Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Kisah Tiga Wanita : Vina, Inge dan Memey

Status
Please reply by conversation.
Nyeduh kopi ah sambil nunggu update terbaru..


Ditunggu ya suhu :semangat:
 
Vina ....Sex After Sport

Suatu hari libur pagi-pagi Ibu Vina sudah menelponku, menyuruhku datang ke rumahnya. Aku menurut saja karena kupikir ia pasti disuruh Pak Ivan untuk memanggilku. Sampai di sana ternyata Pak Ivan kemarin sore berangkat ke Jakarta mengantarkan anaknya yang bungsu untuk mendaftar ke sebuah sekolah di Jakarta. Ibu Vina mengenakan celana pendek biru di atas lutut dengan kaus putih yang panjang dan longgar menutupi celana pendeknya sehingga sepertinya ia tidak mengenakan apa-apa di bagian bawah tubuhnya. BH hitam membayang di balik kausnya. Aku sempat heran dan berpikir tidak biasanya ia mengenakan pakaian dalam berwarna gelap. Pahanya yang terlihat gempal, kencang dan mulus membuat gairahku mulai meninggi.

Ibu Vina mengajakku mengobrol di teras dimana Pak Ivan dan kami biasa berbincang. Aku mengenakan kemeja dan celana panjang. Keadaan teras rumahnya agak terlindung dari pandangan orang yang lewat, karena tertutup tanaman hias merambat yang tumbuh lebat sampai ke atap teras. Secara tidak sengaja ia mengatakan bahwa Pak Ivan seorang duda dua anak ketika menikahinya. Aku kemudian berpikir pantas saja wajah kedua anaknya yang besar tidak mirip dengannya. Hanya wajah anaknya yang bungsu yang memang terlihat mirip dengannya. Ia merasa kesepian dengan kepergian anaknya ke Jakarta.

Setelah ngobrol kesana kemari Ibu Vina akhirnya mengajakku main tenis meja. Kami bersama-sama memasang meja tenis di garasi setelah mengeluarkan mobilnya. Karena tidak menyangka akan diajak untuk berolahraga, maka ketika bermain tenis meja aku tetap mengenakan kemeja. Ibu Vina memang hobby olahraga. Di ruangan lainnya kulihat beberapa perlengkapan fitness. Ibu Vina sangat bersemangat bermain tenis meja dan ia memang menguasai beberapa cabang olahraga, terutama yang menggunakan bola, sementara aku hanya sekedar bisa. Akhirnya aku kalah 3-0 dalam permainan itu. Bukannya aku mengalah tetapi meskipun sudah mengerahkan seluruh kemampuanku aku tidak bisa mengalahkannya.

Peluh bercucuran dari tubuh kami. Kubuka kancing kemejaku sehingga terlihat bulu dadaku. Beberapa kali matanya tertangkap melirik ke arah dadaku. Aku mencari koran bekas untuk mengipasi tubuhku agar keringat lebih cepat kering. Melihat hal itu ia mengulurkan selembar handuk kecil kepadaku. Ibu Vina kembali duduk di teras sambil mengipasi lehernya dengan telapak tangannya. Kausnya yang basah dengan keringat menempel di tubuhnya dan mencetak bentuk dadanya yang membusung kencang.

Aku meminta ijin untuk menggunakan kamar mandi di ruang tengah.
"Kalau mau mandi ada handuk bersih di dalam kamar mandi," katanya. Tadinya aku hanya ingin mencuci muka, membasahi tubuh bagian atas dan ketiakku saja. Tetapi akhirnya aku mandi. Setelah mandi, aku merasa lebih segar.

Ketika keluar dari kamar mandi Ibu Vina duduk di sofa sambil menonton TV. Kaki kanannya ditumpangkan ke kaki kirinya sehingga semakin memperlihatkan pahanya yang putih mulus dan kencang. Aku duduk di sebelahnya. Ia mempermainkan remote, mencari acara yang bagus, tetapi kelihatannya tidak ada acara yang cocok di hatinya. Ketika aku akan meraih sebuah majalah di atas meja kecil iapun juga bergerak akan mengambil majalah tersebut. Tangannya justru menangkap pergelangan tanganku. Ia memandangku sambil tersipu, pipinya yang merona semakin membuatnya tampak cantik. Aku memandangnya dan kami saling menatap. Ia tidak melepaskan pegangan pada tanganku malahan justru mengusap bulu-bulu tanganku yang tumbuh jarang. Aku mencoba menarik tanganku tetapi ditahannya. Aku mulai terangsang dengan sikapnya sambil mencoba mengetahui keinginannya. Kupegang jarinya dan kuremas, ia membalasnya dengan lembut. Akhirnya aku memberanikan diri, tanganku melingkar di bahunya dan kurengkuh dia dalam pelukanku. Wajahnya menempel di dadaku yang terbuka di bagian atasnya. Pipinya yang halus bergesekan dengan bulu dadaku. Aku menikmatinya dan kubiarkan saja, Ibu Vina kelihatannya juga tidak berusaha melepaskan pelukannya, justru tangannya malah melingkar di pinggangku.

Ibu Vina mengangkat mukanya memandang ke mukaku. Tinggi badannya tidak berbeda jauh dengan tinggi badanku, paling hanya selisih lima senti saja. Tangannya terasa kencang mengunci pinggangku semakin erat. Perlahan-lahan ia mendekatkan mukanya ke mukaku, semakin lama semakin dekat dan akhirnya bibirnya terbuka di depan mukaku. Aku memalingkan mukaku. Nafasnya kurasakan hangat menyapu pipiku.

Akhirnya bibirnya yang terbuka tadi sampai ke pipiku. Ia mengecup pipiku sekejap. Aku terkejut dan kembali memutar wajahku sehingga berhadapan dengannya. Dengan cepat bibirnya kemudian menyambar bibirku. Aku yang masih belum sadar sepenuhnya atas keadaan ini menjadi gelagapan.
"Mmmppffh....Bu...."
Aku tidak segera membalas ciumannya, Ibu Vina melepaskan ciuman pada bibirku. Ia memandangku dan mengangguk kecil.

Aku terdiam, perlahan tangannya memegang tanganku dan kemudian meremasnya lembut. Dadaku bergetar dengan kepala tertunduk ditambah perasaan dan pikiran yang berkecamuk bercampur aduk menjadi satu. Wangi lembut terhembus halus menerpa, ketika wajahnya mendekat ke mukaku dan sekali lagi dikecupnya pipiku tipis, lembut sekali, nafas hangat berhembus halus ke pipi seiring dengan lepasnya kecupan.

Kuberanikan untuk mengangkat wajahku dan menatap ke arahnya, ia tersenyum hangat dan menggerakkan perlahan wajahnya ke arahku, mendekat, semakin dekat hingga terasa nafasnya berhembus hangat, matanya menatap lembut dan bibirnya merekah merah dan basah, membuat jantungku seperti terhenti dan nafasku memburu membuat seluruh tubuhku menjadi lumpuh, tangannya dilingkarkan di pundakku dan kamipun bertatapan sangat dekat. Bau keringat di tubuhnya justru membuat gairahku semakin menggelegak. Matanya menatap sayu tak berkedip dan bibir yang ranum itu bergerak mendekat menyentuh lembut bibirku, terasa hangat dan basah, indah sekali. Tangannya menarikku berdiri. Perlahan lidahnya menjelajah bibir dan mulutku, mengulum dan menghisap, mencari lidahku. Aku mulai menggerakkan lidahku menyambut lidahnya bermain, saling melilit dan berpagutan. Kurasakan kehangatan gairah dari bibirnya yang menyedot bibirku dengan ganas.

Ia memiringkan kepala agar lebih leluasa memainkan mulutnya dan kulahap bibir yang indah ini. Mula-mula bibirnya terasa keras dan kaku, namun kemudian berangsur menjadi lembut dan lemas. Mata yang sipit itu terpejam disertai tangan yang membelai kepalaku, mengusap rambut dan bergeser perlahan ke arah punggung dan ke pinggulku, mengelus dan meremas lembut. Ibu Vina menggerakan badannya dan perlahan tangannya menggeser ke arah kemaluanku. Antara terkejut dan rasa nikmat bercampur menjadi satu jadi kubiarkan saja. Ibu Vina semakin berani, dia mulai membuka kancing celanaku dan memasukan tangannya ke balik celana dalamku.

Tangan yang halus itu mulai meremas penisku yang telah mulai membesar dan mengeras, terasa tangannya yang hangat mengelus pelan, menggeser dan meremas gemas biji pelir yang terselip di antara selangkanganku, nafasku semakin memburu tajam, menghembus bagian pipinya yang memerah. Tangan yang satunya meraih tanganku yang hanya merangkul di lehernya. Saat itu aku memang sengaja berlaku pasif karena menunggu inisiatifnya terlebuh dahulu. Tangan itu membimbing tanganku perlahan ke payudaranya yang tertutup kaus yang masih basah oleh keringat. Kunikmati rasa empuk dari balik kaus tipis itu. Tanganku meremas payudara Ibu Vina yang besar dan padat berisi dengan perlahan. Putingnya mulai terasa menonjol di balik BHnya. Kuremas bongkahan payudaranya dari luar kausnya, kemudian kujepit putingnya dengan ujung telunjuk dan ibu jari dan mulai kupilin lembut Ibu Vina menggelinjang kegelian, sesekali desahannya terdengar lembut.

Sejenak pelukannnya dilepaskan dari leherku dan badannya dicondongkan perlahan ke badanku membuat kami terdorong terduduk di sofa tanpa melepaskan ciuman. Badannya dalam pangkuanku dengan posisi miring dan tangan kanannya yang mulus mulai dilingkarkan kembali di leherku. Tangannya menyusup di balik kemejaku dan mulai mengusap dadaku. Telapak tangannya digeserkan ke atas sambil menarik bulu dadaku dengan lembut dan ujung jari telunjuknya meraih puting dadaku, memainkannya dan memutar-mutar puting dengan sentuhan lembut jarinya.
"Aakh..", aku mengerang kegelian dan mendesah tanpa sadar, "Oohh..".

Muka Ibu Vina semakin merona merah ketika merasakan nafas birahi yang memburu pada diriku, dia melepas ciumannya dan mengangkat sedikit kepalanya dengan muka yang memerah penuh gairah dihiasi senyum tipis dari bibir yang indah merekah menatap sendu mataku, tangannya ditarik keluar dari dalam baju dan melepas kancing yang tersisa kemudian membukanya. Tanganku kugerakkan untuk membantu usahanya ke atas, dengan cepat kemejaku terlepas. Ibu Vina meraihnya dan melemparkan ke lantai, matanya menatap lekat ke dadaku, terlihat berbinar melihat lekuk-lekuk bidang tubuhku yang dihiasi dengan bulu dada. Ia menggeserkan kepalanya ke dadaku dan bibirnya yang basah mengecup lembut puting yang mengeras karena rabaan ujung jarinya. Ia mengulumnya dan lalu lidahnya dimainkan memutar pinggiran puting, gigi depan yang putih rata menggigit-gigit perlahan dan menghisapnya.

Nafasku tertahan lemah disertai badan yang menekuk menahan geli, "Aakhh..".
Tangan Ibu Vina dengan lincah kembali menjarah celana dalamku dan meraih penisku yang sedang membesar, memanjang, mengeras dan siap untuk memuaskannya. Mulai timbul keinginan yang mendorong diriku untuk lebih aktif, aku mulai menggeser pelukanku dan turun sedikit kepundaknya, meraih sisi bawah kausnya, menyingkapkan sedikit demi sedikit ke atas sehingga payudaranya yang masih tertutup BH hitam kini tepat di depan mukaku. Tanganku mulai meraba merambah dari punggung ke pinggang yang licin mulus dengan elusan perlahan. Kuusap tangannya yang sedang menggerayangi celana-dalamku, menyela diantaranya dan kuusap perlahan payudaranya dari luar BH-nya. Kuremas lembut, dengan putingnya kujepit disela jari telunjuk dan tengah, sesekali kedua jari itu kuapitkan perlahan, ditarik sedikit kearah luar dan ketiga jari lainnya memijit-mijit buah dada dengan lembut.
"Hhmm.. aahh.. aeehhmm..".
Ibu Vina mengaduh dan mendesah lirih, sambil sesekali lidahnya dijulurkan berputar-putar ke ujung putingku yang basah karena jilatannya. Pijatan tanganku semakin menjadi. Kemudian ku pegang puting yang menegang panjang dengan kedua jariku dan memutar memelintir kearah berlawanan berulang-ulang.
"Aahh.. aakhh.. eehhmm..", desah Ibu Vina kembali terdengar dengan mata sedikit tertutup penuh kenikmatan, terasa nafasnya mulai memburu teratur berhembus hangat ke dada.

Ia melepaskan diri dari pelukanku dan menarik tanganku. Dalam posisi berdiri kulepaskan kausnya. Tangannya bergerak ke punggungnya. Aku tahu ia akan membuka pengait BH-nya. Kutahan tangannya.
"Biar saja Bu. Biar aku nanti yang membukanya,' bisikku sambil mengulum telinganya. Ketika ia mendongakkan kepalanya, kutarik rambutnya ke belakang dan lehernya yang putih dan jenjang kukecup dan kujilati dan kugelitik dengan lidahku berkali-kali.

Ia sedikit merenggangkan badannya dari badanku. Tubuhnya digeser sedikit menjauh dari tubuhku, tangannya menarik ritsluiting celanaku yang kancingnya sudah terbuka dari tadi, jari-jarinya dengan lincah menjepit pangkal atas celana dan menurunkan sampai ke lutut, aku membantu dengan menggerak-gerakkan kedua kakiku secara berlawanan, celana panjangku dengan cepat merosot dan terlepas terhempas ke lantai. Kini kami tinggal mengenalan pakaian dalam saja. BH dan celana dalamnya berwarna hitam berpadu dengan kulitnya yang putih mulus. BH-nya seakan-akan tidak cukup memuat buah dadanya sehingga dapat kulihat lingkaran kemerahan di sekitar putingnya. Celananya dari bahan sutra transparan sehingga padang rumput hitam dan lembah di bawah perutnya terihat membayang.

Tangan yang lentik itu mengelus lembut bagian luar celana dalamku dan penisku yang mengeras tersembul dari dalamnya, berdenyut merontak seakan hendak meledak. Jari tangannya menarik turun bagian depan celana dalamku. Penisku tersembul keluar, berdiri, sedikit memiring ke arah perut. Kepala penisku yang besar licin mengkilap bak jamur yang hendak mekar. Nafasku memburu ketika tangannya masuk ke balik celana dalamku, meraih penisku, menggenggamnya dan memijit perlahan. Tangannya digesekkan cepat berulang-ulang membuat permukaan kulit telapak tangannya bergesekan dengan kepala penis, aku melenguh kaget, terasa ngilu dan geli bercampur, sambil bereaksi cepat menahan gerakannya dan membiarkan tangannya mengelus lembut bagian kepala penis. Jari-jemarinya lincah mengapit leher penis dan memijit cepat seperti bergetar.
"Akhh.. aduuh.. Bu... enaakhh..".
Penisku berdenyut keras seiring pijatan lembut jari-jemarinya. Aku melenguh mengaduh, mendesah keenakan tanpa memperdulikan apa-apa lagi. Tanganku meraih pinggulnya, sesekali kuusap lembut pinggul indah itu. Tangannya mengelus terbalik sehingga ujung kukunya menyentuh permukaan batang penisku, menimbulkan rasa geli dan nikmat seperti digaruk lembut. Tangannya terus mengelus perlahan dari leher penis hingga pangkal penis dan memutar-mutar biji penis, meremas-remas, dan kembali mengeluskan kuku jemarinya bergerak perlahan ke arah kepala penis. Mulutnya menyusuri bibir, leher dan dadaku. Lidahnya menjilati bulu dada dan putingku berkali-kali. Aku hanya bisa mendesah menahan kenikmatan yang timbul.

Aku menggelinjang untuk kesekian kalinya penuh kenikmatan. Sepertinya Ibu Vina ahli sekali dalam hal yang satu ini. Jemari itu kemudian menggenggam dan meremas penisku, jemari teratasnya mengapit leher penis menjepit lembut dan digetarkan, tangannya dinaik-turunkan pelan-berulang, terasa penisku berdenyut semakin hebat, jantungku berpacu cepat memompa keras ke kepala, muka memerah, otot-otot di dahi meregang merangsang syaraf sehingga menimbulkan kenikmatan yang luar biasa indahnya. Ia melepaskan kembali remasannya dan menutupkan celana dalamku. Meskipun demikian kepala penisku tidak dapat tersimpan sempurna sehingga masih kelihatan tersembul keluar dari celana dalam.

Ia tidak sabar lagi.
"Ayo kita ke kamar saja........!" bisiknya.
Sambil tetap berpelukan kami begeser perlahan ke arah kamar depan. Kulepas pelukanku dan bergerak berputar ke belakangnya. Dari belakang kembali kupeluk tubuhnya. Tanganku yang mendekap dadanya dipegangnya erat. Badan dan payudaranya sungguh amat keras. Kucium harum rambut wanita ini. Kugigit tengkuknya, hingga badannya meronta pelan. Aku sudah yakin kini Ibu Vina sudah takluk dalam cengkeraman gairahku.

Badannya semakin menghangat. Bibir dan hidungku makin lincah menelusuri tengkuk dan lehernya. Ibu Vina makin menggelinjang apalagi waktu tanganku meremas buah dadanya yang masih tertutup BHnya dari belakang. Kuletakkan mukaku dibahunya dan kusapukan napasku di telinganya. Ibu Vina menjerit kecil menahan geli tapi kemudian mendesah. Ia mempererat pegangan tangannya di tanganku.

Aku memeluknya dari belakang sambil berjalan ke arah kamar depan. Tangannya bergerak ke belakang dan meremas isi celanaku yang semakin terasa memberontak. Setelah masuk ke dalam kamar dilepaskannya tanganku, ia menarikku dan kembali memelukku berhadapan. Kulihat sebuah ranjang yang besar telah menanti kami.
Tanpa menutup pintu kamar, Ibu Vina mendorongku ke ranjang besar tersebut. Dengan berpelukan kami berdua langsung terbaring di atas ranjang.
"Puaskan aku......," rintih Ibu Vina sambil memejamkan matanya.

Rintihannya terhenti waktu bibirku memagut bibirnya yang merekah. Lidahku menerobos ke mulutnya dan menggelitik lidahnya. Ibu Vina menggeliat dan membalas ciumanku dengan meliukkan lidahnya yang langsung kuisap. Tanganku kembali menari di atas permukaan BH-nya. Kuremas dadanya, kurasakan puting payudaranya sangat keras. Jariku terus menjalar mulai dari dada, perut terus ke bawah hingga pangkal pahanya. Ibu Vina makin menggeliat kegelian. Lidahku sudah beraksi di lubang telinganya dan gigiku menggigit daun telinganya.

Aku menurunkan kepalaku ke arah perut dan mulai mencium serta menggigit pinggulnya. Ia mendongakkan kepalanya dan berdesis lirih. Selama kami bercumbu dari mulutnya hanya keluar desisan dan desah tertahan sambil sesekali gigi atasnya menggigit bibir bawahnya.

Aku berlutut dan meneruskan aksi tanganku ke betisnya, sementara bibirku masih bergerilya di sekitar lutut dan pahanya. Ia merentangkan kedua kakinya dan bergetar meliuk-liuk. Kucium paha bagian dalamnya dan kugigit kecil. Ia makin meliukkan badannya, namun suaranya tidak terdengar. Hanya napasnya yang semakin memburu.

Pada saat ia sedang menggeliat, kuhentikan ciuman di lutut dan pahanya. Aku menindih tubuhnya. Kuusap pantat dan pinggulnya. Kembali ia berdesis pelan. Tubuhnya memang padat dan kencang. Lekukan pinggangnya indah, dan pangkal buah dadanya yang putih nampak bulat segar dengan areal di sekitar puting berwarna coklat kemerahan.

Dengan cepat langsung kusapukan bibirku ke lehernya dan kutarik pelan-pelan ke bawah sambil menciumi dan menjilati leher mulusnya. Ibu Vina semakin merapatkan tubuhnya ke dadaku, sehingga dadanya yang padat menekan keras dadaku. Bau tubuhnya dengan sedikit aroma parfum yang lembut makin menambah nafsuku.

Ia mengusap dadaku yang bidang dengan bulu dada yang lebat dan kemudian putingku dimainkan dengan jarinya. Kucium bibirnya, ia membalas dengan lembut. Lumatanku mulai berubah menjadi lumatan ganas. Ia melepaskan ciumanku.
Ia menatap mataku dan berbisik, "Aku mau kita lakukan dengan perlahan saja To.... Kita masih punya banyak waktu. Aku mau bermain dengan lembut!".
"Eehhhhngng, ....." Ia mendesah ketika kujilati lehernya. Kulihat ia melirik bayangan kami di cermin dinding yang besar.

Ibu Vina bergerak ke samping mendorongku dan kemudian menindih tubuhku. Tanganku bergerak ke punggungnya membuka pengait BHnya. Kususuri bahunya dan kulepas tali BHnya dengan perlahan bergantian. Kini dadanya terbuka polos di hadapanku. Buah dadanya besar dan kencang menggantung di atasku. Putingnya berwarna coklat kemerahan dan sangat keras. Digesek-gesekkannya putingnya ke bulu dadaku.

Ibu Vina mendorong lidahnya jauh ke dalam rongga mulutku kemudian memainkan lidahku dengan menggelitik dan memilinnya. Aku hanya sekedar mengimbangi. Kubiarkan saja Ibu Vina yang mengatur irama permainan. Sesekali gantian lidahku yang mendorong lidahnya dan kedua tangan kananku memilin kedua puting serta meremas payudaranya.

Ibu Vina menggerakkan tubuhnya ke bagian atas tubuhku sehingga payudaranya tepat berada di depan mukaku. Segera kulumat payudaranya dengan mulutku. Putingnya kuisap pelan dan kujilati.
"Aaachhhh, Anto .... terus..Anto ...teruskan".
Ia masih saja mendesah dengan volume suara kecil dan terkendali.

Penisku semakin mengeras. Kusedot payudaranya sehingga sebagian masuk ke dalam mulutku kuhisap lembut, putingnya kujilat dan kumainkan dengan lidahku. Dadanya mulai merona merah bergerak kembang kempis dengan cepat, detak jantungnya juga meningkat, pertanda nafsunya mulai naik. Napasnya berat dan terputus-putus.

Tangannya menyusup di balik celana dalamku, kemudian mengelus, meremas dan mengocoknya dengan lembut. Pantatku kunaikkan dan dengan sekali tarikan, maka celana dalamku sudah terlepas. Kini aku sudah dalam keadaan polos tanpa selembar benang.

Bibirnya mengarah ke leherku, mengecup, menjilatinya kemudian menggigit daun telingaku. Napasnya dihembuskannya ke dalam lubang telingaku. Kini dia mulai menjilati putingku dan tangannya mengusap bulu dadaku sampai ke pinggangku. Aku semakin terangsang. Kugigit bibir bawahku untuk menahan rasa nikmat ini. Kupeluk pinggangnya erat-erat.

Tangannya kemudian bergerak membuka celana dalamnya sendiri dan melemparkannya begitu saja ke lantai. Tangan kiriku ditariknya dan dibawa ke celah antara dua pahanya. Kulihat ke bawah rambut kemaluannya, sebenarnya lebat tetapi dipotong rapi. Sementara ibu jariku mengusap dan membuka bibir vaginanya, maka jari tengahku masuk sekitar satu ruas ke dalam lubang guanya. Kuusap dan kutekan bagian depan dinding vaginanya dan jariku sudah menemukan sebuah tonjolan daging seperti kacang.

Setiap kali aku memberikan tekanan dan kemudian mengusapnya Ibu Vina mendesis
"Hssshh......... Aaaauh ......engghhk"
Ia melepaskan tanganku dari selangkangannya. Mulutnya bergerak ke bawah, menyusuri dada dan perutku. Tangannya masih mempermainkan penisku, bibirnya terus bergerak menyusuri perut dan pinggangku, semakin ke bawah. Ia memandang sebentar kepala penisku yang lebih besar dari batangnya kemudian mengusap cairan bening yang mulai keluar dari lubang penisku dengan ibu jarinya. Kepala penisku yang sudah kemerahan nampak semakin merah dan berkilat.
 
Terakhir diubah:
spirtus gan........
Bu Vani pengen juga ternyata....
 
hehehe...asyiknya cerbung kan gini, bisa bikin kentang goreng...
tp baiklah dilanjutkan saja supaya kalaupun crot udah disiapkan tisu sebelumnya, jadi tidak berceceran kemana-mana.

Ia memandang sebentar kepala penisku yang lebih besar dari batangnya kemudian mengusap cairan bening yang mulai keluar dari lubang penisku dengan ibu jarinya. Kepala penisku yang sudah kemerahan nampak semakin merah dan berkilat.

-------

Ibu Vina kembali bergerak ke atas, tangannya masih memegang dan mengusap kejantananku yang telah berdiri tegak. Kugulingkan badannya sehingga aku berada di atasnya. Kembali kami berciuman. Buah dadanya kuremas dan putingnya kupilin dengan jariku sehingga dia mendesis perlahan dengan suara di dalam hidungnya.
"Sshhhh ........ssshhh....Ngghhh ..

"AyoTo... lakukan sekarangghhh!" desahnya.
Ibu Vina merenggangkan kedua pahanya dan pantatnya diangkat sedikit. Perlahan lahan kuturunkan pantatku sambil memutar-mutarkannya. Kepala penisku sudah mulai menyusup di bibir vaginanya. Kugesek-gesekkan di bibir luarnya sampai terasa keras sekali. Ibu Vina merintih dan memohon agar aku segera memasukkan penisku.
"Ayolah..Anto tekan .. dorong sekarang. Ayo... please ... Pleassse !"
Aku masih menahan gerakan pantatku dan menikmati ekspresi wajahnya yang penuh dengan gairah terpendam.

Jarinya menjepit kepala penisku, kemudian digesek-gesekkan di mulut vaginanya. Terasa agak lembab. Dia mengarahkan penisku untuk masuk ke dalam vaginanya. Ketika sudah menyentuh lubang vaginanya, maka kutekan pantatku perlahan. Kurasakan kepala penisku mulai menyusup di dalam mulut vaginanya. Meskipun belahan vagina dan bibir vaginanya terlihat lebar, tetapi ternyata lubang vaginanya cukup sempit, sehingga kepala penisku terasa menggesek daging lunak bergelombang di sepanjang lubang vaginanya. Senti demi senti kepala penis dan kemudian batang penisku masuk dengan perlahan ke dalam lubang vaginanya. Ketika sudah setengah batang penisku masuk, Ibu Vina mengangkat pantatnya dan menekan pinggulku lembut tapi penuh tenaga sehingga akhirnya seluruh batang penisku sudah masuk terjepit di dalam lorong kenikmatan.
Ia merebahkan diri lagi dan kutindih sambil berciuman. Kucoba untuk "Ouhh ... Vina," desahku. Aku sudah memanggil namanya langsung tanpa sebutan Ibu.

Aku bergerak naik turun. Perlahan-lahan kugerakkan pinggulku karena vaginanya meski agak lembab namun masih terasa sempit. Gerakan pantatku kubuat naik turun sesekali dan memutar. Vina mengimbangiku dengan gerakan memutar pada pinggulnya. Ketika kurasakan gerakan penisku sudah lancar dan ada cairan lendir membasahi vaginanya maka kupercepat gerakanku. Namun Vina menahan pantatku, kemudian mengatur gerakan pantatku dalam tempo sangat pelan. Untuk menjaga agar penisku tetap dalam keadaan ereksi maksimal maka meskipun bergerak pelan namun setiap gerakan pantatku selalu penuh dan bertenaga. Setiap pantatku bergerak turun, maka seluruh batang penisku amblas seluruhnya dalam lubang vaginanya, sampai pangkal paha kami bertemu. Akibatnya maka keringatpun mulai menitik di pori-poriku.
"Anto, ...Ouhh ......nikmat ...... oouhhh. Kamu sangat perkasa" desisnya sambil menciumi leherku.

"Vin...Vina.. Akhh.. aaehh.. eenaakh.. ekhhmm".
Tanganku merangkul kuat pinggulnya dengan jari-jari meremas kuat. Aku menatap wajah Vina, matanya yang bersinar terang, indah dan sendu. Ia tersenyum, mengecup bibirku lembut dan menekan pundakku ke bawah seolah-olah memberi isyarat. Kukecup payudara yang sedari tadi mengeras, mengulum, menjilat dan mengisap puting yang memerah dengan lingkaran puting berwarna merah muda. Tanganku meraih payudara yang satunya memijit dan meremas beriring dengan emutan mulutku, jemari kokoh terpancar dari urat-urat yang menyembul di sela-sela permukaan tanganku yang mulai menjepit lembut putingnya dan memilin memelintir perlahan disertai tarikan-tarikan kecil, sementara mulutku melahap buah dadanya yang ranum itu dengan penuh gairah. Kugerakkan lidahku menggelitik dan menjilat membasahi putingnya, berputar mengitari putingnya yang menonjol indah, menggigit kecil dan mengisap permukaan kulit payudaranya.
"Oouhh.. Antohh.. oouukhh..".

Tubuhnya menggelinjang perlahan, nafasnya terdengar merintih lirih, tangannya yang satu memegang dan mengelus kepalaku, tangan yang lain dibiarkan tergeletak lepas di sisi badan.
"Akh.. Anto....", ada getaran terasa diantara suara merdu itu.
Wajah cantik Vina terlihat dengan jelas, matanya memicing penuh gairah dan bibirnya basah merekah mendesah.

Mukaku kudekatkan ke mukanya dan bibirku menyetuh halus bagian bibir atasnya. Sementara itu kedua tanganku tetap bermain di payudaranya dan pinggulku tetap bergerak mantap memompa liang kenikmatannya.
"Ouuhh.. hhmmf..", rintihnya tertahan.
Ketika aku menghentikan gerakan pinggulku untuk beristirahat sebentar, tiba-tiba kurasakan suatu remasan lembut menjepit batang penisku. Vina memandang wajahku sambil tersenyum manis. Kembali penisku diurut oleh sebuah pijatan lembut. Rupanya otot vaginanya sudah terlatih untuk melakukan remasan. Ketika kembali kurasakan otot vaginanya mulai meremas penisku akupun mengimbanginya dengan mengencangkan otot perutku. Akibatnya Vina semakin mempererat pelukannya dan merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Ketika kurasakan otot vaginanya berhenti meremas penisku kugenjot pelan pinggulku naik turun. Demikian kami melakukannya dengan perlahan namun penuh tenaga.

Bibirku mengulum bibirnya dengan lidah menari di dalam rongga mulutnya. Ketika aku menarik kepalaku hendak melepaskan ciumanku, bibir Vina mengikuti gerakan kepalaku, sehingga kami berciuman dengan posisi kepalanya sedikit terangkat.
"Mmmppfhh..", Vina menggelinjang keras.

Pinggulnya bergerak naik turun dan memutar mengikuti irama gerakanku. Aku semakin bersemangat, gerakan tubuh dan rintihannya sungguh memicu gairahku. Kecantikan dan kehangatan tubuhnya membawa suasana mendukung gairah yang bergelora. Kutarik pantatku naik lebih tinggi sehingga hanya ujung kepala penisku saja yang masih menyatu dengan bibir vaginanya dan kemudian kuturunkan sampai seluruhnya masuk kembali dalam vaginanya. Kulakukan beberapa kali. Kurasakan ada suatu permukaan yang agak kasar tidak terlalu jauh dari bibir vaginanya tergesek kepala penisku. Ia menggelinjang hebat, tangannya meremas rambutku dan kakinya memperketat jepitan pada betisku. Tadinya tidak sadar, namun setelah beberapa kali kepala penisku tergesek dengan permukaan itu dan reaksi Vina sangat ekspresif, akhirnya aku berkonsentrasi untuk menggesekkan kepala penisku ke daerah di dekat bibir vaginanya itu.
"Aduuh.. nikmatthh.. eehhmmf.. ssh", Vina mengerang, merintih.
Tangannya memegang keras kepalaku dan menjambak rambutku sampai kusut berantakan, Pahanya melingkar menjepit pinggulku sangat kuat, dan sesekali pantatnya dinaikkan tak terkendali.
"Hhmm.. eehhmmf.. oouuhh.." dia kembali merintih.

Kakinya dibuka melebar dengan lutut dinaikkan, pantatnya diangkat dan vaginanya menengadah menyambut penisku yang terus menghujam di dalam vaginanya. Dengan bertumpu pada lutut kuraih pahanya dan kuletakkan kakinya di atas pundakku. Tanganku meraih kedua payudaranya dan meremas, memilin dengan lembut. Penisku kembali bergerak maju mundur di dalam vaginanya yang semakin basah. Gesekan perlahan di lorong vaginanya semakin melicinkan penisku yang membengkak. Penisku terbenam perlahan didorong pantatku yang menekan ke bawah, sampai amblas terbenam semuanya.

Wajah Vina semakin merona merah, bibirnya digigit melipat disertai erangan tertahan menahan gelora kenikmatan yang menyerang sekitar kemaluannya, sementara pantatku terus bergerak menekan bagian atas vagina membuat penis bergeser menyentuh bagian bawah kelentit yang memerah. Pantat kuangkat perlahan seiring penis tertarik menggelitik dinding vagina yang basah oleh cairan dinding vagina. Menekan dan menarik kembali, bergerak naik turun semakin cepat.

Kuletakkan kakinya kembali dan kutindih tubuhnya. Vina terus membalas gerakanku. Pantatnya bergerak menggeser ke kiri ke kanan dan memutar. Syaraf di sekeliling kepala penisku merespon dengan cepat, memacu gairah dan membangkitkan kehangatan di sekitar selangkangan. Keringat mulai membasahi sekujur tubuh kami. Kuraih tangan Vina, kubuka terlentang, telapak tangannya bersetuhan dengan telapak tanganku, jari jemari mengapit satu sama lain, saling meremas dan membelai lembut.

Hentakan pantat menekan dan menarik perlahan menimbulkan sensasi kenikmatan tersendiri membuat Ibu Vina merintih lirih dengan nafas yang ditahan.
"Oouuhh.. Antooh.. hhmmff".
Kedua pahanya menjepit pinggangku dan pantatnya diangkat sehingga membuat penisku leluasa bergerak keluar-masuk. Gairahku semakin menggebu, gesekan tubuh menjadi-jadi, badan kutekuk dan kepala merendah menggapai payudara dengan puting merah menantang, kutelan, menjilat liar, mengisap dan menggigit gemas.
"Hmmff.. hmmf.. hngkhh!".

Erangannya tertahan, terdengar mendesis memacu gelora birahi yang memuncak. Kenikmatan merambah kesekujur tubuhnya memberikan reaksi yang menjadi, memacu tubuh bergerak liar dan tangannya secara otomatis meraih pantatku, meremas, menekan keras menambah tekanan penis masuk ke dalam vagina yang mencari kenikmatan. Gerakanku mulai bertambah cepat dan Vinapun mengimbanginya

Gelora gairah nafsu semakin panas menyatu dalam deru kenikmatan, hentakan liar dan desahan nafas yang memburu bersahutan.
"Aahh.. aahh..".
"Oohh.. sshh".
Kami saling berpelukan, berciuman dan menatap dalam api gairah. Bibirnya semakin membasah, kulumat dan lidah menjelajah liar keseluruh ruang mulut, lidahnya menyambut memagut memelintir diselingi lenguhan dari tenggorokan yang tertahan.
"Ngngghh.. ngngghh..".

Kenikmatan birahi semakin membara membuat keringat membanjiri sekujur tubuh. Aliran darah berpacu kencang menelusuri pembuluh darah tubuh sampai keujungnya. Vina melepas ciuman, berdesah keras, mengerang, tangannya dirangkulkan ke punggungku dengan jari-jari tertancap dalam, kakinya terangkat dan menjepit kuat pinggulku. Desahannya semakin menjadi. Aku mempercepat gerakan, meningkatkan irama hentakan pantatku sehingga penisku bergerak maju mundur menggenjot vagina berulang-ulang. Badannya terangkat tertopang punggung. Raut wajahku menegang disetai deru nafas memburu.
"Ngngghh.. aahh.. auuhh..", sekujur tubuh Vina menggelinjang hebat kemudian menegang, menjepit keras, dan vaginanya berkedut-kedut disertai erangan lirih menahan kenikmatan puncak orgasme yang sungguh luar biasa.
"Anto..Oukhhh....Ahh sekarang..Tohhk!"
Ia memekik tertahan.

Jantungku seperti terhenti sesaat, kedutan vaginanya mengurut penisku yang berpacu cepat menambah kenikmatan menjadi berlipat ganda. Aliran-aliran kenikmatan yang mengalir di sekujur tubuhku akhirnya meledakkan sperma yang sudah tertampung membengkak di saluran penisku. Spermaku dengan cepat mengalir melalui batang penis dan menyembur di ujung kepala penisku berulang-ulang, menyemprot memenuhi vagina Vina yang kakinya masih menjepit keras pinggul dan betisku.
"Vin...Yesshh...yahkk...!"
Sesaat cengkeramannya menguat, pantatnya dinaikan sehingga selangkangannya menekan selangkanganku. Aku hampir tidak bisa bernafas oleh dekapannya. Jantungnya kurasakan berdegup kencang memompa darah mengalirkan gairah ke seluruh syaraf tubuhnya. Otot vaginanya menegang sesaat, berdenyut kuat disertai pekikan lirih merintih panjang dan terkulai lemas penuh kepuasan. Sampai beberapa saat kurasakan otot-otot vaginanya berdenyut-denyut mencengkeram dan meremas penisku, berkejaran dengan denyutan pada penisku yang memancarkan sisa-sia lahar kenikmatan. Aku masih membenamkan penisku di dalam vaginanya sampai akhirnya mulai mengecil dan terlepas dengan sendirinya.

Kubaringkan tubuhku disampingnya dengan kakiku sedikit menindih kakinya. Jari kanannya meremas jari kiriku. Kuangkat kepalaku ditopang dengan tangan, menyamping sejajar, dan mataku menatap dalam-dalam wajah cantik yang selama ini muncul dalam gairah khayalku. Matanya masih tertutup lemah, nafas kami beradu hangat. Kubelai rambut hitam yang terurai jatuh di sekitar lehernya. Kakiku kutumpangkan ke atas pahanya dan kugesekkan membelai lemah pahanya.

Tubuh indah itu bergeser agak menjauh, menyediakan sedikit ruang agar aku leluasa bergerak, tanpa menepis pahaku yang terus membelai pahanya perlahan. Vina memiringkan badannya sejajar berhadapan denganku dalam posisi miring. Penis yang mulai mengecil menyamping menyentuh lembut bulu halus vagina. Aku melirik kebawah sejenak dan kemudian melihat ke arahnya dengan senyum dan pandangan mata penuh arti. Ia tersenyum menawan dan melumat bibirku dengan mata tertutup penuh gairah, Tangannya dinaikan kepinggangku dielus-eluskan lembut, matanya membuka malas menatap mataku tak berkedip. Bibirnya dilepas perlahan dan dikecup bibirku perlahan sekali, nafas hangat berhembus dalam deru nafsu birahi yang memburu menerpa hidung. Lidahnya mencari dan meraih lidahku, tipis, berputar pelan dan berpagutan beberapa saat.
"Hhmmm..".
Butiran keringat mengalir membasahi pipi dan dadanya. Tanganku masih terasa gemetar ketika merangkul kepalanya yang bergerak-gerak menyusup di dadaku.

Kami terkulai puas dalam pelukan kenikmatan. Matanya terpejam, hembusan nafasnya lemah mereda dengan kepala menindih bahuku sebagai alasnya. tangannya merangkul pinggang dengan kaki menyelip di dalam lingkaran kakiku, menyatu. Tanganku membelai rambutnya dan sesekali mengelus lembut pipinya. Mataku memperhatikan seluruh sudut wajahnya yang cantik rupawan bersimbah peluh. Mengecup bibirnya perlahan dan memeluknya erat seakan tak ingin ku lepas lagi. Kulihat jam di dinding, ternyata lebih dari setengah jam kami bercinta dengan pelan, lembut namun penuh tenaga.

"To... Aku puas sekali bercinta denganmu,' kata Vina sambil membelai bulu dadaku lembut. Bibirnya mengecup pipiku perlahan.
"Hmm ... akupun demikian. Tidak kusangka hari ini aku bisa bercinta denganmu Ibu Vina..".
"Kamu hebat sekali sayang. Biasanya dengan suamiku aku hanya bisa meraih puncak kenikmatan dalam posisi di atas ketika aku sudah sangat bergairah. Itupun tidak setiap kali kami berhubungan. Tetapi kali ini dalam tempo yang sangat lambat kamu bisa bertahan dan membawaku sampai ke puncak. Sudah lama aku menginginkan bercinta dengan tempo yang lambat".
"Bu.. Aku juga sangat menikmati permainan tadi. Dalam tempo lambat tetapi sangat nikmat sehingga sampai pada puncak kenikmatan yang tenang, tapi sangat menguras habis tenagaku. Tetapi bagaimanapun juga aku sangat menikmatinya".
Jari-jemari kami masih saling meremas dan mengusap.

Akhirnya kami mandi bersama-sama, saling menyabun dan menggosok tubuh. Tak henti-hentinya aku mengagumi tubuh Vina yang meski sudah agak melar tetapi tetap terasa kencang dan padat. Demikian juga Vina yang tidak henti-hentinya membelai dadaku yang bidang dan penuh bulu dada yang lebat. Hanya dengan mengenakan handuk kami kembali ke dalam kamar. Sambil berjalan dari kamar mandi, aku memunguti pakaianku yang berserakan di ruang tengah. Aku sudah akan mengenakan pakaianku, tetapi Vina menahanku.
"To, jangan pulang dulu. Temani aku hari ini, please!" katanya sambil menatapku mesra.

Kami berbaring bersebelahan sambil bercerita. Aku hanya mengenakan celana dalam, Vina mengenakan kaus tanpa lengan dan celana dalam tanpa BH. Vina akhirnya bercerita tentang masa mudanya di Jakarta bersama-sama Inge. Seperti ceritanya dan cerita Inge sebelumnya, mereka adalah sahabat sejak masa sekolah dan kuliah. Inge yang urakan dan longgar memilih pasangan, dan Vina yang agak pendiam dan sangat selektif dalam memilih pasangan kencan merupakan dua sahabat yang dekat sampai Inge menikah. Akhirnya tidak lama Vinapun menikah dan diboyong ke kota ini. Sampai dengan sebelum ini, mereka tidak pernah bersaing atau bercinta dengan lelaki yang sama. Aku lelaki pertama yang bisa merasakan kehangatan tubuh kedua wanita sahabat karib itu.
"Mmm.. Gimana ketika make love dengan Inge, To?" tanyanya dengan nada penasaran.

Kutatap wajahnya dalam-dalam. Ia membalas menatapku dengan santai.
"Ayolah. Aku hanya ingin tahu bagaimana gaya Inge bercinta".
"Sama saja Bu..," sahutku pendek.
"Sama bagaimana. Tentu saja berbeda,"sahutnya.
"Sama saja. Bercumbu dan kemudian dimasukin".
"Tentu gayanya sangat panas dan liar. Aku bisa menebak, Inge pasti berteriak-teriak waktu kalian melakukan," katanya sambil tersenyum.
"Ya. Ibu dan Inge punya style yang berbeda. Masing-masing punya sensasi yang berbeda, tetapi tetap sama-sama nikmat dan menggairahkan".
"Sayangnya aku keduluan sama Inge. Padahal aku lebih dahulu mengenalmu dan terlebih lagi setelah tidur satu ranjang ketika pulang dari proyek dulu aku sering membayangkan nikmatnya bercinta denganmu".
"Tentu saja aku tidak akan berani memulai waktu itu. Akhirnya Inge malahan menyangka, kita sudah melakukannya".
"Ya begitulah Inge. Kalau sudah punya keinginan, ia akan berusaha sekuatnya untuk mendapatkannya".
 
penantian yg terbayar..akhirnya vina "memyerah" juga,, ronde ke 2 dong suhu,, klo boleh kasi usul mngkin kali ini vina yg ambil kendali n mngkin agak eksib dikit ngelakuin di kolam renang hehhe
 
cakep apdetannya, akhirnya kesampean ngentu sama bu vina oh fak yeah!;)
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd