Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Ati2 gan, bau2 anak band ini,,, penggunaan kata ustad, ustadzah atau yg bau2 agama mending diedit,
 


Bab 3. The Good, The Bad, and the Loser

Seno terkejut mendengar tawaran Dewi. Tangan kirinya seketika membeku. Dia rutuki kebodohannya menjadi tidak awas dengan keadaan sekitarnya hanya karena pesan suara Listiana yang dia dengar lewat earphone. Sebagai pengusaha dengan potensi persaingan tidak sehat, dia harus selalu waspada dengan segala tindak tanduknya. Terutama terhadap ancaman dari pesaing proyek-proyek bergengsi. Untungnya kali ini hanya Dewi—sekretarisnya—yang memergoki.

“Ngomong apa sih kamu, Wi! Ngawur kamu! Dah, tunggu aja di mejamu! Nanti saya panggil kalau sudah selesai,” sergah Seno menutupi malu dan gugup. Meskipun Seno adalah seorang pria dengan masa lalu nakal, tetapi dia adalah seorang pebisnis profesional. Prinsipnya adalah tidak meludahi piringnya sendiri. Bahkan, setelah menikahi Listiana tidak ada lagi kegiatan menikmati wanita-wanita baik yang bisa dapatkan dengan gratis atau pun membayar. Kegiatan merusak Listiana telah meminta seluruh waktunya selain untuk berbisnis sebagai bayaran. Seiring kebinalan Listiana yang semakin paripurna, Seno merasa keinginannya untuk dipuaskan wanita melemah. Apalagi dengan sikap Listiana yang mulai berani menyatakan ketidakpuasannya serta semakinmajunya bisnis yang dia warisi dari sang bapak.

“Maafkan saya, Pak. Baik, Pak. Permisi,” kata Dewi. Air matanya mengambang, tetapi tidak sampai tumpah. Seno menyesali kekasarannya melihatnya. Dia tahu Dewi, bahkan amat kenal. Belum lagi kekagetannya, membuatnya kehilangan kendali dan melakukan hal yang tidak menyenangkankepada Dewi untuk pertama kalinya.

“Wi! Wi! Tunggu! Duduk sini! Tutup pintunya!” Seno bertindak cepat mencegah kepergian Dewi. Banyak hal yang harus dia hindari dengan menahan Dewi sementara di ruangannya. Entah omongan apa yang akan tersebar bila Dewi kembali ke mejanya dengan mata sembab dan berlinang air mata. Apa pun itu, pasti tidak akan ada yang baik untuknya.

“Maafkan saya, Wi. Dan terima kasih atas tawaranmu, tapi maaf lagi, saya gak bisa terima tawaranmu,” kata Seno setelah Dewi duduk di sofa. Dewi mengangguk pelan sambil mengusap air matanya dengan punggung tangan.

“Saya mengerti, Pak. Gak usah minta maaf. Harusnya saya tau diri, pasti saya gak masuk selera Bapak,” jawab Dewi sambil sedikit terisak. Dia paksakan sebuah senyum terkembang, meski terlihat betul getaran yang memilukan di sana.

Seno yang bukan anak kemarin sore jelas tahu ke mana arahnya pembicaraan ini, tetapi dia tetap seorang pria yang mudah luruh ketika melihat seorang wanita meneteskan air mata untuknya. Apalagi yang dikatakan Dewi jelas berlawanan kenyataan. Bila Listiana adalah seorang bidadari dengan cita rasa lokal, maka Dewi adalah perwakilan Asia Timur. Teteknya tidak sebesar Listiana, begitu pun pantatnya, tetapi ada aura yang menggoda dari wanita itu, pancaran kepasrahan yang lahir dari kebutuhan untuk dilindungi. Padahal sehari-hari Dewi adalah pribadi yang tegas dan mandiri. Belum lagi kecerdasan dan kejujurannya. Itulah sebabnya Seno memilih Dewi sebagai sekretaris dua tahun yang lalu dari divisi keuangan. Kecantikan dan keseksian wanita itu hanya Seno anggap sebagai bonus. Siapa pun yang menyangka Seno memilih Dewi hanya karena fisiknya, hanya akan menemukan sebuah kenyataan sebaliknya dalam hitungan hari.

“Ngawur! Untung aja kamu udah nikah. Kalo belum, berapa banyak karyawan sini yang antri ngelamar kamu,” kata Seno membantah. Dia ambil beberapa lembar tisu dari kotak berbahan jati, lalu menghampiri Dewi.

“Makasih, Pak,” kata Dewi sambil menerima tisu dari Seno. Seno memilih berdiri saja, memberi waktu kepada Dewi untuk merapikan penampilannya kembali, meskipun jelas sulit karena air matanya yang terlanjur tumpah telah merusak riasannya.

“Mirip badut ya, Pak?” tanya Dewi merusak lamunan Seno.

“Saya berani taruhan, meski riasan kamu seperti itu, gak akan ada pria bisa yang nolak kamu,” jawab Seno diplomatis berusaha mencairkan suasana. Toh, kenyataannya memang riasan rusak itu sama selai tidak mampu menutupi kecantikan Dewi.

“Gak caya! Buktinya tadi ada yang tega nolak,” balas Dewi lirih membuat Seno tersedak.

“Hush, ah!” Seno seperti kehabisan kata-kata. Dia merasa seperti terjerat pesona Dewi yang terasa lemah sekaligus menggemaskan dengan tiba-tiba. Dua tahun penuh dia berdekatan dengan Dewi, dia tidak pernah merasakan kalau sekretarisnya itu begitu menarik.

“Tuh! Bapak kapan sih pernah manis sama saya? Tiap hari isinya cuma merintah. Ambilin ini, urusin itu, cek ini, jadwalin itu,” kata Dewi memberondong Seno. Wanita itu seperti mendapat angin dengan kegugupan Seno. Jelas Seno tidak berkeberatan dengan berondongan yang diletupkan dengan gaya merengut seperti yang dilakukan Dewi kepadanya. Meskipun dengan wajah menghadap ke pintu, jelas ucapannya dia tujukan kepada Seno.

“Ya, emang kamu digaji buat itu, kan? Lagian, emangnya kurang manisan dari paksu?” jawab Seno berusaha menguasai keadaan. Kemudian dari sana, pembicaraan mereka semakin menerabas batas. Bukan saja dari gaya mereka, melainkan juga temanya.

“Apa semua laki kalok udah dapetin cewek jadi istrinya, gak bergairah lagi ya, Pak?” tanya Dewi setelah menceritakan kekesalannya akibat suaminya yang semakin jarang menjamah dirinya. Sebuah pertanyaan yang membuat Seno menjadi malu sendiri, karena meskipun jawabannya adalah tidak semua pria seperti itu, tetapi jelas dirinya seperti itu kepada Listiana.

“Kalo ke kamu gak bergairah, suamimu perlu diperiksain ke psikiater tuh,” jawab Seno yang masih berdiri.

“Kalo Bapak, perlu gak diperiksain juga?” tanya Dewi tiba-tiba. Tangannya menepuk-nepuk bagian sofa tiga dudukan di sebelahnya. Tidak frontal, hanya seperti sedang membersihkan kulit pelapis busa empuk itu dari kotoran. Namun, dengan lirikan manjanya, jelas Seno pun dapat menemukan sebuah undangan yang menggoda prinsipnya.

“Wi …,” gumam Seno tidak jelas. Namun, dia tidak bisa menolak ketika dasinya direnggut lembut lalu ditarik oleh Dewi, menuntunnya menuju sofa untuk duduk.

“Pak … tawaran saya masih berlaku,” bisik Dewi tepat di sebelah telinga Seno, membuat pria itu melemah.

.
.
.

Teaser ya Hu. Lengkapnya di lapak KK. Next chapter akan saya gratisin lagi. Stay tune, ya.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd