Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Namaku Elsye

Mbahghepenk

Semprot Kecil
Daftar
4 Jan 2020
Post
74
Like diterima
1.179
Lokasi
Tambun
Bimabet
Berpuluh2 tahun menyambangi berbagai forum cerita dewasa, diawali 17tahun dot com, Mbah paling suka dengan cerita bergenre hijab dan perselingkuhan.

Tapi Mbah menemukan dalam genre hijab, karakternya selalu ga jauh2 dari akhwat, ustadzah dan cewek2 berjilbab. Entah itu remaja atau milf.

Mbah pun tergelitik. Kenapa ga Mbah bikin aja cerita dengan karakter hijab yang berbeda. Dan inilah hasilnya.

AGAIN. NO SARA YA!!!.

ELSYE Colette Urlyoly, itulah namaku. Wanita 28 tahun asli dari tanah Papua yang selama 2 tahun terakhir ini menjadi salah satu mahasiswi S1 Fakultas Psikologi pada salah satu universitas swasta di batas Provinsi Jawa Barat, dan aku adalah seorang biarawati atau Suster (Sr) dari sebuah komunitas apostolik tradisional di Jakarta.

Panggilan untuk menjadi ‘pengantin Tuhan’ baru kualami di tahun awal SMA. Saat itu, sekolah berbasis katolikku memang memiliki beberapa staf dan pengajar yang merupakan Suster. Singkat cerita aku kemudian ingin menjadi seperti mereka.

Bukan keputusan yang mudah dijalani, yang tersulit saat itu adalah meyakinkan kedua orang tuaku serta tiga orang kakakku meski pada akhirnya mereka mau memberikan restunya.

Maka selepas SMA, aku pun pindah dari Papua untuk mengikuti pendidikan selama 8 tahun di sebuah sekolah kebiarawatian. Setelah lulus, aku memutuskan mengejar gelar sarjana ketika usiaku 26 tahun. Hampir 10 tahun aku menjadi Suster, tanpa sedikitpun merasa bimbang dengan pilihanku, setidaknya tidak hingga semester genap tahun ke-2 dimulai.​

***​

Sister Colette, kenapa anda hanya menuliskan nama anda untuk studi kasus ini?” tanya ibu Maggie, salah satu dosen mata kuliah di kampusku yang pagi ini memberikan tugas penelitian.

“Apa Sister kesulitan mendapat rekan kelompok?” tanyanya sedikit prihatin.

Aku bisa membaca arah pertanyaannya. Kuakui kampusku ini merupakan kampus umum, dimana mayoritas civitasnya berbeda keyakinan denganku, meski begitu hingga kini aku tak mendapatkan kesulitan maupun pertentangan terkait statusku sebagai seorang suster.

Kebalikannya justru terjadi. Aku merasa aku cukup diterima, bahkan mampu bersosialisasi dengan beberapa rekan akhwat muslimah, meski kami memang sedikit membatasi diri agar tak membahas masalah keyakinan.

Aku yakinkan beliau bahwa kesulitanku adalah mengatur waktu antara tugas pelayananku dengan tugas kuliah yang diberikannya. Aku sangat enggan jika akhirnya justru menyulitkan rekan-rekanku saat mengerakan tugas nanti.

“Maafkan saya Sister. Kalau hanya itu, saya sangat yakin anda bisa mencari solusi. Bagaimanapun kerja sama pengerjaan tugas ini merupakan poin penting yang ingin saya nilai dari kalian semua. Minimal saya butuh tugas ini dikerjakan oleh dua orang” bebernya.

Hanya sesaat dosenku selesai berbicara, tiba-tiba Ivan Agung, salah satu rekan kelasku berdiri lalu berjalan membawa perlengkapan kuliahnya dan segera berpindah duduk dua kursi di sebelah kananku, membiarkan satu kursi kosong membatasi kami.

“Sama saya aja bu. Kebetulan saya belom punya kelompok,” tawarnya, kemudian tersenyum padaku, dan bertanya apa aku keberatan.

Melihat senyumnya itu entah kenapa jantungku berdesir. Aku cukup yakin saat itu wajahku merona malu yang membuatku gugup dan salah tingkah. Aku bahkan terlalu terperangah hingga tak mampu menolak saat akhirnya ibu Maggie memutuskan Ivan, mahasiswa yang lima tahun lebih muda dariku itu, menjadi rekan kelompokku.

“Jadi kita mo nyari subjek di mana nih?” tanya Ivan padaku usai perkuliahan.

“Eh iya... anu... dari awal aku rencana ngambil subjek di gerejaku. Kamu yakin nggak apa-apa,” tanyaku ragu. Bagaimanapun aku yakin subjek yang kupilih akan sangat menyulitkan dia yang seorang muslim.

Pokoke aman,” jawabnya dengan senyuman yang kembali membuat jantungku berdebar aneh.

Satu bulan berlalu dan tugas kami menjadi yang paling pertama diserahkan dan menerima pujian. Kuakui aku banyak berutang pada Ivan yang mampu bertolerasi denganku saat mengerjakan tugas ini.

Awalnya aku berpikir kini setelah tugas kami usai maka usai pula hubungan kami namun rupanya aku salah, kami justru semakin akrab.

Pelan-pelan sesuatu mengusik. Aku mulai merasa nyaman dengan keakraban kami, sadar sepenuhnya Ivan telah mengusik hatiku. Keramahan, kejenakaan, sikap santun, dan kecerdasannya, bagai magnet yang menarikku ingin terus berada dekat dengannya.

“Woi! Bengong aja. Mikirin apa sih?” tanya Ivan yang tiba-tiba muncul, membuatku melonjak kaget.

Udah aku emang gitu orangnya. Wajar sih kalo kamu jadi sering mikirin aku,” candanya kemudian.

Aku merona malu, dalam hati mengakui bahwa aku memang sedang memikirkan dia namun tak mungkin aku mengatakan hal itu pada Ivan. Alih-alih, aku tanpa sadar malah membalas candaan itu dengan cubitan gemas di lengan yang membuatnya mengaduh sembari terus menggodaku.

Kian gemas, aku terus menyerang Ivan dengan cubitan bertubi-tubi, membuat dirinya berusaha menghindar sembari tertawa, dan sesekali mengaduh saat cubitanku berhasil mendarat di tubuhnya. Saat itu lah Ivan berhasil menangkap tanganku yang masih berusaha mencubitnya. Merona malu, cepat-cepat aku berusaha menarik tanganku namun Ivan justru malah menahan dan meremasnya lembut.

Pandangan kami pun bertemu. Membawa desir-desir aneh dalam diriku yang membuatku seakan tak berdaya dan secara naluri memejamkan mataku saat wajah Ivan semakin mendekat kemudian bibirnya dengan lembut menyentuh bibirku.

Tak ada pagutan-pagutan penuh birahi seperti film-film bertema cinta yang pernah kutonton, namun rasanya begitu melenakan, membuat jantungku berdebar tak terkendali.

Kesadaranku muncul dan membuatku tersentak. Dengan cepat aku menarik diri dan melepaskan tanganku, lalu kuraih tasku dan setengah berlari keluar kelas meninggalkan Ivan tanpa bicara.

Malam itu selama berjam-jam aku bersimpuh memohon ampunan, berdoa agar Tuhan kembali menguatkan hatiku, dan membimbingku lepas dari ujian ini sebelum akhirnya beranjak tidur, hanya untuk memimpikan sosok Ivan dalam sebuah mimpi yang begitu panas menggairahkan.

Selama tiga hari berikutnya aku sengaja membolos demi menghindari Ivan, menyibukan diri dengan ibadah dan kegiatan pelayanan. Semakin galau menyadari rasa rinduku padanya. Akhirnya aku memutuskan bahwa menghindari Ivan tak menyelesaikan apapun, kami harus berbicara.

Setengah jam berlalu sejak perkuliahan pertama berakhir. Satu per satu rekan sekelasku meninggalkan kelas menuju ruang mata kuliah selanjutnya, menyisakan aku sendirian bersama Ivan yang duduk di sebelahku selama jam kuliah. Selama itulah jantungku terus berdebar dan merasa salah tingkah.

“Apa kamu nggak bisa nebak?” Ivan bertanya balik saat aku menanyakan alasannya menciumku.

Udah jelaskan. Aku jatuh cinta sama kamu,” ujarnya tegas menatapku tajam sehingga membuat merona dan menunduk malu.

“Tapi aku seorang suster Ivan. Kita nggak mungkin bisa bersama,” ujarku lirih.

“Aku tau itu El. Tetap aja aku jatuh cinta sama kamu. Aku tau kamu juga jatuh cinta sama aku,” tutur Ivan.

“Aku nggak jatuh cinta sama kamu. Aku nggak mungkin cinta sama kamu,” ujarku berusaha terdengar tegas namun justru yang keluar suara tercekat.

Kalo kamu nggak cinta aku, kenapa kamu diam aja waktu kucium?” tanya Ivan mendesak dengan nada suara meninggi.

Aku hanya mampu menunduk diam, tak mampu menjawabnya.

Tiba-tiba Ivan memegang sisi kepalaku, memaksaku memandang matanya yang menatapku. “Benar kamu nggak cinta aku?” tanya dia lagi.

Nggak! Aku nggak cinta kamu!” jawabku memaksa diri untuk menatap matanya.

“Kamu nggak cinta aku?” Ivan kembali bertanya. Mengulangi pertanyaan yang sama berulang kali, tiap kali jawaban yang kuberikan semakin lirih seiring wajah Ivan yang kian mendekat.

“Aku nggak…”

Aku tak mampu menyelesaikan kata-kataku. Hanya mampu menarik nafas panjang saat bibir Ivan akhirnya mendarat di bibirku dengan lembut, meluluhkan segala penolakanku dan menjawab pertanyaannya tentang perasaanku.

Ciuman kali ini terasa sangat berbeda. Jauh lebih menggairahkan karena perlahan Ivan memberi pagutan-pagutan kecil. Didorong oleh naluri, bergetar aku mulai membalas pagutannya.​

***​

“Masuk El,” ajak Ivan kemudian meraih tanganku dan menarikku ke dalam kontrakannya, saat aku hanya bergeming ragu di ambang pintu.

Begitu terbuainya aku oleh cumbuan Ivan sehingga hanya mampu menunduk malu dan pasrah mengikuti saat pemuda itu, yang kemudian mengajakku ke kontrakannya. Berdebar-debar menyadari hanya kami berdua di dalam.

“Duduk dulu El,” sarannya padaku lalu mengambilkan sekalengan minuman soda sementara dia ke kamar mandi sebentar untuk buang air.

Karena tak ada kursi di kontrakan yang terdiri atas satu ruang besar dimana ruang tamu dan ruang tidur menjadi satu itu, maka aku pun memutuskan duduk di tepi ranjang.

Tak lama Ivan keluar dari kamar mandi lalu duduk di kiriku, membuatku gugup dan salah tingkah. Hanya diam dan menundukkan wajahku yang merona saat dia meraih kedua tanganku dan menggenggamnya.

“Elsye Collete Urlyoly. Aku sangat mencintai kamu,” bisiknya padaku yang membuatku mengangkat wajah meronaku untuk memandang wajahnya dan melihat kesungguhan di matanya. Aku hanya diam. Terlalu malu untuk membalas kata-kata cinta Ivan.

Namun Ivan tak perlu mendengar balasanku. Kupejamkan mata dan menunggu saat wajahnya mendekat dan bibir kami akhirnya kembali bertemu. Seketika dunia seakan mengabur dan aku pun mendesah. Sepenuhnya sadar ketika aku akhirnya mengalungkan tanganku di lehernya serta membalas pagutannya.

Ivan lalu bangkit lalu berdiri di hadapanku. Dalam tatapan sayuku, dia melepas kaus yang dikenakannya hingga bertelanjang dada kemudian menarikku berdiri, memeluk tubuhku, dan memberi pagutan di leherku.

“Aahhh..” aku kembali mengerang tanpa mampu kutahan, merasakan rambut-rambut halus di sekujur tubuhku meremang oleh rasa geli namun nikmat yang Ivan berikan.

“Oohhh... Ivaann... kamu mau ngapain?” tanyaku berbisik saat tangannya menyusup ke bawah amice-ku (kain putih di luar jubah alb-ku,) lalu menarik turun reseleting di baliknya.

Ivan tak menjawab. Bibir dan mulutnya masih sibuk mencumbu leherku dengan buas. Aku terus mengerang, terbuai oleh nikmatnya rangsangan Ivan, hanya bisa pasrah saat kedua tangannya bergerak ke pundakku, dan menariknya turun hingga lenganku.

‘Dear God. Forgive me please.’

Aku sangat sadar mengarah kemana semua ini, namun birahi telah begitu menguasaiku sehingga aku pasrah, tanganku lunglai di samping, dan membiarkan Ivan melorohkan jubahku hingga jatuh di lantai.

Ivan memutar tubuh, duduk di tepi ranjang, menarikku duduk di atas pangkuannya, lalu memelukku yang nyaris telanjang dengan hanya mengenakan amice dan pakaian dalam. Kulingkarkan tangan di lehernya, menyambut wajahnya yang mendekat, dan kembali mencium bibirku.

“Hhhemmmhhh... Ivaannn...” erangku menikmati pagutannya, yang beralih ke leher dan pundakku.

Naluriah tubuhku bergelinjang, pinggul dan pantatku bergerak maju mundur menggesek-gesekan selangkanganku pada tonjolan keras Ivan yang sedari tadi menekan kemaluanku.

“Aku lepas ya?” pinta Ivan diikuti kedua tangannya yang bergerak ke punggungku, berusaha melepaskan kaitan bra-ku.

Aku hanya tersenyum malu. Meski begitu tanganku ikut bergerak ke belakang, membantu Ivan yang kesulitan. Tak butuh waktu lama, bra-ku terlempar entah kemana, menyisakan amice-ku yang masih menutupi sepasang payudaraku yang kencang, dan belum pernah terjamaah oleh pria mana pun.

Namun bahkan amice-ku tak mampu melindungiku dari nafsu Ivan yang kian memuncak. Kepalanya menyusup dan untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasakan jilatan dan kuluman lelaki di payudaraku. Tangan kanan pemuda itu pun tak mau ketinggalan, meremas payudaraku lembut, dan memilin putingku. Aku pun menjerit nikmat.

Ivan beringsut mundur, semakin naik ke atas ranjang, dan ikut menarik tubuhku bersamanya dengan tangan kirinya melingkar pinggangku. Dalam gerakan simultan yang cepat, pemuda itu memutar tubuh kami, mendorongku berbaring terlentang di atas ranjang, dan berbaring miring di sisi kiri tanpa melepas cumbuannya di payudaraku.

“Ooohhh... Udah Van... aku nggak tahan...” keluhku padanya.

Tentu saja dia tak berhenti, sebagaimana dalam hati aku pun ingin terus merasakan kenikmatan ini, maka aku pun semakin memperat pelukanku pada kepala Ivan.

Setelah beberapa saat, tangan kanan Ivan bergerak turun. Ujung jemarinya dengan lembut menyusuri perutku yang membuatku menyentak geli, berhenti saat sampai di CD-ku dan kembali naik hingga pangkal payudara kananku.

Rabaan Ivan berlanjut tanpa ritme dan pola. Sesekali jemarinya menelusuri bawah pusarku, terkadang pada selangkanganku di pangkal paha, dan tak jarang membelai pahaku. Tiap sentuhan tak pernah gagal membuatku bergelinjang dan mendesah.

Aku semakin pasrah. Ivan membimbingku untuk semakin naik ke atas ranjang lalu berbaring miring di sisi kiriku. Tak lama tangan kanannya berusaha melepas CD-ku yang kupermudah dengan mengangkat pantatku. Kini kemaluanku yang ditutupi rambut halus terpampang untuk dia nikmati.

Waktu berlalu. Dengan nafas megap-megap, aku menggerakan pinggul dan pantatku yang terangkat dalam putaran erotis, mengimbangi jari tangan Ivan yang berhasil menyusup dalam liang vaginaku kemudian mengobok-oboknya.

Rasa perih yang kurasakan diawal, dengan cepat digantikan kenikmatan luar biasa, melampaui semua rangsangan yang sebelumnya dia berikan, hingga untuk pertama kalinya aku mengetahui bagaimana rasanya sebuah orgasme. Sensasinya begitu dahsyat, tak ada satupun kalimat yang mampu kususun untuk menggambarkannya.

Mataku terpejam, terengah-engah menikmati sensasi orgasme yang perlahan memudar, dan baru membuka mata saat Ivan menarikku dalam pelukan. Aku pun melingkarkan tanganku padanya, berbaring miring dengan lengannya sebagai sandaran dan kaki menindih pahanya, menyadari jika Ivan kini sepenuhnya bugil.

Hening. Aku tak tau harus berbicara apa pada pemuda ini, kekasihku yang telah mampu mengubah segalanya dalam hidupku. Tentu saja ada penyesalan dalam hatiku, namun hal itu tak sebanding dengan perasaanku pada Ivan meski hingga saat ini aku belum mengatakan hal itu padanya. Semoga kerelaanku padanya lebih dari cukup untuk mengisyaratkan cintaku.

Tak lama aku mulai membelai dada Ivan, merasakan bagaimana nafasnya bertambah cepat seiring nafsu kami yang kembali meningkat.

Ivan bukanlah pemuda yang gagah berotot. Tubuhnya cenderung kurus dan tak terlalu tinggi (meski masih lebih tinggi dariku), dengan kulit putih, sedikit cokelat terbakar sinar matahari. Perutnya yang kini menjadi sasaranku terasa kenyal seperti adonan.

Tiba-tiba Ivan tersentak dan mendesah,membuatku terkejut karena menyadari sentuhanku telah mencapai kemaluannya yang mengalami ereksi. Refleks aku berusaha menarik tangan namun Ivan menahan dengan tangannya sendiri.

“Jangan berenti sayang, elus kontolku,” mohonnya pelan.

Meski jengah aku menuruti permintaaan Ivan, menggenggamkan tanganku untuk mengelus batang kemaluan Ivan dan sesekali meremasnya lembut.

“Oohhh... sayang… hahhh...” desah dan erang Ivan.

Tangan Ivan yang sebelumnya bermain di payudaraku bergerak ke bawah, kemudian kembali menyusuri belahan memekku dengan jarinya.

“Aaahhhh Ivaann...” erangku manja dengan tubuh tersentak.

Ivan telah menemukan klitorisku dan jemarinya pun mulai bermain, membelai kemudian memutar-mutarnya dengan sedikit tekanan pada tiap tekanan.

Tanpa henti Ivan terus memberi kenikmatan yang membuatku tak tahan dan bergelinjang disusul pantatku yang bergerak erotis. Akhirnya salah satu jarinya berhasil menyusup ke dalam liang vaginaku, keluar-masuk di dalamnya, lalu sesekali menekan dinding vaginaku.

“Aahhh... Elsye...” desahnya menyebut namaku mesra.

“Uuuhhh... iya... enak Van?” tanyaku padanya.

Tak perlu Ivan menjawab, gelinjangan dan ekspresi di wajahnya memberitahuku apa yang dia rasakan. Aku merona malu, merasa senang mampu memberinya kenikmatan pada Ivan.

Aku bisa membayangkan bagaimana semua ini terlihat, seorang biarawati nyaris bugil, dengan hanya kerudung mantila dan amice-nya, tengah mengocok kemaluan pria yang merupakan kekasih rahasianya. Bayangan yang justru membuat birahiku kembali bergejolak.

“Pake mulut kamu El..” pinta Ivan beberapa menit kemudian.

Aku menatap Ivan bingung. Apa yang harus kulakukan dengan mulutku?

Melihat kebingunganku Ivan kembali memohon, kali ini dengan jelas memintaku untuk mencium, menjilat, dan mengulum kontolnya dalam mulutku.

Aku ternganga, benarkah itu yang dilakukan seorang wanita dengan kemaluan pasangannya? Aku tak pernah tahu itu.

Aku mulai ragu dan sedikit jijik, namun aku tak mungkin mengecewakannya. Maka aku perlahan aku bangkit duduk di sisi Ivan dan memandang batang kontolnya yang berada dalam genggamanku. Membungkuk aku mulai memberi ciuman lembut di kepala kontol Ivan yang membuatnya mendesah.

Sejujurnya, mencium kontol Ivan tidak terasa buruk. Tak seperti dugaanku, kemaluan kekasihku itu bersih, tak berbau pesing, justru wangi sabun. Maka aku pun memberi jilatan di kepala kontol Ivan dengan ujung lidahku yang membuatnya tersentak.

“Iya gitu... enak sayang.. terusin...” pinta Ivan lagi.

Aku kembali menjulurkan lidah menjilati kepala kontol Ivan. Kali ini lebih yakin, karena aku tau lidahku ternyata mampu memberinya kenikmatan. Segera seluruh permukaan kontol Ivan telah dipenuhi liurku.

Tak lagi merasa jijik, aku mulai mempertimbangkan untuk memenuhi permintaan Ivan selanjutnya. Kuawali dengan memberi ciuman di kepala kontolnya, aku pun membuka mulutku, dan dengan segera ¼ ujung kemaluannya menghilang dalam mulutku.

IMG-20151125-171433.jpg


“Aaww... aduh... pelan-pelan sayang... masukin semua ke mulut kamu... jangan kena gigi... gerakin lidah kamu...” bimbing Ivan.

Entah berapa lama aku bermain dengan kontol Ivan. Mengombinasikan seponganku (begitu istilahnya belakangan kuketahui) dengan jilatan lidah dan kocokan tangan. Pria terkasihku itu pun kian belingsatan, tubuhnya seaekali tersentak, dan pantatnya naik-turun menyambut kuluman dan hisapan mulutku.

Beberapa kali aku tersedak saat ujung kontolnya menyodok tenggorokanku. Namun aku tak keberatan, aku bisa mengatasi semua itu asalkan bisa memberinya kepuasan.

Nyaris setengah jam berlalu. Ivan memintaku menghentikan permainan mulutku di kemaluannya, membimbingku kembali terlentang, lalu beranjak memposisikan diri di antara pahaku, yang dia kangkangkan selebar mungkin dengan kaki menyiku.

“Aku masukin ya?” mohonnya sembari menggenggamkan batang kontolnya yang berkilat basah oleh liurku, mengarahkannya pada mulut vaginku.

Dengan suara lirih aku memberikan ijin, memintanya agar pelan-pelan.

“Aakkkhhh... tu-tunggu dulu Van... sakit,” aku mengeluh, memintanya menghentikan laju kontolnya yang melesak masuk.

Ivan pun tak bergerak, membiarkan batang kemaluan kerasnya yang baru masuk seperempatnya berkedut dalam liang vaginaku.

Beberapa menit kemudian Ivan kembali mendorong kontolnya dan sekali lagi aku merintih oleh rasa perih. Dengan sabar Ivan kembali berhenti dan menungguku menyesuaikan diri hingga rasa perih itu hilang.

‘Kenapa sesulit ini?’ tanyaku dalam hati.

Tak pernah aku mengetahui bahwa pengalamaan pertama ini akan terasa sakit, membuatku bertanya-tanya apa semua wanita juga mengalami hal yang sama.

Rasa perihku pun perlahan mereda dan kuberi isyarat pada Ivan untuk kembali mendorong. Namun rupanya Ivan punya pemikiran lain. Dia menarik kontolnya terlepas lalu menggesekkannya menyusuri belahan memekku, melicinkannya dengan cairan pelicin yang keluar dari vaginaku, dan membuat memekku kian basah.

Ivan kemudian kembali mencoba melesakkan kontolnya, lagi-lagi aku mengeluh sakit yang membuatnya menarik lagi keluar, dan menggesekkannya di belahan memekku.

Berkali-kali Ivan terus melakukan gerakan yang sama. Melesakkan kontolnya lalu menariknya keluar dan menggesekkan ke memekku. Entah berapa kali dia melakukannya sebelum aku sadar Ivan tak lagi mencabut, namun membiarkan batang perkasa itu maju-mundur dalam liang vaginaku.

Aku mulai membiasakan diri. Perih yang kurasakan berangsur-angsur berganti dengan rasa nikmat, saat batang kontol Ivan menggesek dinding vaginaku, meski aku tahu belum seluruhnya berhasil melesak masuk.

Tak lama Ivan mencondongkan tubuh atasnya semakin kedepan. Menjadikan kedua tangannya lurus sebagai topangan tanpa menghentikan gerakan kontolnya.

Tiba-tiba aku merasakan rasa perih yang amat sangat ketika Ivan sekuat tenaga mendorong pinggulnya sekuat tenaga.

“Aaakkhhh!!! Sakit Van… tu-tunggu... ta-tahan dulu...” pintaku nyaris menjerit.

Namun kali ini Ivan terus mendorong paksa. Refleks tubuhku beringsut naik ke kepala rangjang, tapi dia mengejar dengan semakin mendorong kencang hingga aku tak bisa menghindar lagi, dan aku pun menjerit kesakitan saat seluruh kontol Ivan bersarang dalam liang vaginaku.

Ivan akhirnya berhenti, lalu menindih tubuhku kemudian memberi pagutan dibibirku, dalam upaya agar aku rileks dan membiasakan diri.

Masih merasa perih aku membalas pagutan itu. Merasakan bagaimana batang kontol Ivan berkedut membalas denyutan di dinding vaginaku.

Lima menit kemudian, mungkin lebih, Ivan mengangkat tubuhnya kembali bertopang pada tangan dan bertanya lembut apa aku masih merasa perih.

Udah nggak terlalu,” jawabku lemah.

“Aku bergerak ya?” tanyanya lagi. Kujawab dengan anggukan lalu memintanya agar pelan-pelan. “Rileks ya El... tahan sebentar,” pintanya kemudian.

Ivan lalu menarik kontolnya perlahan dan aku kembali mengerang sakit namun aku bertahan, memberinya isyarat untuk terus melanjutkan. Ivan menurutiku dengan kembali mendorong kontolnya sebelum batang itu keluar sepenuhnya dari vaginaku.

Satu kali, dua kali, tiga kali, dan entah berapa kali Ivan melakukannya, aku hilang hitungan. Lebih tepatnya tak lagi peduli, karena seiring kontolnya yang keluar masuk mengocok vaginaku, rasa perihku dengan pasti berkurang. Meski masih sedikit sakit namun tak lagi sebanding dengan kenikmatan yang kurasakan.

“Ooohhh Elsye... enak banget sayang... memek kamu ngejepit kontolku... hahhh...” Ivan mulai meracau dan mengerang oleh kenikmatan persetubuhan terlarang kami.

“Iya Vaann... punya kamu enak banget... uuuhhh...” jawabku terengah-engah, kembali mencengkeram lengannya.

“Apaku yang enak sayang?” tanya Ivan tersenyum nakal memancingku.

“Punya kamu Vaaan... hahh... hahh... aaahhh…” jawabku malu-malu.

Ivan dengan keras kepala kembali bertanya tanpa sedikit pun menghentikan kocokannya. Jengah menyadari pancingannya aku akhirnya berujar, “ko-kontol kamu Van... kontol kamu enak banget...”

Aku tahu aku semakin merona. Bisa kulihat senyum kemenangan di wajahnya karena berhasil membuatku mengeluarkan kata-kata vulgar.

Kontolku lagi ngapain kamu El?” tanya Ivan lagi. Ingin aku semakin berujar kotor.

“Lagi ngentot memekku... aaahhh..terus Van... kocok memekku pake kontol kamu.”

Tak lagi aku merasa jengah. Justru semakin membuat birahiku meninggi. Bersamaan dengan itu aku pun kian liar. Bergelinjang erotis dengan pantatku naik-turun mengimbangi lesakkan kontol Ivan.

Waktu berlalu dan Ivan kembali menindihku. Tak berhenti melesakkan kontolnya meski aku telah mengalami orgasme keduaku di hari itu dan dengan buas memberiku pagutan di bibir. Suara selangkangan kami yang beradu mengiringi desah dan erangan kami. Memenuhi kamar dengan irama percintaan.

Usai orgasme ketiga yang kembali melandaku, Ivan menarik tubuhnya. Kedua tangannya kemudian menyusup ke bawah kakiku dan menahannya mengangkang semakin lebar menggantung di udara.

Tak lama Ivan mengubah posisinya yang berlutut menjadi menjongkok disusul tubuhnya yang kembali condong ke depan, bertumbu pada tangannya yang masih menahan kakiku mengangkang, dan menggantung di udara. Posisi ini membuat tubuhku melipat, pantatku kian terangkat.

Dengan arah sodokan Ivan yang condong dan nyaris tegak lurus, aku bisa merasakan sodokannya kian dalam hingga seakan menyentuh mulut rahimku.

Ivan pun kian buas. Memberi hentakan keras pada tiap sodokannya yang justu membuatku menjerit-jerit keenakan dan meracau kotor agar dia semakin mempercepat gerakannya.

“Iivaann... aku keluaaarr… aaakkkhhh...”

Oh Tuhan. Betapa luar biasa enak persetubuhan kami ini. Tanpa mampu kutahan aku pun kembali orgasme. Megap-megap tak lagi mampu bersuara, hanya bisa lemas pasrah menikmati sodokan Ivan yang tanpa henti.

“Uuuaahhh… Elsyeee… aaaggghhhh…”

Tanpa peringatan Ivan tiba-tiba menghentakkan kontolnya keras-keras, kubalas dengan jeritan. Tubuhnya seketika berhenti bergerak. kontolnya melesak penuh dalam vaginaku, berkedut kencang disusul sensasi semburan yang menghangatkan.

Aku tau Ivan akhirnya mengalami orgasme. Kini benihya telah mengisi liang vagina dan mungkin pula hingga ke rahimku.

Bersamaan dengan itu, Ivan ambruk menindihku dan kusambut tubuhnya dalam pelukan erat sembari terus menikmati tiap kedutan dan semburan dari kontolnya.

Seiring waktu, tubuh Ivan yang menegang berangsur-angsur melemas dalam pelukanku, menandakan berakhirnya orgasme kekasihku itu.

Lelah namun puas, kami pun tertidur dengan Ivan masih menindihku. Dalam kesadaran yang perlahan menghilang, aku masih bisa merasakan kontol kekasihku itu mengecil dalam jepitan vaginaku sebelum akhirnya aku terlelap dalam mimpi penuh birahi.​

***​

Aku terbangun kaget menyadari tengah memeluk tubuh telanjang sesosok pemuda. Lebih kaget lagi ketika tau aku sendiri saat itu telah sepenuhnya bugil. Cepat-cepat aku bangkit duduk, memandang pemuda yang masih terlelap itu, dan mengenalinya sebagai Ivan. Seketika ingatanku kembali, tentang apa yang baru saja terjadi di antara kami.

Entah sudah berapa lama kami tertidur. Dugaanku belum terlalu lama karena aku masih bisa melihat cahaya terang dari luar yang menyusup di antara lubang ventilasi serta celah pintu, dan jendela yang rapat. Berarti hari masih siang.

Aku kembali memandang Ivan, memperhatikan wajahnya yang kini telah menguasai hatiku, mengingat kehangatan tubuhnya, dan tentu saja keperkasaannya yang mampu membawaku mengawang oleh kenikmatan.

Begitu cepat segala sesuatunya berubah dan mengikat kami berdua. Tentu saja aku bahagia. Bagaimana tidak? Bisa mencintai seseorang dan mendapatkan cinta orang itu sebagai balasan. Aku tahu tak semua orang bisa seberuntung diriku.

Tapi kini setelah aku mampu berpikir jernih, tanpa nafsu mempengaruhi, aku merasa sangat berdosa. Aku pun berbisik mohon pengampunan.

Tak hanya rasa bersalah dan berdosa, hatiku kini digelayuti rasa takut dan bingung atas apa yang akan kulakukan setelah ini.

Aku telah melanggar sumpah sebagai seorang Pengantin Tuhan, mustahil bagiku untuk kembali menjalani hidup sebagai seorang Suster dengan noda yang tidak akan mampu dihilangkan ini. Lebih dari itu, aku juga mulai mempertanyakan keyakinanku sendiri.

“Elsye…”

Bisikan Ivan menyadarkanku yang tengah larut dalam pikiran. Refleks aku menoleh kesamping karena mengira kekasihku itu telah terjaga. Tapi Ivan masih terlelap, dan membisikan namaku dalam tidurnya.

Aku tersenyum bahagia karena Ivan sungguh mencintaiku, hingga aku muncul dalam mimpinya. Menyadari itu, aku membulatkan tekad. Aku bersedia menjalani hidup ini dalam gelimang dosa, andai itu bersama Ivan, dan sebuah rencana pun terbentuk dalam benakku.

Tapi pertama, aku perlu untuk membersihkan dulu tubuhku yang terasa penat dan lengket. Maka aku beringsut turun dari ranjang. Dengan membawa handuk Ivan yang tersampir di kursi, aku berjalan memasuki kamar mandi.

Selama mandi, ada satu hal yang membuatku sedikit geli. Mengingat ke belakang, aku sadar belum pernah sebelumnya mandi sebersih ini. Kuakui sebagai wanita aku tak pernah merasa perlu untuk benar-benar merawat tubuh, biasanya aku mandi ala kadarnya.

Aku juga mempertimbangkan untuk mulai menggunakan kontrasepsi. Ide yang sedikit terlambat mengingat sperma Ivan telah memenuhi vagina serta rahimku. Tapi tak ada salahnya kan? Toh belum tentu aku langsung hamil oleh seks pertama kami.

Lagi-lagi aku merasa geli sendiri. Mempertimbang untuk menggunakan KB, seakan menegaskan bahwa setelah ini aku dan Ivan akan sering melakukan hubungan seks.

Tentu saja aku yakin kami memang akan kembali melakukannya. Aku pribadi masih menginginkan Ivan dan aku yakin kekasihku itu juga merasakan hal yang sama. Meski aku sangat menginginkan Ivan untuk bertanggung jawab dengan menikahiku, aku sadar untuk saat ini kami belum mampu berumah tangga. Bagaimana juga dia masih seorang mahasiswa yang belum memiliki penghasilan.

Cukup lama juga aku berada di kamar mandi, memastikan tiap jengkal tubuhku bersih dan harus sebelum kuputuskan untuk menyudahi dan kembali ke kamar.

Mo kemana udah rapi aja?” tanya sebuah suara dari belakangku.

Aku menoleh. Rupanya Ivan sudah bangun dan kini memandangku yang baru saja selesai mengenakan seragam biarawatiku, meski belum sempat menaikan reseleting.

Pemuda itu lalu beringsut turun dari ranjang untuk menghampiriku.

“Eh udah bangun toh. Udah jam satuan. Kita kan masih ada kuliah. Kamu juga siap-siap sana,” jawabku sembari membalas senyuman dia.

Males ah. Kita bolos aja gimana? Temenin aku di sini.”

Usai memberi saran, Ivan memelukku dari belakang dan langsung memberi pagutan mesra di leherku yang membuat aku mendesah dan bergelinjang kecil.

Emang mo ditemenin ngapain sih?” tanyaku manja dengan nada menggoda.

Ivan tak menjawab. Tangannya bergerak meraih pundakku dan dengan lembut menarik seragamku turun melewati bahu serta lenganku hingga jatuh di lantai, hingga aku kembali bertelanjang bugil. Saat itu aku memang tak mengenakan lagi dalamanku di balik seragam.

IMG-20151025-215437.jpg


Ivan lalu memutarku agar kami saling berhadapan dan tersenyum menatap matanya. Dia kemudian mengulurkan tangan kanan memegang sisi wajahku, membelai lembut pipiku dengan ibu jarinya, dan membisikkan kata-kata cinta yang membuatku merona. Kujawab lirih bahwa aku juga sangat mencintai dia.

Ivan pun semakin merapatkan tubuh, menarik wajahku semakin mendekat, dan tak lama bibir kami pun saling berpagutan dalam desah birahi yang mulai bergejolak.

Seiring waktu, cumbuan kami pun kian panas yang membuat nafasku seakan sesak dan bertambah berat. Aku baru bisa bernafas lega dan mendesah saat Ivan melepaskan pagutan lalu memandangku dengan senyum manis di wajahnya.

Setelah itu Ivan mundur selangkah, meraih tanganku, dan meremasnya lembut. Bisa kulihat pancaran birahi yang sangat membara dalam tatapan. Ada permohonan di sana yang sangat kupahami dan juga kuinginkan.

Dalam diam, Ivan mengandeng tanganku dan membimbingku kembali menuju ranjang. Aku yang terbuai nafsu dengan pasrah mengikuti kekasihku itu.

Sampai di sebelah ranjang, Ivan berbalik menghadapku, lalu duduk di tepian. Kedua tangannya meremas milikku, yang kubalas dengan mesra. Di lalu mendongak menatapku dan tersenyum memberi isyarat. Mengerti apa yang dia inginkan, aku pun tersenyum, melepaskan genggamanku, lalu turun berlutut di lantai.

Ivan merenggangkan paha, memberi tempat bagiku yang kemudian mengulurkan tangan kanan meraih kontolnya. Tak lama batangnya yang keras itu pun menghilang dalam kuluman mulutku.

Entah apa yang Ivan pikirkan, tiba-tiba dia memintaku berhenti sejenak lalu meraih hape di ranjang. Aku memperhatikan jarinya dengan licah mengutak-atik sebelum akhirnya dia mengarahkan kamera hape padaku. Seketika aku mengerti apa rencana kekasihku itu.

“Ih Ivan... mo ngapain sih?” tanyaku memprotes namun tak mencegahnya.

“Bikin kenang-kenangan,” jawabnya mengerling nakal.

Dia lalu memintaku lanjut memberikan sepongan. Aku tersenyum. Tanpa penolakan sedikitpun kembali mengulum batang kontolnya, kali ini dengan hape Ivan merekam tiap adegan yang berlangsung.

“Oohhh... enak banget El... terus sayang, isap kontolku. Dikocokin El,” racau Ivan.

Cukup lama juga aku membeti Ivan permainan oral. Tak sedikit pun ada rasa jijik dalam diriku. Justru aku menikmati tiap momennya, meski kuakui mulutku mulai terasa pegal.

Tapi aku tak perlu menunggu lama karena beberapa saat kemudian Ivan berbisik memperingatkan gadis itu bahwa orgasmenya akan menjelang.

“Iya Van... keluarin aja.”

Aku melepas sepongan lalu mengocok kontol Ivan yang dipenuhi liurku. Meludahinya sekali agar semakin licin dan memudahkan mempercepat gerakan tanganku.

Ivan semakin mengerang nikmat dan bergelinjang hingga akhirnya... Crot... crot... crot!! Dengan semburan keras spermanya pun memancar, muncrat hingga membasahi wajah dan payudaraku.

“Enak sayang?” tanyaku menggoda sembari terus mengocok kontol Ivan dan meremasnya seakan ingin memeras keluar seluruh sperma kekasihku.

Ivan menjawab dengan erangan dan anggukan cepat, yang membuatku bahagia karena telah mampu menyenangkannya.

“Aku bikin tambah enak ya,” ujarku lagi.

Aku kembali menghisap kontol Ivan, membersihkan sisa-sisa sperma kekasihku itu hingga bersih sembari menatap ke arah kamera.

“Masih keras aja Van. Emang belum puas ya?” tanyaku di sela sepongan.

“Soalnya aku masih pengen ngerasain memek kamu sayang,” jawabnya.

Aku tertawa kecil sembari mengelap sisa sperma di tangan, wajah serta seragamku lalu berdiri. Ivan pun segera bersiap dengan merapatkan pangkuan, yang tak lama berada dalam kangkanganku.

Kuraih kontol dia yang masih basah dan licin, lalu menurunkan tubuhnya sembari mengarahkan batang perkasa itu ke liang vaginaku.

Slep... bleshh... Meski sedikit seret akhirnya batang kontol Ivan melesak memenuhi liang vaginaku yang berkedut menyambut.

Aku bergeming sesaat lalu mulai bergerak, menarik tubuhku ke atas secara perlahan lalu kembali turun dengan kemaluan kami saling menyatu. Seiring waktu gerakanku kian cepat dan erotis, menambahkan dengan memutar serta memajumundurkan pinggulku.

Ivan tak berdiam diri. Dengan aktif kedua tangannya meremas pantatku, sesekali membantu gerakan naik-turunku. Bibir, lidah, serta mulutnya juga tidak mau kalah. Menghujami kedua payudaraku dengan hisapan dan jilatan, yang membuatku menjerit-jerti nikmat, hingga aku pun mengalami orgasmeku sendiri.

“Bangun dulu sayang. Kita ganti posisi,” perintah Ivan setelah orgasmeku mereda.

Meski lemas aku lalu bangkit berdiri. Namun merasa bingung karena Ivan malah bangun kemudian menjauhiku dan berjalan menuju meja komputer.

Tak lama dengan tripod hape yang dia sesuaikan agar berdiri di atas kursi dan mengarah ke ranjang, dia kembali padaku yang menantinya sembari berbaring miring menghadap kamera.

Ivan erangkak ke atas ranjang, memposisikan diri di belakangku lalu meminta agar aku mengangkang dengan kaki kiri tergantung di udara. Kekasihku itu kemudian mengarahkan kontolnya ke liang vaginaku.

IMG-20151125-173124.jpg


Kuakui posisi ini kurang nyaman. Selain itu, kontol Ivan tidak bisa sepenuhnya masuk dalam vaginaku, sebab saat menyodok selangkangannya tertahan pantat montokku, yang lima tahun lebih tua dari dirinya itu.

Kurasa Ivan juga merasakan hal yang sama karena dia kembali meminta berganti gaya bercinta. Dia lalu memerintahkanku menungging menghadap kamera, dan setelahnya menyodokku dari arah belakang.

“A-aahh… aahhhh... ahhh...” tanpa henti aku mendesah dan mengerang. Sesekali menjerit tatkala Ivan menyodokkan kontolnya dengan kuat.

Meski merasakan nikmat yang amat sangat, namun tak urung kekuatan tanganku mencapai batasnya. Aku tak lagi kuat menahan beban tubuh serta dorongan Ivan yang tanpa henti menyodokku, maka aku pun ambruk tengkurap, dan menarik Ivan yang kontolnya masih berada dalam jepitan vaginaku.

Sejenak Ivan berhenti untuk menyesuaikan posisi. Tak lama dlam posisi tengkurap dan tindihan kekasihku itu, aku kembali merasakan nikmatnya sodokan dalam vaginaku.

“Vann... terus sayang... aku nggak tahan... aku mo keluar…” racauku separuh menjerit.

Menyadari itu, Ivan pun mempercepat sodokannya. Kuakui memang cenderung kasar hingga suara tamparan selangkangan pemuda itu di pantatku bergema mengiringi erangan kami.

Tapi aku tak keberatan, toh kasarnya sodokan Ivan sebanding dengan nikmat yang kurasakan. Dan aku menjerit ketika orgasmeku melanda dengan dahsyat.

“Uuuhhhh…” erangku ketika Ivan akhirnya menarik kontolnya.

Aku sadar pergumulan kami belum lah usai, karena aku belum membuat Ivan kembali merasakan orgasme. Maka aku membalik badanku hingga terlentang dan mengangkang selebar mungkin, dan bersiap untuk kembali merasakan kontol pemuda yang telah mencuri hati dan keperawananku itu.

Aku kembali merasakan orgasme dalam posisi ini, bahkan dua kali dalam jarak yang pendek. Usai itu Ivan menindihku dan aku pun memeluknya.

Entah berapa lama sudah berlalu saat Ivan tiba-tiba tersentak dan menarik badannya yang menindihku, kembali pada posisi tegak. Kedua tangannya kemudian berpegangan pada lututku. Bersamaan dia mempercepat sodokanna sembari mengerang, “Eelll... aku mau sampe sayang…”

“Jangan di dalam sayang... keluarin di luar…” balasku.

Meski dibuai nikmat, aku masih mampu berpikir jernih dan ingat bahwa tak ada satu pun dari kami yang memakai pelindung. Aku tahu sebelumnya Ivan telah memancarkan spermanya di dalamku, tapi aku tak mau memperbesar resiko. Tidak jika kami sama-sama belum siap menanggung akibatnya.

Aku yakin Ivan mengerti karena setelah beberapa saat, dia menarik kontolnya, dan berdiri sedikit menekut lutut. Aku menyusul gerakannya dengan bangkit berlutut. Kuraih kontol Ivan, kukocok dengan cepat, dan kuhisap. Mengerang kencang, Ivan pun orgasme. Tanpa ragu, kusambut seluruh spermanya dalam mulutku, dan menelannya.

Memang sedikit membuatku mual karea rasanya yang aneh. Tapi aku menahan diri, hingga akhirnyabtak ada lagi cairan yang keluar dari Ivan. Lelah dan puas, pemuda terkasihku itu pun lunglai dan merebahkan tubuhnya di ranjang dengan naas terengah-engah.

Aku sendiri masih memberikan sepongan dan kocokan pada Ivan sampai pelan-pelan kontolnya melemas dalam genggamanku. Setelah itu aku bergabung rebah di sebelahnya, menyandaran kepalaku di dadanya sembari mendengarkan degup jantungnya yang berangsur-angsur normal.

Usai persetubuhan itu, kami menghabiskan sisa hari itu bermesraan dan saling berpelukan di atas ranjang sebelum bersama-sama membersihkan diri di kamar mandi, dimana percintaan kami kembali dimulai. Sore harinya dengan berat hati aku mohon ijin pada ivan untuk kembali ke asrama.

Tentu Ivan menolak, dia ingin aku malam ini menginap. Tapi aku meyakinkannya bahwa aku tak mungkin melakukannya malam ini dan berjanji padanya aku akan mencari waktu agar bisa menginap di lain waktu.​

***Selesai***​
 
lanjut kehidupan elsye di gereja bos bersama pastor dan skandal seks dalam gereja.
 
Busyet dah ini cerita. Celana Mamang langsung jadi Sempit. MANTAP BRO .....:cendol:
 
Izin komen mbah suhu, walaupun Beda aliran sm sy, sebaiknya hati2 memposting mengenai agama 🙏🙏🙏.
Awalnya sy agak ngeri bacanya 😊😊. Tapi lama2 jadi enjoy, kaya perawan gitu deh 😝😝😝

Salam kenal suhu @Mbahghepenk 😊😊
#salim
 
Kereennn Huuu....
Akhirnyaaa... Ada juga postingan yg memuaskan dahaga fantasy ane di saat sekolah dg guru2 para suster itu...
Masih inget dulu, ada bbrp yg punya sex appeal tinggi.....
Diunggu lanjutannya mbah Suhuuu.....
 
Suhu boleh request dipanggilnya sye aja biar lebih pas menjurus ke namanya :D
 
Bimabet
lanjut hu...genre yg berbeda tu seru ..udah diterangin diawal kalo bukan soal SARA...tp ngaceng only ...🤣🤣🤣
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd