Part 9
Gerbang Ketiga
Sebagian tubuh Naga Merah telah naik ke daratan. Tubuhnya digelungkan diatas sebuah batu besar yang berbentuk seperti tugu obelisk. Sementara sebagian tubuhnya yang lain masih berada di dalam air danau. Entah aku tidak tahu seberapa besar wujud Naga ini sebenarnya.
Mahkota yang dia gunakan berwarna keemasan dengan batu-batu manik permata berwarna merah. Sedangkan matanya seperti mata reptil pada umumnya namun berwarna merah terang seperti nyala api.
“Tak perlu engkau menjatuhkanku Rajaku, karena bagaimanapun engkau adalah penguasaku. Janjiku apabila seluruh tubuhku mampu engkau buat keluar dari air, maka aku mengaku kalah", ujarnya
Dengan erangan keras Naga Merah meliukkan tubuhnya ke atas kemudian menghunjamkan kepalanya dengan deras ke arahku. Tentu saja melihat serangan tersebut aku tidak tinggal diam. Meski nyaliku sempat ciut melihat ukuran raksasa Naga Merah tetapi naluriku untuk bertahan hidup lebih kuat. Segera kulontarkan tubuhku ke samping sambil kuluncurkan tendangan ke kepala Sang Naga.
“Dugh..”, kakiku nyaris seperti membentur dinding batu yang sangat kokoh.
Naga merah menolehkan kepalanya ke arahku sambil menyeringai seram.
“Bagus rajaku, engkau telah memahami bahwa jalan satu-satunya untuk menguasaiku adalah dengan menyerangku. Tetapi serangan bocah seperti itu hanya membuat permukaan kulitku gatal saja”, ucapnya.
Kali ini tubuhnya merayap melingkariku, mungkin dia mencoba untuk menyempitkan ruang gerakku. Tentu saja aku tidak mau mati konyol. Dengan lentingan ringan aku menjejakkan kakiku ke tanah lalu melayang ke atas, namun ternyata, lentinganku tidak cukup tinggi melewati tubuh Sang Naga.
Tubuhku kembali turun ke tanah dalam ligkaran tubuh Sang Naga. Sempat aku terheran, bagaimana bisa ketika aku menolong Sari dengan mudah aku meloncat ke atap bangunan, namun kini, loncatanku hanya seperti manusia biasa pada umumnya.
Aku mengatur nafas. Jika tubuhku hanya bisa menggunakan kekuatan manusia biasa, bukan mustahil jika Raja Naga Merah pada generasi ini gagal untuk dibangkitkan dan bukan mustahil juga jika aku harus kehilangan nyawa dan membuat wanitaku menjadi janda setelah malam pertamanya.
Sari.. Wajahnya terbayang di pelupuk mataku. Aku harus segera memutar otak. Tak semudah itu aku menyerahkan nyawaku.
Lalu tiba-tiba terbersit di fikiranku bahwa Naga Merah itu adalah manifestasi dari kekuatanku. Jika begitu Naga itu adalah aku. Naga dengan potensi kekuatan diriku, Naga liar yang harus kukendalikan dengan mengalahkannya, yang berarti juga mengalahkan diriku sendiri.
Dan tentu saja, karena Naga itu adalah aku, tentu saja kekuatannya adalah kekuatanku.
Segera kuatur nafas sementara Sang Naga masih mencari celah kelengahanku sambil mengitari tubuhku.
Naga ini adalah egoku, Naga ini adalah keangkuhanku yang harus kutaklukkan sendiri.
Segera kutekan semua hawa kesombongan pada diriku. Betapa aku sempat berfikir begitu mudah masuk ke kampus favorit hingga meremehkan teman-temanku yang gagal masuk ke kampus tersebut. Betapa aku juga sempat meremehkan Kribo dan Kontet yang begitu mudah kuhajar saat pertarungan pertamaku. Dan betapa aku merasa menjadi manusia yang lebih unggul daripada yang lain karena terpilih menjadi Raja Naga.
Kutekan semua perasaan itu. Sungguh aku hanyalah salah satu makhluk-Nya yang dititipi kekuatan sekaligus tanggung jawab untuk menggunakannya di jalan yang baik.
Sang Naga menggeram marah.. Kecepatannya mulai mengendur, sementara itu kurasakan kekuatan baru yang merasuki tubuhku. Panas, namun panas ini bukan seperti panas tak tertahankan yang dulu pernah kurasakan. Panas kali ini seperti menggairahkan tubuhku, menajamkan inderaku dan mengokohkan intuisiku.
Segera aku tersadar, kami adalah satu, maka jika aku mendapat kekuatan ini, maka sang Naga tentu saja akan semakin melemah. Karena kami adalah satu, seperti matematika, ketika dia mendapatkan 80% kekuatanku, maka tubuhku hanya menyimpan 20% kekuatan. Begitupun sebaliknya.
Namun masalah terbesar dari hal ini adalah aku tidak tahu sampai dimana kekuatanku ini mencapai angka 100%. Sehingga aku hanya bisa meraba seberapa besar kekuatan yang kubutuhkan untuk memukul mundur Sang Naga Merah.
Aku terus berkonsentrasi, menundukkan hatiku, melemahkan egoku sementara panas kekuatan itu terus mengalir semakin deras ke dalam tubuhku.
Namun belum kulihat tanda-tanda Sang Naga melemah, meski aku menyadari kecepatannya saat mengurung diriku mulai melambat. Tentu saja apabila ini terus terjadi, aku tak tahu berapa lama Sang Naga akan bertahan tidak menyerang hingga dia menemukan celah kelengahanku.
Mungkin ini saatnya aku kembali menyerang. Naga versus Naga...
Kujejakkan kakiku mencoba mengambil strategi yang sama seperti tadi. Dan benar saja, kali ini tubuhku melenting. Bahkan jauh lebih tinggi dari saat pertempuranku sebelumnya. Pada saat tubuhku mendekati kepala Sang Naga, kepalan tanganku telah kusiapkan untuk kudaratkan di moncongnya.
Tetapi Sang Naga rupanya dapat membaca seranganku. Dengan liukan yang indah, kepalanya bergerak ke samping sementara sebagian ekornya yang masih terbenam di air tiba-tiba melecut ke arahku dengan kecepatan yang luar biasa.
Alarm tubuhku mencium bahaya dari arah belakang. Segera kujejakkan kakiku ke tubuh Sang Naga lalu menghindar ke samping.
“wuuuttt..”, angin deras menyambar mengikuti lecutan ekor Sang Naga yang melintas tipis di depan wajahku.
Namun tiba-tiba kulihat seberkas sinar di ujung ekor tersebut. Sebuah permata besar dengan sinarnya yang berwarna merah darah berada tepat di ujung ekornya.
Aku melecutkan tubuhku ke arah ujung ekor tersebut, dan dengan segenap tenaga kelancarkan pukulan ke ekor Sang Naga
“Duarr.. Duar...”, dua pukulanku bersarang di ekornya, yang tentu saja mengagetkanku. Pukulanku tidak bersuara seperti dua daging keras yang beradu, namun meledak seperti letusan senjata api.
Ekor Sang Naga menggeletak sementara tubuhnya terguling. Aku segera bangkit dan kali ini kulancarkan pukulan ke arah permata tersebut. Namun tiba-tiba tubuh Sang Naga menyusut dan berubah menjadi seorang laki-laki muda berwajah sangat mirip diriku.
“Cukup Rajaku, aku mengaku kalah”, serunya.
Aku yang terlanjur meluncurkan serangan ke permata merah tadi, tentu saja kesulitan untuk menghentikan serangan tersebut. Namun lelaki yang mirip seperti diriku tadi lalu dengan mudah memiringkan sedikit tubuhnya sementara tangannya dengan santai menepuk lengan atasku hingga pukulanku berbelok mengenai tugu obelisk tadi.
“Blarrr...”, Tugu obelisk tersebut hancur lebur terkena pukulanku.
Akupun terperanjat, tak menyangka sedahsyat itu akibat dari pukulanku.
Tubuhku terengah-engah, sementara lelaki tersebut duduk menjura dihadapanku.
“hormat rajaku, engkau berhasil mengalahkanku”, ucapnya dengan takzim.
Aku terdiam sambil mengatur nafas. Kutatap sebentar wajahnya lalu aku terduduk di sebuah batu besar di dekatku.
“Sesuai janjiku, karena seluruh tubuhku telah keluar dari air, maka engkau berhasil mengalahkanku Sang Raja”.
“Dan permata merah di ekorku, belum saatnya engkau membuka segel itu Sang Raja, kelak setelah engkau melewati gerbang ketujuh, maka akan kuserahkan sendiri permata itu kepadamu”.
“Namun maaf Rajaku, engkau belum bisa mengetahui namaku sehingga engkau tidak bisa membuatku maujud di dunia nyata sebelum engkau membangkitkan Chakra udara di gerbang keempat”, ujar lelaki tersebut.
“Maksudmu, engkau bisa maujud ke dunia nyata?”, tanyaku
“Tentu saja bisa Rajaku, tetapi tentu saja dengan meminjam wadagmu, ragamu, sehingga ketika aku maujud, ragamu yang akan berubah mengikuti wujudku”, jelasnya.
“lalu, maksudmu gerbang keempat adalah chakra udaea, berarti setiap aku membuka gerbang maka aku membuka sebuah chakra?”, tanyaku
“Betul Rajaku. Gerbang pertama dalah Chakra Bumi atau Tanah, disitu engkau telah membuka dasar pijakan pembukaan Chakra, karena bumi adalah dasar pijakan bagi makhluk di dunia ini. Bagi yang telah membuka chakra ini dia akan mengalami peningkatan kekuatan fisik maupun kecerdasan yang lebih unggul dari manusia biasa.”, jelasnya
“Pada gerbang kedua, engkau akan membuka Chakra Air. Chakra ini membuka intuisi, penguatan pada kewaspadaan dan peningkatan dari chakra pertama tadi, chakra bumi".
“Chakra ketiga yang akan terbuka pada gerbang selanjutnya adalah Chakra Api. Disini akan terbuka semangat, kekuatan dan nafsu untuk menguasai namun juga menjadi titik balik dimana seseorang akan menuju ke manusia yang lebih sempurna atau menjadi manusia yang diperbudak oleh nafsu angkara”.
“Berturut-turut Chakra selanjutnya adalah Chakra Udara, Chakra Waktu dan Ruang, Chakra Mata Ketiga dan terakhir Chakra Angkasa. Belum bisa kukatakan apa yang akan terbuka dari masing-masing Chakra tersebut. Karena engkau harus mengalami dan memutuskan sendiri pada setiap gerbang, kemana arah yang engkau pilih wahai Rajaku”.
“Dan ingat Rajaku, meski engkau telah mengalahkanku, kekuatan yang masuk ke dalam tubuhmu tadi belum separuh dari seluruh potensi kekuatanmu. Masih sangat panjang untuk bisa sepenuhnya menguasai kekuatanmu sendiri Rajaku. Aku mohon pamit”, pungkasnya
Lelaki tersebut beringsut mundur lalu perlahan tubuhnya terselimuti kabut. Sebentar kemudian aku merasa terlontar dari tempat itu, kemudian aku mulai merasakan terang di sekitar tubuhku.
Kubuka mataku perlahan dan kulihat tubuhku yang dibanjiri keringat masih duduk bersila di dalam ruangan putih di belakang rumah Pak Cipta. Sementara di depanku Pak Cipta tersenyum lebar.
“selamat Raja Naga, engkau telah membuka gerbang ketiga”, ujarnya.
***