Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG KUCUMBU TUBUH INDAHMU

BAB 16

Tepat pukul tujuh malam, Fahri baru sampai di rumah. Dia segera membersihkan diri kemudian melaksanakan sholat isya' berjamaah di masjid yang ada di dalam perumahan. Setibanya di rumah, mereka berdua makan malam. Jantung Fahri berdebar, memperhatikan rambut panjang Fania yang setengah basah. Sebagai pria normal, dia juga memiliki hasrat pada istrinya, apalagi hubungan mereka sudah halal. Pandangan mata Fahri, membuat Fania tersipu.

Setelah selesai makan malam, Fahri mencuci piring dan gelas kotor. Fania membersihkan meja dan tersenyum. Dia bersyukur Fahri selalu membantunya dalam urusan pekerjaan rumah tanpa malu. Saat ini, mereka berdua masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi ranjang. Suasana tiba-tiba menjadi canggung, membuat Fania gugup.

"Mas..."

"Apa, Sayang?" tanya Fahri menggoda. Fania hanya menggelengkan kepala mendengarnya.

"Mas, besok Fania ambil motor di rumah Abi, ya? Biar Fania bisa berangkat dan pulang sendiri."

"Biar aku yang antar jemput. Kamu jangan naik motor sendiri. Kamu sudah jadi istriku. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa di jalan," ucap Fahri tak setuju.

"Tapi...."

"Biar motormu di rumah Abi. Biar dipakai Abi buat cadangan. Aku ada motor matic nganggur di rumah. Kalau mau aku bawakan besok. Tapi hanya untuk pergi sekitar sini saja." Jawaban Fahri membuat Fania cemberut.

"Tapi itu beda, Mas. Motor yang di rumah itu 'kan hasil jerih payah Fania sendiri. Kalau Mas bawa motornya Mas, itu bukan motor Fania." Fahri terkejut mendengar ucapan istrinya.

"Astaghfirullah ... Maaf, aku nggak bermaksud apa-apa. Pikirku biar motor kamu dipakai Abi. Ya sudah, biar besok aku akan menyuruh Anton mengambilkan motormu,” sahut Fahri menyadari kesalahannya.

"Terima kasih ya, Mas."

Fahri mengangguk dan tersenyum penuh arti. Dia meraih jemari tangan Fania kemudian mengecupnya dengan lembut.

"Kok hanya terima kasih saja."

"Terus maunya apa?" tanya Fania tak mengerti.

"Aku pulang dari masjid, melihatmu melipat sajadah dan mukena. Apa itu artinya sudah selesai?"

"Sudah selesai apa?" Kedua pipi Fania merona karena malu. Dia pun mengerti apa yang diinginkan sang suami.

"Sayang, jangan menggodaku. Kamu tahu apa yang aku maksud. Apakah kamu sudah siap? Kalau belum, aku tak akan memaksamu."

Fania mengangguk malu, membuat Fahri semakin gemas. Rasa malu, gugup, bahagia, deg-degan, bercampur menjadi satu. Bahkan Fania tak berani memandang wajah tampan di sampingnya.

Fahri melihat senyum manis dari gerak mata indah Fania. Fahri membawa Fania ke tempat tidur. Begitu kaki belakangnya sudah mentok di pinggir tempat tidur, ia serta merta menjatuhkan diri yang diikuti Fania dalam pelukannya. Fahri merasakan kenyalnya payudara Fania yang beradu dengan dadanya. Nafas keduanya jadi memburu. Saat itulah Fahri dengan perlahan membuka cadar yang menutupi pemilik mata cantik itu. Seperti sebuah gerakan slow motion, cadar Fania perlahan terlepas. Bagi Fahri ini

"Slasss..."

Cadar terlepas sudah ke arah kiri. Fania membuka mata, sama-sama menatap dengan detil wajah masing-masing. Bagi Fania bisa menikmati wajah Fahri sedekat itu adalah rezeki, karena selama ini ia tak berani menatap terlalu lama. Keduanya sama-sama mengagumi raut wajah masing-masing. Fahri sendiri kembali mengucapkan syukur dalam hati.

"Masya Allah sayang, istriku cantik luar biasa sekali," ucap Fahri polos.

Fania bahagia dapat pujian tulus itu. Wajahnya bersemu merah, sehingga menambah cantik, enak sekali untuk dipandang.

"Mas Fahri juga ganteng sekali..." puji Fania.

Tangan Fahri bergerak membuka jilbab yang dipakai Fania. Jantungnya berdebar lagi, saat ujung rambut kehitaman mulai menyembul dari balik hijab yang terbuka. Satu wajah tirus terpampang dengan rambut kehitaman. Fahri serasa melihat artis. Tangannya tanpa sadar menjangkau dagu Fania, menatapnya serasa tak percaya.

“Alhamdulillah ya Allah, karunia-Mu luar biasa untukku," ucap syukur Fahri dalam hati.

Fahri perlahan melepaskan pelukan Fania dan memindahkannya ke samping. Fahri kemudian mencopot semua baju yang dipakai, sehingga bulu dadanya terpapar menggoda. Jantung Fania jadi ngak karu-karuan, melihat dada berotot milik suaminya. Bulu-bulunya itu membikin bulu-bulu halus di tubuh Fania mendadak meremang. Sekali dalam seumur hidupnya melihat dan akan memegang lelaki yang sudah tak memakai baju.

"Sebelumnya, gamisnya dibuka aja biar nyaman," mata dan alis Fahri naik turun genit.

"Jangan Mas... Fania kan jadi malu..." Fania ingin mempertahankan gamisnya.

"Malu kenapa sayang, semua udah halal, dapat pahala jika kamu melakukannya mmmhhh..." bujuk Fahri dengan senyum termanis

Tak mau menunggu alasan berikutnya, Fahri melakukan gerak cepat membantu Fania membuka gamis, sehingga yang tersisa hanya memakai pakaian dalam saja. Fania berupaya menutupi dada dan kemaluannya dengan dua tangan. Fahri terpana cukup lama, tubuh Fania yang seperti gitar spanyol sudah terpampang jelas. Fahri lalu menarik baju dan rok dalam Fania, sehingga hanya meninggalkan CD dan BH saja. Agar imbang, Fahri mencopot sendiri celana pendeknya, sehingga hanya menyisakan CD.

"Jangan malu sayang, kita sudah sama-sama halal...ummm..."

Nafas Fahri mulai memburu. Kepala burungnya pun Sudah mulai menyembul dari balik CD menghadap atas. Fahri kini berada di atas Fania, mendekatkan hidungnya ke wajah, menghirup aroma harum kulit dan rambut. Dari dahi, bibir Fahri menyusuri hidung mancung fania. Hidung keduanya sama-sama tinggi. Bibir Fahri mencium pipi ranum fania, lalu berpindah ke mulut. Bibir dan bibir pun bertemu. Pagutan penuh penghayatan berlangsung cukup lama. Lidahpun bergantian saling menghisap, hingga akhirnya mereka terbuai cukup lama.

"Astaghfirullah... Kita lupa malam Sunnah pengantin Mas."

Fania buru-buru duduk, menyadarkan Fahri yang hampir melepaskan semua libidonya. Ucapan istighfar keluar dari mulut Fahri. Ia segera menggendong Fania berwudhu ke pancuran.

"Maaf ya sayang, Mas khilaf. Bidadari Mas sungguh luar biasa cantik, bikin Mas lupa ambil pahala malam pengantennya," ujar Fahri.

"Sama-sama Mas, Fania juga minta maaf karena hampir membuat kita berdua lupa menyelenggarakan adab penganten malam pertama," ujar Fania.

Fahri mempersilahkan Fania wudhu duluan lalu disusul dirinya berwudhu. Keduanya kembali masuk dan membentangkan sajadah. Setelah berpakaian lengkap, berdua mereka shalat Sunnah malam pengantin. Semua doa selesai dipanjatkan, termasuk doa pelindung dari segala kemudharatan yang akan terjadi. Selesai rangkaian ibadah malam penganten, Fahri segera membuka seluruh pakaiannya lagi hingga tinggal CD saja. Fania tersenyum melihat tingkah suaminya yang sudah tidak sabaran. Ia pun membuka pakaian hingga tersisa BH dan CD pula. Fahri mengangkat Fania ke atas tempat tidur, merebahkannya perlahan, lalu langsung menyerbu pipi dan bibir. Fania menyambutnya tak kalah ganas, bibir Fahri yang juga menjadi candu bagi Fania, dilumat dengan rakus. Lidah keduanya saling berantam, saling hisap, sampai rasa pedar memisahkan keduanya. Fahri beralih ke leher jenjang Fania yang sangat menggoda. Tak sekedar menjilat, ia juga menghisap meninggalkan banyak tanda kepemilikan di sana. Fania hanya bisa menggelinjang liar, dengan desisan kenikmatan tiada Tara.

"Mas... Enak sekali... mmmhhh"

Fahri turun lebih berani ke payudara yang bentuknya sangat menggoda. dibukanya pengait, lalu melemparkan BH ke samping tempat tidur. Aroma bukit kembar Fania mengeluarkan semerbak wangi bunga musim semi. Putingnya berwarna coklat muda, tampak sangat menantang dikala nafsu Fania yang juga sudah membludak. Fahri menghisap puting kanan dengan rasa nikmat tiada tara. Hisapan itu membuat Fania makin bergerak liar. Apalagi tangan Fahri satu lagi sibuk memelintir pelan puting payudara satunya, menciptakan sensasi yang membuat badan panas dingin.

"Mas.... Enak sekali... Ohhh... Mmmhhhmm..." Fania meracau.

Fahri masih meneruskan menghisap makin dalam, meski Fania sudah memohon agar segera dimasukin. Vaginanya berdenyut-denyut ganas, minta dimasuki penis Fahri. Fahri segera mencopot CD warna pink Fania, sehingga Miss-V yang sudah basah sempurna terpampang di depan matanya. Tak ada bulu yang tumbuh di sana, semua sudah dicukur habis, sehingga bentuknya sangat menggoda. Fania yang sadar sudah tak pakai CD lagi mendongak, lalu melihat kearah Fahri yang mulai membuka CD-nya sendiri.

"Serrr..." Darah Fania berdesir keras, kala melihat rudal pria dewasa dalam seumur hidup untuk pertama kalinya. Rudal fahri berukuran standart 15 cm. Namun Fania yang baru pertama kali melihat penis menganggap itu adalah ukuran yang besar.

Ia mau melihat lebih detil, namun urung dilakukan karena Fahri sudah bersiap mau mengambil kesucian yang selama ini ia jaga dengan baik. Malam ini, semua akan diambil oleh lelaki yang telah berhak untuk mengambilnya. Fahri lalu membimbing fania mengucapkan doa bersetubuh. Setelah selesai, Junior Fahri mulai menyibak bibir vagina Fania yang bersih wangi.

Fahri mendorong pelan sambil mencari dimana letak selaput dara. Pengalaman malam pertama menembus selaput dara yang membuat kepala junior Fahri masih berdenyut hingga kini, membuatnya susah untuk melupakan. Jika sebelumnya dia masih awam dengan selaput dara, maka yang kedua ini dia berharap bisa menembus lebih sukses lagi. Rudal Fahri merasakan keberadaan selaput dara, saat ia merasa rudalnya mentok pada dinding tebal yang berperan seperti sebuah dinding penghalang. Fahri mendorong pelan, sambil memperhatikan reaksi Fania.

"Mas...pelan-pelan... perih... aahhh...sakit Mas...aaawww.... perih" Racau fania dengan meringis kesakitan.

"Sabar ya sayang...aku jug pelan-pelan kok.. hhhmmmpphhh" Ucap Fahri.

Seiring tusukan rudal yang menembus selaput dara, Fahri melihat keringat sebesar butiran jagung membasahi dahi istrinya. Wajahnya mengerinyit dan "Akhhh...." desah fania.

"Sakit sekali Mas... sakiiitt..." tubuh Fania gemetaran namun ia menekan bokong Fahri agar meneruskan.

Fahri yang merasa kepala junior mulai berdenyut cepat lagi, mendadak panik takut juniornya segera muntah lagi. Dalam satu gerakan kuat, ia dorong junior menembus selaput dara dan "Rrttt..." suara sobekan terdengar diiringi dengan muntahnya lahar gunung berapi.

"Waduh... edi (ejakulasi dini) lagi gue..." sesal Fahri dalam hati.

Fahri segera memeluk erat Fania yang masih berupaya menenangkan detak jantungnya sambil menahan rasa sakit di selakangannya. Rudal Fahri yang dibasahi darah perawannya, kini terasa mengecil mendadak, seperti mengambil posisi istirahat.
Meski begitu, otot vagina fania menahan kuat junior Fahri agar tidak melorot ke luar dengan kepitan menahan rasa sakit yang tiada tara. Fania membiarkan Fahri kembali menghisap putingnya seperti bayi kecil yang kehausan. Tangannya yang masih bebas, ia gunakan mempelintir puting satunya dan melakukan gerakan meremas pelan.

Hebatnya, tangan Fahri satu lagi juga sibuk meremas bokong indahnya. Kombinasi tiga rangsangan itu, perlahan kembali membangkitkan junior Fahri yang mabuk di separuh jalan. Makin besarnya junior Fahri di dalam vegi, membuat Fania merasa sesak kembali. Seiring dengan rasa sakit yang perlahan menghilang lalu menjelma menjadi gelombang kenikmatan yang sulit dilukiskan. Fania secara alami melakukan gerakan maju mundur. Fahri yang merasa junior sudah bisa diajak kerjasama lagi, membalas Fania dengan sodokan yang seirama.

"Aaw... perih Mas...tapi enak...aaauuhhh....aaahhh" Racau Fania yang merasakan sakit tapi ada kenikmatan yang dia rasakan dari batang milik fahri.

"Iya...aku pelan-pelan kok sayang...aaahh....enaknya..... aaauuhhh" Ucap fahri menahan geli di kepala penisnya.

Fania tampak semakin rileks, suaranya makin mesra memanggil-manggil nama Fahri berulang kali. Tangannya kadang mengapai dada dan pinggang Fahri, kadang meremas tempat tidur. Seiring terus menarik keluarkan penisnya, vagina Fania sudah mulai adaptasi dengan batang Fahri dan dengan terus menusuk Fahri terus melancarkan aksinya dan membuat keduanya merasa sangat kenikmatan. Apalagi Fania, tadi sempat kesakitan namun kali ini dia menginginkan genjotan dari Fahri dan semakin terus menginginkannya.

"Aahh...aahhh...enak mas... aahhh...terus mas... terussshhhhh...aahhh" Racau Fania yang mulai mengikuti gerakan maju-mundur kincir dengan goyangan pinggulnya.

"Iya...enak itu sayang...aahh...oohhh....terus goyang sayang.... terussshh....ahhh" desah Fahri semakin ingin terus menggenjot Fania tanpa ampun.

"Mas....aku....aaahhh...aku.... mau....aaahhh...aku mau….. Mas...aaahhh..."desah Fania dengan tubuh yang bergetar.

"Aaaaahhhhhhhhhhhhhh" Pekik Fania dengan keluarnya cairan dari lubang vaginanya.

"Mas... oh..oh.. maaf... saya pipis....." ." Fania menutup mukanya tanda malu.

"Bukan pipis sayang, itu namanya orgasme," bisik Fahri memberi ruang istirahat sebentar pada Fania untuk merasakan nikmat pertama orgasmenya.

Setelah nafas Fania kembali teratur, Fahri kembali melakukan sodokan yang semakin intens. Pasca muntah di awal, rudal Fahri bisa diandalkan untuk main berlama-lama. Walau bagaimanapun, testisnya butuh waktu untuk melakukan produksi sperma baru. Saat dua lato-latonya bekerja keras, bisa dimanfaatkan Fahri membahagiakan Fania dengan orgasme berulang-ulang.

"Mau coba gaya lain sayang?" bisik Fahri di telinga bidadarinya.

"Caranya Mas...? Fania ndak tahu apa-apa," jawab Fania polos.

"Kalau begitu, ikut saja apa yang Mas lakukan ya... selama tidak di tempat yang haram yaitu anus kamu, semua posisi halal kita coba. Oke ya..?"

Fania mengangguk setuju. Fahri menghentikan sebentar sodokannya. Ia peluk erat tubuh mulus bininya, lalu dengan gerakan cepat membalikkan badan, sehingga kini Fania yang ada di atas. Sayang kali ini junior terlepas dari sarungnya.

"Sekarang kamu jongkok dulu ya..."

Fahri berupaya menegakkan rudalnya menghadap ke atas. Perlahan ia menuntun Fania turun hingga kini veginya tepat di kepala junior. Inci demi inci kepala junior menghilang, diikuti batangnya hingga akhirnya semua hilang masuk terowongan. Mata Fania membeliak ke atas, merasakan rudal Fahri membuat ia tersedak di bagian dalam. Walaupun rudal fahri berukuran standart namun vagina fania yang baru saja diperawani dan sempit terasa sesak. Fahri menuntun Fania untuk naik turun, setelah fasih, Fahri kini bebas meremas nenen Fania yang terus berayun gembira.

Fahri kemudian meminta Fania menyilangkan kakinya ke depan, karena ia ingin nenen lagi. Posisi pun berubah ke posisi duduk. Pada posisi ini, Fania kembali mendapatkan sensasi berbeda. Jika di posisi di atas tadi ia telah dapat dua kali orgasme lagi, kini ia dapat sekali lagi. Fahri terus menghisap nenen kesukaannya tanpa ada tanda-tanda akan berhenti. Tak puas satu nenen, Fahri sekali-sekali menarik dua nenen sehingga putingnya bersatu. Ia kemudian menghisap sekaligus. Terang saja Fania makin blingsatan, hingga ia merasa sedikit pedih.

"Mas... nenen Fania sudah pedih sekali."

Fahri menghentikan menghisap. Fahri juga ingin Fania merasakan ditusuk dari belakang. Ia kemudian merebahkan kepalanya, lalu meminta Fania berbalik. Cara ini jauh lebih bisa diterima, daripada langsung disuruh nungging. Fania menurut dan mulai merasakan Fahri bermain di punggung dan tengkuknya. Puas di sana, ia diminta Fahri membungkuk. Meski tidak tahu untuk apa, ia patuhi arahan Fahri.

Posisi anjing kawin pun makin membuat malam terasa bertambah panas. Fania mulai merasakan liangnya panas. Hal yang sama dirasakan Fahri dengan tidak licinnya junior dalam berseluncur. Fahri mempercepat gerakannya, cepat dan makin cepat. Kecipak suaranya sangat merdu di telinga, disebabkan suara junior yang keluar masuk. Tak lama kemudian, Fahri merasakan gelombang lahar yang datang menerjang. Fahri menahan gerakannya dengan menusukkan junior makin dalam.

"Croot...crooot...croot..."

Lahar pun tumpah dalam jumlah banyak. Fania baru merasakan seperti ada tembakan dalam veginya yang terasa hangat-hangat nikmat.
Tubuh Fahri ambruk di samping tubuh Fania setelah mencapai orgasmenya dan ini sangat nikmat baginya. Di tambah lagi dia benar-benar bisa menyaksikan lelehan cairan spermanya dan milik Fania yang keluar berbarengan dengan darah kental melalui lubang vagina milik Fania.

Fahri kembali menutup matanya, sementara Fania segera beranjak dari tempat tidurnya dan menuju kamar mandi yang memang tersedia di dalam kamarnya. Dia membersihkan noda darah yang sedikit masih keluar dari lubang vaginanya dan menahan kakinya agar tak terlihat aneh saat berjalan. Namun terasa ada sesuatu yang mengganjal di selangkangannya dan dia tidak bisa normal dalam berjalan.

Kembali dia tertidur di sebelah Fahri dengan memeluk tubuh suaminya itu dan menaruh kepalanya di atas dada bidang Fahri dengan menutup tubuhnya dan tubuh Fahri yang masih bugil tanpa busana. Fania kembali tertidur dengan merasakan sensasi penetrasi penis Fahri yang baru saja menyiram benihnya di rahim Fania, dia masih bisa sedikit merasakan kenikmatan itu. Namun ada yang lebih jelas terasa saat ini, di selangkangannya seperti masih tertancap batang keras milik Fahri namun itu tak tak ada disana. Entah kenapa tapi tetap membuatnya tak nyaman, apalagi jika sedang berjalan.

********


Fahri bangun terlebih dahulu dan langsung ke kamar mandi membersihkan diri. Setelah keluar dari kamar mandi, dia berbaring dan memandang wajah cantik istrinya yang masih terpejam. Meskipun tak tega, dia harus membangunkan Fania untuk melaksanakan kewajiban dua rakaat. Dia mengecup kening istrinya dengan lembut dan berusaha membangunkan Fania yang terlihat lelah.

"Sayang, bangun. Sudah mau adzan subuh," ucap Fahri dengan suara lirih.

Fania menggeliat dan perlahan membuka matanya. Fahri tersenyum kemudian beranjak dari tidurnya.

"Aku gendong, ya?"

Tanpa menunggu jawaban, Fahri menggendong Fania dan membawanya masuk ke dalam kamar mandi.

"Mandilah, aku akan pergi ke masjid.'

Fahri mengusap lembut rambut panjang Fania sebelum pergi. Fania hanya diam memandang punggung Fahri sampai hilang di balik pintu. Bahkan dia tak bisa bicara karena terkejut dengan perlakuan Fahri padanya. Dia pun mulai membersihkan badan dengan bibir yang tak mau berhenti tersenyum, mengingat kejadian semalam. Setelah melaksanakan sholat dua rakaat dan berdzikir, Fania duduk di depan cermin. Dia mulai merias wajahnya dengan krim pagi dan sedikit pewarna bibir. Beberapa saat kemudian, Fahri masuk dan mengucap salam. Dia mendekat dan duduk berlutut di hadapan Fania.

"Masih sakit?" tanya Fahri sembari mengusap lembut pipi istrinya. Fania mengangguk perlahan dengan kedua pipi yang merona malu.

"Hari ini kamu di rumah saja, jangan bekerja. Kamu pasti lelah. Beri Mawar dan Citra libur satu hari lagi. Nggak apa-apa, kan? Aku akan menemanimu di rumah."

Fania membenarkan ucapan Fahri dan mengangguk setuju. Fahri tersenyum.

"Aku akan masak untuk sarapan kita. Kamu tunggu saja di sini."

"Tapi, Mas...."

"Tenang, aku sudah biasa mengerjakannya. Tunggu sebentar, beri aku waktu dua puluh menit."

Fania mengangguk terpaksa. Fahri mengecup kening istrinya sebelum beranjak meninggalkan kamar. Sementara Fania mengirim pesan pada Mawar dan Citra, sesuai apa yang disarankan Fahri padanya. Dengan cekatan Fahri mulai membuat nasi goreng dengan bahan-bahan yang tersedia. Nasi goreng sosis dan sayur sawi dengan telur mata sapi di atasnya. Fania berjalan perlahan dan duduk di ruang makan. Fahri tersenyum menyambutnya kemudian meletakkan dua piring nasi goreng di atas meja.

"Ayo kita makan. Kamu pasti lapar," ucap Fahri dengan semangat.

Fania mulai mencicipi nasi goreng di hadapannya yang terlihat sangat menggugah selera. "Enak sekali, Mas."

"Aku akan membuatkanmu setiap hari kalau kamu mau," balas Fahri senang.

"Kalau setiap hari, ya bosan dong, Mas," balas Fania terus terang.

"Aku nggak akan bosan kok kalau tiap hari," sahut Fahri sembari mengedipkan mata, menggoda istrinya.

"Ish, Mas ini! Aku bahas apa, pikirannya Mas ke mana. Nggak nyambung!" Fahri terkekeh.

Mereka berdua menikmati makan pagi, sambil berbincang santai. Sesekali terdengar nada kesal Fania karena Fahri yang selalu menggodanya. Setelah selesai sarapan, mereka berdua duduk di ruang keluarga. Fania duduk bersandar, sementara Fahri berbaring dengan kepala di atas pangkuan istrinya.

"Fania, insyaa Allah surat nikah kita sudah selesai dalam minggu ini," ucap Fahri, Fania tersenyum senang.

"Alhamdulillah. Terima kasih, Mas."

"Aku yang harusnya berterima kasih karena kamu mau menjadi istriku. Tapi ... apakah kamu nggak menyesal menikah denganku?" Fania menggelengkan kepala sebagai jawaban.

"Insyaa Allah, Fania nggak menyesal. Kenapa Mas bertanya seperti itu?" tanya Fania penasaran.

"Ya... terus terang saja, aku minder sama Fauzan. Dia lebih tampan, lebih gagah dan lebih kaya raya." Fania mendengus kesal mendengar jawaban Fahri.

"Mas, bisakah kita tidak membahas Fauzan lagi?" Fahri beranjak dan duduk menghadap istrinya. Dikecupnya jemari tangan Fania dengan lembut.

"Maaf, cintanya nggak main-main sama kamu. Bahkan hadiah microwave itu juga karena dia mendengar percakapanmu dengan teman-temanmu. Seandainya kamu meminta rumah dan mobil keluaran terbaru pun, aku yakin dia pasti akan membelikannya saat ini juga."

Fania menghela napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Meskipun pernah memiliki sedikit perasaan pada Fauzan, Fania tak mungkin mengakuinya di hadapan Fahri.

"Mas, Fania sama sekali tidak memiliki perasaan apa-apa sama Fauzan. Tidak penting lagi Fauzan mau cinta mati sekalipun. Seandainya dia bunuh diri karena patah hati, Fania juga tidak peduli. Insyaa Allah, Mas adalah suami terbaik yang dikirim Allah untuk Fania," jelas Fania, meyakinkan suaminya. Fahri tersenyum mendengarnya.

"Terima kasih, Fania. Aku sangat bersyukur menjadi suamimu."

"Tolong, mulai sekarang, jangan membahas Fauzan lagi. Dan barang-barang pemberian Fauzan, biar buat Ibu atau Ummi saja. Fania nggak mau Mas sakit hati ketika melihatnya di rumah ini. Mas, perjalanan kita masih panjang. Jangan biarkan sesuatu dari masa lalu menghantui rumah tangga kita." Fahri mengangguk yakin.

"Baiklah, aku setuju. Insyaa Allah, aku berjanji tidak akan membahas masalah Fauzan lagi."

"Nah, gitu dong," sahut Fania senang.

"Tapi... Sebenarnya ada satu ganjalan lagi," ucap Fahri.

"Apa lagi, Mas? Kalau soal Fauzan, Fania nggak mau dengar!" balas Fania kesal.

"Bukan soal Fauzan. Maaf, Fania, sebenarnya aku kurang suka kamu dekat dengan Bu Maryam." Kening Fania berkerut, heran mendengar ucapan Fahri.

"Kenapa, Mas? Bu Maryam hanya butuh teman bicara," balas Fania tak terima.

"Aku hanya takut Shella akan mengganggumu. Dia sepertinya masih dendam padamu," ucap Fahri cemas.

"Mas tahu dari mana?" tanya Fania penasaran.

"Shella tak sepolos yang kamu kira, Fania. Mungkin aku hanya berprasangka buruk saja. Sudah dua hari ini dia datang ke restoran bersama teman-temannya. Nadia yang memberi tahuku. Shella dulu sering ke restoran saat kami bertunangan," jelas Fahri.

"Benarkah?"

"Ya, aku nggak tahu pasti tujuannya apa, padahal dia sudah menikah. Jadi tolong, usahakan jangan pergi ke rumah Bu Maryam sendiri." Fania mengangguk mengerti.

"Baik, Mas. Insyaa Allah aku akan mengingatnya.'

"Kamu memang istri yang shalihah. Selalu menuruti perintah suami. Kalau begitu, aku akan memberikanmu hadiah." Kedua bola mata Fania berbinar mendengar kata hadiah. Sementara Fahri tersenyum penuh arti.

"Hadiah

apa, Mas?"

"Surga dunia...."

********


"Beneran hari ini mau ke toko?"

Fahri berdiri di belakang Fania yang duduk di depan cermin. Dia memperhatikan istrinya yang sedang memakai cadar. Wajah cantik itu pun tertutup sempurna, hanya memperlihatkan kedua bola matanya yang indah. Fania beranjak dari duduknya dan berdiri menghadap Fahri.

"Beneranlah, Mas. Fania itu sudah libur tiga hari. Nanti pelanggan Fania kabur. Gara-gara Mas sih, rencana libur sehari jadinya tiga hari. Kasihan Mawar sama Cantika. Masak Fania harus libur lagi," jawab Fania dengan sedikit kesal.

"Nanti aku kirim makan siang buat kalian. Mau, ya?"

Fahri tersenyum dan menyadari kesalahannya. Dia sudah membuat istrinya libur beberapa hari, berbulan madu di rumah.

"Mau, dong. Alhamdulillah... terima kasih, Mas. Jangan lupa, Fania juga mau nasi ayam bakarnya," balas Fania senang.

"Siap, Sayang. Yuk, berangkat. Kalau nanti aku nggak bisa antar, biar makan siangnya diantar Anton, ya?"

"Iya, Mas, santai saja. Yang penting diantar," sahut Fania.

"Sini, aku PC dulu. Aku pasti kangen karena nanti nggak ketemu kamu seharian."

Fania bingung dengan ucapan Fahri, sementara Fahri tersenyum geli. Dia semakin suka menggoda istrinya.

"PC? Apa itu, Mas?" tanya Fania tak mengerti.

Tanpa memberi jawaban, Fahri membuka cadar Fania terlebih dahulu. Dia kemudian memeluk, mencium kedua pipi dan bibir merah istrinya dengan lembut.

"PC itu artinya Peluk Cium. Hahaha....'

"Mas ini ada-ada saja," ucap Fania sambil menggelengkan kepalanya.

Wajah Fania merah merona karena Fahri mengulang kembali perbuatannya, sebelum mereka keluar kamar dan berangkat bekerja. Fahri selalu saja membuat hatinya berbunga-bunga. Fania selalu berdo'a, semoga cinta Fahri tetap sama tidak pernah berubah sampai tutup usia.

*******


Setelah sampai, Fania keluar dari mobil dan masuk ke dalam toko. Sementara Fahri melajukan kendaraan roda empatnya menuju restoran.

"Mawar, Citra, Fania minta maaf karena Fania nggak masuk sampai tiga hari."

Meskipun Fania pemilik toko, dia tetap merasa bersalah. Mawar dan Citra tersenyum dan mengangguk mengerti.

"Iya, Mbak, nggak apa-apa. Kami paham kok, namanya juga masih pengantin baru." Ucapan Mawar membuat Fania tersipu. Kedua gadis itu pun terkekeh.

"Ish, kalian ini. Sudah ya, Fania masuk dulu. Mau ngerjain laporan. Oh ya, nanti kalau ada Bu Maryam, langsung suruh masuk saja. Tadi sudah kirim pesan mau ke sini.

"Siap, Mbak," balas Mawar dan Citra serempak.

Fania duduk di ruang kerjanya dan fokus pada layar laptop. Dia sangat bersyukur memiliki karyawan seperti Mawar dan Citra, yang amanah dan bisa diandalkan.

"Kalau nanti mereka menikah dan tidak bekerja lagi di sini, semoga saja aku bisa mendapatkan ganti seperti mereka. Aamiin.”

Fania berdo'a dalam hati. Mawar dan Citra usianya memang masih muda, masih dua puluh tahun. Fania pun yakin, sebentar lagi kedua gadis itu pasti akan menikah. Fania selalu berdo'a, setelah menikah mereka berdua masih bekerja dengannya.

"Astaghfirullah... kenapa aku harus memikirkan masa depan? Aku harus pasrah dan tetap berdo'a karena Allah pasti akan memberikan yang terbaik buat hamba-Nya," gumam Fania menyesal.

Di saat Fania sedang fokus memandang layar laptop, dia dikejutkan dengan suara salam.

"Assalamu'alaikum, Fania."

"Astaghfirullah... Wa'alaikumussalaam, Bu Maryam."

"Maaf, Ibu mengagetkanmu," ucap Maryam merasa bersalah.

"Nggak apa-apa, Bu. Fanianya saja yang terlalu fokus. Silakan duduk, Bu," balas Fania dengan sopan.

"Terima kasih. Ini Ibu bawakan kue gulung dari toko langganan Ibu." Maryam meletakkan paper bag di atas meja.

"Terima kasih, Bu. Seharusnya Ibu nggak perlu repot seperti ini."

"Ibu tidak repot. Fania, Ibu ke sini sekalian pamit." Ucapan Maryam mengejutkan wanita bercadar itu.

"Ibu mau ke mana?" tanya Fania penasaran.

"Ibu mau pulang ke desa. Di sana masih ada rumah peninggalan orang tua Ibu," jawab Maryam.

"Ibu tinggal sama siapa di sana?" tanya Fania tak tega.

"Ada sepupu Ibu yang janda dan tidak punya anak. Dia juga yang selama ini mengurus rumah itu. Jadi, insyaa Allah kami akan tinggal berdua. Dia wanita yang baik dan shalihah. Ibu akan banyak belajar agama dari dia. Ibu mau fokus ibadah, buat bekal Ibu di akhirat nanti," jelas Maryam, Fania pun mengangguk mengerti.

"Semoga di sana Ibu selalu dalam keberkahan dan lindungan Allah."

"Aamiin... Do'a yang sama buat kamu, Fania. Maaf, kalau selama ini Ibu merepotkanmu."

Kedua bola mata Maryam berkaca-kaca, merasa sedih karena sebentar lagi berpisah dengan Fania.

"Insyaa Allah sama sekali tidak merepotkan, Bu. Fania justru senang sekali mendapatkan kasih sayang dari Ibu," balas Fania sembari menggenggam kedua tangan Maryam.

"Semoga rumah tanggamu langgeng dan memiliki anak-anak yang shalih dan shalihah," ucap Maryam dengan tulus.

"Aamiin Allahumma Aamiin. Bu, Fania ingin memberikan kenang-kenangan buat Ibu. Tolong pilih gamis dan tas yang Ibu senangi." Maryam menggelengkan kepalanya, mencoba menolak.

"Jangan, Nak. Jangan seperti itu....'

"Tolong terima pemberian Fania, Bu. Hanya ini yang bisa Fania berikan. Ayo, Bu, Fania antar ke depan. Ibu pilih mana saja yang Ibu sukai."

"Terima kasih, Fania."

Fania mengangguk dan tersenyum di balik cadarnya. Dia beranjak keluar ruangan dan mengajak Maryam berkeliling memilih gamis dan tas sebagai kenang-kenangan.

Maryam memilih satu set gamis berwarna coklat tua dan satu tas wanita dengan warna senada. Mereka berdua berpelukan sebelum keluar toko. Fania mengantar Maryam sampai di depan pintu, sambil menunggu taksi online pesanan Maryam datang.

Akan tetapi, Fania dan Maryam dikejutkan dengan kedatangan Bagas dan Shella sudah berdiri di hadapan mereka.

"Oh, jadi benar kata Shella. Pasti karena kamu, mamaku memilih tinggal di desa!" teriak Bagas dengan nada marah.

"Maaf, silakan masuk kalau ingin bicara. Nggak enak didengar orang karena kita berada di tempat umum."

Fania mencoba menenangkan Bagas dan mengajaknya masuk ke dalam toko. Mereka mulai menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitar karena suara teriakan Bagas.

"Siapa kamu seenaknya menyuruhku masuk? Aku nggak sudi masuk ke toko wanita munafik seperti kamu!"

Maryam menggelengkan kepala melihat sikap Bagas, terutama ucapannya pada Fania.

"Astaghfirullah... Bagas, kamu keterlaluan! Mama tidak pernah mengajari kamu bersikap seperti ini. Kamu harus minta maaf sama Fania. Dia sama sekali tidak pernah mempengaruhi Mama. Mama hanya ingin menghabiskan masa tua Mama di desa. Dan yang pasti, Mama tidak mau dijadikan pembantu sama istrimu!" Shella berdecak kesal mendengar ucapan Maryam.

"Siapa yang menjadikan Mama pembantu? Aku hanya minta tolong saja. Apa aku salah?" sahut Shella tak terima.

"Yang pasti, mulai sekarang jangan kamu pengaruhi mamaku lagi. Mengerti?" Bagas kembali membentak Fania dengan pandangan mengintimidasi.

Tanpa mereka sadari, Fahri berjalan mendekat dan berdiri di samping istrinya.

"Ada apa ini?" tanya Fahri dengan pandangan tajam tertuju pada Bagas.

Shella terkejut melihat mantan tunangannya itu. Fahri merangkul pundak istrinya tanpa ragu, membuat panas hati Shella.

"Siapa Anda berani-beraninya memarahi istriku?"

Shella menggelengkan kepala tak percaya, mendengar Fahri yang mengakui Fania sebagai istrinya.

"Istri? Apa benar dia istrimu?"

"Ya benar, dia istriku. Apa ada masalah? Apa dia suamimu? Bilang sama dia jangan beraninya sama perempuan saja," jawab Fahri dengan tegas. Dia tak terima dengan sikap Bagas pada Fania.

"Tapi istrimu sudah keterlaluan. Dia sudah mempengaruhi Mama agar tinggal di desa. Harusnya istrimu itu tidak mencampuri urusan kami," balas Shella tak mau kalah.

"Maaf, Fahri, Fania sama sekali tidak mempengaruhi Ibu. Ibu ke sini hanya berpamitan. Ibu ingin tinggal di desa karena Ibu ingin tenang."

Maryam memberi penjelasan karena tak ingin Fahri salah paham. Fahri tersenyum pada Maryam dan mengangguk mengerti. Wajah sedih Maryam, membuat Fahri iba pada wanita paruh baya itu.

"Kamu dengar sendiri, istriku sama sekali tidak mempengaruhi Bu Maryam. Jangan menyalahkan orang lain sebelum bicara. Instrospeksi! Bukankah Anda mendengar sendiri, Bu Maryam pulang ke desa karena nggak mau dijadikan pembantu sama istrimu? Dan aku lebih percaya pada Bu Maryam, karena aku tahu bagaimana Shella!" tegas Fahri membuat Shella semakin kesal.

"Mas, sudah. Tolong, jangan marah."

Fania berusaha menenangkan hati suaminya. Fahri hanya tersenyum kemudian mengusap lembut kepala Fania yang tertutup khimar panjang warna hitam. Melihat Bagas dan Shella yang hanya diam, Maryam segera berpamitan.

"Fania, Ibu pulang dulu. Maaf kalau kedatangan Ibu membuat kekacauan. Maafkan Bagas dan Shella, ya?"

"Buat apa Mama meminta maaf? Ayo, kita pulang. Aku nggak suka Mama bergaul sama mereka," sahut Bagas dengan nada marah.

Bagas menggandeng tangan ibunya dengan kasar, berjalan menuju mobil yang terparkir tak jauh di depan toko Fania. Maryam hanya menurut karena tak ingin membuat putranya semakin marah. Shella mengikuti langkah mereka dari belakang. Fahri dan Fania hanya bisa mengucap istighfar, tanpa bisa berbuat apa-apa. Bagas yang sedang marah pasti akan semakin marah jika mereka menegurnya.

"Ayo masuk, Mas," ajak Fania setelah kendaraan roda empat milik Bagas meninggalkan pertokoan.

Fahri mengikuti langkah Fania dan tersenyum pada Mawar dan Citra.

"Kamu nggak apa-apa, Sayang? tanya Fahri cemas. Mereka berdua duduk berhadapan.

"Nggak apa-apa kok, Mas. Jangan khawatir," jawab Fania dengan tenang.

"Anaknya Bu Maryam gitu banget. Kasihan lihat Bu Maryam, tertekan punya anak seperti Bagas dan menantu seperti Shella ...."

"Mas, istighfar. Nggak usah ghibah," sahut Fania mengingatkan.

"Astaghfirullah ... iya, Sayang. Aku minta maaf. Ini aku bawakan nasi ayam bakar buat kalian. Dimakan, ya?"

Fahri meletakkan satu kantung plastik transparan, yang berisi tiga kotak makan berwarna putih di atas meja.

"Alhamdulillah, Mas nggak makan?" Fahri menggelengkan kepala.

"Nggak, aku nanti saja makannya. Bosan makan ayam bakar terus. Aku mau langsung balik ke restoran," jawab Fahri membuat Fania berdecak kesal.

"Ya Allah, Mas, kenapa tadi nggak nyuruh Anton saja?"

"Aku 'kan ingin ketemu kamu. Aku kangen," ucap Fahri terus terang.

"Mas ini, malu didengar anak-anak."

"Kenapa harus malu? Kita 'kan suami istri. Oh ya, toko sebelah dijual, ya? Bagaimana kalau kita beli?" Fania heran mendengar pertanyaan Fahri.

"Buat apa, Mas?"

"Biar tokomu lebih luas. Kalau perlu tambah karyawan lagi, biar kamu nggak sering-sering ke toko. Aku tidak ingin kamu terlalu lelah. Apalagi kalau kamu hamil nanti."

Fania memandang wajah tampan di hadapannya dengan kagum. Dia membenarkan ucapan suaminya itu.

"Pemikiran Mas memang ada benarnya. Tapi, tabungan Fania belum cukup." Jawaban Fania membuat Fahri gemas.

"Astaghfirullah, aku ini suamimu. Uangku juga uangmu. Kalau kamu nggak mau aku belikan, anggap saja aku menanam saham. Bagaimana?"

"Nanti Fania pikirkan dulu."

Fahri menghela napas panjang sebelum kembali bicara. "Fania, apa kamu masih menganggapku orang lain?"

"Bukan begitu, Mas. Maaf, jangan tersinggung. Sebaiknya Mas juga bicarakan dulu sama Ummi. Fania nggak mau dianggap menggunakan kesempatan mentang-mentang punya suami kaya." Fahri menggelengkan kepala mendengar jawaban istrinya.

"Astaghfirullah, aku dan Ummi tidak pernah punya pikiran seperti itu. Aku yakin ummi pasti senang. Yang pasti aku akan tetap membeli toko sebelah, mumpung belum dibeli orang lain. Kalau kamu nggak mau, biar aku pakai buat kamar saja." Fahri kembali menggoda istrinya.

"Kamar? Maksudnya?" tanya Fania tak mengerti, membuat Fahri tersenyum geli.

"Iya, aku desain buat kamar kita. Jadi kalau istirahat sewaktu-waktu kita bisa tidur berdua di kamar itu. Kalau aku kangen, bisa...."

"Astaghfirullah, Mas ini mesum banget, sih! Fania lebih setuju kalau dibuat toko saja. Ya sudah, Fania mau!" sahut Fania dengan kesal. Fahri tertawa puas.

"Hahaha... Nah gitu, dong!"

"Terima kasih ya, Mas," ucap Fania dengan malu-malu.

"Iya, Sayang. Ya sudah, aku balik ke restoran dulu, ya? Jam lima nanti aku jemput.'

Fahri beranjak dari duduknya kemudian mencium kening Fania dengan lembut. Fania mencium punggung tangan Fahri dengan takzim.

"Iya, Mas, hati-hati di jalan."

"Assalamu'alaikum, Sayang.'

"Wa'alaikumussalaam, Mas.'

Setelah kepergian Fahri, Fania melaksanakan kewajiban empat rakaat terlebih dahulu, sebelum mengajak Mawar dan Citra makan bersama.

Selesai makan siang, Fania membantu mengemas barang-barang pesanan online. Mawar dan Citra sedang melayani beberapa pembeli yang datang. Tepat pukul lima kurang sepuluh menit, Fania kembali ke ruangannya. Dia merapikan lembaran-lembaran kertas yang ada di atas meja, sambil menunggu Fahri menjemputnya.

"Mbak, saya pamit pulang. Tapi di depan ada tamu. Namanya Amira." Kening Fania berkerut mendengar ucapan Mawar.

"Amira?" tanya Fania, meyakinkan pendengarannya.

"Iya, Mbak. Dia bilang namanya Amira," jawab Mawar yakin.

"Baiklah, suruh langsung masuk saja ke sini," balas Fania terpaksa. Dia tak mungkin menolak kedatangan Amira.

"Baik, Mbak."

"Setelah itu kamu boleh langsung pulang." Mawar mengangguk mengerti.

Mawar menemui Amira yang berdiri di dekat pintu. Pandangan mata gadis cantik itu menelusuri setiap sudut ruangan. Ada rasa kagum dalam hatinya, melihat barang dagangan yang ada di toko Fania.

Amira mengikuti langkah Mawar kemudian menyapa Fania dengan ramah.

"Assalamu'alaikum, Fania. Maaf kalau aku mengganggu."

"Wa'alaikumussalaam, nggak mengganggu, kok. Duduklah." Fania membalas salam Amira dengan sopan. "Ada yang bisa Fania bantu?"

"Fania, aku... aku tidak bisa menikah dengan Fauzan," jawab Amira dengan sedih. Kedua bola matanya yang indah mulai mengembun, menahan tangis.

"Kenapa?" tanya Fania dengan lembut. Perasaan Fania tiba-tiba gelisah dengan kedatangan Amira.

"Aku tidak bisa menikah dengan orang yang mencintai gadis lain. Hati Fauzan sudah menjadi milikmu, Fania."

Fania menarik napas dalam, mencoba menenangkan perasaannya.

"Maaf, Fania sudah menikah." Ucapan Fania mengejutkan Amira.

"Kapan?" tanya Amira tak percaya.

"Sudah hampir dua minggu yang lalu."

"Pantas saja Fauzan jadi seperti itu. Dia diam saja dan jarang bicara. Kalau aku tanya jawabnya hanya terserah, iya, tidak. Padahal minggu depan kami akan menikah. Bagaimana nanti nasib rumah tangga kami kalau sikapnya selalu seperti itu?" Amira berbicara apa adanya, menceritakan masalah pribadinya dengan Fauzan.

"Lalu, apa hubungannya dengan Fania? Dia sudah dewasa dan sudah memutuskan untuk menerima perjodohan kalian."

"Fania, tolong kami sekali lagi. Bicaralah pada Fauzan ........"

"Maaf, sebagai suami, aku tidak mengijinkan istriku pergi menemui Fauzan!"






 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd