Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG KIDUNG SANDHYAKALA

Status
Please reply by conversation.
BAGIAN 6
KISAH PERGURUAN SERIBU ANGIN






Suro Wanggono, Alis Kincir, dan Kelabang Suto berdiri tegap di atas bukit. Mereka mengamati dari kejauhan sebuah lokasi yang merupakan tempat berdirinya Perguruan Seribu Angin, tepat di lereng Gunung Menjulang. Di belakang mereka, pasukan besar yang dikumpulkan oleh Kelabang Suto dan Alis Kincir berkelompok menyebar di sudut-sudut tertentu.

Suasana tenang, aman, gelap malam syahdu dan sepi. Semuanya akan berubah beberapa saat lagi. Siulan-siulan dari sudut-sudut yang menyaru bagai suara binatang malam menandakan kesiapan seluruh pasukan.

“Bagaimana Kakang Suro?” bisik Kelabang Suto bertanya.

Suro Wanggono mengangguk, “serang.”

Secara serempak, suara lantang bergaung dari berbagai posisi strategis. Suara pekikan membahana dari kerongkongan ratusan orang yang berderap memacu diri memasuki Perguruan Seribu Angin dengan hati keras dan wajah ganas.

Tentu saja serangan mendadak itu membuat para penjaga pintu depan Perguruan Seribu Angin terkejut bukan kepalang, bagaimana tidak – hanya dalam sekejap, ratusan orang bersenjata datang dan menyerang. Mereka datang dari segala arah, melompat pagar, dari dalam semak, dari atas pohon, melompati bebatuan tinggi, dan tentunya dari arah jalan utama. Mereka tidak siap menghadang, kalaupun siap, tidak akan sanggup menghalangi gempuran dari pasukan yang sebesar ini.

Meski sudah dibekali dengan ilmu kanuragan, serangan mendadak tetap saja membuat warga Perguruan Seribu Angin bingung dan ketakutan, terlebih ketika maksud dan tujuan para penyerang yang berpakaian serba gelap mulai jelas, membumihanguskan Perguruan Seribu Angin!

Satu demi satu murid Perguruan Seribu Angin jatuh menjadi korban, jerit terdengar, napas dihempaskan, nyawa melayang. Tidak peduli usia, baik masih bocah atau sudah remaja, semua dibabat habis tak tersisa.

Mereka yang kuat lantas mencoba melawan, sayang geseran kekuatan tak seimbang, pasukan penyerang terlampau kuat dan berangasan. Pembantaian terjadi besar-besaran. Para penghuni Perguruan Seribu Angin bagaikan domba yang digiring menuju penjagalan.

Wija Wisesa – salah seorang murid utama Perguruan Seribu Angin yang memahami situasi gawat mencoba melawan para musuh yang datang menyerang. Ia membabat satu demi satu lawan yang menyerang masuk ke perguruan. Napasnya mulai satu dua, sejak tadi ia tak berhenti berteriak, mencoba menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa para murid perguruan, lalu menerjang lawan tanpa ampun. Tapi jumlah musuh terlalu banyak!

Sembari melawan setiap orang yang menyerang, batin Wija berteriak.

Sungguh biadab dan bangsat si Suro Wanggono! Berdasarkan kabar dari telik sandi beberapa hari yang lalu, memang sudah ada kabar kalau dia akan datang untuk menyerang, tapi tidak secepat ini dan tidak malam ini, korban di pihak Seribu Angin pasti akan sangat banyak! Mereka sedang berada dalam posisi beristirahat malam.

Wija berusaha sekuat tenaga menyelamatkan murid-murid yang masih muda dengan menggiring mereka menuruni tebing bersama dengan satu dua murid yang bisa memandu, sementara mereka yang kuat diperintahkan untuk menghalau para penyerang sebisa mungkin.

Dia hanya berharap pasukan lawan tidak akan mengejar dan menunggu di hutan.

Dua orang paman guru Wija, mendekati sang pendekar dengan wajah khawatir. Mereka adalah murid langsung dari Pendekar Angin Sakti, Paman Guru Barda dan Paman Guru Beyong.

“Bagaimana kondisinya, Wija?” tanya Paman Guru Barda, “siapa yang berani menyerang?”

“Ampun Paman Guru, saya juga tidak tahu siapa saja yang menyerang kita. Tapi ada anak murid yang menyampaikan kabar kalau di atas sana ternyata hadir juga sosok Suro Wanggono. Sepertinya dia yang memimpin serangan ini dan membuka rahasia posisi-posisi paling strategis dari Perguruan Seribu Angin sehingga pasukan lawan bisa bergerak dengan sangat cepat dan tepat sasaran. Mereka memukul kita di tempat-tempat terpenting, kita tidak bisa melarikan anak murid melalui jalur biasa.”

“Kita tidak boleh berlama-lama, harus segera mengambil tindakan,” ujar Paman Guru Beyong. “selain Guru Besar Pendekar Angin Sakti, ada lima paman guru di tempat ini, dan enam murid pratama. Tiga paman guru sedang melakukan perjalanan keluar perguruan ke Kadipaten Bengawan Sewu, mereka pasti tidak akan kembali dengan cepat. Dari tujuh murid pratama juga sama saja, semua menyebar. Bima Soka dan Arum Kinanti terlampau jauh – dan nasib mereka sedang dipertanyakan, Banyu Langit dan Anom Kinasih tengah diperintahkan untuk mengantarkan surat penting ke Kadipaten Paku Sentono. Hanya tersisa Adi Karang, Jalu Sabrang, dan dirimu – Wija.”

“Benar, Paman Guru Beyong. Hanya tinggal kita saja yang dapat bertahan.”

“Ya sudah, kita menyebar! Kita harus menghalangi musuh masuk ke padepokan sekaligus menyelamatkan seluruh murid, terutama yang berusia muda. Aku dan Paman Guru Barda yang akan menahan Suro Wanggono dari sisi kiri dan kanan, tugasmu Wija, adalah menyelamatkan seluruh murid, bawa mereka pergi. Panggil Adi Karang dan Jalu Sabrang untuk bertahan di dua posisi lain. Lindungi Guru Besar dan halau pergi semua penyerang.”

“Siap, Paman Guru.”

Barda dan Beyong mengangguk, mereka bertiga segera menyebar.

Panah-panah api menyala menerangi langit, menyeberang halaman, menyeruak ke atap-atap hunian. Sebagian besar padepokan yang terbuat dari kayu tak akan bertahan. Angin yang kencang membuat api kian besar melahap bangunan yang berdiri berdekatan. Kebakaran terjadi, asap membumbung, teriakan dan jeritan makin mengerikan. Denting pertemuan senjata kian tak terelakkan, terjadi makin sering, makin gencar, dan makin menyayat hati.

Pertarungan masal berlangsung sengit, tapi angin mengarah ke satu arah. Tidak sulit menebak yang akan menang malam ini. Korban tak terhitung, mayat bergelimpangan bersimbah darah. Bahkan tak ada seorang pun yang bergerak memadamkan api yang berkobar karena tak ada kesempatan, saat ini kelengahan akan dibayar dengan nyawa.

Paman Guru Beyong bertarung mati-matian untuk menutup jalur pasukan penyerang supaya mereka tidak dapat mengejar para murid yang melarikan diri dari Perguruan Seribu Angin. Musuh datang bak air bah yang membanjir tanpa henti. Pasukan yang menggencet posisinya adalah mereka dari komplotan bengis Kelabang Sewu.

Para murid usia belasan tahun datang membantu Beyong.

“Paman Guru! Pergilah! Kami yang akan menjaga tempat ini, Paman Guru selamatkan diri!” seru salah seorang murid. “Kami yang akan menghadapi gerombolan pengacau keparat ini, pergilah Paman Guru!”

“Kalian! Kenapa kalian malah ke sini? Kalian saja yang pergi! Jangan hiraukan aku!”

“Tidak bisa! Kami lebih memilih mati mempertahankan perguruan daripada lari diburu seperti babi di penjagalan! Guru Besar dan Paman Guru yang telah membesarkan kami, tidak ada artinya semua itu kalau kami lari dari sini.”

Beyong menggelengkan kepala, dia terharu sekaligus sedih. Sungguh besar pengabdian dan pengorbanan para murid, mereka ternyata benar-benar mencintai tempat ini, bahkan rela mengorbankan diri.

Sayang sungguh sayang kemampuan mereka belum sempurna, mereka bukan tandingan Kelabang Sewu, para murid remaja itu dihabisi oleh pasukan lawan. Menyaksikan satu demi satu murid yang datang tewas membuat Beyong sedih bukan kepalang, ia membesarkan mereka sejak masih bayi, memberi mereka makan dari hari ke hari, bersenda gurau di ladang, sawah, dan kebun. Tak dinyana, sekarang dia juga akan menyaksikan mereka mati.

Ia bertarung habis-habisan, tapi komplotan Kelabang Sewu adalah pasukan yang terlatih, ampuh, dan mematikan. Kondisinya makin melemah, ia kelelahan, tubuhnya juga sudah terkena beberapa kali sabetan, Beyong akhirnya sempoyongan, darah mengucur dari luka-luka sayatan.

Kelabang Suto yang melihat Beyong sudah tak lagi mampu berdiri dengan sempurna segera mengeluarkan senjata rahasianya. Dua pisau tajam terlontar dan Beyong tersentak ke belakang. Dadanya tersambar, pisau menancap amat dalam. Darah mengucur deras dari luka di dada, mata berkunang-kunang, dan kepalanya pening. Ia mencoba bertahan dan berdiri sebisanya.

Kelabang Suto mendatanginya dengan memainkan pisau di tangan.

Dia tidak sendiri, dia bersama orang lain.

Suro Wanggono.

Bedebah bangsat itu datang sembari tersenyum lebar.

Beyong menggeleng kepala, “luar biasa apa yang kamu lakukan malam ini, Suro Wanggono! Kamu telah menghancurkan apa yang selama ini kita bangun bersama, apa yang selama ini kita jaga bersama. Setan apa yang telah membuatmu sinting seperti ini? Tega sekali kamu melakukan hal terkutuk pada kami yang telah membesarkanmu dan mereka yang besar bersamamu!”

Suro Wanggono hanya tertawa.

“Semua itu tidak ada artinya, karena kalian tidak memberiku kesempatan. Kalian hanya menginginkan Bima Soka dan Banyu Langit yang tampan sebagai murid pratama, bukan aku yang gempal, lamban, dan berwajah buruk! Kitab tidak diserahkan, jabatan dilewatkan, hanya diminta menjaga anak-anak seperti seorang gembala. Kalian pikir aku ini apa? Setiap hari dicekoki kitab akhlak tanpa pernah mempercayakan kitab kanuragan. Untuk apa di perguruan sehebat ini kalau hanya tahu hapalan? Kalian sendiri yang mengajarkan aku untuk membenci, jadi jangan salahkan aku kalau sekarang aku habisi.” Suro mendekati Beyong, “dulu Paman Guru Beyong yang terhormat yang telah melaporkan aku pada Guru Besar saat pesta purnama terakhir. Aku dikurung selama tiga hari tiga malam di kamar tanpa jendela. Padahal aku tidak melakukan kesalahan apa-apa!”

“Kamu tidak melakukan kesalahan apa-apa? Dasar durjana bejat! Kamu yang mencuri pakaian Anom Kinasih dan Arum Kinanti sehingga mereka berdua tak bisa meninggalkan pemandian keputren di tengah kota! Kamu mempermalukan mereka yang hanya bisa pulang dengan kemben pinjaman untuk bisa kembali ke perguruan! Itu kamu bilang bukan kesalahan? Dasar bejat! Kami tidak pernah mengajarkan seorang murid pun untuk menjadi bejat di tempat ini! Itu sebabnya kamu butuh kitab akhlak! Bukan kitab kanuragan!”

“Terlalu banyak omong, terlalu banyak melihat, terlalu banyak pikiran, terlalu banyak bla bla bla yang tidak penting. Aku tidak butuh orang sok dan sinis seperti Paman Guru.” Kata Suro sambil terkekeh ringan. “Seharusnya kalau mau perguruan ini berjalan dengan lancar, ya jangan banyak bacot dan ikuti saja aturan mainnya. Beri semua murid keadilan, beri aku kesempatan, itu saja syaratnya. Mudah kan? Sayang sudah terlambat.”

Suro menarik salah satu pisau di dada Beyong, sang Paman Guru pun berteriak kesakitan dengan kencang, darah muncrat dari bekas pisau berada. Teriakan kesakitan menyayat siapapun yang mendengar. Tapi Suro tidak lantas berhenti. Ia menusuk, menusuk, menusuk, dan menusuk. Entah berapa kali ia menusuk, sebisa mungkin tidak mengenai bagian vital supaya Paman Guru Beyong tidak langsung mati.

Setelah itu ia merobek perut sang Paman Guru, dan membiarkan jeroannya tumpah ke tanah.

“Haaaakakghhhhhhh!” rasa sakit yang dirasa Beyong sudah tak lagi terperi.

“Aku tidak akan membiarkanmu mati dengan mudah.” Suro membisikkan kata-kata di telinga Beyong, “aku akan membiarkanmu mati kesakitan dan kehabisan darah. Supaya kamu tahu betapa sakitnya hatiku setelah bertahun-tahun lalu kalian injak harga diriku.”

Beyong didorong ke belakang oleh Suro. Dia ambruk dan tewas mengenaskan tak berapa lama kemudian karena kehabisan darah. Murid-murid Perguruan Seribu Angin yang mengetahui satu persatu guru mereka tewas, panik dan kalang kabut. Ada yang lantas melawan dengan gagah berani namun tewas, ada juga yang kemudian lari tapi tetap saja mati.

Suro jelas tak mengijinkan satu orang pun selamat, “Habisi semua! Jangan sampai ada yang tersisa! Tua, muda, pria, wanita, dewasa, anak-anak! Habisi semuanya! Tidak boleh ada lagi nama Perguruan Seribu Angin di paparan sejarah!”

Pria keji itu menebarkan pandangan ke tempat yang pernah menjadi tempat tinggalnya - tempat yang kini sedang terbakar hebat. Bagi Suro Wanggono, sebenarnya hanya ada satu orang yang dia incar. Satu orang yang akan ia jadikan sebagai sasaran terakhir. Orang yang paling dibencinya seumur-umur. Kalau orang ini tidak mati, maka misi-nya hari ini tidak ada arti.

Mana Pendekar Angin Sakti?

“Mana diaaaaa!? Di mana diaaaaaaaaaa!?”

Suro mencari dengan geram. Ia mencari ke kanan dan ke kiri, melihat di antara bangunan-bangunan terbakar, memburu di antara gelimpangan mayat-mayat. Masih tidak ditemukan juga. Kemana larinya pengecut tua busuk itu?

“Di atas bukit! Dia ada di sana!” teriak salah seorang kawanan.

Suro melirik ke atas bukit dan melihat sosok sang sepuh yang pernah dipanggilnya Guru Besar berdiri di sana. Mereka saling bertatapan.

Pendekar Angin Sakti tersenyum melihat Suro.

Suro menggemeretakkan gigi dengan geram. Dia melangkah dengan kaki menapak dalam ke tanah. Tenaga dalam ia kerahkan seluruhnya.

Inilah saatnya.





.::..::..::..::.





Bukit Lima Serangga sangat menyeramkan di kala siang, apalagi saat malam menjelang. Tapi justru tempat inilah yang menjadi tujuan Banyu Langit dan Anom Kinasih. Hawa dingin, pepohonan rindang, jalan setapak tak terawat, dan nisan yang terletak tak beraturan di sepanjang jalan membuat kawasan yang gelap jadi makin terasa angker.

Banyu Langit membawa obornya sambil terus mengamati jalan sementara menggendong Anom Kinasih yang terkulai lemah di punggungnya. Karena jalan setapak cukup sempit, kereta kuda pemberian Raden Randu Panji tidak akan dapat naik ke atas. Dengan ilmu kanuragan dan tenaga dalamnya yang tinggi, Banyu Langit mudah membopong sang istri ke atas bukit.

Di sana Banyu Langit menjumpai sebuah rumah kayu dengan kebun terhampar di depan rumah, kandang ayam kosong, dan satu lumbung sederhana. Rumah sederhana dari kayu itu ukurannya cukup besar dan kebunnya terhampar luas dengan dibentengi oleh pagar bambu pendek yang sederhana.

“Permisi.” Banyu Langit menarik tongkat kecil dan memukul kentongan yang terdapat di depan gerbang pekarangan.

Tkk. Tkk. Tkk.

Tidak ada suara apapun. Tidak ada siapapun yang membuka pintu. Apakah Kakek Segala Obat ada di rumah? Ini kali pertama Banyu Langit mendatangi sosok yang misterius tapi dikenal luas di jagad persilatan. Orangnya memang aneh dan unik, Pendekar Angin Sakti selalu menyarankan untuk menghindari orang ini jikalau bisa. Tapi ini masalah hidup dan mati Anom Kinasih! Banyu mengetuk kentongan lagi.

Tkk. Tkk. Tkk.

Tidak ada. Sekali lagi!

Tkk. Tkk. Tkk.

Masih tidak ada. Banyu Langit menjadi tidak sabar, dia pun melompati gerbang depan sambil masih tetap menggendong sang istri dan melewati kebun rumah Kakek Segala Obat untuk menuju pintu depan rumah.

Terasa semilir angin.

Banyu terkesiap.

Di depannya sudah berdiri sepasang pria dan wanita. Yang di kanan adalah seorang kakek tua bongkok yang membawa tongkat penyangga, di kiri adalah seorang wanita sekitar tiga puluh tahun yang cantik dengan tubuh yang luar biasa indah membayang dari kain tipis yang ia kenakan. Mereka pasangan yang beda usia jauh?

“Kekekekeke. Coba lihat orang ini, Kakek Busuk. Seenak wudel-nya sendiri menginjak-injak kebun bayamku. Apa kamu tidak ingin membunuhnya?” Wanita yang tidak muda lagi namun masih memiliki paras rupawan itu terkekeh melihat kehadiran Banyu Langit yang menggendong Anom Kinasih di punggungnya. “Mereka pasti datang kemari untuk meminta bantuanmu. Kekekekek.”

Kakek Segala Obat mencibir. Tak sekalipun matanya menatap ke arah Banyu Langit dan sang istri. Ia justru menggelengkan kepala melihat beberapa tanaman yang tadi terinjak oleh Banyu Langit. “Mereka boleh mencoba, tapi aku tidak akan berikan apapun. Sama seperti ribuan orang yang telah mencoba datang kemari. Usir saja mereka berdua!”

“Ka-Kakek Segala Obat! Dengan segala hormat, mohon maaf atas kelancangan hamba yang datang tanpa permisi, masuk dengan tidak sopan, dan bertamu tanpa kenal waktu. Hamba tahu waktu sudah malam dan ini mungkin saat yang tidak tepat. Tapi ini masalah hidup dan mati istri hamba. Mohon diberi kesempatan untuk...”

Sang ahli obat melengos, ia membuang pandangan, dan membalikkan badan untuk kembali ke gubuknya. Bukan pertama kali dan terakhir kalinya orang aneh itu menolak mengobati seseorang. Langkahnya terhenti sejenak di tangga menuju pintu masuk. Ia memejamkan mata, menghirup udara, dan menghembuskannya melalui mulut. Ia masih tidak melihat ke arah Banyu Langit dan istrinya.

“Nyai, wong wadon yang digendong bocah itu itu terkena Racun Kelabang Roso. Dia hanya punya waktu beberapa jam saja untuk hidup, kala matahari terbit, napasnya akan habis. Aku tidak mau berurusan dengan hal-hal yang percuma dilakukan. Kalau memang sudah waktunya mati, ya mati saja. Usir mereka berdua!”

“Kekekekeke... kalian dengar sendiri apa kata beliau, silahkan meninggalkan tempat ini.” kedip Nyai Pandan dengan nakalnya. Wanita cantik yang ternyata cukup genit itu tersenyum aneh. Ia tertawa kecil seakan mentertawakan nasib Banyu Langit dan sang istri. “Sayang sekali nasib kalian buruk...”

“Kakek Segala Obat!” panggil Banyu Langit dengan penuh rasa khawatir yang membuncah. Dia sama sekali tidak mengira kehebatan sang tabib itu benar-benar di luar nalar. Dia bahkan tidak perlu membalikkan badan atau memeriksa Anom dari jarak dekat untuk mengetahui apa yang terjadi pada sang istri. Keringat dingin yang deras mengucur keluar dari tubuh Anom Kinasih menjadikan jantung Banyu Langit berdebam melanggam mendendangkan alunan genderang bertalu menghentak jantung yang tak berhenti merundung. “Kakek Segala Obat... kami mohon... kami... hamba bersedia melakukan apapun asalkan Kakek Segala Obat dan Nyai Pandan bersedia mengobati istri hamba!”

“Cah bagus... pergilah.” Ucap Nyai Pandan dengan lembut. “Kamu akan menyesal jika tetap berada di sini. Percayalah. Lebih baik sekarang kamu nikmati saat-saat terakhir dengan istrimu. Jika dia sudah mati kuburkan, jika sudah lebih dari sebulan, cari istri baru. Itu saran terbaikku. Jika kalian berdua tetap hidup, tidak ada hal baik lain kecuali penderitaan yang menghadang di depan mata.”

“Nyai Pandan! Hamba mohon dengan sangat.” Banyu Langit bersimpuh di hadapan istri Kakek Segala Obat, “hamba mohon dengan sangat sembuhkan dia. Tanpa dia... hamba lebih baik tidak hidup di dunia ini.”

“Oalah, cah bagus... pandanganmu begitu sempit. Di dunia ini masih banyak wanita lain, masih banyak gadis lain, kenapa harus membatasi diri pada satu orang istri? Kamu tampan dan gagah, pasti akan sangat banyak orang yang mau menjadi istrimu.” Ucap Nyai Pandan lagi. “Jika suamiku sudah berkata tidak, dia tidak akan bertindak.”

“Ta-tapi...” Banyu Langit benar-benar sudah putus asa.

“Kecuali...” tiba-tiba saja Kakek Segala Obat mengucapkan sebuah kata. Ia masih memunggungi Banyu Langit dan Anom Kinasih, tubuh kakek tua gemuk bertongkat itu mengarah ke pintu masuk rumahnya. “...kecuali kalian bersedia menjalani syaratnya.”

“Kekekekeeke. Kejam sekali kamu ini, Kakek Tua... kekekekek.”

Banyu Langit meneguk ludah. Dia merasakan bakal ada sesuatu yang tidak menyenangkan yang diajukan oleh sang ahli obat dan Nyai Pandan yang berwatak aneh ini. Mereka berdua bukan berasal dari golongan putih dan sangat dihindari oleh para pendekar baik dari golongan putih maupun hitam, jelas hal itu bukan tanpa alasan.

Meskipun begitu... hanya merekalah satu-satunya harapan Banyu Langit untuk menyelamatkan nyawa Anom Kinasih. Ia harus rela melakukan apapun syarat yang diminta oleh kedua pendekar berwatak aneh itu!

Nyai Pandan terbang melayang dengan anggun ke samping suaminya, tangannya menyandar di bahu sang pasangan sambil mengedipkan mata ke arah Kakek Segala Obat yang hanya mendengus sambil geleng-geleng kepala.

“Syarat apapun akan kami penuhi, Kakek... Nyai... hamba akan melakukan apa saja asalkan nyawa istri hamba bisa disembuhkan.” Banyu Langit masih bersimpuh dan mengemis minta kesembuhan untuk nyawa Anom Kinasih.

Nyai Pandan dan Kakek Segala Obat saling berpandangan, mengedipkan mata, dan tertawa terbahak-bahak. Banyu Langit makin terheran-heran dengan sikap keduanya. Ia makin tak sabar diri untuk memohon disebutkan syarat-syaratnya. Bagaimana caranya supaya sang istri terselamatkan?

Anom Kinasih merintih kesakitan.

Banyu Langit makin tak sabar.

“Nyai Pandan. Kakek Segala Obat. Tolong sebutkanlah syarat-syarat yang harus hamba penuhi untuk menyembuhkan racun yang diderita istri hamba.” wajah Banyu Langit makin merah padam saat sang istri ngilu menahan rasa sakit tak terperi. “Ke ujung bumi sekalipun pasti akan hamba sambangi, jika memang ada yang ingin Kakek dan Nyai cari.”

Cuh.

Kakek Segala Obat meludah ke tanah sementara Nyai Pandan tertawa terbahak-bahak. Wanita itu menepuk-nepuk pundak Kakek Segala Obat seakan-akan ia menyaksikan sesuatu yang sangat lucu di depan mukanya. Banyu Langit jelas tidak paham sama sekali apa yang tengah terjadi.

“Kamu benar-benar tidak paham saat datang kemari, Cah Bagus? Tidak pernah mendengar nama beliau?” tanya Nyai Pandan sambil berjalan pelan mendekati Banyu Langit. Ia menatap lekat mata pemuda gagah itu, lalu memainkan jemarinya yang lentik di pipi Anom Kinasih yang kembali merintih sakit. “Kamu benar-benar tidak tahu bagaimana Kakek Segala Obat bisa menyembuhkan penyakit?”

Banyu Langit menggeleng. Ia hanya tahu kalau Kakek Segala Obat adalah raja-diraja pengobat semua racun. Hampir tidak ada racun yang tak bisa disembuhkannya. Tapi lebih dari itu, Banyu Langit tak pernah mendengar beritanya.

“Mana yang kau pilih seandainya bisa...?” tanya Nyai Pandan lagi, “cinta atau segar waras?”

Banyu Langit mengerutkan kening, pertanyaan apa itu? Apakah ini ujian sebelum Anom bisa dirawat oleh Kakek? “kesehatan jauh lebih penting, Nyai. Tapi cinta juga menjadi pelita di hati.”

Nyai Pandan tertawa lagi. “Bagus-bagus tapi bodo. Aku kasih satu pertanyaan lagi untukmu, berapa menurutmu usiaku?”

Kakek Segala Obat terkekeh geli mendengar ucapan Nyai Pandan. Banyu Langit makin kebingungan, apa kepentingan Nyai Pandan menanyakan hal tersebut di situasi yang tengah genting saat ini?

“Ha-hamba tidak berani, Nyai. Agak kurang sopan bagi hamba untuk...”

“Tinggalkan unggah-ungguh-mu di depan pintu, cah Bagus. Kita tidak sedang berada di pendopo keraton. Ini cuma gubuk di tengah alas. Di tempat ini tidak ada tata-krama dan aku hanya menanyakanmu satu pertanyaan sederhana saja.”

Banyu Langit berdehem. Baiklah, dia paham dengan keunikan kedua tokoh di hadapannya ini. Mau tidak mau ia harus mengikuti keunikan mereka.

“Tebakan hamba sekitar pertengahan 30-an.” Ucap Banyu Langit tegas. Dia ingin semua permainan kata dan percakapan gila dari dua orang aneh ini segera berakhir. Cepatlah! Sembuhkanlah Anom! Tunggu apalagi sih?

Nyai Pandan dan Kakek Segala Obat saling berpandangan dan tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban dari Banyu Langit tersebut. Lagi-lagi seakan kalimat itu adalah kalimat paling lucu sedunia yang diutarakan oleh seorang pemain wayang yang ndagel-nya minta ampun.

“Umurku ya sama saja dengan Kakek Tua ini. Sama tuek-nya. Sama loyonya. Kekekeke. Aku sudah 80 tahun lebih” Tawa Nyai Pandan tidak nyaman didengarkan. Banyu Langit terbelalak, kedua orang ini ternyata lebih tua dari yang ia perkirakan. Bagaimana bisa mereka terlihat begitu awet muda? Terutama Nyai Pandan! “Obat-obat dari Kakek Tua yang berhasil membuat aku awet muda begini, itu membuktikan kesaktian beliau.”

Kakek Segala Obat mendengus, “koyo opo wae to, Yu...”

“Yang dibutuhkan oleh Kakek Tua itu cuma satu, cah Bagus. Aku khawatir dengan masa depanmu jika kamu menurutinya. Kekekekek.”

Nyai Pandan tersenyum aneh sembari terbang kembali dengan anggun ke samping suaminya. Ia mengelus lengan sang tabib kondang, wanita unik itu menyeringai dengan ujung bibir hampir naik ke atas pipi. Barisan gigi yang rapi tiba-tiba saja berubah menjadi tajam dan menyeramkan, matanya berubah menjadi merah, dan kulitnya memucat sepucat mayat.

Kakek Segala Obat melirik ke arah Banyu Langit dan tersenyum, ia mengambil pisau dari balik saku bajunya, lalu menggores lengannya sendiri. Sang kakek bertubuh gempal sempat mengernyit sakit namun ia tetap tersenyum dan menyodorkan tangannya yang sudah terluka itu ke sang istri.

Nyai Pandan menjilat luka Kakek Segala Obat dan segera minum darah yang menetes dari lengan itu bagai bayi yang sedang meringkuk di pelukan ibundanya.

Gila! Pemandangan apa yang sedang ia saksikan saat ini? Dua orang ini jelas bukan tokoh baik-baik, apapun permintaan mereka, Banyu Langit akan segera dihadapkan pada sebuah keputusan yang sulit. Tubuh pendekar muda itu bergidik kencang, ia menyaksikan hal yang mengerikan. Tapi ia kokoh pada pendiriannya, yang penting Anom selamat, hal yang lain tidak perlu ia khawatirkan.

“Apa gerangan syarat yang dikehendaki oleh Kakek Segala Obat, Nyai?” suaranya nyalang menembus awan malam.

Nyai Pandan menyelesaikan minumnya, ia menghapus darah segar di bibirnya dengan punggung tangan, lalu mengeluarkan kain dari balik kantong baju dan membalut luka sang suami. “Kakek Tua ini hanya butuh satu hal. Dia butuh keturunan.”

Banyu Langit mengernyit heran. “Keturunan?”

“Kakek Tua punya darah... punya getih yang bisa menyembuhkan penyakit apapun. Cacat sejak lahir tapi membuat semua orang ketumpahan rejeki. Darahnya sudah berjasa menyembuhkan banyak punggawa kerajaan, para pimpinan kadipaten, dan para pendekar golongan hitam maupun putih. Tapi sayang hingga saat ini, beliau belum dapat meneruskan kemampuan ini kepada siapapun karena tidak punya keturunan.” Ucap Nyai.

“Begitu. Sayang sekali.”

Nyai Pandan tertawa, “Kekekekek. Iya, sayang sekali kalau sampai beliau meninggal nanti lantas getih aji nan sakti mandraguna ini lenyap dari dunia. Padahal hanya ada satu cara untuk melanjutkan warisan beliau, yaitu memiliki keturunan. Aku hanyalah wanita mandul yang tak sanggup memberinya anak. Itu sebabnya...”

Banyu Langit meneguk ludah.

“...itu sebabnya syarat utama untuk menyembuhkan istrimu adalah, mengijinkan si molek itu melayani hasrat birahi Kakek Tua dan melahirkan keturunan untuknya. Kekekekekek.”

Kakek Segala Obat dan Nyai Pandan tertawa tergelak dengan kencangnya.

Banyu Langit bagaikan disambar geledek. Ia berdiri dan mundur teratur.

“Ti-tidak bisa! Itu tidak mungkin aku lakukan! Persyaratan sebejat itu tidak akan pernah aku penuhi! Tidak! Aku tidak akan...!” Banyu Langit menggelengkan kepala dengan sangat keras. Dia sudah membayangkan kedua orang ini gila, tapi dia tidak pernah mengira kalau keduanya juga sangat bejat dan tidak bermoral! “Tidak! Tidak bisa!”

“Terserah. Kami tidak peduli apapun. Itu kan urusanmu. Kalau mau aku sembuhkan ikuti prasyarat, jika tidak menuruti syarat segera angkat kaki.” Ucap Kakek Segala Obat sambil mencibir tak peduli. Ia masuk ke dalam rumah tanpa mempedulikan Banyu Langit dan Anom Kinasih.

Banyu Langit ambruk bersimpuh.

Bagaimana ini?

Tak lama kemudian terdengar teriakan dari dalam rumah, “jangan kuburkan istrimu di pekaranganku! Kubur jauh-jauh dari sini!!”

Anom Kinasih merintih kembali.

Banyu Langit bergetar hebat, batin dan perasaannya hancur.

Apa yang harus dilakukannya sekarang?

Apa?





.::..::..::..::.





Malam nampak bercahaya, ketika bulan memeluk bintang, ketika malam berselimutkan hamparan gelap tak berbatas sejauh mata memandang. Kelambu malam yang turun tanpa menunggu manusia, silih berganti menyingsing ketika nanti datang sang mentari. Tapi itu nanti, ketika bulan dan bintang sudah mengakhiri tugasnya, melepaskan pelukan mereka, untuk digantikan awan berarak dan biru langit yang menjadi atap. Tapi itu nanti, ketika manusia telah bangun dari tidur mereka, dari lelap usai lelah bekerja, dan dari semangat untuk memulai melangkah di hari yang baru.

Bara berkedip, melepas tatapannya dari langit-langit gua yang bolong untuk menyaksikan terang sang rembulan lalu memindahkan pandangan ke samping, ke arah tumpukan kulit kambing dan kertas yang menjadi pertanyaan.

Sudah beberapa malam Bara mempelajari kawruh ilmu kanuragan yang ada di lembaran kulit kambing. Ia mulai bisa menghapalnya. Tapi baru taraf bisa menghapal, belum sepenuhnya menerapkan. Sepertinya membutuhkan waktu lebih lama untuk benar-benar bisa menguasai. Banyak kata dan kalimat rumit yang harus ia terjemahkan karena mengandung aksara lama. Beruntung sekali dulu Kakek Guru mengajarinya ilmu dari banyak buku, sehingga tidak sulit baginya memahami kata demi kata. Buku memang gudangnya ilmu, dan dari banyak membaca kita memperoleh banyak pengetahuan baru.

Yang di kulit kambing sih sudah bisa dipahaminya, tapi bagaimana dengan yang lain?

Masalahnya memang sekarang ada pada kertas-kertas kosong yang ditinggalkan berserakan oleh Si Kakek Gila. Apa sebenarnya yang tersimpan dalam kertas-kertas kosong itu? Bagaimana cara membuka rahasianya? Dibolak-balik, diterawang di cahaya, tak kunjung didapat jawabannya.

Entah sudah berapa hari Bara mencoba mencari cara namun tidak kunjung ketemu juga rahasianya. Tidak mengherankan tentunya, karena Kakek Gila bahkan mungkin sudah mencoba bertahun-tahun dan belum juga berhasil.

Hari-hari Bara kini diisi dengan berlatih ilmu yang didapatkan dari kulit kambing, makan buah, minum, lalu mencoba memecahkan rahasia kertas kosong. Sementara Si Kakek Gila makin lama makin tidak mempedulikan barang-barang misterius penuh kajian ilmu itu.

Omong-omong, di mana gerangan Kakek Gila?

Pria tua dengan dua kepribadian itu sedang mengelana ke penjuru-penjuru gua, mencari buruan, buruan artinya binatang yang bersembunyi atau masuk ke gua secara tidak sengaja. Kakek Gila senang berburu untuk makan malam. Dia tidak pernah hanya makan buah saja. Berbeda tentunya dengan Bara yang sampai sekarang tetap bertahan untuk terus memakan buah tanpa pernah makan daging apapun.

Sejak makan buah-buahan yang ada di dalam gua, perut dan lidah Bara rasanya aneh, seperti terasa hangat di waktu-waktu tertentu bahkan pada suatu saat bisa teramat panas. Dia tidak mengerti buah apa sebenarnya yang menjalar di dalam gua, yang jelas buah itu aman dimakan, bisa membuatnya kenyang, dan jika disantap dapat membuat Bara bertahan hidup. Sudah, begitu saja.

Semuanya memang dibuat mudah saja akhir-akhir ini oleh sang bocah. Dia tidak ingin repot memburu binatang karena memang dia tidak lagi berselera memakan daging. Buah-buahan aneh itu bagai merubah perut Bara menjadi lebih sensitif terhadap daging, beda dengan si Kakek Gila yang kalau makan daging bagai berpesta di warung termahal di Kadipaten. Dia sering mengeluh berhari-hari jika tidak menemukan buruan dan tidak pernah bisa kenyang hanya dengan makan buah. Di gua yang terbatas sumber dayanya, keinginan semacam itu membuat situasi menjadi rumit, itu yang tidak diinginkan Bara, sehingga dia selalu bertahan dengan makan buah saja.

Sebentar.

Sebuah pikiran menyeruak ke otak sang bocah.

Benar juga.

Kenapa harus berpikir rumit?

Buru-buru Bara bangkit dari tempatnya tidur-tiduran, dan sejenak melupakan kebiasaan memandang bintang di langit-langit gua yang tinggi. Bocah itu mengambil kulit kambing yang terdapat di tengah ruangan.

Baiklah, jadi kulit kambing ini digunakan untuk menjelaskan Serat Sepuluh Gapura, meski sendirinya merupakan kesatuan ilmu kanuragan mumpuni, tapi Serat Sepuluh Gapura sejatinya dipelajari untuk membuka 18 Serat Naga. Lalu kenapa Nawalapatra 18 Serat Naga yang lebih penting justru menggunakan kertas saja? Bukan kulit kambing yang jauh lebih kokoh dan tidak akan mudah digerus masa?

Kenapa begitu? Kenapa dengan sengaja membuat dua bagian ilmu kanuragan yang sebenarnya satu kesatuan ke dua paparan yang berbeda? Kenapa justru pembukanya menggunakan kulit kambing yang lebih kuat dan ilmu intinya malah hanya menggunakan kertas yang terpisah-pisah dan lebih ringkih? Bukankah jenis materi yang digunakan untuk kedua ilmu kanuragan ini justru terbalik?

Tidak salah lagi.

Pasti memang sengaja dibalik. Pasti ada alasannya.

Bara membaca lagi bagian terakhir dari Serat Sepuluh Gapura di paparan kulit kambing. Ada dua kalimat yang mengacu pada 18 Serat Naga.

Serap Dasa Gapura. Serap Serat Naga.

Secara umum, menyerap dapat diartikan mempelajari, karena kertas dan kulit kambing tentunya tidak dapat diserap secara ragawi. Manusia tidak bisa menye...

Bara mengernyitkan dahi.

Jangan-jangan...

Dia menarik salah satu kertas, lalu mengarahkannya ke cahaya. Kertas ini, terbuat dari apa? Bukan seperti kertas yang biasa digunakan untuk membuat kitab seperti yang sering diberikan oleh Kakek Guru. Bahannya lebih kasar dan lebih kecoklatan, memang tidak berbau, tapi tidak memiliki penampang seperti kertas yang digunakan untuk kitab pada umumnya. Ini bukan kertas biasa.

Bara menyobek sedikit kertas itu.

Lalu melahapnya.

Bocah itu punya satu pemikiran sederhana berdasarkan dua kalimat di ujung akhir Serat Sepuluh Gapura. Bagaimana manusia dapat menyerap sebuah benda? Dengan memakannya. Ya! Kenapa tidak kepikiran sampai ke...

Hanya beberapa saat setelah menelan bagian kertas, tubuh Bara menghangat, seperti ada api yang menyala dalam tubuhnya. Tentu saja perasaan itu sangat aneh. Apa yang telah terjadi? Apa yang... jangan-jangan dia salah sangka dan tidak seharusnya memakan kertas yang...

Hagkh!

Bara ambruk ke belakang.

Dia pingsan.





.::..::..::..::.





Pendekar Angin Sakti – sang pimpinan Perguruan Seribu Angin, adalah seorang tua berbadan ringkih yang kalau berbicara selalu lembut dan sopan. Usianya entah sudah berapa, tapi rambut dan jenggot putihnya yang panjang dan melambai-lambai ditiup angin menandakan kilasan pengalaman yang tidak hanya tiga atau empat dasawarsa. Bekal pengalaman yang segudang membuat lelaki tua itu tidak lagi takut menghadapi lawan-lawan seberapapun dan seperti apapun.

Si Alis Kincir yang memimpin pasukan dari Randu Panji dan Suro Wanggono yang memimpin gerombolan golongan hitam saling bertatapan. Inilah dia, tokoh paling menyeramkan yang harus mereka hadapi hari ini.

Sanggupkah mereka?

Pendekar Angin Sakti berdiri tanpa takut, menatap mereka yang menyambangi tempatnya duduk di atas sebuah pendopo dengan pandangan lembut, dan tersenyum secara patut. Tidak nampak dendam, kemarahan, atau keinginan membunuh dari sang pendekar sesepuh. Dia pun memandang ke arah Suro Wanggono seperti dahulu kala saat menganggapnya sebagai anak asuh.

“Bagaimana kabarmu, Suro? Sudah berapa lama kita tidak bertemu? Tidakkah kau rindu untuk sekedar duduk dan berbincang sembari minum teh saat mentari mulai terbenam?” sapa sang Pendekar dengan ramah.

Cuh!

Suro Wanggono membuang ludah, “simpan basa-basimu tua bangka! Kau tak pantas disebut guru! Selalu memilih murid lain sebagai yang terbaik! Selalu memilih yang lain sebagai yang pantas mendapatkan kitab! Lalu kapan aku kau anggap pantas? Aku sudah berusaha keras! Aku sudah mengusahakan yang terbaik untukmu! Jatuh bangun demi perguruan busuk ini! Bedebah! Tidak pernah lagi aku akan menganggapmu sebagai guru! Aku sudah mendapatkan apa yang aku inginkan kini! Tak perlu aku menganggapmu sebagai panutan!”

Sang Pendekar Angin Sakti tersenyum, “sudahkah kau lihat dirimu di cermin kaca, wahai Suro? Cobalah kau ulang kata-kata yang baru saja kau ucapkan di depan kaca. Apa yang akan kau lihat? Seorang pendekar gagah yang pantas mendapat pengakuan, ataukah seorang anak kecil yang merengek-rengek?”

“Keparat!” Suro Wanggono sudah marah luar biasa, tapi sejenak kemudian dia tersenyum, “terserah akan kau hina aku seperti apa, tua bangka keparat. Tapi lihatlah sekarang, lihat sekelilingmu! Hasil kerja kerasmu selama bertahun-tahun aku hancurkan hanya dalam waktu singkat! Mayat murid-muridmu bertebaran tanpa nisan. Termasuk Bima Soka yang kau bangga-banggakan itu! Dia sudah jadi mayat! Takluk di bawah serangan pasukanku! Anom Kinanti? Akan kusiapkan menjadi tungganganku kala malam tiba. Kalau aku bosan nanti, akan aku jadikan dia pelacur bagi pria hidung belang di seluruh negeri! Mau diletakkan di mana rasa bahagiamu sekarang tua bangka laknat?!”

Pendekar Angin Sakti menggelengkan kepala, “angkara murka seperti apakah yang ingin kamu ledakkan di dunia ini, Suro? Sadarlah bahwa apa yang telah engkau lakukan ini salah. Kembalilah ke ajaran yang benar – jangan menyakiti, saling menyayangi. Apa yang telah membuatmu begitu dendam pada Perguruan Seribu Angin? Apa yang membuatmu jadi seperti ini?”

“Aku ingin menghancurkan semua hal yang telah menyakiti hati dan perasaanku bertahun-tahun saat berada di tempat ini!” Suro Wanggono melambaikan tangannya, dua orang prajurit Kelabang Sewu membawa serta Wija Wisesa dan Paman Guru Barda yang sudah kepayahan. Mereka jelas tidak mampu lagi melawan, Suro melihat wajah terkejut Pendekar Angin Sakti. “Lihat baik-baik wajah mereka, karena esok hari – yang akan kamu lihat hanyalah nisan mereka saja!”

Pendekar Angin Sakti terkejut melihat dua muridnya sudah tak berdaya. Barda kehilangan sebelah tangan dan kedua matanya terluka, Wija sudah buntung kaki kanannya. “Kejam! Kejam sekali, Suro! Apa sebenarnya yang kamu inginkan? Kenapa kamu menjadi berubah menjadi orang yang tak kenal welas asih seperti ini? Pikiran kotor apa yang telah membuatmu lupa diri?”

“Jangan bodoh! Aku sudah mengatakan berkali-kali apa yang aku inginkan! Apa yang aku dambakan! Kenapa masih juga belum jelas sampai sekarang? Orang tua busuk! Masih ingin mereka hidup? Berikan padaku salinan Kitab Inti Angin Sakti! Akan kubiarkan mereka hidup!”

“Guru!” Wija berteriak kencang, ia terluka parah tapi tak akan menyerah begitu saja. “jangan lakukan apapun yang dia inginkan! Jangan mau! Pergilah dari sini dan kabarkan kekejaman mereka pada semua orang!”

“Wija...” Pendekar Angin Sakti memeras dadanya yang terasa kian sakit melihat muridnya yang masih tetap berjuang meski sudah sangat payah. Dia tidak mempedulikan bangunan yang terbakar, kitab yang menjadi arang, atau harta yang dijarah. Pendekar Angin Sakti hanya ingin murid-muridnya selamat. Pendekar Angin Sakti menggeleng kepala, dia mengambil sebuah kitab dari dalam saku bajunya.

Seorang prajurit maju ke depan untuk mengambil kitab itu dari Pendekar Angin Sakti dan menyerahkannya pada Suro Wanggono.

Suro Wanggono membuka-buka kitab itu, mengamatinya, dan tersenyum. “Ini salinan yang tidak lengkap. Aku tidak melihat bagian terakhir dari ilmu Inti Angin Sakti di sini.”

“Suro... sudah berapa kali aku bilang, kitab itu sudah tidak ada lagi padaku, aku sudah menyerahkannya...”

“Ah! Aku bosan! Ya! Selalu cerita lama! Kamu sudah menyerahkannya pada Bima Soka dan Arum Kinanti! Tapi mereka berdua juga tidak memiliknya!” Suro Wanggono membentak. Wajahnya merah padam. Sudah cukup ia mendengar semua ini, sudah kesal ia. “Alis Kincir!”

“Ya!”

“Lakukan!”

Alis Kincir mendekat ke arah Wija dan Barda sembari membawa sebuah pedang yang diambilnya dari seorang prajurit Kelabang Sewu. Tanpa aba-aba, tanpa kata permisi, tanpa menyebutkan banyak kata, ia menyabetkan pedang sekali, dan kepala Barda sudah terlepas dari tubuhnya.

Wija berteriak kencang dengan berang.

Pendekar Angin Sakti tersentak tapi tiba-tiba saja jantungnya seakan menggigit, sakit terasa dalam dada. Apa yang terjadi? Tubuh renta Pendekar Angin Sakti ternyata tak sanggup menahan rasa sakitnya, ia ambruk ke depan.

“Hkkkghhh!”

Adi Karang keluar dari rombongan Suro Wanggono dan tertawa terbahak-bahak, “Enak bukan tehnya, Guru? Rasa sakit itu adalah khasiat dari teh yang aku buat. Mudah-mudahan sanggup menghilangkan dahaga, atau bahkan menghilangkan nyawa jika sanggup?”

“Guruuuuuuuu!!” Wija yang melihat gurunya terkapar mulai meronta dari orang-orang yang memeganginya dan beringsut dengan satu kaki ke arah sang guru. Darah masih keluar dari kakinya yang terpotong.

“Wija.”

Wija mendongak, ia menyaksikan Suro Wanggono tersenyum dan berdiri berkacak pinggang di hadapannya. “Maafkan aku, tapi hanya sampai di sini saja akhir hidupmu. Mudah-mudahan kita tidak bertemu kembali kelak di kehidupan yang berikutnya. Kamu hanya akan menjadi kangkung yang terselip di sela-sela gigiku dan harus dibuang karena mengganggu.”

Suro mengayunkan sitarnya yang besar dengan gerakan menghunjam ke bawah.

Jbkkgg!

Wija tersungkur setelah kepalanya dihantam oleh sitar sang kakak seperguruan. Ada darah yang terkucur saat luka sobek menganga di ubun-ubunnya. Dia tidak berteriak, karena rasa sakitnya sudah tak terperi. Tubuhnya mengejang.

Suro Wanggono tersenyum. Mana mungkin ia berhenti. “Haaaaaaaarrrghhh!!”

Jbkkgg! Jbkkgg! Jbkkgg! Jbkkgg! Crooookkk!!

Pukulan demi pukulan kencang dilakuan, pecah kepala Wija dengan otak terburai. Usai sudah perlawanan sang pendekar. Ia gugur mempertahankan kehormatan perguruan.

“Wi-Wija...” Pendekar Angin Sakti meneteskan air mata melihat muridnya tewas setelah kepalanya diremuk oleh Suro Wanggono yang brutal dan sadis. “Kenapa Suro? Dia adik seperguruanmu... dia selalu mengagumimu, kenapa?”

“Karena aku bisa.” Suro Wanggono jongkok di depan sang guru dan mendengus. “Kini giliranmu, tua bangka busuk! Hahahahahahah!!”

Suro Wanggono mengejapkan mata sekali.

Hanya sekali saja.

Ketika ia membuka mata, Pendekar Angin Sakti sudah tak lagi berada di depannya. Demikian juga mayat Wija dan Barda. Sudah lenyap tak berbekas. Tidak ada yang melihat kemana pendekar tua itu pergi. Suro Wanggono marah bukan kepalang.

“Bajingaaaaaaaaaaaaaaannn! Kejar kemanapun dia pergi!! Kejaaar!! Hidup atau mati!! Dia sudah terluka dalam karena racun! Kejaaaaar!”

Meski semua anggota gerombolan yang dibawa oleh Suro Wanggono, Alis Sakti, dan Kelabang Suto bergerak untuk menyisir lokasi dan mencari Pendekar Angin Sakti, tapi mereka tidak akan pernah menemukannya lagi.

Itulah saat terakhir dunia melihat keberadaan Pendekar Angin Sakti.

Ia menghilang bagai ditelan bumi.

Itulah pula akhir dari kisah Perguruan Seribu Angin.





.::..::..::..::.





Bara terbangun.

Dia mengejapkan mata. Apa yang baru saja terjadi? Kenapa dia pingsan?

Bocah itu mengelus-elus bagian belakang kepalanya yang benjol. Aduh duh duh. Rasanya sakit sekali. Mungkin ketika ambruk tadi kepalanya terantuk batu gua yang keras. Jadi lumayan sakit rasanya. Aduh duh duh.

Ia memandang ke langit-langit dan awan gelap sepertinya menaungi malam ini. Ada perasaan tak nyaman di dada Bara, ia teringat kawan-kawan karibnya di Perguruan Seribu Angin dan tentunya Kakek Guru yang selalu baik padanya. Perasaan aneh apa ini? Mudah-mudahan mereka semua baik-baik saja. Dia berjanji untuk kembali ke Perguruan Seribu Angin selepasnya dari gua terkutuk ini.

Bara menghela napas panjang dan mencoba berdiri.

Hari ini rasanya gua terang sekali.

Ia bahkan bisa melihat ke dalam lorong yang biasanya terlihat amat gelap. Mungkin ini berkat cahaya berpendar di dinding gua. Hmm... iya. Berkat cahaya berpendar kebiruan yang...

HA!?

Sebentar... sebentar...!

Cahaya berpendar kebiruan apa!? Kenapa dia sebelumnya tidak bisa melihatnya?

Bara memutar kepalanya ke kanan dan ke kiri. Tembok-tembok gua bagaikan menyala dengan garis-garis tegas berpendar kebiruan yang sebelumnya belum pernah ia lihat sama sekali. Garis-garis berpendar itu ibarat mengarahkannya ke sebuah lorong yang teramat gelap. Buru-buru Bara melangkah menuju ke arah yang dituju oleh cahaya-cahaya berpendar dan ia masuk ke sebuah ruang yang luas dan lapang, dengan dinding batu melingkar yang kokoh.

Bara tersenyum lebar melihat keindahan itu, ia tersenyum lebih lebar lagi melihat pahatan aneh di dinding gua. Itu tulisan! Itu kawruh ilmu kanuragan!

Bara menyaksikan pahatan-pahatan tulisan berpendar yang menyala terang. Tulisan ini tidak akan dapat terbaca karena lorong ini cukup gelap dan tersembunyi, jikapun terang, pahatan itu tak akan terbaca karena pendar kebiruan aneh itu tidak mengikuti pahatan yang umum dibaca oleh mata manusia normal.

Mata Bara bagai bersinar. Kata dan kalimat di dinding gua dengan mudahnya terbaca. Ia langsung girang saat membaca kalimat pertama di ujung lorong.

Nawalapatra 18 Serat Naga.

I-Ini dia! Ini ilmunya! Ini...

Cahaya berpendar itu lama kelamaan menghilang.

Tidak! Tidak! Dia belum sempat membaca semuanya! Kenapa menghilang!? Kenapa pendar kebiruan itu tidak bertahan lama? Dia tidak sempat...

Bara tersadar.

Nawalapatra 18 Serat Naga... ternyata rahasianya bukan hanya pada kertasnya saja, seluruh gua inilah rahasianya! Kertas-kertas itu tidak memuat ilmu kanuragan apapun, penampang dinding gua inilah bagian sesungguhnya yang dicari-cari! Rahasia itu tidak ada pada kertasnya, rahasia itu ada pada kulit kambing dan juga dinding-dinding gua! Semuanya dapat terbaca setelah ia memakan sedikit bagian kertas yang dikira berisikan Nawalapatra 18 Serat Naga!

Luar biasa!

Bara buru-buru mengambil kertas yang tadi sudah ia kunyah, lalu melahapnya sedikit demi sedikit. Kepalanya berubah menjadi sangat pusing dan badannya hangat seperti perlahan-lahan terbakar. Bocah itu duduk bersila dan bermeditasi, berusaha supaya badannya yang kecil dapat menyerap tenaga liar yang ditimbulkan dari kertas yang ia lahap menjadi lebih jinak.

Darah mengalir dari lubang hidung Bara.

Entah bagaimana ia merasakan hal yang aneh pada tubuhnya, kertas dan buah-buahan yang ia makan terasa seperti menyatu dalam tubuhnya, saling melengkapi dan menyelimuti satu sama lain, menimbulkan ledakan kekuatan dahsyat yang membuatnya hampir pingsan. Tapi energi itu tak pergi dan justru bersemayam dalam raganya, meningkatkan tenaga dalam tubuhnya hingga berkali-kali lipat.

Luar biasa, kertas itu selain membuatnya sanggup membaca cahaya berpendar dalam gua, sanggup juga meningkatkan tenaganya berlipat ganda.

Saat tenaga liar dalam tubuhnya mulai mereda, Bara membuka mata. Ia melihat sekeliling dan tersenyum puas. Kalimat-kalimat berpendar itu kembali lagi! Bocah itu mulai membaca kata demi kata, kalimat demi kalimat, menghapalnya, memastikan kebenarannya, lalu menelan sedikit demi sedikit kertas yang kosong dengan menggabungkannya dengan buah aneh dari gua.

Saat membaca, Bara juga mulai mempraktekkan apa yang ia baca.

Berkat kertas dan buah-buahan aneh yang ia makan, terasa ada perbedaan dalam dirinya. Setelah mempelajari paparan dari dinding gua, Bara kemudian duduk bersila dan mulai menyerap energi yang didapatkan dari campuran kertas dan buah-buahan yang ia makan. Ia memejamkan mata dan gejolak hawa hangat dalam diri mulai terasa. Hawa itu mewujud bagaikan energi, menyebar ke seluruh tubuhnya – khasiat kertas yang diserap bergabung dengan khasiat buah aneh yang tumbuh dalam gua, keduanya berpadu-padan membuat badan Bara menjadi hangat dan memancarkan api.

Dia sudah berhasil.

Akhirnya Bara sadar, ia telah mampu memecahkan rahasia yang selama bertahun-tahun gagal dibuka oleh si Kakek Gila! Dia telah memecahkan rahasia Kidung Sandhyakala! Bocah kecil itu duduk bersila, lalu melatih setiap kata dan kalimat yang ia hapal sebelumnya. Mungkin ini adalah berkah dan dukungan yang diberikan oleh para leluhurnya, Bara berjodoh dengan ilmu kanuragan misterius yang kelak akan membuat perbedaan di dunia. Beruntung pula, Bara dapat dengan mudah menghapal karena sering dilatih oleh Kakek Guru Pendekar Angin Sakti.

Detak waktu makin cepat berlalu. Hari berubah menjadi minggu, minggu berubah menjadi bulan, dan bulan berubah menjadi tahun. Bara tumbuh dewasa dengan tenaga yang meningkat pesat dan ilmu kanuragan pilih tanding yang tak ada duanya di muka bumi.

Kidung Sandhyakala.

Telah menjadi milik Bara.

Kini saatnya keluar dari gua.







BAGIAN 6 EPISODE 1 SELESAI.
BERSAMBUNG KE EPISODE SELANJUTNYA
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd