Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Kisah Hidup Dokter Anak dan Sopir Ojol (True Story)

Status
Please reply by conversation.
Sumpah ceritanya menyentuh bangeett,, rasanya pengen ketemu sama gilang dan denger lngsung dri dia soal smua cerita hidupnya
 
the best story, naik turunnya hidup kerasa banget dlm cerita ini.. lanjutkan hu
 
Benar tak terduga jalan ceritanya. Ya tapi namanya hidup pasti ada roda berputar, dari yg enak menjadi pahit atau sebaliknya. Orang lain hanya melihat manis ny saja tanpa tahu pahit perjuangan. Sehat selalu gan biar bisa nulis sampe tamat..
 
5

Sehabis mandi, Gilang keluar dari kamar mandi dan melihat Bu Wita lagi telponan. Bu Wita menyuruhnya diam dengan tangannya. Rupanya dia lagi menelepon suami. Gilang diam di tempat sampai Bu Wita selesai menelepon. Bu Wita enggak bilang kalau dia sekamar sama Gilang ke suaminya tentu saja dan sempat panik waktu ditelepon tengah malam. Kata Gilang suami istri punya ikatan batin yang bisa tahu kalau pasangannya lagi ngelakuin yang enggak-enggak.

Eniwei, habis teleponan Bu Wita langsung selimutan buat tidur. Gilang harus mencegah Bu Wita tidur. Kalau tidur kesempatan buat speak-speak iblisnya akan hilang dan Gilang harus SSI pas tengah malam supaya Bu Wita setengah ngantuk. Kata Gilang kalau kita ngobrol sama orang setengah ngantuk, maka orang itu bakal lebih mudah dipengaruhi karena omongan kita akan terbawa ke alam bawah sadar terutama pas nanti dia tidur. Teori ini sempat saya buktikan buat jual asuransi ke teman saya. Saya prospek dia jam sebelas malam pas dia lagi capek pulang kerja dan ngantuk. Malam itu saya jelaskan manfaat asuransi, omongan saya dibawa tidur, tiga hari kemudian dia menelepon buat buka asuransi. Jadi teori ini patut dicoba.

Gilang duduk di kasur sambil menghadap Bu Wita.

“Bu.”

“Ya?”

“Sudah mau tidur?”

“Iya.”

“Bu.”

“Apa?”

“Grogi.”

“Grogi apa?”

“Soal event nanti. Ini, kan, event pertama saya,” dan Gilang sok-sokan jadi orang yang insecure dan gugup soal kerjaannya sebagai pembuka topik. Ini membuat Bu Wita yang tadi rebahan jadi duduk lagi. Bu Wita memberikan tips-tips supaya Gilang tidak grogi. “Lagian, kan, kamu sudah matang persiapannya. Kamu itu jago, loh, cara presentasinya. Pemahaman materi juga bagus,” Bu Wita menjabarkan kelebihan Gilang. Di sini otak Bu Wita seperti dapat konfirmasi ulang bahwa Gilang ini adalah orang yang bernilai lebih dengan cara mengatakan pendapatnya dengan lisan.

Lalu Gilang menggiring percakapan ke obrolan yang menyinggung soal kejombloan Gilang.

“Iya, loh, makanya saya sempat heran kenapa kamu masih jomblo,” kata Bu Wita.

“Ngeri, Bu, pacaran. Banyak yang cerai.”

“Enggak semua Gilang.”

“Iya, sih, tapi banyak banget orang di sekitar saya yang cerai. Bukan orang tua saya, sih, tapi mungkin itu karena Bapak saya meninggalnya cepat jadi enggak sempat cerai,” kata Gilang bercanda.

Lalu Bu Wita bercerita soal pernikahannya. Bu Wita dan suami adalah tim yang baik walaupun pasti pernah bertengkar. Tapi ribut mereka biasanya enggak tahan lama. Cek cok sedikit terus baikan tidak lama kemudian.

“Enggak bosan, Bu, selama itu menikah sama orang yang sama?”

“Maksudnya apa? Kamu nyuruh Ibu punya suami dua?”

“Lah, enggak, Bu. Jadi gini, Bu, saya punya sepupu yang psikolog di Belanda,” eaa Gilang pakai narasi ini lagi, “sepupu saya bilang bahwa insting setiap manusia berakal sehat itu mencari hal yang lebih dari apa yang dia punya sekarang. Setuju, enggak, Bu?”

“Iya.”

“Maka sama dalam percintaan dan hubungan, banyak orang gonta ganti pasangan buat cari yang lebih. Betul, ya, Bu?”

“Betul.”

“Nah, konsep pernikahan monogami itu secara ilmu psikologi menentang insting manusia yang terus mau yang lebih. Makanya di Belanda ada konsep open marriage di mana setiap orang yang menikah boleh pacaran dalam tanda kutip dengan orang lain tapi di penghujung hari mereka tetap pulang ke rumah pasangannya dan berumah tangga.”

“Itu liberal. Karena mereka enggak beragama.”

“Setuju, Bu. Tapi di Islam laki-laki, kan, boleh beristri empat. Nah, itu membuktikan bahwa memang insting manusia mencari yang lebih.”

“Iya, sih. Tapi, kan, cuma laki-laki. Perempuan enggak.”

“Makanya di Belanda agama Islam enggak populer. Di sana, kan, kedudukan laki sama perempuan sama. Jadi open marriage itu jadi konsep yang lebih disukai.”

“Jadi kamu mau nikah pakai konsep begitu?”

“Enggak, Bu. Saya cuma jadi berpikir apa saya bisa kayak Ibu yang sudah menikah lama tanpa berpikir cari yang lebih. Bukan lebih di fisik, ya, Bu, tapi lebih ke pengalaman. Maaf, ya, Bu, yang namanya cowok mau sealim apa pun pasti kalau lihat cewek cantik, ya, minimal pasti nengok. Betul enggak, Bu?”

“Perempuan juga kadang begitu.”

“Nah, di psikologi ada teori yang bisa membuat pernikahan lebih langgeng, Bu. Cuma memang menjauhi agama, sih, jadinya.”

“Apa, tuh?”

“Sex buddy.”

Bu Wita mengernyit.

“Namanya aneh, ya, Bu? Jadi itu konsep di mana setiap yang sudah berkomitmen untuk menikah punya satu teman buat diajak seks selain pasangannya. Gunanya apa? Gunanya untuk merecharge orang itu secara seksual. Karena pasti ada bosannya, kan, kalau berhubungan sama pasangan yang sama. Nah, waktu bosan kita lari ke sex buddy, berhubungan sama dia, bikin mood bagus lagi, di rumah tangga mereka jadi fresh lagi.”

“Justifikasi selingkuh itu namanya.”

“Bisa jadi. Tapi menurut Ibu konsepnya masuk akal enggak?”

“Jelek.”

“Masuk akal atau enggak, Bu, kok, jawabannya enggak nyambung.”

“Oh. Iya, masuk akal, tapi dosa.”

“Betul, ya, Bu, dosa banget itu.”

“Dosa besar.”

“Ah, Bu, buat saya, mah, semuanya dosa besar.”

“Hah? Gimana?”

“Maksud saya orang-orang kadang-kadang kasih tingkatan ke dosa. Misalkan berbohong itu dosanya kecil, mencuri lebih tinggi, terus zina paling tinggi. Padahal kalau menurut saya dosa itu sama efeknya. Pas kita dosa kecil terus kita terbiasa dengan itu, nanti kita lebih mudah melakukan dosa lainnya dan lama-lama bisa ke dosa paling tinggi. Setuju enggak, Bu?”

“Iya.”

“Jadi kalau buat saya dosa berbohong sama makan babi sama levelnya. Toh, mau dosa yang mana pun kalau kita taubatnya betul-betul dimaafkan juga.”

“Ooh, pantas kamu beranggapan kalau sex buddy itu wajar karena buat kamu dosa sama semua bobotnya.”

Gilang nyengir. Kalau Bu Wita sudah bilang begitu berarti dia sudah menangkap dan mencerna dengan baik omongan Gilang. Waktunya Gilang mundur.

“Ya, gitu, deh, Bu. Kalau saya, mohon maaf, ya, Bu, belum berani menikah karena masih berada di situ levelnya. Sampai nanti saya dapat hidayah yang bisa mengubah persepsi saya baru saya mikir soal nikah.”

“Kamu sudah pernah ngeseks, ya, sama pacar kamu?”

“Sudah, Bu,” Gilang sok-sok malu-malu.

“Sudah kuduga,” Bu Wita tidak men-judge Gilang. Dugaan Gilang karena Bu Wita orang kota dan sudah lumrah dengan perilaku seperti itu.

“Ibu belum pernah, ya?”

“Sama suami. Waktu kami belum menikah.”

“Oh. Enggak mau coba sama yang lain?”

“Sudah tua.”

“Masih cantik.”

Lalu mereka tertawa dan Gilang pamit tidur. Tugasnya selesai. Tinggal menuai hasil. Hasilnya? Ada perubahan dalam sikap Bu Wita pada Gilang sewaktu mereka bangun tidur nanti.


Bersambung.

--

Kebaca enggak pola Gilang kalau dia lagi berusaha meyakinkan orang kayak gimana, Hu?

Kerenlah malah jd belajar ilmu komunikasi wkkwkw
 
keren ceritanya,
Update dikit...

13

Kita sebut adiknya Gilang sebagai Anita dan suaminya anggap saja bernama Mas Dedi. Kematian keduanya berimbas besar bagi banyak orang. Setelah menikah dengan Mas Dedi, Anita tinggal di rumah orangtua Mas Dedi karena ibunya sudah lama meninggal dan ayahnya yang sudah pensiun punya penyakit gula yang cukup parah jadi harus diurus. Di rumah itu juga tinggal dua adik Mas Dedi. Satu sudah kuliah, satu lagi baru masuk SMA. Mas Dedi, selain membiayai Anita sebagai istrinya, juga membiayai ayah dan kedua adiknya. Mas Dedi punya bisnis IT yang lumayan maju dan menjadi tulang punggung keluarga.

Ayahnya butuh biaya obat setiap minggunya sekitar dua juta, belum biaya rumah dan biaya sekolah dan juga biaya jajan adik-adiknya. Belum lagi biaya bulanan buat Anita yang juga sedang hamil. Pengeluaran keluarga Mas Dedi ketika hidup sekitar 16 juta per bulan. Ketika meninggal, keluarga Mas Dedi selain ditimpa kesedihan juga kelimpungan bagaimana mereka bisa membayar biaya sehari-hari.

Gilang merasa iba pada keluarga Mas Dedi ketika diberi kabar kalau dia meninggal. Semuanya menangis tidak berhenti di rumah sakit. Waktu dokter yang operasi Anita keluar dari kamar operasi dan mengatakan kalau Anita tidak selamat, Ibu Gilang juga menangis parah. Gilang, sebagai satu-satunya laki-laki yang sudah mapan tidak sempat menangis dan mengurus semua administrasi rumah sakit. Dari mulai pembayaran pengurusan jenazah Mas Dedi, biaya ambulans, biaya operasi Mas Dedi dan Anita, biaya pengangkatan bayi Anita, biaya perawatan bayi prematur Anita, pemulangan jenazah, dan pokoknya lebih banyak lagi urusan-urusan lainnya.

Salah satu takdir yang membawa saya bertemu Gilang melalui tim saya V itu adalah ketika Gilang ditanya oleh staf administrasi rumah sakit apa Anita dan Mas Dedi punya asuransi atau tidak. Ketika Gilang bilang tidak, staf administrasi itu iba karena total biaya yang harus dikeluarkan dalam satu malam itu saja mencapai 30 jutaan rupiah.

Besoknya, Mas Dedi dan Anita dibawa dengan ambulans ke rumah orang tua Mas Dedi. Mereka akan dimakamkan bersamaan di pemakaman keluarga Mas Dedi. Gilang sibuk lagi mengurusi pemandian jenazah, disalatkan, urus surat-surat meninggal ke RT dan RW, ke kantor Mas Dedi, dan segala tetek bengeknya. Gilang keluar uang lagi sekitar 2 juta untuk menyewa tenda, membeli minuman dan makanan untuk pelayat dan membayar beberapa petugas yang membantu administrasi pemakaman.

Setelah selesai dimakamkan, datang orang kantor Mas Dedi yang kebingungan karena kehilangan atasan yang memegang semua urusan kantor. Mereka sempat diskusi dengan Gilang soal pergantian kepemimpinan di kantor Mas Dedi tapi Gilang tidak banyak membantu karena tidak tahu menahu soal bisnis itu.

Sore harinya, Gilang dan ibunya kembali ke rumah sakit untuk memeriksa bayi Anita yang langsung terlahir yatim piatu. Bayi Anita harus diinkubator selama dua puluh hari. Kata dokter, bayi Anita baru bisa dibawa pulang kalau berat badannya sudah bertambah sampai lupa berapa kilo. Gilang pusing lagi memikirkan biaya perawatan si bayi, plus popok, plus susu, dan lain sebagainya.

Gilang mengambil cuti panjang dari kantor. Bang Bob pusing lagi mendengar Gilang yang harus cuti tapi dia tidak bisa melarang karena memang keadaannya cukup genting dan gawat. Bang Bob meminta maaf tidak bisa datang melayat karena sibuk. Dia juga meminta maaf karena kantor tidak bisa memberikan bantuan finansial apa pun. Gilang mengerti dan tidak meminta apa-apa.

Bayi Anita diberi nama Kayla dan akhirnya boleh pulang setelah empat belas hari. Sebelum pulang, dokter yang menangani Kayla bilang kalau ada dokter anak yang jago menangani bayi prematur. Gilang menurut dan akan membawa Kayla ke doktor itu. Ketika dibawa pulang, Gilang pikir dia bisa kembali bekerja, tapi ternyata tidak. Bayi prematur butuh perawatan intensif. Kayla tidak boleh tidak digendong, harus disusui paling tidak dua jam sekali, dan tidak boleh kedinginan atau kepanasan. Gilang dan ibunya kewalahan. Apalagi ibu Gilang yang sudah tua. Ibu Gilang tidak bisa menangani Kayla sendirian jadi setelah diskusi yang sangat sangat panjang, Gilang memutuskan untuk berhenti bekerja.

Untuk berhenti bekerja, Gilang pergi ke Ibukota dan datang ke kantor. Dia minta ijin ke ibunya untuk pamit selama dua hari supaya bisa membereskan segala tetek bengek kerjaan. Di kantor, Bang Bob langsung pening mendengar keputusan Gilang. Bang Bob lumayan marah tapi tetap dia tidak bisa mencegah Gilang untuk resign. Gilang sempat khawatir soal keputusannya ketika ditanya oleh Bang Bob dia bakal kerja apa setelah resign. Gilang tidak bisa jawab. Gilang hanya bisa bilang ada bayi yang harus dia urus.

Bang Bob menyetujui dan meminta Gilang untuk mengoper segala pekerjaan yang tersisa pada ARO junior terhandal di kantor. Gilang rapat dengan ARO didikannya dan memastikan dia siap meneruskan pekerjaan Gilang. Tentu saja Gilang menyiapkan semua keperluan seperti SOP, rundown acara proyek terbaru, dan semua-semuanya sebelum dioper ke ARO junior.

Hari itu, Gilang lembur sampai jam setengah sembilan malam di kantor menyiapkan pemindahan pekerjaannya ke ARO junior. Di sela dia bekerja, Gilang mengintip HP-nya. Sudah hampir setengah bulan dia tidak mengecek HP kecuali untuk menghubungi Bang Bob atau mengurusi urusan rumah. Ada banyak pesan yang masuk dan telepon tidak terjawab. Ada yang dari Regina, beberapa dari klien, dan ada satu pesan dari JE.

Isi pesan JE:
Lang, mau ketemu, dong. Mau curhat.

Gilang terdiam membaca pesan itu. Dulu, sebelum Anita meninggal, Gilang pasti bakal langsung terbirit-birit mengejar JE. Itu kesempatan emas untuk bisa mendapatkan artis. Tapi malam itu Gilang tidak ada niatan untuk bahkan membalas pesannya. Lalu, tanpa sadar si Gilang jadi sedih luar biasa dan menangis. Capek banget.

Gilang dikejutkan oleh bunyi printer di tengah ruangan yang biasa dipakai oleh karyawan. Waktu Gilang menoleh, ada Sandra yang sedang menggunakannya. Gilang lupa kalau di awal bulan seperti ini, Sandra suka lembur untuk cetak ribuan lembar invoice.

“Sori, ganggu,” kata Sandra.

Gilang menggelengkan kepalanya lalu bekerja lagi. Tidak lama, Sandra menghampiri meja Gilang membawa segelas teh manis. “Turut berduka, ya, Mas.”

Gilang tersenyum. Lalu melihat wajah Sandra, Gilang jadi ingin menangis lagi. “Saya kalau lihat Mbak Sandra bawaannya malu.”

“Kenapa?”

“Saya banyak dosa, Mbak. Banget. Mungkin ini lagi dihukum sama Tuhan. Kemarin yang membuka mata saya soal dosa itu buku yang Mbak kasih waktu saya diopname. Gara-gara saya selalu bikin dosa setiap hari tanpa absen, kantor dan keluarga saya kena musibah yang enggak main-main besarnya.”

Sandra tersenyum kecil. Dia diam sebentar menunggu apa Gilang akan bicara lagi atau tidak. Ketika Gilang diam, Sandra berkata, “Dosa itu tanggungan masing-masing orang, Mas. Setahu saya, dosa kita enggak memengaruhi orang lain. Allah, kan, maha adil. Masa orang yang bikin dosa, kita yang kena batunya?”

Gilang tersenyum mendengarnya. Mengobrol dengan Sandra selalu membuat tentram dan adem.

Sandra kembali bekerja dan meninggalkan Gilang. Selesai kerja, Gilang pulang ke apartemen dan ada Regina yang sudah menunggu di sana. Regina menangis karena kesal Gilang tidak bisa dihubungi. Gilang meminta Regina tenang dan dengan berat hati, Gilang menceritakan semuanya. Mulai dari Bu Wita, Linda, Tante Yuli, Hinako, sampai JE. Mendengarnya, Regina menangis sejadi-jadinya. Dia mengamuk sampai lempar-lempar gelas. Dengan frustrasi, Regina membanting pintu dan pergi sambil bilang, “Semua laki-laki itu babi.”

Gilang tidak melawan. Setelah Regina pergi, dia mandi dan berwudhu. Lalu salat jam dua belas malam sebanyak dua rakaat. Entah salat apa. Saking lamanya dia tidak salat, dia sudah lupa salat apa saja yang ada dalam Islam. Setelah salat dia tertidur di sejadah.

Besoknya Gilang ke kantor untuk berpamitan sama Bang Bob dan semua karyawan. Ketika dia pamitan dengan Sandra, Gilang jadi mau menangis lagi dan memeluk Sandra, tapi dia tahan-tahan. Selesai berpamitan, dia naik kereta pulang ke Kampung Halaman.

Dua hari pertama di rumah, Gilang sibuk mengurusi ibu dan Kayla. Dia juga sibuk mencairkan uang deposito dan menarik sahamnya. Setelah enam tahun bekerja keras bagai kuda, dia punya uang hampir setengah miliar di rekeningnya. Yang pertama dia lakukan adalah menyumbang uang seratus juta ke keluarga Mas Dedi. Lalu menyetorkan dua ratus juta ke rekening ibunya untuk operasional rumah, dan mendepositokan kembali seratus jutanya. Sisa seratus juta dia akan pakai sebagai uang sementara sebelum dia dapat kerja.

Gilang mulai mencari kerja di Kampung Halaman. Tapi dengan pengalaman dan gaji terdahulunya yang fantastis, tidak ada satu pun kantor yang mau mempekerjakannya. Kecuali satu, sebagai sales dealer mobil. Gilang sempat mau mengambil tawaran itu tapi dia harus bekerja dari jam delapan sampai jam lima. Dia keberatan karena Kayla butuh penangan khusus yang membuat Gilang mesti ada di rumah setiap jam delapan, dua belas, empat sore, dan tujuh malam. Akhirnya Gilang menganggur lagi.

Sekitar sebulan dia cari kerja tanpa hasil, ada seorang temannya yang menawarkan pekerjaan menjadi sopir ojol. Gilang tertarik karena waktunya yang fleksibel. Untuk urusan duit, dia bisa pakai dulu uang yang ada sementara mencari pekerjaan lain yang lebih menguntungkan. Sebelum melamar sebagai ojol, Gilang meminta restu ibunya. Setelah dapat restu, Gilang tiba-tiba ingin meminta pendapat Sandra.

“Kerja, mah, apa saja oke, Mas. Uang, kan, mengikuti kalau kita rajin,” kata Sandra.

“Enggak malu kalau saya jadi sopir ojol, Mbak?”

“Kenapa harus malu? Bangga malah. Mas Gilang enggak jaim.”

Gilang tersenyum dan akhirnya melamar jadi sopir ojol. Mulailah dia narik ojol dari selepas subuh. Lalu kembali ke rumah setiap dua atau tiga jam sekali untuk mengurus Kayla dan ibunya.

Bulan depannya datang waktu Kayla kontrol. Sesuai arahan dokter, Gilang membawa Kayla ke rumah sakit ibu anak dan mendaftar ke dokter spesialis anak yang katanya jago. Nama dokter anak itu adalah Cecil.
Thanks om, dah updet sharing ceritanya..... smg lancar usahanya dan sukses selalu oom
 
Ceriitanya keren juga om, sebagai agen asuransi pasti banyak pengalaman dari kisah2 kliennya..... iini yg paling berbeda dgn kisah yg laen, ada hikmah darii kisah2nya, semoga lancar updetannya dan sukses selalu dlm menggapai cita2nya
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd