua kalinya. Disusul denyutan beruntun hingga membuat mata Nenek terbelalak. Memutih. Lalu, ambruk lemas di atas kasur.

Aku hampiri Nenek. Melumat bibirnya buas. Sementara Nenek hanya membalas ringan. Kurasakan bau mulut dan nafas Nenek khas orang bangun tidur.

Kendati demikian, tak ada rasa jijik saat ciuman kami mulai panas. Justru menambah kemesraan di antara kami berdua.

Cup!

Nenek yang pertama melepas ciuman. Mengambil nafas sejenak sebelum berkata, "Kamu kok seneng sih mainin tempek Nenek, Sayang? Apa ndak jijik sama tempek orang tua?"

"Itu dia masalahnya, Nek. Aku malah demen. Aneh emang. Padahal tempeknya Nenek item terus jembutnya lebat kayak suket sapi." Aku menjawab dengan sedot bergurau.

Seperti biasa, Nenek hanya berdecak keras. "Ck! Udah tahu Ndak enak, masih aja nyosor. Mana Nenek baru bangun."

"Mantap, tho?"

"Mantap gundulmu."

"Ya udah kalau nggak mau dijilatin lagi. Nanti aku nggak bakal ngentotin Nenek."

"Halah! Omong tok. Paling ndak suwe engkok yo nggoleki Nenek terus njaluk jatah gawe ngumbah gamanmu. Dasar laki-laki." (Halah! Omong kosong. Paling tidak lama nanti ya mencari Nenek terus minta jatah buat mencuci pusakamu. Dasar laki-laki.) Nenek mencicit, lalu menoyor pipiku pelan.

"Mesisan ngumbah warongkone Nenek cek gak karaten mumpung sek onok aku seng cosplay dadi pacar Nenek." (Sekalian mencuci warangkanya Nenek biar tidak karatan mumpung masih ada aku di sini yang cosplay jadi pacar Nenek.) Ucapan ngawurku terlontar begitu saja.

Benar saja. Pipi Nenek bersemu merah. Bibirnya kontan tersungging senyum tipis mendengar ucapanku. "Sembarangan. Emang Nenek nganggep kamu pacar Nenek? Kamu kan cucu Nenek."

"Nggak usah jual mahal, dasar pecinta brondong. Bilang aja Nenek seneng pacaran sama cucu Nenek sendiri, kan? Cucu Nenek yang suka jilatin tempek Nenek yang indah ini." Bisikku nakal, seraya tanganku kembali mengusap-usap bibir memek Nenek.

"Ughhh ... hmm ... kok pacar, sih? Emang ada anak muda yang mau pacaran sama mesin tua?" beo Nenek, dengan tetap mempertahankan senyum. Kali ini malu-malu kucing. Dasar tua-tua tsundere.

"Ini buktinya." Aku mengecup bibir Nenek halus. Tatapan mataku tulus menghujam manik coklat terindah yang pernah kutemui.

Sontak, Nenek tenggelam oleh momen romantis yang aku bangun. Bibir tebalnya memberi balasan. Lidahnya ikut menyeruk masuk ke dalam rongga mulutku.

Permainan mulut kami memasuki tahap baru. Aku mulai belajar sedikit demi sedikit melakukan olahraga bibir.

Bagiku, pengalaman berharga bersama Nenek dengan bayaran perjakaku, menorehkan tinta baru di atas kanvas akan kebanggaan seorang lelaki yang berhasil membawa seorang wanita menuju luapan euforia tak terbatas.

"Nenek. Maksudku, Nurul Fauziah."

Nenek menatapku tajam. "Asu kowe. Ojok nyeluk jenenge Nenek, Le." (Anjing kamu. Jangan memanggil namanya Nenek, Nak.)

"Kenapa, Sayang?" aku semakin gila. Tak terkendali. Aku merayu Nenekku sendiri.

"Bajingan." Nenek memelukku erat. Posisi kami seketika berubah dengan aku menindih tubuh penuh keringat Nenek. Sementara itu, Nenek menenggelamkan wajahnya di sanubariku. Terasa degup kencang jantungnya menggetarkan dadaku. Yang kemudian, Nenek berkata lirih, "Kamu gila, Kobe."

"Nenek yang ngajarin aku gila. Sekarang, aku jadi tergila-gila sama Nenek."

"Oh, Kobe sayang."

Selanjutnya, yang terjadi bukanlah persetubuhan antar sepasang insan beda usia dimabuk cinta. Melainkan ketegangan saat sebuah tangan menyibak tirai kamar. Seseorang berdiri mematung memandang dengan mata terbelalak ke arah kami.

Orang itu ... tidak. Wanita itu ... wanita yang kujumpai pertama kali saat tiba di Desa Gentengan. Pertemuan singkat penuh makna yang kali ini membuat suasana suram.

"Ka-kalian ngapain?" si wanita membuka suara dengan raut speechless.

Seperti tak ada dosa, Nenek malah memberikan side-eyes bombastis kepada si wanita yang masih berdiri diam menatap ke arah kami. "Ganggu orang pacaran aja kamu ... Fatimah."
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd