Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Bocoran dari penulisnya, Bab terakhir sudah selesai, tinggal dibaca ulang terus di share di forum.
 
BAGIAN 25


Aku membuka sepasang mataku sambil mengerjap-ngerjap. Bukan karena mimpi buruk, melainkan kaget dari dering alarm yang cukup nyaring memekik di telinga. Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Tak kusangka, aku tidur selama hampir sepuluh jam. Pulas sih iya.

Tangan kiriku mengusap wajah yang sepertinya lagi kusut-kusutnya. Habisnya sih aku kan baru bangun tidur, hihihi. Aku masih belum bangkit dari ranjang. Tubuhku masih berbaring sambil menatap langit-langit kamar yang di atasnya berhiaskan ornamen dengan ukiran-ukiran yang indah. Tiga buah lampu tidur juga menambah keindahan ruangan ini.

Selimut yang menutupi tubuh ini kemudian kusingkirkan hingga ketelanjanganku sepenuhnya terumbar bebas.

Ah, tak lama lagi tubuh ini bakal dimasak. Aku merasa excited sekali, ditambah dilakukan di depan banyak orang. Hihihi.

Vivi, Jessica, Angela. Bentar lagi aku menyusul kalian!!

Aku bangkit dari kasur, lalu turun dari ranjang. Tak lupa aku merapikan sprei dan melipat selimut yang nantinya tak akan lagi menyentuh dan membungkus kulitku. Aku sudah siap. Inilah hari yang kutunggu-tunggu. Semoga acaranya berjalan dengan lancar.

Setelah merapikan tempat tidur, aku pun menuju ke wastafel untuk membasuh muka, membersihkan hidung, telinga, dilanjutkan dengan menyikat gigi. Meski nanti gigi dan kepalaku tidak akan dikonsumsi, aku harus membersihkannya. Acara membersihkan muka ditutup dengan berkumur.

Aku meletakkan telapak tangan kanan di depan mulutku yang sedikit membuka, kemudian aku mengeluarkan udara dari paru-paru melalui mulut. Udara pembuangan paru-paru itu membentur kulit telapak tangan, memantul hingga kuhirup dengan hidungku.

Ah, segarnya. Aroma mint pasta gigi memang menyegarkan. Kulihat bayangan wajahku di cermin yang ada di atas wastafel. Cantik. Giginya pun putih bersih. Wajah yang awalnya kusam, kini kembali cerah. Hihihi.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu sedang diketuk.

"Permisi, Kak Siska."

"Masuk aja."

Kulihat dua orang wanita berpakaian khas itu maid masuk, lalu menutup pintu kamar kembali. Mereka berdiri menunggu tak jauh dari pintu. Salah satunya membawakan tote bag. Aku pun berjalan menghampirinya. Aku tahu ini pasti penting.

“Ada apa?”

“Kami membawakan pesanan pakaian untuk Kak Siska. Di dalamnya ada pesan dari Tuan Borgan.” Wanita yang membawakan tote bag menyerahkannya kepadaku.

Sekilas, tatapan mata mereka sempat menyorot ke dada dan satunya ke selangkanganku. Hahaha, aku malah makin pede dilihat seperti itu.

“Terima kasih, ya,” jawabku menerima tote bag sambil tersenyum manis ke arah mereka.

“Sama-sama, kami pamit undur diri.”

Setelah berpamitan, mereka berdua kemudian pergi meninggalkan ruangan ini, sendirian di ruangan megah dan luas bak ratu di film-film disney. Hihihi.

Sambil memegang tote bag, aku berjalan ke ranjang dan duduk di tepi kasur spring bed yang empuk. Aku membuka tote bag dan di dalamnya terdapat sebuah pakaian. Terselip sebuah kertas dengan tulisan tangan. Kubaca dengan seksama tulisan singkat itu.

Segera ke ruang tengah dan kenakan pakaian ini. Ada hal yang ingin saya bicarakan.

Tertanda Borgan.


Sesaat aku merasa ada sesuatu. Entah apakah itu. Apakah seperti rasanya mau mati sesuai dengan fantasi dan keinginanku? Duh, mana aku belum mandi pula. Ya sudah deh, aku segera ke sana. Aku segera mengambil pakaian di dalam tote bag. Kainnya sungguh lembut dan berwarna cream. Karena penasaran, lalu aku bentangkan.

Wuih, tak kusangka pakaian ini ternyata sebuah kimono. Aku pun mengenakan pakaian ini. Aku masukkan tangan kananku ke lubang pakaian itu disusul tangan kiriku. Yang tadinya duduk, aku kemudian berdiri untuk mengikat tali di pinggangku. Aku berjalan menuju cermin dan melihat pantulan bayangan diriku di sana.

Hihihi, sexy abis. Ujung bagian bawahnya sedikit di atas lutut. Namun, ada belahan di paha sisi samping yang cukup tinggi sampai ke pinggul. Jadi, paha sebelah kiri dan kanan terlihat mengintip gitu. Saat kucoba melangkah, kulit putih pahaku kelihatan. Meski nggak seluruhnya, tapi lumayan lah bikin cowok-cowok penasaran. Haha.

Oke, sekarang sudah pakai baju, tapi belum make up. Sebaiknya dandan dulu atau enggak ya? Hmmm. Nah, gak perlu, deh. Toh aku kalau dandan agak lama. Kayaknya cukup merapikan rambut saja. Bisa-bisa Pak Borgan tidak sabar menungguku jika berlama-lama di sini. Tanpa berpikir-pikir lagi, aku pun segera menyisir rambutku lalu melenggang menuju pintu kamar. Aku kenakan sandal jenis slipper yang warnanya sepadan dengan pakaian yang kukenakan. Bahannya empuk, halus dan terasa nyaman di kulit kaki. Biasa sandal jenis ini kupakai di rumah dan banyak ditemukan di hotel. Akan tetapi, bahan dan kenyamanannya lebih enak ini, ditambah lagi slipper ini ada bulu-bulunya sehingga terasa hangat.

Aku membuka pintu, lalu melangkah melewati kusen pintu. Aku balik badan menghadap ke arah kamar.

"Terima kasih, ya. Setelah ini aku tak lagi kembali ke sini," kataku membatin seraya tersenyum. Aku arahkan tangan kiri menggapai gagang pintu, lalu aku mengayunkan hingga pintu menutup sempurna.

Aku berjalan di dalam koridor yang di sisi kiri dan kanan terdapat hiasan lukisan dan lampu yang menyinari jalan menuju ke akhir perjalanan hidupku. Hahaha, entah kenapa aku merasa berdebar-debar. Biasanya aku santai-santai saja. Mungkin karena mau pindah alam kali. Hihihi.

Oh, iya. Di sepanjang jalan koridor ini, aku hanya berpapasan dengan dua orang pegawai Pak Borgan. Satunya sepertinya pasukan keamanan, sedangkan yang satunya seorang cleaning service yang membawa perlengkapan mengepel.

Langkah kakiku lanjut menuju ke sebuah tangga menuju lantai bawah yang bentuknya setengah lingkaran. Tangan kiriku berpegangan pada pagar tangga yang bahannya terbuat campuran antara kayu jati, maple, dan sonokeling yang di-furnish apik. Ditambah, cahaya lampu gantung yang sekelilingnya terdapat ornamen-ornamen kaca memantul indah. Aku yang turun dari anak tangga ini seperti putri-putri disney. Hahaha. Ya meski aku tahu kisah akhir hidupku di sini tak seindah di sana. Setidaknya aku bersyukur. Ini adalah kesempatan yang mungkin tak dapat terulang kembali, yaitu mewujudkan fantasiku yang paling absurd. Aku penasaran, apakah nanti aku horny atau tidak. Uuhh, memikirkannya saja bagian bawah tubuhku sudah basah.

Setelah menuruni puluhan anak tangga, aku pun menuju ke pintu yang kutuju. Setelah membuka pintu, di tengah ruangan Pak Borgan sudah duduk santai dengan kaki kanan memangku di kaki kiri sambil menghisap cerutu.

"Dik, Siska. Mari sini duduk," pintanya ramah mempersilakanku duduk setelah mengetahui keberadaanku.

Aku mengangguk kemudian duduk di kursi sofa yang ada di hadapannya.

"Ada apa, Pak?"

"Sebelumnya saya minta maaf. Mungkin hal ini tidak berkenan di hati Dik Siska," katanya kemudian mematikan lalu meletakkan cerutunya. "Rencana untuk sesi dik Siska diundur sejenak."

"Berapa lama?" tanyaku penasaran.

"Kurang lebih dua jam."

"Oh, kalau itu tidak apa-apa, Pak. Yang penting nanti acara lelang tubuh Siska ini tetap terlaksana."

"Iya, saya jamin tetap terlaksana. Dan sesuai janji, uang lelang yang telah terkumpul akan disumbangkan ke yayasan panti asuhan yang Dik Siska tetapkan," katanya kemudian memajukan tubuhnya ke arahku. "Dik Siska siap, kan?"

"Tentu saja siap, Pak. Siska merasa excited banget pengen cepet-cepet mati," kataku dengan raut wajah riang dan disambut senyum ramah pria di hadapanku.

Beberapa saat kemudian, ia mengambil cerutu lalu berdiri. "Mari ikut saya. Ada yang ingin saya tunjukkan ke Dik Siska."

Aku berdiri, lalu mengikutinya dari belakang. Kami membuka pintu keluar dari ruangan ini menuju ke suatu tempat. Di depan sana, sambil berjalan, ia sesekali menghisapi cerutunya itu. Meski tubuhku lumayan menggairahkan dengan pakaian ini, dia sama sekali tidak menoleh sedikit pun ke belakang.

“Masih jauh, ya?”

“Setelah melewati lorong ini, kita akan sampai di tujuan,” tuturnya sambil mengembuskan asap putih yang aromanya khas dari tembakau. Soalnya aku ada di belakang, jadi kena asap cerutunya. Untung aja sih aku tidak batuk-batuk meski ini adalah pertama kalinya aku menghirup asap itu dari dekat.

Dulu aku punya teman cowok yang dekat dan perokok. Dia pernah menyatakan cintanya kepadaku, tapi sayangnya aku tolak mentah-mentah, karena asapnya itu loh. Dia tidak tahu kalau aku tidak suka perokok, tapi dia ngeyel, Aku tolak deh. Aku yakin, sekarang ini paru-paruku masih bersih dan tidak ternodai oleh flek-flek tar. Gimana coba, sebentar lagi paru-paruku bakal dikonsumsi orang. Kalau ada flek, pasti harga jualnya turun kan.

Lorong koridor yang kami lalui kini sebagian besar dinding di sebelah kiri dan kanan berbahan kaca. Cukup tinggi juga, aku menengok di sebelah kanan banyak sekali mobil-mobil mewah klasik, motor Harley dan beberapa motor sport terparkir rapi. Aku pun dapat melihat banyak orang yang menenteng senjata laras panjang dan laras pendek. Sebuah mobil yang baru masuk di pintu gerbang dapat pemeriksaan ketat. Mereka pasti adalah anak buah Pak Borgan. Beberapa orang juga tampak baru turun dari mobil dan sedang menuju ke sebuah Dom Hall.

Di ujung jalan koridor ini, terdapat empat orang berjas dan bersenjata. Namun, saat kami melewatinya, mereka memberi hormat dengan tangan.

“Jangan sampai acara ini gagal,” ujar Pak Borgan.

“Siap!” jawab serentak mereka.

Mereka semua memandangku, tapi tidak lama. Aku pun ngeloyor mengikuti Pak Borgan dari belakang.

Dari arah depan, ada seorang pria yang menunggu. Dalam beberapa langkah, Pak Borgan mengobrol dengan lelaki itu.

“Logistik kita aman?”

“Siap, aman, Tuan.”

“Bagus. Tolong monitor kondisi pengamanan area mansion dan aula.”

“Siap!”

Pak Borgan kemudian pergi meninggalkan pria itu. Setelah melangkah, aku melihat jelas pria yang barusan berbicara dengan Pak Borgan.

“Eh, sepertinya pernah tau. Bapak ini namanya …”

“Agil.”

“Oh iya, yang tadi di ruang bawah ikut nyiksa Ayun dan Fahmi, ya?”

“Betul.” Ia menjawab ramah. “Sudah buruan sana, ditunggu Tuan Borgan.”

“Eh, iya bener. Hihihi.”

Di depanku, Pak Borgan ternyata berdiri dan terdiam menungguku.

“Maaf, Pak. Siska tadi ngobrol sama anak buah bapak.”

“Tidak apa-apa.” Kami pun kembali berjalan.

“Memang, sebelumnya pernah gagal ya, Pak?”

“Pernah, tapi …” Ia mengisap cerutunya kembali. “Tak perlu dipikirkan. Yang berlalu biarlah berlalu.”

Ya, benar. Aku pun berharap acara ini berjalan dengan lancar. Aku tidak ingin fantasiku gagal total.

Sekarang kami berdua berjalan di sebuah jembatan yang menghubungkan antara mansion dan aula yang ada di seberang sana. Di sebelah kiri dan kanan masih berdinding kaca. Setelah beberapa menit melewati jembatan, kami pun tiba di Dom dan menuju ke sebuah pintu. Setelah masuk pintu, aku tercengang. Sebuah ruangan berukuran cukup besar yang terdapat beberapa kursi dan meja. Lantai marmer dan karpet-karpet bermotif sebagai alas dari sofa dan meja. Lampu-lampu kuning keemasan menyinari ruangan yang mirip sebuah VVIP di sebuah stadion. Dinding kaca besar menampilkan ruangan yang jauh lebih besar lagi dengan ratusan orang duduk menghadap ke sebuah panggung yang di sisi kanan dan kirinya terdapat barang-barang lelangan.

“Mari duduk sebelah sini, Dik,” pinta Pak Borgan mempersilakanku untuk duduk di sofa yang ada di sampingnya. Tangan kanannya memegang remote. Kulihat ia menekan-nekan tombol berwarna hitam tersebut. Seketika, terdengar suara yang bagiku tidak asing.

“ … kita sudah berada di acara puncak. Sebagai pembukaan, mari kita saksikan hiburan yang saudara-saudara nantikan.” Suara yang tak salah duga adalah pembawa acara.

Suara tepuk tangan menggema ke seluruh ruangan, tak terkecuali ruangan kami ini.

“Mereka tidak akan tahu kalau kita ada di sini.” Pak Borgan menuangkan minuman berwarna merah darah ke dua gelas berbentuk prisma. “Ini, minumlah.”

Aku menerima gelas itu, lalu segera meminumnya. Seketika rasa hangat menjalari tenggorokanku. Minuman yang secara ilmiah sebagai antioksidan ini memberikan esensi kenikmatan. Asalkan tidak berlebihan, bagiku itu baik untuk kesehatan tubuh.

Sambil menenggak wine, di atas panggung sudah terpajang sebuah tabung silinder berbahan kaca yang tebal. Tingginya kurang lebih 3 meter dengan diameter sekitar 1 meter. Entah, untuk apa benda itu. Kira-kira setengah meter di bagian bawah tabung silinder itu berwarna hitam. Seperti menyembunyikan sesuatu yang tak boleh diperlihatkan kepada kami.

Tiba-tiba, muncullah sesosok wanita berparas cantik, kulit putih, berambut lurus. Beberapa TV LED di atas kaca menampilkan detil-detil bagian tubuhnya tersebut. Dari ujung rambut menuju ke bawah. Matanya indah seperti permata, di sisi lain layar TV menampilkan bentuk telinganya. Ada juga yang menampilkan bagian belakang kepalanya. Di raut wajahnya terlukis kemuraman dan kegelisahan. Tatapan matanya menunduk lesu. Awalnya aku tidak tahu dia itu siapa, namun setelah juru kamera menyorot wajahnya, aku mengetahuinya. Wanita itu yang kemarin ada di brosur dan sempat berpapasan denganku.

"Perkenalkan makanan hidangan pembuka untuk semua hadirin di sini. Fathia Almah Chaerunnisa. Nama panggilannya adalah Almah,” kata pembawa acara kemudian menoleh ke arahnya. “ Benar begitu?"

Wanita itu mengangguk lemah.

Beberapa layar TV LED di hadapan kami dan sebuah layar sebagai background di panggung menampilkan foto-foto seorang wanita yang berpakaian lengkap dan sopan.

"Dia adalah seorang wanita yang hedonis yang tidak mampu membayar utang. Sebagai gantinya, dia membayar dengan tubuhnya sendiri."

Sontak para hadirin yang berada di ruangan itu tertawa. Kulirik Pak Borgan, bibirnya tersenyum seraya tangan kirinya mengusap-usap di bawah bibirnya. Seketika air matanya keluar dan membasahi sepasang pipinya. Ia seperti sedang menahan tangis.

Memang kuakui, banyak cewek modelan seperti dia yang hedon posting-posting di media sosial dari hasil utang. Mereka mengejar ketenaran dari dunia yang fana. Ujung-ujungnya, mereka dikejar-kejar DC dari aplikasi pinjaman online. Aku pun tak memungkirinya, karena teman-temanku ada yang terjerat utang.

Aku penasaran, seberapa banyak sih utang yang dia miliki, sampai-sampai dia dijadikan penebus utang?

Dalam sekejap, pemandangan di hadapanku berubah menjadi lebih panas. Dengan malu-malu, tangan wanita itu kemudian meraih kancing baju tuniknya. Melepaskan dari atas sampai bawah hingga tampak belahan vertikal kulit halus yang mengintip malu-malu. Di dadanya terdapat corak warna biru yang sepertinya itu adalah bra. Ia keluarkan tangannya, dimulai tangan kiri, lalu tangan kanan hingga akhirnya pakaian itu tanggal dari tubuhnya. Pakaian tunik itu dibiarkan jatuh di lantai panggung. Selanjutnya, tangannya bergerak melonggarkan tali pengikat pada celana kulot. Perlahan, celana itu turun hingga kulit pinggul, paha, dan lututnya terlihat. Dia juga masih mengenakan celana dalam berwarna biru, senada dengan warna bra yang dikenakannya.

Dia sepertinya sudah tidak malu-malu lagi. Ataukah karena dia diprovokasi oleh salah satu orang yang menonton? Aku rasa tidak.

Di saat celana itu jatuh, kaki kanannya keluar dari celana yang membalutnya, disusul kaki kiri. Sekarang, ia berdiri hanya mengenakan dua buah pakaian, bra dan celana dalam. Celana kulotnya masih tergeletak di dekat kakinya, lebih tepatnya di belakang kakinya. Sedangkan pakaian tuniknya berada di samping kirinya.

Kulihat ia sedang menghirup napas sambil memejamkan mata. Sepasang tangannya bergerak menuju ke samping lalu ke pungggung. Kulihat di layar yang menampilkan sisi belakang tubuhnya, ia sedang mencoba melepaskan pengait bra. Setelah lepas, tangannya bergerak menyingkirkan tali yang ada di pundak kiri, disusul pundak kanan. Tangan kanannya menggapai bagian atas mangkok yang menangkupi dada kirinya itu, kemudian ia turunkan. Tanpa basa-basi, gundukan yang tersembunyi dibaliknya muncul. Tarikannya itu menyebabkan mangkok bra di dada sebelah kanannya ikut tertarik turun dan menampakkan sebagian toket yang tersembul keluar.

Dada sebelah kirinya sekarang terlihat sepenuhnya. Dapat kuperhatikan, di layar itu sedang menyorot, fokus, dan memperbesar area itu hingga dapat kusaksian layar di depan sana memperlihatkan areola coklat muda kemerahan yang diameternya sepadan dengan ukuran buah dadanya itu. Besar? Ya, tentu saja. Mungkin lebih besar dia dari punyaku.

Kulihat di tengah-tengahnya, biji daging berwarna lebih gelap masih sembunyi malu-malu dihimpit kulit areolanya. Aku tidak yakin, dia masih perawan atau tidak. Tapi, sepertinya, dengan bentuk puting yang masih tenggelam itu menandakan kalau dia tidak terangsang. Aliran darah dan hormon untuk membuatnya tegang masih belum aktif.

Kini, toket sebelah kanannya disorot. Ia sudah tak tertutupi lagi. Sepasang payudaranya sudah tampil ke para penonton, namun bra itu masih tersangkut di tangannya. Saat jatuh di depan jemari kakinya, terdengar siutan dari salah satu dari mereka, disusul tepuk tangan.

Wanita itu menunjukkan ekspresi keditaknyamanannya. Bagaimana tidak, ditatapi oleh banyak pengunjung yang melihat ke tubuhnya itu. Mukanya memerah, dan muncul bulir-bulir keringat dari pori-pori wajahnya. Dengan sigap, ia kemudian menutupi dadanya dengan menyilangkan tangan kanannya secara horizontal. Namun apa daya, yang ditutupi hanyalah sebagian kecil saja. Yaitu, sepasang areola dan puting. Sisanya, gundukan gunung kembar itu tetap tak terlindungi oleh tangannya. Apalagi, tangannya yang menekan dadanya itu membuat bagian bawah dan atasnya berbentuk cembung, seperti hendak tumpah keluar.

Bra itu kini tergeletak bersama dengan dua pakaian yang telah mendahuluinya. Suara penonton yang saling berbicara satu sama lain membuat ruang aula itu berdengung. Kulihat mereka menunjuk malu-malu ke arah wanita yang berdiri itu. Beberapa ibu-ibu juga saling berbisik sambil menutupi mulutnya dengan telapak tangannya dari arah samping.

Aku yakin, mereka itu juga sedang membicarakan fetish-nya dengan berkata, “Perutnya sepertinya enak”, atau “Dadanya bisa jadi tiga porsi”. Atau, jangan-jangan itu hanya bayanganku saja, hahaha.

Sekarang wanita itu terlihat malu-malu untuk menyingkirkan tangan dari dadanya. Meski itu pun tak ada gunanya, karena cepat atau lambat, ia pasti akan telanjang.

Bernar dugaanku, selang beberapa menit, tangan yang menutupi dadanya ia singkirkan. Saat tangannya menyingkirkan untuk melindungi sepasang bongkahan kenyal di dadanya itu, jari jemarinya gemetar. Gugup dan gerogi jadi satu. Mungkin juga ia demam panggung.

Sepasang daging montok kembar berbentuk bulat itu dapat terlihat olehku, dan juga oleh penonton. Kutengok Pak Borgan mengangguk-angguk pelan sambil menyeruput minuman kekuningan di gelas kecilnya. Aku kembali melihat ke layar, di sana Almah sedang membuka celana dalamnya. Ia memasukkan ibu jarinya di pinggang celana dalam itu, lalu secara perlahan menurunkannya. Rambut kemaluannya terlihat, disusul oleh lempitan tipis alat kemaluannya. Setelah diturunkan sampai di bawah lutut, ia kemudian mengangkat kaki kirinya, disusul kaki kanannya. Saat itu, sepasang buah dadanya tampak menggantung seperti dua buah balon yang diisi air yang salah satu sisinya diikat tali.

Tubuhnya mulai berkeringat. Beberapa gumpalan-gumpalan keringat yang menyatu di kulitnya membuat cairan yang berasa asin itu merambat turun hingga pada akhirnya jatuh di lantai panggung.

Celana dalam yang beberapa menit yang lalu menutupi selangkangannya, kini telah terlepas dan sekarang dipegang di tangan kirinya, kemudian ia jatuhkan tergeletak di samping kiri ia berdiri.

Para insan yang hadir di sana bergemuruh seperti suara sekawanan tawon yang sedang terbang. Mereka saling berbicara satu sama lainnya. Intonasi suara itu makin naik ketika Fathia Almah Chaerunnisa berdiri tegap dan tidak menutupi area dada dan selangkangannya.

“Itu orang-orang pada maniak kali ya? Lihat cewek bugil seperti kayak yang baru lihat,” kataku penasaran.

“Kau tahu … bagi mereka, Almah itu seperti makanan.” Pak Borgan menjelaskan.

Aku mengangguk mengerti. Bisa jadi demikian, soalnya fetish orang itu beda-beda. Ada yang melihat orang itu menjadi bergairah karena ketiaknya, ada yang karena melihat hidungnya, dan sebagainya. Pak Borgan tentu tidak asal ngomong kalau tidak tahu kebenarannya.

Tanganku meraih gelas yang di dalamnya sudah berisi cairan beralkohol, lalu meminumnya tiga kali tegukan kemudian menaruhnya kembali di tempatnya. Tenggorakanku terasa hangat. Aku menatap kembali ke layar TV. Sekarang di belakang wanita itu ada seorang pria yang sedang memungut pakaian-pakaian yang berserakan, kemudian pergi.

Almah berdiri tegap, lalu sekilas matanya melirik ke arah pembawa acara.

“Si … silahkan menyaksikan acara ini,” katanya sambil sedikit terbata-bata kemudian membungkukkan badan.

Seisi ruangan kembali riuh dengan suara tepuk tangan. Seketika ada seorang wanita berjalan menaiki panggung, disusul dua orang, laki-laki dan perempuan.

“Perkenalkan, saya Hilda, yang bertanggung jawab atas menu flabulous illusion,” ucapnya menunjukkan layar di samping panggung bertuliskan nama menu itu tanpa ada gambar maupun foto. “Saya dibantu dua asisten, Michelle dan Jack. Selamat menyaksikan.”

Mereka bertiga membungkukkan badan. Beberapa detik kemudian, cef Hilda mendekati Almah, berdiri di hadapannya. Wajah Almah tampak ketakutan melihat sesuatu di hadapannya. Ia sempat mundur selangkah, namun dari belakang kedua asisten cef Hilda memegangi pundaknya. Tangan cef Hilda memegang payudara kanan Almah. Diremasi perlahan-lahan dari pangkal sampai jemari cef Hilda menjepit areola hingga membuat puting Almah timbul dan mencuat. Wajahnya makin ketakutan ketika tangan kanan cef Hilda mendekati putingnya. Di tangan kanannya, sebuah kail yang dipangkalnya terdapat papan persegi panjang berbahan metal.

Mata Almah memejam. Sepertinya ia tak sanggup melihat apa yang bakal terjadi. Wajahnya semakin memproduksi banyak keringat. Terlihat ujung kail yang bentuknya seperti kail untuk memancing ikan didekatkan ke samping putingnya.

“AAAIIIIHHH!” Suara jerit memekik telinga terdengar.

Puting kanannya sudah tertembus oleh kail. Di layar menampilkan sorotan yang lebih dekat, memperlihatkan bagian yang ditembus oleh kail itu di bagian pangkal puting. Menembus secara horizontal, dari kiri ke kanan. Putingnya itu sedikit tertarik ke bawah, menandakan kalau kail itu begitu berat membawa beban lempengan metal. Terbaca jelas, tulisan dengan satu huruf dan satu kata.

GRADE A

Begitulah yang tertera di lempengan itu. Huruf-hurufnya timbul dan mengkilap. Selang beberapa detik, darah keluar dari salah satu sisi tusukan kail. Wajah Almah meringis. Aku sampai mengapitkan pahaku. Memekku terasa berdenyut-denyut. Putingku menegang. Gila, aku benar-benar terangsang. Dapat kurasakan kewanitaanku di bawah sana lagi banjir.

“AAAAAAAAAAHHHHH!” Jeritan kedua tak terelakkan.

Puting kirinya turut ditembusi oleh kail. Namun, kali ini ada yang berbeda. Pangkal kail itu tidak ada penyemat plat metal seperti di puting kanannya, melainkan ujung pangkal kail itu berbentuk lingkaran kecil seperti cincin. Kira-kira diameternya tidak sampai setengah centi. Bentuk putingnya masih tetap tegak, tidak menurun seperti puting kanannya.

cef Hilda kemudian berdiri di samping kanan Almah, di sisi kanan dari Jack, namun sedikit ke depan. Ia mengambil dua buah suntikan besar yang di dalamnya berisi cairan yang berwarna abu-abu kekuningan. Almah bergidik ngeri melihat betapa panjang dan besarnya suntikan itu. Kepala koki itu perlahan mengarahkan jarum suntik ke puting Almah sebelah kanan. Dipeganginya lempengan logam itu, lalu …

“AAAAAAAAHH!”

Suara jerit kesakitan keluar dari mulut Almah. Ujung jarum itu sudah masuk mempenetrasi gundukan mungil yang telah tertembus kail. Mungkin saat jarum suntik itu masuk, logam kail yang ada di dalam putingnya ikut tersentuh.

Jarum itu terus masuk. Putingnya tak ikut terdorong, karena kail yang menindik putingnya dipegangi oleh salah satu tangan cef Hilda. Terlihat sudah hampir setengah bagian jarum yang masuk ke dalam payudaranya. Selanjutnya, ditekannya plunger pada suntikan itu secara perlahan. Seketika itu Almah menjerit kembali.

“Oh my God, what kind of liquid is that?” kataku lirih.

“Flavor.” Pak Borgan menjawab sambil menegak cocktail.

“I see. That makes sense.”

Pantas dia menjerit-jerit. Aku mengangguk-angguk. “Bumbu seperti apa yang cef Hilda masukkan ke payudara Almah, ya?”

Pak Borgan membuka ponsel, lalu menyodorkannya padaku. “Ini.”

Aku pun membacanya dengan seksama. Bumbu itu racikan yang dibuat oleh cef Hilda. Banyak bahan-bahan yang digunakan sebagai bumbu tersebut, kesemuanya ditulis dalam bahasa perancis. Aku tidak tahu pasti, yang jelas bahan-bahan dan cara pengolahannya kompleks. Setelah itu, aku mengembalikan ponselnya. “Thank you.”

“It is nothing.”

Sekarang, cef Hilda telah memasukkan cairan ke payudara kanan tersebut sampai habis. Terlihat payudaranya itu lebih besar dari sebelumnya.

Perlahan, suntikan itu dicabut. Terdengar jeritan kecil saat jarum tersebut keluar dari daging persusuannya. Saat dicabut, tampak putingnya sedikit maju seperti ikut ketarik. Setelah lepas, dari ujung putingnya keluar cairan merah, diikuti cairan bumbu. Hanya sedikit yang keluar, kira-kira dua tetes.

Diletakkannya suntikan yang telah kosong itu, lalu mengambil kembali sebuah suntikan yang berisi cairan yang sama. Almah kembali menatap dengan wajah tak senang, bahkan ia memejamkan matanya.

“AAAAH!!”

Jarum suntik menusuk bagian samping buah dada kanannya. Cairan dalam suntikan masuk, namun hanya sepertiganya saja. Dicabut, lalu ditusukkan ke bagian bawah payudaranya, kira-kira beberapa senti dari areolanya. Jeritan kembali terdengar ketika cairan bumbu itu masuk memenuhi payudaranya. Lebih dari setengah cairan di dalam tabung suntikan itu telah terkuras. Dicabut kembali, lalu ditusukkan ke bagian samping di payudara bagian dalam. Almah menjerit. Cairan dalam tabung suntikan telah habis. cef Hilda mencabut, lalu meletakkannya.

Payudara kanan Almah lebih besar dari sebelumnya, bahkan jauh lebih besar dari pada payudara kirinya. Tampak keluar sedikit cairan dari bekas suntikan tersebut disertai oleh lenguhan kesakitan siempunya.

cef Hilda mengambil suntikan ketiga. Kepala Almah tampak menggeleng-geleng. Ia paham akan ke mana larinya suntikan yang di dalam tabung penuh dengan bumbu itu. Koki cantik di hadapannya tidak peduli. Dengan segera, ia pun melakukan hal yang sama ke payudara kirinya seperti ke payudara sebelahnya.

Jeritan demi jeritan kembali terdengar. Bulir keringat membasahi seluruh tubuhnya. Ada hal yang berbeda dari sebelumnya. cef Hilda membiarkan jarum suntik itu tertanam di puting kirinya. Bahkan, cef Hilda melepaskan tangannya dari suntikan itu. Indera penglihatanku dapat menyaksikan dengan jelas, bagaimana suntikan yang cukup besar itu menancap di puting kirinya itu. Kepala koki itu sengaja membiarkan suntikan bersarang di dadanya. Ia mengambil suntikan terakhir, namun tanpa ada jarum di ujungnya. Ia melepaskan barrel kosong di suntikan itu dengan memutar-mutar secara perlahan, membiarkan jarum tetap tertancap di puting kiri Almah. Terlihat saat barrel lepas, dari hub jarum suntik keluar cairan merah beserta cairan bumbu. Tak berselang lama, cef Hilda memasang barrel yang masih penuh ke jarum suntik yang menancap puting Almah itu.

Sudah tiga suntikan yang telah digunakan. cef Hilda sepertinya ingin menggunaakn suntikan terakhir itu ke payudara kiri Almah.

“AAH!” jeritan terdengar seiring dengan tercabutnya jarum suntik yang tertancap di puting kirinya itu. cef Hilda menancapkan jarum suntik ke tiga titik di payudara kiri Almah hingga isi cairan di tabung suntikan itu habis. Almah meringis merasakan sepasang buah dadanya yang membesar akibat cairan bumbu. Dua di payudara kanan, satu di payudara kiri. Masing-masing sudah mendapat jatah dua suntikan, membuat sepasang buah dadanya sama besar. Peluh keringat menyelimuti sepasang gunung kenyal itu. Entah bagaimana rasanya payudara yang di dalamnya terisi cairan asing tersebut. Malahan, aku yang terangsang membayangkannya. Uhhh, sial. Memekku jadi gatal!

Cef Hilda meletakkan suntikan pada meja troli, lalu berdiri tegap di samping dua asistennya.

“Kepada pemenang lelang, yaitu peserta nomor 144 dipersilakan untuk maju ke atas panggung,” kata pembawa acara.

Seorang laki-laki berjas hitam berdiri, lalu berjalan menuju ke panggung sambil disambut oleh tepuk tangan oleh pengunjung lainnya.

Di atas panggung, cef Hilda menyerahkan sebuah benda, lalu memberikan isyarat mempersilahkan ke Almah dengan tangan kanan. Lelaki itu mendekati Almah, berdiri di hadapannya. Almah memasang wajah ketakutan, namun ia tak bisa lagi menghindar, karena dipegangi oleh Michelle dan Jack. Percuma saja lari, mungkin kalau lari, nasibnya kian memburuk.

Almah memejamkan mata ketika tangan lelaki dihadapannya mengelus pipinya, lalu mendekatkan wajahnya ke samping wajah Almah. Bibir pria itu komat-kamit, seperti mengucapkan kata-kata.

“AAAH!!”

Teriakan singkat terdengar. Pria itu mengelus buah dada kiri dan kanan Almah. Vaginaku terasa gatal dengan apa yang kusaksikan. Puting kiri Almah sudah tergantung plat metal bertuliskan “ANTON”. Papan kecil itu mengait pada lingkaran cincin di pangkal kail yang menembus puting kiri Almah. Oh, jadi itu fungsi bentuk kail itu, mengapa berbentuk cincin.

Karena beban plat nama itu, Puting kirinya menunduk turun ke bawah. Menandakan kalau papan nama itu cukup berat. Awalnya kukira bahannya dari lempengan seng, ternyata tidak.

Laki-laki setengah baya itu sesekali memencet buah dada dengan ibu jari dan jari telunjuknya secara bergantian, baik sebelah kiri maupun sebelah kanan hingga terdengar lenguhan lirih dari si empunya. Putingnya pun dipencet-pencet bak tombol bel yang dipasang di rumah-rumah. Hal itu membuat Almah menjerit-jerit. Putingnya tertembus kail, malah dipencet-pencet. Tidak berhenti di situ saja, pria berambut cepak itu memegang kedua lempengan logam lalu menariknya hingga sepasang putingnya ikut tertarik maju ke depan dan membuat bentuk buah dadanya mengerucut. Jeritan Almah tak terelakkan. Penonton yang melihat ada yang memberikan tepuk tangan dan ada pula yang tertawa. Merasa dapat perhatian dan sorak positif dari penonton, pria yang memegang lempengan itu memainkan buah dada Almah lebih jauh lagi. Lempengan itu ditarik-ulur secara bergantian dan membuat buah dadanya mengikuti irama tarikan itu. Tarikannya beragam, tidak hanya ke depan. Lempengan itu ditarik ke atas, membuat putingnya turut mendongak ke atas. Terkadang ditarik secara bersamaan, terkadang pula secara bergantian. Sontak perbuatan lelaki itu membuat Almah menjerit hebat.

Setelah disiksa sedemikian rupa, laki-laki itu kemudian melepaskan lempengan logam itu, membuat Almah merasa lega. Dia bercakap-cakap ke wanita blasteran timur tengah yang ada di hadapannya, namun diacuhkannya. Secara tiba-tiba, lempengan itu ditarik kembali dan membuat Almah menjerit histeris. Tubuhnya meronta-ronta, namun Michelle dan Jack yang di belakangnya tampak memegang kuat tubuhnya.

Lempengan logam mengkilap itu ditarik ke samping secara berlawanan, membuat buah dadanya mengerucut ke arah yang saling berlawanan dan memberlihatkan bidang dadanya yang lebar. Didiamkan posisi tarikan itu. Bentuk bentuk buah dada Almah yang saling berjauhan tampak basah berkeringat. Puting kiri Almah mengerucut ke arah kiri, sedangkan puting kanan mengerucut ke arah kanan, membuat beberapa penonton laki-laki yang masih muda memegangi selangkangannya. Bulir-bulir keringat meluluri permukaan kulit putih nan bersih itu. Dari sela-sela tusukan kail yang menembus sepasang puting itu, keluar cairan merah kental.

“AAAAAAAAHHH!”

Jerit memekik terdengar nyaring. Kali ini pria di hadapan Almah menarik lempengan logam ke arah yang sebaliknya dari yang sebelumnya. Lempengan yang ada di toket kiri Almah ditarik ke arah kanan, sedangkan lempengan di toket kanan ditarik ke arah kiri. Dengan begitu, posisi buah dadanya mengerucut saling berdekatan. Bahkan, saking kuatnya menarik, sepasang puting Almah saling bersentuhan dan membuat buah dadanya saling menghimpit hingga tak ada celah di antara sepasang buah dadanya. Tidak sampai berhenti di situ, lelaki itu menarik lebih kuat lagi dan Almah menjerit histeris. Kali ini, sepasang puting almah makin menjauh. Puting kiri almah berada di depan payudara kanan, bahkan hampir melebihi separuh besaran payudara kanannya itu. Begitu pula dengan puting sebelah kanan. Bentuk puting kanannya mengerucut tajam di depan payudara kiri.

Setelah pria itu mendiamkan puting Almah mengerucut lama, akhirnya ia melepaskan pegangan pada lempengan itu. Ketika di lepaskan, bentuk payudara Almah kembali normal dengan terlebih dahulu terhempas dan memantul-mantul. Ia pun turun dari atas panggung menuju ke tempat duduknya dengan disambut tepuk tangan dari para hadirin di bawah sana.

Selang beberapa menit kemudian, terdengar suara gesekan besi. Dari atas panggung turun dua buah rantai stainless dengan masing-masing ujungnya terdapat sabuk. Dua asisten meraih rantai itu, kemudian mendekat ke arah Almah yang masih berdiri.

Michelle mengikatkan sabuk itu di kedua pergelangan kakinya, sedangkan Jack membantu menidurkan tubuh Almah secara telungkup dengan posisi kaki ke arah penonton. Beberapa saat kemudian, terdengar suara derit gesekan besi. Kedua kaki Almah secara perlahan terangkat. Sikap Jack dan Michelle memegang tubuh Almah yang pelan-pelan terangkat dari atas panggung.

Kira-kira dalam satu menit, tubuh Almah sepenuhnya terangkat dengan posisi seperti huruf “Y” dengan jarak kepala dengan lantai berkisar satu meter. Kedua kakinya membentang berada di atas dengan jarak antar kaki hampir membentuk sudut sembilan puluh derajat, sedangkan kepalanya berada di bawah dengan bagian depan tubuh menghadap ke arah penonton. Ribuan helai rambutnya yang lurus itu tergerai namun tidak sehelai ujung rambut pun yang menyentuh permukaan lantai panggung. Sepasang tangannya menggantung.

Jack berdiri di belakang samping meraih kedua tangan Almah, lalu mengikat pergelangannya dengan tali borgol plastik yang biasa digunakan oleh polisi kepada tersangka kasus kejahatan. Michele sedari tadi berjongkok di samping belakang dengan kaki kanan dan lutut kiri yang menumpu pada lantai. Ia terlihat sedang mengikat rambut Almah yang tergerai.

Terdengar kembali suara derit disertai dengan tubuh Almah yang mulai meninggi, namun cuma sebentar. Kira-kira jarak kepala Almah sejajar dengan dada Jack. Sebagai gambaran, tinggi badan Jack itu lebih tinggi dari Michelle, tapi sedikit lebih tinggi dari Hilda. Kalau dari urutan terendah ke tertinggi itu diawali oleh Michelle, Hilda, lalu Jack. Ya kira-kira seperti itu. Hihihi. Untuk pakaian, mereka menggunakan pakaian cef berwarna putih dengan kancing berwarna hitam. Di atas kepala mereka terdapat topi koki yang berwarna putih, hanya saja ukuran milik cef Hilda lebih sedikit lebih tinggi. Itu menandakan kalau dia itu jabatannya lebih tinggi.

Dari belakang panggung, ada dua meja masak portable yang masing-masing sudut di bagian bawahnya terdapat roda. Meja-meja itu dorong oleh dua orang. Namun, mereka hanya mendorongnya tidak sampai ke tengah. Asisten cef Hilda-lah yang mendorong meja-meja tersebut. Selanjutnya, ada dua meja lagi, tapi kali ini mejanya khusus untuk memasak.

Dua meja berada di sisi kiri panggung, sedangkan sisanya di sisi kanan. Ditengah-tengah, sebuah tabung silinder yang ukurannya besar masih tak bergeser dari tempatnya.

Selang beberapa menit, bahan-bahan masakan masuk. Beberapa di antaranya, tepung, bawang bombay, paprika, dan sebagainya. Para asisten cef mengeluarkan peralatan masak dan menatanya di atas meja.

Sekarang, aku menyaksikan ke cef Hilda. Ia sedang berdiri di belakang tubuh Almah yang tergantung secara terbalik itu. Tangan kirinya memegangi ikat rambut Almah lalu menariknya hingga wajah wanita itu mendongak menatap ke arah alas panggung, memperlihatkan leher yang bersih dengan sedikit tanda lahir. Saat kamera menyorot lebih dekat, tekstur leher itu semakin jelas. Tangan kanan cef Hilda mengelus-ngelus lembut.

Michelle datang mendekati cef Hilda dengan menyerahkan sebuah pisau, sedangkan Jack datang dengan meletakkan baskom stainless steel dengan diameter yang cukup lebar.

Aku tahu, apa yang akan dilakukannya.

Tangan kanan cef Hilda yang memegang pisau digerakkan menuju ke leher Almah. Pisau itu bergeser ke sebelah kanan leher Almah. Kulihat bilah pisau yang tajam itu bersentuhan dengan kulit leher Almah. Dalam hitungan detik, Pisau itu bergerak setengah ke depan leher Almah, lalu menuju ke sebelah kiri lehernya. Darah pun mengucur deras. Tubuh Almah meronta-ronta menahan sakit. Terdengar jeritan kesakitannya yang sepertinya tak pernah ia rasakan sebelumnya. Tubuhnya bergetar dan kejang-kejang akibat respon dari saraf pusat yang memerintahkan jantung untuk segera menyuplai oksigen melalui aliran darah. Oksigen itu tak mampu sampai ke otak, karena dua jalur darah yang berada di sisi kiri dan kanan leher telah terputus. Akibatnya, sel otak kehilangan bahan bakar.

Jeritan Almah itu berubah menjadi suara orang yang ngorok, karena pisau yang dikendalikan cef Hilda telah memutus saluran pernafasan dan makanan sekaligus dan memperlihatkan bagian dalam luka leher Almah. Suara seperti mendengkur itu berlangsung beberapa detik. Sepertinya tubuhnya berusaha bernapas tanpa melalui rongga hidung, melainkan langsung dari lubang leher yang terpotong itu. Setelahnya suara itu langsung terhenti. Bagaimana tidak, udara untuk menggetarkan pita suara pada leher diputus.

Darah mengucur deras dan ditampung oleh baskom yang ada di bawahnya. Namun, beberapa cipratan darah itu berceceran di panggung, terutama di tangan kanan cef Hilda.

Separuh, bagian leher Almah sudah terpotong. Dengan mendongakkan kepalanya itu, trakea dan esofagus pada leher di kepala Almah terlihat jelas. Ukurannya seperti dua pipa gepeng yang ditempelkan. Tulang leher yang berwarna putih itu pun juga terlihat di layar TV. Para penonton menyaksikan juga di layar yang ada di sisi kiri dan kanan panggung.

Tanpa jedah, cef Hilda menggerakkan pisau dan memutuskan tulang leher Almah. Cepat. Bahkan, dalam beberapa gerakan, kepala Almah pun lepas dari batang leher di tubuhnya. Sebuah kepala yang bersimbah darah itu di tenteng di tangan kiri cef Hilda dan mengangkat tinggi-tinggi potongan kepala itu. Sambutan tepuk tangan dari insan-insan yang duduk dengan pakaian formal seperti tambahan motivasi untuk melanjutkan kegiatan.

Wajah Almah yang ber-make-up-kan darah masih terlihat cantik. Mata kirinya membuka sedangkan mata kirinya sedikit sipit. Mulutnya membuka memperlihatkan rongga dalam yang gelap. Hanya beberapa ruas gigi dan sebagian bagan lidahnya saja. Bola matanya sempat berputar-putar selama beberapa detik.

Jack menghampiri cef Hilda. Perempuan yang tangan kanan dan bagian depan tubuhnya berlumuran darah itu itu menyerahkan potongan kepala Almah. Ia mengambil potongan tubuh Almah ke posisinya semula. Dari salah satu layar TV, Jack sedang membersihkan potongan kepala Almah.

Di sisi lain, Michelle tampak memotong-motong bahan-bahan. Posisi cef Hilda sekarang sedikit jongkok. Ia memberikan aba-aba kepada penonton untuk memperhatikannya. Terlihat tangan kanan yang memegang pisau itu sedang mengarah ke potongan leher. Terlihat ujung pisau itu seperti melakukan sesuatu. Tiba-tiba, tubuh Almah yang tanpa kepala itu mengejang sekali. Lalu, ketika tangan cef Hilda melakukan sesuatu, bagian perut tubuh Almah berkedut seakan badan tanpa kepala itu masih hidup dan merespon.

Aku tidak tahu apakah itu sebuah trik dan tipu muslihat atau memang benar-benar kenyataan, tapi kenyataannya demikian. Setahuku, bagian tubuh yang masih hidup ketika bagian kepalanya putus terpenggal itu sejenis ular. Selain berdarah dingin, ia tak membutuhkan banyak oksigen sebagai bahan bakar tubuhnya. Namun, ada fakta menarik yang telah kupelajari. Bahwa, meski kepala mamalia terpenggal, jantung itu masih berdetak beberapa detik, bahkan menit. Aku pernah nonton video kecelakaan, di mana bagian tubuhnya hancur dan jantungnya sampai keluar dari tubuh. Jantung itu masih berdetak.

Asisten cef Hilda tampaknya sudah membersihkan kepala Almah. Kulihat ia sedang merias wajah Almah, sedangkan rekannya masih sibuk dengan dengan membuat adonan.

Cef Hilda sudah melepaskan pengikat tali di pergelangan tangan di punggung Almah. Kedua tangan mayat tak berkepala itu menggantung bebas, menampakkan kulit ketiak yang masih ditumbuhi bulu-bulu tipis. Kalau dalam posisi berdiri, kedua tangan Almah ibarat tangan yang diangkat ke atas. Kedua buah dadanya yang padat itu turut tertarik gaya gravitasi. Putingnya tampak menggemaskan.

Darah yang keluar dari leher tubuh Almah tampaknya sebagian besar sudah terkuras, menyisakan tetesan-tetesan dengan jedah yang lama. Aku tahu, ketika jantung kehilangan detaknya, darah yang ada dalam tubuh ikut tertarik gravitasi. Makanya, ketika tubuh sudah kehilangan nyawa, dalam beberapa jam sudah tampak ruam-ruam kemerahan bahkan kebiruan di kulit, tergantung posisi mayat itu mati. Kalau telentang, bagian belakang punggung, dari leher sampai betis terdapat ruam berwarna merah. Jika lebih lama, warnanya jadi ungu kebiruan. Karena itulah, tubuh Almah itu dibiarkan menggantung seperti itu agar darahnya keluar dan tidak merusak kulitnya yang bersih. Cef Hilda telah melakukan hal yang tepat.

Michelle datang mengambil baskom yang penuh darah, lalu meletakkan baskom pengganti. Ia masih berdiri di dekat mayat Almah. Kemudian, terdengar suara derit dan tubuh Almah turun beberapa centi sampai ujung kedua tangan Almah menyentuh baskom.

Cef Hilda kemudian berdiri di depan tubuh Almah yang masih menggantung itu, sedangkan Michelle setengah duduk dengan menelapak dengan satu kaki dan sisanya berlutut di sebelah bahu atau lengan kiri tubuh Almah. Kulihat ia sedang membersihkan bulu ketiak yang tak bernyawa itu. Ia lakukan dengan cepat dan tepat. Sedangkan cef Hilda sendiri berdiri menghalangi penonton yang di depannya untuk melihat tubuh Almah secara langsung, namun di layar sisi panggung, mereka masih bisa melihatnya. Ia sedang mengarahkan pisau di antara pusar dan rambut kemaluan. Dengan cepat, Ia menusukkan pisau, membuat garis sayatan vertikal ke bawah menuju ke bawah di ulu hati. Seketika itu, organ dalam tubuh almah menyembul keluar. Organ itu adalah usus besar, dan usus halus. Usus besarnya berada di dekat ulu hati, sedangkan sisanya usus halus. Dengan cekatan, ia mengeluarkan organ usus itu. Tangan kirinya masuk ke dalam abdomen dan menarik keluar organ-organ pencernaannya itu. Sebagian usus besar dan usus kecil yang menggantung itu sampai menumpuk di dalam wadah baskom.

Tangan kanan juru masak cantik itu sedang memotong mesenterium, yaitu jaringan berwarna kuning yang mengikat usus besar, usus kecil, dan lambung ke otot dinding belakang abdomen yang berdekatan dengan tulang belakang. Dulu jaringan itu belum disebut organ, namun menurut sebuah artikel, pada tahun 2016 menyatakan bahwa jaringan berwarna kuning itu diklasifikasikan sebagai organ.

Mesentery terpotong, usus besar dan usus kecil mulai memenuhi baskom. Urat-urat pada pipa saluran makanan itu terlihat jelas di layar TV. Lapisan terluar usus itu begitu mengkilap.

Kedua tangan cef Hilda masuk lebih dalam menuju ke atas, yaitu ke dalam rongga panggul. Tampaknya ia sedang memotong sesuatu. Tangannya bergerak sejenak, lalu tangan kirinya mengeluarkan ujung usus besar, yaitu rektum. Ia tarik, lalu ujungnya dimasukkan ke dalam baskom. Tampak, beberapa sisa-sisa ampas makanan berwarna kuning itu keluar.

Dalam semenit, jaringan usus besar, usus kecil, dan mesentery sudah banyak memenuhi baskom. Masih tampak usus yang menjuntai dari dalam tubuh Almah. Usus tersebut masih tersambung dengan usus-usus di dalam wadah stainless. Cef Hilda pun bergerak ke bawah menuju ke dalam rongga tempat organ vital lainnya bersemayam. Tangannya bergerak lihai tanpa gentar. Aku yakin, dia melakukan hal itu bukanlah yang pertama, kalau pertama, pasti ada gugup-gugupnya. Apalagi, ia membunuh dan mengeluarkan organ mamalia paling pintar di muka bumi, yaitu manusia. Uggh!! Bisa dibayangkan, gimana antusiasnya aku ketika berada diposisi itu. Dibunuh dan dipotong-potong secara profesional layaknya hewan.

Ia mengeluarkan organ yang cukup besar. Warnanya putih kemerahan dan tersambung dengan usus kecil. Eh usus itu bukan usus kecil, tapi usus duabelas jari kali ya, hihihi. Ia mengeluarkannya dengan perlahan dengan menaruhnya ke dalam baskom. Bisa bahaya, kalau main lempar. Bisa-bisa organ perut itu pecah dan isi dalaman berupa makanan dan minuman meluber kemana-mana.

Ini masih belum berakhir. Cef Hilda mengeluarkan organ paling besar kedua dalam tubuh manusia. Yaitu hati. Benda berukuran jumbo dan memiliki berat antara satu sampai satu setengah kilogram itu telah keluar dan sedang dalam genggaman kedua tangan cef Hilda. Ia menaruhnya ke dalam baskom. Selanjutnya, ia mengeluarkan organ pankreas. Ya, aku tahu itu pankreas, karena aku bukan sekali ini saja melihat organ itu. Sejak aku berada di mansion ini, aku jadi hafal organ-organ manusia, hihihi.

Kali ini, Ia mengeluarkan limpa, disusul dua organ kecil yang berfungsi untuk menyaring darah dari racun. Sisa-sisa racun itu kemudian disalurkan ke kandung kemih. Tahu kan itu apa?

Aku tidak tahu mengapa sepasang ginjal tadi dipotong setelah limpa, padahal saat mengeluarkan usus tadi, sesungguhnya ia bisa langsung memotongnya.

Kedua tangannya tampak jauh lebih masuk merogoh rongga dada Almah. Dikeluarkannya satu persatu. Jantung, organ pemompa darah itu keluar dari tubuh Almah. Lalu, sepasang organ yang mengikat oksigen sebagai bahan bakar sel tubuh. Ia tenteng paru-paru yang tampak bersih dan bebas dari flek-flek hitam tar itu keluar dari rongga dada.

Saat mengeluarkan organ paru-paru itu, dari potongan leher Almah mengucur cairan merah. Sepertinya itu adalah cairan darah yang bercampur dengan cairan-cairan yang ada dalam rongga perut dan rongga dada Almah. Tetes demi tetes jatuh membasahi organ-organ di dalam baskom. Kulihat tangan cef Hilda beranjak ke dalam rongga perut. Tangan kirinya bergerak ke atas, mengambil suatu benda yang mungkin masih tertinggal. Disusul tangan kanan, tubuh Almah turut tergerak ketika tangan kanan cef Hilda mengayunkan pisau di dalam tubuhnya itu. Dalam beberapa detik, tangan kiri cef Hilda mengeluarkan sebuah organ reproduksi. Lengkap, termasuk uterus dan sepasang ovarium. Minus rongga vaginanya saja, karena ia memotong bagian jaringan terdalam lorong vagina yang berdekatan dengan cervix. Mesometrium, lembaran mukosa tipis di sisi kiri dan kanan berwarna merah muda pucat itu masih melekat pada rahim, tuba falopi, ligamen, dan ovarium.

Seperangkat alat reproduksi itu dijatuhkan pada wadah baskom. Kini, dengan semua organ dalam telah dikeluarkan, tentu saja berat tubuh Almah makin ringan. Cef Hilda pun mendemonstrasikan dengan membuka kulit dan otot perut dengan kedua tangannya ke arah samping hingga memperlihatkan bagian dalam yang benar-benar kosong. Kamera pun menyorot ke rongga tempat bersemayamnya organ-organ vital Almah. Di layar menampilkan, bagian dalam yang kosong. Terlihat tonjolan-tonjolan tulang punggung serta guratan arteri pada otot punggung bagian dalam itu.

Cef Hilda melangkah meninggalkan tubuh Almah yang menggantung. Ia mengambil sesuatu, lalu kembali ke tubuh Almah. Ia berdiri di belakang tubuh Almah dengan menghadap ke arah penonton. Terdengar derit disertai tubuh Almah yang sedikit lebih turun hingga posisi selangkangan Almah sejajar dengan dada cef Hilda.

Apa kalian tahu apa yang akan dia lakukan dengan wajah yang menunduk dengan tatapan mata ke arah alat kemaluan Almah? Awalnya aku tak tahu, tapi tangan kanannya itu memegang pinset. Pinset itu ia gunakan untuk mencabut rambut kemaluan Almah. Satu persatu, helai demi helai ia cabut. Dari bagian yang dekat dengan lempitan kemaluan, sampai ke yang paling jauh ke arah perut. Dalam hitungan menit, hampir separuh rambut kemaluan itu lepas. Rambut yang telah lepas itu diletakkan dan menempel di paha dalam sebelah kiri Almah. Aku dapat melihat beberapa titik-titik merah bekas rambut kemaluan itu. Di antaranya mengeluarkan darah. Hal itu wajar. Memang dulu saat aku cabut juga demikian. Mungkin, jika arwah Almah masih bersemayam di tubuh itu dan masih hidup, aku pastikan ia menjerit-jerit saat rambut kemaluan itu tercabut beserta akar-akarnya. Lebih sakit lagi kalau membersihkan rambut dengan brazilian wax. Hihihi.

Saat ini, selangkangan Almah telah bersih dari bulu kemaluan. Helaian jembut yang melekat di paha Almah pun dibersihkan dengan tisu. Selanjutnya, mayat Almah dibersihkan dengan air. Bagian luarnya hanya diguyur sambil digosok-gosok, sedangkan bagian dalamnya disemprot. Ujung selang hose semprotan air itu masuk melalui belahan hasil sayatan pisau vertikal di perut. Dari potongan leher, mengucur air yang berwarna kemerahan. Air yang jatuh di lantai tak sampai menggenang. Desain dan struktur lantai panggung sepertinya dibuat untuk hal-hal semacam ini. Terdapat lubang-lubang kecil yang membuang air di permukaan panggung.

Sekarang air yang mengucur dari leher Almah sudah bening. Mungkin dalamannya sudah bersih. Cef Hilda mematikan air dan meletakkan hose. Kini cef cantik itu mengguyur bagian selangkangan dengan gayung kecil. Sesekali kulihat ia membuka memek Almah, kemudian mengguyurkannya.

Tubuh Almah sepenuhnya mengkilap. Sepertinya air menempel di permukaan dan bagian dalam tubuh Almah tak perlu dilap. Dibiarkan alami mengering. Lagian, prosesnya belum berakhir di sini.

Dua asisten cef Hilda mendekat dengan membawa dua baskom berisi sayur-sayuran yang telah dipotong, dan mie. Mereka kembali dengan membawa baskom yang berisi organ dalam. Sepertinya ia membagi organ-organ itu untuk diproses. Aku tak tahu, mereka akan apakan organ itu. Kulihat mereka masih membersihkan organ dalam dengan air bersih. Selanjutnya terdengar suara potongan-potongan dari pisau daging yang besar dengan talenan kayu. Di sisi lain, cef Hilda juga tampak sibuk dengan pekerjaannya. Ia memasukkan selang kecil ke dalam saluran kencing mayat Almah, selang itu terhubung dengan alat pompa tangan dan knob. Ia memutar knob, lalu dari ujung di dekat alat pompa mengucur cairan berwarna kuning. Ia lakukan hal itu lagi, hingga ketika knob itu diputar tidak mengeluarkan cairan. Aku pikir apa yang dilakukannya itu untuk membersihkan urin dari kandung kemih. Selanjutnya, ia melepaskan selang yang mirip kateter itu, lalu memasukkan selang yang lain yang terhubung dengan botol plastik bening yang didalamnya berisi cairan. Ditekannya botol itu hingga lebih dari separuh cairan itu masuk ke dalam kandung kemih. Aku tak tahu apa kandungan cairan yang berwarna putih kekuningan itu.

Dicabutnya benda yang menancap di saluran kencing Almah. Seketika, cairan yang keluar dari lubang pipis itu seperti hendak keluar. Tekanan dari dalamnya mungkin begitu besar dan terasa penuh. Namun, itu tak berlangsung lama, karena cef Hilda sudah mengantisipasi dengan menyumpal lubang kecil di antara klistoris dan vagina itu dengan potongan kayu berbentuk silinder yang diameternya kira-kira sebesar sedotan plastik untuk minuman, namun panjangnya kira-kira tak lebih dari dua centimeter.

Sepasang mata para hadirin di sini semua menyaksikan hal itu. Tak terkecuali aku dan pria CEO di sampingku ini. Hanya pengawal pribadi pak Borgan saja yang tidak menonton proses masak tubuh Almah. Mereka fokus melihat sekeliling dan bersikap waspada.

Mataku teralihkan melihat dua asisten cef Hilda. Michelle tampaknya sedang memotong organ hati, sedangkan Jack sibuk meniriskan potongan-potongan organ yang telah direbus dalam panci berbahan kaca borosilikat.

Aku kembali melihat cef Hilda. Ia sedang mencampur wadah berisi sayuran dan bawang yang telah dipotong-potong ke wadah mie. Sebagai kepala koki, dia masih memperhatikan kebersihan. Kulihat ia mencampur bahan makanan itu dengan sarung tangan putih. Di sana, aku melihat potongan wortel di antara sayuran-sayuran yang telah bercampur mie. Ketika tangan kirinya membuka kulit perut untuk membuka lebar luka sayatan, tangan kanannya menjejalkan bahan-bahan makanan ke dalam rongga dada, tempat di mana organ-organ penting berada, seperti jantung, paru-paru, hati, dan lain-lain.

Tak berselang lama, kulihat sebagian abdomen Almah telah terisi penuh. Bahkan, beberapa potongan wortel berjatuhan dan mie sampai meluber keluar. Namun, hal itu bukanlah sebuah masalah. Yang aku perhatikan adalah, ada dua untaian mie yang keluar dari potongan leher Almah itu. Hihihi. Hal itu wajar, sih. Memang rongga leher itu terhubung langsung menuju ke dada. Karena organ pencernaan dan organ pernapasan sudah dikeluarkan dan menyisakan saluran kerongkongan dan tenggorkan, maka mie yang ada di dalam dadanya keluar. Dua mie itu menggantung dan sedikit mengkilap. Mungkin karena terkena air dari pembersihan tadi.

Wadah bahan makanan di dalam baskom sisa sedikit. Kepala koki cantik itu memasukkannya hingga di dalam baskom tak bersisa. Kulihat isi dalaman rongga perut Almah tidak seluruhnya terisi. Kira-kira hanya sebatas pusar. Terdapat ruang kosong di dalam rongga panggul, letak dimana sebagian usus kecil, usus besar, rahim, dan kantung kemih berada.

Kulit perut Almah itu kemudian dijahit. Dimulai dari bawah, yaitu ulu hati sampai ke dekat kulit pubis. Sementara itu, dua asisten cef Hilda sedang mempersiapkan sesuatu. Bumbu-bumbukah? entahlah.

Tabung silinder raksasa dan transparan dibalik mayat Almah kini tersorot kamera. Michelle sedang mendekatkan tabung itu ke tubuh Almah. Setelah menyelesaikan jahitan di perut almah, kuliihat cef Hilda memberikan isyarat yang kemudian dijawab oleh Michelle dengan satu anggukan.

Derit suara rantai diikuti oleh tubuh Almah yang perlahan turun. Jack mendekat ke cef Hilda memberikan dua tiga buah wortel berukuran sedang. Ia bersama Michelle dan cef Hilda membantu menurunkan tubuh tak bernyawa itu. Michelle melepaskan ikatan pada pergelangan kaki kiri Almah, sedangkan Jack melepaskan ikatan kaki kanan.

Bentuk tubuh Almah tetap normal, tidak gemuk dan kurus. Bentuk perut yang dijahit secara vertikal itu saja yang berbeda. Pusarnya jadi hilang ikut kegencet akibat jahitan yang erat dan rapat.

Tangan cef Hilda memasukkan dan menancapkan sebuah wortel yang kulitnya telah dikupas ke lubang tenggorokan Almah. Cukup dalam, mungkin menyisakan seperempat bagian yang muncul. Setelah itu, ia memasukkan sebuah wortel ke lubang kawin Almah. Tampak jaringan mukosa, lorong vagina yang berwarna putih pucat itu merekah menyelimuti dan menelan sebatang wortel. Berbeda dengan di leher, vagina Almah hampir menelan seluruh batang wortel itu. Hanya menyisakan sedikit bagian pangkal saja. Sepasang labia minoranya seperti daun pintu yang hendak menutupi bagian pangkal wortel. Di atasnya, masih terlihat lubang pipisnya yang tersumbat oleh batang kayu. Bagian terakhir, tentu saja anus. Aku sudah menduganya. Cef Hilda menancapkan wortel terakhir ke duburnya. Sepertinya ia menancapkannya seperti di leher, menyisakan seperempat batang wortel di luarnya.

Jasad Almah yang tampak masih segar itu kemudian dibawa oleh kedua asisten. Sepasang tangan Michelle memegang betis, sedangkan Jack memegang tangan di dekat siku. Mereka membawa tubuh Almah yang telentang itu menuju ke sebuah silinder besar yang letaknya kurang lebih sekitar dua meter. Saat mereka mereka melangkahkan kaki, sepasang buah dada Almah yang cukup padat, bulat, dan berisi itu turut bergoyang-goyang, terutama putingnya yang warnanya lebih kontras dari kulit ikut terhempas kesana-kemari. Aku yakin, bumbu-bumbu di dalam buah dada itu makin menyebar karena gaya yang dihasilkan dari gerakan-gerakan seksi itu. Pada bagian pinggang, juga pantat pun tak luput dari guncangan.

Setelah di tepi silinder kaca yang bentuknya mirip drum minyak tanah itu, tubuh Almah kemudian hendak dimasukkan. Jack, Michelle, dan cef Hilda secara bersama-sama mengangkat tubuh Almah. Jack yang berpostur badan tinggi, berdiri menaiki tangga. Michelle dan cef Hilda membantu dari bawah. Secara hati-hati, mereka mengangkat tubuh Almah, dan Jack yang bertanggung jawab untuk memasukkan tubuh Almah. Laki-laki itu meletakkan tubuh Almah ke dalam drum transparan. Posisi Almah di dalam drum itu duduk jongkok dengan tubuh yang bersandar miring.

Dari atas, turun selang dan mengisi drum dengan air. Lambat laun, air di dalam wadah itu mulai terisi setengah bagian. Tubuh Almah yang tak berkepala itu mulai terangkat, sampai pada akhirnya air itu penuh dan posisi mayat wanita tak bernyawa itu melayang di dalam wadah silinder. Di dalam sana, ia seperti berdiri. Sepasang mata para penonton menyaksikan betul proses itu. Bahkan, Pak Borgan yang duduk di sebelah juga turut melihatnya.

Michelle menyalakan alat yang ada di bawah drum tersebut. Aku perkiraan sih itu kompor listrik. Hal itu masuk akal, karena emisi dari kompor api lumayan besar dan merusak lingkungan. Dengan dimensi dan banyaknya air yang digunakan, pasti butuh waktu agar air itu mendidih. Nyatanya, hanya sebentar. Dalam belasan menit, dari dasar drum kaca itu, muncul gelembung-gelembung udara. Tubuh Almah bergerak-gerak. Uap panas muncul dari atas drum.

Ada perubahan pada tubuh Almah. Kulitnya yang berwarna lebih putih dan pucat. Warna areolanya pun juga sedikit tersamarkan. Sepertinya suhu tinggi dapat mengubah warna kulit Almah. Tubuh Almah di dalam sana juga berputar. Kami semua dapat melihat bagian belakang tubuhnya. Perubahan warna itu menyeluruh. Stretch mark pun lenyap. Jemari kuku tangan dan kakinya seperti warna kulitnya.

Tubuh Almah terhempas-hempas menatap dinding dan berputar pelan, namun tidak sampai mengubah posisinya. Tubuh Almah tetap melayang dengan posisi pundak berada di atas dan kaki berada di bawah. Ukuran tempat masak itu memang diukur sedemikian rupa agar ketika tubuh Almah dimasak tidak berubah. Sesekali, bagian leher Almah yang terpotong itu menyembul-nyembul muncul ke permukaan.

Dari beberapa bagian kulitnya, muncul gelembung-gelembung udara. Gelembung itu keluar dari payudara, di perut bekas sayatan yang dijahit, juga selangkangannya. Bekas suntikan di payudaranya pun juga mengeluarkan cairan kecoklatan. Lempengan logam yang menggantung di putingnya turut bergerak kesana-kemari.

Sudah puluhan menit berlalu. Kini, perut Almah mulai membesar. Bahan makanan di dalamnya sepertinya mulai mengembang. Mie, itu pasti salah satu yang menyebabkan perut Almah menggembung. Adonan yang terbuat dari tepung itu mengembang dan mendesak kulit perut Almah. Tubuh Almah di dalam sana seperti wanita yang sedang hamil trimester tiga. Andaikan jahitan vertikal di perutnya lepas, sudah pasti mie beserta sayur-mayur di dalamnya bersemburat keluar.

Cef Hilda dan dua asistennya terlihat menggiling sesuatu menggunakan blender. Setelah halus, mereka kemudian menuangkan isi blender tersebut ke drum raksasa itu. Cairan kental itu kemudian mengeruhkan air yang merebus Almah. Volume air di dalam panci transparan itu mulai berkurang dan berubah menjadi gas. Efek dari penguapan itu tidak membuat ruangan di sana menjadi panas. Tidak kulihat sebatang hidung pun dari para penonton yang mengipas-ngipas badannya. Ternyata, setelah kuamati dengan seksama, sekitar dua meter di atas panci, terdapat cooker hood, yang berfungsi membuang gas panas keluar.

Sudah satu jam berlalu, air di dalam panci transparan tersebut sisa setengahnya. Tubuh Almah kini seperti stengah duduk dengan lutut menekuk. Ujung kakinya saja yang menyentuh dasar alat pemasak tersebut. Pantatnya, tentu saja melayang. Air yang mendidih tersebut sebagian besar menyelimuti seluruh tubuh Almah yang pucat memutih itu. Tubuhnya bergoyang dan terkadang pada bahu kirinya timbul dari permukaan air yang mendidih. Tak jarang, bagian lutut, paha, perut, juga lengan atasnya menempel di dinding pancing yang menghadap ke penonton.

Kepala koki cantik sedang berjalan ke tempat Almah dimasak. Ia memanjat tangga sambil membawa kentang yang telah dikupas dan dipotong-potong berbentuk persegi panjang dengan jumlah yang besar, sebagian besar tubuh Almah tertutupi oleh kentang tersebut. Setelah memasukkan umbi-umbian, Ia mengaduk-ngaduk menggunakan pengaduk berbahan kayu. Sepertinya kayunya itu adalah kayu kelapa. Karena transparan, kami semua dapat melihat ujung adukannya yang terkadang menekan bagian-bagian tubuh Almah. Cukup lama ia berdiri dan mengaduk-ngaduk, sampai air yang mendidih itu mulai berkurang. Ia kemudian menoleh ke salah satu asistennya memberikan isyarat, dan seketika itu Michelle datang menghampiri membawakan wadah dan penyaring stainless dengan gagang pegangan yang panjang. Digunakannya peralatan tersebut untuk mengambil dan meniriskan potongan-potongan kentang telah matang dan sedikit mengembang. Michelle dan Jack secara bergantian menggoreng kentang-kentang tersebut.

Cef Hilda masih berdiri di sana. Ia melihat pekerjaan kedua asistennya dari atas, memastikan semua berjalan dengan lancar. Ia kembali mengaduk-ngaduk air, juga mengayuh lalu menyiramkan air yang mendidih itu ke tubuh Almah yang tak terendam air. Diguyurkannya air dengan centong kayu ke leher yang telah pisah dengan kepalanya tersebut. Wortel yang menancap di tenggorokan Almah juga tak luput dari guyuran. Setelah itu, digunakan alat pengaduk untuk menekan-nekan kembali bagian tubuh Almah. Dari pundak, payudara, lengan, perut, paha, pantat, dan betis.

Beberapa detik kemudian, kompor listrik tersebut mati. Sepertinya mati otomatis dan sudah diatur sedemikian rumah. Ketinggian air yang masih panas tersebut telah mencapai perut atas Almah. Tubuhnya terduduk jongkok dan menyandar miring pada dinding panci bening. Kebetulan duduknya menghadap ke arah penonton. Kami dapat melihat sosok tubuh yang telah matang tersebut. Kakinya sedikit terbuka dan terlihat bagian depan tubuhnya yang direbus lebih dari sejam itu tampak menggairahkan dan juga bikin lapar, hihihi. Kami semua bisa melihat bentuk buah dada Almah, dan kemaluan Almah yang tertusuk sayuran itu.

Jack, dan Michelle kemudian membawa kereta dorong yang di atasnya terdapat keramik pipih tebal berbentuk lingkaran menyerupai piring dengan diameter yang lebar. Eh, sepertinya itu marmer.

Beberapa detik kemudian, turun sebuah rantai dari atas panggung. Kemungkinan rantai yang sama yang digunakan untuk menggantung dan menyembelih tubuh Almah tadi. Ujung rantainya saja yang berbeda. Terdapat pengait semacam penjepit dengan tiga bagian berbentuk cakar dan disertai pengunci. Rantai itu turun di dekat tubuh Almah. Cef Hilda mengarahkan ujung cakar itu ke leher Almah sambil menghindari uap panas sisa-sisa perebusan. Kulihat dari layar LED, cakar stainless itu tampak menerkam bagian tulang leher Almah yang telah terpotong itu. Alat pencengkeram itu berdekatan, atau mungkin berdampingan dengan wortel yang menancap di tenggorokan Almah. Alat itu sepertinya digerakkan dengan alat pengendali jarak jauh. Terlihat cakar itu bergerak mencakar dan menjepit tulang belakang Almah dengan sendirinya.

Setelah memberikan aba-aba, rantai itu secara perlahan naik, mengangkat, dan mengeluarkan tubuh Almah dari tempat yang membuatnya dari mentah menjadi matang. Tubuhnya yang tadinya duduk menyamping, kini sedikit tegap. Tubuhnya mulai tak menyentuh dasar panci. Tubuh itu terangkat hingga keluar sepenuhnya dari panci silinder transparan setinggi tiga meteran. Uap panas tampak mengepul dari seluruh kulit Almah. Tetesan-tetesan air panas itu berjatuhan. Pose setengah tegap tubuh Almah di rantai itu begitu membuatku terangsang, karena kedua kakinya sedikit mengangkang dengan kedua tangan menjulur ke bawah di samping tubuhnya.

Cef Hilda turun dari tangga, lalu rantai itu menggeser tubuh Almah, kemudian menurunkannya di piring besar di atas troli secara perlahan. Tampak salah satu tangan Jack dan Michelle yang menunggu di samping piring itu telah mengenakan sarung tangan tahan panas. Di pegang tubuh Almah dan diposisikan pada piring tersebut, lalu alat pencapit itu lepas. Rantai itu kemudian naik dan menghilang dari pandangan.

Tubuh Almah sekarang posisinya jongkok dan mengangkang. Kulihat Michelle dan Jack memaksa kaki Almah mengangkang lebih lebar, memperlihatkan kemaluan dan anus yang tersumpali wortel. Diposisikan duduk dengan sudut sekitar 130 derajat dengan kaki mengepak lebar. Ternyata bagian punggungnya ditopangi oleh logam stainless yang membantu agar tubuhnya tidak jatuh dengan posisi telentang. Uap panas masih muncul, namun intensitasnya tidak sebanyak saat baru diangkat dari drum silinder tadi. Meski begitu, tetap saja panas.

Lempengan logam yang menggantung pada sepasang puting Almah dibenahi dengan benar. Yang awalnya terbalik, dibetulkan. Yang posisinya miring, diluruskan. Saat juru kamera memperbesar permukaan kulit Almah, kami semua menyaksikan betapa menggiurkan tubuh itu. Warna kulit cenderung putih, juga warna urat dibalik kulitnya tersamarkan. Warna areola dan putingnya juga berubah. Tonjolan yang tertindik kail itu masih mencuat dan sedikit menunduk akibat beban papan nama si pemenang lelang dan papan petunjuk betapa bagusnya kualitas daging itu. Tak ada lagi darah yang keluar dari puting yang tertindik itu. Darahnya pasti ikut matang dan menggumpal. Bekas-bekas suntikan bumbu yang masuk, juga tersamarkan.

Jack tampaknya memaksa tangan Almah untuk berganti posisi. Ia menggerakkan tangan kiri Almah ke atas. Menunjukkan kemolekan ketiaknya yang bersih tanpa bulu. Begitu pula Michelle, ia menggerakkan tangan kanan Almah seperti tangan kirinya. Mungkin jika kepalanya masih menyatu, posisi tangannya ada di atas kepalanya.

Secara bersama-sama, asisten-asisten cef Hilda memotong siku tangan Almah, lalu meletakkan di antara kedua kakinya dan di depan kemaluan Almah. Sang ketua, ia menata kentang yang telah direbus sebentar lalu digoreng tersebut ke piring itu. Dengan dibantu asisten, plating tersebut mulai tampak cantik. Ada semangkok saus, paprika, wortel, selada, timun, tomat, dan lain-lain. Cef Hilda kemudian mengeluarkan wortel yang bersarang di vagina. Ketika dicabut, terdapat cairan disertai uap panas yang keluar dari lubang kawin Almah. Vaginanya tampak menganga selebar wortel itu. Ia tak kembali mengatup. Mungkin karena sudah tersumpal wortel saat dimasak tadi sehingga lorong memek dan labianya telah kehilangan ke-elastisitas. Wortel di anus juga dilepas. Cairan dari anus yang keluar cukup banyak. Cairan itu tidak dibuang, malah menambah kesan artistik.

Cef Hilda menggunakan sumpit mengorek lubang kawin Almah. Kulihat ia mengeluarkan mie yang telah matang dari dalam vaginanya. Lalu, kayu kecil yang menyumpal saluran pipis juga dicabut. Cairan kental keluar meluber membasahi mie yang keluar dari vagina seperti saus. Tentu saja, uap keluar dari cairan itu. Selanjutnya, wortel yang menyumpal tenggorokan Almah juga dilepas disertai uap panas. Terakhir, cef Hilda membuka jahitan di perut Almah tersebut. Jahitan vertikal itu dilepas dari atas hingga ke bawah. Uap panas muncul lebih banyak, bahkan lebih banyak dari yang keluar dari vagina, anus, maupun tenggorokan.

Kulit perut Almah yang seperti wanita hamil itu dilebarkan. Di dalamnya, mie disertai sayur mayur tampak matang dan lezat.

Kepala Almah yang telah dirias itu diletakkan di depan vaginanya yang menganga. Terakhir, tubuh dan kepala itu ditutupi penutup berbentuk kubah dan transparan, menutupi seluruh tubuh Almah yang telah matang.

Cef Hilda, Jack, dan Michelle berdiri berjajar. Mereka kemudian membungkukkan badan yang kemudian disambut tepuk tangan dari para penonton yang menyaksikan. Seorang petugas mendorong troli menuju keluar melewati kursi-kursi penonton. Mereka semua menoleh dan menyaksikan dari dekat tubuh Almah yang telah matang.

“Terima kasih, bapak Anton,” kata pembawa acara.

Pak Anton kemudian berdiri, disusul dua wanita bergaun. Tepuk tangan para hadirin menggema seisi aula. Mereka bertiga lalu membalikkan badan keluar dari ruangan pelelangan disusul troli yang berjalan di belakangnya.

Tirai penutup panggung turun. Kami semuanya tak dapat melihat sesuatu yang ada di baliknya.

Beberapa menit kemudian …

“Selanjutnya, mari kita saksikan barang spesial di hadapan saudara.”

Setelah pembawa acara berbicara, tirai pun terbuka. Di sana, ada sebuah meja kursi yang keseluruhannya dibuat dari tubuh manusia. Meja itu terbuat dari tubuh manusia yang dijadikan patung. Seorang wanita dan pria. Telanjang bulat dan secara bersama-sama memanggul kaca yang kelak sebagai tempat dan alas benda maupun perabotan. Terdapat tiga kursi yang juga berbahan manusia. Ada yang pria, maupun wanita. Sandarannya adalah bidang dada, dan kedua kaki dan tangannya sebagai kaki-kaki kursi. Di antara paha tentu saja dudukan empuk bak sofa, namun permukaannya dari kulit manusia.

Sungguh, acara ini sepertinya sudah terjadwal sedemikian rupa. Yang tadinya di atas panggung terdapat peralatan memasak layaknya dapur, kini lenyap menjadi panggung pelelangan.

“Spesifikasinya, bisa anda baca di buku katalog yang anda miliki. Sekarang, kami buka penawaran di harga seratus juta rupiah.”

Beberapa penonton mengangkat tongkat yang di atasnya terdapat papan dengan tulisan bernomor disertai ucapan penawaran yang lebih tinggi.

“Seratus dua puluh juta rupiah,” kata pria berkemeja putih sambil mengangkat papan.

“Dua ratus juta rupiah,” kata wanita muda bergaun hijau gelap.

“Dua ratus lima puluh juta rupiah.”

“Tiga ratus juta rupiah.”

Silih berganti suara-suara itu menggema memenuhi aula. Pembawa acara dengan teliti memandang peserta yang menawar. Tentu saja, ketika mencapai tawaran tertinggi, suara-suara itu terjeda.

“Tujuh ratus enam puluh juta rupiah. Adakah yang berani menawar lebih tinggi?” ujar pembawa acara. “Barang ini sangat langka. Dibutuhkan dua tahun untuk pengerjaannya, dan … manusia-manusia itu masih muda yang berasal dari tujuh benua yang berbeda-beda.”

“Delapan ratus juta.”

Seorang kakek-kakek bergaya kacamata abad tujuh belas mengangkat papan nama.

“Delapan ratus juta rupiah. Tidak adakah yang berani lebih tinggi?”

Penonton hening, tak ada yang menawar lebih tinggi.

“Baiklah, kita hitung mundur. Lima … Empat …Tiga … Dua … Satu.”

TOK! TOK! TOK!

Suara palu kayu memukul papan kayu di bawahnya.

“Selamat. Seperangkat meja kursi telah laku kepada peserta 63.”

Suara tepuk tangan memenuhi ruangan. Kakek-kakek tersebut membungkukkan badan, kemudian duduk kembali ke kursinya.

Tirai kembali ditutup, lalu selang beberapa menit dibuka. Benda yang di lelang kali ini berupa benda pusaka yang diberdirikan dan menyandar pada patung kera yang duduk bersila.

“Selanjutnya. Keris Asavah yang dibuat oleh empu Braja. Keris ini dahulu pernah diperebutkan oleh lima kerajaan, namun tak ada satupun yang memenangkannya,” jelas pembawa acara. “Tidak perlu berlama-lama. Kami buka di penawaran dua ratus lima puluh juta rupiah.”

“Tiga miliar rupiah.”

Tiba-tiba seorang wanita muda blasteran, berjaket kulit hitam, dan berkacamata berbentuk hati seperti yang digunakan Taylor Swift, mungkin usianya sekitar dua puluh tahunan. Ia mengangkat papan nomor.

“Wow, tiga miliar rupiah. Adakah yang berani lebih tinggi?”

Tak ada seorang pun yang mengangkat papan.

“Lima … Empat … Tiga … Dua …”

“Tujuh miliar rupiah.”

Di meja bundar dari sudut aula, laki-laki berjas putih mengangkat papan.

“Tujuh miliar rupiah. Adakah yang menandingi?”

“Dua belas miliar rupiah.” Wanita yang menawar sebelumnya kembali mengangkat papan nomor.

“Dua belas miliar rupiah. Ayo, siapa yang berani menawar lebih tinggi?” tanya pembawa acara seperti merangsang lelaki yang menawar tujuh miliar untuk kembali mengangkat papan nomornya. Namun, ia tak berani mengangkatnya. Sepertinya ia tak mampu untuk memboyong benda yang ada di atas panggung.

“Tiga … dua .. satu. Selamat, keris Asavah terjual dua belas miliar rupiah.”

TOK! TOK! TOK!

Tepuk tangan riuh memenuhi hall. Lelaki itu tampak menunduk. Sepertinya dia mengakui kekalahannya dalam memburu barang yang disukainya. Namun, hal itu tampaknya tidak membuatnya untuk meninggalkan tempat duduk. Karena, pelelangan ini masih belum berakhir. Banyak barang-barang yang dilelangkan dengan nilai yang cukup fantastis. Salah satunya dan tidak lain adalah aku, hihihi. Aku tak tahu juga, apakah dia ada minat dengan diriku, soalnya dia sepertinya bukan tipe manusia kanibal.


***


Tiga jam berlalu, beberapa barang-barang lelang telah terjual. Nilainya dari ratusan juta sampai miliaran rupiah. Belum ada benda sampai terjual ratusan miliar, mentok ke puluhan miliar saja. Di tengah-tengah acara tadi, ada beberapa orang yang baru tiba. Mungkin mereka telat, atau memang sengaja demikian karena ketika tadi mereka datang, beberapa saat kemudian barang yang dilelang jatuh ke tangan mereka. Dia datang hanya mengejar item yang diburu. Tentu mereka mengetahui dari katalog yang di dalamnya berisi jadwal pelelangan beserta nomor urut. Memang, kebanyakan penonton berasal dari Indonesia, tapi tak sedikit pula yang datang dari mancanegara.

Tak seperti Almah, di mana setelah terjual, pemenang lelang pulang bersama dengan barang buruannya. Mereka banyak yang menunggu sampai acara selesai. Apalagi, aku juga dilelang dan diletakkan di akhir. Pasti mereka ada yang mengincarku juga. Membayangkan mereka mengincar bagian-bagian dari tubuh, aku malah jadi horny, hihihi.

“Para hadirin sekalian, malam ini kita telah berada di akhir acara. Kami tahu, bapak-bapak dan ibu-ibu di sini hadir sudah ada yang memenangkan barang-barang kami. Bagi yang belum memang, kami sudah menyiapkan barang lelangan. Tentu bapak-bapak dan ibu-ibu sudah membaca dan melihat beberapa foto." Suara dari pengeras sound system yang diucapkan pemandu acara.

"Perkenalkan barang lelang spesial kami…...Siskaaaaa!!!!” Ia melanjutkan yang disambut gemuruh tepuk tangan para penonton.

Ruangan tempatku berada menjadi lebih terang, dan di layar TV LED maupun di layar proyektor di samping kiri dan kanan panggung terpampang diriku yang sedang duduk. Pak Borgan yang duduk di sebelah, di seberang meja pun turut tersorot kamera. Di sini aku baru sadar, kalau di ruanganku ada CCTV. Uh, jadi malu. Untunglah pakaian kimono pemberian Pak Borgan cantik, jadi malunya gak sampai di level maksimum. Di layar, wajahku juga tampak merah. Hahaha.

“Dek Siska, siap?”

“Siap, Pak.”

“Good,” jawab Pak Borgan disusul kemudian salah satu pengawal wanita mendekatiku.

“Mari, mbak Siska, lewat sini.”

Aku pun berdiri, lalu tak mengenakan kembali sandal slipper itu.

“Kenapa tidak dipakai?” tanya pak Borgan,

“Enak gini, Pak.”

“Ya sudah, buruan pergi ke sana.”

Kujawab dengan anggukan. Aku diantar menuju ke elevator. Wanita itu ikut masuk ke dalam lemari besi bersamaku. Pintu lif tertutup, wanita di sampingku menekan tombol ke lantai tujuan. Lif pun bergerak turun. Kulihat di sudut-sudut atas, terdapat kamera CCTV. Tentu saja kamera itu menampilkan kondisi terkini di layar panggung. Apalagi, setelah kubaca katalog kemarin, acara ini juga ditampilkan secara daring. Orang-orang yang memiliki keanggotaan, bisa menonton acara pelelangan di komputer maupun di ponsel.

Pintu lif terbuka. Aku sudah berada di ruang aula. Hawa dingin, di mana ratusan orang berkumpul untuk memburu apa yang diinginkan. Tatapan orang-orang tertuju ke padaku.

“Mbak Siska jalan duluan, saya menyusul di belakang,” kata pengawal cantik yang sedari tadi mendampingiku.

Aku mengangguk, lalu kaki kanan melangkah disusul kaki kiri. Aku keluar melenggang dari lift menuju ke arah panggung, berjalan lurus ke tempat barang-barang lelang dijual, membelah di antara meja-meja bundar yang dikelilingi manusia-manusia yang asik duduk santai dari beragam latar belakang, usia, dan gender. Fokus mata mereka membuatku gugup. Detak jantungku berdegup lebih cepat, dan kurasakan aliran darah di dalam kulitku terasa dingin. Di sisi lain, bagian-bagian sensitif dari tubuh ini seperti tergelitik geli. Bulu-bulu halus di kulitku seperti berdiri. Mungkin saat ini selangkanganku basah. Putingku pun sepertinya mengeras. Aku bahkan tak berani menunduk melihat dadaku. Dengan hanya berpakaian kimono, tiap kali melangkah, permukaan kulit yang tertutupi ini bergesekan. Tidak terkecuali ujung mungil yang menegang di puncak gunung kembarku.

Satu atau dua juru kamera yang tersebar di area tertutup ini sedang mengarahkan kamera ke diriku yang sedang jalan tanpa alas kaki. Layar di sisi kiri dan kanan panggung menampilkan wajahku. Terlihat wajahku yang gugup, namun aku terangsang. Penonton tentu tak mengetahui kalau aku lagi basah. Hihihi. Mumpung berpindah, aku memasang wajah ceria. Kusunggingkan ujung kiri dan kanan bibirku ke atas. Setelah itu, kamera menyorot leherku. Di sisi lain, juru kamera sedang menyorot bagian belakang tubuhku.

Dadaku tak luput dari tangkapan lensa kamera perekam. Saat berjalan, jelas sekali di layar menampilkan kain kimono di dadaku memantul-mantul berirama. Salah satu keinginanku, yaitu jalan ke panggung dengan tanpa alas kaki pun terwujud.

Ekor mataku dapat melihat beberapa orang yang sedang berbicara saling membisiki satu sama lain sambil melihat ke arahku. Pasti dia mengincar salah satu bagian tubuhku, atau organku. Hihihi, ge-er banget aku ya. Tidak hanya perempuan yang menggosip, kaum adam pun juga demikian. Diantara mereka ada pula yang melihatku sambil menenggak minuman.

Aku kemudian menaiki beberapa anak tangga hingga akhirnya ada di atas panggung. Kuputar tubuhku menghadap para penonton. Di samping belakang, pengawal wanita yang menemaniku dari ruangan VVIP bersama Pak Borgan berdiri sedikit lebih jauh, sekitar tiga meteran. Agak jauh di sebelah kiri, pembawa acara berada. Dari atas sini, aku dapat melihat atensi mereka. Tatapan mereka ke sekujur tubuhku. Iya, aku adalah artis utama di ruangan ini. Di hadapanku, ada tiga atau lebih juru kamera yang mengambil video live yang ditampilkan pada dua buah layar lebar di sisi kiri dan kanan panggung.

“Para hadirin sekalian, inilah yang paling kita tunggu-tunggu. Acara puncak lelang pada malam hari ini …. Siskaaaaaaaaa!” jelas host tersebut seraya tangan kanannya membuka mengarah kepadaku.

Riuh penonton menggema seisi ruangan. Mereka benar-benar sangat antusias dengan acara pelelangan tubuhku ini. Aku tahu detail acara ini, karena sebelumnya aku sudah membaca buku katalog secara lengkap. Hihihi.

Terdengar suara dari arah belakangku, yaitu sesuatu benda yang diletakkan dan cukup berat. Aku menarik napas cukup dalam, lalu kuhembuskan perlahan melalui mulut. Tanganku meraih pengikat kain kimono yang melilit di pinggang, lalu kulepaskan. Secara perlahan, tanganku membuka satu-satunya pakaian yang membungkusi tubuhku. Dengan rasa deg-degan dan juga horny, kain khas Jepang ini lepas dan jatuh ke lantai hingga aku telanjang bulat di hadapan para penonton.

“Wooooooooow.” suara riuh penonton bergema dari segala penjuru.

“Lihatlah tubuhnya yang seksi dan menggairahkan. Bukankah membuat para hadirin merasa lapar?” tanya pemandu acara memancing reaksi dari para manusia di hadapan kami. Mereka pun ada yang mengangguk-angguk, ada pula yang bertepuk tangan.

Aku bergaya di atas panggung dengan bertolak pinggang. Beberapa menit kemudian kuangkat kedua tanganku di belakang kepala menunjukkan ketiakku dan kubusungkan sedikit dadaku ke depan hingga menyebabkan sepasang payudaraku membulat kencang menantang dan mengundang nafsu para penonton di depan sana. Riuh para insan semakin menjadi-jadi ketika aku memainkan payudaraku. Kujepit sepasang putingku, lalu kutarik-tarik ke atas secara bergantian. Saat di lepas, gundukan yang berisi kelenjar persusuanku memantul indah.

“Ada yang mau makan susu Siska?” tanyaku sambil tetap memainkan sepasang payudaraku dengan menjepit putingku ke atas.

“Saya … saya … saya … saya … saya … saya,” sahut penonton yang hadir di depanku bergantian

“Aaah!! ... Siska jadi horny,” ucapku disambut tawa penonton.

Entah perasaan apa yang melanda diriku, mendengar penonton berebut ingin makan toketku, aku jadi terangsang. Aku juga memutar badan menunjukkan punggung dan juga pantatku. Aku berharap mereka memakan seluruh tubuhku ini meski kutahu kepalaku tidak akan dilelang dan hanya dipersembahkan kepada Pak Borgan sebagai trophy dan koleksi, karena memang itu kontrak perjanjiannya.

Aku balik badan, berjalan menuju ke sebuah benda. Benda itu baru saja diletakkan beberapa menit yang lalu. Kalian tahu? Itu adalah sebuah kamar mandi portable berbentuk silinder dengan seluruh permukaannya transparan. Tingginya sekitar dua meter lebih sedikit. Di atasnya terdapat pipa yang terhubung dari lantai panggung di sisi kanan, dan satu pipa lagi dari bawah yang terhubung ke lantai panggung di sisi kiri.

“Selanjutnya, pembersihan diri. Di sini, barang lelang wajib dibersihkan terlebih dahulu.”

Kulangkahkan kaki kanan lalu kiri secara bergantian berjalan menuju ke kamar mandi tersebut. Aku geser pintu kamar mandi yang berbentuk setengah lingkaran ini, lalu masuk ke dalamnya. Tak lupa, aku menutup pintu kembali. Di salah satu dinding, terdapat dua wadah berisi daun kayu putih dan daun sirih. Daun-daun itu tampak masih segar dengan warnanya yang masih hijau. Tiba-tiba, air dari atas jatuh seperti rintik-rintik hujan. Suhu air ini terasa hangat, namun tak membuat ruangan ini terasa pengap. Aku dapat mendengar suara mesin yang membuang udara serta memasukkan udara di kamar mandi kecil ini.

“Silakan bapak, ibu, saudara sekalian menyaksikan barang lelang kami. Siska baru saja menginjak 21 tahun, ia humoris dan mudah berteman. Dibalik kecantikannya, Siska dianugerahi tubuh yang sehat. Asupan makanan serta rajin berolahraga membentuk tubuh yang ideal.”

Sambil menggosoki permukaan kulitku, pemandu acara sedang mempresentasikanku. Jujur, aku benar-benar merinding. Tanganku menjamah seluruh permukaan kulit serta kuraba selangkangannku yang basah akibat sekresi dari rasa horny-ku. Selanjutnya, aku usap pantat, lubang dubur, lalu turun ke paha. Kugosoki secara bergantian antara paha kiri ke paha kanan. Lutut, betis, permukaan kaki dan jari pun aku gosok. Kuambil beberapa helai daun sirih dan daun kayu putih. Kuremas-remas hingga terdapat buih-buih kecil. Daun-daun yang telah hancur itu kululurkan ke seluruh permukaan kulitku. Rambut tak terkecuali. Kugosoki bagian tubuh yang menghasilkan aroma bau tak sedap. Dari ketiak kiri, ke ketiak kanan. Ketiak yang tak ditumbuhi sehelai bulu ini kugosok cukup lama, selanjutnya ke selangkangan dan area anus. Aku naik ke atas ke bawah pusar, di mana tempat rambut pubisku dulu tumbuh. Memang, aku sering membersihkan rambut pubis dengan mencabutnya. Kali ini pun, masih tetap bersih tanpa bulu. Sebelumnya sudah kucabut, tepatnya sebelum aku kenal Pak Borgan dari internet.

Tanganku meraih daun-daun itu, kuremasi dan kugosoki kembali ke area tubuhku. Kali ini aku menggosok kedua buah dadaku. Aku melakukannya sambil menghadap ke arah penonton. Meski agak samar karena permukaan kaca ini terciprati air, mereka tak henti-hentinya menatapku. Area punggung ini yang menurutku memakan banyak energi. Saat mandi, bagian punggung itu paling menyebalkan. Tak kesemuanya dapat kugosok menggunakan telapak tangan, tapi menggunakan punggung tangan. Setelahnya, aku gosok sepasang kakiku. Sela-sela jemari kaki juga tak luput dari buih daun-daun ini. Kedua tangan dari lengan sampai ujung jari pun juga kugosok.

Terakhir, aku mengambil dedaunan wangi itu untuk menggosoki area wajah dan daun telinga, lalu mengambil daun sirih saja untuk menggosok gigiku dengan tangan. Rasanya sungguh tidak enak. Tapi apa boleh buat, ini demi tubuhku yang dijual. Hihihi.

Air mengguyur cukup deras. Sekarang tinggal membilasnya saja. Dengan guyuran yang kencang, aku bersihkan rambutku, wajah, mulut, dada, pantat dan ujung kakiku. Kesemuanya kubersihkan sampai tak ada sisa-sisa daun yang menempel. Beberapa menit kemudian airnya pun berhenti, aku keluar dari kamar mandi ini. Pengawal wanita yang sedari tadi berdiri memberikan handuk. Kugapai lalu kugunakan handuk untuk mengeringkan tubuhku. Setelahnya, pengawal mengambil handuk itu kembali.

Di lantai panggung, pakaian kimonoku juga lenyap. Aku benar-benar telanjang bulat tanpa apapun yang menyekati pandangan mereka dari tubuh ini. Aku seperti manusia yang baru dilahirkan, hanya saja rambutku tak sependek bayi yang baru lahir. Hihihi.

“Selanjutnya, kita menuju ke sesi yang membuat anda semua dapat menyaksikan dan memilih incaran anda. Mari, Siska. Silakan maju.”

Aku melangkah menuju ke depan panggung ditemani pengawal wanita. Aku berbelok menuju ke beberapa anak tangga, lalu melangkah turun. Pengawal di sampingku menunjuk ke meja bundar di sisi paling kiri.

“Kami menjamin keaslian barang yang dilelang. Ada sebuah peribahasa, membeli kucing dalam karung. Jadi, sebelum kita mulai, Siska akan berkeliling ke hadapan bapak, ibu, dan saudara semua yang ada di sini satu persatu. Kalian dipersilakan untuk menyentuh barang lelang istimewa kami. Periksalah bagian tubuh yang bapak, ibu, saudara incar. Akan tetapi, kalian tidak diperbolehkan untuk merusaknya dan membuatnya cacat,” papar host secara jelas.

Sungguh, penjelasan dia membuatku makin berdebar-debar. Degup jantungku memacu cepat, dan hormon estrogen berproduksi makin banyak.

Sesuai ucapan pembawa acara, aku berjalan menghampiri beberapa peserta lelang yang duduk di meja itu, hingga aku berdiri dihadapannya. Aku dapat merasakan tatapan matanya tertuju ke sudut-sudut tubuh telanjangku.

"Silahkan, bapak, ibu, saudara. Sentuhlah tubuh Siska ini," pintaku dengan senyum semanis mungkin.

Bapak-bapak berjas hitam berumur 40 tahunan berdiri. Ia menghampiriku. Kedua tangan bapak ini memegang pundakku. Tangannya lalu turun ke lengan atas, memijat lenganku.

"Lenganmu bagus," pujinya.

"Makasih, Pak. Bapak mau pilih lengan kiri atau kanan?" tanyaku.

"Hmmmm." Dia bergumam sambil mengangkat kedua tanganku ke atas dan menyentuh ketiakku. "Ketiakmu bagus. Kalau dipotong bagian ini sampai sini sepertinya enak. Saya mengincar yang kanan saja."

"Oh, gitu. Semoga beruntung ya, Pak. hihihi," cetusku.

Aku berjalan ke peserta lelang berikutnya, yaitu di sebelah bapak yang mengincar lenganku.

"Hi, Om. Mau ngincar tubuh Siska yang mana?" Ucapku sambil bergaya bertolak pinggang di depannya. Kulihat dengan jelas sorot matanya tertuju ke buah dadaku.

"Sepertinya toketmu enak," tegasnya yang membuat darahku berdesir.

"Pasti enak kok, Om. Yang masak cef terkenal," jawabku.

"Oh bener juga ya, hehehe," jawabnya sambil mengangguk-angguk.

"Ngincar yang kiri atau kanan, Om?" tawarku sambil kedua tangan kuletakkan di punggung, lalu membusungkan dada dengan sedikit memutar ke sebelah kiri lalu sebelah kanan secara bergantian dan membuat sepasang gundukan bulat ini menghempas lembut.

"Wah, besar dan sepertinya enak semua. Dua-duanya boleh?" tanyanya.

"Boleh saja, asal om menang lelang," jawabku dan dibalas ketawa darinya.

Aku kemudian berjalan ke peserta selanjutnya, yaitu seorang pria dan wanita.

"Silahkan, om, tante. Mau pilih yang mana?" Aku bergaya mengangkat kedua tanganku ke belakang kepalaku.

"Mama mau yang mana?" kata laki-laki berjaket hitam ini ke wanita yang duduk di sampingnya.

“Itu,” lirihnya sambil melirik ke bagian dadaku. Barangkali dia sungkan dilihat orang-orang semeja dengannya. Tidak seperti suaminya yang vulgar. Hihihi.

“Yang mana? Perut?” Jari semuanya menunjuk ke perutku.

"Jelas payudara dooong… ih masak papa nggak paham sih,” ungkap wanita cantik itu dengan kembali melirik ke dadaku.

“Ya, maaf. Papa tidak tahu.”

“Papa, ih. Gitu aja enggak peka kalau mama ngidam payudara. Apa papa mau anak kita lahir ileran sampe gede?" jelasnya.

Whaaaat? Ngidam? ternyata ibu di depanku itu sedang hamil. Nggak keliatan sih kalau hamil, soalnya pakaiannya enggak ketat, jadi perutnya tidak kelihatan besar. Mungkin baru kehamilan trimester pertama kali. Selain itu, dia ngidam toketku? Iiiih, jadi horny nih.

“Iya, papa minta maaf.”

Kekasih wanita cantik itu sampai meminta maaf.

Aku mendekatinya, lalu sedikit membungkukkan badan. "Tante lagi hamil, ya? Mau pilih yang mana tante? Payudara kiri atau kanan?"

"Boleh dipegang?" tanya tante itu.

Aku melirik ke pengawal di sampingku, ia hanya mengangguk samar. Memang pada dasarnya sih boleh-boleh saja. Pembawa acaranya pun dengan lantang mempersilakannya kok.

"Boleh kok, Te" jawabku sambil mendekatkan dadaku ke arahnya.

Tangan kanannya yang berkulit putih bersih disertai kuku-kuku bak kristal itu mengarah ke dadaku, kemudian langsung memencet mencet buah dada kiriku. Ia gunakan jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis di sisi kiri payudaraku, lalu ibu jari di seberang dekat dengan payudara sebelah kanan. Ditekannya dengan lembut gundukan daging kenyalku ini tiga kali, lalu tangannya berpindah ke payudara kananku.

“Pa, ini sepertinya lebih mantap.”

“Mana-mana.” Om itu juga ikut ikutan sambil meremas-remas toket kananku, lalu beralih ke sebelah kiri sambil berujar, “ini lebih besar, Ma."

"Bukan, Pa. Lebih besar ini, deh," jawabnya.

Mereka berdua berdebat di depanku. Memilih toketku. Si cowok menganggap buah dada kiriku lebih besar, sedangkan si wanita kebalikannya.

“Masak sih, coba papa rasakan lagi.”

Pria ini memencet-mencet payudara kananku dengan tangan istrinya yang masih hinggap di sana.

“Hmmm, iya. Sepertinya pilihan mama betul.”

“Apa mama bilang, nih lihat. Bentuk putingnya bagus lagi. Simetris dan artistik,” jelasnya dengan telunjuk tangannya bermain di putingku seperti analog HP tahun 2006-an. Sang suami juga ikut-ikutan memainkan putingku itu. Jari telunjuk mereka berdua sampai berdempetan di putingku yang menegang itu. Uhh sial, mereka ini menganggap putingku ini monumen pertemuan antara Hawa dan Adam kah?

“Tante, Om. Jangan lama-lama. Kasian yang lain,” saranku yang kemudian membuat wajah mereka saling bersitatap.

“Oh, iya. Dikit lagi gapapa, kan? Kami sudah masukin uang jaminan yang tidak sedikit.”

Aku melirik ke pengawal. Ia mengangguk seraya berkata, “silakan nyonya dan tuan. Anda adalah raja. Jangan sampai anda salah pilih dan menyesal.”

“Tuh, kan? Kamu ini bandel. Udah, kamu itu nurut aja. Toh ini juga titipan, bentar lagi bakal masuk ke perut kami,” hardiknya kepadaku sambil memencet payudara kananku. Memang benar sih, di sini bagian tubuhku hanyalah titipan dan tak lama lagi milik mereka yang berhasil memenangkan lelang.

“Iya, iya. Maafkan saya Om, Tante. Silakan dilihat-lihat dan dipegang lagi barang-barang incaran Om dan Tante ini.”

“Ya, kami maafkan, kok. Sini, majuan dikit,” pintanya. Aku pun menurutinya dengan memajukan sedikit dengan sejengkal langkah ke depan.

“Berdiri tegak,” perintahnya.

“Siap, Om.”

Setelah itu, kedua tangan mereka kemudian saling memencet-mencet, memilin, dan meremas buah dadaku secara bergantian. Dari payudara kiri, ke payudara kanan. Begitulah sebaliknya. Mereka juga saling berbicara dan mengomentari tekstur serta warna kulit yang membungkusi lemak yang di dalamnya terdapat kelenjar air susu itu. Dalam pembicaraan itu, aku dapat mendengar mereka berdua yang ingin berbagi. Jika sang suami menang satu bagian, suaminya dapat seperempatnya saja, dan jikalau memenangkan dua payudaraku, si laki-laki dapat utuh payudaraku yang sebelah kiri. Mendengar mereka rebutan ingin makan toketku membuat aku semakin terangsang.

“Ma, beneran kata mama. Yang ini memang lebih bagus,” jelasnya sambil puting kananku dijepit lalu ditarik ke atas dan menampilkan bagian bawah payudaraku. “Ini lebih bagus teksturnya.”

Sentuhan telunjuk pria ini berjalan dari sisi kanan bawah payudara sebelah kanan di bagian bawah, yaitu kulit lipatan antara buah dada dan kulit yang membungkus tulang rusuk. Jarinya berjalan dan bergeser dengan tetap menyentuh kulit payudaraku sampai ke dekat tulang ada. Jari itu bergerak di lipatan bergaris memanjang setengah lingkaran antara yang datar dengan yang timbul.
 
“Menurut gambar di katalog, motongnya dari sini terus ke sini,” ujarnya sambil melihat buku katalog yang memperlihatkan foto telanjang dadaku yang disertai garis-garis putus penanda bagian itu yang nantinya akan dipotong.

“Kita tidak hanya dapat payudara saja, tapi beberapa ruas cangkang tulang rusuknya, Pa,” sahut istrinya dengan menunjuk foto di katalog yang telah di-edit itu.

Betul yang dikatakannya. Aku sudah membaca katalog itu. Awalnya aku terkejut, tapi di sisi lain aku sangat penasaran. Bagi siapapun yang memenangkan lelang, akan mendapatkan payudara yang masih melekat pada tulang rusuk. Jadi yang nanti dipotong itu dari bawah payudara, lalu memotong tulang rusuk samping menuju ke atas, kemudian memutar di bawah tulang selangka, lalu turun memotong tulang dada. Dari tulang dada bagian bawah, di dekat ulu hati, potongan ke samping secara horizontal ke potongan di bawah payudara di awal tadi.

Aku tak tahu nanti mekanismenya seperti apa. Yang jelas, susuku laku di antara manusia-manusia kanibal itu.

“Fix ya, Ma. Kita nanti all out ke payudara ini.”

“Iya, Pah. Nanti kalau gak dapat yang kanan, kita ngejar yang kiri.” Wanita itu kemudian duduk diikuti suaminya yang duduk disampingnya. “Pokoknya harus dapat.”

“Siap mamaku sayang. Sukur-sukur bisa dapat dua-duanya.”

Pada akhirnya mereka memutuskan untuk memilih susu sebelah kananku.

“Sudah selesai, Om, Tante? Tidak ngincar yang lain?” tanyaku menawarkan kembali sambil memasang senyum manis di wajahku.

“Tidak.”

“Ya semoga berhasil ya? terima kasih karena sudah memilih, semoga bisa memenangkan buah dadaku.”

Aku meninggalkan pasangan kekasih ini, lalu lanjut ke peserta berikutnya yang bersebelahan dengan wanita pengidam tetek.

“Silakan dilihat dan dipilih, bapak mau yang mana?” kataku dengan berdiri kemudian memutar badan sekali. Si bapak itu kemudian menegak minuman, lalu meletakkannya.

“Putar badan kamu,” perintahnya yang segera kuturuti. “Cukup.”

Aku berdiri membelakangi tubuhnya. Terasa kedua pantatku menerima sentuhan. Awalnya pantat sebelah kiri dipencet-pencet sampai kurasakan jarinya menekan tulang, lalu bergeser ke pantat sebelah kanan. Beberapa detik kemudian, kedua gundukan pantatku dibuka saling berjauhan.

“Hmmm, anusmu lumayan menarik. Pernah disodomi?”

“Belum pernah, Pak.”

“Sesuai ekspektasiku.”

Terasa lubang anusku yang menguncup rapat itu disentuh secara memutar searah jarum jam.

“Ehmmm!” desahku lirih menerima rangsangannya. Otot-otot anusku berkedut-kedut akibat sentuhan itu.

“Okay, cukup.”

Aku membalikkan badan dan menatapnya sembari tersenyum. “Terima kasih. Jadi bapak ngincar anus siska?”

“Itu bukan urusan kamu.”

Widih, galak bener orang ini. Ya sudahlah, itu hak dia mau beli bagian yang mana dari tubuh aku. “Terima kasih, Bapak. Semoga beruntung.”

Sekarang, aku menuju ke orang sebelahnya. Pria dan seusia dengan laki-laki yang galak.

“Bapak mau pilih yang mana?”

“Sini, tangan kamu.” Ia menggapai tangan kananku, lalu menyentuh permukaan telapak tangan, jemari, dan punggung tangan. Pria berumur 30 tahunan itu juga melakukan hal yang sama di tangan kiriku. Ia juga meraba pergelangan tangan sampai ke lenganku.

“Sudah.”

“Baik, Om. Terima kasih, semoga beruntung.”

Aku tak bertanya lagi apakah dia mengincar tangan kanan atau kiriku. Setidaknya pria sebelumnya telah memberikan pelajaran, bahwa hal itu tidak patut dipertanyakan. Tapi aku juga penasaran sih. Hihihi.

Sisa tiga orang lagi. Kali ini sepasang kekasih. Dia sedari tadi memperhatikan dadaku. Apakah dia ngincar buah dadaku?

“Om, Tante. Silakan.”

Tante itu kemudian menyentuh ulu hatiku, lalu meraba ke atas di tulang dada. “Kamu perokok dan minum-minuman keras?”

“Bukan perokok, Tante. Aku juga jarang terpapar asap rokok,” kataku membiarkan tangannya menekan perutku. “Kalau minuman beralkohol, baru beberapa jam yang lalu minum.”

Dia mengangguk-anggukkan kepala, lalu berbisik-bisik dengan kekasihnya.

“Ya, cukup.”

“Terima kasih, Om dan Tante. Semoga beruntung.”

Tinggal dua orang lagi. Aku pun mendekatinya. Kulihat dua orang pria ini saling bercakap-cakap. Dari percakapan itu, diketahui mereka berdua adalah saudara. Umurnya kisaran tiga puluh tahun.

Mereka berdiri, lalu berjongkok di depanku. Tangannya mengelus-ngelus pahaku. Satu di paha kiri, satunya di paha kanan. Tangannya meremas-remas paha bawah di balik lutut, kemudian berjalan ke atas.

“Buka sedikit kakimu.”

“Siap.”

Setelah membukakan kaki, mereka senantiasa meraba sekujur permukaan kulit kaki atasku itu. Bahkan, saat tangannya melingkar, tangannya bergesekan dengan permukaan kemaluanku. Perbuatannya membuat darahku berdesir dan putingku mengeras. Tak ayal, aku sesekali mendesah.

Sekitar tiga menit mereka meraba pahaku, akhirnya mereka kembali ke tempat duduknya.

“Sudah.”

“Terima kasih.”

Akhirnya meja pertama selesai, sekarang aku berjalan melanjutkan ke meja berikutnya. Di meja yang kutuju berkumpul orang-orang punk dengan rambut jabrik dan berwarna warni, wajah bertato dan bertindik. Mayoritas mereka mengenakan jaket kulit tanpa lengan, juga memakai gelang berduri dan kalung motif rantai.

Kakiku melangkah beberapa meter, dan aku pun telah sampai ke meja itu. Orang yang aku tawari yang pertama adalah pria muda berpostur gemuk, mungkin umurnya kisaran tiga puluh tahunan.

"Om mau pilih yang mana?" Tanyaku.

“Jangan panggil om, kami semua di sini masih seusia dengan kamu. Panggil kakak saja.”

“Eh, maaf. Iya, kakak. Silakan dipilih, Kak.”

“Boleh tanya, nggak?” tanyanya sopan.

“Boleh, Kak.”

“Orang-orang di sana tadi ada yang ngincer memek kamu?” tanyanya membisik lirih.

Bukan hanya si penanya, teman-teman semejanya bahkan mendekat dan menunggu jawabanku. Mereka tampak penasaran.

“Hmmm, kalau itu …. tidak ada, Kak.”

“Aseeeeek,” seloroh salah satu rekan di sampingnya.

Di antara mereka, ada yang kemudian maju mendekat lalu berjongkok di depanku. “Buka kakinya, dong. Mau lihat dari dekat kayak apa.”

“Siap, Kak.” Aku membuka kedua kakiku lebih lebar sambil tetap berdiri. Kepalanya dia posisinya sejajar dengan kemaluanku. Jadi dia bisa ngelihat kelaminku yang jaraknya dekat itu.

“Kata di buku ini, dia masih perawan,” seloroh rekannya.

“Gue lihat dulu, beneran apa enggak, hehehe.”

Kepala pemuda di depanku bergerak mendekati kemaluanku. Kedua tangannya turut serta menuju ke arah yang sama. Aku menunduk melihat aksi dia. Sekilas, aku juga melihat mitra dia yang jumlahnya kurang dari sepuluh itu menatap ke selangkanganku.

Dua ibu jari pria di depanku ini dengan cepat hinggap di labia mayora, lalu menyibaknya hingga sepasang labiaku itu saling berjauhan dan tentu saja memperlihatkan sesuatu yang ada di dalam lempitan itu. Aku dapat melihat sorot matanya yang menjurus pada organ kewanitaanku itu. Mulutnya sedikit membuka dan tampaknya terkagum-kagum.

“Gak begitu terlihat, tapi sepertinya sih sudah gak perawan,” ujarnya yang kemudian membuat rekan-rekannya bertanya-tanya.

“Wah, apa iya? Rugi dong kalau kita beli memeknya.”

“Bentar-bentar, sini gue coba dulu.”

Pria dengan tindik di kedua alis di hadapanku itu kemudian memasukkan jari tengah tangan kanannya ke dalam vaginaku dengan jari tangan kiri membuka labiaku.

“Aaah, sakit. Ja, jangan diteruskan. Tolong …” jeritku ketika jarinya mendorong masuk ke liang kawinku yang menyisakan cairan pelumas sisa-sisa horny di meja sebelumnya. Namun jarinya baru terhenti karena terganjal sesuatu. Ia memutar-mutar ke kiri dan ke kanan.

"Aiiiiihh, " jeritku lagi ketika jarinya mendorong lebih jauh dan hendak mendobrak selaput daraku. Dengan posisi seperti ini, aku tak mungkin melawan. Dia adalah pembeli, dan pembeli adalah raja. Meski cuma calon saja, tapi aku tak patut untuk menghindar. Aku tak tahu, bakal ada kejadian setidakmenyenangkan seperti ini.

“STOP!” pengawal wanita di belakangku sekarang ada di depanku dan memegangi tangan yang mencoba merusak hymen-ku. “Anda silakan keluar, Sekarang!”

Ditarik tangannya hingga jarinya tak lagi bersarang di kemaluanku. Sang pengawal dengan tegas menunjuk tangannya ke arah pintu keluar sembari menatap pria yang masih jongkok di depanku itu.

"Saya cuma…."

"Anda telah mencoba merusak keperawanan barang lelang kami. Tadi kami sudah memperingati, bahwasannya barang lelang ini tidak boleh dirusak," murka security cantik.

"Tapi … tapi, saya cuma ngecek saja," kilahnya.

“Anda telah berbuat lebih jauh. Kami sudah melakukan quality control terhadap barang kami, termasuk Siska. Anda tidak paham akan hal itu.”

Dapat kusaksikan para peserta lain melihat ke arah laki-laki kurang ajar itu. Di antara mereka ada yang saling berbisik. Wanita pengawal cantik di sebelahku pun kemudian menarik pemuda punk hingga berdiri kemudian menyeretnya menuju ke pintu keluar meninggalkan aula lelang ini.

"Silahkan dilanjutkan," ucap pembawa acara yang kemudian kujawab dengan sebuah anggukan.

Aku menatap ke teman-teman pria punk yang sudah diseret keluar. “Tuh, kan. Makanya jangan macam-macam, tahu sendiri kan akibatnya?”

Mereka terlihat tertunduk. Ini bagus buat pelajaran orang lain yang belum kebagian giliran. “Kakak-kakak mau lanjut, nggak? Nanti aku pindah dan gak mungkin aku balik lagi loh?”

Yah, mereka pada gak jawab. Aku pun berinisiatif mendekati mereka satu persatu. Awalnya mereka gak ada yang ngomong, tapi pada akhirnya dengan pancinganku, mereka akhirnya mau memilih. Di antaranya ada yang milih payudara, lengan, pantat, hati, paru-paru, bahkan organ reproduksiku secara lengkap. Meski nantinya akan dijual terpisah atau all in one, aku tetap mendoakannya agar bisa mendapatkannya. Entah itu memek, uterus, ovarium, atau keseluruhan organ reproduksiku. Setelahnya, aku pun pamit dan pergi ke meja selanjutnya.

Saat berjalan ke arah meja itu, pengawal cantik tadi sudah kembali menemaniku.

Kali ini, meja yang kutuju ini dipenuhi oleh ibu-ibu. Umur mereka antara dua puluh lima sampai empat puluh tahunan.

“Mau pilih yang mana, nyonya?” Aku menghampiri ibu muda yang mengenakan gaun ungu.

“Rendahin dada kamu,” perintahnya.

“Siap, nyonya.”

Dadaku kini lebih rendah sampai dadaku sejajar dengan kepalanya. Posisi tubuhku sedikit membungkuk. Namun, tanpa kusadari, salah satu tangannya sudah meremas-remas payudara kananku, bahkan telapak tangannya menampar lembut hingga kantung persusuanku yang menggantung ini berayun-ayun terhempas menggairahkan. Ia juga melakukan hal yang sama dengan buah dada sebelah kiriku.

“Sekarang saya percaya, tetek kamu original tanpa implant.”

Aku tersenyum mendengar ucapannya. “Terima kasih.”

Ia mengusap ujung payudara kananku di susul payudara kiriku. Areola dan putingku diusapi oleh tisu basah.

“Saya sudah baca peraturannya. Kalau seperti ini, tidak akan masalah.”

“Ssshhhh aaaaaahh ..,” desihku tiba-tiba puting kananku dicaplok oleh bibir calon pembeli.

Gila! Ini hal pertama di tempat umum payudaraku dikenyot dan dilumat sampai areolaku masuk ke mulutnya. Aku menoleh ke pengawal, dan dia tidak melarangnya. Kepalaku kembali menatap ke wanita yang sedang nenen. Lidahnya seperti memijat-mijat putingku seperti hendak menghisap sari putih yang bersarang jauh di dalamnya. Secara reflek, kedua tanganku memegang punggung kepalanya. Rambutnya terasa lembut sekali. Namun …

“Hei!!! Siapa suruh kamu pegang-pegang kepalanya?” protes salah satu ibu-ibu.

“Ssshh, Ma … maaf. Maafkan Siska. Siska … tidak se … ngaja … aaah.”

Jadinya aku lepaskan dan kubiarkan saja dia menghisapi putingku. Puting kiri beserta selangkanganku tutur tersengat listrik. Rasanya ada jalur saraf ketika salah satu putingku dirangsang, maka yang lainnya ikut terangsang.

Ia melakukannya cukup lama. Kira-kira lima menit. Ia pun menghisapi payudara kiriku. Jadi total sekitar sepuluh menit.

“Saya sudah memutuskan akan membeli tetek kamu ini,” ujarnya kemudian mengobrol dengan teman-temannya. Membiarkan putingku yang masih terlumasi saliva dan menegang maksimal.

Pengawal cantik bergaya rambut model bob side part ini menghampiri dengan menyerahkan tisu basah. Kuolesi puting dan areolaku dengan tisu ini. Rasanya dingin. Aku tahu tisu ini mengandung anti bakteri. Zat aktif yang terkandung sudah membasmi kuman dan bakteri yang menempel di permukaan buah dadaku.

Aku pun lanjut ke ibu-ibu sebelahnya. Ia juga melakukan hal yang sama, begitu pula dengan ibu-ibu yang lain. Mana saat mereka nenen ditampilkan di layar proyektor di samping panggung. Terlihat bibir mereka melebar membungkusi ujung buah dadaku. Uhhhh, benar-benar bikin aku horny.

Beberapa dari mereka ada yang lipstiknya menempel di payudaraku. Malah, kenyotannya ada yang kuat banget, sampai-sampai rasanya putingku kayak mau copot gitu. Tentu saja, tisu basah yang kupakai untuk mengelap sudah habis banyak. Untung saja ada staf yang datang untuk mengambil sampah-sampah tisu itu.

Meja ini sudah selesai, aku pun berpamitan, mengucapkan terima kasih, dan mendoakan agar mendapatkan apa yang mereka incar. Aku kemudian menuju ke meja selanjutnya. Di sana sudah ada calon pembeli yang sudah antusias atas kedatanganku.

“Selamat malam, tuan-tuan dan nyonya-nyonya.”

“Selamat malam juga nak Siska.” Mereka menjawab kompak.

Di meja ini, mereka semua golongan usia lanjut. Terlukis di wajahnya guratan kulit berkerut yang samar-samar tampak. Meski pada kaum hawa tidak begitu terlihat karena tertutupi oleh lapisan riasan make-up, namun bagiku masih terlihat tua.

“Tuan berjas biru mau pilih yang mana?” tanyaku bertanya ke kakek di arah jam sembilan.

“Saya ngincar paha kamu, cantik. Sepertinya gizinya banyak, hehehe.”

Aku mendekatinya lalu berdiri di sampingnya. Kuangkat kaki kananku kemudian kudekatkan paha ini ke depan wajahnya. Telapak kaki kananku menumpu pada sandaran tangan.

“Maaf ya, Tuan. Saya tidak sopan. Ini, Tuan. Silakan dipegang,” tawarku dengan ramah.

Disentuhnya dengan lembut kulit pahaku yang lembut ini dengan telapak tangannya yang keriput di ujung usia. Tangannya itu meraba tiap milimeter permukaan kulitku yang membungkusi otot-otot paha. Bahkan, jemarinya mengelus cekungan antara paha dan kemaluan sampai tangan itu menangkupi pantat sebelah kananku dari bawah. Kulit tangannya yang berkerut itu bersentuhan langsung dengan bibir kemaluanku. Logam pada jam tangan yang dikenakannya pun terasa dingin saat menyentuh kulit bawahku itu.

Ia tersenyum sambil meremas pantatku. “Pengen beli ini, tapi tidak dapat restu dari istri.”

“Pasti istri tuan baik. Beliau memperhatikan kesehatan tuan. Pantat Siska ini banyak mengandung lemak, jadi tidak baik untuk tubuh tuan.”

“Benar. Dia sungguh memperhatikannya.” Ia kemudian melepaskan tangan yang menghinggapi pantatku. “Saya rasa sudah cukup.”

Aku menurunkan kakiku kemudian berkata, “terima kasih, Tuan. Semoga beruntung.”

Kakek ini membalas dengan senyuman, lalu aku beranjak meninggalkannya dan beralih ke peserta selanjutnya. Kulakukan hal yang sama sebagai ucapan pembuka, kemudian aku menawarkan bagian mana dari tubuhku yang diincarnya seraya mendekatkan bagian tubuhku itu. Dia pun memilih lengan kiriku. Ketika kudekatkan, tangannya mengelus dan meraba lenganku. Aku pun menawarkan juga bagian kanan lenganku, namun dia tetap bertahan dengan incarannya. Aku sih tidak bisa memaksa untuk memilih yang lain, karena itu adalah hak dia dan kewajibanku adalah menawarkannya. Hihihi.

Ada satu hal yang bikin aku bikin terasa murahan. Saat salah satu peserta lelang meminta nyicip untuk nenen, aku dengan senang hati mendekatkan salah satu buah dadaku. Pada akhirnya, dia memilih ginjalku. Lebih dari setengah peserta di meja ini memilih organ dalam tubuhku. Hanya sebagian kecil saja yang memilih bagian luar. Itu pun yang dipilih bagian tubuh yang sedikit mengandung lemak. Meski tadi dua di antara mereka sudah nyusu ke toketku, mereka tidak berani membelinya. Payudaraku yang besar ini memang banyak mengandung lemak. Hihihi.

Dari meja-meja sebelumnya, meja ini orangnya ramah-ramah. Ya mungkin karena usia dan mereka sudah banyak pengalaman. Bisa juga karena faktor lain yang aku tak mengetahuinya.

Tak lupa, aku mengucapkan terima kasih ke orang hampir bau tanah ini, lalu meninggalkannya.

Meja yang akan kutuju kali ini adalah meja yang dipenuhi oleh orang-orang asing. Mereka berkulit putih dengan bercak kemerahan. Usianya rata-rata tiga puluh tahunan. Karena tahu dengan siapa aku berhadapan, maka kugunakan bahasa inggris sebagai alat komunikasi. Dari aksen, dapat kusimpulkan mereka dari benua eropa. Sepertinya sih mereka satu rombongan. Aku tak tahu pastinya mereka dari negara mana. Kebanyakan mereka mengincar alat kemaluan dan organ reproduksiku. Hanya satu orang yang memilih pantat.

Setelah mengucapkan terima kasih, aku pun pergi menuju ke meja-meja selanjutnya. Di sana sepertinya telah menunggu orang-orang dari asia timur. Di antaranya ada meja yang dipenuhi orang-orang dari Thailand, Taiwan, China, Korea, dan Jepang. Tiap meja ada yang satu dari negara tertentu, ada pula yang dua meja. Selain itu, ada beberapa meja yang berisi saudara dari jazirah Arab, India, dan Afrika. Mayoritas di telinga mereka tersumpal earphone yang dikenakan di salah satu telinga yang kemungkinan suara dari penerjemah dari staf Pak Borgan.

Saat aku ke meja-meja mereka, aku menggunakan bahasa inggris. Meski demikian, ada tiga meja yang tak mampu berbahasa Inggris. Staf pun datang saat aku ke meja tersebut. Dia membantuku untuk menerjemahkan ke bahasa mereka. Itu pun tiap bahasa lain penerjemahnya. Ya, inilah pelayanan. Jadi harus totalitas, apalagi acara lelang ini tergolong langka dan peminatnya dari seluruh dunia.


***


Lebih dari tiga jam lamanya aku berjalan-jalan mengunjungi meja satu persatu. Tiap milimeter tubuhku sudah disentuh orang-orang yang tak kukenal. Capek sih, kakiku jadi pegel, tapi hal itu tidak menyurutkan niatku untuk melelangkan raga ini.

Sekarang aku baru saja menyelesaikan penawaran tubuhku ke meja terakhir dan sedang berjalan menuju ke panggung. Di sana sudah berdiri alat-alat yang nanti akan digunakan sebagai proses pelelangan bagian-bagian dari tubuhku. Setelah beberapa meter melangkah, aku kembali menaiki anak tangga menuju ke panggung, kemudian berjalan ke tengah panggung dan menghadap ke para calon pembeli tubuhku.

"Bapak-bapak, ibu-ibu, dan saudara sekalian sudah melihat maupun menyentuh barang lelang kami. Anda tentu sudah memutuskan pilihan, bagian tubuh atau organ mana yang akan bapak-bapak, ibu-ibu, dan saudara makan," ucap pembawa acara. “Kini, saatnya yang kita nanti-natikan telah tiba. Pelelangan Siskaaaaaaaaa ….”

Gemuruh tepuk tangan menggema di segala penjuru ruangan bagaikan sebuah echo dan reverb. Di antara mereka ada yang bersuit-suit. Saatku perhatikan asal suitan itu, ternyata dari kelompok pemuda-pemudi punk. Saat aku menatapnya dan melempar senyum, salah satu ada yang salah tingkah, hihihi. Mungkin dia naksir buat memilik aku seutuhnya, namun sayangnya itu hal yang tak mungkin terjadi. Karena … karena, saat ini aku bersiap untuk mati, di malam ini. Aku merasa diriku sangat memesona yang diperebutkan banyak orang.

Pembawa acara kemudian datang mendekatiku. Ia berdiri di sampingku menghadap para hadirin yang sedang duduk di kursinya masing-masing.

“Aromamu masih terasa segar,” pujinya yang membuatku langsung senyum-senyum nggak jelas, hihihi. Padahal aku sedikit berkeringat. Mungkin kalau AC di ruangan ini mati, aku bisa mandi keringat. Mungkin karena dedaunan yang kugosok saat mandi tadi masih melekat di tubuhku, oleh sebab itu aromanya masih tercium.

“Mari kita mulai pelelangan ini,” kata pembawa acara sambil membuka lipatan kertas glossy dan berwarna itu. “Saya buka dengan lengan kiri dengan harga sepuluh juta rupiah. Adakah yang berminat?”

Salah satu peserta kemudian ada yang mengangkat tongkat papan berbentuk lingkaran itu. “Sebelas juta rupiah.”

Suara terdengar dari satu staf yang mendampingi orang-orang dari negara Thailand. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Belum sempat menurunkan papan berbentuk lingkaran itu, muncul suara dari arah jam dua. “Dua puluh juta rupiah.”

Seorang wanita bergaun merah menawar lengan kiriku dengan harga dua digit. Ini adalah penawaran pertama dari kaum hawa.

“Dua puluh dua juta rupiah.”

Dari meja di depanku, di arah jam dua belas, seorang laki-laki menawarku lebih tinggi.

“Dua puluh dua juta delapan ratus ribu rupiah.”

“Dua puluh tiga juta rupiah.”

“Dua puluh lima juta rupiah.”

Sahut-menyahut para pemburu lenganku saling memperebutkan dan bersaing ketat hingga beberapa satu menit berlalu tanpa ada orang yang menawar dengan harga yang lebih tinggi.

“Tidak adakah yang berani menawarnya lagi? Kalau begitu, saya hitung mundur,” kata pembawa acara yang sedang berjalan dari arah sebelah kiri, ke sebelah kanan menuju ke sudut meja yang menawar dengan harga dua puluh lima juta itu.

“Lima … empat … tiga … dua …”

“Dua puluh delapan juta rupiah.”

Dari salah satu meja muncul suara, lalu disusul papan yang diangkat tinggi-tinggi. Orang yang mengangkat meja adalah seorang kakek-kakek yang tadi mengincar lenganku.

“Dua puluh delapan juta. Tidakkah ada yang berani lebih tinggi?” kata pembawa acara provokatif. “Kalau begitu, saya hitung mundur. Tiga … dua … satu.”

Aku bersyukur, dia mendapatkan incarannya.

TOK! TOK! TOK!

Suara ketukan palu kayu menandakan bahwa lengan kiriku laku di harga dua puluh delapan juta rupiah. Setelah memukul palu, pembawa acara itu kembali mendekatiku. Ia berdiri di samping kanan.

“Jangan khawatir. Bagi yang belum kebagian, masih ada satu,” ujarnya memberi harapan. Ia melirik ke lengan kananku.

“Kali ini kami lelangkan tangan kanan secara utuh. Dari lengan sampai ujung jari.”

Tangannya yang terbungkus sarung tangan itu memegang pergelangan tanganku, lalu membengtangkannya ke arah samping. “Kami buka di harga dua puluh juta rupiah.”

“Dua puluh lima juta rupiah.”

“Dua puluh delapan juta rupiah.”

“Tiga puluh juta rupiah.”

Banyak orang-orang yang berebut untuk mendapatkan tangan kananku ini. Namun, pada akhirnya terjual di harga tiga puluh sembilan juta. Orang yang berhasil memenangkannya adalah dari salah satu meja di sebelah kiri, meja yang pertama kali kudatangi untuk menawarkan diriku. Tak kusangka, mereka mengincar lenganku. Kukira dia mengincar toket dan memekku. Hihihi.

Orang yang mengincar susuku di meja pertama itu melemparkan air kiss kepadaku dan kubalas dengan senyuman. Aku yakin, orang-orang yang telah memenangkan lengan kiri dan tangan kananku tidak akan puas dengan incarannya. Pastinya mereka juga akan memburu yang lain. Apalagi, tidak ada peraturan yang menerangkan kalau sudah memenangkan barang A tidak boleh memenangkan barang B maupun C. Bebas. Entah dia mau borong semuanya juga boleh, asalkan dia punya duit banyak.

“Bagi yang memenangkan tangan kanan Siska, kami ucapkan selamat,” kata pembawa acara setelah memukul palu kayu. “Sekarang kita lanjutkan ke pelelangan selanjutnya.”

Dia membuka kertas di tangannya, kemudian menutupnya kembali. Pria yang di pipi kirinya terdapat microphone dan telinga kirinya tersumpal earphone itu mendekatiku dengan mata yang menyoroti sekujur tubuhku. “Saya mulai dengan kaki kiri.”

“Bapak-bapak, ibu-ibu, dan saudara-saudara sudah melihat sendiri paha ini. Kualitasnya bagaimana, kelembutannya seperti apa, dan teksturnya bagaimana. Kaki kiri utuh. Dari selangkangan sini dipotong sampai di dekat tulang pinggul,” jelasnya sambil memeragakan dengan tangan seolah jemarinya itu adalah pisau potong. Tentu saja tangannya itu menyentuh kulitku.

“Anda bisa mendapatkan paha atas sampai ujung jari kakinya. Kita buka di harga …,” terangnya memberi jedah menghirup napas. “ Enam puluh juta rupiah.”

“Delapan puluh juta rupiah.” Pria di sudut kiri paling belakang berteriak lantang. Dari suaranya, kemungkinan umurnya masih dua puluh tahunan. Namun, setelah aku menoleh ke kiri, ke layar lebar, ternyata dugaanku salah. Pria itu sekitar tiga puluh tahunan. Suara kadang bisa mengecoh ya. Hihihi, aku jadi malu.

“Sembilan puluh juta rupiah.”

Tak berselang lama, ada sahutan dari meja yang dikelilingi orang-orang lansia yang tadi memang mengincar pahaku.

“Sembilan puluh dua juta rupiah.” Orang pertama kembali menawar lebih tinggi.

“Sembilan puluh lima juta rupiah.” Kakek itu menawar di atas laki-laki tiga puluh tahunan itu.

“107 juta rupiah.”

“109 juta rupiah.”

“113 juta rupiah.”

Mereka berdua saling sahut menyahut dan saling berebut atas barang incarannya itu. Mereka tidak mau kalah dan sepertinya harganya bakal lebih menggila lagi. Orang-orang di sekitarnya pun sesekali bisa menawar, tapi hanya sekitar dua sampai tiga orang. Yang paling intens cuma kakek-kakek dan pria tiga puluh tahunan itu.

Sekitar lima belas menit mereka saling berebut dan tawar, pada akhirnya kaki sebelah kiriku. Aku bersyukur, pada akhirnya kakek itu yang memenangkannya. Aku yakin, dia tidak akan sanggup untuk mengonsumsi kakiku seorang diri. Aku menunduk dan melihat kaki kiriku sambil berkata dalam hati, “selamat ya, kamu bakal dikonsumsi kakek-kakek itu. Hihihi.”

“Saya ucapkan selamat kepada pemenang kaki kiri Siska. Bagi yang belum memenangkan, jangan berkecil hati. Tubuh Siska masih banyak yang belum terjual,” katanya setelah mengetok palu lalu berjalan mondar-mandir di atas panggung. “Baiklah, sekarang kami mulai ke bagian tubuh selanjutnya.”

Sang presenter itu membuka lipatan kertas, lalu menutupnya kembali. “Selanjutnya adalah … payudara sebelah kanan.”

Penonton tampak antusias mendengarkan kalimat-kalimat yang keluar dari si pembawa acara.

“Harga pembukaan … 150 juta rupiah.”

Seorang laki-laki di meja sebelah kiri, yang bersama istrinya mengidam payudaraku itu kemudian mengangkat papan seraya berteriak lantang, “400 juta rupiah!!”

Ooohh, aku tersentuh dengan tawaran yang dia berikan. Tak kusangka dia berani mengawali dengan harga setinggi itu. Aku pikir akan ada yang menawar di antara 150 sampai 200 jutaan. Dengan awal 400 juta, aku harap harganya akan melambung lebih tinggi lagi.

“400 jutaaaaaa!!! Adakah yang menawar lebih tinggi?” kata si presenter merangsang para pemburu daging manusia yang duduk di depan sana.

“430 juta rupiah.” Dari sudut belakang di arah jam 2 bersuara sambil mengangkat papan.

“433 juta rupiah.”

“440 juta rupiah.”

“500 juta rupiah.”

“505 juta rupiah.”

Suara-suara itu saling menyahut satu sama lain, menggema dalam suasana panas ingin menguasai bagian tubuhku yang menonjol berukuran besar yang di dalamnya dipenuhi kelenjar-kelenjar sebagai pabrik pembuatan asi yang sekarang masih pasif. Sebuah bongkahan yang sebagian besar diliputi lemak ini, mereka ingin dapatkan untuk santapan cacing-cacing di usus mereka. Kemudian, keluar sebagai feses dan terbuang di dalam septik tangki. Membusuk selamanya di sana.

Aku membayangkan bagaimana proses tersebut, lalu pada akhirnya menjadi tanah, membuatku merinding sekaligus terangsang. Hal itu nantinya berlaku untuk organ tubuhku yang lain. Kecuali, kepalaku.

Entah, aku melamun cukup panjang, tak kusangka sekarang angka tawaran untuk payudaraku ini sudah tembus ke 700 juta.

“Ayo .. ayo. 708 juta, tidak ada yang menginginkan payudara ini?” kata pembawa acara yang berdiri di sebelah kananku sambil telapak tangan yang tersarungi handscoon itu mengangkat-angkat toket kananku, lalu melepaskannya. Membuat gunung berlemak itu memantul-mantul. Ia lakukan terus sambil menawarkan, betapa kenyalnya payudaraku ini.

“Lima …”

“Empat …”

Hitungan mundur diucapkan sambil tetap memainkan payudaraku ini layaknya dumbbell. Aku sih tidak mempermasalahkannya. Lagian, hal itu tidaklah merusak struktur toketku ini. Beda dengan salah satu teman orang-orang punk tadi, yang secara sembrono memasukkan tangannya ke liang kawinku yang masih rapat ini.

“Tiga …”

“Dua …”

“800 juta rupiah!!!”

Laki-laki penawar pertama tadi akhirnya menawar lebih tinggi. Woow, hebat.

“Delapan ratus jutaaaa!!!! Adakah yang berani memberikan perlawanan?” tanyanya kemudian menoleh ke arah payudaraku ini dengan mengangkat dan membiarkan payudaraku tertopang di atas telapak tangan kirinya itu. “Payudara sebesar ini, dan kualitas yang bagus. Sayang kalau laku di harga 800 juta.”

Penonton tampak hening, tapi siapa sangka dari salah satu peserta di arah jam 12 ada yang menyahut.

“820 juta rupiah!!”

“Hebat. Ada yang berani lebih tinggi?”

“845 juta rupiah.”

Lelaki yang berjuang untuk istrinya yang ngidam itu tak mau kalah. Aku akui kegigihannya untuk membawa payudaraku ini untuk istrinya itu.

“Tidak ada lagi?”

Sekitar belasan detik tak ada yang menyahut.

“Empat … “

“Tiga …”

Presenter melepaskan tangannya dari payudaraku, lalu pergi menuju ke mimbar.

“Dua …”

“Satu …”

TOK!! TOK!! TOK!!

“Selamat kepada peserta nomor 86.”

Ketukan palu menandakan payudara kananku laku ke pria yang istrinya sedang mengidam. Aku bersukur, dia dapat apa yang diinginkannya. Juga, aku merasa senang karena payudaraku laku di harga yang tinggi.

“Bagi yang belum dapat, tak perlu berkecil hati, masih ada payudara kiri,” kata pembawa acara sambil berjalan mendekatiku lagi. “Tapi, untuk sekarang kami tawarkan tangan kiri. Dari siku sampai ujung jari. Kami buka di harga lima juta rupiah.”

“Lima juta dua ratus ribu rupiah.”

“Enam juta rupiah.”

“Enam juta tujuh ratus rupiah.”

Mereka saling bersahut-sahutan. Suara bermunculan dari kiri ke kanan, dari kanan ke kiri. Bahkan, ada yang dari orang yang duduk di meja di hadapanku, di arah jam 12. Sungguh, ini cukup membuatku terenyuh. Bagian tubuh yang dagingnya sedikit, mereka mau membeli di harga jutaan. Namun pada akhirnya, tangan kiriku ini laku di harga tujuh juta lima ratus ribu rupiah. Dan, lakunya pada tamu dari Thailand.

“Selanjutnya, kami tawarkan pantat kanan,” ujarnya. “Siska, tolong balik badan ya.”

Aku menurutinya dengan membalikkan badanku memunggungi penonton.

“Lihatlah dengan seksama, pantat ini. Bapak, ibu, dan saudara sekalian sudah melihatnya dari dekat. Ini kami buka di harga dua puluh lima juta rupiah. Silakan angkat papan nomor dan harga tawaran kalian.”

“30 juta rupiah!”

“33 juta rupiah!”

“40 juta rupiah!”

“70 juta rupiah!”

“88 juta rupiah!”

Setelah itu, cukup hening sampai akhirnya pembawa acara menghitung mundur.

“Lima…”

“Empat…”

“Tiga…”

“Dua…”

“Satu…”

TOK! TOK! TOK!

“Selamat kepada peserta nomor 11.” Host yang masih bersemangat dan tampak riang itu tak henti-hentinya berjalan di atas panggung dari sudut ke sudut, bolak balik mendekatiku lalu kembali ke ujung panggung mendekati para penonton.

“Tadi yang kecewa belum mendapatkan barang yang telah terjual, selanjutnya kami jual kembali. Hanya sisa satu ….” Ia memberi jedah sesaat. “Payudara kiriiiiii…..”

“Siska, tolong balik badan kamu,” pinta host itu yang langsung aku turuti.

Ia mendekat, berdiri di sebelah kiri sama-sama menghadap ke para penonton yang duduk manis sambil menikmati hidangan yang tersaji di hadapannya.

“Ini yang produk payudara terakhir dan inilah kesempatan terakhir bagi bapak, ibu, dan saudara sekalian.” Ia memindahkan mikrofon ke tangan kiri, lalu telapak tangan kanannya menangkupi toket kiriku dari bagian bawah.

“Tidak akan ada lagi kesempatan mendapatkan payudara dengan kualitas sebagus ini. Ukurannya yang besar, dan tekstur kulit, puting, dan areola ini ….”

Aku cukup terkejut ketika jari-jarinya itu menyenggol putingku, juga menekan-nekannya seperti tombol pada mesin kontrol konsol gim. Tentu saja aku terangsang. Aku tau, dia menyadarinya kalau putingku sedang menegang.

“Tadi sebelah kanan laku di harga 845 juta rupiah. Sekarang, kami buka di harga 800 juta rupiah. Silakan tawarkan harga pembelian anda.”

“Satu miliar rupiah!!” Dari salah satu meja yang dikelilingi oleh orang-orang bersorban, lengkap dengan kuffiyah, dan pakaian thawb, staf penerjemah di meja itu mengangkat papan nomor.

Suasana senyap mendadak meliputi aula yang megah dan mewah ini. Hampir semua insan menoleh dan menatap ke meja yang dikelilingi pria berjengot lebat itu. Sisanya, hanya menunduk menghela napas, seolah-olah pasrah tak mampu menyaingi mengimbangi harga yang tertawar mahal. Aku pun mengerti, sebagian atau mungkin semua orang di sini sudah mendapatkan barang-barang yang dilelang sebelum aku. Dari perabotan rumah, senjata antik, sampai wayang dari kulit manusia yang kesemuanya laku sangat mahal. Alhasil, uang yang mereka miliki sekarang sudah jauh berkurang. Aku yakin, orang timur tengah yang menawar toketku ini sudah membeli barang-barang itu. Hanya saja, uang mereka masih tersisa banyak.

“Satu miliar. Woooow, fantastis.” Suara dari konduktor acara memecah keheningan. “Tidak adakah yang ingin menawar lebih tinggi?”

Dia mendekatiku, lalu tangannya mengangkat pelan payudara kiriku.

“Tidak adakah di antara bapak, ibu, dan saudara ingin memilikinya? Ini payudara terakhir.”

Manusia-manusia di hadapanku bergeming. Sepertinya mereka tak mampu untuk membeli di atas satu miliar. Tak mengapa, lagian payudara kiriku ini sudah laku lebih baik daripada yang sebelah kanan. Hihihi

“Lima…”

“Empat…”

“Tiga…”

“Dua…”

“Satu…”

TOK!! TOK! TOK!

Toket terakhir sudah laku. Aku bersukur, sampai sekarang jumlah penjualannya lebih dari dua miliar. Tinggal bagian lain dari tubuhku saja. Hihihi.

“Selamat kepada peserta nomor 603. Selanjutnya, kami akan menjual kemaluan Siska beserta dengan organ reproduksinya. Dari reproduksi luar sampai organ reproduksi dalam. Kami jual satu kesatuan. Dan …” Pembawa acara memberi jedah. “Bagi siapapun yang memenangkannya, berhak untuk menyutubuhinya. Jika pemenangnya perempuan, boleh menggunakan beberapa alat bantu yang sudah kami siapkan.”

Oh. Ini dia salah satu rencana Pak Borgan yang dibicarakan sebelumnya. Dia bilang kalau untuk menaikkan harga, pakai metode itu. Pasti anak-anak yatim piatu bisa makan enak dengan uang yang banyak.

“Tidak perlu berlama-lama. Bapak, ibu, dan saudara semua sudah melihatnya tadi. Bagaimana bentuk kemaluan Siska. Mari, kami mulai dan dibuka di harga satu miliar rupiah.”

Selang sedetik, dari arah jam sepuluh ada yang berteriak lantang. “1,2 miliar rupiah!”

“1,4 miliar rupiah!” kata staf yang duduk di meja bule dari China.

“1,5 miliar rupiah.” Kakek-kakek yang galak di meja sana ikut menawar.

“1,7 miliar rupiah.” Pemuda punk ikut menawar.

“3 miliar rupiah!!!”

Suara itu mengejutkanku, juga para penonton.

“Wooooow, sepertinya mulai seru. Ayo, adakah yang berani menawar lebih tinggi?” Host itu melenggang mendekatiku.

Ia membelai kemaluanku yang tak ditumbuhi rambut. Bibir vaginaku yang masih rapat dielus-elus oleh jari yang terbungkusi handscoon. Meski handscoon itu lembut, tetap saja terasa menggelitik di bagian pribadi dari tubuhku. Ditambah, ketika mengelus, lapisan handscoon berwarna putih itu bergesekan dengan organ mungil tak sebesar dari biji jagung itu. Rangsangan di titik yang ditinggali oleh lebih dari 8000 saraf itu membuatku kegelian. Rasa yang menjalar cepat ke otak membuat tubuhku menghangat dan liang kewanitaanku mensekresi cairan. Tanpa kuduga, otot-otot perutku berkedut dengan sendirinya. Ingin sekali aku mendesah, tapi aku menahannya dan bersikap profesional. Aku bukanlah Almah yang mudah mendesah dan terkesan amatiran.

Aku menatap ke orang yang menawar memekku di harga tiga miliar. Pandangan pertama dari pikiranku saat melihatnya adalah, black lives matter. Aku tak menyangka, jika nantinya perawanku jebol di kontol dari bangsanya. Namun, aku tak bisa membayangkan jika nantinya ukuran kontolnya besar seperti di film bokep bertemakan interracial itu membelah masuk ke lubang kawinku ini. Uhhhh… sial. Di saat begini aku malah mikir yang enggak-enggak. Jelas, mau tidak mau aku harus siap. Tidak peduli dari suku apapun, dari negara manapun, latar belakangnya seperti apa, dan bentuk dan warna kontol apapun, memekku ini harus siap dimasuki senjata tak bertulang itu.

Dan, orang yang menawar memek all in one-ku itu adalah orang dari berkulit gelap. Entah orang itu dari Melanesia, Afrika atau Amerika. Yang jelas, orang itu berkulit gelap. Karena ketika tadi kutanya, mereka adalah komunitas.

“Saya hitung mundur. Lima…”

“Empat…”

“Tiga…”

“Dua…”

“3,4 miliar rupiah!” Suara dari staf yang dikelilingi orang-orang Jepang itu terdengar.

“Waaah, menarik. Ada yang menawar yang lebih tinggi. Tidak adakah yang berani menawar lebih tinggi?

“3,5 miliar rupiah.” Selang beberapa detik, suara muncul dari staf yang di kelilingi orang berkulit gelap.

“4 miliar rupiah.” Orang dari negara produsen anime tak mau kalah.

“4,6 miliar rupiah,” balas orang berkulit gelap.

Sepertinya ini pertarungan antara orang kulit kuning dan gelap. Mereka saling menawar satu sama lain. Cukup seru pertarungan ini, sampai pada akhirnya…

“7 miliar rupiah.” Papan nomor terangkat dari meja anak-anak punk.

Aku tidak menyangka kalau pemuda punk itu memiliki kemampuan untuk membeli seperangkat alat reproduksiku. Sebagai barang lelang, aku tentu tak keberatan. Mungkin, ini lebih baik. Dengan postur tubuh seperti itu, aku kira ukuran kontolnya rata-rata seperti orang Indonesia. Daripada kena orang kulit gelap itu, wuih gak tau rasanya nanti saat dipenetrasi sakitnya kayak gimana.

“Hebat. 7 miliar rupiah!!” kata pembawa acara memberi sanjungan. “Saya hitung mundur.”

“Empat…”

“Tiga…”

“Dua…”

“Satu…”

TOK! TOK! TOK!

Akhirnya, pemuda punk yang rekannya diusir dari aula pelelangan ini yang mendapatkannya.

“Selamat, kepada peserta nomor 313.”

Suara tepuk tangan terdengar menggema. Pemuda punk itu senyum-senyum menandakan dia bahagia mendapatkan apa yang diinginkannya.,


***


Lebih dari satu jam berlalu. Organ-organ dalam dan sisa-sisa bagian tubuhku seperti pundak, punggung, kulit perut, telah laku terjual. Intinya, hanya kepala saja yang tak terjual. Aku pun merasa lelah berdiri lama di atas panggung ini. Untunglah suasananya sejuk. Kalau enggak, bisa-bisa aku keringatan dan aku gak mau kalau sampai mandi lagi.

“Terima kasih kepada seluruh pemenang dan sekarang kita masuk ke sesi selanjutnya. Sambil menunggu prosesnya, silakan bapak, ibu, dan saudara menikmati hidangan kami.”

Beberapa saat kemudian, para pramusaji datang ke dalam aula sambil membawa troli yang diatasnya tersaji makanan dengan porsi-porsi kecil. Satu meja bisa dikelilingi dua sampai tiga troli. Mereka memindahkan makanan dari troli ke meja.

Di sisi lain, dari arah belakang sebuah besi stainless silinder yang bentuknya melingkar berdiri tegak. Kira-kira diameternya tidak sampai dua meter. Benda itu kemudian didorong oleh dua petugas hingga berada di tengah panggung kemudian pergi.

“Hai, dik Siska. Kita ketemu lagi,” sapa dari seseorang yang suaranya familiar.

“Eh, cef Yongki,” kataku yang terkejut dengan keberadaannya.

Perawakan pria ini tetap sama, ganteng, hihihi. Badannya proporsional, dan berpostur tinggi. Pakaiannya yang dikenakan kali ini tetap menggunakan pakaian cef namun warnanya hitam. Ia depan tubuhnya sudah tertutupi oleh apron, dan di atas kepalanya juga berhiaskan topi cef.

“Sendirian aja, Cef?”

“Iya. Saya ditugaskan sendiri.”

“Berat nih. Apa enggak kewalahan nanti masaknya kayak apa?”

“Siap dong. Masak dik Siska, itu mudah. Tinggal potong-potong lalu masak.”

“Segampang itu?”

“Tentu. Bumbu dan bahan sudah saya siapkan sebelumnya.”

“Oh, bagus. Tapi, mereka semua makan. Apa nanti muat untuk makan tubuh Siska ini cef?”

“Makanan itu tidaklah mengenyangkan.”

Aku mengangguk-angguk tanda aku mengerti. Perbincangan kami berdua tidak sampai mengganggu orang-orang yang sedang menikmati hidangan di hadapannya. Mungkin tidak sampai terdengar oleh mereka semua.

“Kamu sudah siap, dik?”

“Siap, dong.”

“Ayo, ikut saya,” ajaknya menuju ke belakang panggung. Di balik panggung, kami menuju ke sebuah ruangan, di mana ruangannya cukup luas dan bersih. Saat pertama kali masuk, aku mencium aroma wangi. Banyak benda-benda antik dan lukisan yang tertata rapi. Di tengah-tengahnya, terdapat sebuah ranjang yang di atasnya terlambari sprei putih, taburan bunga mawar, dan sepasang handuk putih yang dibentuk sedemikian rupa membentuk sepasang angsa yang saling berhadap-hadapan. Leher dan kepala angsa membentuk lambang love.

“Silakan masuk, Tuan.”

Sesosok pria punk kemudian masuk ke ruangan.

“Kami beri waktu paling lama tiga puluh menit, silakan dinikmati,” kata Cef Yongki kemudian pergi meninggalkan kami berdua.

“Makasih mas,” jawab pemuda punk ini kemudian menutup pintu.

“Hehehe, kenapa bengong saja?”

“Enggak, Siska cuma kaget aja, Om”

“Jangan panggil Om dong, kan sudah gue bilang tadi.”

“Eh, iya Om, eh kak.”

Lelaki berambut jabrik dan bersemir ini kemudian menelanjangi diri. Melepaskan satu persatu pakaian yang melekat pada tubuhnya. Dari jaket kulit, hingga celana dalamnya. Ia juga melepaskan aksesoris, seperti gelang kulit yang dikelilingi metal tajam yang mengkilat. Sepertinya dia mengingat peraturan itu. Namun, siapa sangka, di perut dan dadanya terdapat bekas-bekas luka. Penisnya masih menggantung lemas dengan ujung yang masih tertutupi kulup.

Dia menghampiriku, lalu mendorongku hingga aku berjalan mundur, lalu jatuh telentang di atas ranjang. Dia sekarang ada di atasku. Napasnya memburu begitu cepat.

“Sayang waktunya sebentar, padahal gue pengen nikmati lo lebih banyak lagi.”

“Apa boleh buat, Kak. Mereka juga sudah menunggu untuk menyantap tubuh Siska.”

“Bener. Sekarang, lo sepongin gue. Bikin kontol gue ngaceng.”

“Siap, Kak.”

Segera, dia tidur teletang, lalu aku merangkak ke selangkangannya. Tangan kananku menggapai ekor depannya yang masih lemas. Lalu aku mendekatkan wajahku ke kelaminnya. Aromanya wangi. Sepertinya dia merawat dirinya dengan baik. Ibu jari dan jari telunjukku menjepit ujung kulup, lalu secara perlahan aku turunkan ke arah pangkal penisnya. Sedikit demi sedikit, kepala penis berwarna merah dengan lubang pipih mungil mulai memperlihatkan wujudnya. Pembungkus kulit yang menelungkupi kepala penis itu melorot hingga mempertontonkan gundukan glans yang masih basah dan mengkilap. Tidak ada smegma yang menempel di permukaannya. Saat kucium, tidak berbau. Malah harum sabun.

“Cepet buruan, lo mupeng sama kontol gue? Entar lo juga dapat enaknya juga.”

Huh, dasar gak sabaran. Padahal kontol dia ini nanti yang bakal merobek selaput daraku. Dengan cepat, aku pun mendekatkan mulutku, membuka bibirku lalu mencaplok penisnya yang masih loyo itu. Tangan kananku memegang pangkal penisnya, lalu kepalaku bergerak ke atas dan ke bawah dengan tempo yang pelan.

“Aaaahh, Anjing. Jangan sampai kena gigi loe!!” teriaknya.

“Hhhhmmmmhhm,” balasku yang suaranya keluar dari hidungku karena mulutku yang tersumpal kontol.

Gerakan kepalaku makin cepat mengulum penisnya hingga lambat laun benda yang di dalam mulutku makin membesar dan mengeras. Tangan kananku yang memegang pangkal penisnya pun memencet-mencet untuk merasakan kerasnya senjatanya dia. Urat-urat yang mengelilingi penis itu mulai timbul. Dapat kurasakan saat mulutku mengulum, denyutan dari urat yang menyalurkan darah dan makanan untuk sel-sel itu. Yang adinya aku bisa melahap seluruh penisnya, sekarang hanya separuhnya saja. Aku tidak memaksakan untuk mengulum terlalu dalam. Ini aja ujung penisnya sudah berada di belakang lidahku.

Aku mengulum penisnya sampai si empunya menghentikanku.

“Sekarang, lo tiduran telentang. Gue pengen jilmek meki lo.”

“I-iya, kak.”

Sesuai dengan permintaannya, aku kemudian tidur telentang. Dia kemudian bangkit, lalu membuka sepasang kakiku lebar-lebar. Dengan rakus, dia kemudian melahap area vulvaku. Lidahnya bergerak mulai dari perineum, naik sampai ke atas biji kelentitku. Sepasang tangannya memeluk kedua pahaku yang kakinya membuka dan membentuk huruf M sambil lidahnya menyapu labia mayora dan minoraku. Dapat kurasakan tiap usapan lidahnya seperti ada sengatan listrik ke otakku. Putingku turut tersengat juga yang sepertinya sekarang telah menegang. Mungkin saat ini kadar dopamin dalam tubuhku mulai meningkat. Rasa senang dan nyaman ini begitu menguasai diriku.

“Ehmmm…. Ohhhhh,” desahku yang keluar dari kerongkongan. Tanpa sadar, aku mengapitkan pahaku dan menjepit kepala laki-laki punk di bawah sana.

Rasanya aku dibuat melayang lebih tinggi ketika sepasang putingku tanpa kusadari dipilin oleh sepasang tangannya. Tiga titik sensitifku dirangsang. Aku tak dapat menjabarkan betapa nikmatnya rasa ini. Dadaku bergerak sendiri ke atas, membuat tubuhku melengkung.

Oh, ini dia … ini diaaaa.

“Aaaaaaaahhhhhh…,” desahku dibarengi sedikit kejang dan getaran sesaat di lututku. Lalu, aku pun lemas dan menyisakan rasa geli di kemaluanku.

“Aaahh… udah, kak. Udaaah …. Aaah… geli.”

Aku tidur telentang dan pasrah dengan kedua kaki yang tetap membuka. Tulang belulangku serasa tercabut dari tubuh, menyisakan seonggok daging yang tak mampu untuk bergerak. Hanya rasa geli di memeku dan putingku.

“Hehehe, seksi banget lo. Enak, kan?”

“He em. Makasih, kak. Ini pertama kalinya Siska bisa merasakan orgasme sama cowok,” kataku sambil menatap langit-langit ruangan ini.

“Oh, sebelumnya lo orgamesnya sama cewek?”

“Enggak, Siska colmek sendiri.”

“Ya udah, gue mau ngentotin memek lo yang harganya 7 m ini.”

“I-iya, kak. Silakan, kak, entotin memek Siska ini.”

Dia sudah duduk di depan selangkanganku. Kedua betis atas kakiku kemudian dipegang, lalu didorong hingga posisi lututku berada di samping tubuhku. Kedua betisku membujur di samping kepalaku, membuat selangkanganku terangkat lebih tinggi menghadap ke langit-langit dan lebih tinggi dari perutku. Kulihat ia hanya bertumpu pada lutut, sedangkan tangannya memegangi kakiku. Penisnya yang terhunus ke arah memekku sudah siap untuk mendobrak keperawananku.

Pinggulnya bergerak mendekat. Dapat kurasakan ujung penisnya sudah menyentuh memekku. Secara perlahan, ya menurunkan pinggulnya. Membelah labia labia minora dan membuat labia mayora kiri dan kanan saling berjauhan. Aku lihat kepala penisnya sudah masuk.

“Tidak perlu dilihat. Nikmatin saja,” sarannya.

Iya, betul. Tapi ini kan momen pertamaku, masak gak boleh dilihat.

“Sini, tatap gue saja,” sambungnya.

Sorot matanya menatap mataku. Namun, pikiranku fokus ke selangkanganku. Ada sesuatu yang mengganjal di sana. Aku yakin, itu selaput daraku. Meski sudah basah dan vaginaku sudah tersekresi, ia tak buru-buru untuk menusukkan senjatanya ke lobang kawinku. Ia mencabut perlahan, lalu kembali menusukkan. Begitulah yang ia lakukan. Mungkin sekitar empat atau lima kali.

“Aaaaaahhhhh!!” jeritku memekik saat hentakan terakhir ia menghunuskan kontolnya sampai keseluruhannya tertelan di dalam lorong mukosa vaginaku. Rasanya sungguh sangat perih. Sakitnya seperti tersayat oleh silet, namun itu hanya sesaat. Bagaikan jarum suntik yang menusuk kulit, awalnya terasa sakit, namun setelah itu sudah enggak meski jarum itu belum tercabut.

“Hehehe, seperti ini rasanya memek 7 m,” celetuknya kemudian mengecup bibirku.

Sepasang bibir kami saling berpagut, lidahnya membelit lidahku. Setelah itu, kurasakan pinggulnya mulai bergerak memaju-mundurkan penis yang tertanam di dalam vaginaku. Sungguh, rasanya nikmat sekali. Sensasi memekku ditumbuk benda asing, ditambah mulutku yang saling berpagut membuatku kembali melayang. Embusan napas lelaki di depanku sampai terhirup oleh hidungku. Aku tahu, organ paru-paruku juga laku ke seseorang. Mudah-mudahan saja dia tidak mengidap penyakit tuberkulosis atau penyakit menular lainnya.

“Ohh … Ohh .. oohhhh,” desahnya diiringi oleh desahanku juga.

“Ohhh .. gue mau minjem toket orang dulu … ohhh.”

“Ssshh .. iyah .. kak. Boleh .. kok. Aahh… asalkan … ja ... ngan dirusak … aaah.”

Ia melepaskan pegangan pada kaki kiriku, lalu hingga di toket kiriku. Sambil bersenggama, ia memainkan putingku. Puting dan toket yang telah laku satu miliar rupiah ini dimainkan oleh dia. Aku pun tidak mempermasalahkannya, karena menurutku ini masih dalam batas wajar. Dia tidak merusak properti milik orang lain. Properti dia adalah memek, organ di ujung lorong vaginaku, dan beberapa organ-organ lainnya.

Gesekan pada mukosa vaginaku membuatku kembali terbang melayang. Mataku memejam menikmati proses dimana aku dibawa terbang. Aku tak merasakan rasa sakit akibat robeknya selaput daraku. Yang kurasakan adalah birahi.

PLOK! PLOK! PLOK!

Sodokan tongkatnya makin intens. Kecepatan mulai meningkat dalam beberapa detik. Aku dapat merasakan gerakan di mana rahimku turut terdorong. Meski ukuran penisnya tak terlalu besar, tapi ujung penisnya seperti menyundul-nyundul area servikku.

Oh, aku mau mencapai puncak.

“Hmmmmm .. aaaaaaaaahh,” desahku kembali mencapai orgasme yang kedua kalinya. Tapi, lawan mainku sepertinya masih belum sampai ejakulasi. Ia masih terus memompa liang kawinku. Aku hanya lemas membiarkan dia melakukan apapun pada tubuhku ini.

Selang beberapa detik, dia tampak mengerang hebat.

“Ooooohhhhh,” erangannya sambil menekan dalam-dalam kontolknya di dalam mekiku. Kurasakan penisnya berkedut dan beberapa saat merasakan ada cairan yang menggenangi ujung vaginaku. Mungkin diantaranya masuk ke lubang servik hingga ke rongga di dalam rahimku.

Ia mendiamkan penisnya di dalam memeku. Paha dalamku menopang pinggulnya sampai penisnya di dalam liang kewanitaanku mengecil, lalu ia mencabutnya.

Aku menunduk melihat penisnya yang tercabut dalam memekku. Terdapat bercak merah di pangkal penisnya dan sebagian di jembutnya. Bercak merah itu juga menempel di sekitar vulvaku.

“Oh, bener-bener enak meki lo. Gak sabar pengen makan, rasanya seperti apa.”

“Pasti enak, kok. Tenang saja. Siska jamin itu,” kataku membalas ucapannya. “Tapi, nanti harus dihabisin, ya?”

“Itu pasti. Meki 7 miliar dan pasti habis kubagi-bagikan dengan teman-temanku, hehehe.”

Secara tiba-tiba, ia mengecup memekku sambil berkata, “Perut gue sudah menantikan lo.”

“Hihihi, iya-iya. Pokoknya memek Siska buat kakak.”

Ia pun bangkit lalu mengambil handuk yang sudah tak berbentuk angsa untuk mengelapi kemaluannya dan bercak-bercak cairan cinta dan noda darahku. Ia pun mengambil handuk yang satunya untuk mengelapi kemaluanku.

“Makasih.”

“Sama-sama. Buruan, lo duluan keluar,” pintanya.

Aku pun segera menuju kembali ke panggung meninggalkan lelaki punk yang masih telanjang.

Dalam puluhan detik, aku sudah berdiri di atas panggung disambut tepuk tangan para hadirin. Cef Yongki mendekatiku lalu menguncir rambutku gaya ponytail. Kedua tangannya yang sudah terbungkusi handscoon Itu cukup cekatan mengikat rambutku. Selanjutnya, ia membimbingku untuk menuju ke sebuah alat berbentuk silinder berbahan metal yang tertidur di lantai panggung.

“Dek Siska tidur di tengah sini,” pintanya yang segera aku turuti.

Aku tidur telentang di tengah besi, lalu tangan kiriku dipegang, diarahkan ke samping kiri atas, lalu dipakaikan sabuk gelang di pergelangan tangan kiri, lalu diikatkan ke sisi kiri besi. Begitu juga dengan tangan kanan, dan kedua pergelangan kakiku. Bentuk tubuhku ini seperti huruf X.

Suara derit dari rantai datang dari atas panggung. Kulihat Cef Yongki sedang melakukan sesuatu di atas kepalaku, hingga selanjutnya aku merasakan tubuhku kini terangkat beserta besi yang berbentuk lingkaran ini. Bahkan, kakiku maupun besi tak menyentuh lantai panggung. Pergelanganku sedikit sakit, begitu juga dengan pergelangan kakiku.

Penonton melihat tubuh telanjangku yang terangkat sekitar dua jengkal dari lantai. Cef Yongki bahkan memutar ke arah kiri, hingga bagian belakang tubuhku menghadap ke para hadirin. Ia memutar kembali lingkaran besi sampai aku menghadap ke arah penonton kembali. Kulihat Cef Yongki melakukan sesuatu di belakang sana. Seperti suara membuka botol, dan plastik.

Cessssss!!!

Terasa bagian punggung leherku dingin. Kulit leher belakangku diusapi sesuatu, lalu mendadak terasa nyeri. Punggung leherku seperti tertusuk jarum. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali punggung leherku tertusuk jarum. Rasa sakit itu cuma sesaat, setelahnya bagian bawah leher sampai ke bawah terasa kebas.

“Apa yang dek Siska rasakan?” katanya yang berdiri di samping kiriku.

“Dingin.”

“Kalau ini?” tanyanya sambil menunjuk bagian lengan kiriku yang telah tertusuk jarum yang bagian pangkalnya terdapat papan berbentuk lingkaran plastik putih yang di tengahnya tertera angka. Setelah kusadari, angka itu adalah nomor peserta yang memenangkan lengan kiriku. Diameter jarumnya pun besar seukuran jarum suntik. Aku bahkan tak merasakan saat pin bernomor itu menusuk kulit lenganku.

“Siska tidak merasakannya, Cef. Tubuh Siska seperti bukan bagian dari milik Siska.”

“Ya memang badan dek Siska sudah milik orang lain.”

“Hihihi, iya sih.”

Cef Yongki menusukkan pin di tangan kiriku. Posisinya di dekat pergelangan tangan. Ia bergerak ke kiri, lalu menusukkan pin bernomor di lengan kananku. Tangannya kemudian bergerak menancapkan pin di toket kananku. Ia menancapkan dari atas. Pin itu berdiri tegak di atas toketku. Begitu juga dengan toket kiriku.

Lalu, ia menancapkan di bagian bawah tubuhku, yaitu paha kiri paha kanan. Bagian pantat, aku tak bisa melihatnya, karena ia berada di belakang tubuhku. Saat menancapkannya pun, aku tak merasakannya. Lagian, aku juga tak bisa melihat bagian pantatku dengan mata kepalaku sendiri.

Jadi seperti ini yang dirasakan oleh Angela. Pak Jono menusukkan jarum akupuntur di leher belakang Angela, lalu seluruh kulitnya dikuliti hingga lepas. Pantas saja tidak terasa sakit.

Ia kemudian ke belakang. Terdengar seperti suara api kompor gas yang habis dipantik. Cef Hilda tadi pakai kompor listrik, mungkin cef Yongki pakai kompor listrik juga. Aku baru dengar sih suaranya saat dihidupkan seperti ini.

Di belakang sana terdengar beberapa suara gesekan-gesekan besi. Entah itu pisau, atau apalah itu. Aku menduga, dapur untuk memasak ada di belakang tubuhku. Mungkin agar penonton bisa melihat jelas tubuhku ini yang sedikit demi sedikit mulai dipotong dan diambil organ tubuhnya.

Sebagai gambaran, posisiku yang tergantung ini sekitar dua meter dari ujung depan panggung. Selain itu, beberapa sorot cahaya juga menerangi tubuhku yang telanjang ini.

Beberapa menit kemudian, Cef Yongki datang dari arah sebelah kanan. Ia berdiri di depanku, lalu diangkat tangannya yang memegang sebuah suntikan dengan tabung yang cukup besar. Ia kemudian menusukkan jarum suntik itu di areola bawah toket kananku. Cukup dalam ia menusukkan, lalu tuas plunger hingga carian berwarna abu-abu itu itu masuk ke jarum, lalu menyebar ke dalam toketku. Di sini, aku sedikit merasa geli. Bagian dalam toketku seperti digelitik. Ia cabut, lalu ditusukkan ke sebelah kiri dari toket kananku, juga dari sebelah kanan toketku. Sisanya, ia tusukkkan ke payudara kananku dari arah bawah.

Suntikan dicabut, lalu ia pergi ke belakang. Beberapa detik kemudian, Cef Yongki kembali datang. Ia berdiri di samping kananku sambil membawa pisau dan loyang aluminium berbentuk persegi empat. Loyang, itu ada pengait yang kemudian ia kaitkan di besi yang membentangkan tubuhku. Puting kananku dipegang tangan kirinya, lalu tangan kanannya yang memegang pisau itu mengarahkan mata pisau ke arah atas di samping bawah buah dadaku. Dengan cepat, ia menusukkan lalu mengiris tulang rusuk sebelah kanan di pinggang menuju ke atas, lalu sampai di dekat ketiak kanan, memutar hingga pisau itu memotong horizontal di bawah tulang selangka lalu berhenti di bawah leherku. Setelahnya, ia memotong vertikal ke arah bawah. Pisau itu memotong dan berada di tengah di antara kedua payudaraku. Lalu, sampai di ulu hati, pisau itu memotong ke arah kanan menuju pinggang. Sambil putingku ditarik, sebagian tulang rusuk tempat toketku nempel ikut tertarik. Dapat kulihat paru-paruku masih mengembang-ngempis. Pisau cef Yongki memisahkan jaringan dibalik tulang rusuk yang menempel di jaringan dalam, hingga dalam belasan detik, payudaraku kini sudah lepas dan menyisakan luka menganga. Ia mengangkat tinggi-tinggi ke hadapan penonton bongkahan toketku itu yang kemudian disambut tepuk tangan. Ia memegang bongkahan itu pada tulang rusuk atas. Jadi bagian dalam tulang rusuk itu menghadap ke aku. Ruas-ruas tulang rusuk dan otot di sela-sela tulang rusuk itu dapat kulihat jelas.

Persis seperti yang ditulis dalam katalog, kalau toketku ini dijual beserta dengan tulang rusuk sebatas di mana tempat payudara ini nempel saja.

“Cef, boleh Siska nyicipi toket itu?” kataku ketika ia hendak pergi ke belakang.

“Maksudnya nyusu?” tanyanya yang mengerti dan paham maksudku yang kemudian kujawab dengan anggukan. “Saya tanyakan dulu ke pemiliknya dulu.”

“Kepada peserta nomor 86, bolehkah Siska merasakan payudara ini untuk terakhir kalinya?” tanyanya menggunakan pengeras suara.

“Boleh, silakan saja,” jawab lelaki yang di ujung sebelah kiri. Lelaki yang istrinya sedang ngidam toket.

Cef Yongki mengarahkan gundukan besar yang telah tertancap pin ke wajahku. Mengarahkan mantan puting kananku ke mulutku yang telah membuka.

Hap!!!

Aku mengenyot puting dan areolaku untuk terakhir kalinya. Oh, begini rasanya nenen ke toket. Ditambah toket yang tadinya melekat pada tubuhku. Toket yang kini bukan lagi milikku.

“Tahan dan gigit dulu ya, jangan sampai jatuh,” kata Cef Yongki melepaskan pegangan pada payudara ini hingga gundukan besar ini menggantung pada mulutku. Bahkan, ujung tulang rusuk yang terpotong mengenai kulit leherku. Cukup berat sih.

Sekarang aku menahan mantan toket kananku ini di mulutku sendiri. Bukan dengan menggigit pakai gigi seperti perintah Cef Yongki, melainkan dengan menjepit rapat-rapat buah dada ini dengan bibirku. Keseluruhan areola dan puting masuk ke dalam mulutku, sehingga areola di dekat puting yang berada dalam rongga mulut aku jepit dengan ujung lidah dan kudorong ke langit-langit di dekat gigi seri bagian dalam. Mungkin lebih tepatnya gusi gigi. Selain itu, aku juga menghisap sebagai bantuan agar seonggok daging yang dipenuhi kelenjar persusuan ini tidak terlepas dan jatuh. Karena hisapanku yang cukup kuat, aku dapat merasakan cairan bumbu yang tadi disuntikkan Cef Yongki. Salah satu yang disuntikkan tadi ada di sekitar areola. Rasanya ada campuran pedas, gurih, manis, dan asin. Darah yang keluar dari bekas suntikan itu juga terasa meski tersamarkan oleh bumbu tadi.

Oh, seperti inikah rasanya menyusu itu? Ada sensasi tersendiri ketika menyusu ke payudara sendiri yang telah terpotong. Andaikan masih merasakan selangkanganku, pasti liang kewanitaanku basah. Nenen ke toket yang padat dan kulitnya bersih, membuatku terlena. Aku coba gigit kecil dengan gigi seriku, seketika itu sensasinya sungguh meningkat. Ah, kalau normal, memekku pasti banjir parah. Siapa sangka, beberapa menit yang lalu, toket ini bersarang di dadaku. Hidup bersama lebih dari dua puluh tahun. Terawat sejak dilahirkan. Dan, kini berpisah dan nemplok di mulutku. Hihhi, emang udah nasib kamu, ket.

Di depan pipi kiriku, pin yang tertancap di payudara juga terlihat jelas. Terdapat nomor 86 di papan plastik putih berbentuk lingkaran itu. Pin itu tertancap dengan posisi ada di depan pipi kiri, berarti kulit buah dada di depan hidungku ini sebelumnya bagian yang berhadapan dengan payudara sebelah kiri. Ibaratnya aku nyusu ke toket kanan cewek yang tidur telentang dari samping kanan. Hanya saja, karena posisiku yang berdiri dan adanya gaya gravitasi, bentuk buah dada yang kukenyot ini menggantung dengan bagian luka potong menghadap ke bawah. Aku rasa beberapa tetes darah dan bumbu berceceran di lantai bawah sana. Aku tak bisa melihat karena pandangan kedua mataku terhalangi bongkahan payudara.

Terdengar langkah dari belakang. Cef Yongki kemudian datang dari sebelah kiri. Ia memandangiku sejenak.

“Sudah cukup?”

Aku mengangguk pelan, lalu ia mengambil loyang yang tergantung di besi sebelah kananku. Loyang itu kemudian disodorkan di depan dadaku hingga wadah alumunium itu menyentuh kulit payudara kiri atasku. Meski aku tak bisa merasakannya, tapi dorongan wadah itu sedikit membuat tubuhku sedikit mundur.

“Sekarang lepaskan.”

Mulutku membuka. Seketika itu payudara itu jatuh dan terdengar suara benturan yang dihasilkan antara onggokan buah dada dengan wadah. Saking beratnya, wadah itu sedikit terdorong ke bawah. Pegangan Cef Yongki kuat. Wajar lah cowok, karena itu wadah itu tidak sampai terlepas dari pegangannya. Saat terjauh, posisi payudaranya menyamping gitu. Karena, ketika terlepas dari mulutku, toket itu sempat berputar hampir 180 derajat ke arah depan. Yang tadinya puting menghadap ke arahku, karena aku kenyot, sekarang menghadap ke arah Cef Yongki yang berdiri di hadapanku.

Di sini, aku melihat bentuk toketku yang sedikit pipih. Wajar sih, namanya toket original tanpa implan. Sama halnya, ketika tidur, meski ukurannya besar dan padat, tetap saja agak pipih. Ya emang dasarnya toket itu tak punya tulang. Kecuali posisinya lagi doggy gitu, kelihatan agak lonjong.

Bekas potongan di dekat payudara itu, terlihat lemak berwarna kuning, darah, dan daging berwarna merah. Beberapa ruas tulang rusukku juga terlihat jelas. Warna putih dengan noda darah.

Puting itu terlihat lebih panjang. Mungkin karena berlama-lama aku kenyot. Warnanya pun lebih pucat dan pastinya berair. Air liurku masih menempel di permukaan puting dan areola itu. Bekas gigitan juga ada. Terlihat cekungan-cekungan dari gigi seriku. Bentuk cekungan itu tidak kembali rata.

Tak lama kemudian, Cef Yongki pun pergi ke belakang. Sebenarnya saat toket itu jatuh dari mulutku, ia hanya sebentar mendiamkan loyang di depan dadaku. Cuma akunya aja nyeritainnya panjang lebar, hihihi.

Terdengar suara air yang mendidih dan juga suara-suara lainnya. Cef Yongki benar-benar sibuk memasak toket itu.

Aku menunduk melihat luka menganga di dada kananku. Beberapa ruas tulang rusukku yang berwarna putih itu kini berlubang. Di dalam lubang itu, organ pernapasanku sedang bergerak mengembangkan lalu mengempis. Paru-paruku di dalam sana masih bekerja dengan baik. Dari luka itu, beberapa kucuran darah merambat turun melalui kulit perutku sampai pada akhirnya jatuh berceceran di lantai panggung. Di antara ceceran darah itu, ada yang sudah mengering, ada pula yang masih segar. Luka yang menganga ini cukup lebar. Untuk sebelah kanan, hampir di pinggang atas dan mendekati ketiakku. Untuk di sisi kiri, tepat di tengah-tengah tulang dada. Sebagian tulang dadaku juga terlihat. Untuk sisi atas, beberapa centi di bawah tulang selangka sebelah kanan. Untuk sisi bawah, beberapa centi dari bagian paling bawah gundukan payudaraku. Bahkan, aku dapat melihat sebagian organ hatiku itu.

Belasan menit kemudian, pelayan wanita dari belakang berjalan menuruni panggung menuju ke sosok lelaki beristri itu dengan tangan kanan mengangkat nampan yang di atasnya terdapat makanan yang tertutup sebesar ukuran nampan dan cukup tinggi. Ia mengangkat nampan di sebelah kanan kepalanya dan sejajar sedikit di atas pundak.

Ia berjalan melewati beberapa meja, lalu pada akhirnya dia sampai di meja yang dituju. Dengan perlahan, ia menurunkan nampan. Dia menempatkan dua piring, garpu, sendok, dan pisau pemotong di hadapan lelaki itu. Lalu, dibuka penutup yang dibarengi dengan kepulan uap panas.

Sebuah mangkuk kaca besar yang di dalamnya terdapat sebongkah benda yang tentu sangat familiar. Warnanya putih pucat. Bahkan, puting dan areola juga warnanya pucat. Sangat berbeda dari warna saat masih menempel di dadaku. Sebagian buah dada itu mengambang di cairan berwarna kuning kecoklatan disertai dedaunan dan potongan cabai hijau yang besar. Sebagian toket itu tenggelam, mungkin tidak sampai separuhnya saja yang timbul. Areola dan puting yang ada di puncak gundukan itu samar-samar terlihat dibalik kepulan uap panas. Selain itu, pin dengan nomor 86 itu tertancap dan berdiri di puting. Bahkan, puting itu sedikit lebih panjang dari yang tadi kukenyot.

Aku dapat melihat bayang-bayang seseorang di depanku. Tapi karena aku fokus menoleh ke arah jam 10, aku benar-benar tak memperhatikan sosok ini. Aku fokus melihat lelaki yang sedang menikmati mantan payudara kananku itu. Tangan kiri lelaki itu tampak memegang garpu yang memiliki empat tine, lalu dengan garpu itu ia arahkan ujung garpu ke jarum pin yang menancap di puting hingga jarum itu berada di root garpu, yaitu bagian cekungan di antara tine. Ia diamkan tangan kirinya di posisi itu, lalu tangan kanannya memegang papan nomor berbentuk lingkaran pipih itu. Ditarik dan dicabutnya pin itu hingga lepas dari puting, lalu diletakkan di samping piring. Mungkin kalau tidak dihalangi garpu, puting itu bisa mulur. Ada yang menarik dan membuatku terkejut. Saat dicabut, seketika ada cairan yang keluar dari bekas lubang pin yang menancap tadi. Warnanya coklat kekuningan, lebih pekat dari kuah yang menggenangi buah dada itu.

Dengan menggunakan dua garpu, payudara yang telah masak itu ditusuk di sisi samping. Tusukan itu cukup dalam sampai keempat tine garpu tertanam di dalamnya. Dia kemudian mengangkat secara perlahan dari mangkuk besar. Saat di angkat, terlihat benar besarnya payudara beserta tulang rusuknya itu. Diameter luka di dada kananku aja sebesar ini, tentu saja yang di sana juga lebar. Sebagian sisi lambaran kulit di bagian ujung bawah yang menggantung itu sampai menggelambir dan menetes-neteskan kuah.

Diletakkannya gundukan persusuan itu di atas piring yang cukup lebar dengan posisi telentang. Posisi payudara itu mirip seperti aku tidur telentang yang bentuknya sedikit pipih. Namun, untuk yang di atas piring itu cukup besar dan menggembung. Mungkin karena dimasak, jadi bagian dalamnya ikut mengembang. Dipastikan kelenjar susuku, atau mammary duct dan lemak di dalamnya ikut mengembang dan matang.

Setelah ditaruh di piring, kedua garpu itu kemudian dicabut. Tangan kanannya pria tadi berganti mengambil pisau. Garpu di tangan kiri ditusukkan di areola hingga ujung garpu itu terlihat tembus di sisi satunya. Kemudian, ia mengangkatnya sedikit ke atas. Dari sini, bentuk payudara itu mulur dan sedikit mengerucut. Tak lama kemudian, pisau di tangan kanannya memotong secara horizontal. Dengan beberapa gesekan, bagian areola dan puting terlepas dari seonggok payudara. Garpu yang di ujungnya terdapat areola itu tampak mengepulkan uap panas. Bahkan, bekas potongan di payudara itu juga mengeluarkan uap saat dipotong. Cairan kental pun keluar dari bekas potongan itu.

Areola dan puting di garpu itu dicelupkan ke kuah di dalam mangkuk, lalu diarahkan ke samping kirinya di mana istrinya duduk memperhatikan. Saat di depan mulut istrinya, wanita itu meniup lembut daging itu lalu dilahapnya. Tampak rahang wanita itu bergerak-gerak. Pipinya turut ngembang-kempis, menandakan gigi-gigi di dalamnya sedang menggerus dan mencacah-cacah puting dan areola. Uuhh, membayangkan bagaimana bentuk wujud mantan puting dan areolaku itu dihancurkan oleh gigi-giginya, membuatku jadi sange. Meski di tubuh bawahku yang mati rasa, sepertinya dopamin di dalam darahku ini menguasai otakku. Aku tak tahu, dengan mati rasa, apakah di selangkanganku turut basah atau tidak.

“Dek Siskaaaaaaa,” kata sosok di hadapanku. “Dek Siskaaaaa …”

Seketika aku dikejutkan dengan buah dada yang menggantung tepat di depan wajahku dan buah dada ini menghantamkan secara lembut ke mukaku hingga membuat mataku berkedit beberapa kali.

“Eh, ini…?”

“Ini payudara adek. Ngelamunin apa, sampai tidak sadar kalau sedari tadi payudara kiri dek Siska sudah saya potong?”

Terdengar beberapa penonton tertawa kecil.

Ah sial, aku tidak melihat wanita itu menelan puting dan areolaku. Saking seriusnya, aku bahkan tak menyadari Cef Yongki yang sudah memotong payudara kiriku.

“Mau nyusu untuk terakhir kalinya, enggak?” tanyanya dengan posisi puting ada di depan hidungku.

“Hmmm… nggak usah deh, Cef. Buruan dimasak aja, kasian mereka nunggu toket Siska itu, hihihi.”

“Yakin?”

“Iya.”

“Ya sudah, aku masak dulu.”

“Silakan, Cef.”

Setelah memotong, satu-satunya payudara yang telah kuberi nutrisi untuk terakhir kalinya diletakkan loyang, lalu dibawa pergi ke belakang. Terdengar suara kocokan seperti telur yang dikocok dengan garpu untuk membuat telur dadar, beberapa benda benturan alumunium, dan lain sebagainya. Kali ini aku tak mendengar suara suara pantikan api, melainkan suara seperti gesekan antar alumunium atau benda metal. Selain itu, suara langkah kaki juga menambah betapa sibuknya Cef Yongki di belakang sana.

Ah, andaikan aku menghadap ke belakang, aku bisa melihat jelas apa yang dilakukan Cef Yongki pada mantan payudara kiriku itu.

Kira-kira puluhan menit, aku melihat waiter pria yang membawa nampan yang di atasnya terdapat makanan yang tertutup itu berjalan di samping kananku menuruni tangga berundak dari panggung menuju ke pembeli toketku. Saat lewat tadi, tertinggal aroma yang enak sekali tercium oleh hidungku.

Di seberang meja sana, seseorang yang telah menantikan payudaraku itu kemudian mendapatkan hidangannya. Piring tertutup di atas nampan yang ditunggu-tunggu itu kemudian dipindahkan ke hadapannya. Dengan rama, waiter mempersilahkan untuk menikmatinya. Dibuka penutup itu, lalu tampaklah gundukan payudaraku yang warnanya kecoklatan. Areola dan putingnya lebih coklat tua. Dia pun memotong dan membelah tengah payudara itu menjadi dua bagian dengan puting berada di salah satu bagian.

“Serius gitu melihatnya, dek?” tanya Cef Yongki yang berdiri di hadapanku.

“Eh, iya. Cef Yongki mau motong lagi?”

“Tentu. Saya mau motong kaki kiri kamu.”

“Silakan, Cef.”

Dia terlebih dahulu melepaskan sabuk di pergelangan kakiku, lalu dia mengambil gergaji listrik. Mesin pemotong itu dihidupkan. Diletakkan bagian yang tajam itu di selangkanganku, lalu digerakkan benda tajam itu memotong paha atas bagian dalam. Terasa sekali getarannya sampai kepalaku. Kucuran darah muncrat sampai menodai baju dan tangan Cef Yongki. Beberapa cipratan itu mengenai wajahnya. Ia menyeka dengan bahu kanannya.

Aku dapat merasakan getarannya semakin tinggi. Pasti, sekarang sedang memotong tulang pahaku. Tentu bukan hal yang sulit bagi mesin itu. Hingga pada akhirnya gergaji listrik itu telah memisahkan paha dari tempatnya. Letak potongannya persis berada di bawah tulang pinggul kiriku. Pahaku dipotong rapi dari lipatan selangkangan. Pahaku itu kemudian terjatuh dengan telapak kaki menyentuh lantai yang dipenuhi tetesan darah yang tak jua mengering. Sebelum pahaku jatuh, Cef Yongki segera merespon dan dengan sigap menangkap paha itu. Diangkatnya paha itu dengan tangan kanan, lalu tangan kiri membawa gergaji ke belakang.

Aku menunduk melihat tetesan darah segar dari potongan paha di pinggul kiriku. Banyak sekali darah yang jatuh di sana. Aku pun merasakan sedikit lemah. Mungkin wajahku sekarang pucat sekali. Luka lebar di dada berbentuk elips secara horizontal ini sudah banyak mengeluarkan darah, ditambah luka baru di bawah sana. Aku pun dapat melihat gerak berdenyut di antara paru-paruku itu. Jantungku masih bekerja dengan baik. Sepasang paru-paruku juga masih segar dan tak ada flek-flek di permukaannya. Oh, seperti ini kah sepasang paru-paruku?

Puluhan menit berlalu, kali ini dua waiter pria yang membawa nampan yang ukurannya cukup panjang. Mungkin bukan cuma pahaku saja yang berat, bahan-bahan pelengkapnya pun pasti banyak. Mereka membawanya ke pemenang lelang di depan sana.

Cef yongki kembali di depanku ketika waiter baru saja sampai di meja pemenang.

“Saya mau potong, paha dek Siska yang satunya.”

“I-Iya, Cef.”

Dia pun memotong paha kananku. Digunakan gergaji listrik untuk memotong area selangkanganku itu. Dari lipatan selangkangan sebelah kanan, sampai ke bawah tulang pinggul. Tangannya menangkap pahaku yang terhuyung jatuh ke arahnya, lalu dibuka dan dilepaskan sabuk di pergelangan kaki kananku. Selesainya, ia membawa sebongkah kaki kanan ke belakang.

Tetesan darah baru kembali mengucur membasahi lantai. Bahkan, luka di pinggul kiri masih menetes meski tak sederas yang sebelah kanan.

Di belakangku, suara-suara desis minyak yang menggoreng sesuatu. Sesekali penonton bertepuk tangan melihat sesuatu di belakangku. Mungkin Cef Yongki memasak sambil beratraksi. Memang, aku belum pernah melihat Cef Yongki memasaknya bagaimana, tapi yang kutahu, dia profesional.

Dua waiter pria membawa satu-satunya kaki kanan itu, yang beberapa menit yang lalu menempel di pinggulku.

Entah sudah berapa menit berlalu sejak pemotongan bagian-bagian tubuhku, saat ini yang kurasakan adalah hawa dingin di seluruh kepalaku. Mungkin jantungku melemah karena aku sudah kehilangan banyak darah. Sepasang mataku sudah mulai kehilangan fokus. Suaraku melemah. Meski demikian, napasku masih tetap bekerja, tapi aku tak bisa merasakan sakit di bawah sana. Dengan segenap usaha, aku pun memastikan hal itu. Benar, denyut di antara paru-paruku melemah. Napas di paru-paruku bergerak lamban untuk bekerja menghirup udara dan mengeluarkannya.

Aku merasa tubuhku bagian bawah perutku bergerak-gerak. Dari gerakan-gerakan itu, kepalaku turut merasakan gerakan itu.

Tiba-tiba, Cef Yongku berdiri di depanku.

“Dek Siska, lihat nih apa yang saya pegang,” katanya sambil kedua tangannya menenteng sesuatu.

“A … apa i .. tu, Ceeeef?” tanyaku yang suaranya terputus-putus dan melemah.

“Ini sepasang pantat Dek Siska.”

“Hehehe, pa … nntat, ya.” Aku memandangi sepasang pantat itu dengan mengamati bongkahan di kedua tangannya. Perlahan, aku dapat fokus melihatnya. Tangan kanannya menenteng pantat yang ukurannya besar. Darah menetes-netes dari bagian bawah bongkahan pantat itu. Di tangan kirinya, pantat itu sedikit diputar hingga aku dapat melihat bagian yang terpotong itu. Jaringan lemak, otot, dan kulit terlihat jelas. Aku baru sadar, ternyata lemak di pantatku lumayan mendominasi. Corak dan tekstur kulit pantatku juga terlihat jelas. Beberapa garis stretch marks yang samar berwarna lebih cerah itu terukir jelas. Hal itu wajar, karena itu pasti dialami oleh setiap orang.

“Saya masak dulu ya, Dek.”

“I … ya.”

Dia pun pergi ke belakang untuk memasak sepasang pantat itu. Aku tak tahu akan dimasak dengan cara dan bakal jadi apa. Aku hanya bisa merasakan aroma enak yang terendus oleh saraf pembau di dalam rongga hidungku. Tiap bagian tubuhku aromanya berbeda-beda. Itu karena dimasak dengan cara yang berbeda dan bumbunya juga beda.

Cef Yongki berjongkok di depanku. Tangan kanannya memegang pisau kecil dan panjang. Ujung pisau itu kemudian diarahkan ke selangkanganku. Pisau yang bagian bilah terlihat seluruhnya, kini tampaknya sudah masuk ke dalam tubuhku. Gerakan tangannya bergerak maju mundur. Tangan kirinya turut membantu dengan memegang sesuatu. Sepasang mata Cef Yongki fokus tertuju ke selangkanganku.

Kucuran darah menetes-netes hingga tangan Cef Yongki yang terbungkusi handscoon putih yang terdapat noda darah lama turut terbaluri juga. Sampai-sampai, darah di selangkanganku muncrat kecil mengenai bahu dan lengannya.

Sampai sini, aku melihat tangan kirinya menarik sesuatu. Aku yakin, itu adalah memekku. Sambil tangan kiri menarik, tangan kanannya tampak masuk ke dalam rongga di bawah sana. Beberapa gerakan tangan yang memegang pisau itu terlihat olehku. Sampai pada momen, daging yang mulur di bawah sana makin panjang dan aku dapat melihat bongkahan kecil berbentuk bulat pipih yang di samping kiri dan kanannya terdapat daging kecil seukuran kelereng yang tertaut ke bulatan besar di tengahnya. Itu adalah rahimku beserta ovariumku.

Cef Yongki berdiri. Sambil menghadap ke penonton, tangan kirinya menenteng organ reproduksiku. Tepuk tangan dari penonton terdengar. Ia membungkukkan badan atas apresiasi dari para manusia di depan sana.

Setelahnya, ia balik badan menghadap ke arahku dengan tangan kiri yang menenteng organ yang beberapa jam yang lalu telah kehilangan keperawanannya. Ibu jari dan jari telunjuknya memegang bagian atas dari memekku, yaitu lembaran kulit tepat di atas kelentit. Vulvaku terlihat masih segar. Warnanya bersih dengan beberapa noda darah menghiasi vulvaku itu. Aku dapat melihat jelas labia mayora dan labia minora. Lubang memekku yang rapat itu hanya dapat terlihat bagian terluarnya. Cef Yongki memotongnya rapi. Potongannya berbentuk oval. Bahkan lubang anusnya tak ikut terpotong. Ia memotong di perineum.

Onggokan dari vulva yang memanjang itu pastilah jalur vaginaku. Panjang dari area kemaluan terluarku sampai rahimku itu kira-kira sepuluh centimeter. Rahimku menggantung bebas di ujung bawah diapit oleh sepasang ovarium berwarna putih pucat.

“Ceeef … tolong de… katkan me … mek Siska.”

Permintaanku disetujui. Kemaluanku kemudian didekatkan di depan hidungku. Di sini aku dapat merasakan aroma anyir campuran darah dan tentu saja sperma dari lelaki pemilik memekku itu.

“Cukup?”

“I .. ya.”

Sang pemasak handal itu pun pergi. Ia memasak mantan organ reproduksi. Dalam puluhan menit, waiter wanita membawa masakan itu.

Cef Yongki kembali di depanku. Ia membetulkan rambutku dan sepertinya mengikat rambutku dengan tali. Aku tak bisa mendongak, karena tali ini mengikat kuat rambutku dan membuatku seperti dijambak. Rasanya sakit. Kulit kepalaku seperti ditarik-tarik seakan mau lepas dari tengkorak kepala.

Cef Yongki kemudian memotong lengan kiri dengan pisau. Karena jaraknya yang dekat dengan indera pendengaran, aku dapat mendengar jelas suara gesekan pisau yang memotong kulit, serta memotong tulang selangka di atas bahu dan sebagian tulang belikat. Setelahnya, ia pun memotong lengan kananku. Ia memotong tepat dari bahu sampai ketiak. Sisa-sisa bagian tubuhku ini menggantung pada ribuan helai rambut. Mungkin tak seberat ketika kaki, tangan, dan payudaraku masih menempel. Tapi tetap saja kulit kepalaku terasa sakit.

Aku tak tahu bentuk tubuhku yang tanpa sepasang lengan dan kaki ini dari depan seperti apa. Mungkin mirip boneka barbie yang tangan dan kakinya dilepas. Bisa juga mirip bantal. Hihihi.

Luka menganga di beberapa bagian tubuhku telah menguras banyak darah dan membuat suplai oksigen dan nutrisi bagi otak berkurang. Penonton di depan sana sedang asik menikmati hidangan di depan mereka. Bagi yang tidak memenangkan bagian tubuhku, mereka menikmati makanan dari daging hewan. Lalu bagi yang memenangkannya, selain mendapatkan hidangan daging tubuhku, mereka juga mendapatkan makanan seperti penonton yang tidak memenangkan lelang.

Terlihat beberapa waiter turun dari panggung menuju ke para pemenang bagian tubuhku ini. Sekelompok pemuda punk di sana pun tampak asik menikmati organ reproduksiku. Bahkan, lelaki yang tadi menyetubuhiku dengan bangga menunjukkan ke arahku selembar potongan kemaluan luar wanita yang tertusuk garpu. Warna vulvaku lebih putih pucat, mungkin kemaluanku itu telah direbus. Dengan provokatif, ia menjulurkan lidah dan ujung lidahnya menjilati kelentit itu. Setelahnya, dia membalik lembaran memekku lalu lidahnya dijulurkan hingga sebagian lidahnya keluar dari lubang vaginaku. Lidahnya dia diapit labia minora dan di atasnya bertengger kelentit yang telah matang. Rekan-rekannya tertawa saat pria yang menguasai lembaran mekiku itu memaju-mundurkan lidahnya, membuat lidahnya keluar lalu masuk tertelan memekku.

Rekan di sampingnya juga terlihat sedang menikmati bagian dari rahimku yang telah terpotong. Ujung garpunya menunjukkan bagian leher rahim dengan lubang servik yang ukuran lubangnya mungil dan pipih.

Di depanku, Cef Yongki membawa baskom yang di dalamnya dipenuhi oleh usus besar, usus kecil, lambung, ginjal, serta bagian kulit perutku. Aku tidak sadar, kalau dia sudah memotong dan mengeluarkan organ dalamku.

“Saya bawa dulu, Dek Siska.”

“I … yah,” jawabku lirih.

Aku tak tahu, dia mendengar suaraku yang tanpa tenaga ini atau tidak. Dia pun pergi ke belakang.

Rasa sakit di kulit kepalaku ini telah berkurang sedikit, karena organ-organ tubuhku telah dikeluarkan dan membuat beratnya makin berkurang. Aku rasa, saat ini yang tersisa di bawah tubuhku itu ialah jantung, paru-paru, dan hati.

Entah sudah berapa lama, Cef Yongki kembali dan dia mengarahkan pisau di leherku. Dengan sepasang mataku yang mulai kehilangan daya tangkap, kulihat ia membawa seonggok bagian bagian atas tubuhku, yaitu dada yang minus payudara dan sebagian bawah tubuhku yang dari bawah cangkang tulang rusukku menyisakan tulang belulang. Dari tulang belakang sampai di bawahnya menggantung tulang panggul. Bercak darah di tulang dan bagian tubuhku masih terlihat jelas. Potongan di leher di dekat tulang selangkanya pun tampak rapi.

Cef Yongki pergi sambil berpamitan. Aku yakin, dengan kondisiku sekarang, aku hanyalah sebongkah kepala. Rasa nyeri di kulit kepalaku yang seperti dijambak telah sirna.

DOR! DOR! DOR!

PYAAR!!

Tiba-tiba kaca pembatas di lantai VVIP terdengar suara tembakan dan samar-samar dua orang terlempar dari kaca dan terjatuh. Seingatku, dua orang itu adalah pengawalnya Pak Borgan. Meski dengan kondisiku sekarang yang rabun, aku mengetahuinya.

Orang-orang yang sedang menikmati makanan tampak berhamburan ke mana-mana. Suara orang-orang berteriak di sana-sini.

Ada apa ini? Mataku mulai rabun lebih dari sebelumnya, seperti menggunakan kacamata dari kaca es yang berlapis-lapis.

“Menyerahlah dan angkat tangan kalian!!!”

Suara itu sepertinya tidak asing. Aku pernah mendengarkan karakter suara itu. Setelahnya, terdengar suara orang yang sedang baku hantam dan suara-suara tembakan. Aku tak tahu berapa lama itu terjadi, indera pendengaranku makin melemah. Aku juga tak paham, mengapa aku tak segera mati ketika leherku telah terpenggal.

“Ke mana si tua bangka itu?”

“Kami sedang memburunya.”

“Cepat kejar. Dia pasti masih di sekitar sini.”

“Siap!!!”

“Apa yang harus kita lakukan terhadap wanita ini, komandan Agil?”

“Biarkan saja, kita tak bisa melakukan apa-apa ke wanita ini.”

Itulah suara percakapan yang kudengar sebelum pandanganku menjadi gelap dan telingaku menjadi sunyi.

*

***

*****

***

*

Eh? Apa yang terjadi?

Sebuah aula besar dengan atap yang berlubang, menyebabkan cahaya mentari dari atas sana menerangi aula yang lantainya ditumbuhi lumut dan tumbuhan. Meja dan kursi lapuk di mana-mana. Kulihat di tengah panggung, sebuah pipa besi berbentuk melingkar yang tergantung, lalu bawahnya, di antara tetumbuhan liar itu, terdapat tengkorak kepala.

“I .. ini. Bukankah ini?” tanyaku sambil menunduk dan melihat diriku sendiri.

Tubuhku utuh telanjang namun transparan. Beberapa detik kemudian ….

“AAAAAHH!!!!” jeritku. Tiba-tiba di leherku terkalungi sebuah rantai besi.

“Hahaha. Sekarang kamu jadi milikku!!” Ucap sosok yang tiba-tiba muncul dari kegelapan di sebelah kiri.

“Lepaskan!!!!” teriakku sambil memegang rantai dan mencoba melepaskannya, namun apa daya, aku tak bisa melepaskannya. Semakin mencoba, rantai ini seperti mencekek leherku.

“Percuma, Nona. Hahahaha!!”

Dia kemudian mendekatiku, lalu jemarnya yang berjumlah tiga itu hinggap di payudara kiriku. Ujung jari berkuku hitam dan panjang itu menerkam pangkal toketku sampai aku meringis.

“Aauufff!!” jeritku ketika kuku-kukunya itu menusuk pangkal susu di dekat tulang rusukku.

“Agh... Aghh… aghh!”

Jarinya yang kasar itu memelintir payudara kiriku, memutarnya hampir 180 derajat.

“AAIIIHHH!!” jeritku memekik merasakan sakit. Tiba-tiba ia menarik tangannya kuat-kuat hingga payudara kiriku itu terlepas dari cangkang tulang rusukku. Saat mencabut toketku, tubuhku sampai ikut tertarik ke depan.

Karena ulahnya, kulihat luka dada kiri yang menganga namun beberapa kulitku menggelambir. Dia sih tidak pakai pisau, jadinya jelek begini.

Sosok berkepala kerbau bertanduk dengan badan lelaki kekar berbulu hitam itu menenteng sepasang payudaraku. Jarinya menjepit salah satu tepian payudara yang menggantung dan menghadapkan area puting ke wajah buruk rupanya itu. Dia tampak memencet-mencet jepitan di potongan susuku itu, namun anehnya aku masih bisa merasakannya.

“Ssshhh aahh,” desahku saat puting itu disentil oleh jari kuku tangan sebelahnya.

“Hahahahahaha,” tawanya yang menyeramkan itu mengetahui keadaanku yang mendesah.

Sosok itu kemudian membuka mulutnya lebar-lebar, lalu melempar seonggok toketku ke arah mulutnya.

“Aaaahhhh!!!” jeritku saat merasakan buah dada di mulutnya dikunyah. Rasa sakitnya luar biasa, namun entah mengapa selangkanganku jadi basah. Kedua tanganku sampai memegang dada kiriku yang tanpa payudara, merasakan sakitnya digerus dan dikunyah seolah-olah payudara itu masih menyatu dengan tubuhku.

“Heeemmm … dagingmu enak juga. Saya suka arwah gentayangan seperti kamu” celotehnya sambil setelah menelan payudaraku itu. Bahkan, aku merasakan panas dan sakit setelah payudaraku ditelan.

“Nambah satu lagi,” katanya seraya menggapai buah dada kananku. Dengan cepat ia mencengkeram lalu mencabut payudaraku ini diikuti oleh jeritanku.

Dia lemparkan ke atas onggokan payudaraku itu, lalu di tangan kirinya muncul tombak. Saat payudaraku jatuh ke bawah, tombak itu ditusukkan ke toketku itu.

SLEEEB!!!

“AAAAAAGGH!”

Sakit sekali. Ujung tombak itu menusuk dan menembus payudaraku. Sedetik kemudian ia lentikkan jari kanannya, lalu di hadapannya muncul api. Ujung tombak yang terdapat potongan payudara kananku itu kemudian dipanggang di atas api.

“AAAAAH Panaassss!!!!! Aduuuuhh!!”

Ia tak menghiraukannya jeritan dan rontaanku. Kedua tanganku menekan dada kananku yang tanpa payudara ini.

Aku pun mencoba mendekatinya, tapi aku tak bisa.

Kulihat perubahan warna kulit payudara itu. Warnanya lebih cokelat. Saat putingku tersengat api, rasa sakitnya menjalar ke selangkanganku.

“Aaaaaahhh,” desahku saat kuku jarinya menyentuh payudaraku yang telah matang itu.

Ia pun mendekatkan ujung tombak di tangan kirinya ke mulutnya. Kali ini, ia menggigit sebagian payudaraku itu disertai jeritanku. Gila, rasa sakitnya bukan main.

“Ini, kamu coba sendiri.” Ia menarik potongan payudara dari ujung tombak.

Uhhh … rasa nyerinya terasa saat payudara itu lepas dan bergesekan dari tombak itu. Ia menyodorkan sisa bagian payudara kananku itu ke depan wajahku. Aku pun menerimanya. Aku amati potongan payudara berwarna cokelat tua yang telah digigitnya sebagian dan menyisakan bagian separuhnya beserta puting dan areola. Tangan kiriku memegang payudara ini, lalu tangan kananku mencoba mencubit putingku.

“Aaawww!!”

Gila, ini benar-benar seperti hidup.

“Itulah perbedaan alam ini dengan alam sebelumnya,” ujarnya. “Sekarang, cobalah kamu makan sendiri.”

“Tapi…,” kataku ragu.

“MAKAAAAAAAN!!!” perintahnya dengan suara yang menakutkan.

“I-iya .. iya.” Aku coba memakannya. Aku makan dari puting dan areola, lalu ke bagian terdalamnya. Benar apa yang diucapkannya, saat kugigit, aku juga merasakan sakit. Akhirnya dengan terpaksa, aku gigi-gigit payudaraku ini lalu aku telan sambil meringis kesakitan. Aku seperti menggigit toketku hidup-hidup.

“Hahahahaha, bagus! Bagus!”

Aku tak menyangka dapat memakan payudaraku sendiri.

“Saya tahu, kamu suka dengan hal itu. Kamu bisa menjadi budakku untuk aku makan kapan saja, seperti mereka berdua.”

“Mereka?” tanyaku dalam hati.

Tiba-tiba dari sudut ruangan gelap di sana, muncul dua wanita telanjang yang berlari kecil ke arahku.

“Angela? Cef Jessica?”

“Haaaaiii…” sapa mereka berdua.

“Kak Siska, nggak nyangka kita ketemu lagi.”

“Eh, iya. Maksudnya apa ini?”

“Kita berdua sudah jadi budaknya Ki Bahuwirya, penguasa lelembut di hutan seberang sana. Kita bisa menjadi makanan beliau dan rekan-rekannya kapan aja yang dikehendakinya. Kakak mau gabung, enggak?”

“Wah sepertinya seru, Siska ikut deh.”

“Selamat, Ki. Kita ada teman baru,” kata Cef Jessica setelah aku menyetujuinya.

“Hahahaha. Sekarang kamu adalah salah satu budakku.”

“Tapi …,” kataku sambil menunduk ke bawah. Kulihat dadaku tumbuh sepasang payudara lagi, seolah-olah aku kembali normal.

Gila, aku tak menyangka hal ini benar-benar nyata. Aku selamanya bakal jadi makanannya. Uhhh, aku jadi horny membayangkannya.

“Benarkan kamu bersedia?” tanya sosok jelek yang cuma menggunakan kolor itu.

“I .. iya. Siska bersediah, Ki …”

“Ki Bahuwirya,” sambung Angela.

“Ucapkan sekali lagi,” pinta si kepala kerbau bermata merah itu.

“Saya Siska. Saya menyatakan bahwa saya bersedia menjadi budak Ki Bahuwirya.”

“Bagus. Dengan begitu, sampai hari penghakiman tiba, kamu akan jadi budak saya.”

“Iya, Ki. Ke neraka pun, saya akan ikut kok.”

“Hahahaahahahaha!”

Tiba-tiba di tengah dada, di atas sepasang payudaraku, terdapat simbol berwarna merah. Rasanya nyeri saat simbol itu muncul. Rasanya seperti terbakar. Setelah itu rantai kalung yang membelenggu di leherku lenyap.

Ternyata, simbol itu ada di tubuh Angela dan Cef Jessica. Hanya saja simbol itu bukan di dada seperti milikku. Angela memiliki simbol di paha kiri, sedangkan Cef Jessica di pinggang sebelah kanan.

“Selain dimakan, kamu bisa saya hamili, juga dihamili oleh makhluk yang saya kehendaki.”

“Dihamili? Maksudnya ngentot gitu?”

“Hihihi, iya kak. Ini aja aku abis ngelahirin dua siluman buaya. Dan, Cef Jessica lagi hamil juga,” kata Angela.

“Eh, hamil? Kok gak keliatan besar?” tanyaku penasaran.

“Saya baru, kemarin berhubungan badan. Belum tentu hamil sih, tapi moga aja jadi.”

“Amiin,” seloroh Angela.

“Nggak nyangka ya, jadi arwah bisa hamil.”

“Bangsanya Ki Bahuwirya memang begitu. Mereka juga bisa beranak pinak seperti manusia,” jelas Cef Jessica.

“Nanti kak Siska bisa ngelihat jelas kaum Ki Bahuwirya di hutan sana bagaimana.” Angela menambahkan

“Wah, boleh tuh,” jawabku.

“Kamu mau ke kerajaan saya?” tanya Ki Bahuwirya dan langsung kujawab dengan anggukan kepala.

“Bagus. Tapi sebelum pulang, kita pergi ke tempat yang dulu menjadi wilayah kekuasaan saya di pulau seberang sana.”

“Siap, Ki. Pokoknya, nyawa Siska ini milik Ki Bahuwirya.”

“Hahahahahaha,” tawanya senang seraya mengeluskan tiga jari kirinya yang kasar, berkuku panjang, dan besar itu ke rambutku. Aku pun sudah menyatakan menjadi budak kepadanya. Sampai kiamat tiba, aku bisa menikmati bagaimana diriku dimakan dan dihamili oleh bangsa lelembut sepertinya, selamanya …



SELESAI
 
waduh setelah sekian lama update super panjang sampe tamat wkwk. izin baca ya hu selamat juga atas selesai nya cerita yang menarik ini. di tunggu juga karya lain nya hehehe
 
Selamat kak, atas status Tamat nya.
Gak kerasa udah hampir 3 tahun lebih cerita ini. Semoga gak bosen dan terus semangat nulis.
Btw, setelah membaca update terakhir ini kok aku jadi nambah selera makan, hihihi. 😁
 
Setelah menunggu selama 137 tahun akhirnya tamat, terima kasih walau akhirnya adalah mistis...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd