#PoV Han Jeong#
Yuda membelakangiku dan menurunkan tubuhnya. "Ayo naik!"
"Heh?"
"Aku gendong kamu, daripada jalan tanpa alas kaki. Nanti kakimu lecet, ayo!"
Aku bingung. Tapi akhirnya aku pun naik kepunggungnya. Aku membawa ransel di punggungku, kemudian kulingkarkan kedua tanganku di leher Yuda. Aku digendongnya sekarang. Dadaku menempel di punggungnya, pasti dia sekarang merasakan dag-dig-dugnya jantungku. Saat ini aku benar-benar malu, bahkan kalau ada lampu menyorot wajahku pasti akan terlihat wajahku memerah karena perlakuan Yuda ini.
Selama digendongnya aku tak bicara. Bingung juga mau bicara apa. Perasaanku campur aduk. Bau parfum Yuda sangat khas, bikin tentram ketika aku menciumnya. Aku lalu makin erat melingkarkan lenganku. Tak perlu bicara, karena ia tahu aku sekarang merasa nyaman. Aku pun sampai menguap.
"Kalau kamu ngantuk tidur aja, aku akan antarkan kamu sampai ke rumahmu," kata Yuda. "Lagipula kamu pasti capek sekarang. Maaf atas sikapku hari ini."
Lagi-lagi aku nggak bicara. Aku pun memejamkan mataku. Entah kenapa aku menganggap punggung Yuda nyaman sekali seperti kasur. Yuda, perlakuanmu kepadaku malam ini benar-benar mirip papa. Apa aku mulai jatuh cinta ama Yuda? Ah masa' sih? Aku sendiri nggak yakin. Nggak deh, jangan dulu. Aku masih nyaman temenan ama Yuda. Dasar Hana, seenaknya saja meninggalkan aku jalan sama Yuda. Huh?!
Tapi emang benar koq, tak pernah ada cowok yang sedekat ini denganku. Bahkan sampai menggendongku seperti ini. Aku jadi teringat ketika waktu aku masih SMP terjatuh sampai kakiku berdarah. Aku juga digendongnya seperti ini. Aduh, kenapa aku berdebar-debar gini ya. Aku melirik ke arah wajahnya. Yuda menatap lurus ke depan. Aku bisa merasakan otot-ototnya yang atletis, kekar, bikin darahku berdesir. Masa' aku jatuh cinta ama dia sih? Sekilas sih sifat dia emang mirip ama papa. Apa gara-gara ini aku nyaman ama dia?
Entah berapa lama kami berjalan hingga aku sayup-sayup mendengar suara papa dan mama.
"Lho? Kenapa Han Jeong?" tanya mama.
"Kecapekan tante," jawab Yuda. "Hak sepatunya patah."
Aku menggeliat dan melihat papa ama mama. Sadar aku digendong ama Yuda, aku malu sekali melihat keduanya. Buru-buru aku turun. Wajahku memerah.
"Makasih," ucapku kepada Yuda. Buru-buru aku masuk ke dalam rumah. Yuda tersenyum kepadaku.
"Nggak masuk dulu?" tanya papa.
"Nggak deh Om, lain kali aja," jawab Yuda. "Biarkan Han Jeong istirahat dulu."
"Oh, makasih ya," kata papa.
"Sama-sama Om," kata Yuda setelah itu dia pergi.
Aku langsung masuk ke kamarku. Mama menyusulku. Begitu masuk kamar aku langsung lemparkan ranselku dan terjun ke atas ranjang. Pintu kamarku masih terbuka dan aku langsung membenamkan wajahku ke bantal. Mama pun masuk. Beliau duduk di sampingku.
"Han Jeong, Ada apa?" tanya mama.
"Nggak ada apa-apa koq ma," jawabku.
"Kalian bertengkar?"
Aku menggeleng.
"Trus?"
"Nggak ada apa-apa."
"Kamu jadian ama dia?"
Aku menggeleng. "Nggak, ah. Mama koq bisa ngambil kesimpulan gitu?"
"Ya udah, mimpi indah ya. Mama tinggalin dulu," kata mama. Beliau pun beranjak pergi.
"Ada apa ma?" tanya papa. Entah mama membisikkan apa kepada papa, yang jelas papa tertawa keras malam itu.
~*~o~*~
Hari Minggu. Aku biasa latihan silat ama Yuda. Dan rencananya setelah latihan aku ingin beli sepatu baru, gara-gara sepatuku kemarin kulempar ke robot G-120. Rencananya aku mau ajak Hana. Aku segera menelpon dia.
"Hana?" sapaku di telpon.
"Apa?" tanyanya.
"Ntar beli sepatu yuk, sepatuku kena korban robot kemarin!" jawabku.
"Woi, nggak bisa. Kita disuruh ama Profesor Andy ke rumahnya hari ini," katanya.
"Waduh, harus ke Bogor?" tanyaku.
"Nggak, harus ke Hong Kong. Ya iyalah ke Bogor. Kemana lagi? Ini penting. Soal Gnome-X," jawabnya.
"Ada hubungannya ama Ryu?"
"Iya, sepertinya begitu. Tapi Profesor bilang jangan sampai ada yang tahu, termasuk Ryu, termasuk papa dan mamamu!"
"Ya udah deh, tapi aku nanti ke sana setelah beli sepatu yah."
"Yaelah anak ini. Yang ini gaswat, masih mikirin sepatu aja."
"Ntar aku ama Yuda deh."
"Kalian jadian kemarin?"
"Nggak."
"Eh, Han Jeong. Ini persoalannya genting lho. Koq kamunya begitu sih?"
"Udahlah, kamu nanti ceritain ke aku yah. Lagian aku males kalau ke Bogor pake kendaraan umum. Enak dirimu bisa bawa mobil ke mana-mana. Aku belum punya SIM. Lagian hari ini aku latihan dulu sampai siang. Kalau ada apa-apa di sini kan aku bisa langsung cepat tanggap. Kamu toh bisa jadi operatorku dari jarak jauh."
"Jung Han Jeong, dasar seenaknya saja kamu ini. Ya udah deh. Salam buat Yuda. Bilang padanya ngomong suka ama kamu aja susah banget!?"
"Hanaaaaaaaaa!?"
Hana menutup teleponnya. Dasar anak ini. Manas-manasin aku aja. Aku kemudian menelpon Yuda. Dia langsung mengangkat pada nada dering pertama.
"Yap, halo dengan Yuda di sini!" katanya dengan penuh energetik.
"Wuih, semangat amat?"
"Ya dong, harus semangat. Ada apa?"
"Ntar setelah latihan anterin beli sepatu yak?"
"Beli sepatu?"
"Iyalah, ya ya?"
"Aku sebenarnya nggak suka nganter cewek beli sepatu."
"Heh? Kenapa?"
"Karena mereka itu lamaaaaaa milihnya, trus hanya gara-gara ada embel-embel diskon lima puluh persen model sama dengan harga sama, mereka berebut untuk membelinya. Dan biasanya cewek itu kalau beli sesuatu sampai dua jam. Itu kalau nonton bioskop satu film habis tuh."
"Aarghhh...bawel kamu. Pokoknya anterin aku!"
"Lha, Hana kemana?"
"Hana nggak bisa, makanya ngajak kamu."
"Rita?"
"Yang bener aja. Rita rumahnya jauh. Mau muter-muter angkot tiga kali? No way lah. Kamu kan punya motor di rumah. Pake motormulah, ya ya ya?"
"Ya udah ntar habis latihan kalau begitu."
"Naaahh...gitu dong, kamu kan sahabatku yang paling baik. Hehehehe."
"Dasar, manis cuman kalau ada maunya."
"Biarin, weeekkk...."
Yuda menutup teleponnya. Aku pun segera mandi dan siap berangkat.
Seperti biasa aku pergi ke tempat Yuda pakai sepeda miniku. Baju ganti, aku taruh di keranjang, plus gelang dan beltku untuk berubah sewaktu-waktu. Setelah sampai di padepokan Silat Taring Harimau Putih, aku segera ganti bajuku. Kulihat Yuda sedang dapat menu latihan dari ayahnya. Begitu melihatku datang ia langsung semangat. Hihihihi. Aku jadi malu mengingat-ingat kejadian tadi malam. Bahkan hari ini saja aku sebenarnya lebih malu lagi ketemu dia.
"Eh, ada kak Han Jeong, pagi kaak?!" sapa beberapa anak kecil murid padepokan ini juga.
"Pagi," balasku.
Mereka semua langsung berbaris ketika aku ada. Memang sih untuk mereka yang masih tingkat satu akulah yang jadi seniornya. Pagi itu aku mengajari mereka untuk streching dan pemanasan dulu sebelum nanti Yuda ikut melatih. Tapi pagi itu ada yang lain, aku melihat seorang pemuda membawa pedang kayu di pundaknya jalan sempoyongan masuk ke dalam padepokan. Ryu??
"Akhir
unya nyampe juga," kata Ryu. Ia lalu memegang lututnya sambil tangan satunya bersandar di pedang kayunya.
"Siapa itu?" tanya murid-murid yang lain.
"Kalian latihan sendiri dulu ya," kataku.
Yuda dan aku segera menghampiri Ryu yang loyo banget. Ngapain emangnya dia ke sini?
"Mulai hari ini dia ikut latihan di sini. Tapi koq dia loyo gini sih?" kata Ryu.
"Eh? Latihan? Di sini?" tanyaku.
"Iya, kan kemarin dia bilangnya mau kepengen belajar silat," jawab Yuda.
"Oh iya, aku lupa," kataku.
"Hei Ryu, kenapa kamu?" tanya Yuda.
"Aku baru saja ter
usesato, sema
raman muter-muter
u cari apar
utemen tempat
oku menginap
u akhir
unya aku tanya orang-orang
gu tempat
o a
ramat
o yang kamu tunjukan tadi akhir
unya aku bisa juga nyampe sini," dia tersenyum seperti orang bego.
"Hahahahaha," Yuda ketawa sadis. "Ya udah deh, yuk!"
Ryu nyengir kepadaku. Yuda menggeret Ryu sampai bertemu ayahku. Aku sampai menggeleng-geleng. Edan anak ini.
Hari itu resmilah Ryu jadi murid padepokan ini. Walaupun dengan bahasa Indonesia campuran Jepang, tapi dia termasuk pribadi yang menyenangkan. Hari itu ia berlatih tanpa menggunakan pedang kayu. Ia heran dengan gerakan-gerakan silat. Cepat, keras dan mematikan.
Setelah latihan selesai aku menemui Yuda. Aku sudah ganti baju buat jalan. Bajuku pake celana kombor, kaos lengan pendek sambil nenteng ransel di punggung. Yuda sampai geleng-geleng.
"Kaya' gitu mau cowok deketin kamu. Baju aja tomboy," katanya.
"Biarin, senewen amat sih?" kataku. "Yuk?!"
"Bentar, nyiapin motor dulu," kata Yuda.
Ia mengambil motornya. Motornya cukup gedhe, entah berapa silinder. Aku suka kalau dia bawa motor itu, semacam keren. Heheheh.
"Eh, ka
rian mau ke mana?" tanya Ryu.
"Mau jalan-jalan. Sorry ya, cuma berdua," kataku.
"Nih!" Yuda memberikan sebuah helm full face kepadaku.
"Sakura tidak ikut?" tanya Ryu.
"Sakura?" aku dan Yuda bertanya bersamaan.
"Eh....mm..makusudku Hana, Hana...," kata Ryu.
Sejak kapan Hana punya panggilan Sakura?
"Oh tidak, dia ada urusan," kataku.
"Hmm...wakatta," gumam Ryu.
"Ja matane," kataku sambil melambai ke arahnya.
Ryu menggaruk-garuk kepalanya. Mungkin ia bingung mau ngapain sekarang. Aku juga heran sebenarnya ia tinggal di mana sih? Selama perjalanan ke pusat perbelanjaan aku suka sekali menempel di punggung Yuda seperti kemarin. Nyaman rasanya. Aku pun memeluknya.
"Jangan kenceng-kenceng meluknya," katanya.
"Kenapa?"
"Senjatamu itu menusuk," kata Yuda.
"Senjata apaan?"
"Dua senjata kepunyaan cewek itu!"
Aku baru sadar yang dia maksud dadaku. Aku pun mencoba iseng.
"Kalau aku nempel lebih keras? Apa yang terjadi?" tanyaku sambil tersenyum licik.
CROOOTTT! Tiba-tiba Yuda oleng. Heh? Kenapa? Dia lalu menepi dulu. Aku langsung turun dari sepeda motor dan kulihat helmnya ada bercak darah. Eeehh...?? Dia mimisan? Aku tertawa terbahak-bahak.
"Sadis kamu," katanya. "Punya tissue nggak nih?"
"Yuda, kamu bisa mimisan gitu? Hahahahahahahaha," dengan nggak berperasaan aku ketawa lepas. Aku menyerahkan tissue kepadanya. DIa pun menyeka hidungnya. Puas deh aku kerjain dia.
"Aku tinggalin aja deh kamu," katanya sambil ngambek.
"Hahahahaha, jangan ngambek dong. Aku baru tahu kalau kamu bisa mimisan kalau disentuh cewek kaya' tadi. Hahahahahha," aku ketawa sampai perutku sakit.
"Yaah, tega banget kamu ngetawain aku. Aku gelitikin nih!" ancam Yuda.
"Coba aja!" kataku.
Eh, dia beneran gelitikin aku. Akhirnya di pinggir jalan kami saling kejar-kejaran. Yuda berusaha keras menggelitiki aku. Ya jelas aku kalah, dia gesit banget. Aku sampai ketawa dan minta ampun.
"Ampun Yud, udah...udah! Ahahahahahaah," aku sampai meringkuk di trotoar gara-gara kelakuannya. Dia lalu melepaskanku.
Aku kemudian dia bantu berdiri. Kulihat wajahnya, hidungnya disumpal tissue.
"Bbffttt...bwahahahaahahaha," aku nggak kuat melihat tampangnya. Ketawa lagi.
"Ah rese', nggak jadi aku anter nih!" katanya.
"Iya deh, iya deh, sorry tapi aku nggak tahan ngakaknya. Hahaahhahaha," entah bagaimana caranya aku harus bisa menahan tawaku. Akhirnya aku menarik nafas dalam-dalam. Kuatur nafasku. Hingga aku sudah bisa normal lagi, nggak ketawa lagi.
Kasihan aku ama Yuda, akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan, hanya saja kali ini aku tidak terlalu menempel kepadanya. Padahal tadi malam aku nempel ama dia. Koq dia nggak mimisan sih?
Akhirnya setelah beberapa menit di jalan kami pun sampai di pusat perbelanjaan. Yey, waktunya beli sepatu. Aku nggak mau lama-lama milih sepatu. Kepingin nyari model yang sama seperti yang aku lemparin ke robot tadi malem. Setelah muter-muter sampai bikin Yuda bosen, akhirnya ketemu juga. Aku langsung membungkus sepatu itu, soalnya modelnya bagus sih. Warnanya coklat ama abu-abu, kulitnya seperti anyaman gitu trus ada pita di ujungnya. Haknya cukup tinggilah, tapi dasar aku kan tipenya pendek. Gitu aja masih ngelihat Yuda sedikit dongak.
"So, gimana?" tanyaku. "Cakep kan?"
"Cakep deh, cakep," jawabnya.
"Ayolah Yud, jangan pasrah kaya' gitu," kataku.
"Kamu itu pake apa aja cakep koq Jung, hanya saja......,"
"Hanya saja apa?"
"Lebih cakep nggak kalau nggak pake apa-apa."
Aku langsung memukulnya, Wussh! Eh, dia bisa berkelit. Gila ini cowok refleknya kuat banget.
"Dasar otak mesum!" kataku gusar.
"Bercandalah, aku aja blom pernah lihat kamu koq," katanya.
Aku tersenyum kepadanya.
"Kenapa?" tanyanya.
"Thanks yah, kamu emang temenku yang paling baik," jawabku.
Dia balas dengan senyuman pula.
Setelah selesai aku mengurus pembayaran dan lain-lain, akhirnya kami pun keluar dari toko. Ada telepon masuk, dari Hana. Aku lalu pasangkan ke headsetku. Aku tekan tombol call.
"Yap Hana? Ada apa?" tanyaku.
"Kamu di mana?" tanyanya.
"Di mall sama Yuda," jawabku.
"Oh, aku ada kabar sedikit mengejutkan nih. Ntar pasti seru," katanya.
"Kabar apaan?"
"Ada deh, kalau dilihat-lihat tujuan Ryu ke Indonesia ini sepertinya lebih daripada mengambil Project Super Human Soldier Gnome-X."
"Trus?"
"Kelihatannya ini ada hubungannya ama Putra Nagarawan yang sekarang ini sedang melaju untuk pemilihan presiden. Orangnya kan dulu pernah jadi presiden di era sebelum kita lahir. Sekarang dia mau lagi."
"Emang boleh ya?"
"Ya boleh saja kan? Toh orangnya masih kuat, walaupun umurnya sudah kepala tujuh."
"Trus apa hubungannya Putra Nagarawan ama project itu?"
"Ada deh, ntar aku kasih tahu. Kamu ama Yuda kencannya lama nggak nih?"
"Kami tidak kencan!" aku sedikit berteriak.
Yuda yang berjalan di depanku segera menoleh ke arahku, berikut orang-orang yang lain yang melintas di dekatku. Aku nyengir dan memberi isyarat minta maaf.
"Iya iya, nggak kencan. Tapi ya jangan seperti neriaki maling dong, kupingku sampai budeg nih."
"Hehehehe, sorry. Oh iya, by the way busway, kamu hubungannya ama Ryu deket yah?"
"Hah? Deket apaan? Gosip dari mana?"
"Lha, tadi dia nanyain, 'Sakura di mana?' gitu. Aku kan bingung siapa Sakura, eh ternyata kamu yang dimaksud. Hayooo, kalian ada apa hayo? Pantes saja kemarin diajak dansa ama kamu dianya mau aja," kataku sambil ngikik.
"Nggak ada apa-apa, suer. Aku aja jarang ngobrol ama orangnya. Bahasanya aneh gitu," kata Hana.
"Nggak percaya deh aku, Sakura," godaku.
"Ihhh...ini anak, dibilang aku nggak ada hubungan apa-apa koq. Kenal aja barusan," Hana membela diri.
"Ya udah deh, ntar aku ke rumahmu yah, sekalian kepengen ketemu ama Om Junior," kataku.
"Ya ya, habis jam 6 malam aku ada di rumah. Aku tunggu," kata Hana.
Aku melihat orang-orang berhamburan masuk ke dalam mall. Mereka sepertinya melihat sesuatu. Aku dan Ryu berpandangan.
"Eh, Han Jeong, kaya'nya ada sesuatu yang nggak beres deh. Kamu di kawasan pusat perbelanjaan kan? Aku melihat di salah satu CCTV-nya ada sesuatu, orang-orang sedang berlarian," Hana menjelaskan sesuatu.
Aku segera keluar dari mall. Dan aku dapati ada dua robot mengamuk di luar sana dengan melempar-lemparkan mobil. Tipenya kali ini beda.
"Aku lihat koq, robotnya lebih gedhe dari sebelumnya," kataku.
"Iya, dari layar monitor aku lihat. Model W-233," kata Hana. "Kamu di mana?"
"Aku baru saja keluar dari mall."
"Oh iya, aku lihat kamu. Coba kamu tengok ke atas sebelah kanan."
Aku menengok ke atas sebelah kanan. Ada kamera CCTV di sana. Rupanya Hana melihatku dari sana. Dia pasti menghack sistem keamanan mall ini.
"Waduh, kamu ada Yuda yah? Gimana berubahnya tuh?" tanya Hana.
"Aku nggak tahu," jawabku.
"Robot yah? Kesempatan nih," kata Yuda.
"Eh, Yud?? Kamu mau kemana?" tanyaku.
"Mau nyoba ilmuku," jawabnya sambil tersenyum. Nah, kalau model-model seperti ini, dia sedang on fire buat berkelahi.
Yuda berlari ke arah robot yang mengamuk tadi. Dia langsung memukul salah satu robot. DUAKK! Ya jelas kuat dong, robot terbuat dari besi eh, dia malah mukul dengan tangan kosong. Bego banget sih? Aku menepok jidatku sendiri.
"Kesempatan deh," gumamku. Segera aku pergi ke toilet. Tentu saja buat berubah. Nggak keren kan? Superhero seimut aku harus berubah di toilet. Yah, mau gimana lagi, nggak ada telepon umum yang bisa buat berubah. Beruntunglah daripada toilet di terminal buat berubah.
Singkat cerita aku sudah berubah. Kepingin aku nolong itu Yuda, jadi cowok koq bego banget. Ngelawan robot pake tangan kosong. Huh! Mas-mas penjaga toilet terkejut melihat Black Knight keluar dari toilet.
"Lho lho lho?" orangnya kaget melihatku.
"Misi mas, numpang lewat," kataku.
Dia hanya melongo sambil membiarkanku lewat. Aku segera keluar dari mall. Aku lihat Yuda masih berusaha melawan kedua robot itu. Robotnya gerakannya lambat. Makanya Yuda bisa menghindar dengan mudah. Ia bahkan berusaha melepaskan kabel-kabel yang ada di salah satu robot. Halah, sok kuat sih dia. Tapi aku melihat keceriaan di wajahnya. Ia seperti menikmati apa yang dia lakukan.
Secepat kilat aku sudah berada di depan robot yang satunya. Yuda terkejut melihatku.
"Wah, Black Knight! Apa kabar mbak!?" sapanya.
Aku mengangguk. "Baik mas."
Aku lalu menoleh ke arah robot yang ada di depanku. Body-nya yang sangat besar itu mau menghantamku. Dengan satu tangan aku menahannya. BLAAM! Yup, karena tenagaku besar, jadi hantaman robot ini bisa dengan mudah aku tahan. Bahkan sampai kakiku ambles ke tanah.
"Operator? Apa aku bisa menghancurkan benda ini?" tanyaku kepada Hana.
"Hancurin saja, dia dari tempat pembuangan. Sepertinya ada orang yang merakitnya kemudian membuat mereka seperti itu."
"Bukan dihack lagi?"
"Tidak yang ini."
Aku kemudian menekan tombol 3, 3, 3. Kemudian dari gelang tangan kananku muncul para nanobot membentuk sebuah pedang yang terpasang di lengan. Cepat sekali, hanya dua detik. Kemudian, aku memotong lengan si robot ini. ZRASHH! BET! ZRASHH! Kemudian lehernya aku potong. Hingga robot itu pun tak berkutik lagi. Satu hal yang membuatku heran. Bagaimana robot ini bisa muncul?? Dari mana datangnya. Aku kemudian melihat ke robot satunya. Ternyata Yuda sudah membereskanya. Heeehh?? Gimana caranya?
OH, ternyata dia mencobot sebuah sirkuit yang ada di tengkuk sang robot. Pintar juga dia.
"Makasih Yud!" kataku.
"Sama-sama...bentar!"
Ups, koq aku panggil namanya sih?
"Dari mana kamu tahu aku Yuda? Kamu siapa?" tanyanya.
Aku tak menjawab, segera aku berlari cepat. Wusshh! Aku masuk ke dalam mall, kemudian masuk ke toilet lagi tempat di mana ranselku masih ada di sana, kemudian buru-buru aku cabut semua gelang dan beltku. Aku berubah jadi manusia normal lagi. Buru-buru juga aku keluar dari toilet tapi mas-mas penjaga toilet menahanku.
"Eitt! Tunggu dulu nona! Bayar dulu!" katanya sambil menunjuk ke kotak uang.
"Hadeeeeehhh!" aku merogoh uang kemudian masukin uang ke kotak uang lalu segera berlari keluar dari toilet.
Di luar polisi dan pasukan anti huru-hara sudah datang. Yuda sudah menyingkir dari sana. Dia tampak mencari-cariku.
"Heh? Dari mana saja kamu?" tanyanya.
"Dari toilet," kataku.
"Orang ada keadaan genting malah ke toilet."
"Yaah, maaf," kataku.
"Pulang yuk?!"
"Robotnya? Udah aku kalahkan satu, satunya dipotong-potong ama Mbak Black Knight," katanya.
"Ohh...,"
"Tapi ada yang aneh."
"Apaan?"
"Koq dia tahu namaku ya?"
Aku mengangkat bahuku.