Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Love & Truth

Status
Please reply by conversation.
Part 05. Cemburu




Di saat matahari pagi belum menampakkan wujudnya, sepasang anak manusia telah terjaga dari tidurnya dan terlihatlah begitu menikmati suasana pagi yang masih sepi dari segala aktivitas.

“Ternyata lo juga suka bangun pagi, pantesan lo selalu datang awal ke sekolah....” Dita yang duduk di samping Rizal mengawali obrolan mereka di pagi hari.

“Sudah jadi kebiasaan gue bangun pagi....” balas Rizal.

Sedikit obrolan dan kembali hening. Mereka masih sama-sama bingung nentuin apa yang ingin di bahas.

Sulit menemukan apa yang bisa mereka bahas, karena di hari sebelumnya mereka tak pernah berada dalam suasana seperti pagi ini, duduk berdua di teras rumah menanti matahari keluar dari peraduannya.

“Lo gak mau apa gue bikinin teh atau kopi?.... Pagi-pagi begini paling enak tuh minum yang hangat-hangat....” suara tanya Dita seketika memecah kesunyian.

“Gue gak terlalu suka sama teh ataupun kopi, gue lebih suka susu....” jawab Rizal.

“Tapi gue gak ada stok susu....” ujar Dita.

“Punya segede itu, tapi bilang gak punya....” gumam Rizal begitu lirih, tapi Dita sedikit mendengar gumaman Rizal.

“Apanya yang gede?.... Lo lagi gak mikir yang aneh-aneh kan?....” tanya Dita.

“Susu.... Ya susu di gelas yang gede....” jawab Rizal.

“Oh, gue kira apaan....” ujar Dita yang sesaat yang lalu sempat memikirkan hal yang aneh-aneh.

“Emang lo kira apa yang gede?....”

“Bukan apa-apa. Dah ah gue ke dapur dulu bikin teh hangat, lo tunggu di sini....”

Belum juga Dita beranjak pergi ke dapur, Rizal menahan Dita dengan kata-katanya.

“Gak usah repot-repot Ta, gue juga mau balik. Biarpun masih agak gelap, ini sudah pagi dan lagi listrik juga sudah nyala....”

“Kalau lo dah mutusin begitu, ya sudah lo pulang saja. Benar kata lo, biar gelap ini sudah pagi, dan listrik juga sudah nyala....”

Di mulut memang mengizinkan, tapi entah kenapa Dita merasa tak ikhlas dengan kepergian Rizal. Dia merasa ingin ditemani lebih lama lagi.

“Ya sudah, gue balik dulu....” Rizal segera bersiap pulang.

Motor sudah siap.Rizal sengaja tidak memakai helmnya karena jarak rumah Dita ke rumahnya memang tak begitu jauh.

“Terimakasih, dan hati-hati!....” biar berat Dita melepas kepergian Rizal.

Rizal hanya mengangguk dan segera pergi berlalu meninggalkan Dita yang terus melihat kepergiannya.

“Masih banyak hari untuk bertemu lagi dengannya....” gumam Dita.

Meski merasakan keanehan, tapi Dita tak bisa membohongi dirinya sendiri. Setelah semalaman bersama Rizal, dia merasakan arti kata nyaman saat bersama cowok. Rasa nyaman saat bersama Rizal tak pernah dia rasakan saat dia bersama dengan cowok yang lain.

“Apa sebenarnya yang gue rasain, kenapa jantung gue berdetak kencang saat bersama Rizal?....” batin Dita saat dia kembali masuk kedalam rumahnya.

****

Cukup dua menit, akhirnya Rizal sampai di depan rumahnya. Setelah membuka pintu gerbang, Rizal menuntun motornya menuju garasi.

Saat berada di dalam garasi, Rizal hanya bisa menghela nafas saat melihat mobil lain terparkir rapi sejajar dengan mobil Ibunya. Mobil sport berwarna putih susu, tanpa bertanya tentu Rizal sangat tahu siapa yang sedang berada didalam rumahnya.

Dengan santainya Rizal masuk kedalam rumah dan mendapati sepasang sepatu hak tinggi ditaruh secara sembarangan di lantai ruang tamu. Rizal membiarkan sepatu itu dan kembali melanjutkan langkahnya.

Sampai di kamarnya, Rizal begitu saja menyalakan lampu dan melihat isi kamarnya.

Rizal hanya menggelengkan kepalanya saat melihat seorang cewek tidur di atas tempat tidurnya dengan pakaian yang sangat minim. Tubuh sintal dan kulit putih mulus, seketika membuat benda pusaka Rizal menegang. Tapi segera dia membuang jauh-jauh pikiran kotornya karena dia tahu siapa cewek yang tidur di atas tempat tidurnya.

“Sampai kapan lo pura-pura tidur?....” tanya Rizal tanpa menoleh kearah cewek yang sedang tidur di tempat tidurnya.

“Hehehe, ketahuan ya!....” tawa renyah seorang cewek terdengar oleh telinga Rizal.

“Ngapain lo tidur di kamar gue?.... Bukannya Ibu udah nyiapin kamar khusus buat lo!....” Rizal merebahkan tubuhnya di samping cewek yang tak merasa risih dengan Rizal yang ada di sampingnya.

“Lo lupa apa, gue ini juga Ibu lo, biarpun lo gak lahir dari rahim gue. Soal kenapa gue tidur di kamar lo, di rumah ini gue bebas memilih tidur di mana saja....” ujar cewek yang kini memiringkan tubuhnya menghadap kearah Rizal.

“Amellia yang baik hati dan gak sombong, lo memang Ibu gue dan sebuah keberuntungan gue punya Ibu lain seperti lo. Disaat Ibu kandung gue depresi karena kasus Ayah, lo datang dan memberikan kasih sayang ke gue. Tapi untuk pagi ini saja, gue minta tolong lo tinggalin gue sendiri, gue mau lanjut istirahat....” Rizal melirik ke samping, melihat seseorang yang baru dia panggil.

“Lo istirahat saja, gue janji gak akan ganggu....” ujar Amel, sosok Ibu kedua bagi Rizal.

“Menurut lo, apa gue bisa tidur saat ada cewek seperti lo di samping gue?.... Ayolah Ibu, biarin gue istirahat. Keluar dari kamar gue supaya gue gak kepikiran terus dengan tubuh lo....” pinta Rizal dengan dua bola mata melirik kearah dua bukit kembar milik Amel.

“Jangan cuma di pikirin. Kalau lo mau, tubuh ini bisa lo miliki....” ungkap Amel.

“Ibu yang sangat gue hormati, lo gak usah mancing-mancing gue!.... Gue tau lo masih virgin, dan gue gak ingin ngerusak itu semua....” ujar Rizal.

“Gue juga tau lo masih perjaka, jika kita lakuin artinya kita impas....”

“Apapun yang lo katakan, gue gak akan ngelakuin itu, gue gak mau dibilang anak durhaka yang menanam bibit ke rahim Ibunya...."

“Gue juga gak mau dibilang Ibu gak becus ngurus anak, dengan ngebiarin lo tersiksa dengan hawa nafsu....” balas Amel tak mau kalah.

Rizal yang tak tau harus membalas apa, akhirny dia menyerahkan. Dengan menutup mata dan mencoba mengalihkan pikirannya ke hal yang lain, Rizal berharap bisa melupakan bayang-bayang tubuh Amel yang memancing birahinya.

“Sama gue lo bisa tahan, tapi gue gak yakin lo bisa tahan sama Dewi....” gumam Amel lirih tapi masih terdengar oleh telinga Rizal.

“Gue mau tidur!....” selesai berkata, Rizal begitu rapat menutup matanya.

Amel yang merasa puas setelah menggoda Rizal, akhirnya dia pergi keluar dari kamar Rizal.

Meninggalkan Rizal sendirian di kamar, kini Amel duduk dengan santainya di ruang keluarga. Jari-jarinya begitu lincah menggeser layar Hp, sedangkan kedua matanya begitu teliti membaca informasi yang tersedia di layar Hp-nya.

Sekitar pukul 8 pagi Rizal keluar dari kamarnya. Baru juga keluar dari kamar, Rizal sudah melihat Amel yang merebahkan tubuhnya di sofa ruang keluarga. Tapi kali ini Rizal bisa bersikap biasa saja karena Amel menutupi tubuhnya dengan selimut.

Tak ingin mengganggu Amel yang masih tertidur, Rizal melangkah perlahan melewati tempat Amel dan menuju dapur.

Menyiapkan sarapan, tak jauh-jauh dari cara memasak yang instan. Rizal hanya menyiapkan mie goreng instan dengan telor ceplok di atasnya. Amel bukan tipe cewek yang suka pilih-pilih dalam hal makanan, karena itu Rizal juga menyiapkan sarapan untuk Amel dengan menu yang sama.

“Mie goreng kesukaan gue....” sambut Amel saat dia membuka mata dan mendapati makanan di atas meja yang tepat berada di depannya.

Tanpa membalas, Rizal terus memakan makanannya, begitupun Amel, dia mulai memakan makanan buatan Rizal dengan begitu lahap.

Selesai makan dan mencuci piring, Rizal duduk di samping Amel yang kini sudah menggunakan pakaian santai meski tetap menonjolkan bentuk tubuhnya.

“Kemana lo semalam, kenapa gak langsung pulang?....” tanya Amel.

“Bukannya lo yang semalam nyuruh gue nganterin cewek yang lo tahan bersama gue!....” balas Rizal.

“Gue cuma nyuruh nganterin pulang, bukan nyuruh lo nginap di rumah tuh cewek....”

“Kalau saja tadi malam listrik gak padam, gue juga gak bakalan nginap di rumah tuh cewek. Lagian rumah tuh cewek cuma ratusan meter jaraknya dari sini, jadi tempat ini semalam pasti juga mengalami pemadaman listrik....”

“Karena listrik padam, seharusnya kita bisa main di dalam kegelapan tadi malam....” ujar Amel menyampaikan maksud yang sebenarnya.

Rizal menarik nafas lega, setelah Amel menyampaikan maksud yang sebenarnya. Sempat dia mengira akan di marahi, tapi yang di takuti Rizal tak sesuai dengan kenyataan.

Tak berselang beberapa lama, Rizal maupun Amel mendengar mobil berhenti di depan rumah, dan suara pintu gerbang terbuka terdengar setelahnya.

“Amel, Rizal, cepat buka pintu!....” teriak Dewi, Ibu kandung Rizal.

Rizal yang mendengar teriakkan Ibunya, dengan cepat berlari kearah pintu dan segera membukanya. Amel yang barusan duduk di samping Rizal, berjalan mengekor tepat di belakang Rizal.

Begitu pintu di buka, Rizal melihat wajah Ibunya yang terlihat kelelahan setelah melakukan perjalanan. Dibawanya barang-barang bawaan Ibunya masuk kedalam rumah, sedangkan Dewi kini berjalan beriringan dengan Amel menuju ruang keluarga.

“Gimana liburannya, enak gak?....” tanya Amel begitu duduk di sofa ruang keluarga.

“Capek.... Jalan-jalan gak jelas, belanja, beli oleh-oleh. Liburan atau bukan, ini gak ada bedanya dengan kehidupan biasa....” jawab Dewi dengan mata terpejam.

“Dari cerita singkat lo gue merasa beruntung gak ikut acara liburan. Bekerja lebih menyenangkan daripada liburan yang baru lo jalani....” ujar Amel.

Rizal yang pergi ke dapur meninggalkan kedua Ibunya, kini kembali dengan membawa dua minuman berbeda. Teh hangat untuk Dewi, dan kopi susu untuk Amel.

Setelah meletakkan minuman di meja, Rizal nyempil duduk di tengah kedua Ibunya.

“Berasa jadi juragan ya lo sekarang!.... Duduk di tengah dua wanita cantik....” cibir Amel sebelum menyeruput kopi susunya.

“Putraku memang yang terbaik, selalu tahu posisi yang tepat....” ungkap Dewi seraya merebahkan tubuhnya dan menggunakan paha Rizal sebagai bantal.

Sofa yang memanjang membuat Dewi bebas tiduran meski ada dua orang lainnya yang ikut duduk di sofa.

“Bikin iri saja lo tuh Wi, gue aja selalu di tolak saat mau tidur di atasnya....” ujar Amel.

“Kamu sih maunya tidur di atas putraku, ya jelas dia tolak. Rizal tuh cowok normal, dengan kamu tidur di atas tubuhnya, bisa saja dia lepas kendali dan nitip tuh benih di rahim kamu. Dengan dia menolak, artinya dia menghargai kamu sebagai Ibu keduanya....” kata Dewi dengan mata yang masih terpejam.

Rizal hanya diam mendengarkan obrolan kedua Ibunya. Bagi Rizal, sudah terlalu bosan ikut campur dengan obrolan mereka, karena sudah di pastikan dia akan kalah. Bagaimanapun juga setiap cewek itu punya dua bibir, dua cewek artinya empat bibir. Sudah dipastikan Rizal akan kalah kalau ikut campur obrolan mereka, dan diam adalah solusi terbaik.

“Kalian berdua lanjutkan saja acara kangen-kangenan-nya, gue mau siap-siap kerja....” ujar Amel seraya bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamar yang disiapkan khusus untuknya.

“Gak libur hari ini Mel?....” tanya Dewi setengah berteriak.

“Tar malam ada operasi lagi, mana sempat libur....” jawab Amel sebelum menghilang masuk kedalam kamarnya.

“Oh iya hampir lupa....” Dewi bangkit dari tidurannya. “Ini ada oleh-oleh untuk Tante Ana, Ibunya Novi. Kamu bisa kan anterin ini ke rumahnya?....” Dewi menyodorkan sebuah tas yang berisi oleh-oleh.

Rizal hanya bisa menghela nafas saat Ibunya menyebut nama Novi, bagaimanapun kenyataan pahit yang diberikan Novi masih sulit untuk dilupakan. Tapi, bukan berarti Rizal menolak permintaan Ibunya, dia menyanggupinya dan membawa tas berisi oleh-oleh menuju rumah Novi.

Sepanjang jalan, Rizal begitu berharap tak bertemu dengan Novi. Namun harapannya sia-sia, karena saat dia sampai di gerbang rumah Novi, dia melihat tuh cewek sedang bersenda gurau dengan cowok di teras rumah. Wajah cowok itu sudah familiar baginya, tapi Rizal tak ada keinginan untuk mengenalnya.

“Maaf mengganngu, Nov Ibu lo ada?....” tanya Rizal langsung ke inti tujuannya.

Kedatangan Rizal yang tiba-tiba cukup mengejutkan Novi sampai dia salah tingkah sendiri. Juno yang berada di sampingnya saja merasa aneh dengan tingkah Novi.

“Ibu.. Ibu ada di dapur, lo masuk saja....” jawab Novi.

“Ok, makasih....” jawab Rizal singkat dan begitu datar, bahkan sejak bertanya sedikitpun Rizal tak melihat kearah Novi.

“Maaf Zal....” batin Novi melihat kepergian Rizal.

Biarpun dia sudah menerima perasaan Juno, tapi Novi merasa ada yang mengganjal saat berhadapan dengan Rizal. Hatinya pun terasa perih saat dia tak diperhatikan lagi oleh Rizal.

Meninggalkan Novi dan Juno, Rizal melanjutkan langkah kakinya menuju dapur. Di dapur Rizal melihat Tante Ana sedang memasak.

“Dari baunya, enak nih Tan!....” ungkap Rizal saat berada di dekat Tante Ana.

“Eh nak Rizal, bikin Tante terkejut saja, untung Tante gak jantungan....” ujar Ana dengan mengelus dadanya yang membusung, tapi tak cukup untuk membiat Rizal tergoda.

“Dari dulu ekspresi Tante saat terkejut masih sama, tetap lucu....” Rizal terkekeh kecil.

“Artinya Tante tuh awet muda kalau masih sama seperti dulu....” ujar Tante Ana dengan genitnya

“Hehehe, iya masih awet muda, bahkan masih genit juga....”

“Kalau gak genit, bukan Ana namanya....” Ana mematikan api kompornya karena masakannya sudah matang. “Oh iya, ada apa nih tumben kamu kesini nemuin Tante?..., biasanya juga cuma mau nyamperin si Novi....”

“Siapa tuh Novi, gak kenal. Lagian ngapain cari cewek lain saat ada bidadari di depan mata....”

“Duh melayang deh Tante di godain cowok ganteng....”

“Bisa saja Tante....” Rizal tersenyum geli melihat tingkah genit nan manja Ana. “Sebenarnya saya kesini mau ngasih ini ke Tante, sedikit oleh-oleh dari Ibu....” akhirnya Rizal menyerahkan tas berisi oleh-oleh ke tangan Ana.

Ana menerima tas yang diberikan Rizal. Seketika mata Ana berbinar terang saat melihat isi tas yang dia pegang. “Ibu kamu memang baik, Tante cuma bisa bilang terimakasih ke Ibu kamu, dan terimakasih juga untuk kamu....” ujar Ana yang disambut senyuman Rizal.

“Kalau begitu, saya permisi dulu, Tante....” kata Rizal.

“Kenapa buru-buru, ituh ada Novi di depan, apa gak ngobrol dulu?....”

“Gak usah Tan, lagian di depan ada cowoknya....” jawab Rizal dan setelahnya dia pergi berlalu meninggalkan Ana.

Sekilas Ana melihat wajah Rizal saat menjawab pertanyaannya. “Ekspresi wajah itu, kenapa dia begitu sedih dan kecewa. Rizal, apa Novi yang memberikan itu semua?....” batin Ana.

Di teras rumah, Novi melihat Rizal keluar dari rumahnya. Rizal tahu Novi sedang melihat kearahnya, tapi dia tidak peduli dan terus melangkah.

Beberapa langkah keluar dari rumah Novi, sejenak Rizal berhenti saat sebuah bungkus rokok melayang mengenai punggungnya.

Tanpa menoleh, Rizal mengambil bungkus rokok itu dan membuangnya di tempat sampah yang tepat berada di sampingnya. Saat kembali ingin melanjutkan langkah, sekali lagi Rizal berhenti saat ada yang menarik kerah bajunya dari belakang.

“Lo tuh jadi orang gak ada sopan-sopannya. Datang mengganggu, pergi-pergi tanpa permisi. Apa lo gak di ajari sopan santun sama orangtua lo, atau orangtua lo juga sama, gak punya sopan santun....” teriak Juno yang masih mencengkram kerah baju Rizal.

Rizal tak akan bergeming meski dia di hina, tapi sebuah kesalahan kalau hinaan itu ditujukan ke orangtuanya.

Di pegangnya tangan Juno, dan di cengkeramnya dengan begitu kuat sampai Juno melepaskan kerah baju Rizal.

“Arrgghhh....” rintih Juno saat Rizal memelintir tangan Juno.

“Lo bebas menghina gue, tapi jangan lo hina orangtua gue....” kata Rizal, dan setelahnya dia mendorong tubuh Juno sampai tersungkur kearah depan.

Melihat Juno terjatuh, membuat Novi berlari kearah Juno dan membantunya bangkit. Wajah Juno yang kotorpun dia bersihkan dengan telapak tangannya.

“Apa-apaan lo tuh Zal, kenapa lo begitu kasar ke kak Juno, padahal dia tadi cuma mau ngingatin lo....” bela Novi dengan mata melotot kearah Rizal.

“Lo sudah berubah, lo buta karena cinta lo sendiri....” batin Rizal seraya berdiri membalikkan badan.

“Apa dengan cara menghina orangtua gue itu sebuah cara untuk mengingatkan?.... Apa menutut lo cara dia mengingatkan gue itu adalah sebuah kesopanan?.... Menarik kerah baju gue dan memaksa gue berhenti, maaf Nov, lebih baik lo ajari tuh cowok lo apa yang dinamakan sopan santun....” kata-kata Rizal terasa begitu menusuk, Novi yang mendengar kata-kata dari Rizal, dia hanya bisa tertunduk tanpa bisa membalas.

“Cewek yang dulu aku kenal ternyata sudah gak ada....” gumam Rizal yang terdengar sampai ke telinga Novi.

Puas bermain kata-kata, Rizal melanjutkan langkah dengan begitu pasti. Sedikitpun dia tak ada keinginan untuk menoleh dan melihat ekspresi Novi. Bagi Rizal, cewek itu sudah bukan siapa-siapa lagi, hanya orang asing yang kebetulan pernah dia kenal.

Sampai di rumah, Amel dan Dewi sudah menyambut Rizal, mereka berdua sama-sama sedang berdiri di teras rumah. Rizal yang melihat mereka, dia hanya tersenyum dan begitu saja masuk ke dalam rumah tanpa menyapa mereka.

Amel dan Dewi yang merasa aneh dengan tingkah Rizal, mereka saling melihat dalam kebingungannya.

“Gak biasanya tuh anak terang-terangan nunjukin kalau lagi ada masalah....” ungkap Amel.

“Selama ini aku gak pernah lihat ekspresi seperti yang barusan dia tunjukkan....” ujar Dewi.

“Semalam waktu ketemu sama gue di cafe, ekspresinya memang jelek, tapi tadi pagi udah terlihat normal. Ini, barusan, kenapa ekspresinya justru lebih jelek dari semalam. Lo tau gak tuh anak barusan pergi dari mana?....” tanya Amel dengan melipat kedua tangannya ke depan.

“Gue cuma nyuruh dia nganter oleh-oleh ke tempat Novi, temannya Rizal sejak lama. Bukannya kamu juga sudah kenal sama Novi beserta keluarganya?....”

“Novi ya!....” Amel memejamkan mata sambil berfikir. “Sepertinya ada hubungannya dengan tuh cewek. Kemarin Lia juga bilang padaku kalau Rizal lagi patah hati, tapi gue gak tau siapa yang bikin tuh anak patah hati....”

“Kenapa Lia gak ngasih kabar ke aku soal itu?.... Dasar tuh anak satu, awas saja kalau ketemu....”

“Ngomongin soal Lia, gue ada perlu dengan dia, dia perlu jelasin sesuatu ke gue....” gumam Amel. “Gue cabut dulu, lo coba hibur Rizal. Kalau perlu lo kasih ASI ke tuh anak lo biar dia tenang seperti dulu....”

“Gila kamu tuh, dia udah gede, gak mungkin juga aku lakuin tuh lagi. Dah sono pergi, aku ada cara tersendiri untuk hibur Rizal....” balas Dewi.

Dengan senyum di bibirnya, Amel masuk ke mobil, dan setelah pamit ke Dewi, dia langsung tancap gas menuju tempat kerja.

*****

Di dalam rumah Rizal dengan santainya mengunyah cemilan sambil menikmati acara tv. Dewi yang baru masuk dan melihat putranya bersikap seperti biasa, dia seketika tersenyum sebelum masuk ke kamarnya untuk mengganti baju.

Beberapa saat mengganti baju, kini Dewi keluar kamar dan duduk di sofa tepat bersebelahan dengan Rizal.

Rizal yang merasakan kehadiran Ibunya, dia menoleh tapi tak begitu lama dia segera menghela nafas saat melihat penampilan Ibunya. “Sudah 3, apa penyakit mereka menular?....” batin Rizal bertanya.

Dewi yang merasa sedang di lihat oleh Rizal, dia hanya bergerak menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa, dan melihat balik kearah Rizal. Tapi gerakan kecil yang dilakukan Dewi membuat salah satu lengan pakaian yang dia pakai tergeser dari bahunya jatuh kearah lengan dan memamerkan gundukan tertutup bra yang seketika membuat Rizal memalingkan wajahnya.


Tawa kecil Dewi pecah begitu melihat tingkah Rizal.

“Ibu masih ingat, benda ini yang selalu kamu pegang saat tidur bersama Ibu, tapi kenapa sekarang kamu membuang muka saat melihat bagian luarnya saja?.... Atau jangan-jangan kamu nafsu lagi, ehh, jangan-jangan waktu masih SMP kamu sering merabai Ibu, saat itu kamu juga udah nafsu?.... Dasar mesum!....” Dewi menarik telinga Rizal, sampai Rizal mengaduh.

“Salah sendiri, tau anaknya udah remaja masih saja suka bertelanjang dada di depan anaknya. Untung gue masih bisa nahan nafsu....” batin Rizal begitu Dewi melepas telinga Rizal.

Dewi tertawa dalam batinnya, saat melihat Rizal yang terdiam tanpa membalas perkataannya.

“Ibu mau masak, kamu bantu potong sayur!.... Beberapa hari Ibu tinggal, pasti kamu gak makan sayur....” ujar Dewi.

Rizal tak menjawab, dia hanya mengikuti apa yang di katakan Ibunya. Memotong sayur yang biasanya di kerjakan cewek, segera dilakukannya. Rizal sadar dia cuma tinggal bersama Ibunya, tak ingin membebani Ibunya, itulah yang ingin selalu Rizal lakukan.

Acara masak Ibu dan anak telah selesai, di lanjutkan dengan acara makan siang yang begitu hening. Selesai makan, seperti biasanya Rizal bertugas membersihkan wadah kotor bekas makan dia dan Ibunya.

Melihat Rizal sudah selesai dengan tugasnya, Dewi mengajak Rizal menuju halaman belakang rumahnya. Dengan ditemani teh dalam cangkir, Dewi menyampaikan maksud tujuannya mengajak Rizal ke halaman belakang rumah.

“Sudah saatnya kamu sedikit merasakan hasil kerja keras Ayahmu semasa hidupnya. Rumah ini adalah sebagian kecil peninggalan Ayahmu, masih banyak peninggalan Ayahmu yang lainnya. Kamu tentu tahu rumah sakit tempat Ibu dan teman-teman Ibu bekerja. Rumah sakit itu bisa di sebut rumah sakit terbesar dan terlengkap di seluruh kota ini, dan masuk dalam jajaran 10 rumah sakit terbaik di negara ini. Asal kamu tahu nak, rumah sakit itu adalah harta kedua peninggalan Ayah kamu setelah rumah ini, dan masih banyak yang lainnya....

.... Mungkin ini juga saatnya kamu tahu sedikit rahasia keluarga kita....” Dewi sejenak terdiam, sedangkan Rizal yang masih dalam ekspresi keterkejutannya, dia semakin serius mendengarkan apa yang akan dikatakan Ibunya.

“Kamu tahu kan wanita yang dihukum bersama Ayah kamu?....” Rizal mengangguk, tentu dia tahu karena ada surat kabar yang memberitakan tentang hukuman mati Ayahnya beserta orang-orang yang terlibat dengannya.

“Dia kakak tingkat Ibu, dan dia istri pertama Ayahmu....”

“DEGH....” jantung Rizal terasa berdetak kencang saat mendengar kenyataan tentang istri Ayahnya yang lain.

Tak berhenti sampai di situ keterkejutan Rizal, kata-kata selanjutnya yang keluar dari mulut Dewi, semakin membuatnya terkejut.

“Kamu memiliki kakak perempuan, usianya terpaut beberapa tahun dari kamu. Tapi Ibu tak tahu keberadaannya, karena dia sejak lahir tinggal dan di besarkan oleh kakek dan neneknya....”

Rizal terdiam di tempatnya. Cangkir teh yang baru dia angkat, kembali di taruhnya keatas meja. Matanya terpejam dan pikirannya mencoba menyimpan semua yang baru dikatakan Ibunya.

“Apa kamu ingin tahu penyebab Ibu depresi setelah hukuman mati yang menimpa Ayah kamu?....”

Sebuah pertanyaan yang seketika membuat Rizal membuka mata dan menoleh melihat kearah Ibunya.

Rizal mengangguk, Dewi yang melihatnya pun tersenyum dan dia mulai bercerita.

“Ayah kamu di jebak. Rasa iri banyak orang membuat musuh Ayah kamu ada dimana-mana. Bahkan anggota kepolisian ikut andil dalam penjebakan Ayah kamu....

.... Barang bukti yang ditemukan di tempat kerja Ayahmu, sebenarnya sengaja ditaruh oleh anggota polisi yang saat itu menggeledah tempat kerja Ayah kamu.....

....Ayah kamu yang merasa tak bersalah begitu saja membiarkan polisi menggeledah tempat kerjanya. Tanpa sepengetahuan Ayah kamu, anggota polisi itu sengaja menanamkan barang bukti yang sengaja mereka bawa dari luar, dan di tempatkannya barang bukti itu di ruang kerja Ayah kamu....”

....Kak Nara yang saat itu bersama Ayah kamu, dia ikut terseret dengan barang bukti yang sengaja di tempatkan di tas miliknya yang kebetulan tertinggal di dalam ruang kerja Ayahmu....” Dewi kembali diam dan menghela nafas panjang.

“Tuduhan palsu, barang bukti palsu, kerjasama yang rapi dari musuh, dan penghianat. Semua usaha Ayah kamu untuk membela diri selalu gagal, karena hakim pun sudah menerima suap....

.... Sampai akhirnya hukuman mati itu akan berlangsung. Ayah kamu pasrah, Kak Nara pun sama, tapi Ibu masih gigih mencari bukti-bukti itu, dan akhirnya bukti itu terkumpul, tapi sayangnya semua terlambat. Ayah kamu dan Kak Nara dihukum mati sebelum Ibu menyelesaikan bukti-bukti itu.....

....Rasa bersalah saat itu menguasai Ibu kamu ini, sampai Ibu melupakanmu. Beruntung Ibu memiliki teman sebaik Amel yang membantu menenangkan Ibu, bahkan dia juga merawat kamu. Sampai akhirnya Ibu kembali tenang, dan menyelesaikan kasus yang pernah tertunda....

....Barang bukti yang Ibu kumpulkan banyak menyeret orang mendapatkan hukuman. Tapi lagi-lagi Ibu terlambat, meski orang-orang yang bersalah telah dihukum, perusahaan Ayah kamu yang menjadi sumber malapetaka tak bisa Ibu selamatkan. Perusahaan itu Runtuh, dan menghabiskan keuangan keluarga kita untuk membayar seluruh uang pesangon karyawan....

....Ibu saat itu tak begitu pusing masalah uang, karena Ibu yakin dapat membesarkanmu tanpa kekurangan dengan pekerjaan Ibu. Tapi di balik tak keadilan, masih ada banyak kebaikan....

.... Tepat peringatan seribu hari meninggalnya Ayah kamu, pengacara kepercayaannya datang menemui Ibu. Sempat Ibu mengira dia akan meminta uang gaji yang belum terbayar, tapi Ibu salah. Pengacara itu membawa kabar baik untuk masa depan kamu. Usaha-usaha Ayah kamu yang lain diungkap oleh pengacara itu, dan Ayah kamu telah membagi rata seluruh warisannya kepada dua anaknya. Di sela kabar baik ada kabar buruk, di surat warisan itu Ibu harus mencari keberadaan kakak perempuan kamu, dan sampai sekarang Ibu belum menemukannya....” Dewi mengakhiri ceritanya, wajahnya kini terlihat kusut karena rasa kecewa itu masih dia rasakan.

Rizal bangkit dari kursinya dan melangkah kearah Ibunya. Berlutut dia di depan Ibunya, dan digenggamnya kedua tangan milik Ibunya.

“Biar aku yang mencari kakak ku, Ibu cukup memberitahu siapa namanya....” ujar Rizal.

Meski banyak yang masih membuatnya bingung, Rizal mencoba tetap tenang seperti biasa.

“Namanya Amanda Kinara Putri, kakek dan neneknya sudah tiada. Dia ada di kota ini, tapi Ibu tak tahu keberadaannya. Mungkin saja dia mengganti namanya, tapi dia ada tanda lahir di dadanya. Ada tiga titik hitam kecil, dan bila tiga titik itu dihubungkan akan membentuk sebuah segitiga....” ungkap Dewi.

“Aku sepertinya tak akan bisa membantu, kalaupun aku memaksa membantu, yang ada aku bakalan di laporin ke polisi karena tindak pelecehan....” ujar Rizal yang disambut tawa Ibunya.

“Karena itu, Ibu sulit menemukan keberadaan kakak kamu....” kata Dewi.

Rizal sudah kembali ke tempat duduknya. Banyak cara dia pikirkan untuk menemukan kakaknya, termasuk cara terburuk, yaitu dengan mengencani wanita yang dia curigai sebagai kakaknya.

“Nak, tadi kamu dari rumah Novi bukan?.... Bagaimana kabar dia?.... Sudah lama dia gak main ke rumah, Ibu harap hubungan kalian gak ada masalah. Bagaimanapun juga kalian tuh teman baik sejak kecil....”

Rizal seketika menunduk mendengar rentetan pertanyaan dari Ibunya. Ingatan tentang Novi kembali terngiang, dan sekali lagi dia merasakan rasa sakit yang sulit untuk dijelaskan.

“Dia baik Bu, kedepannya mungkin dia akan sangat jarang datang ke rumah kita. Selain dia udah punya pacar, sebentar lagi kita juga akan lulus SMA, dan kami pasti beda tempat kampus....” jawab Rizal dengan suara datar.

“Ternyata memang Novi, tapi wajar sih, cuma dia wanita yang dekat dengannya....” batin Dewi.

Obrolan mereka berakhir saat hujan turun dan mereka masuk kedalam rumah. Menikmati sisa hari libur dengan bersantai, baik Rizal maupun Dewi, mereka begitu asik menikmati waktu berdua mereka.

*****

Pagi hari, awal pekan yang cerah. Rizal sudah siap berangkat menuju sekolah, sedangkan Dewi, dia sudah bersiap berangkat kerja.

Menikmati sarapan pagi bersama, sedikit canda layaknya seorang Ibu dan anak. Selesai sarapan, mereka saling mengucap salam untuk memulai aktifitas. Rizal lebih dulu berangkat, di susul Dewi yang mengekor dengan mobil di belakangnya.

Tepat di sebuah perempatan mereka berpisah karena tujuan mereka melewati jalan yang berbeda.

“Pagi Pak Ali....” seperti biasa, Rizal menyapa pria paruh baya penjaga gerbang sekolah.

Setelah mendapat balasan sapaannya, Rizal segera menuju parkiran dan memarkirkan motornya.

Pagi ini Rizal berangkat tak terlalu awal, banyak murid yang sudah sampai sebelum dia. Sampai di kelas, sudah banyak teman sekelasnya yang sampai, termasuk Novi dan Dita.

Tanpa mempedulikan banyaknya pasang mata yang melihat kearahnya, Rizal begitu saja duduk di tempatnya dan menunggu bel berbunyi.

Novi terus melihat kearah Rizal begitu cowok itu masuk kedalam kelas, begitupun dengan Dita. Jika Novi merasa hubungannya dengan Rizal semakin menjauh, beda dengan Dita yang sedang merasakan keanehan pada dirinya saat melihat Rizal.

Dita membuka tas dan mengeluarkan jaket yang begitu bersih dan harum setelah kemarin dia mencucinya. Di pegangnya jaket itu dan dia segera melangkahkan kaki menuju Rizal.

Hampir semua orang di kelasnya, melihat Dita yang melangkah mendekati Rizal. Novi pun tak ketinggalan, dia dengan sorot mata tajam melihat kearah Dita Yang duduk tepat di depan Rizal.

“Tumben lo nyamperin gue!....” ujar Rizal saat melihat Dita duduk di depannya.

“Apa ada yang ngelarang gue nyamperin lo dan duduk di sini?....” tanya Dita. “Lagian gue tuh cuma mau nganterin nih jaket lo....” Dita menyodorkan jaket Rizal yang kemarin tertinggal di rumahnya.

“Iya sih gak ada yang ngelarang, tapi gue cuma kaget saja, tiba-tiba lo nyamperin gue. Tapi setelah tau tujuan lo, gue cuma bisa bilang makasih, dan kebetulan gue tadi lupa pakai jaket....” balas Rizal.

“Seharusnya gue yang bilang makasih, karena lo kemarin udah mau nemanin gue. Gue gak bisa bayangin kalau malam itu lo gak nemanin gue....”

“Sebenarnya sampai detik ini gue masih gak percaya. Lo yang begitu tegar dan percaya diri saat di sekolah, ternyata takut dengan kegelapan....”

“Terus saja lo nyindir gue....” kata Dita dengan memanyunkan bibirnya.

“Jangan ngambek, lo tuh imut kalau ngambek....” balas Rizal dengan cubitan lembut ke hidung Dita.

“Apaan sih lo tuh. Uuuhhh gak lucu....” protes Dita yang disambut senyuman Rizal.

Seketika keakraban Rizal dan Dita menjadi bahan obrolan teman satu kelas mereka. Ditambah dengan isi percakapan Rizal dan Dita, yang membuat banyak orang penasaran dengan apa yang terjadi antara mereka.

Tapi ada satu orang yang menatap sendu kearah Rizal dan Dita. Sesekali tangannya memegang dadanya yang terasa sesak, tubuhnya pun terasa panas, dan dia merasakan emosi yang begitu sulit untuk di jelaskan.

“Apa yang sebenarnya gue rasakan?....” batin Novi dengan kepala menunduk. “Kenapa gue merasakan sakit yang aneh?.... Apa gue CEMBURU?....”

*****

*****

SAMPAIKAN KRITIK DAN SARAN DENGAN SOPAN 😊😊😊😊😊😊👍
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd