Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Ma, Pa, maafkan Anggu

RoroLilith

Semprot Holic
Daftar
18 Aug 2018
Post
368
Like diterima
1.513
Lokasi
Tartarus
Bimabet
Cerita ini adalah cerita Fiktif dan Fiksi. Nama tokoh dan kejadiannya juga khayalan. Dimohon untuk tidak meniru dan melakukannya dikehidupan kalian. Cerita ini tidak ditujukan sebagai alat untuk mengajak dan melakukan hal yang sama seperti dalam cerita. Lakukanlah hubungan seks yang aman dan tanpa menyakiti pasangan kalian.


Terimakasih dan selamat membaca.






Hari itu tiba-tiba teman-temanku mengusulkan ide liburan bareng. Salah satu temanku yang anak jurusan antropologi mengajakku pergi ke suatu pulau. Katanya di sana ada suku pedalaman yang akan mengadakan ritual unik sekali dalam 49 tahun. Dia ingin kesana mengajak kami jalan-jalan sekaligus ngumpulin bahan penelitian untuk tesis S2 nya. Aku gak hobi sih yang begituan. Aku gak ngerti budaya dan sejarah. Tapi karena pengen jalan-jalan akupun setuju untuk ikut.

Namun ternyata orangtuaku melarangku untuk pergi. Mereka khawatir denganku karena aku akan pergi ke tempat yang tidak dikenal. Aku tetap bandel, diam-diam tanpa sepengetahuan mereka aku pergi juga. Nomor orangtuaku aku blokir untuk sementara. Aku kan juga pengen jalan-jalan. Masa di rumah terus!

Kami yang berjumlah 4 orang akhirnya sampai di pulau tersebut. Dua cowok dan dua cewek termasuk aku. Untuk menuju ke sana kami harus menyewa perahu motor dengan waktu tempuh 4 jam.

Di sana kami disambut ramah oleh penduduk setempat. Dengan bantuan penerjemah kami bisa berkomunikasi dengan mereka. Rencanganya kami akan menginap selama 3 hari di sini. Aku perhatikan mereka seperti tidak terpapar oleh dunia modern. Pakaian mereka hanya dari pelepah pohon yang dikeringkan. Rumah serta peralatan keseharian mereka begitu sederhana. Untuk makan mereka peroleh dari berburu dan bercocok tanam. Jangan tanyakan ada sinyal dan internet di sini. Peralatan paling canggih dari mereka hanyalah pisau yang terbuat dari batu. Aku seperti terlempar 5000 tahun ke masa lalu!

Kami menghabiskan waktu dengan mengamati keseharian mereka. Meski penuh kesederhanaan tapi mereka terlihat bahagia. Beda sekali dengan masyarakat kota.



“Anggu!! Yuk jalan-jalan...” ajak salah satu temanku.

“Kemana? Emang kamu tahu daerah sini? Nanti kalau tersesat gimana?” balasku.

“Tenang aja... gak bakal tersesat kok”

Aku akhirnya setuju. Aku dan 2 orang temanku, satu cowok satu cewek, kemudian jalan-jalan menikmati pemandangan. Meninggalkan Toni yang sibuk tanya jawab dengan tetua suku untuk bahan penelitiannya.

Pemandangan di sini memang luar biasa indah. Masih asri banget. Kami berjalan dari hutan sampai ke pantai. Kami main air laut dan main pasir. Setelah puas kami memutuskan untuk kembali. Kami kembali masuk ke hutan menuju pemukiman tadi. Tapi... sepertinya kami tersesat.

“Tuh kan dibilangin juga apa!!” seruku. Aku takut sekali. Tersesat di tempat seperti ini gak enak banget.

“Ayo-ayo jangan takut...” ujar temanku yang cowok bernama Arya.

Kami mencoba berteriak meminta tolong. Tapi tak ada yang menyahut. Pohon disini besar-besar dan lebat. Cahaya matahari sampai susah tembus. Selain suara langkah kaki dan teriakan minta tolong kami, yang terdengar hanyalah suara burung dan suara dedaunan. Jalan yang sempit membuat kami harus berjalan berbaris.

Putus asa tidak menemukan jalan kembali ke pemukiman. Kami mencoba untuk kembali ke pantai. Berharap ada yang menemukan kami di sana. Tapi ternyata kami hanya berjalan berputar-putar. Kami tidak pernah keluar dari hutan lebat ini. Berulang kali kami justru kembali ke posisi yang sama. Kami betul-betul tersesat!!

“Ria... mana Arya tadi?” tanyaku saat menyadari Arya tidak berada bersama kami.

“Hah? Tadi dia masih ada di belakang aku!! Angguuuu... gimana nih?” jawab Ria ketakutan.

“Huh... sialan tuh Arya, kemana sih dia?” ujarku kesal sekaligus takut.

Aku sendiri gak kalah takut. Sekarang hanya ada aku dan Ria. Dua orang cewek tersesat di tengah hutan. Aku bingung banget kenapa Arya bisa hilang misterius gitu.

“Sekarang gini... kita harus ngobrol terus, gak boleh diam... dan harus terus pegangan tangan, okeh? Kita harus kuat, jangan takut” ujarku pada Ria sekaligus menyemangati dia.

Aku dan Ria lalu melanjutkan perjalanan. Tapi sejauh apapun kami melangkah. Kami selalu berakhir di tempat awal. Hutan ini membuatku bingung.

Hari semakin gelap. Matahari sudah mau terbenam. Sumpah aku takut banget. Hingga kemudian aku menyadari satu hal. Kalau dari tadi ada yang mengawasi kami. Tapi aku tidak memberi tahu Ria karena gak ingin membuat temanku itu makin takut.

“Arya?” ujar Ria tiba-tiba melihat ke arah samping.

“Anggu... itu Arya bukan?” tanya Ria padaku sambil menunjuk jauh. Aku melihat ke arah yang ditunjuk Ria. Di kejauhan ada suatu sosok yang berdiri menghadap kami. Aku tidak bisa melihat dengan jelas siapa di sana. Soalnya jauh banget, dan hari juga sudah mulai gelap. Meskipun begitu, aku tahu satu hal. Itu... bukan Arya.

“Ria, itu sepertinya bukan Arya deh...” ujarku.

“Terus siapa? Ya udah, kita minta tolong dia aja minta anterin ke pemukiman”

“Kayaknya gak usah...” jawabku.

“Kok gak usah?”

“Iya gak usah deh... kita jalan lagi yuk...” ajakku.

“Hah? Mana orang tadi?” tanya Ria bingung. Aku melihat ke arah tadi. Benar. Sosok tadi sudah tidak ada. Aku meraih tangan Ria dan mengenggamnya erat. Adrenalinku memacu kencang. Aku gak pernah setakut ini. Meskipun aku berusaha tegar, tapi aku hanyalah seorang wanita yang lemah.

“Yuk kita pergi” ajakku dengan suara parau. Tapi tiba-tiba Ria berteriak.

“Anggu... tuh dia!!”

“Hah??!!”

SOSOK ITU TIBA-TIBA ADA DI SAMPINGKU!!!!!

Bersamaan dengan itu Ria berteriak kencang. Suara teriakannya kemudian menghilang. Pandanganku buram. Pendengaranku hilang. Semuanya kemudian menjadi gelap. Aku kemudian tak sadarkan diri.

***

Aku tersadar dengan kondisi tubuh terikat dengan kepala ditutup kain kasar seperti karung goni. Namun aku dapat merasakan kalau suasana di sekitarku begitu ramai. Tak lama kemudian tutup kepalaku dibuka. Dalam kodisi gelap, tiba-tiba suasana disekitarku penuh dengan cahaya yang membuat sepasang mataku silau. Lama-kelamaan, retina mataku dapat menyesuaikan dengan cahaya tempatku berada. Yang awalnya terlihat buram, kini aku dapat melihat dengan jelas semua yang ada dihadapanku. Aku sudah kembali berada di pemukiman penduduk. Aku berdiri dan sepasang tanganku terikat di punggung belakang dan berada di tengah-tengah orang-orang suku pedalaman ini.

“Apa.. apa ini? Apa yang kalian lakukan terhadapku? Lepaskan!!!! Lepaskan!!” ujarku berteriak dan memberontak.

Sayangnya, seberapa keras aku berusaha, tetap saja aku tidak dapat melepaskan ikatan tali pada pergelangan tanganku. Apalagi ada 2 orang pria bertubuh kekar berdiri di belakangku dan memegangi lengan kiri dan kanan.

Aku melihat tetua suku berbicara dalam bahasa daerah yang tidak dapat kumengerti. Lalu,....

KRAAAAAAKKKK…..

“Jangan…. Plis jangan….” ujarku saat pria di belakangku merobek jilbabku.

“AAAAGGGHGHGHHHH AGGUGHHH” Aku meronta karena kerudung yang mereka tarik melilit leherku dan membuatku tercekik susah bernafas.

Kepalan tangan pria merobek jilbabku helai demi helai hingga wujud kain jilbabku seperti kain lap. Rambut panjangku tergerai terlihat oleh seluruh insan yang menatap tajam kearahku. Dalam agama yang kuanut, rambut adalah aurat yang harus kututupi, tapi kini sudah terlihat oleh mereka.

Saat kepalan tangan salah satu pria menggapai kerah kemejaku dari arah depan, akupun berusaha memberontak. Walaupun aku tidak punya daya upaya dan kalah dalam bentuk tubuh juga kekuatan dari dua pria ini, aku tetap berusaha. Agamaku mengajarkanku untuk selalu berusaha walaupun kemungkinan harapan keberhasilan itu kecil.

KRAAAAKKKK…..

Kancing-kancing dari bagian atas sampai bawah lepas dan jatuh berhamburan dihamparan tanah liat yang mengering. Sebagian kancing menggelinding sejauh 3 meter. Bisa dibayangkan, berapa energi yang dikeluarkan hingga dia berlaku kasar merobek paksa pakaian yang bahannya dari helaian benang sutra. Bagian depan tubuhku sudah terlihat oleh orang-orang yang ada dihadapanku. Kira-kira 38 orang. Masih banyak dari mereka yang menatap senang dengan kondisiku. Tentu saja, orang orang disamping kiri, kanan, serta belakang yang mengelilingiku tidak dapat bagian aurat tubuh depanku. Ke 38 depan orang yang melihat ke arahku hanya melihat kulit dada dan perut. Sepasang buah dadaku masih aman tertutup oleh bra berenda yang sebagian basah oleh keringatku.

Seorang pria menjaga mendekap tanganku. Mungkin berjaga-jaga agar ikatan tali pada pergelangan tanganku tidak lepas. Saat menunduk kebawah, baru kusadari bahwa sepasang kakiku juga terikat oleh sebuah tali yang terbuat dari pelepah daun kering yang dililit rapi seperti tali tampar.

KRAAAAAAAAAKKKKK KRAAAAAAAAAKKK

Dari arah belakang tubuhku, pakaianku dirobek-robek. Aku dapat merasakan hembusan udara dingin yang menerpa secara langsung ke kulit punggungku, juga hempasan dari lembaran kain pakaian yang sobek berkibar-kibar mengenai punggung bagian bawahku. Pasti mereka dapat melihat aurat kulit punggungku. Aku.. aku harus bisa melawan… tapi, kekuatanku tidak seimbang. Pergelangan tanganku yang terikat dipegang kuat olehnya. Dengan tanpa perlawanan berarti, sobekan demi sobekan pada sisa-sisa pakaian yang menggantung di pundak kiri dan kanan ia loloskan hingga tubuh atasku hanya mengenakan bra.

“To..long… jangan seperti ini.. Aku mau pulang… huuuuuu” ujarku sambil berurai air mata. Mereka tidak menggubris. Para penduduk malah tertawa mendengar ucapanku. Aku bukan diperlakukan seperti manusia, tapi sebagai makhluk rendahan. Tidak ada empati dalam diri mereka.

CTAAAAAAKKKK……

“Aaawwwwwww.. Sa..sakit” ujarku.

Kaitan tali bra dipunggung ia tarik. Bukannya putus, tapi dilepas hingga tali pengait yang sedikit elastis membentur kulit punggungku. Rasanya sakit sekali. Mungkin kulitku memar dan membekas merah.

Aku dapat merasakan tali pengait di punggungku sudah putus, lalu ia sibakkan ke kiri dan ke kanan pengait bra di pundak kiri dan kanan hingga menggantung di samping lenganku. Kulihat sepasang tali bra di pundakku juga putus, lalu seorang pria yang ikut merobek-robek kemejaku berdiri dihadapanku. Sepasang jemari tangan kotornya ia selipkan di bra yang membungkus buah dadaku. Tentu ia bisa merasakan kekenyalan buah dadaku yang ia masukkan di antara bra berenda bagian atas dan kulit buah dadaku.

Dengan cepat, ia menarik bra yang ia genggam lalu dilempar ke tanah. Aku terpejam. Aku malu. Buah dada yang belum pernah dilihat oleh orang selain muhrimku dipertontonkan ke semua pasang mata manusia yang ada dihadapanku. Terdengar suara tawa dari penduduk, baik laki-laki maupun perempuan. Semuanya bercampur aduk seperti paduan suara. Aku membuka sepasang mataku. Aku menunduk melihat buah dadaku yang menggantung terpampang jelas dihadapan mereka.

Pria yang melepas braku memegang buah dadaku dengan kasar. Ia menarik sepasang putingku dan menampar-namparnya. Ia berbicara dengan bahasa suku yang tidak aku mengerti. Apa yang akan terjadi padaku? Aku tidak mau mati…. Tolong… siapapun.. Tolong aku… Aku menjerit dalam hati sambil terisak-isak berurai air mata.

Sepasang tangan pria yang melepas braku tadi sekarang melepaskan resleting celana jeanku. Kemudian pria yang memegang tangan dari belakangku memeluk tubuhku lalu mengangkatnya. Sontak aku memberontak, tapi aku ditampar oleh pria yang ada dihadapanku. Aku belum pernah diperlakukan seperti ini, bahkan orang tuaku tidak pernah menamparnya. Dengan kasar celana jeanku ia turunkan hingga dibawah lutut. Ia juga melepaskan tali di pergelangan kakiku untuk meloloskan celana jean. Entah mengapa dia tidak merobek jeanku. Mungkin perlu tenaga ekstra untuk melakukannya. Tidak seperti kemejaku yang ia robek-robek dengan mudah. Setelah celana jeanku lepas. Kini aku hanya mengenakan celana dalam berwarna coklat muda. Sepasang pergelangan kakiku ia ikat kembali.

KRAAAAKKK…

Saat tubuhku diturunkan oleh pria di belakangku, celana dalamku dirobek dari sisi pinggul kiri dan kanan. Kemudian kain celana dalam bagian depan ia tarik hingga aku kini telanjang bulat.

Aku sungguh malu telanjang seperti ini. Tubuhku yang selalu kurawat dan hanya boleh dilihat oleh suamiku kelak, sekarang mereka dapat melihatnya tanpa adanya ikatan pernikahan. Mereka tertawa melihat kondisiku yang telanjang bulat tanpa pakaian sama sekali. Seluruh auratku terbuka di hadapan penduduk pedalaman ini! Walaupun mereka tidak bisa melihat kemaluanku karena tertutupi oleh jembutku yang lebat, tapi aku tetap malu. Memang aku selalu merawat tubuhku. Luluran rutin, mencabut bulu ketiak juga rutin, tapi tidak untuk rambut kemaluanku. Aku merasa rambut kemaluanku tidak perlu dicukur, karena tidak ada manfaatnya. Memang sih, dalam agama yang kuanut, hanya wajah dan telapak tangan saja yang boleh diperlihatkan oleh orang lain. Tapi untuk ketiak, aku merasa risih aja kalau tidak dicabut. Apalagi saat beraktivitas dan berkeringat, pasti bubur ketek lengket di bulu-bulu ketiak. Iiihh jijik banget. Akan tetapi perasaan risih itu tidak berlaku untuk rambut kemaluan. Sejak puber sampai sekarant, aku membiarkan rambut kemaluanku tidak dicukur. Kubiarkan tumbuh lebat.

Oh Tuhan!! Apa itu!? Aku melihat di samping kiri ada seseorang yang memegang kepala Ria. Ya.. hanya kepala Ria! Apa yang mereka lakukan pada Ria!? Orang itu kemudian menaruh kepala tersebut ke atas meja yang terbuat dari batu gunung berwarna hitam. Aku lebih kaget lagi kali ini. Ke dua teman-temanku ternyata semua ada di atas meja itu. Hanya kepala mereka saja!! Apa yang sebenarnya terjadi di sini!!? Kepala temanku berjejer dari samping kiri kepala Ria dan kanan kepala Arya. Sepasang mata mereka semua terbelalak dengan mulut terbuka penuh darah. Lalu, dimanakah Toni?

Seseorang yang merupakan tetua suku di sini kemudian mendekat ke arahku. Aku meronta untuk melepaskan diri. Aku takut banget. Dia lalu berkata-kata dengan bahasa yang tidak kumengerti.

“Dia mengucapkan terima kasih karena kalian sudah datang ke sini” ujar seseorang, yang merupakan penerjemah kami. Aku hanya manatap bingung.

Tetua suku itu lanjut berkata-kata diiringi penerjemah.

“Dia senang sekali kalian bisa ikut memeriahkan ritual kami”

“Betul-betul persembahan yang sempurna”

“Sekarang persembahan terakhir”

“Untuk kita nikmati dan makan bersama”

“Kami akan berdiskusi akan dimakan seperti apa”

Tetua suku lanjut berkata-kata yang kali ini ditanggapi heboh oleh para penduduk sekitar.

“Kami putuskan untuk merebus kamu hidup-hidup” ujar si penerjemah kemudian.

“Hah? Enggak!! Tolooongg!! Lepasin!!” seruku semakin memberontak. Tapi kemudian pria yang memegang tubuhku di samping kiri dan kanan meninju perutku secara bergantian. Mereka meninju tepat di ulu hatiku hingga membuatku hampir mual-mual. Aku terdiam manahan sakit sampai gak bisa berkata-kata.

Aku yang selalu merawat tubuhku. Yang selalu menjaga tubuhku tetap bersih dan mulus, kini sesorang sudah membuat perutku memar membiru.

“Aaaaaaahhhhh... sakiitttt... ampuuuunnn” teriakku kemudian setelah sekian lama terdiam menahan sakit.

Ketua suku itu kemudian berkata-kata lagi.

“Jangan takut anakku... berbanggalah karena engkau jadi persembahan terbaik oleh dewa untuk kami makan” ujar si penerjemah.

“Tidaaak... aku gak mau... hentikan!!” teriakku.

Tapi sia-sia. Sebuah panci raksasa dari tanah liat kemudian ditaruh di atas bara api. Aku kemudian menyadari kalau bahan bakar pelengkap kayu bakar di sana adalah tubuh teman-temanku!

Oleh dua pria disampingku, tubuhku kemudian di bawa. Mereka kemudian melepaskan ikatan pada pergelangan tangan di punggung dan pergelangan kakiku.

BYUUURR….

Tubuhku dimasukkan ke dalam panci yang penuh berisi air tersebut. Air yang tadinya penuh sampai tumpah mengenai kayu bakar yang sudah menyala oleh kobaran api, tapi karena air yang tumpah tidak banyak, sehingga api hanya padam sebagian kecil saja. Air yang menggenangi tubuhku masih terasa dingin, hanya dasar pancinya saja yang terasa sedikit hangat. Tidak tinggal diam, selagi tanganku tidak terikat, aku meraih pinggir panci untuk meloncat keluar. Tapi belum sempat aku meloncat seseorang mendorong tubuhku dengan tongkat kayu sehingga aku terpental kembali ke dalam panci. Tinggi panci ini sebatas leherku. Genangan air bergelombang akibat pemberontakanku berayun-ayun menghempas kekiri, kekanan, kedepan dan kebelakang. Jika aku menjinjit, pundakku tidak tergenang air.

Pantang menyerah, aku kembali mengulanginya. Tapi saat aku hampir keluar aku kembali didorong, bahkan kayu panjang yang dipegang oleh 5 pria mengelilingi panci, beberapa diantaranya mendorong ujung kayu hingga mengenai buah dadaku. Salah satunya juga memukul dan mendorong pundak dan leherku. Aku mengulanginya lagi dan lagi, tapi mereka selalu menahan tubuhku tetap di dalam panci. Terakhir, mereka memukulkan kayu dikepalaku. Uuggghhh sakit sekali...

Air semakin panas. Aku mulai panik. Dasar panci semakin perih dan gak bisa kuinjak lagi. Aku mencoba mengangkat kakiku, tanganku berpegangan di pinggiran panci menahan berat badanku. Tapi lagi-lagi tanganku didorong sehingga aku gak bisa berpegangan di pinggir panci.

Aku pasrah, kakiku serasa perih terbakar. Airnya semakin panas. Rasa perih dan panas itu kemudian menjalar dari kaki ke seluruh tubuh. Perlahan tapi pasti, seluruh bagian panci kini sudah sangat panas. Airnya sudah mendidih. Dengan aku yang berada di dalamnya. Aku mencoba bertahan dengan mengakangkan kakiku dan telapa kakiku menghentak dinding panci kiri dan kanan. Aku coba menekan sepasang kakiku berharap panci tanah ini pecah. Tapi, itu semua sia-sia. Air panas menguras seluruh tenagaku.

Kulitku yang terawat, kini melepuh. Kulitku yang putih mulus, kini pucat dan kemerahan karena direbus. Pandanganku mulai kabur. Udara yang kuhirup dari hidungku bukanlah oksigen lagi, melainkan uap air yang mendidih. Uap air yang panas saat kuhirup terasa sakit menusuk tenggorokan dan paru-paruku.Kesadaranku mulai hilang. Panasnya terasa sampai Batang leherku. Aku lepas.. Hingga sepasang kakiku tidak bisa menahan dengan mengakang di dinding panci. Akhirnya, dengan sendirinya kakiku tidak menekan panci dan menyebabkan tubuhku semakin tenggelam. Genangan air yang sebatas leherku kini aku tenggelam dan air panas merebut kepala. Otakku serasa panas dan seperti mau pecah.

“Pa..panas... tolong... hen..ti... kan... a... aku... gak sanggup... to... long...” ujarku dalam hati.

Tidak ada yang merespon dari jeritan hatiku. Mereka semua justru tertawa riang melihatku.

Aku semakin terbenam di air mendidih. Akupun menghirup air panas dan masuk membakar paru-paruku. Jantungku sedikit berdetak sesaat, lalu berhenti.

Seandainya... seandainya aku mendengar perkataan orangtuaku. Seandainya aku menuruti perkataan mereka yang melarangku pergi, mungkin aku tidak akan berakhir seperti ini.

Tapi terlambat... semua sudah terlambat...

...

...

...

Ma... Pa... jika Anggu punya dosa... maafkan Anggu…

Pandanganku menjadi gelap….









Terdengar suara keramaian di sekelilingku. Pandangan dihadapanku masih tetap berada di suku primitif ini. Dimana.. Dimana aku? Bukankah aku sudah mati? Aku semakin terkejut dengan keberadaanku yang berada dalam sebuah botol gelas bening berukuran kecil yang terikat di ujung tongkat ketua suku.

“Hahahahahahahahahah… akhirnya kamu sadar” ujarnya.

Entah mengapa, aku mengerti dengan bahasa yang ia ucapkan.

“Kamu pasti tidak tahu, sebagai tumbal, arwahmu aku kurung dalam botol ini. Kamu tidak akan bisa kemana-mana. Ahahahahahaha” ujarnya.

TIDAK… ini tidak boleh terjadi.. Aku berusaha mendobrak botol kaca ini tapi tidak bisa.

“Lihat dihadapanmu!!!” ujarnya sambil menaikkan tongkat kayu.

Aku terbelalak. Ternyata tubuhku masih direbus. Aku dapat melihat kepalaku yang mengapung miring dengan rambut menyebar dalam air yang mendidih. Tubuhku kini warnanya putih pucat. Entah berapa lama tubuhku direbus dalam kuali raksasa yang terbuat dari tanah liat itu.

Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata ketua suku ini mengenakan pakaian dari kulit sahabatku, Ria!!!! Aku dapat mengenalinya, karena buah dada sebelah kiri terdapat tato bunga mawar serta tangkai berduri disamping areolanya. Juga cincin tindik berwarna emas di pangkal puting kirinya. Di pinggulnya terdapat penis yang diikat menggantung.

Tiba-tiba 7 pria mengambil kayu dan mengangkat tubuhku dari kuali raksasa itu. Mereka juga membungkus tangan mereka dengan dedaunan seperti kaos tangan, lalu memegangi tubuhku dan dibawa ke meja kayu berukuran besar. Tubuhku di telentangkan. Terlihat uap panas dari kulitku yang mengepul. Ketujuh pria itu pergi, lalu datang 3 nenek-nenek. Ia membelah perutku dengan sebuah pisau dari potongan batang bambu. Mereka membelah perutku dari ulu hati sampai dibawah pusar dan diatas rambut kemaluanku. Saat dibelah dan dibuka lepas, uap panas keluar dari sela-sela sayatan. Dengan supit, ia mengeluarkan usus dan perutku. Ia manaruhnya dalam wadah dan dilemparkan ke tanah. Kemudian 6 anjing datang memkan usus kecil, usus besar, dan perutku. Mereka lahap sekali memakannya sampai tidak ada yang tersisa. Bahkan feses di usus besarku juga dimakannya.

Sepasang kakiku dibuka lebar mengakang. Dengan jari, nenek nenek tersebut mencabut bulu kemaluanku. Kini semua orang bisa melihat kemaluanku yang bersih bebas bulu. Salah seorang Nenek memasukkan sebatang lidi ke lubang kencingku sambil salah satu telapak tangannya menekan-nekan bagian atas kemaluanku di atas tulang pubis dan di bawah pusar. Saat ditekan kemudian batang lidi dicabut, seketika air panas mengucur deras dari lubang kencingku. Aku tidak mengira, air kencing dalam kandung kemihku masih panas. Ia lakukan menekan berulang-ulang memastikan bahwa air kencing dalam kandung kemihku keluar semua. Kulihat memekku dibuka lebar. Tampak jelas memekku yang masih perawan dengan hymen yang masih utuh. Saat tangannya membuka memekku, uap panas keluar dari lubang memekku. Aku heran, jarinya sanggup menahan membuka labia memekku yang masih panas tersebut. Salah satu tangan nenek tersebut mengambil sepotong jagung mentah yang sabutnya sudah dikupas, lalu ia memasukkan ujung jagung berukuran besar ke memekku dengan perlahan, merusak, menghancurkan selaput daraku. Pelan-pelan, setengah bagan jagung itu sudah masuk terbenam didalam rongga kemaluanku. Aku dapat melihat kemaluanku merenggang sangat lebar. Bahkan, saat jagung didorong, klistoris membentur biji-biji jagung yang ada dibawahnya. Begitu pula labia minora juga terdorong ikut masuk kedalam memekku sampai batang jagung menyisakan 5 persen dari panjang jagu berada diluar memekku. Tidak hanya memek, anuskupun juga dimasukkan sesuatu. Tapi bukan jagung, melainkan terong hijau yang ukuran diameternya sama dengan jagung, namun lebih panjang. Kulihat nenek satunya mengeluarkan organ hati, jantung, rahim, ginjal, pankreas, paru-paru dan lain lain. Nenek tersebut menyerahkan organ rahimku yang sudah dipotong ke ketua suku.

"Hehehehe. Rahimmu yang masih perawan ini pasti enak. Ini masih setengah matang" ujarnya menunjukkan padaku kemudian diserahkan ke nenek tersebut. Kulihat nenek yang memegang rahimku memasukkan saus kental berwarna coklat kedalam lubang servikku. Lalu, setelah saus masuk, lubang servikkku disumpal oleh butiran biji jagung, lalu sebilah ranting kayu manis. Uterusku tampak menggembung berisi saus.

Bagian dalam perutku yang kosong oleh organ hati, paru paru dan sebagainya di isi oleh beras, biji jagung, serta potongan organ hati, jantung yang sudah dipotong dadu. Setelah dimasukkan, mereka menjahit permukaan perutku dari ulu hati sampai dibawah pusar.

DDUAAGG….DUAAAG….DDUUUAGG….DUAAFLGHHH….DUAAGHH

Dengan sebuah kapak yang ujung bilah terbuat dari batu obsidian yang dijepit dan diikatkan ke dua batang kayu yang disatukan oleh tali dari akar-akaran, mereka memotong selangkangan, lutut, lengan, siku serta leherku. Kepalaku juga ditenteng dan rambut pada kepala yang sudah lepek direbus dicabut seluruh sampai gundul. Baru kali ini aku melihat kulit kepalaku yang bersih terawat bebas dari ketombe. Bukan hanya rambut kepala, tapi bulu alis juga. Tentu karena sudah direbus, mereka sangat mudah untuk mencabutnya. Sepasang mataku tampak putih pucat. Mereka mengeluarkan sepasang mataku lalu dilemparkan ke sekawanan babi. Babi-babi tersebut berebut makan mataku.

Tubuhku yang sudah dipotong-potong di beri perasan nanas. Air dari perasan nanas tersebut dioleskan ke daging tubuhku yang sudah dipotong potong, itu supaya daging tubuhku lebih empuk. Aku tahu karena Mamaku di rumah kalau masak daging sapi atau kambing selalu diberi perasan nanas. Katanya sih biar empuk dan bisa mengurangi aroma amis. Aku tidak menyangka kalau di pedalaman suku kanibal ini juga mengetahui hal itu. Beberapa saat kemudian, salah satu nenek memasukkan terong ke batang leher di tenggorokanku. Mungkin agar beras dan potongan daging di dalam perutku tidak keluar saat proses memasak.

Datanglah 7 pria membawa potongan-potongan tubuhku. Mulai kepala, potongan paha, potongan betis, potongan lengan, potongan tangan, dan badan dari pinggul sampai memek yang utuh dengan bagian dalam terisi beras dan beragam potongan organ tubuh. Mereka memikul bagian-bagian dari tubuhku. Ketika membawa bagian tubuh dari dada sampai selangkangan yang perutnya diisi beras dan dijahit, mereka membawa tubuhku dengan telungkup dan pikuk pada leher dan selangkangan. Buah dadaku yang menggantung saat dipikul terlihat bergoyang-goyang. Orang yang memikul di leher tangannya jahil meremas-remas buah dadaku itu. Mungkin buah dadaku terlihat menggemaskan. Memang sih, banyak teman kuliahku yang membicarakan payudaraku dibalik pakaian syar'i yang selalu kukenakan. Puting coklat muda mengacung ke bawah juga ikut bergoyang seirama dengan langkah kaki 2 pria yang memikul tubuhku.

Mereka memasukkan satu persatu tubuhku ke kuali buat merebusku. Pasti air rebusan itu sudah tercampur dengan keringatku. Mereka juga memasukkan sayur mayur ke kuali atau panci raksasa tersebut.

Mereka merebus ulang tubuhku. Kayu ditambah sebagai bahan bakar untuk merebus tubuhku agar api bertahan lebih lama.

Entah berapa jam berlalu, mereka akhirnya meniriskan tubuhku dari dalam kuali. Lalu tubuhku diletakkan di atas meja batu raksasa dalam keadaan telentang dengan keadaan merangkak. Bagian depan tubuhku menumpu pada sepasang siku. Sedangkan bagian bawah menumpu pada lututku. Kakiku ia buka sedikit lebar. Botol kaca tempatku bersemayam di letakkan tengah meja tersebut, yaitu dibawah dadaku. Ketika aku melihat ke atas, tampak sepasang buah dadaku menggantung dengan ujung puting mengacung vertikal ke bawah.

Mereka berkumpul mengelilingi meja ini dan berdoa.

KLAAAAKK..

Batok kepalaku dipecah dan memperlihatkan otakku yang matang dengan uap mengepul. Dari sela-sela lipatan otakku yang rumit seperti tumpukan ulat yang berkelok-kelok terlihat selaput darah yang ikut matang. Semua ingatan yang tersimpan didalamnya kini akan disantap oleh para orang kanibal.

"Terimalah sesajen tumbal kami wahai dewa" ujar ketua suku.

Ketua suku menusuk belahan perutku dan melepaskan jahitan di perutku. Tampak nasi, jagung dan potongan organ matang berjatuhan menimpa botol kaca tempatku bersemayam. Mereka kemudian melahap tubuhku. Mereka rebutan mencabik-cabik tubuhku. Aku melihat mereka memegang putingku lalu mengiris pangkal buah dadaku. Saat terpotong dan lepas dari cangkah tulang rusuk, putingku diangkat tinggi-tinggi.

"Toket kamu rasanya enak Anggu" ujar Toni menunjukkan salah satu potongan buah dadaku yang bagian pinggirnya membentuk tanjung dan teluk, serta terdapat bekas 3 gigitannya. Bahkan Toni membalik buah dadaku. Memperlihatkan bagian bekas potongan dan jaringan kelenjar susuku. Warnanya kontras sekali. Ada jaringan lemak, otot, daging, serta, jaringan susu.

Dasar bedebah!!! Aku ditipu!! Kenapa aku tidak mendengarkan ucapan mama. Kenapa aku bandel dan ngeyel ikut liburan?!! Hiks… hikss..

"Maaf ya Anggu aku sudah menipumu. Sebenarnya aku ditugaskan untuk membawa kamu ke sini. Aku tidak menyangka, Arya dan Ria mau ikut. Aku kasih tahu ya, penis itu adalah milik Arya. Hahahaha" ujarnya sambil mengunyah daging buah dadaku dan menunjuk penis yang menggantung di pinggul ketua suku.

Setelah menelan, dia menggigit puting serta areolaku. Kemudian ia menariknya hingga buah dadaku melar lalu daging di sekitar areolaku putus. Ia mengunyah sangat rakus.

"Puting kamu ternyata alot Anggu, tapi tetap saja gigi gerahamku akan menggilingnya. Hahaha" ujarnya.

Selang beberapa jam, diatas meja hanya tersisa tulang belulang. Arwahku yang berada dan terkurung di dalam botol dibawa ke sebuah kuil, ketua suku meletakkan botol tempatku bersemayam di taruh di mahkota patung dewa bagian depan. Aku tinggal disini selamanya……




Tamat…..






Untuk versi non gore, disini
 
Terakhir diubah:
Iya pembunuhan lainnya knp g dijelasin.. ky ria gmn matinya gt..
Ada yang minta demikian, ceritanya Ria dikuliti hidup hidup. Tapi rencana cara nguliti hidup-hidup aku masukin ke cerita sebelah. Resiko cerita dari sudut pandang orang pertama sih gitu. Beda kalau dari orang ketiga yang serba tahu. Hihihi
 
Saya kira cerita sex seperti biasanya.. hahahahahaaaa...
Untuk cerita itu, di forum ini sudah banyak. Aku sekedar nulis cerita yang peminatnya sedikit. Mungkin ada yang sudah nulis, tapi mungkin mereka lupa ngasih tag snuff & gore
 
Hikmah dari cerita ini : jangan pergi kalau ortu tidak mengizinkan.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd