Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Kumpulan Cerita Pendek

Bimabet
•••••

6. Lamunan Toni



TONI berbaring di sofa nonton televisi, tetapi pikirannya tidak konsen pada acara televisi yang ditontonnya. Toni membayangkan vagina kakaknya, Rena.

Tadi pagi Toni menemukan celana dalam Rena di kamar mandi. Toni mencium celana dalam Rena dan sensasi aroma vagina Rena yang menempel di celana dalam Rena membuat Toni mabok kepahyang dan darahnya menggelegak-gelegak meletup-letup seperti kawah lahar di puncak gunung merapi.

"Toniiii...iiii... sini bantu Mama jemurin pakaian..." panggil Ratna, Mama Toni.

Aduhhh... nih Mamah, mengganggu ajah deh... gumam Toni kesel. Kalo Toni tidak membantu mamanya, dia terancam tidak mendapat uang saku dari mamanya.

Toni malas-malasan bangun dari sofa, tetapi dia pergi juga membantu mamanya. Toni tertegun beberapa saat memandang Ratna yang masih membilas pakaian di dalam kamar mandi sebelum dia mengangkat ember yang diletakkan oleh Ratna di luar pintu kamar mandi.

Ratna hanya memakai sepotong handuk kecil menutupi tubuhnya yang sintal. Buah dada Ratna yang montok cuma putingnya saja yang tidak kelihatan oleh Toni, selebihnya bisa dilihat oleh Toni dengan bebas. Toni hampir saja menubruk Ratna kalau dia tidak mampu menguasai napsunya.

Toni hanya cukup menarik sedikit handuk Ratna, sudah membuat Ratna telanjang bulat di depan Toni. Toni sudah tidak bersemangat lagi menjemur pakaian, semangatnya sudah habis terkuras membayangkan tubuh Ratna.

Gila, aku bisa dibuat gila oleh kedua perempuan di rumah ini, batin Toni.

Selesai mandi, Ratna mengupas kentang. Tetangganya ada yang minta dibikinkan perkedel. "Mah, kok Mamah nggak mau operasi tetek?" tanya Toni sengaja mengganti kata "payudara" menjadi "tetek".

"Operasi tetek apa?" balas Ratna kaget.

"Itu...lo, yang kemarin Mamah cerita sama Tante Wahyu dan Tante Merry di depan rumah," jawab Toni memijit-mijit pundak mamanya.

"O... itu?" Ratna ingat. Kemarin mereka lagi omongin Ibu Lisye operasi memperbesar payudara. Payudara Ibu Lisye terlalu kecil, lalu diperbesar dan putingnya juga dipermak menjadi lebih menonjol, sehingga Ibu Lisye menjadi omongan para tetangganya yang kurang kerjaan.

"Tante Lisye teteknya kan kecil, jadi diperbesar, Ton. Kalo Mama, ngapain diopeasi? Tetek Mama sudah besar, lagi pula mau banyak duit buat operasi, ratusan juta..." lanjut Ratna.

Dari belakang, Toni nekat memajukan tangannya memegang payudara mamanya yang tidak dibungkus dengan BH. Jantung Toni berdebar-debar takut dibentak oleh mamanya.

Tetapi Ratna hanya berkata, "Ya... kan?"

Mama ternyata tidak memarahi aku memegang teteknya, ujar Toni senang dalam hati.

"O... iya, ya...?" balas Toni. "Boleh Toni lihat nggak, Mah?"

"Buat apa kamu lihat, kamu kan sudah nggak netek..."

Tapi Toni nekat mengangkat kaos yang dipakai mamanya. "Aduhh... aduhhh... aduhhh... Mama lagi sibuk, nih... ahh... kamu ini ada-ada aja deh..." kata Ratna terpaksa dia mengalah memberikan kaosnya dinaikkan oleh Toni.

Wuawww... seru Toni dengan mata terbuka terbelalak menyaksikan payudara mamanya yang montok menggelantung indah dengan puting yang besar berdiri mencuat. Toni seperti sedang bermimpi, tapi dia bisa merasakan bau harum tetek mamanya yang baru mandi.

Toni mengenyot pentil tetek mamanya. "Aduuhh... awww... Toniii... uugghh... pelan-pelan dong ngisepnya..." seru Ratna merasakan hisapan mulut Toni pada pentilnya seperti menyedot-nyedot rahimnya sehingga pada saat yang sama Ratna merasakan cairan vaginanya mengucur deras seperti dia sedang kencing.

Maklum sudah sekian lama payudara Ratna menganggur sejak suaminya bekerja membantu di peternakan ayam saudaranya dan pulang suaminya ke rumah tidak teratur. Suaminya pulang kadang dia lagi haid atau lagi tidak napsu... ya sudah, lewat begitu saja nggak main sex dengan suaminya.

Tiba-tiba penis Toni terlintas di pikiran Ratna. Ohh... nggak! Nggak..! Jangan...! Jangan... dia anakku... kata Ratna memberontak di dalam hatinya. Buru-buru dia mencabut puting payudaranya dari mulut Toni.

"Arrgghh... Toniii... geliii..."

"Lain kali boleh lagi ya, Mah...?" tanya Toni.

"Nggak boleh sering-sering, kamu sudah besar, nanti 'itu'mu berdiri," jawab Ratna.

"Memang sudah berdiri sejak tadi sih, Mah... nih..." Toni menunjukkan celana pendeknya pada Ratna.

Oo... glekk... Ratna menelan ludah memandang penis Toni yang berdiri tegang masih terkurung celana pendeknya. "Sudah, pergi sana... nanti pekerjaan Mama jadi gak selesai-selesai nih..." kata Ratna beralasan supaya gairahnya cepat mereda.

Tapi Ratna ditinggalkan oleh Toni malah Ratna merana kesepian sendirian dan gelisah. Gawat, kalau begini, batin Ratna. Ahh... gara-gara si Toni nih... ada-ada saja tuh anak, pakai ngisep tetek segala...

Ratna menikah pada usia yang masih cukup muda. Usia 20 tahun Ratna sudah menikah. Sedangkan suaminya berumur 30 tahun. Pada usia 22 tahun Ratna melahirkan anak yang pertama, Rena. Tiga tahun kemudian lahir Toni. Sekarang Toni sudah berumur 18 tahun, murid kelas XII SMA, sedangkan Rena berumur 21 tahun, mahasiswa fakultas hukum semester 5.

Akhirnya Ratna memanggil Toni, "Toniii... siniii..."

"Ada apa, Mah?" tanya Toni menghampiri Ratna.

"Pijitin Mama, dong..." suruh Ratna.

"Upahnya nenen ya, Mah..."

"Gampang..." jawab Ratna sambil mengupas kentang dengan pisau. Kentang yang belum dikupas kira-kira masih ada 6 atau 7 biji.

Toni memijit pundak Ratna. Toni bersemangat sekali karena sekarang dia mau netek sudah nggak usah takut lagi dengan mamanya, kapanpun bisa.

"Itumu masih berdiri, ya?" tanya Ratna tidak berapa lama pundaknya dipijit oleh Toni.

"Sudah nggak, Mah. Emangnya kenapa, Mah?"

"Kamu jangan nakal lo, ya?"

"Nakal apa sih, Mah? Pulang sekolah aku di rumah mulu..."

"Mama cuma kasih nasehat sama kamu. Mama tau kamu anak yang baik..." kata Ratna.

"Ya Mah, aku sayang sama Mamah, aku nggak bakalan nakal." jawab Toni.

"Sini Mama cium..." minta Ratna senang mendengar anaknya berkata begitu.

Bukan hanya Ratna, tetapi setiap ibu mendengar anaknya berkata begitu pasti senang. Ratna memberi kecupan pada pipi Toni.

Setelah itu Ratna memandang Toni. Ratna tersenyum. Ratna meninggalkan pisaunya di meja..., meninggalkan kentangnya yang sudah dikupas di baskom dan melupakan sejenak kesibukannya di dapur. Ratna menarik Toni ke kamar.

"Mamah mau ini," kata Ratna memegang celana Toni.

Toni tau apa yang dimaksud oleh Ratna "mau ini". Toni langsung melepaskan celana pendek dan kaosnya. Dengan telanjang Toni mencium bibir Ratna. Ratna membalas. Toni meremas selangkangan Ratna yang hangat dan sudah basah. Ratna merintih nikmat ketika memeknya ditusuk oleh kontol Toni yang keras.

Gelombang kenikmatan demi gelombang kenikmatan datang silih berganti menerjang tubuh Ratna ketika memeknya disodok kontol Toni. Sudah lama Ratna tidak bersetubuh membuat dia menjadi liar di tempat tidur bersama Toni, anaknya. Sebodoh amat, nggak ada yang tau ini, batin Ratna.

"Jangan ngomong ya? Nanti kamu cerita lagi sama teman-teman kamu," kata Ratna.

"Nggak, aku juga tau sih nggak boleh..." jawab Toni menaik-turunkan pantatnya menggenjot memek mamanya.

"Kalau sudah tau nggak boleh, kenapa kamu mau?"

"Ee... Mama sih..." jawab Toni. "Mmmhh... memek Mama enak..."

"Huss... jangan kuat-kuat ngomongnya!"

Toni merasa dirinya sangat beruntung. Dari hanya sekedar iseng, tapi sekarang dia bisa menikmati tubuh mamanya, tidak hanya dia bisa netek, tapi dia bisa ngentot dengan mamanya. Dia menusuk kontolnya dalam-dalam ke liang memek Ratna yang basah dan enak.

"Agghhh..." jerit Ratna tertahan. Sungguh nikmat ketika batang yang keras itu menusuk rahimnya, dan tergesek-gesek biji kelentitnya.

Ratna menggoyangkan pantatnya yang montok. Berputar, naik-turun sehingga membuat Toni melayang, kantong air maninya seperti diperas. "Ohh... Maahh..." jerit Toni.

"Enak?" tanya Ratna.

"Ya enak, hampir mau keluar..." jawab Toni dengan wajah meringis menahan nikmat yang teramat sangat luar biasa karena sebentar lagi air maninya akan nyemprot ke liang memek mamanya untuk pertama kalinya.

Ratna juga menunggu saatnya datang semburan air mani anaknya yang masih perjaka tulen. Toni menggenjot memek mamanya dengan lebih cepat dan bertubu-tubi. Plokk... plokk... plokkk...

"Oohhh.. ohhh... arrgghh..." teriak Toni menghisap pentil tetek mamanya kuat-kuat sembari ditekannya penisnya sedalam-dalamnya ke rongga memek Ratna. "Terimalah air maniku, istriku sayang. Ohhh... memekmu luar biasaaaaaa... Ratnaaaaaahhh.... croottt.. crroottt.. crattt... crettt... crootttt..."

Ratna menarik napas dalam-dalam menikmati semprotan lahar kental anaknya yang hangat menerobos dinding rahimnya bersatu dengan sel telurnya yang sudah menunggu dibuahi.

Ratna lupa dia sedang masa subur!

****o0o****

Malam itu menjadi malam yang paling indah bagi Ratna dan Toni. Di atas tempat tidur dia dan Toni berpelukan dengan telanjang bulat seperti pengantin baru. "Mau lagi ya sayang?" tanya Ratna.

"Hee.. hee.. mau dong, Mah... enak sih..." jawab Toni cepat.

"Nggak boleh sering-sering dong..."

"Kenapa nggak boleh sering-sering sih? Kan kita sudah suami istri?" jawab Toni.

"Kamu masih anak Mama, bukan suami-istri. Di dinding rumah kita nih banyak lubangnya. Kalau kedengaran orang gimana?" balas Ratna.

Toni meraba-raba memek Ratna. "Kalo gitu aku cium aja ya, Mah."

"Huhh... ilmu apa itu pakai cium segala? Apa kamu nggak jijik?" tanya Ratna.

Soalnya Ratna saja jijik melihat memeknya sendiri, belum lagi baunya. Hiiii...! Sudah 24 tahun menikah suaminya sendiri saja belum pernah mencium memeknya.

"Kenapa jijik? Kalau bukan punya Mamah, baru jijik..."

"Yaudah, coba kamu lihat saja..." suruh Ratna membuka lebar pahanya untuk Toni.

Toni membuka lebar dengan jarinya kedua lembar daging yang menutupi belahan memek mamanya. Jembut Ratna hanya sedikit, banyakan jembut Toni. Lalu Toni menjulurkan lidahnya menjilat belahan memek Ratna. Ratna tersentak seperti aliran listrik menyambar tubuhnya.

"Toni...! Astagaaaa... oughhhh..." Ratna menjerit tersendat.

Toni seperti mendapat mainan baru. Toni masa bodoh dengan jeritan Ratna. Dua jarinya masuk ke lubang memek Ratna mengorek rahim Ratna, sedangkan mulutnya menjilat-jilat kelentit Ratna. Ratna mana tahan?

Pantatnya menggelepar-gelepar naik-turun di tempat tidur. "Oohhh... aaahhh... ooogghh... aaahhh... aahhhh..." teriaknya membelah kesunyian malam.

Entah apa rasanya. Peredaran darah di sekujur tubuhnya seperti tidak teratur. Huuhhh...

"Sudah... Toniii...! Sudahhh... sudahh... sudahhh... Mama gak tahan..." teriak Ratna.

Jari Toni jadi basah kuyup dengan cairan memek Ratna yang berbau amis. Sewaktu Toni mencabut jarinya, lendir Ratna langsung menyembur dari lubang memeknya, cussss...

Ratna menghembuskan napasnya dengan kuat, huuhhh... gila, katanya. Tubuhnya rasanya benar-benar enteng.

"Kamu dapat ilmu begini dari mana, Ton? Ahh... kamu ini bikin tulang belulang di tubuh Mama jadi seperti mau rontok saja! Entah apalagi deh rasanya..." kata Ratna.

"Wah... Mamah ketinggalan zaman..." jawab Toni. "Itu belum seberapa..."

"Masih ada lagi?"

"Aku jilat lagi ya, Mah?"

"Terserah kamu, Mama manut aja..." jawab Ratna pasrah sepenuhnya pada Toni.

Lagi-lagi Toni menjilat memek mamanya. Kali ini Ratna bisa menguasai diri. Tapi Ratna kembali menjerit ketika lubang anusnya ditusuk oleh Toni. Tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali merasakannya saja. Namun yang dirasakan oleh Ratna yang enak justru bukan di anus yang dicolok-colok Toni, melainkan pada hisapan-hisapan mulut Toni di kelentitnya.

Seperti aliran listrik ribuan volt menyengat rahimnya sehingga membuat rahim Ratna kontraksi seperti menjelang mau melahirkan.

"Oohhh... oohhh... oohhh... agghhh..." rintih Ratna kembali tidak bisa menahan diri seperti tadi.

Tubuhnya kejang-kejang, nikmatnya luar biasa selangit. "Sheeiittt... aaa... aaa... aaaa..... aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa...." Ratna menjerit sekuat-kuatnya.

Tubuhnya kelonjotan di tempat tidur seperti mau menjelang ajal, jantungnya berdebar-debar kencang, napasnya memburu.

Toni menjebloskan kontolnya segera ke memek Ratna yang masih berdenyut-denyut orgasme. Dipompanya dengan cepat. Plokkk... pllokkk... plokkk... plokkk...

Tangan Ratna hanya bisa mencengkeram kain seprei sekuat-kuatnya ketika rahimnya disiram dengan air mani Toni. Tubuhnya mandi keringat. Lemes, lelah, capek tapi nikmat sampai ke ujung kakinya sampai lemes.

Hingga tengah malam mereka masih bertanding...

****o0o****

"Mumpung Toni belum bangun," kata Rena dalam hati selesai dia mandi masih memakai handuk dia menghidupkan kompor membuat mie instan, karena di lemari dapur tidak ada stock mie instans lagi, hanya satu-satunya.

Tiba-tiba dia dipeluk dari belakang. "Toniii...! Kurang ajar ya kamu...! Nanti aku teriak, ya?" teriak Rena.

"Jepit kontolku, setelah itu baru teriak." jawab Toni tidak takut.

"Nggak, kontolmu ngaceng, nanti muncrat ke memek aku, aku gak pakai apa-apa... lepaskan aku..."

"Nggak akan," jawab Toni mematikan kompor yang sedang menyala. "Mau lapor sama Mamah silahkan..."

Soalnya Toni punya senjata. Dua malam dia tidur dengan Ratna, entah berapa mililiter maninya sudah dia tanam di rahim Ratna sebagai investasi.

"Toniiii... nanti aku terlambat nih kuliah..." mohon Rena.

"Sebodoh...!" jawab Toni nekat sembari menyelipkan kontolnya di belahan pantat Rena.

"Oke, tapi janji ya kalau pejumu keluar jangan semprotkan di memek aku, ya." jawab Rena mengalah karena setelah dia pikir-pikir, kalau Toni mau perkosa dia, apa susahnya sih? Ujung kontol Toni tinggal 1 atau 2 sentimeter lagi sudah mencapai bibir memeknya. Tetapi Toni tidak melakukannya.

Dasar tol*l si Toni, dapat yang enak nggak mau, batin Rena.

Rena menjepit batang kontol Toni pas di selangkangannya. Toni pun memaju-mundurkan pantatnya sambil memeluk Rena dari belakang. Sekali dua kali Toni memaju-mundurkan kontolnya Rena masih bisa tahan.

Tapi detik berikutnya ketika Toni mengocok kontolnya lebih gecar, memaksa Rena membungkukkan tubuhnya sehingga pada saat yang sama Rena merasa memeknya disundul-sundul oleh kepala kontol Toni.

Tidak berapa lama kemudian, Rena pun menahan laju kontol adiknya itu di selangkangannya. "Masukin pelan-pelan, awas ya kalau sampai Mama tanya aku..."

Rena menekan kepala kontol Toni ke lubang memeknya. Sleeppp... sleeeppp... sleeppp... Toni memaju-mundurkan kontolnya di lubang memek Rena yang sempit. BLESSSS....

Toni yang belum pernah merasakan memek perawan tentu saja tidak tahu bagaimana rasanya. Saat itu dia hanya bisa membedakan memek Ratna dengan memek Rena. Memek Rena sempit menjepit kontolnya, sedangkan memek Ratna tidak, malah longgar dan becek sehingga membuat kontol Toni sering terpeleset.

Toni menarik lepas handuk Rena, dan dia juga melepaskan kaosnya sehingga kakak beradik itu telanjang bulat. Toni meremas-remas tetek Rena yang kecil. Rena merintih nikmat.

Akhirnya mereka pergi dari depan kompor, pindah ke kamar Rena. Rena berbaring di tempat tidur dengan pasrah merelakan teteknya diremas dan dihisap oleh adiknya, sedang jari Toni berjalan maju-mundur hilir-mudik di lubang sanggama kakaknya yang basah. Setelah beberapa saat, Toni lalu berpindah ke selangkangan Rena. Selangkangan Rena polos, nggak ada jembutnya. Toni tidak peduli.

Toni menjilat memek Rena. Khayalan Toni beberapa hari yang lalu terbayarkan sudah. Rena menggelinjang nikmat. "Aggg... aaggg... agghh... Toniii... agghh... agghhh... agghhh..." rintih Rena.

Lidah Toni bagaikan ular sanca meliuk masuk ke lubang memek Rena mematuk semua yang ada di sana. Rena menggepar-gelepar di tempat tidur sembari ngeremas teteknya sendiri. Dari sejak duduk di bangku SMA Rena sudah "rajin" masturbasi. Jadi dia tahu bagaimana nikmatnya ketika memeknya dioral oleh adiknya.

"Toniiii... aggghhh... agghhh... oooohhh... aa... akuhhh... sudd... suddahh... maa... maauuu... kluuu... uuarrrhh.... hhhhh..." jerit Rena dengan napas tersengal-sengal. "Aaarrrrhhgggggghhhhhh....." teriak Rena kemudian tidak mampu menguasai dirinya lebih lama lagi.

Pacarnya blo'on, sudah beberapa kali 'main sex' tapi tidak bisa membuat Rena klimaks. Hanya tubuhnya saja yang besar atletis, kalah dengan Toni yang bertubuh kecil tapi bikin ia orgasme.

Toni menusuk lubang memek Rena dengan kontolnya. Sleeppp... bluusss... argghhh... teriak Rena merasa lubang memeknya penuh dan hangat oleh kontol Toni yang sekeras batu granit.

Gila nih kontol... gumam Rena dalam hati, bisa bikin gue ketagihan nech...

Rena menggoyangkan pantatnya menemani cucukan kontol Toni pada lubang memeknya. Setiap cucukan kontol Toni, membuat Rena pengen orgasme lagi.

Demikian juga dengan Toni. Memek Rena luar biasa nikmatnya dibandingkan dengan memek Ratna yang bikin kontolnya terpeleset terus, sedangkan memek Rena bisa mencengkeram kontolnya seperti rem yang pakem.

Jadi ketika Toni menarik dan memajukan kontolnya keluar-masuk batang kontolnya yang tergesek dinding memek Rena menimbulkan rasa nikmat yang mendalam.

Rena pun sudah lupa dengan jadwal kuliahnya. Dia dan Toni berciuman mesra dengan kontol Toni yang masih maju-mundur di memeknya. Sebentar lagi air mani Toni mau keluar.

"Arrgghhh..." Toni menjerit sembari disodoknya lubang memek Rena dalam-dalam sampai Rena tersentak, "Hekkk..." keluar suara dari mulutnya sewaktu rahimnya tertekan kepala kontol Toni.

CROTTTT... SHERRRR.... CROOTTTT... CROTTTTT....

Terlambat....

"Tonii... masa sih ngucurin di dalam?" teriak Rena marah.

"Aku bertanggungjawab, takut amat sih..." jawab Toni enteng memungut pakaiannya pergi dari kamar Rena.

Rena sedikit tenang karena Toni tidak menanyakan keperawanannya. Rena bercinta dengan Toni lagi kalau dia tidak sibuk dengan kuliahnya. Mereka berjalan bersama pergi ke mall, makan di restoran Jepang, minum kopi di kedai kopi favorit dan cari tempat menginap di villa.

Toni memang menganggap Rena sebagai pacarnya, demikian pula dengan Rena. Sedangkan Ratna hanya bisa duduk terpaku di depan meja dokter kandungan yang dikunjunginya, sebab di rahimnya sudah tumbuh benih Toni selama 3 minggu. (2020)
 
•••••

7. Mama Sibuk


SEJAK mama aktif di sebuah badan sosial, aku tidak pernah lagi sarapan pagi dengan mama. Papi-pagi sebelum aku bangun, mama sudah berangkat, pulangnya malam. Kalau pun aku berada di rumah dan belum tidur, mama sudah malas ngobrol dengan aku karena mama sudah kelelahan.

Begitu pula dengan papa. Sejak papa diangkat menjadi manager, papa selalu sibuk dengan pekerjaan barunya di luar kota. Kalau pun papa pulang ke rumah, paling-paling sehari dua hari kemudian pergi lagi untuk 3 atau 4 bulan.

Barangkali kondisi yang seperti inilah, kemudian membuat mama mencari kesibukan di luar rumah, sedangkan aku seperti anak ayam kehilangan induk. Akibatnya aku menjadi anak yang nggak benar, jatuh cinta pada tukang cuci gosok pakaian yang umurnya jauh lebih tua dari umurku sebanyak 19 tahun dan sudah punya anak 3 orang, suaminya seorang kuli bangunan.

Dari mbak Poniyem inilah aku belajar seks. Biasanya aku melakukan hubungan seks dengan mbak Pon pada pagi hari sewaktu ia datang mengambil cucian. Awalnya aku dengan mbak Pon tidak saling tertarik.

Wajahnya tidak cantik, teteknya juga sudah kendor dan kecil. Akan tetapi pada suatu sore aku ke rumah mbak Pon yang terletak di kampung yang tak jauh dari belakang rumahku hendak menanyakan padanya apakah ia menemukan flashdisk aku di kantong celanaku. Mbak Pon keluar dari belakang rumahnya menemui aku di ruang tamunya memakai handuk pendek.

“Ehh, nyangka siapa? Ada apa dik Tito?”

“Cuma mau tanya, mbak! Apakah mbak ketemu flashdisk aku di kantong celana?”

“Oo... nggak tuh dik Tito, mbak nggak ketemu apa-apa. Duduk dulu dik Tito, mbak ambilkan minum...”

“Nggak usah mbak, aku mau pulang!” jawabku. Entah kenapa saat itu aku bisa memegang lengan mbak Pon sewaktu ia mau pergi ke dapur.

Dan mbak Pon kupeluk. “Jangan disini dik Tito, kita di dapur saja!” kata mbak Pon.

Aku menuruti ajakan mbak Pon. Di dapurnya yang sepi, mbak Pon membuka celanaku, lalu ia meremas penisku sampai penisku tegang. Kemudian ia nungging di depan meja mengangkat bagian bawah handuknya. Inilah pertama kali aku merasakan vagina seorang wanita.

Mbak Pon merampas keperjakaanku. Sejak saat itu aku dan mbak Pon melakukan hubungan sex seperti suami-istri, bahkan lebih sebab apa yang mbak Pon tidak dapatkan dari suaminya, ia dapatkan dari aku.

Pakaian bagus, makan enak dan sex, sungguh perpaduan yang harmonis sehingga membuat seorang wanita tidak sanggup melarikan dirinya dari seorang laki-laki. Mbak pon hamil, aku tidak kaget dan aku anggap itu wajar.

****(*)****

Pada suatu malam aku beruntung. Aku bisa berbicara dengan mama. “Ma, sudah lama kita nggak sarapan sama-sama. Besok pagi kita sarapan sama-sama lagi ya, ma?” kataku pada mama.

Entahlah mama mendengar apa tidak, tapi pagi-pagi aku mendengar mama sibuk memanggil aku. “Tito... cepat... cepat kalau mau sarapan sama mama... mama mau pergi lagi, nih...” panggil mama.

Aku pergi ke kamar mandi menyikat gigi dan membasuh mukaku, kemudian aku masuk ke dapur. Mama masih memakai pakaian tidur mempersiapkan sarapan di depan kompor. Pakaian tidur mama yang berwarna merah jambu itu tipis, sehingga celana dalamnya menerawang dan mama tidak memakai bra.

Aku duduk di depan meja makan. Mama menaruh sepiring mie goreng di depan aku dan segelas teh. Sengaja aku memeluk pinggang mama. “Terima kasih ya, ma...” ucapku menengadah memandang mama yang berdiri di sampingku dan saat itu terlihat olehku payudara mama yang menerawang.

Payudara mama kecil seperti payudara anak remaja berumur 15 tahun, tapi putingnya besar panjang seperti buah melinjo. “Mama minta maaf, nggak bisa menemani kamu sarapan lagi. Mama sibuk. Sebentar nih, mama mau pergi lagi...” kata mama. “Uang saku kamu masih cukup, nggak?” tanya mama.

Hanya uang saku yang ditanyakan, bukan kebutuhan batinku. Aku menarik mama mendekat lalu kucium payudaranya dari luar baju tidurnya yang wangi.

“Hmmhh...” desah mama.

Aku memandang mama dan mama tersenyum, kemudian mama mengelus rambutku dengan telapak tangannya. “Mama tidak punya tetek, sayang...”

Aku memegang putingnya dengan jari jemariku. “Indah...” kataku.

Mama menunduk mengecup keningku. “Aku hisap ya, Ma?” mintaku.

“Mama tunggu kamu di kamar ya, sayang? Selesai makan, kamu ke kamar mama.” suruh mama.

Selesai makan, aku pergi ke kamar mama. Mama sedang berdandan di depan cermin mengenakan handuk di tubuhnya. Aku memeluk mama dari belakang. Kuciumi pundaknya yang telanjang dan kucumbui lehernya. “Hmmm... wangi, Ma...” desahku.

Mama membalik tubuhnya berhadapan dengan aku dan kedua tangannya dilingkarkannya ke leherku. Mama mengecup bibirku. “Oohh.. habis makan, nggak cuci mulut, ya?”

“Terima kasih untuk sarapan paginya, ma. Enak!” kataku.

Mama mencium bibirku. Bagiku, ciuman bibir adalah biasa, sehingga kulumat bibir mama, dan kutarik lepas handuk yang membungkus tubuhnya. Mama tidak memakai apa-apa di dalam handuknya.

Kudorong tubuh mama yang telanjang ke tempat tidur, lalu segera kulepaskan celana pendekku. Setelah itu, aku membuka lebar paha Mama. Mama tidak mempunyai bulu kemaluan. Memeknya berwarna coklat tua, kering dan keriput di bagian pinggirnya.

Aku mencoba membuka bibir memek mama dengan jariku, lalu kumasukkan jariku ke dalam lubang memek Mama. Mama menggelinjang. “Oohh... sayang... ayo, pakai penismu puaskan mama, jangan pakai jari. Pakai jari kaku, nggak enak...” kata mama.

Kudorong saja penisku yang tegang itu masuk ke lubang memek Mama. “Hhmmmm...” mama mendesah nikmat merasakan penisku yang keras itu memenuhi lubang memeknya.

Lubang memek mama pasti sudah lama tidak dipakai oleh papa, karena sedikit seret dan agak kaku, nggak elastis. Tapi bagaimana pun memek mama lebih nikmat dari memek mbak Poniyem. Segera kuentot mama, kugoyang-goyangkan penisku di dalam lubang memeknya.

“Ooohh... ooohhh...” desah Mama ikut meliuk-liukkan pinggulnya.

Batang penisku menggesek-gesek dinding memek mama yang licin. Rasanya sungguh nikmat tiada taranya. Aku tidak mau kehilangan kesempatan tersebut. Aku minta mama nungging.

Mama mau melakukannya untuk aku. Mama nungging di tempat tidur membiarkan penisku menghujam ke lubang memeknya lagi dari belakang, tapi kulihat lubang anus mama agak besar. Terus kubasahi jari telunjukku dengan ludah, lalu kucolok lubang anus mama dengan jari telunjukku.

Mama tidak protes, kemudian kupindahkan penisku dari memek mama ke lubang anusnya. Kugenjot lubang ketat itu. “Ahhh... aahh.. aahhh... “ rintih mama.

“Jangan suka meninggalkan aku lagi ya, ma? Aku mencintai mama...” kataku dengan napas tersengal-sengal.

“Ya, sayang...” jawab mama.

Kulepaskan penisku dari anus mama. Kupeluk mama. Mama nggak jadi pergi hari itu. Kami jalan-jalan di mall sambil mama pedicure dan manicure, lalu kami makan.

Hari-hari mama memang masih sering ikut kegiatan sosial, tapi sudah tidak seperti dulu lagi. Mama lebih sering memakai waktunya di rumah bersamaku. (2019)
 
•••••

8. Di Sebelah Rumah


NAIK bus malam pulang dari Surabaya, badan saya sakit semua. Bukan karena bus malamnya kurang nyaman, tapi mungkin karena faktor usia seperti saya yang sudah tidak cocok naik bus malam untuk perjalanan jauh. Usia saya 40 tahun, bini saya berumur 37 tahun, anak kami 3 orang.

Bini saya seorang karyawan, sedangkan ketiga anak kami masing-masing sekolah di tingkat SMU 2 orang, tingkat SMP 1 orang. Kapan terakhir saya memijit, saya tidak tahu. Seingat saya sejak kecil saya tidak pernah dipijit, tidak seperti teman-teman kantor saya yang suka nyolong waktu kerja mampir ke panti pijit. Tapi entah kenapa sekarang, terpikir oleh saya ingin memijit badan saya yang sakit ini.

"Bu, Bapak ada di rumah?" saya bertanya pada istri Pak Kondang, tetangga sebelah rumah saya yang kebetulan sedang menyapu teras rumahnya.

"Lagi ngantar Tari les, ada apa Pak Toro? Dengar-dengar Pak Toro kemarin ke Surabaya, ya?"

"Itulah... badan jadi sakit semua, Bu."

"Kenapa?"

"Pulang naik bus malam, mungkin karena faktor U... pengen tanya Pak Kondang, dimana ya ada tukang pijit?"

"O... Pak Toro mau dipijit? Bagaimana kalau saya bantu? Ayo..."

"Wahh, saya jadi nggak enak nih, Bu!" kata saya malu.

"Nggak apa-apa, punya keahlian kalau nggak disalurkan kan mubazir?" jawab Bu Meriam, wanita berumur sekitar 60-an ini. "Mari, pijit disini saja, Pak Toro."

Sudah diajak, kalau saya tidak mau terima tawarannya, nanti saya dianggap sombong. Terpaksa saya pergi ke rumah Pak Kondang. Bu Meriam segera menyiapkan tempat untuk memijit di kamar.

Rumah Pak Kondang sepi karena anak mantunya bekerja dan cucunya hanya satu, iya Tari itu.

"Mari Pak Toro, ini sarung dipakai saja." kata Bu Meriam menyodorkan pada saya selembar sarung, setelah itu dia keluar dari kamar.

Saya menutup pintu kamar melepaskan pakaian saya, berupa T-shirt dan celana pendek. Kemudian saya membuka pintu kamar lagi setelah saya memakai sarung. Tidak lama kemudian Bu Kondang membawa segelas teh masuk ke kamar.

"Minum tehnya Pak Toro mumpung masih anget," suruh Bu Kondang menaruh segelas teh di atas meja dekat pembaringan.

Bukan kamar spesial buat memijit, tapi kamar buat tamu. saya kira. "Terima kasih, Bu." jawab saya.

"Pak Toro sudah siap? Ayo, saya pijit bagian belakang dulu, Pak Toro tengkurap." suruh Bu Kondang, wanita sederhana ini yang sehari-hari selalu memakai daster. Badannya gemuk.

Saya pun berbaring telungkup di pembaringan. Bu Kondang berdiri dipinggir pembaringan memijit pundak saya. Tangannya hangat dan sedikit kasar. Tidak lama kemudian, terdengar suara sepeda motor Pak Kondang.

"Waduh, ngerepotin Ibu nih, Pak!" kata saya sewaktu Pak Kondang berdiri di depan pintu kamar melihat istrinya memijit saya.

"Nggak apa-apa, nikmati saja Pak Toro, biar Ibu ada sedikit kesibukan menyalurkan bakatnya yang terpendam." guyon Pak Kondang, seorang pensiunan pegawai stasiun kereta api. "Saya tinggal ya, Pak Toro."

"Memang dulunya Ibu pernah jadi tukang pijit?" tanya saya pada Bu Meriam.

"Nggak, paling-paling juga mijit saudara."

"Ibu bisa mijit dari mana asalnya?" tanya saya.

"Ibunya Bapak! Nah, dulu itu mertua saya ini benar-benar tukang pijit." jawab Bu Meriam sambil mengurut bagian belakang saya dengan minyak.

Saya tidak bisa menilai enak atau tidak Bu Meriam mengurut. Pantat saya yang telanjang ikut diurutnya dengan menurunkan sarung yang saya pakai dari pinggang saya.

Setelah pantat saya diurut, sarung saya dikembalikan oleh Bu Meriam ke tempatnya, lalu dia mengurut paha saya. Terdengar suara orang memanggil Pak Kondang. Saya kenal dengan suara orang itu, Pak Anwar yang suka main burung dan ayam jago dengan Pak Kondang.

Bu Meriam keluar dari kamar, lalu memanggil Pak Kondang yang berada di dapur. Pak Kondang ngobrol dengan Pak Anwar, Bu Meriam masuk ke kamar lagi dengan mendorong pintu. Tidak rapat, hanya separuh supaya dari luar tidak kelihatan dia bekerja memijit saya.

Bu Meriam melanjutkan mengurut paha saya. "Pak Toro nggak suka memelihara binatang?" tanya Bu Meriam.

"Nggak Bu, nggak telaten!"

"Itu Bapak, entah ada berapa tuh burungnya di belakang sana. Yang belakang sudah selesai, balik Pak Toro," suruh Bu Meriam.

Saya membalik badan saya berbaring terlentang di pembaringan. Bu Meriam mengurut dada saya. Dari dada, pengurutan Bu Meriam turun ke perut saya. Pak Kondang dan Pak Anwar masih ngobrol di ruang tamu.

Bu Meriam berhenti mengurut perut saya. Dia keluar berkata pada suaminya, "Pak, nggak bikin kopi buat Pak Anwar?"

"Hee... hee... sebelum kesini saya sudah minum kopi di rumah, Bu." jawab Pak Anwar.

"Minum lagi..."

"Haa.. haa.. kebanyakan minum kopi nanti saya tambah item, Bu." kelakar Pak Anwar.

"Itu, di kamar ada Toro, lagi dipijit." lanjut Pak Kondang.

"Toro, ngapain loe?" tanya Pak Anwar.

"Lagi nggak enak badan pulang dari Surabaya," jawab saya dari kamar.

Bu Meriam kembali ke kamar. Bu Meriam naik ke atas pembaringan membuka lebar paha saya dan berlutut di antara kedua kaki saya. Bu Meriam mengurut kedua paha saya dengan kedua tangannya dari bagian atas dengkul saya menuju ke atas.

Sewaktu kedua tangannya menuju ke atas paha saya, dengan sendirinya sarung yang menutupi paha saya ikut terdorong ke atas oleh punggung tangan Bu Meriam.

Anggaplah sarung saya mengganggu tangan Bu Meriam, lalu Bu Meriam menaikkan sarung saya.

Tapi apa yang terjadi? Penis saya keluar dari sarung. Malunya saya saat itu... tapi sudah percuma, penis saya sudah berada di depan mata Bu Meriam.

Saya membiarkan Bu Meriam terus mengurut paha saya. Sekali lagi saya dibikin terkejut oleh Bu Meriam.

Setelah beberapa kali dia mengurut kedua paha saya, bukannya dia berhenti, tapi dia meneruskannya ke atas, meraba biji peler saya dan penis saya. Dia melakukannya beberapa kali dengan rabaan dan sapuan.

Maksudnya, mungkin dia ingin melihat reaksi saya. Kalau saya menolak, dia tidak akan melanjutkan. Tapi kalau saya tidak bereaksi, dia akan meneruskan.

Saya membiarkan saja pura-pura memejamkan mata. Bu Meriam benar-benar mengurut alat kelamin saya itu. Dia mengurut dulu biji peler saya duluan. Pastilah penis saya ikut bangun. Kemudian dia mengurut batang batang saya.

Setelah beberapa saat mengurut, dia turun dari tempat tidur. Dia keluar dari kamar menutup pintu, lalu ngobrol dengan Pak Anwar. Beberapa saat kemudian, dia masuk kembali ke kamar. Dia menutup rapat pintu kamar.

"Pak Toro suka begini?" Bu Meriam tidak malu-malu bertanya pada saya sambil menggenggam tangannya dan digerakkannya naik-turun. "Kalau Pak Toro mau, saya bantu." katanya.

Saya tersenyum memandang Bu Kondang. Dia mengerti senyuman saya, lalu dia menggenggam batang kontol saya dengan telapak tangannya, terus dikocoknya.

Nah, laki-laki, tidak hanya saya, kalau sudah begitu, apa yang ada dipikirannya?

Sex!

Saya tidak berpikir panjang lagi bahwa Pak Kondang dan Bu Meriam itu tetangga baik kami. Saya menjulurkan tangan saya ke gundukan daster Bu Meriam yang lumayan besar tapi sudah menggantung itu. Bu Meriam tidak menepis tangan saya, dia tersenyum, lalu melepaskan kontol saya dari genggamannya. Setelah itu dia menaikkan dasternya ke atas.

Pikir saya, kalau bukan mau dilepaskan buat apa Bu Meriam mengangkat dasternya? Pikiran saya tidak salah! Bu Meriam benar-benar melepaskan dasternya. BH-nya juga ikut, bahkan celana dalamnya.

Bu Meriam kemudian naik ke pembaringan dengan tubuh bugil rebah di samping saya. Saya tidak melihat lagi teteknya yang sudah kendor menggantung, atau lengan dan pahanya yang sudah keriput, dan perutnya yang besar. Saya segera merangkul Bu Meriam dan mencium bibirnya. Teteknya ikut saya remas-remas dengan gemas.

Bu Meriam menggeliat-geliat keenakan sambil bibirnya membalas kuluman dan lumatan saya. Kami juga saling bertukar ludah. Waww... tidak ketinggalan teteknya saya hisap.

Putingnya keras, Bu Meriam benar-benar sudah terangsang. Kemudian tanpa menunggu lagi tangan saya menuju ke memeknya. Bulu jembutnya tipis dan berwarna pirang seperti disemir. Akan tetapi, memek Bu Meriam sudah layu dan keriput.

Tidak ada rotan, akar pun jadi, pikir saya. Jari telunjuk saya lalu mencolok lubang memek Bu Meriam. Kering dan seret lubang itu. Tapi berhasil juga saya memasukkan jari saya ke dalam memek Bu Meriam. Saya korek-korek lubang kering itu. Bu Meriam menggeliat dan menggelinjang.

"Oooooohhhhgg..." rintihnya seperti suara kerbau yang mau dibawa ke tempat pembantaian.

Jari saya jadi bau amis saat sudah berada di luar. Selanjutnya Bu Meriam naik ke tubuh saya. Batang penis saya diminyakinya. Setelah itu, dia memasukkan ke lubang memeknya. Penis saya yang licin jadi gampang masuk ke lubang memek Bu Meriam, lalu dia menggerakkan pantatnya naik-turun.

Penis saya terasa keluar-masuk di lubang memek Bu Meriam. Pak Kondang dan Pak Anwar masih ngobrol di ruang tamu, sedangkan di kamar kedua insan sedang bergumul hebat meregang syahwat. Penis saya menghujam-hujam ke lubang memek Bu Meriam. Plokk... plokk... plokkk...

Tubuh Bu Meriam pun sudah basah dengan keringat. Sekarang aku keluarkan penis saya dari memek Bu Meriam, lalu saya meminta Bu Meriam menghisap kontol saya. Bu Meriam mau melakukannya untuk saya.

Penis saya dihisapnya dengan penuh nikmat. Saya membantu mengocok untuk mempercepat keluarnya air mani saya. Sambil memandang wajah Bu Meriam, sungguh saya tidak menyangka bahwa saya akan menikmati tubuhnya. Air mani saya terasa sudah mau keluar dari penis saya.

Segera saya menggerakkan penis saya maju-mundur di mulut Bu Meriam. Ugghh... akkhh... crroott... croott... crootttt... air mani saya menyembur-nyembur kencang di dalam mulut Bu Meriam.

Bu Meriam menelan air mani saya tanpa sisa setetes pun, sehingga setiap ada kesempatan, saya punya mainan baru di sebelah rumah saya. Walau pun sudah tua, tapi semangat Bu Meriam untuk bercinta dengan saya tetap menyala-nyala membakar birahi saya. (2019)
 
•••••

9. Kanker Payudara


AKU menemukan sebuah buklet di meja ruang tamu rumahku. Judulnya “DETEKSI DINI KANKER PAYUDARA”. Pasti buklet ini punya Mama, bukan punya Della. Buat apa Della membaca buku begituan? Umurnya baru saja 17 tahun, masa kanker payudara?

Aku menuju ke dapur bertanya pada Mama yang sedang sibuk memanaskan lauk untuk makan malam. “Buku Mamah bukan sih, di meja ruang tamu?” tanyaku.

“Ya, Mamah pinjem sama tantemu, tapi belum sempat Mamah baca.”

“Kenapa Mamah baca buku begituan? Mamah kanker payudara?”

“Khawatir aja Mamah, soalnya tantemu belum lama operasi payudara kan? Katanya kanker payudara itu turunan...”

“Ah, siapa ngomong kanker payudara turunan? Baru dengar aku!” bantahku sambil mengunyah pisang goreng duduk di depan meja makan. “Jangan khawatir begitulah Mah, payudara Mamah bagus begitu masa kankeran sih?”

Memang bagus payudara Mama, montok dan masih kencang. Apalagi hari Kartini atau pergi kondangan Mama memakai baju kebaya yang membuat payudaranya sedikit menyembul keluar dari bagian atas baju kebayanya, waduh... itu mata lelaki..... pengantin di pelaminan tidak dianggap, mau secantik apapun pengantinya.

“Payudara tantemu lebih bagus dari payudara Mama. Mama nggak pernah merawat payudara Mama, tetapi tantemu setiap bulan ke salon, payudaranya di urut, di uap, di masker.... tetapi malem itu ommu ngisep, tantemu merasa payudaranya nyeri... besok di bawa ke dokter, ternyata kankernya sudah stadium 2... tetapi kamu jangan cerita-cerita sama papamu ya? Bukunya disimpen di tempat kamu dulu....” kata Mama.

“Lebih baik Mamah periksakan payudara Mamah di rumah sakit aja daripada Mamah mereka-reka sendiri. Bagaimana kalau besok aku antar Mamah periksa ke rumah sakit?”

“Mamah baca dulu buku itu,” jawab Mama meletakkan lauk yang sudah dipanaskan di atas meja.

Aku yang masih duduk di depan meja makan segera merangkul pinggang Mama dan menatap payudaranya dari luar kaos yang dipakainya. Kalau tadi Mama tidak cerita soal isep mengisep payudara, tentu aku tidak berani bertanya padanya. “Masih diisep Papah, Ma?”

“Nggak!”

“Yang bener....”

Lalu kudekatkan hidungku mencium payudara Mama dari luar kaosnya. “Mama belum mandi, masih bau dapur dicium-cium...” kata Mama.

“Lebih bagus Mah, asli baunya daripada bau sabun mandi...” kemudian kuangkat kaos Mama.

“Jangan ah, malu...” tolak Mama menahan tanganku yang mau mengangkat kaosnya.

“Sebentar dong, Mah...”

“Kayak anak kecil aja deh kamu, mau ngisep tetek segala...” gerutu Mama sembari menaikkan kaosnya.

Aku tertawa dalam hati. Mama lupa kalau orang dewasa juga boleh ngisep tetek. Tadi yang diceritakan Mama, Om Drajat ngisep tetek Tante Yuli... umur Om Drajat berapa? Sudah 50 tahun.

Mama merogoh BH-nya, lalu mengeluarkan sebelah payudaranya. “Nih...!”

Puting besar berwarna coklat tua itu langsung kusergap dengan mulutku. “Mmmm.... pelan-pelan ngisepnya, jangan kuat-kuat...” kata Mama pelan.

Namanya laki-laki kalau sudah ketemu tetek, apalagi tetek Mama masih enak diisep, langsung tanganku ikut bekerja meraba-raba sebelah payudaranya yang tertutup BH, sedangkan putingnya yang sudah tegang kulilit-lilit dengan lidah dan kutekan-tekan.

“Jangan gitu ah, oohh... mau ngisep atau dimainin, basah deh Mama...” kata Mama tidak sadar.

Kukeluarkan puting Mama yang sedang kuisep dari mulutku. “Apa yang basah, Ma?” tanyaku pura-pura tidak tahu.

“Sudah, ahh...!” Mama memasukkan kembali payudaranya ke dalam BH-nya dan buru-buru menurunkan kaosnya.

“Mahh...!” seruku sewaktu Mama mau melangkah pergi dari depan meja makan.

“Apalagi, sayang? Sudah sore... masih ada 2 lauk yang Mamah belum panasin... sebentar lagi Della pulang mau makan. Tau sendiri kan kamu, kalau adikmu itu tidak kuat tahan lapar?” ngoceh Mama.

“Paling-paling juga baru jam 5-an. Lima menit lagi...” kataku.

“Adduuhhh.... kamu ini, ya....” Mama menaikkan kaosnya lagi dan merogoh payudaranya yang tadi kuraba.

“Nih... cepetan...!”

Kembali kuhisap puting payudara Mama. Tadi sebelah kanan, sekarang sebelah kiri. Sambil kuhisap, tanganku menuju ke belakang punggung Mama dan kubuka pengait BH-nya. Thezzz....

BH Mama jadi longgar. “Ngapain di buka?” tanya Mama.

Aku tidak bisa menjawab pertanyaan Mama karena mulutku penuh dengan putingnya, tetapi tanganku yang berbicara. Aku meremas payudara di sebelah kanan. “Aihhhh... Daniii.... Daniii... jangan begitu ahh, nanti Mamah lemes... sudahh... sudahh... sudahhh....” seru Mama.

Tapi tidak kulepaskan. Penisku sudah tegang luar biasa. Dielus sebentar saja, pasti air maniku langsung muncrat. Mama juga tidak berani menarik putingnya. Tiba-tiba Mama memeluk leherku kuat-kuat dan payudaranya ditekannya ke mulutku.

“Ooohhhh.... Mamah kluar, Danihhh.... Mamah kluarrrrr.... Mama kluarrr... ooohhhh.... ooohhh... oooohhh...” jeritnya dengan suara tertahan-tahan.

Sebelum aku melepaskannya, Mama sendiri sudah terkulai duduk di bangku di sebelahku. “Mama orgasme, ya?”

“Yaaa...” jawab Mama pelan dengan wajah terkulai. “Makanya Mamah nggak izinkan kamu ngisep lama-lama ya gitu, tetek Mamah sensitif banget...”

“Aku minta maaf ya, Mah... aku nggak tau..” kataku.

“Bawa Mamah ke kamar...” suruh Mama.

Aku memapah Mama ke kamar, lalu mendudukkannya di tepi ranjang. Mama menarik bantal kepala berbaring dengan kedua kakinya berjuntai di tepi ranjang, kemudian Mama menekan-nekan selangkangannya dengan keempat jarinya.

“Kenapa Mah?”

“Ngilu...”

“Mau aku urut?”

“Buka celanamu saja, masukin... tapi cepet, ya?” kata Mama.

Dari sebuah buklet yang kutemukan di meja tamu, tidak kusangka bisa terjadi peristiwa ini.

Aku bersetubuh dengan mamaku sendiri. Penisku yang tegang keluar-masuk di liang kewanitaanya yang melahirkan aku.

Licin, basah tapi nikmat sekali ketika Mama ikut mengoyang pantatnya. Penisku meliuk-liuk keluar-masuk, terkadang meloncat keluar, lalu Mama mendorong masuk kembali penisku ke dalam lubang kemaluannya, lalu Mama melumatnya lagi.

Aku melepaskan sisa pakaian Mama, sehingga Mama telanjang bulat dan Mama juga lepaskan sisa pakaianku.

Kami bergulat di tempat tidur. Kadang-kadang Mama di atas menggenjot penisku, kadang-kadang aku yang di atas memompa liang kemaluan Mama.

Tubuh kami basah berkeringatpun tidak kami hiraukan lagi. Di akhir pertandingan, aku yang terjungkal.

Air maniku nyemprot di lubang kemaluan Mama banyak sekali. Aku tidak memikirkan Mama suatu hari akan hamil jika benih yang kutaman di dalam lubang kemaluannya yang subur itu akan tubuh menjadi orok.

Mama berumur 42 tahun, sedangkan aku berumur 20 tahun. Kami melakukannya tidak hanya sore itu, tetapi dilain sore, kami ulangi lagi kenikmatan tersebut.

Mama sudah lupa dengan kanker payudaranya ketika 9 bulan kemudian, kedua payudaranya berisi susu.

Untung anakku itu tidak mirip aku, tapi mirip Della, matanya sipit. Tetapi Tante Yuli sewaktu ia datang ke rumah sakit bersalin menengok Mama, kebetulan aku sedang menunggu Mama, Tante Yuli menarik aku keluar dari ruangan.

“Memangnya Tante nggak tau itu hasil koleksimu? Welehh....”
 
•••••

10. Menjadikan Mama Binal


AKU mempunyai keluarga yang kurang harmonis, mama dan papaku selalu bertengkar hampir setiap hari. Ini membuat aku sangat kesal dan tidak nyaman untuk berlama-lama di rumah. Bahkan terkadang aku jarang pulang ke rumah.

Orang tuaku termasuk mampu secara finansial. Saat ini aku sedang kuliah di salah satu perguruan tinggi di kotaku. Umurku 20 tahun, dan merupakan anak tunggal dalam keluargaku. Mama berumur 43 tahun, dan papa berumur 46 tahun.

Karena aku bukan anak yang suka berfoya-foya, uang pemberian orang tuaku sebagian kupakai untuk menyewa sebuah rumah kontrakan sederhana. Dari situlah aku jarang pulang ke rumah.

Aku merasa nyaman di kontrakanku karena tidak ada orang yang menggangguku, sehingga aku bisa belajar lebih mandiri. Dan selama tinggal di kontrakan itu aku hanya berhubungan lewat telepon jika ingin ngomong dengan mama.

Sampai suatu hari, saat aku menelepon mama, saat itu mama menangis di telepon. Dan mama bertanya kepadaku apakah dia bisa untuk sementara tinggal bersamaku, dan akhirnya aku setuju untuk mama tinggal sementara di kontrakanku.

Aku juga kasihan melihat mama yang selalu disakiti oleh papa jika mereka bertengkar. Mungkin ini adalah salah satu solusinya, pikirku saat itu.

Beberapa hari kemudian mama akhirnya datang ke tempatku. Dan sampai di rumahku, mama menceritakan kepadaku bahwa mereka berdua berencana akan bercerai, ternyata papa sudah mempunyai wanita idaman lain.

Aku awalnya kaget mendengar berita itu bahkan aku sangat marah dan kasihan sama mama, namun aku bisa memaklumi, sepertinya memang ini jalan terbaik bagi mereka berdua.

Selama tinggal di kontrakanku, mama selalu memenuhi kebutuhan hidupku, mama selalu menyiapkan makanan ketika aku sudah pulang kuliah. Dan satu hal lagi, mama membuat aku menjadi terangsang padanya.

Bagaimana tidak? Satu tempat tidur sempit aku dan mama tidur berdua. Di rumah, biasanya mama tidur memakai AC di kamarnya, sedangkan di kontrakanku yang sempit, mama tidur berdua denganku hanya memakai sebuah kipas angin yang kecil sehingga membuat mama kepanasan. Mama lalu tidur hanya memakai kaos tanktop tipis dan celana pendek, tanpa memakai BH dan celana dalam.

Kalau aku pulang kuliah pada malam hari betapa sering aku menemukan BH dan celana dalam mama yang dilepaskan digantung pada sandaran bangku belajarku dan di kamar mandi aku juga sering menemukan celana dalam kotor dan BH kotor mama yang ditinggalkan mama untuk dicuci besok, karena di rumah mama biasa terima beres, semua pekerjaan diserahkan pada pembantu. Sekarang di kontrakanku mama harus melakukan pekerjaan sendiri.

Belum lagi kebutuhan biologis mama yang tidak terpenuhi karena perseteruannya dengan papa, menjadi bahan pikiranku berikutnya. Aku sangat terangsang dengan mama, namun tidak bisa melakukan apapun, karena bagaimanapun dia adalah mamaku sendiri, dan aku tidak berani untuk berbuat yang tidak sopan pada mama.

Aku hanya dapat melakukan aktifitas menikmati celana dalam atau BH kotor mama sambil masturbasi membayangkan sedang bercinta dengan mama.

Sampai suatu malam, hujan sangat lebat, bunyi guntur yang menggelegarpun tidak mampu membangunkan mama, pada waktu itulah aku bertindak. Kebetulan mama tidur terlentang sehingga memudahkan aku menggeser kakinya terbuka.

Setelah kaki mama terbuka lebar, dengan demikian aku dengan mudah menyibak celana pendek mama yang longgar untuk melihat vagina mama. Aku tidak mendapatkan kesulitan untuk itu sehingga vagina mama yang pernah melahirkan aku terpampang di depan mataku dan bisa kulihat dengan jelas beserta bulu-bulu hitam ikal kasar yang menghiasi gundukannya.

Aku mencium vagina mama. Ahh... aku menjilatnya tanpa membuat mama bangun sama sekali. Aroma vagina mama benar-benar khas, lalu aku memeluk mama, baru kemudian membuat mama bangun. “Hujan lebat ya, Rama?” tanya mama.

“Sudah setengah jam yang lalu, Mama tidur nyenyak sekali.” jawabku dengan jantung berdebar membayangkan vagina mama yang tadi kucium dan kujilat.

“Ya sayang, syukurlah Mama masih bisa tidur.” kata Mama.

“Bagus juga Ma, mungkin ini jalan terbaik untuk Mama menghindar sementara dari Papa... tapi...”

“Tapi apa, sayang?”

“Bagaimana dengan kebutuhan biologis Mama? Kadang-kadang terpikir olehku juga, karena menurutku, Mama yang sudah bersuami, pasti membutuhkankannya berbeda dengan yang hidup jomblo...” kataku.

“Sudahlah, nggak usah terlalu dipikirkan. Untuk sementara Mama puasa dulu...” jawab mama.

******

Aku kuliah jadi gelisah. Ingin cepat-cepat pulang bertemu dengan mama dan ingin cepat-cepat malam...

Sampai jam 10 malam aku masih duduk di depan meja belajarku, sedangkan mama sudah tidur. Itulah yang aku tunggu, aku bukan sedang belajar atau mengerjakan tugas kuliahku.

Tetapi kelihatannya mama tidur dengan gelisah. Sebentar mama balik ke kiri, sebentar balik ke kanan. Aku naik ke tempat tidur memeluk Mama. “Huff... panas ya sayang, malam ini...” kata Mama. “Kaos Mama sampai basah, ya...”

Kesempatan, kataku dalam hati.

“Sini, aku lepaskan, Ma...” kataku cepat bangun menarik ke atas kaos yang mama pakai.

Mama tidak menahan kaosnya untuk tidak kulepaskan, sehingga sewaktu kaos mama dilepaskan olehku, tampaklah olehku payudara mama yang telanjang. “Nggak ditutup lampunya, sayang... nanti tetanggamu ngintip lho...” kata mama, lalu kuturun dari tempat tidur mematikan lampu kamar.

Setelah itu aku naik ke tempat tidur lagi mengusap punggung mama yang mulus telanjang sementara mama berbaring miring menghadap ke dinding kamar.

“Masih keringatan sih, Ma? Masih panas, ya?” tanyaku.

“Iyalah... biar besok Mama belikan kamu kipas angin yang lebih besar...” kata mama.

“Kasihan,” kataku. “Biasanya Mama tidur di kamar ber-AC...” aku memeluk mama dari belakang. Pura-pura gelap tidak kelihatan, payudara mama kupegang.

Payudara Mama yang tidak begitu besar namun masih kencang. Mama tidak melarang aku memegang payudaranya sehingga kupegang payudara mama sampai tertidur.

Aku terbangun karena tercium bau wangi. Rupanya mama sudah mandi dan keramas, tetapi belum berpakaian, masih mengenakan handuk sambil mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk yang lain.

“Sini Ma, kupeluk...” kataku.

“Ih, nggak mau ah, kamu belum mandi, masih bau bantal...” jawab mama, tetapi kemudian mama naik ke tempat tidur juga.

Langsung kupeluk mama dan kudaratkan kecupan di bibirnya yang tipis. Dengan cekatan mama mengatupkan bibirnya rapat-rapat. “Wee... nggak kena...” kata mama menggoda aku.

Tidak kubiarkan mama menggoda aku. Kupeluk mama lagi. Kali ini mama tidak bisa mengelak, sehingga kulumat bibir mama. Mama berusaha melepaskan diri, tetapi rontaan tidak berlangsung lama. Mama tidak bisa menahan puasanya lebih lama.

Mama semakin memacu adrenalinku sewaktu mama mulai membalas setiap lumatan bibirku, lagi dan lagi. Lidahnya juga berusaha memasuki mulutku, sehingga tanganku tidak bisa tinggal diam lagi.

Tanganku mulai mengelus paha mama yang putih mulus. Belaianku di paha mama semakin lama semakin naik ke atas, sehingga membuat handuk mama terangkat ke atas. Kulihat mama masih memejamkan matanya dan tetap berciuman denganku.

Dan karena elusan tanganku terus naik ke atas, akhirnya elusanku sampai di bagian selangkangan mama, sekilas aku dapat merasakan lipatan vagina mama yang polos.

Tiba-tiba tangan mama memegang tanganku, dan melepaskan ciumannya pada bibirku.

“Jangan Rama... itu tidak boleh, sayang...” kata mama, namun tanganku masih tetap berada di vagina mama, dan ini membuat aku semakin bertambah terangsang dengan mama.

"Ayolah Ma... aku ingin memberikan yang terbaik buat Mama. Ayo Ma...” rayuku sambil kali ini tanganku berani mengelus bagian tengah vagina mama. Kurasakan lubangnya yang basah. Sepertinya mama sudah terangsang.

“Mama bilang jangan, sayang... dengarin Mama deh... daripada kamu melakukannya, tapi menyesal dikemudian hari... Mama sayang sama kamu, Mama tidak mau kamu celaka...” kata mama.

Tetapi tanpa ragu lagi aku langsung memasukkan jariku ke dalam lubang vagina mama yang basah. “Ahhh... ah... oh.... Rama... auhhh... Rama... jangan sayang... ahhh... nakal kamu, ya… ahhh… nanti Mam..ma.... terangsang, sayang... ahhhhh... mmm...” desah mama tidak berusaha untuk menarik tanganku, hanya memegang tanganku saja.

Akibatnya kelakukanku semakin menjadi-jadi. Aku memainkan jari telunjukku di dalam vagina mama. Mama mulai menggeliat-geliat menahan rangsangan yang kuberikan dan supaya mulut mama tidak berisik, aku kembali menyumpal bibir mama dengan bibirku, kumasukkan lidahku ke dalam mulut mama, sambil tanganku masih tetap mempermainkan vagina mama dengan jari telunjukku.

Tak lama kemudian mama mulai berontak untuk melepaskan pelukanku, namun semakin mama berontak, aku semakin memaksa mama, karena nafsuku juga sudah semakin memuncak dan tidak dapat ditahan lagi, kukeluarkan kontolku yang tegang dari celana pendekku menggantikan jariku untuk memasuki lubang vagina mama.

Blesssss....

Plakkk…. mama melayangkan tamparan yang keras ke pipiku, “Kurang ajar kamu Rama… teganya kamu berbuat seperti ini sama Mama, ya...!!” bentak mama. ”Mama ngomong jangan, ya sudah, jangan... demi kebaikanmu juga kan...”

“Kenapa nggak sekalian bunuh aku, Ma...” balasku tidak mencabut kontolku dari lubang vagina mama.

Sudah terlanjur, maka terus saja aku menggenjot lubang vagina mama. “Ohhh... Ramaaa... ahhh, sayang.... ahhh... ohhh... ohhh... auhh... ngilu sayang, memek Mama... burungmu besar banget... ahh.. ahhh..” desah mama.

“Sabar Ma... bentar lagi juga enak kok...” sahutku malah sambil kali ini mempercepat genjotanku pada vagina mama, dan ini membuat mama semakin mendesah keras.

“Ah... Ramaaaa... shhhh.... ahhh... ahhh... Mama... Mama udah ga kuat... ah... ah... Ramaaa... ahhhhh... ahhhhhhhhhh...” rintih mama dan bersamaan dengan itu aku merasakan semburan cairan hangat dari dalam vagina mama di kontolku.

Sepertinya mama sudah mencapai orgasme, namun aku masih tetap menggenjot vagina mama, dan tak lama akupun merasakan air maniku mau keluar. Segera kudorong kontolku sedalam mungkin ke lubang vagina mama untuk menyemburkan air maniku di sana.

Dan kedua kaki Mama juga segera memeluk pantatku ketika kutembakkan peluru kendaliku itu ke rahim mama. Cretttt… crettt… crottt… crottt… crottt… crottt… crottt… crottt… spermaku sangat deras dan kencang menembak ke rahim mama.

Saat itu tubuh mama juga sudah banjir dengan keringat, dan nafas mama tersenggal-senggal dengan cepat. Maklum, sepertinya aku dan mama melakukan permainan dalam jangka waktu yang cukup lama menurutku.

Aku memperkosa mama!

Setelah nafas mama sudah sedikit teratur, akupun merangkul mama, dan mama menangis. “Maafkan aku, Ma... aku bener-bener nafsu banget sama Mama... maafkan aku ya, Ma…” kataku dengan penuh penyesalan.

“Mama sebel sama kamu... Mama sebel… sebel.... sebelll... sebel....” sahut mama sambil kedua tangannya memukul-mukul dadaku.

Aku hanya diam saja, dan akhirnya mama merangkul aku. “Mama sekarang menjadi milikmu, sayang... dan Mama akan berusaha melupakan papamu seumur hidup Mama...” kata Mama.

“Benarkah, Ma... coba Mama ulangi sekali lagi kata-kata Mama...” balasku.

Mama mencubit pipiku.

Hampir setiap malam mama dan aku bercinta. Tetapi bagaimanapun Mama masih punya rumah dan mama harus pulang. Aku lalu mengantar mama pulang dan sesampai di rumah sempat kusetubuhi mama, baru aku kembali ke kontrakanku.

Seminggu kemudian, mama menyuruh aku jemput. Baru 2 hari kemudian aku pulang ke rumah untuk menjemput mama dan aku melihat mobil papa terparkir di depan rumah, sedangkan Mang Kodir membersihkan rumput di halaman rumah.

“Bapak sama Nyonya ada di dalam, Rama.” kata Mang Kodir menyambutku, lalu aku segera masuk ke dalam rumah.

Di dalam rumah, aku mendengar suara berisik dari kamar kedua orang tuaku. “Ohhh... oohhh... oohhh... puasin Mamah, Pah... sudah lama kita nggak ngentot... ihh... ooohh... ooohhh...” sepertinya suara desahan mama.

Tapi dengan siapa mama bercinta tanpa menutup pintu kamar? Aku jadi curiga.

“Ohh... iya, Ma... esssth... nikmat memek, Mamaaaah...”

Ternyata yang telanjang bulat dan pantatnya bergerak naik-turun-naik-turun di atas tubuh mama yang telanjang, adalah papa!

Oh... ternyata mama tidak jadi melupakan papa seumur hidup....

Aku segera pergi dari rumah tidak ingin mengganggu keasyikan mereka melepaskan dahaga dan sesampai di halaman aku berkata pada Mang Kodir, “Mang, dipanggil Papa...”

Biar Mang Kodir menyaksikan permainan sex gratis kedua orang tuaku itu, sedangkan aku segera pergi tancap gas dari halaman rumahku.

Aku tidak benci mama, melainkan aku menjadikan mama semakin liar dalam setiap berhubungan kelamin denganku, entah di kontrakanku atau di kamar. Selain itu mama juga berhubungan intim dengan papa. Mereka sudah baikan. (2023)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd