Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG KUCUMBU TUBUH INDAHMU

Lancrottttt kan suhuu, bakal jadi cerita panjang nihh, btw jangan lupa kasi mulustrasi karakter wanita nya aja ya suhuu, biar makin josss
 
Bimabet
BAB 4

"Banyak sekali barangnya, Safira? Fania harus beli etalase lagi, dong!" Hari ini Safira datang membawa barang-barang dagangannya yang akan dijual di toko Fania.

"Nggak usah, aku sudah pesan dan sebentar lagi datang. Nanti taruh saja di ujung sana, kan masih kosong. Bagaimana, kamu setuju?" Safira menunjuk salah satu sudut ruangan toko yang masih kosong.

"Setuju saja. Memang sebenarnya ada rencana mau Fania kasih etalase satu lagi tapi nunggu tambahan modal," jawab Fania.

"Yang di kardus besar tadi isinya tas wanita dan aksesoris, seperti bros dan konektor masker dari bahan mutiara." Safira menjelaskan dengan semangat.

"Bagus juga idemu. Semoga muamalah kita berkah, ya?" Fania tersenyum di balik cadarnya.

"Aamiin Allahumma Aamiin. Aku sangat berterima kasih sudah diijinkan bergabung di tokomu." Safira menggenggam kedua tangan Fania, sebagai ucapan terima kasih.

"Sama-sama, Safira. Fania juga senang melihat barang-barang di toko ini jadi bervariasi. Yuk, Fania bantu unboxing," ajak Fania dan Safira mengangguk setuju.

"Yuk, sambil nunggu etalasenya datang." Fania dan Safira berjalan menuju tumpukan beberapa kardus besar yang baru saja datang di ruangan packing. Mereka berdua mengeluarkan barang-barang dari kardus-kardus itu.

Tak lama kemudian, sebuah lemari kaca pesanan Safira pun datang. Mereka pun dengan semangat menata berbagai macam model tas wanita dan aksesoris dengan rapi, dibantu Mawar dan Citra.

"Mawar, tolong tutup dulu tokonya biar kita bebas mengatur barang-barang tanpa mengganggu pembeli," pinta Fania pada Mawar.

"Baik, Mbak." Mawar segera menjalankan perintah Fania. Dia berjalan ke pintu dan memutar tulisan

"open" menjadi "close". Tepat pukul dua belas siang, pekerjaan mereka sudah selesai. Fania dan Safira tersenyum puas melihat hasil kerja keras mereka. Begitu juga dengan Mawar dan Citra.

"Sekarang kita istirahat dulu, sholat terus makan siang bersama. Aku sudah pesan makanan buat kita semua. Aku yang traktir karena kalian sudah bekerja keras hari ini," ucap Safira pada mereka.

"Alhamdulillah ... Horeee ... Kita makan gratisss ...." Mawar dan Citra berjingkrak kegirangan. Fania dan Safira menggelengkan kepala dan tertawa melihat tingkah mereka berdua. Mawar dan Citra selalu seperti itu, padahal Fania juga sering mentraktir mereka. Fania pun membiarkannya dan menganggap tingkah mereka sebagai bentuk rasa syukur.

Setelah selesai sholat dhuhur dan makan siang, Fania kembali membuka tokonya. Siang itu cuaca sedikit mendung dan akhir-akhir ini hampir setiap hari turun hujan.

"Kamu pulangnya bareng aku saja, biar nggak kehujanan."

"Jangan, nanti merepotkan." Fania menolak dengan halus.

"Insyaa Allah nggak merepotkan, kita 'kan searah. Dari pada kamu naik motor, nanti kehujanan. Kirim pesan saja sama Om Bambang, kamu pulang bareng aku. Kalau kamu nggak mau, aku nggak akan pulang!" ancam Safira dengan bibir yang mengerucut.

"Kamu selalu saja begitu, suka mengancam. Hahaha ...."

"Kamu memang harus diancam biar mau. Aku sudah menganggapmu seperti saudara, Fania. Jadi tolong jangan sungkan." Fania mengangguk dan keduanya berpelukan.

"Baiklah, Fania akan pulang sama kamu. Kalau hujan begini, pulangnya disuruh abi naik taksi online," balas Fania setelah mengurai pelukan mereka.

"Dari pada naik taksi online, kan lebih baik sama aku saja," sahut Safira.

"Oke... terima kasih, ya."

"Sama-sama, aku juga sangat berterima kasih padamu. Akhirnya aku punya usaha meskipun masih menumpang. Tapi maaf kalau aku nggak bisa tiap hari datang ke sini. Pekerjaanku yang di kantor abi, nggak bisa aku tinggal. Kata abi nggak apa-apa seminggu dua kali libur, yang penting pekerjaan di kantor beres. Jadi kalau aku libur di kantor, aku ke sini."

"Iya nggak apa-apa, santai saja. Nanti 'kan ada laporannya juga. Kamu tinggal memeriksa saja."

"Sekali lagi terima kasih, ya, aku sudah diijinkan bergabung di tokomu." Fania mencubit kedua pipi cabi Safira dengan gemas.

"Dari tadi terima kasih terus. Katanya kita saudara. Aku mau lanjut periksa laporan duly, ya."

"Oke, aku di sini saja sama anak-anak." Fania mengangguk dan berjalan ke ruangannya. Dia kembali berkutat dengan laporan penjualan hari ini yang sudah dicatat oleh Mawar dan fokus pada layar laptop. Sementara Safira berkeliling memperhatikan barang-barang yang ada di toko Fania. Beberapa pembeli mulai berdatangan dan Mawar atau Citra melayaninya dengan ramah. Kalau ada pembeli yang tertarik dengan tas atau aksesoris, Safira memberi penjelasan sekaligus promosi.

Hari mulai beranjak senja dan awan mulai tampak semakin gelap. Mawar dan Citra pamit pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, begitu juga dengan Fania dan Safira. Mereka berdua bergegas meninggalkan toko sebelum hujan semakin deras. Di tengah perjalanan, Safira mengajak Fania makan di sebuah rumah makan langganannya. Fania pun terpaksa menurut. Sebuah rumah makan yang cukup besar dengan fasilitas lengkap, termasuk musholla di bagian samping. Fania dan Safira melaksanakan kewajiban tiga rakaat di musholla yang tersedia di rumah makan itu. Sesampainya di rumah, terlihat oleh mereka sebuah mobil mewah di depan pagar rumah Fania. Hujan pun sudah reda.

"Sepertinya ada tamu. Kira-kira siapa?" tanya Safira penasaran.

"Fania juga nggak tahu. Mudah-mudahan bukan Fauzan," jawab Fania lirih.

"Fauzan? Dia sudah pulang ke Indonesia?" Safira juga mengenal Fauzan dan dia tahu Fauzan menaruh hati pada Fania. Semua cerita tentang Fania dan Fauzan, Safira sudah mengetahuinya. Fania menghela napas Panjang kemudian mengembuskannya perlahan, menenangkan jantungnya yang tiba-tiba berdetak kencang.

"Sudah, beberapa hari lalu dia ke sini. Perasaanku kok jadi nggak enak gini, ya."

"Ciee ... sepertinya kamu duluan deh yang akan menikah. Jangan-jangan ada yang mau melamar, nih."

Safira menggoda Fania tapi Fania tak menghiraukannya. Fania belum bercerita pada Safira tentang Fauzan yang sudah datang melamarnya.

"Kamu itu ada-ada saja. Sudahlah nggak usah dibahas. Mampir dulu, yuk!"

"Maaf, aku mau langsung pulang, sudah ditunggu sama ummi."

"Terima kasih, ya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalaam ..."

Fania keluar dari mobil dan menunggu sampai kendaraan roda empat Safira berlalu dari hadapannya. Dia pun berjalan perlahan ke dalam rumah kemudian mengucapkan salam. Terdengar suara dua orang wanita menjawab salamnya. Laras menyambut kedatangan Fania dan mengambil tas kerja putrinya itu. Fania mencium punggung tangan kanan Laras dengan takzim, dan Laras mengusap kepala Fania yang tertutup khimar dengan lembut, sembari berkata dengan lirih.

"Ada tamu, tolong temui dulu. Ummi ke kamar saja, ya. Kamu yang sabar." Suara Laras nyaris tak terdengar. Fania hanya mengangguk meskipun tak mengerti. Ekspresi wajah Laras terlihat muram, tak seperti biasanya.

Fania pun duduk dan mengangguk dengan sopan pada wanita paruh baya di hadapannya. Sementara Laras masuk ke dalam kamar karena tak ingin mengganggu percakapan mereka berdua. Laras sedih, setetes air mata mengalir di pipi, mengingat siapa wanita yang sedang bertamu saat ini. Bukannya Laras tidak ingin mendampingi Fania, tetapi dia takut sifat bar-barnya tak bisa dikendalikan. Dia pun tak ingin semakin membuat malu putrinya.

"Fania, perkenalkan, saya mamanya Fauzan." Laila langsung memperkenalkan dirinya dengan angkuh.

"Saya Fania, Tante. Apa ada yang bisa saya bantu?" jawab Fania dengan ramah.

"Terus terang saja, saya ke sini karena ingin meminta kamu untuk menjauhi putra saya." Laila langsung mengutarakan maksud kedatangannya.

"Maksud, Tante?" tanya Fania tak mengerti.

"Saya sudah menjodohkan Fauzan dengan gadis pilihan kami dan tentunya yang selevel dengan kami. Jadi, tolong kamu juga harus sadar diri," tegas Laila.

"Maaf, Tante, saya bukan siapa-siapanya Fauzan. Selama ini saya juga tidak pernah dekat dan berhubungan dengan putra Tante." Fania membalas ucapan Laila tanpa emosi.

"Saya nggak percaya, pasti kalian sudah pacaran!"

"Maaf, Tante, saya tidak pernah pacaran dan tidak akan pacaran. Tante salah kalua menganggap kami berdua pacaran. Tolong tanya saja sama putra Tante, apakah kami pacaran?" Fania berusaha menjelaskan pada Laila dengan sopan.

"Kalau kalian tidak pacaran, lalu hubungan kalian apa? Kenapa Fauzan selalu minta restu untuk menikah denganmu? Kamu jangan mempermainkan perasaan putra saya, ya?!" Laila mulai meninggikan suaranya.

"Astaghfirullah ... Saya sedikit pun tidak pernah mempermainkan perasaan Fauzan. Kami saling kenal tapi tidak pernah pacaran! Tapi perlu Tante ketahui, Fauzan sudah dua kali datang ke sini untuk melamar saya dan saya menolaknya." Kedua bola mata Laila membulat mendengar penjelasan gadis bercadar itu.

"Sombong sekali kamu menolak Fauzan! Tapi saya bersyukur, jadi saya tidak perlu repot-repot membuat Fauzan tidak berhubungan lagi denganmu!" sahut Laila dengan senyum merendahkan.

Fania berusaha tetap tenang dan tidak terpancing emosi. Sebelum Fania membalas ucapan Laila, terdengar suara salam dari luar.
"Assalamu'alaikum ...." Mereka berdua menjawab salam secara bersamaan dan mengalihkan pandangan pada dua sosok yang berdiri di depan pintu.

"Wa'alaikumussalaam ...." Melihat kedatangan Aini dan Fahri, Fania beranjak dari duduknya dan berjalan mendekat. Dia mencium punggung tangan wanita itu dengan takzim. Kedua orang itu kemudian masuk ke dalam dan duduk di hadapan Laila.

"Lho, Ummi Laila?"

"Lho, Ummi Aini? Fahri? Kenapa kalian ada di sini?"

"Ummi Aini kenal sama Fania? Atau jangan-jangan Fania juga menggoda Fahri?" Laila menerka sendiri maksud kedatangan Aini dan Fahri.

"Menggoda Fahri? Maksud Ummi Laila apa, ya?" tanya Aini yang tak mengerti arti pertanyaan Laila.

"Saya ke sini ingin memberi peringatan pada Fania agar menjauhi Fauzan. Saya nggak rela Fauzan menikah dengan gadis seperti dia!" jelas Laila dengan jari telunjuk yang tertuju pada Fania.

"Lhoo, benar itu. Jangan sampai Fauzan menikah dengan Fania. Saya juga tidak setuju." Aini menimpali ucapan Laila, membuat Laila semakin bersemangat merendahkan gadis bercadar itu.

"Tuh, dengerin! Ummi Aini pasti datang ke sini dengan maksud yang sama. Makanya kamu itu jadi cewek jangan banyak tingkah. Apa memang sasaranmu itu cowok kearab-araban, ya? Tinggi sekali seleramu, gadis kampung! Harusnya kamu sadar diri. Meskipun kamu bercadar bukan berarti bisa mendapatkan suami seperti anak-anak kami!"

Laila berkata dengan geram. Aini dan Fania hanya tersenyum mendengar cemoohan Laila. Sementara Laras yang berada di kamar, mengepalkan kedua tangannya. Dia mulai marah mendengar ucapan Laila yang penuh dengan hinaan.

"Kenapa Fania diam saja, sih? Dan tamu siapa lagi itu yang datang? Mereka berdua benar-benar keterlaluan. Aku harus segera keluar, membantu Fania melawan mereka. Aku tidak akan membiarkan mereka menginjak-injak harga diri putriku!" ujar Laras menahan emosi. Akan tetapi, sebelum Laras beranjak dari duduknya, terdengar ucapan seseorang yang mengejutkannya.

"Ummi Laila jangan salah paham dulu. Saya memang nggak setuju kalau Fauzan menikah dengan Fania karena Fania itu calon menantu saya. Saya datang ke sini bukannya melarang Fania mendekati Fahri, justru Fahri ke sini berniat ta'aruf, karena Fahri tertarik dengan Fania." Laila terkejut mendengar penjelasan Aini.

"Apa saya nggak salah dengar? Fahri mau ta'aruf sama gadis kampung ini? Apa nggak ada gadis yang lebih menarik lagi? Paling tidak yang selevel dengan kita. Fahri ... Fahri ... kamu itu juga lulusan luar negeri, kenapa ingin menikah dengan gadis seperti dia?"
Berbagai pertanyaan langsung ditujukan pada Fahri. Pemuda itu hanya diam dan tersenyum. Aini memberi isyarat pada putranya untuk tidak menjawab pertanyaan Laila.

"Memangnya ada apa dengan Fania, Umm? Dia baik, mandiri, shalihah! Soal level, harusnya Ummi Laila juga paham kalau di mata Allah kita semua sama."

"Mandiri dari mana? Apa yang dibanggakan dari penjaga toko?" Aini menggelengkan kepala dan beristighfar mendengar ucapan Laila.

"Astaghfirullah ...."

Sementara Fania hanya diam dan tak berniat membantah. Laila sedang marah dan Fania tidak ingin berdebat dengan orang yang sedang emosi, apalagi usianya sama dengan ibunya. Fahri semakin tertarik dengan Fania. Gadis bercadar itu lain dari gadis yang selama ini dikenalnya. Fania yang selalu dihina dan direndahkan, tak pernah mengklarifikasi dan membanggakan dirinya sendiri pada orang yang menghinanya. Apa karena Fania bodoh? Fahri yakin Fania bukan bodoh tapi punya cara sendiri dan pastinya dia adalah gadis yang sabar.

"Sudahlah, saya mau pulang! Yang penting tujuan saya ke sini sudah selesai. Sekali lagi saya ingatkan, kamu jangan sampai berhubungan lagi dengan Fauzan." Laila beranjak dari duduknya dan berniat segera pergi meninggalkan rumah Fania. Bibirnya tak berhenti menggerutu karena kesal. Sesampainya di halaman rumah, dia berpapasan dengan Bambang yang baru pulang kerja. Bambang melepas helmnya dan memberi salam pada wanita itu dengan sopan.

"Assalamu'alaikum ...."

Laila terkejut saat memandang wajah pria paruh baya itu, begitu juga dengan Bambang. Meskipun hari sudah mulai petang, tetapi sinar lampu di sekitar rumah Fania tampak terang, sehingga wajah kedua orang itu terlihat jelas.

"Kamu ... Bambang? Bambang Wijaya, kan?" tanya Laila tak percaya.

"Mbak Laila?" Bambang pun bertanya dengan ragu.

"Kok kamu di sini?" tanya Laila heran.

"Iya, Mbak, ini rumah saya." Jawaban Bambang membuat Laila tercengang,

"Apa? Jadi ... jadi... Fania itu anak kamu?" Laila semakin penasaran.

"Betul, Mbak." Bambang pun tersenyum. Namun tiba-tiba, tubuh Laila terkulai lemas dan akhirnya jatuh tak sadarkan diri. Bambang dengan sigap langsung menangkap tubuh Laila sebelum jatuh ke tanah. Dia pun berteriak dan masuk ke rumah sembari menggendong wanita itu.

"Fania!! ummi!!"

"Ada apa, Pak?" Laras berjalan cepat keluar dari kamar. Fania, Aini dan Fahri pun berdiri dan mendekati Bambang.

"Lho Ummi Laila kenapa?" tanya Aini yang bingung dengan keadaan Laila.

"Bawa ke kamar Fania saja dulu, Pak." Fania berjalan terlebih dahulu dan membuka pintu kamarnya. Bambang pun merebahkan tubuh Laila ke atas ranjang putrinya. Fania dan Aini mengoleskan minyak kayu putih di bagian tangan dan kaki Laila, juga di pucuk hidungnya. Laras hanya memperhatikan dan bersandar di pintu kamar. Dia merasa kesal dengan wanita yang diduga sudah menghina putrinya. Apalagi melihat Bambang menggendong tubuh wanita lain, membuat hati Laras seketika terbakar cemburu. Bambang mendekati Laras dan memegang lembut jemari tangan wanita yang dicintainya itu. Dia tahu istrinya cemburu.

"Maaf, ummi, Abi hanya berniat menolong karena tiba-tiba Mbak Laila pingsan di depan Abi." Mendengar Bambang menyebut nama wanita itu, Laras curiga dan semakin cemburu.

"Laila? Jadi Abi kenal sama wanita itu?" Bambang terpaksa mengangguk karena tak ingin berbohong,

"Iya, Abi kenal. Nanti saja Abi ceritakan, masih ada tamu. Oh ya, siapa mereka?" tanya Bambang penasaran.

"Nggak tahu, nggak kenal!" jawab Laras ketus. Aini yang mendengar percakapan Bambang dan Laras, langsung beranjak dari duduknya dan mendekati mereka. Dia tak ingin kedua orang tua Fania salah paham. Sementara Fania masih menemani Laila yang masih pingsan.

"Maaf, Pak, perkenalkan nama saya Aini dan yang laki-laki di depan itu putra saya. Kamu sudah kenal dengan Fania dan berniat ta'aruf dengan putri Abi dan Ummi. Maaf kalau kedatangan kami mendadak seperti ini." Aini memperkenalkan diri dengan sopan dan tersenyum ramah. Dia bahkan mencium kedua pipi Laras setelah menjabat tangannya. Namun, belum sempat Bambang dan Laras membalas perkenalan Aini, terdengar suara Fania yang memanggil Aini.

"Ummi, sepertinya Ummi Laila sudah mulai sadar. Biar Fania ambilkan air putih hangat dulu."

Fania pun segera beranjak pergi ke belakang, mengambilkan air putih hangat di dapur. Kedua bola mata Laila perlahan terbuka. Dia merasa bingung dengan suasana kamar yang tak pernah dilihatnya.

"Saya di mana?" tanya Laila dengan suara yang lirih. Tubuhnya masih terasa lemas.

"Ummi Laila di rumah Fania. Tadi kamu pingsan di halaman. Ummi Laila sakit?" Laila langsung tersadar di mana dia berada setelah Aini menyebut nama Fania. Dia pun memaksakan diri duduk. Fania segera memberikan segelas air putih hangat pada Aini.

"Minumlah dulu." Aini memberikan segelas air hangat dari Fania. Laila terpaksa menerima dan meminumnya.

"Saya harus pulang," ucap Laila dengan suara yang lirih, nyaris tak terdengar. Hanya itu yang keluar dari bibirnya. Dia bingung harus berkata apa saat ini. Perasaannya bercampur aduk tak karuan. Kepalanya tertunduk, tak berani memandang wajah Bambang yang sedang berdiri di depan pintu, bersama Laras.

"Kalau begitu saya antar. Mobil Ummi Laila biar dibawa Fahri." Laila mengangguk pasrah. Dia pun berdiri dibantu Aini.

"Maaf, Fania, Pak, Bu, kami pulang dulu. Maaf kalau kami merepotkan. Insyaa Allah hari Minggu, kami akan datang berkunjung." Aini mencium kedua pipi Fania dan juga Laras. Fahri menjabat tangan Bambang.

"Pulang dulu, Om, Tante, Fania," ucap Fahri dengan sopan.

"Iya, hati-hati di jalan. Fii amanillah."

"Ma'assalamah. Mari semuanya, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalaam ...."

Fania, Bambang dan Laras mengantar mereka sampai di depan pagar, sampai kedua kendaraan roda empat itu sampai hilang dari pandangan.

"Abi ke musholla dulu, ya. Sudah mau masuk isya'. Assalamu'alaikum." Bambang pamit pergi ke musholla.

"Wa'alaikumussalaam," balas Fania dan Laras serempak.

Fania berjalan masuk sambil menggandeng tangan ibunya dengan penuh rasa sayang,. Mereka berdua pun melaksanakan kewajiban empat rakaat secara berjamaah. Setelah selesai sholat isya', Fania dan Laras menyiapkan makan malam. Tak lama kemudian, Bambang pulang dari musholla dan mereka pun makan malam bersama. Waktu masih menunjukkan pukul delapan malam. Seperti biasanya, mereka bertiga berbincang santai di ruang keluarga. Bambang dan Laras mendengarkan Fania yang menceritakan tentang Safira yang menitipkan barang-barang dagangan di tokonya. Bambang dan Laras sangat bersyukur memiliki anak gadis seperti Fania. Apalagi usaha putrinya semakin lancar, membuat kedua orang tuanya bangga. Meskipun seorang wanita, Fania sangat cerdas dalam mengelola bisnisnya. Setelah selesai mendengarkan celotehan putri tunggalnya, Laras pun menagih janji Bambang.

"Ayo, abi, katanya mau memberi penjelasan sama ummi. Siapa itu Ummi Laila? Abi kenal di mana?"

Bambang menghela napas panjang sebelum mulai bercerita tentang masa lalunya. Kisah masa lalu yang tak pernah dia ceritakan pada Laras karena baginya bukan suatu hal yang penting.

"Laila itu dulu anak majikan Abi, ummi. Waktu masih kuliah, Abi pernah bekerja sebagai sopir pribadi abinya Laila."

Laras mendengarkan dengan ekspresi wajah yang serius. Sementara Fania mendengarkan cerita abinya dengan santai. Bagi Fania, seandainya sang abi mempunyai hubungan dengan Laila di masa lalu, semuanya sudah berakhir dan tak perlu dibahas lagi. Akan tetapi Fania juga menyadari, seorang istri terkadang menuntut sebuah kejujuran apabila seseorang dari masa lalu pasangannya tiba-tiba hadir kembali, seperti halnya Laila tadi. Bahkan wanita itu sampai pingsan saat bertemu dengan Bambang. Wajar jika Laras langsung curiga.

"Terus kenapa dia langsung pingsan setelah melihat Abi? Pasti kalian punya hubungan khusus. Jangan-jangan dia itu mantan pacar Abi, ya? Atau bahkan kalian sudah bertunangan? Ummi curiga ...."

"ummi, tolong dengarkan cerita Abi dulu. Jangan hanya menduga-duga. Nanti ummi semakin salah paham dengan dugaan Ummi sendiri. Lagi pula, Fania yakin Ummi Laila nggak mungkin mantan pacar Abi. Ummi tahu sendiri kalau mamanya Fauzan itu menolak Fania karena bukan keturunan Arab. Jadi nggak mungkin dia pacaran sama Abi." Fania memotong ucapan ibunya agar mau mendengarkan dulu cerita yang sebenarnya.

"Benar juga, sih. Ya sudah, lanjutkan, Pak. Awas, lho, jangan bohong!" ancam Laras, membuat suami dan putrinya menggelengkan kepala.

"Astaghfirullah ... kapan Abi bohong sih, ummi? Ummi tahu sendiri, Abi nggak punya mantan pacar. Pacar Abi satu-satunya itu ya hanya Ummi." Laras berdecih lirih mendengar ucapan Bambang.

"Terus itu si Salma, Bunga, Linda, dan Susan, siapanya Abi kalau bukan mantan?" Bambang kembali mengucap istighfar mendengar nama-nama wanita yang disebut istrinya.

"Astaghfirullah, ummi, mereka itu hanya teman yang berusaha mendekati Abi. Abi nggak pernah menganggap mereka pacar. Mereka saja yang mengejar-ngejar Abi," jelas Bambang.

"Waahh ... Abi dulu idola ya, ummi?" Fania bertepuk tangan, ikut menggoda Bambang.

"Memang, Abimu dulu itu idola di mana-mana. Ya di sekolah, di kampus, di tempat kerja. Sampai sekarang masih jadi idola. Makanya wajar 'kan kalau Ummi suka cemburu?" Bambang terkekeh mendengar ucapan Laras.

"Hahaha ... jangan percaya omongannya ummimu, Nduk! Sudah tua kok jadi idola. Ini mau dilanjutkan ceritanya apa kita tidur saja?"

"Yo lanjut, dong, Pak!" tegas Laras.

"Waktu itu, Abi sering juga mengantar Laila kuliah, kadang juga menjemputnya. Sampai suatu saat, dia dijodohkan tapi dia menolak. Alasannya dia punya pacar. Padahal setahu Abi, dia tak pernah berhubungan dengan siapa pun. Kedua orang tua Laila pun tak terima dan tetap memaksanya." Bambang menjeda kalimatnya, menarik napas dalam sebelum melanjutkan.

"Setiap hari Laila menangis waktu di mobil. Abi nggak pernah kepo dan berusaha tetap diam. Dan akhirnya suatu hari dia mengajak Abi pergi ke villa milik orang tuanya. Alasannya menenangkan diri dan mempersiapkan mental untuk acara pertunangannya. Abi menurut saja karena Abi hanya sopir dan dia majikan." Fania yang awalnya tidak begitu tertarik dengan cerita Bambang, sekarang mulai mendengarkan dengan serius.

"Sampai di villa, ternyata Laila terus terang sama Abi kalau dia mencintai Abi. Dia ingin Abi menikahinya tapi Abi menolak. Dia mengancam Abi, katanya kalua Abi nggak mau, dia akan membuat Abi dipecat. Ya sudah, Abi lebih baik dipecat dari pada harus menikahi anak majikan yang sudah mau dijodohkan. Abi akhirnya benar-benar dipecat karena Laila membuat fitnah kalau Abi ingin menodainya waktu di villa."

"Astaghfirullah ... Laila ternyata licik." Laras mengelus dadanya sendiri berulang kali. Dia tak menyangka ada kisah sedih di masa lalu suaminya.

"Namanya anak orang kaya, kemauannya selalu dituruti. Jadi wajar kalau dia bersikap seperti itu. Makanya dia merasa malu sama Abi. Mungkin dikira Abi takut sama ancamannya terus menuruti kemauannya. Abi juga tidak gila harta." Bambang kembali menghela napas Panjang terpaksa membuat cerita bohong agar istri dan anaknya tak marah padahal yang sebenarnya terjadi…

"Ternyata Abiku hebat, ya? Masyaa Allah ...."

"Abi rasa ujianmu lebih besar, Nduk. Tapi Abi salut kamu bisa sabar." Bambang tersenyum pada putri semata wayangnya.

"Semua juga berkat Abi yang selalu menyuruh Fania sabar dan ikhlas menghadapi semuanya," balas Fania dengan senyum bahagia.

"Hemm, yang disebut Abi saja, mentang-mentang Ummi nggak sabar," protes Laras.

"Jangan ngambek dong, ummi. Kalau Ummi beda, Ummi sangat tegas!!" Fania beranjak dari duduknya dan memeluk serta mencium kedua pipi Laras.

"Tegas apa bar-bar??" Fania dan Bambang tertawa mendengarnya.

"Hahaha..."

"Sudah malam, ayo kita istirahat. Besok pagi-pagi Abi harus sudah di kantor. Laporannya harus selesai sebelum jam sebelas siang. Besok kamu naik taksi online saja ya, Nduk!"

"Pak, bagaimana kalau Fania beli motor, biar bisa berangkat dan pulang sendiri? Alhamdulillah tabungan Fania sudah cukup, abi."

"Baiklah kalau begitu. Kalau kurang nanti Abi tambahi. Hari Sabtu saja kita ke dealer."

"Abi saja yang ke dealer. Fania nurut sama pilihan Abi."

"Ya sudah, nanti kalau Abi sempat Abi mampir lihat-lihat dulu."

"Terima kasih, abi."

"Sama-sama, Nduk. Abi cuma bantu nyariin, nggak ikut bayar. Alhamdulillah putriku dari dulu sudah mandiri, ingin sesuatu selalu beli sendiri."

"Alhamdulillah, hanya itu yang bisa Fania lakukan biar nggak merepotkan Abi dan Ummi. Fania sudah dewasa, abi."

"Ya sudah, yang penting kalau perlu apa-apa, bilang sama Ummi atau Abi."

"Iya, abi."

Bambang dan Laras pun berjalan ke kamarnya meninggalkan Fania yang masih duduk di ruang keluarga. Tangannya mengutak-atik layar ponselnya.

Di dalam kamar laras dan Bambang..

"Slurrrpp... Gede banget kontolmu abi... " Desah Laras mengoral penis bambang

"Gak pernah bisa muat dimulutku bi..."

"SSSshhhh... Mulutmu memang paling nikmat ummi..." Bisik Bambang sambil terus memegang belakang kepala istrinya, berusaha memasukkan seluruh batang penisnya dalam-dalam.

""Clopp... Glock.. Glock…" Suara yang keluar setiap kali penis besar Bambang keluar masuk tenggorokan Laras.

"Oooh enak banget tenggorokanmu ummi..."

"Ssshhh... Entot aku sekarang yuk bi..." Pinta Laras sambil meremas lembut batang penis suaminya. Sepertinya ia sudah tak mampu gelombang menahan birahinya.

"Sabar sayang..." Bambang lalu merebahkan tubuh Laras, melumat habis puting payudara istrinya yang kian mengeras dan memberikan gigitan-gigitan kecil. Perlahan, jilatannya berangsur turun ke puser, perut hingga ke kelubang kenikmatan Laras.

“Ohh... oooohh... abbiiii... Terus abbiii.. Nniiiikmatnya jilatanmu sayang... Aaaahhhh...." Erang Laras yang semakin merasa keenakan karena jilatan dan tusukan lidah suaminya.

"ayo abiii... masukin sekarang..."

Bambang lalu beranjak dari vagina istrinya, dan menempatkan penis besarnya dilubang kenikmatan Laras.

"Iya abi... Cepet masukin... Entot istrimu abi...." pinta Laras tak sabar.

Namun Bambang sepertinya ingin menggoda istrinya, melihat istrinya menggelijang-gelijang seperti cacing kepanasan, ia hanya tertawa kegirangan. Ia malah menggesek-gesekkan batang penisnya maju mundur ke lubang vagina istrinya. Membuat penis besarnya mengkilat karena lendir kenikmatan Laras.

"abiii... Kok malah main-main siiihhh... Ayooo sayang... Tusuk memek ummi..." Raung Laras sambil tak sabaran.

Karena Bambang belum juga mau menusuk vaginanya, Laras lalu bangun dari posisi tidurnya dan mendorong tubuh Bambang hingga telentang. Dengan sigap ia lalu membuka pahanya lebar-lebar, meraih batang penis suaminya dan menempatkan kearah lubang vaginanya. Pelan tapi pasti, Laras mulai menduduki batang penis itu dan memasukkan batang penis Bambang ke lubang vaginanya. Sedikit demi sedikit ia menurunkan pinggulnya.

Walau sudah belasan tahun menikah dan hampir tiap hari Laras melakukan seks dengan Bambang, namun untuk hal penetrasi seks, vagina mungilnya masih saja merasa kesulitan untuk dapat menampung penis besar suaminya . Vaginanya terlihat penuh dan sesak. Tak berapa lama, batang panjang milik bambang penis itu pun tertalan semua. Terlahap habis oleh vagina mungil Laras.

" Ohh... aabbiii.... Dalem banget... !" Oceh Laras mulai kesetanan,

"Kontolmu berasa nembus mulut rahimku... "

"Hehehe... Goyang ummi..."

Tanpa dipinta dua kali, Laras segera menggerakkan pinggul semoknya naik turun.

"OOooohh... enak banget sayang..." Erang Laras,

"memekku terasa penuh bangeeeett..."

"Enaaak ya ummi... Terus sayaaanng...."

Laras menggoyang penis Bambang dengan hebat. Tak puas bergerak naik turun, ia pun menggerakkannya maju-mundur dan berputar. Ia menggiling batang kenikmatan suaminya tanpa ampun. Tak mau kalah, Bambang pun meremas payudara Laras dengan gemas sambil memainkan putingnya yang semakin keras.

"aabiii... Aku mau keluar abi.." Erang Laras sambil mempercepat gerakan pinggulnya.

"Cepet banget ummi...?"

"Ya kalo dimasukin batang sebesar punya abi.. Aku pasti cepet keluarnya sayang... OOooohhh.... " Jelas Laras

"Isep tetekku sayang..."

Melihat istrinya akan mendapatkan orgasmenya, Bambang lalu menuruti permintaan Laras. Dalam posisi duduk ia lalu menjilati payudara istrinya.

"abbiii.. abiiii.. Aku keluaaaarrrr..." Jerit Laras histeris. Seolah seperti naik kuda, Laras menghajar batang penis Bambang keras-keras. Menghempas-hempaskan vaginanya kearah kemaluan suaminya, "aabbiiii.... Enak baaaaaannngggeeeettttt..."

Saking enaknya, mata Laras sampai terbalik, mulutnya menganga dan tubuhnya melengkung kebelakang. Sejenak, Bambang mendiamkan Laras. Ia membiarkan istrinya untuk menikmati kedutan enak di vaginanya.

"Enak banget ya ummi..." bisik Bambang.

"iya abiii... Nyut-nyutnya nyenengin..." Balas Laras sambil tersenyum puas.

"Yuk lanjut sayang... "Ajak Bambang. Tanpa melepas penisnya yang masih tertancap dalam vagina Laras, ia lalu merebahkan istrinya.
Dengan nafsu yang menggebu-gebu, Bambang semakin mempercepat sodokan penisnya.

SPLOK...SPLOK... SPLOK...

Suara tumbukan kelamin mereka berdua.

"Aaaauuuuhhh.... Sodok yang keras abi.. Sodok terus..." Racau Laras lantang,

"Entotin lebih keras lagi sayang...."

SPLOK...SPLOK... SPLOK...

Bambang menggerakkan pinggulnya dengan brutal, tusukan demi tusukan penisnya terhujam ke vagina Laras dalam-dalam. Membuat tubuh mungil wanita cantik itu terdorong kedepan, hingga menabrak sandaran tempat tidur.

"Ohhh Iya begitu sayang.... Terus... Entot yang keras...Ohhh... Ohhh Nikmatnya kontolmu abiii..."

Melihat Laras merasa keenakan, Bambang mendadak menarik batang penisnya hingga terlepas keluar. Mendiamkannya sesaat, lalu menusukkan kembali dalam-dalam

"AAARRRGGGGHHHH... aabbiiiii..." Jerit Laras

"Rasakan ini ummi... Rasakan kontol kerasku..." Lagi-lagi Bambang mencabut batang penisnya, lalu menusukkannya dengan keras ke vagina Laras.

"Oooohhh.... Iyaaa aabbbiii.... Terusss.... Lebih kenceng lagi nusuknya... Lebih kenceng lagi sayaaang..." Pinta Laras, alih-alih merasa kesakitan, Istri Bambang ini malah keenakan

"OOOhhhhh abiii... Aampuuunnn..." rintih Laras

"Aku bener-bener mau keluar..."

"Tahan sayaaang... kita keluar bareeeng...."

"Ayooo abbiii Aku sudah nggak kuat lagi..." Erang Laras yang tak kuat lagi gelombang orgasmenya yang akan datang. Dengan mencengkeram payudaranya keras-keras istri Bambang itu pun akhirnya berteriak lantang

" Aaku keeluuuar aabiii..."

"Kita keluar bareng sayang... " ucap bambang tak kalah lantangnya

"AARRRRGGGGHHHHH...."

Kelojotan. Tubuh mereka berdua seolah terkena arus listrik ribuan volt. Saking puasnya, mata laras kembali terbalik-balik dengan mulutnya menganga. Orgasme yang ia rasakan kali ini lebih hebat dari sebelum-sebelumnya. Kali ini tubuh Laras bergetar lebih hebat, sampai-sampai vaginanya menyemburkan lendir kewanitaannya. Terengah-tengah sambil mengatur nafas, tubuh Bambang ambruk menimpa Laras. Mereka terdiam sembari menikmati pijatan kelamin masing-masing. Menikmati orgasme.

Fania yang masih berada diruang tamu mendengar dengan jelas desahan kenikmatan ummi dan abinya. Fania sudah sering mendengar desahan kenikmatan ayah ibunya. Dan setiap mendengarnya fania merasa resah dan gatal dibagian vaginanya. Namun fania segera menepis pikiran negatifnya dengan pergi berwudhu. Setelah berwudhu, Fania merapikan tempat tidurnya yang sedikit berantakan. Kilauan cahaya terlihat olehnya dari sebuah benda kecil di atas ranjangnya. Fania pun mengambilnya dan memperhatikan. Keningnya berkerut, mengingat benda yang harganya puluhan juta itu.

"Gelang milik siapa ini? Ummi Aini atau Ummi Laila? Semoga saja punya Ummi Aini. Kalau punya Ummi Laila, Fania berurusan lagi sama Fauzan. Ada-ada saja, sih! Bikin pusing! Astaghfirullah ... ampuni Fania, Ya Allah."

Fania menggerutu tapi langsung mengucap istighfar. Dia memang selalu seperti itu, saat bibirnya mengeluh atau mengucapkan kalimat yang buruk. Dia segera menyimpan gelang emas dengan kombinasi permata itu di dalam dompetnya. Beberapa saat kemudian, Fania pun terlelap di atas ranjangnya, karena rasa kantuk dan lelah.

Keesokan harinya Bambang pagi-pagi sekali sudah berangkat bekerja. Sementara Fania masih berkutat dengan layar laptop di dalam kamarnya. Hari ini dia sengaja datang terlambat karena ingin melihat langsung launching sebuah produk gamis terbaru dari salah satu brand terkenal tapi harganya terjangkau, di salah satu pusat perbelanjaan yang ada di Tengah kota. Selain itu, Fania juga ingin ke rumah Aini untuk mengembalikan gelang yang dia temukan tadi malam. Tujuannya memang rumah Aini karena dia sendiri tidak tahu dan tak mau tahu rumah Laila. Seandainya gelang itu milik Laila, Fania berencana akan menitipkannya pada Aini saja.
********
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd