Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Lembutnya Ibuku.

Ternyata menulis dan menuangkan isi kepala itu tidak mudah, butuh waktu dan energi ekstra serta rokok berbatang-batang. Mengenai waktu, tidak usah hawatir karena saya punya banyak waktu di musim corona ini. Mengenai rokok... nah itu dia, stock terbatas dan malas ke warung. Kan kata bapak-bapak pejabat itu usahakan di rumah haha.

Dukungan dan cendol dari suhu-suhu semua disini aja yang mendorong saya untuk terus melanjutkan kisah ini. Mudah-mudahan alur cerita yang saya buat ini tidak jelek. Sekali lagi, terima kasih untuk semuanya.

Update nya setelah yang satu ini ya.
 
TIGA

Setiap magrib aku dan ibu pergi ke mesjid di kompleks perumahan kita. Tempatnya berada di sudut paling jauh berjarak sekitar 500 meter dari rumah. Mesjidnya tidak terlalu besar dan sederhana saja. Jalan kesana juga agak rusak yang berdebu kalau kering, dan becek bercampur tanah kalau hujan. Serba salah kan kalau ketemu jalan yang seperti ini. Kalau pakai motor sih enak, tapi aku dan ibu selalu berjalan kaki. Ibu berjalan duluan, dan aku mengikuti tak jauh di belakangnya. Perjalanan sekitar sepuluh menit terasa lama sekali. Masalahnya adalah ibu berjalan terlalu pelan menurut aku. Seperti orang pacaran saja.

Ibu mengenakan gamis berwarna coklat muda berbahan kaos yang bersifat jatuh. Kerudung syar'i yang dikenakannya berwarna coklat tua dan berkibar-kibar ditiup angin yang sedikit kencang. Setiap orang baik bapak-bapak, ibu-ibu maupun anak muda tersenyum dan mengangguk pada ibu. Semua cukup menghormati ibu, disamping karena bapak terkenal galak, juga karena ibu merupakan guru mengaji anak-anak mereka.
Angin kembali bertiup, ujung hijab ibu berkibar lagi dan berkelepakan. Perhatianku tiba-tiba baru sadar ternyata jika angin bertiup agak kencang maka gamis ibu yang berbahan kaos itu akan menempel ketat di pantatnya mengikuti lekuk liku pinggang, pantat dan kaki sehingga celana dalamnyapun nyeplak. Kok tiba-tiba aku ingin agar angin bertiup lebih kencang ya, berharap pemandangan indah pantat nyeplak ibu untuk lebih lama lagi. Rasa gatal-gatal yang aneh mulai merayapi tititku. Aku teringat lagi pemandangan tubuh setengah bugil ibu di ruang tamu yang sedang berlutut di hadapan bapak dan pantat ibu yang bercelana dalam krem menghadapku. Pantatnya itu tidak besar, karena memang tubuh ibu itu termasuk kecil langsing dan ramping. Tinggi ibu sepertinya tidak terlalu jauh dariku, tinggi 155cm. Beratnyapun paling sekitar 48 kg. Tapi mulusnya itu luar biasa, tak ada cacat noda sedikitpun walaupun kulit ibu bukan putih seperti bule. Putihnya itu seperti putihnya orang Korea lah. Maklumlah, ibu kan orang Bandung yang rata-rata cantik dan putih.

Seorang bapak yang tengah berdiri di pinggir jalan kulihat matanya ikut menatap gamis ibu yang nyeplak di pantat. Aku tidak rela ibuku dinikmati mata orang lain. Kususul ibu.
"Bu, Dedi duluan ya. Ayo jalannya cepetan bu"
"Eh...eh... tunggu Ded, bareng ibu aja. Masa ibu ditinggal?"
Nah betul kan, ibu akhirnya berjalan lebih cepat kalau aku pura-pura meninggalkannya. Ibu menyusulku sekarang lalu berjalan di samping kiriku.
Tangannya melingkar di siku tanganku, bergandengan bak orang pacaran.
"Jangan cepet-cepet Ded" ujarnya sambil agak ngerem dengan tangannya yang melingkari tanganku, sedikit menarik. Aku tidak akan ikut ngerem jika saja sikutku ini tidak tiba-tiba nempel di suatu bagian tubuh yang .... Waw... susu ibu ternyata kenyal sekali, menempel erat di lenganku. Tiba-tiba saja aku tidak ingin cepat sampai ke mesjid, ingin lebih lama merasakan kekenyalan susu ibu di lenganku. Bagaimana rasanya ya jika aku meremas susunya ? Pikiranku melayang membayangkan bentuk susu ibu yang tengah menempel erat. Jalanku menjadi pelan bahkan cenderung terlalu lambat. Aku senang sekali sore ini, bisa bergandengan tangan dengan ibu dan merasakan empuknya susu ibu di lenganku.

"Ih .... ibu ajak ngomong malah bengong...." dan sebuah cubitan mendarat di pinggangku.
"Aduh.... ibu.... apaan sih ?" aku menyesal karena ibu melepaskan gandengan tangannya untuk dipakai mencubit.
"Lagian ditanya ngga jawab malah bengong." ibu melotot pura-pura ngambek.
"Loh ibu nanya apa ya ?"
"Tuh kan..... kamu bengong.... ngelamunin apa hayo ?" goda ibu.
"Ngga ngelamunin apa-apa kok" aku pura-pura marah, tapi sudut mataku secara otomatis tanpa kuminta turun kebawah ke arah dada ibu. Tidak besar memang, tapi cukup menonjol. Itu rupanya yang tadi berasa empuk kenyal dan hangat.
"Ih..... nakal... pantesan bengong" dan kembali ibu mencubit pinggangku. Dia rupanya menyadari kenapa aku sampai bengong.
"Aduuuuuh.... ibu... sakit"
"Biarin...." dan ibu tertawa kecil. Kami akhirnya cekikikan.

"Assalamu'alaikum.... waaah ibu dan anak akur sekali ini... seperti Keluarga Cemara" seorang ibu menyapa kami.
"Eeeeh Bu Dadang.... Wa'alaikum salam"
Dan ibu akhirnya ngobrol dulu di pinggir jalan dengan Bu Dadang, aku menunggu agak jauh. Bu Dadang ini adalah ibunya si Denny teman sebangkuku. Rumahnya memang tak jauh dari situ. Usia bu Dadang sudah jelas lebih tua daripada ibuku, badannya pun bulat pendek tidak semenarik ibu yang langsing.

Tidak lama kemudian mereka berpisah dan ibu menghampiri aku, lalu tangannya menggandeng tanganku lagi. Kami berjalan kembali bersama menuju mesjid. Aku senang sekali karena ternyata ibu tidak perduli jika lenganku menempel erat di dadanya yang empuk.
"Ih... anak ibu senyam senyum terus ga berhenti dari tadi" godanya.


***


Malam itu aku terbebas dari tugas rutinku setiap malam yaitu memijiti kaki bapak selama sejam. Aku asik menonton TV setelah aku makan malam.
"Duh bahagianya anak ibu yang bebas tugas.....hahaha" kata ibu sambil menjawil hidungku yang pesek lalu dia duduk di sebelahku, di atas karpet tempat aku biasa memijiti bapak.
"Yee ibu..... ngga boleh aja anaknya seneng"
"Iyaaa.... boleeeh.... apa sih yang ngga boleh buat anak ibu..... asal bapak ngga ada aja hahaha"
"Terus.... kok ibu juga malah keliatan lebih senang kalau bapak ngga ada ?" tanyaku menyelidiknya. Seketika senyum dan wajah cerianya hilang, diganti wajah murung. Ibu cuman menarik nafas panjang dan mendesah.
"Ibu juga takut sama bapak ya ?" tanyaku tidak mau menyerah.
"Kamu juga takut kan ?" dia bukannya menjawab malah balik bertanya.
"Iya.... Dedi takut bapak bu, galak banget. Dedi takut dipukulin"
"Ya sama, ibu juga takut tapi ibu bukan takut dipukulin. Ibu takut hal lain"
"Terus, ibu takut apa ?"
Ibu tidak menjawab, malah kemudian tiduran dengan posisi miring diatas karpet sambil nonton TV.

"Bu..... ibu mau Dedi pijitin nggak ?" tanyaku ragu.
"Hah... ? yang bener Ded.... bukannya Dedi males kalo mijitin ?"
"Hahaha.... iya kalo mijitin bapak males, soalnya sambil ketakutan. Salah pijit aja bisa habis Dedi dimarahin"
"Hmmm..... beneran Dedi mau ? kaki ibu juga pegel sih Ded. Sebentar aja kalau Dedi mau"
"Yaudah sini Dedi pijitin kakinya. Ibu tengkurep dong"
"Bentar ibu ngambil bantal ya" dan ibu ngambil bantal di kamar, lalu tidur tengkurap.
"Kalau mijit ibu jangan keras-keras ya Ded", pesannya.
"Segini gimana bu terlalu keras nggak ?" tanyaku sambil mulai memijiti betisnya.
"Masih terlalu keras"
"Kalau segini ?"
"Ya... cukup" jawabnya. Tapi ini menurutku bukan mijit, soalnya aku terbiasa memijit dengan tenaga keras jika sedang memijiti bapak. Betis bapak itu keras sekali.

Lain halnya dengan betis ibu. Selain kulitnya halus, ternyata betis ibu empuk sekali, dan ukurannya jauh lebih kecil dari betis bapak. Membuat aku serasa tidak memijit saja. Biasanya jika memijiti bapak, aku berkeringat seluruh tubuh. Mungkin karena itulah badanku kecil terus haha. Kami terus mengobrol mengenai hal yang lucu-lucu pengalaman di masa lalu. Bahagia sekali jika bapak tidak di rumah. Coba lebih sering lagi....

Aku memijiti kaki ibu dengan cara meremas, bukan mengurut. Kenapa seperti itu ? karena kalau mengurut pakai jempol maka ibu pasti kesakitan seperti tadi. Dengan meremas betis seperti ini, tidak perlu pakai minyak atau lotion, cukup diremas saja tidak perlu dilicinkan seperti mengurut. Ini juga membuat aku nyaman, karena menggunakan minyak urut itu tidak terlalu nyaman juga di tanganku. Malah tanpa minyak urut begini aku bisa lebih merasakan kehalusan betis ibu ditanganku. Lama-lama obrolan kami semakin jarang dan semakin jarang. Nafas ibu semakin teratur dan tidak lama kemudian mendengkur halus.

Aku terus memijiti dan meremas betis ibu naik turun dari mata kaki hingga ke balik lututnya. Tanpa diajak ngobrol, aku jadi memperhatikan pantat ibu yang bergoyang pelan ketika kuremas betisnya. Dari goyangannya saja aku bisa membayangkan, tentu pantat ibu yang tidak terlalu besar itu cukup empuk. Aku jadi ingat lagi waktu malam itu melihat pantat ibu hanya berbalut celana dalam saja. Seksi sekali pikirku. Kapan lagi ya bisa melihat ibu seperti itu ? Dengan berfikir begitu saja tititku tegang sampai membuat sesak di celana. Gatal-gatal geli gitu ingin diremas atau ditekan ke sesuatu. Mungkin kalau ditekan ke pantat ibu..... ah.... kok aku jadi berpikiran kotor ? dosa tau.

Tapi kembali mataku melayang ke pantat ibu. Walaupun hanya mengenakan daster dengan panjang selutut, kehalusan bahan daster yang ibu kenakan membuat pantat ibu terlihat jelas bentuknya. Jantungku berdebar, ingin sekali menjamahnya tapi takut dosa. Hmm.... kalau diraba mungkin aku dosa.... tapi kalau cuman dilihat doang kayanya ngga apa-apa, lagian aku sudah pernah melihat pantat ibu yang pakai celana dalam doang kan. Nah... sekarang ibu pake celana dalam yang mana ya ? yang seperti waktu itu bukan ?

Penasaran, aku menurunkan kepalaku melongok ke celah daster ibu yang selutut. Tapi ngga kelihatan, gelap dan samar terhalang oleh pahanya yang putih. Kalau sedikit aku buka kakinya gimana ya ? ibu bakal bangun nggak nih. Mendengar suara dengkuran ibu, aku sedikit dibikin berani. Ngga mungkin bangun kalau dilakukan pelan pelan kayanya sih. Atau aku naikkan dasternya ? bisa dicoba lah.

Aku berpura-pura memijit ibu ke atas lutut yaitu mulai ke paha bagian bawahnya. Dan ternyata paha ibu lebih halus lagi dari betisnya, dan terasa lebih hangat. Nafasku memburu didera nafsu. Ini salah, luar biasa salah, tapi aku begitu penasaran. Jadi, aku terus memijiti paha ibu. Pertama memang bagian bawahnya, tapi sedikit demi sedikit aku merayapkan pijitanku makin keatas. Paha perempuan itu ternyata makin keatas makin hangat.... apalagi pas dibagian selangkangan barangkali ya ? Tiap pijitanku naik keatas, maka ujung daster ibu makin terseret keatas.... lalu makin keatas.... lalu makiiiin keatas.

Mataku nanar, tak mau melepaskan pandangan dari paha ibu yang indah. Tidak sedikitpun ada noda disana, hanya satu buah tahi lalat kecil di paha kiri bagian dalamnya (bagian ini beneran nih bukan ngarang wkwkwk). Celana dalam ibu mulai kelihatan dari sela-sela dasternya, tapi masih agak gelap. Yang jelas, aku sudah mulai berani menjawil ujung dasternya lalu menaikannya keatas hingga pelan-pelan sekarang nampaklah pantat ibu yang indah terbalut celana dalam berwarna hitam. Celana dalamnya bermodel biasa saja, tidak seperti yang kulihat di majalah porno yang pakai G String atau apalah namanya itu. Modelnya asli model biasa, tapi bukan model ibu-ibu juga yang menutupi seluruh buah pantat, ini sih hanya menutup sebagian saja buah pantatnya. Bahan celana dalamnya dari kaos halus (mungkin polyester??) mencetak pantatnya dengan ketat hingga terlihat buah pantatnya dipeluk erat oleh celana dalam. Aku terengah.... karena ini pertama kalinya aku melihat dengan bebas dari jarak dekat tanpa gangguan.

Yang kemudian aku sadari bahwa pijatanku di paha ibu telah berubah menjadi elusan yang makin lama eku mengelus pahanya makin keatas hingga tepat ke bagian terhangat.... selangkangannya. Jemariku berhenti disana, merasakan jalaran hangatnya selangkangan ibu terbawa aliran darahku ke seluruh tubuh hingga aku akhirnya gemetaran. Dengan sekali geser, jari tengahku menyentuh bagian celana dalamnya yang mencetak sebentuk belahan daging yang empuk saat kusentuh.

Aku menyentuhnya lagi, benar empuk.
Dan aku menyentuhnya lagi lebih keras, benar-benar empuk seperti menekan roti yang masih hangat.
Dan memang hangat.
Apalagi saat aku menekan tepat di bagian belahannya agak lebih kedalam, kehangatannya sungguh terasa. Pakai jari aja sudah berasa nyaman, apalagi jika tititku yang tegang masuk ke sana. Pasti hangatnya lebih berasa.

Aku, yang seumur-umur belum pernah melihat bagian tubuh wanita yang paling privat, dan belum pernah sekalipun melakukan onani atau masturbasi atau coli, tidak tahu apa yang harus kuperbuat untuk menghilangkan rasa gatal yang aneh di ujung tititku yang tengah mengeras itu. Tapi secara naluri saja aku tahu bahwa tindakan berikutnya yang paling masuk akal adalah menempelkan tititku disana. Tapi bagaimana aku melakukannya ? apakah ibu tidak akan bangun ? Aku bimbang.

Di tengah kebimbangan itu, suara dengkuran ibu berhenti.
Aku waspada. Semua yang tengah kulakukan sekarang kuhentikan.
Ketika beberapa saat lamanya dengkuran ibu berhenti, aku memutuskan untuk menurunkan kembali daster ibu dengan hati-hati sekali. Aku tidak ingin tertangkap basah sedang melakukan hal yang tidak seharusnya kulakukan, karena tertangkap basah artinya akan hilang kesempatanku di masa yang akan datang. Aku masih ingin melakukannya lagi nanti, jika kesempatan memihakku.

Benar saja, sebentar kemudian ibu menarik nafas dalam lalu bergerak pelan.
"Aduh ibu ketiduran Ded.... pijitan kamu enak"
"Ngga apa-apa kok mah" jawabku. Ya ngga apa-apalah.... malah lebih baik ibu tidur terus aja yang nyenyak haha.
"Yaudah, cukup Ded.... tapi ibu besok dipijit lagi ya"

Nah, betul kan ? kesempatan itu besok datang lagi.

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd