Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG KIDUNG SANDHYAKALA

Status
Please reply by conversation.
BAGIAN 2
MENGURAI MENDUNG MENGGANTUNG






Angin menari nakal memainkan rambut yang jatuh di kening Anom Kinasih. Wanita muda itu menggelar raut muka mendung di wajahnya yang ayu sembari duduk bersimpuh di depan sebuah makam di bawah pohon rindang yang memberikan keteduhan. Gelombang semilir sang bayu mencoba membantu meringankan beratnya kesedihan yang menaung dengan berlari-lari sejuk di bawah terik sang mentari yang tiada memberi ampun menaburkan sengatan tebaran cahaya.

Makam di hadapan Anom Kinasih adalah sebuah makam baru, rangkaian bunga ditebarkan seadanya di atas makam sederhana tersebut sehingga terlihat syahdu dalam kesunyian suasana sekitar. Seorang laki-laki bertubuh tegap berparas tampan dengan pakaian berwarna biru muda yang rapi mendekat perlahan. Tangannya menepuk lembut pundak sang wanita jelita.

“Diajeng Anom Kinasih. Sudah waktunya kita meninggalkan tempat ini. Begitu banyak hal yang harus kita lakukan dan mentari sudah tinggi di atas awan.”

Banyu Langit – demikian nama sang pemuda tampan tersebut, memutar badan untuk sekali lagi menyaksikan dan memeriksa bangunan berantakan menghitam yang berada tak jauh dari mereka saat ini berada.

Tempat yang dulunya asri dan apik yang menjadi saksi bisu di mana pernah tinggal sepasang pendekar pilih tanding Arum Kinanti dan Bima Soka Watulanang kini hancur tak tersisa, dibakar habis oleh amarah laknat. Tempat yang dulunya damai, hijau, tenang, dan menyenangkan untuk ditinggali, kini hanya tersisa puing-puing kayu yang sudah menjadi arang, dengan abu bertebaran dan bau amis menusuk hidung.

Tidak ada lagi yang tersisa.

Banyu sekali lagi menepuk lembut bahu istri yang baru dinikahinya beberapa tahun yang lalu yang masih duduk bersimpuh dengan kesedihan mendalam di depan makam kakak iparnya, ia tahu pasti duka Anom tidak terperi, tak mengetahui bencana yang menimpa kakak kandungnya sendiri.

Anom Kinasih adalah adik dari Arum Kinanti yang sampai saat ini belum diketahui bagaimana nasibnya, demikian pula hilir kabar dari Bara Sembrani sang putra tunggal yang tidak diketemukan jejaknya. Satu-satunya yang mereka ketahui adalah gugurnya Bima Soka, yang saat ini telah terkubur di dalam makam yang masih basah, sang Pendekar Golok Angin gugur secara tragis dengan luka-luka mengenaskan.

Siapa yang mampu memastikan akhir kisah hidup seorang manusia yang fana dan tak pernah tahu catatan sejarah dunia dari awal hingga akhirnya. Manusia hanyalah makhluk lemah, yang tak pernah tahu di mana ia akan dilahirkan, bagaimana ia akan menjalani hidup, dan bagaimana kisah akhir hidupnya. Manusia hanya akan abadi dari mereka yang mengingat dan mengenangnya, dari jasanya selama hidup dan dari amalnya selama napas berhembus.

Air mata mendera di pipi Anom, menyatakan kesedihannya yang mendalam. “Kakang Bima Soka telah gugur, nasib Mbak Ayu Arum dan Bara masih belum kita ketahui. Bagaimana selanjutnya, Kakang Banyu? Apa yang harus kita lakukan sekarang?”

Banyu Langit mendesah, sungguh berat ia mengatakan kalimat yang selanjutnya harus ia sampaikan pada Anom Kinasih. “kita lanjutkan perjalanan, Diajeng. Seperti yang seharusnya kita lakukan sesuai perintah guru – karena apa yang kita bawa adalah sesuatu yang penting dan dibutuhkan di Kota Kadipaten. Setelah semua tugas usai, kita akan pulang secepatnya ke padepokan membawa kabar duka ini. Di sela-sela perjalanan kita, sebisa mungkin kita cari keberadaan Mbak Ayu Arum Kinanti dan Bara Sembrani.

“Maafkan aku tidak bisa secepatnya kembali ke padepokan, Diajeng. Adinda tahu sendiri bagaimana pentingnya tugas yang kita emban. Guru sendiri yang menyampaikan saat menitahkan tugas ini ke kita, bahwa apapun yang terjadi kita tetap harus ke Kota Kadipaten.”

Anom Kinasih menunduk dan menangis sesunggukan, meski ia kemudian mengangguk dengan menyandang beban teramat berat dalam hati. Anom Kinasih sadar jarak ke Kota Kadipaten jauh lebih dekat dibandingkan jika mereka memutar arah untuk kembali ke padepokan Perguruan Seribu Angin. Mereka juga tidak tahu harus memulai dari mana mencari keberadaan Arum Kinanti dan Bara Sembrani.

Jika mereka melanjutkan perjalanan, setidaknya mereka bisa mencari kabar keberadaan kakaknya di Kota Kadipaten dan mengirimkan kabar duka ke perguruan melalui merpati di sana.

Dengan berat hati Anom berdiri dan beranjak meninggalkan makam Bima Soka. Banyu Langit membiarkan istrinya berjalan-jalan sejenak mengelilingi puing-puing bekas tempat tinggal kakaknya tercinta.

Pemuda gagah itu kemudian berjongkok, menepuk gundukan makam yang masih basah, dan teringat senyuman mengembang di wajah Bima Soka saat terakhir mereka berpisah.

“Kakang, aku pasti akan membalaskan semua pedih ini, akan aku serap dendam ini, tak akan jiwaku meninggalkan raga kalau belum menuntaskan semua janji. Pasti akan aku temukan Mbak Ayu Arum dan Bara. Janjiku sebagai laki-laki dan sebagai adik seperguruan, janji sebagai ucapan terimakasih atas semua jasa-jasamu padaku dan Diajeng Anom Kinasih.

“Akan aku cari orang-orang yang bertanggung jawab, Kakang. Semua akan aku luruskan. Mbak Ayu dan Bara pasti baik-baik saja. Kami semua dari Angin Sakti akan membalaskan dendam ini. Jika mendengar berita kepergianmu, guru dan semua paman guru sudah pasti akan turun tangan mengobrak-abrik jagad. Untuk saat ini biar aku dulu yang mengemban beban ini, demi semua kebaikan yang telah kau lakukan untukku, demi nama Perguruan Seribu Angin.”

Banyu menepuk makam basah itu sekali lagi.





.::..::..::..::.





.: KADIPATEN PAKU SENTONO :.



“Denmas Adipati mungkin bisa membayangkan kisruhnya jagad jika kejadian sedemikian benar-benar terjadi di Kadipaten Paku Sentono.”

Gajah Sekar sang Adipati Paku Sentono menundukkan kepala, mencoba mengurai banyaknya benang bundet yang saat ini sedang menjalar tanpa bisa dicari ujung pangkalnya. Kadipaten Paku Sentono berada di posisi yang kurang nyaman akhir-akhir ini, dan semua tanggung jawab rakyat Paku Sentono ada di genggaman tangannya. Salah wicara dan semua yang sudah diusung oleh para leluhur akan musnah tanpa sisa.

Gajah Sekar memejamkan mata, mencoba sekali lagi menghirup udara yang terasa sesak hari ini. Ia bahkan tak mampu berucap karena apapun yang akan keluar dari mulutnya bisa berarti malang bagi seseorang. Keputusan apa yang harus diambilnya?

Tubuh gagah perkasa Gajah Sekar nampak lunglai, jenggot dan cambangnya yang lebat bak belukar tak terawat, sebagaimana rambutnya yang panjang sebahu. Sesuatu yang sebelumnya tak pernah nampak dari sang Adipati, siapapun yang melihatnya tahu kalau sang Adipati yang biasanya gagah perkasa itu tengah gundah gulana dan mungkin sudah tidak tidur selama beberapa hari.

Salah satu yang khawatir, adalah sang sepupu – Randu Panji. Saat ini, Randu Panji, Gajah Sekar, dan Paman mereka Gading Abang yang juga berperan sebagai penasehat sedang berkumpul di aula Kadipaten.

“Paman Gading Abang, kita tahu situasinya memang panas, tapi semua sebenarnya masih dalam tahap kabar yang kabur. Kita tidak tahu bagaimana posisi Kanjeng Pangeran Bagus Birowo dan Kanjeng Sinuhun Sanggabuwono secara gamblang. Agak kurang pantas rasanya jika kita mengusir tamu seperti Pangeran Bagus Birowo hanya karena kita mengkhawatirkan sikap Kanjeng Sinuhun Sanggabuwono terhadap Kadipaten Paku Sentono. Saya yakin Kanjeng Sinuhun memiliki sikap yang bijaksana.”

Situasi memang sedang panas saat ini. Kadipaten Paku Sentono berada di wilayah kekuasaan Sanggabuwono – yang akhir-akhir merasa gentar dengan popularitas adik tirinya Bagus Birowo di mata masyarakat. Banyak yang menggadang-gadang kalau Bagus Birowo sudah siap dan sudah saatnya melakukan pemberontakan untuk mengambil alih kekuasaan dari Sanggabuwono yang kurang disukai masyarakat karena sering mengambil keputusan yang memberatkan. Hal tersebut tentunya hanya merupakan desas-desus belaka, namun karena ulah pihak-pihak tidak bertanggung-jawab, situasi menjadi benar-benar memanas di mimbar kerajaan, karena para abdi pun menjadi terbelah.

Gading Abang mencoba membujuk keponakannya untuk tidak menjamu Bagus Birowo yang rencananya hendak berkunjung ke Kadipaten Paku Sentono karena hal tersebut akan membuat berang Sanggabuwono yang sedang menghimpun pasukan dan menentukan siapa kawan siapa lawan. Berada di sisi yang salah, maka Paku Sentono bisa habis ludes bak kayu arang.

“Sebaiknya pertimbangkan baik-baik, Denmas Adipati. Kita tidak bisa salah langkah dalam hal ini. Bersikap hati-hati dan melakukan tindakan pencegahan lebih baik daripada terlambat. Jangan lupa juga kalau Kanjeng Gusti Sanggabuwono menyebarkan banyak sekali telik sandi – mata-mata di seluruh wilayah kerajaan.”

“Apa yang disampaikan Paman Gading Abang juga menjadi pemikiranku, Kakang Adipati. Kalau menurut saranku, jika Kakang Adipati berkenan. Sebaiknya untuk sementara kita tolak dulu kehadiran Pangeran Bagus Birowo. Kita lakukan dengan sopan, dan kita antarkan beliau langsung menuju hutan Sanggar Manyar untuk melanjutkan perjalanan.”

Gajah Sekar menggelengkan kepala tanda ia masih belum bisa menentukan pilihan. Bagus Birowo akan sampai dalam waktu dua hari, sehingga ia harus memberikan keputusannya sesegera mungkin. Apakah seperti yang disarankan paman dan sepupunya? Ia harus mengusir Bagus Birowo dari tanah Paku Sentono sesegera mungkin? Seperti itukah ia akan memperlakukan sahabatnya sejak kecil yang sangat ia kenal dan tak pernah sedikitpun berbuat sekeji yang mereka takutkan? Sepanjang pengetahuan Gajah Sekar, Bagus Birowo bukanlah tipe pemberontak dan lebih memilih tunduk di bawah Sanggabuwono.

“Biarkan aku berpikir dulu, Paman. Aku akan memberikan keputusan besok pagi.”

Pria bertubuh gagah itupun meninggalkan kedua kerabatnya untuk kembali ke kamarnya. Baik Gading Abang maupun Randu Panji menunduk demi memberikan penghormatan.

Setelah sang Adipati meninggalkan tempat itu, Gading Abang menyunggingkan senyum lebar dan terlihat sangat puas sementara Randu Panji menggelengkan kepala sembari turut mengembangkan senyum tipis. Lelaki itupun merangkul pamannya sembari berjalan ke arah taman.

“Jangan terlalu gembira dulu, Paman Gading. Ayam belumlah berkokok sebelum matahari pagi terbit.” Kata Randu Panji dengan suara yang lirih, sepertinya ia tidak ingin ada orang yang mendengar percakapannya dengan Gading Abang. “Pastikan saja Bagus Birowo benar-benar datang, sahabat mana yang akan mengusir kawannya sendiri? Semakin kita tolak, pasti Gajah Sekar justru semakin penasaran. Kita harus pastikan semua berjalan sesuai rencana.”

Pernyataan itu menghapus senyum di wajah Gading Abang. Kumisnya yang tebal menjadi terlihat lebih lebat ketika wajahnya serius. Ia pun segera menghentikan langkah kaki dan menatap penuh pertanyaan ke Randu Panji. “Kamu yakin semua rencana akan berjalan dengan lancar?”

Sinar matahari yang terang siang itu terasa amat terik di wajah kedua lelaki yang berjalan di taman kadipaten. Randu Panji tidak menghapus senyumnya meski tersengat panasnya sinaran sang surya. Ia menepuk-nepuk bahu sang Paman yang ia rangkul.

“Dari sisiku tidak akan ada perubahan berarti, semua akan berjalan sesuai rencana asal Bagus Birowo benar-benar datang. Aku berjanji semuanya berjalan dengan lancar. Paman... Adipati.”

Gading Abang kembali tersenyum.





.::..::..::..::.





Anom Kinasih dan Banyu Langit menyusuri pinggiran sungai Lawang Grojogan yang merupakan jalan paling cepat menuju ke Kota Kadipaten Paku Sentono. Suara derap kaki kuda mereka berpadu dengan gemericik air dan keciap burung-burung yang pulang ke sarang membuat perjalanan mereka tidaklah sepi.

Sepasang pendekar itu kemudian sampailah di sebuah pantai nan indah, dengan pemandangan hutan menjulang di belakang dan tebing-tebing karang yang menahan derasnya gelora ayunan gelombang air laut. Beberapa bagian pantai itu digelar pasir putih lembut yang menyejukkan, ditambah dengan semilirnya angin yang segar.

“Panas benar-benar terik, kasihan kuda-kuda kita. Mari kita beristirahat sebentar, Diajeng. Kuda-kuda kita butuh minum dan istirahat sebentar. Di sana ada pohon-pohon kelapa, mungkin kita bisa istirahat sebentar di tempat yang teduh. Aku akan mencarikan kelapa muda.”

Setelah mengistirahatkan kedua kuda, Anom Kinasih mencari lokasi duduk sedangkan Banyu Langit mencari buah kelapa muda yang sekiranya dapat memenuhi rasa dahaga mereka. Saat menemukannya, pemuda itu mengambil dua batu berukuran sekepalan tangan dan melemparkannya dengan kekuatan cukup kencang ke arah gagang buah. Dua kali lempar batu, jatuhlah dua butir kelapa muda.

Tak lama kemudian kedua orang tersebut telah duduk di bawah sebatang pohon besar yang berdaun lebat. Banyu Langit telah mengupas dan melubangi kelapa muda yang tadi ia ambil dan menyerahkannya ke Anom Kinasih yang masih tidak berselera melakukan apa-apa.

Anom memang masih terus dinaungi awan gelap, dan Banyu Langit sadar betul akan kesedihan istrinya itu. Bahkan ia sendiri saat ini masih terngiang-ngiang dengan sosok kakak iparnya yang welas asih dan selalu menyampaikan pitutur bijaksana baginya dan Anom Kinasih. Dunia sungguh kehilangan seorang pria yang baik budi.

“Kakang Banyu,” ujar Anom Kinasih kemudian, “Pernah suatu ketika Kakang Bima Soka menuturkan bahwa kita harus memihak pada kebenaran dan pada kebaikan, serta menentang siapapun yang salah dan jahat. Akan tetapi, bukankah salah dan benar ataupun baik dan buruk itu tergantung dari sisi penilai? Penilaian itu sendiri sifatnya bias karena berasal dari rasa tidak suka yang timbul dari dalam diri kita - baik itu karena adanya perasaan diuntungkan ataupun perasaan dirugikan. Apabila penilaian kita keliru, apakah kita menganggapnya sebagai kebenaran, meskipun hal tersebut salah?”

“Wah, pertanyaan bagus, Diajeng. Benar sekali apa yang kamu ucapkan itu, penilaian memang bersifat bias, jika penilaian itu datangnya dari amarah dan emosi kita sendiri. Siapapun akan membenarkan dan menilai orang lain sebagai orang baik jika orang itu memberikan keuntungan dan sebaliknya akan menilai orang yang merugikan sebagai orang jahat.

“Akan tetapi nilai-nilai yang muncul di masyarakat bukanlah penilaian pribadi. Kita menilai tidak untuk diri kita sendiri, melainkan untuk mereka-mereka yang tidak mampu menentukan nasib mereka karena satu dan lain hal. Semua dilakukan demi melindungi hak-hak orang-orang lemah atau tertindas, oleh karenanya tidak terlalu susah menentukan bagaimana seseorang itu bisa dinilai. Jika seseorang itu bersikap adigang adigung adiguna dan mengandalkan kekuatan dan kekuasaan untuk menyengsarakan orang lain dengan angkara murka yang tak berbatas norma dan etika, maka itulah orang-orang yang kita anggap jahat dan perlu ditentang.

“Orang-orang lemah tak berdaya yang mendapatkan tekanan dan sikap tak nyaman dari orang-orang semena-mena, adalah orang-orang yang harus kita lindungi dan kita bela. Dari sini kita dapat menilai bahwa orang baik adalah orang yang bersikap bijaksana, berusaha menolong orang lain, menyenangkan orang lain tanpa menyadari bahwa dia telah berbuat kebaikan, dan yang tidak menganggap perbuatan yang tidak dilakukan adalah sebuah kebaikan.”

Lhadalah Kakang, rangkaian kalimat yang terakhir itu membuatku bingung. Berbuat kebaikan tanpa menyadari hal tersebut adalah kebaikan, dan bahkan tidak menganggap bahwa perbuatannya adalah sebuah kebaikan. Bagaimana itu?”

“Cara berpikirnya sebenarnya bisa dijelaskan dengan lebih gamblang saja, Diajeng. Kebaikan adalah perbuatan yang wajar, tidak dibuat-buat dan timbul dari sanubari yang welas asih. Seandainya kita berbuat baik dan sengaja melakukan kebaikan dengan sadar bahwa itu hal tersebut adalah kebaikan, maka hal itu sebenarnya disayangkan, karena kesengajaan berbuat kebaikan bisa saja berpamrih. Jika hal sedemikian terjadi, maka hal tersebut tidak lagi bisa disebut kebaikan karena berharap akan adanya imbalan. Yang dimaksud imbalan tidak harus berupa barang atau ucapan terima kasih dari pihak lain. Rasa senang hati atau puas diri karena telah berbuat baik bisa juga bisa disebut imbalan.”

“Wah, susah juga. Lantas bagaimana melakukan kebaikan tanpa menyadari bahwa hal yang dilakukan itu kebaikan?”

“Guru pernah menyampaikan bahwa hal-hal sedemikian dapat dicapai dengan mawas diri. Segala sesuatu yang kita lakukan adalah sebuah kewajiban dalam kehidupan. Menolong sesama itu bukan kebaikan, itu kewajiban. Menentang kejahatan itu bukan kebencian, itu kewajiban. Sesuatu yang dilakukan karena dasarnya wajib, akan dilakukan tanpa banyak bertanya dan tanpa asumsi. Melakukan hanya karena kita harus melakukan. Sampai di sini paham, Diajeng?”

Anom Kinasih mengangguk-angguk, “mengerti, tapi aku sendiri tidak yakin bahwa aku akan sanggup melaksanakan dan mencapai tahapan kebaikan sedemikian, Kakang. Bagaimana mungkin aku bisa terhindar dari perasaan khawatir, susah, marah, senang, dan benci?”

“Itu semua perasaan yang wajar. Ikuti saja jika kamu sedang dikuasai perasaan-perasaan sedemikian, Diajeng. Engkau akan mengenali dan memahami saat perasaan-perasaan tersebut hadir, dan yakin bahwa saat kamu dikuasai hal-hal tersebut, kamu bukan dirimu sendiri. Kamu hanya sedang dikuasai nafsu daya dasar yang sedang berlomba menguasai jiwa, laju yang dinamakan emosi.”

Banyu Langit adalah murid kesayangan guru setelah Bima Soka, itu sebabnya dia sanggup menyampaikan hal-hal seperti yang baru saja diutarakan dengan mudahnya karena sering mendapatkan petuah langsung dari sang guru. Anom Kinasih hanya mengangguk-angguk saja dan diam seribu bahasa.

Banyu Langit melirik istrinya, “aku tahu kalau engkau masih bimbang dan belum mengerti benar, Diajeng. Memang seseorang itu tidak akan dapat terpisah dari nafsu daya dasar yang akan selalu mengikuti sepanjang hidupnya. Justru jika kita tidak merasakan nafsu daya sedemikian, kita tidak akan dapat hidup sebagaimana kita hidup saat ini. Tanpa adanya nafsu dasar yang menjadi hakikat bawaan dan dorongan kita, kita dapat mengembangkan diri dan tidak akan memiliki cipta, rasa dan karsa yang berguna untuk meningkatkan kenyamanan kehidupan.

“Yang harus dijaga adalah nafsu daya mendasar tersebut merupakan hal yang harus dikendalikan, bukan sebaliknya menjadi majikan yang memperhamba kita. Jika kita lengah, maka nafsu akan menjadikan kita mainan dan kita pun akan melakukan hal-hal di luar kebajikan.”

“Wah, tambah rumit, Kakang. Jadi kita tidak dapat hidup tanpa nafsu, namun juga dapat celaka oleh nafsu? Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan? Mengendalikan nafsu sendiri agar tidak menjadi majikan yang mengendalikan dan memperhamba diri kita?”

“Mengendalikan nafsu memang bukan perkara mudah, Diajeng. Walaupun enteng diucapkan namun sukar dilakukan. Laksana api, jika terkendali amat berguna bagi kehidupan, namun jika dibiarkan bebas, maka akan mengamuk dan membakar semuanya tanpa sisa. Nafsu sendiri tidak mungkin dihilangkan dan hanya dapat dikendalikan.

“Nah, satu-satunya jalan adalah iman dan penyerahan diri kepada Yang Maha Tunggal, karena hanya Yang Maha Tunggal-lah yang mampu menundukkan dan mengendalikan nafsu, serta mengembalikan hakikatnya sebagai pembantu manusia. Dengan pasrah dan ikhlas pada-Nya, kita akan menerima uluran tangan-Nya yang akan membimbing kita sehingga kita dapat menguasai nafsu kita sendiri.”

Anom Kinasih mengangguk-angguk, sudah sering suami dan gurunya selalu memberikan nasehat pada dirinya untuk selalu ingat pada Yang Maha Tunggal, selalu pasrah kepada-Nya. Kepasrahan yang mudah diucapkan namun sukar dilakukan karena nafsu akan berontak supaya kita tidak mudah pasrah begitu saja dan menjauhkan diri dari-Nya.

Baik Anom Kinasih maupun Banyu Langit kemudian meminum kelapa muda yang baru saja mereka dapatkan dengan sangat nikmat.





.::..::..::..::.





.: SEMENTARA ITU DI SEBUAH DESA NELAYAN :.



Tak jauh dari lokasi Banyu Langit dan Anom Kinasih beristirahat, terdapat sebuah dusun yang menjadi tempat tinggal banyak nelayan. Sayang sekali Terjadi huru-hara yang membuat dusun tersebut menjadi geger.

Siang hari itu, tak ada angin tak ada hujan. Dusun kecil yang damai itu gempar karena kedatangan lima orang laki-laki bertubuh kekar dan memiliki wajah bengis. Mereka berlima datang dan langsung mengunjungi rumah Ki Rekso, sang sesepuh yang bisa dianggap sebagai pimpinan di dusun tersebut. Tanpa tedeng aling-aling kelima orang tersebut masuk ke halaman rumah Ki Rekso. Dengan kasar dan tanpa kesopanan, mereka menanyakan di mana keberadaan Ki Rekso terhadap siapapun yang mereka temui.

Beberapa orang pemuda yang menegur kelakuan kelima pendatang yang tidak memandang tata krama itu dipukul dan ditendang dengan kasar, mereka sudah mencoba melawan tapi tak berdaya karena orang-orang yang datang ini kuat dan sangat tangkas. Dusun itu tidak memiliki banyak penghuni pria, kalaupun ada sebagian sedang dalam perjalanan pulang dari melaut dan belum lagi sampai, sedangkan yang tidak melaut masih bekerja di ladang.

Ki Rekso yang sedang mengunjungi warga yang sedang sakit buru-buru pulang ketika mengetahui adanya keributan di depan rumahnya. Ki Rekso memiliki rambut yang sudah memutih, berbadan ringkih, wajahnya sudah terlihat sepuh dan usianya sudah lebih dari lima puluh. Ia terkejut sekali melihat orang-orang yang baru saja datang main pukul pemuda dusun.

“Eh...! Hentikan hentikan semua ini! Mohon kebijaksanaannya, Kisanak semua. Siapakah andika sekalian dan berasal dari mana? Mengapa mencari saya?” Ki Rekso mencoba melerai perkelahian yang berat sebelah. Ia menarik tubuh pemuda-pemuda dusun yang sudah terkapar tak berdaya.

Seorang laki-laki bertubuh besar dengan kumis baplang melangkah maju dan tertawa terbahak-bahak. Tangannya bertolak pinggang menunjukkan sikap jumawa. Sepertinya dialah pemimpin mereka. “Hahaha, jadi sampeyan yang namanya Ki Rekso?” Orang itu kemudian berbalik dan berteriak kencang pada teman-temannya. “Wes ketemu cah, iki wonge! Sudah ketemu orangnya!”

Ki Rekso tentu saja kebingungan. Kenapa mereka mencarinya?

“Hahaha. Bagus! Ki Rekso! Kami mendengar kabar kalau sampeyan adalah orang terkaya di dusun ini, dan ada kabar juga yang beredar kalau sampeyan punya anak perawan ayu yang kecantikannya terkenal hingga ke dusun-dusun lain.” Terdengar tawa dari rombongan laki-laki yang berangasan di belakang pria berkumis. “Kami datang kemari untuk mengambil harta dan anak perawan sampeyan! Kami tahu kalian semua membenci kekerasan jadi serahkan semuanya dengan tenang, maka semuanya akan baik-baik saja!”

Selesai ucapan itu, kelima orang pria berwajah sangar tersebut menyeringai dengan sikap siap bertarung. Mereka siap menghadapi siapapun yang hendak melawan.

Melihat itu semua, Ki Rekso langsung berlari menuju ke salah satu sudut untuk memukul sebuah kentongan besar berulang-ulang menandakan adanya marabahaya. Belasan laki-laki di sekitar dusun yang kebetulan sedang tidak bekerja atau baru saja pulang segera berkumpul di rumah Ki Rekso. Lelaki tua itu sendiri mengambil sebilah tombak dari dalam rumahnya dan membentak, “orang-orang kurang ajar! Cepat kalian angkat kaki dari sini kalau tidak ingin ditindak dengan kekerasan!”

Kelima orang berwajah sangar yang datang hendak mengacau kemudian saling pandang dan tertawa terbahak-bahak. Melihat belasan orang berkumpul dan mengepung, si kumis baplang masih belum bisa menghentikan tawanya.

“Hahaha. Kalian benar-benar cari mati? Ini lelucon? Sudah bosan hidup rupanya berani-beraninya menantang kami, Lima Tanduk Maut Lawang Grojogan?”

Ki Rekso menudingkan telunjuknya ke arah si kumis baplang, “Saudara-saudara semua! Mereka berlima adalah perampok keji yang sudah sering melakukan kejahatan! Sudah sewajarnya kita basmi mereka!”

Melihat Ki Rekso sudah tidak lagi bersikap ramah terhadap para pendatang yang berangasan tersebut, penduduk dusun yang lain pun bersikap sama. Mereka menyambar barang apapun yang bisa dijadikan sebagai senjata. Semua senjata tersebut memang sudah mereka bawa sejak mendengar bunyi kentongan panik yang dibunyikan oleh Ki Rekso.

“Majuuuu!!” teriak Ki Rekso.

Belasan orang pria dusun pun bergerak mengacungkan arit, linggis, pacul, dan parang untuk menyerang kelima orang yang menamakan diri mereka Lima Tanduk Maut. Namun kelimanya hanya tertawa-tawa saja, karena sejatinya mereka kuat bukan main. Semua senjata yang dipegang oleh para pria dusun terlepas dari pegangan dan bertebaran tak tentu arah. Belasan pria itu pun turut mendapatkan perlakuan yang sama, terlempar terpelanting terkena pukulan dan tendangan tanpa ampun.

Hanya dalam waktu singkat, Lima Tanduk Maut berhasil merobohkan semua orang yang menyerang mereka, termasuk Ki Rekso. Tombak yang ia bawa patah dan mukanya biru lebam terkena hantaman keras si kumis baplang.

Melihat sudah tidak ada lagi yang melawan, tiga orang Tanduk Maut termasuk si kumis baplang masuk ke rumah Ki Rekso sambil tertawa-tawa untuk mengambil barang berharga dari rumah Ki Rekso. Tak lama berselang terdengar kegaduhan dari dalam rumah, dua orang kawanan Tanduk Maut keluar sembari membawa barang-barang berharga, sedangkan seorang lagi yaitu si kumis baplang, keluar dari rumah sambil memanggul tubuh seorang gadis remaja yang meronta dan menjerit-jerit.

“Jangaaan! Lepaskan diaa! Lepaskan putrikuuuu!!” Ki Rekso mencoba berdiri dengan susah payah, namun usahanya dihentikan oleh salah satu kawanan Tanduk Maut yang kembali menendangnya hingga terjatuh.

“Ayaaaaah!! Toloooong akuuuu!” jerit dara muda di panggulan si kumis.

Tapi tak ada satupun orang yang bergerak untuk menolong, bukan karena tidak ingin, tapi karena tidak mampu. Ki Rekso menghimpun tenaganya yang masih tersisa, ia tetap mencoba berdiri, mengejar dan merebut kembali putri terkasihnya.

Sekali lagi salah satu dari Lima Tanduk bergerak maju ke depan si kumis baplang. Ia mengayunkan kakinya tanpa ampun. Dengan sekali tendang, tubuh renta Ki Rekso melayang lebih jauh lagi. Pria tua itu kini tak mampu lagi bangkit. Tenaganya sudah habis.

“Ayaaaaaaaaaaah!!”

Makin keras jeritan dan makin kencang gadis yang dipanggul meronta, makin terdengar bagai nyanyian merdu bagi si kumis baplang. Ia justru senang hati jika korbannya memberontak dan mencoba melawan.

Tak ada lawan sepadan, kelima bajingan itu keluar dari dusun sambil tertawa-tawa dan memasuki hutan yang tak jauh dari tempat itu. Orang-orang dusun yang terpukul roboh bukan hanya tak berani mengejar, namun tak mampu bangkit.

Ki Rekso dan istrinya hanya dapat menangis mengkhawatirkan kepergian putri mereka yang dibawa oleh para bajingan.





.::..::..::..::.





Banyu Langit merapikan selintas rambut nakal yang turun di dahi sang istri. Ia tak pernah habis-habisnya bersyukur karena dikaruniai seorang istri yang secantik dan seindah Anom Kinasih – semua yang ia inginkan ada pada istrinya tersebut: berhati baik, pantang menyerah, tak pernah mengeluh, dan lebih lagi, Anom Kinasih juga memiliki ilmu yang tidak rendah.

“Enak, Diajeng?”

“Degannya manis dan gurih, Kakang. Membuat haus terpuaskan.”

“Baguslah kalau begitu. Sebaiknya kita segera melanjutkan perjalanan. Sudah cukup lama kita beristirahat. Cepat habiskan degan itu, Diajeng.”

“Baik, Kakang.”

Saat Anom Kinasih mencoba menghabiskan minumannya, terdengar jerit tangis seorang wanita dari dalam hutan. Istri Banyu Langit itu segera meletakkan kelapa mudanya dan bangkit dari duduknya. Ia dan Banyu Langit saling berpandangan.

“Ada yang harus ditolong, Kakang!” kata Anom Kinasih sembari meloncat dan berlari menuju hutan dengan cepat.

Banyu Langit geleng-geleng kepala melihat istrinya secepat kilat melesat hendak membantu orang yang sedang menjerit. Memang beginilah sifat sang istri yang tidak bisa diam jika ada orang yang membutuhkan bantuan.

Banyu Langit turut mengejar lari Anom Kinasih dan mencoba mengingatkan, pria itu tahu benar perasaan dan mental Anom masih belum pulih dari duka yang mendalam dan apapun yang bisa diterjang akan dihajar untuk melampiaskan kekesalannya. Meski Anom berlari terlebih dahulu, namun Banyu sanggup mengejarnya bagai tanpa berusaha.

“Tetap tenang dan jangan grusa-grusu, Diajeng. Jika ada yang perlu kita tolong akan kita tolong, tapi kita sebaiknya memperhatikan permasalahan yang sebenarnya dan jangan semena-mena, kita tidak tahu apa yang sedang terjadi. Kita tidak sedang membalas dendam atas apa yang terjadi pada Kakang Bima Soka.”

Anom Kinasih membalas, “aku tahu, Kakang.”

Sepasang suami istri tersebut berlompatan dan lari menggunakan ilmu kanuragan yang pernah mereka pelajari di Perguruan Seribu Angin. Begitu cepatnya lari mereka sehingga terlihat bagaikan terbang dengan secepat kilat. Anom Kinasih berlari terlebih dahulu dibandingkan Banyu Langit yang memang ingin melihat kemampuan istrinya sekarang.

Mata wanita jelita itu terbelalak dan mulutnya terbuka lebar saat melihat seorang laki-laki berkumis baplang dengan tubuh bongsor tengah duduk di bawah pohon rindang sembari memangku seorang gadis remaja yang meronta-ronta dan menjerit. Pakaian gadis itu sudah tidak karuan lagi dengan bagian dada terbuka. Dada sebelah kanan dicium dan dijilat dengan kasar oleh sang begundal sedangkan dada sebelah kiri diremas-remas tanpa ampun.

Gadis yang sedang mengalami pelecehan luar biasa itupun meronta-ronta meski ia tak dapat banyak bergerak. Laki-laki buas yang sedang memangkunya ini sungguh sangat kuat. Pukulan dan tendangan gadis muda itu tak berarti banyak.

“Lepaskaaan! Lepasskaaaaan akuuuuu!!! Toloooooong!!! Lepaaaskaaan!!”

Darah Anom Kinasih langsung mendidih melihat ketidakberdayaan gadis yang sudah jelas tidak berkehendak dengan pria yang dari wajahnya terlihat jahat tersebut. Sang pendekar wanita segera hadir di depan si kumis baplang.

“Jahanam busuk!!” maki Anom dengan bentakan melengking. “Lepaskan gadis itu!”

Bukan main terkejut si kumis baplang mendengar suara bentakan itu. Ia pun mengangkat wajahnya dan menjumpai wajah yang sangat rupawan cantik jelita bagai bidadari. Mata pria berangasan itu terbelalak sembari tertawa tergelak-gelak. Ia bahkan menjilat bibirnya dengan penuh nafsu birahi.

“Waduh! Cantik banget! Engkau malah lebih menawan dibandingkan gadis dusun ini! Baiklah, aku lepaskan gadis ini asal kamu mau menggantikannya duduk di atas pangkuanku!”

Anom Kinasih yang mendengar ucapan mesum itu tidak dapat menahan amarahnya. Ia pun melompat sejurus dan tiba-tiba saja sudah ada di sebelah sang pria nan kurang ajar. Tangan kiri Anom terayun dengan gerakan menampar ke arah kepala si kumis baplang. Orang itu pun berusaha menangkis dengan maksud hendak menangkap lengan Anom.

Dssshhh! Bghhkkk!

Si kumis terlempar.

Saat lengan si kumis bertemu dengan lengan Anom Kinasih, tubuhnya tak lagi dapat dikuasai dan terlempar menghantam sebatang pohon. Gadis dusun yang ia pangku juga ikut terpelanting, meski tidak jauh. Si gadis lantas berdiri dan mundur menjauhi si kumis baplang dan pendekar wanita yang baru saja menolongnya.

“Sundal alas!” teriak si kumis sambil bangkit berdiri dan bergerak mendekati Anom Kinasih. “Berani-beraninya memukul aku!“

Teriakan si kumis terdengar oleh keempat kawan yang lain yang duduk tidak jauh dari tempat itu. Mereka pun berlarian dan mengepung istri Banyu Langit yang hanya tersenyum sinis melihat kedatangan anggota lengkap Tanduk Maut.

Banyu Langit hanya geleng-geleng kepala saja melihat ulah Anom Kinasih dari kejauhan sambil tersenyum dan menyilangkan tangan dengan santai, ia sudah mampu memperkirakan kemampuan Lima Tanduk Maut hanya dari beberapa kilas lihat saja, tidak perlu turun tangan. Anom sendiri pun sudah cukup untuk menghadapi mereka.

“Wadidaw, ayu banget! Bikin ngaceng!!”

“Seperti bidadari turun dari langit!”

“Tangkap dia! Jangan sampai lepas!”

Teriak si kumis dengan suara lantang penuh rasa penasaran dan amarah. Pria berangasan itu maju sambil membentangkan lengannya, mencoba meraih dan memeluk sang wanita jelita. Empat kawan yang lain juga bergerak bersamaan dari berbagai posisi, mencoba mengepung dan menjebak Anom Kinasih.

Tentu saja wanita cantik itu tidak sudi membiarkan dirinya tersentuh oleh tangan-tangan kasar Lima Tanduk Maut. Dengan kecepatan luar biasa istri Banyu Langit itu mengelak sembari melontarkan tendangan melintar yang teramat cepat.

Bkk! Bkk! Bkk! Bkk! Bkk!

Tanpa disangka, kelima begundal yang sok jago itu terlempar dan jatuh karena terkena tendangan Anom. Kelimanya jelas terkejut dan mencoba bangkit sembari menahan linu yang membuncah dan didera rasa penasaran. Mana mungkin wanita cantik yang terihat lemah itu mampu merobohkan mereka hanya dalam sekali gebrakan saja?

Kelimanya hampir bersamaan menyentuh bagian yang baru saja terkena tendangan sang bidadari. Mustahil! Bekas tendangan Anom pun terasa panas dan nyeri sekali!

“Bunuh sundal itu!”

Teriak si kumis baplang dengan kesal karena telah dipermalukan berulang-ulang. Ia memimpin kawan-kawannya untuk kembali melawan Anom Kinasih. Tanpa diminta dua kali, keempat kawan si kumis baplang bergerak bersamaan, menerjang ke depan. Golok-golok meraung menyambar dari segala arah, suara teriakan angkara bergema terdengar di seluruh hutan.

Tapi Anom Kinasih bukanlah wanita biasa, golok mereka hanya dapat menyambar tempat kosong karena dengan kecepatan tinggi gadis itu mampu lolos dan lenyap seketika dari kepungan kelimanya. Saat mereka kebingungan, terdengar suara siulan dari belakang, dan ternyata Anom Kinasih sudah berdiri di sana sembari berkacak pinggang.

Belum sempat kelimanya bergerak, Anom Kinasih sudah menggerakkan kedua tangan dan melayangkan tamparan ke wajah satu demi satu begundal yang berjuluk Lima Tanduk Maut itu.

Plak! Plak! Plak! Plak! Plak!

Secara beruntun kelima begundal itu terkena tamparan.

Meski hanya tamparan, serangan kali ini jauh lebih kuat dari serangan sebelumnya. Tamparan yang dilayangkan sang bidadari membuat tubuh mereka berputar-putar sebelum akhirnya terjatuh tanpa daya dan semua senjata mereka terlepas karena tak mampu memegangnya. Mereka mengaduh kesakitan dan merasa sulit sekali berdiri untuk bangkit kembali.

Padahal hanya ditampar saja!

Si kumis baplang mencoba untuk secepat mungkin bangkit, namun begitu ia melakukannya, ia kembali terjatuh karena dunia serasa berputar di sekelilingnya. Kepalanya terasa pening dan badannya sakit semua! Ini bukan main-main! Mereka benar-benar berbeda derajat keilmuan dengan sang pendekar wanita!

“Masih belum mau menyerah? Bangun! Aku tunggu sekarang juga!” tantang Anom.

Si kumis baplang dengan empat kawannya yang lain kini sadar jika mereka sedang berhadapan dengan seorang gadis yang amat sakti. Hal itu membuat mereka gentar dan ketakutan. Setelah mampu bangkit, mereka pun merangkak dan berlutut di hadapan Anom Kinasih.

“Ampuuuun. Kami tidak berani melawan lagi, Kanjeng Dewi.” Kata si kumis baplang dengan wajah yang sudah tidak karuan. Ia mengira ia sedang berhadapan dengan seorang dewi dari khayangan yang maha sakti.

“Apakah kalian sudah sadar akan kejahatan kalian dan kini hendak bertobat?”

“Ka... kami sadar dan kami menyesal, sungguh. Kami bertobat, Kanjeng Dewi. Maafkan kami. Kami berjanji tidak akan melakukan hal ini lagi. Kami tidak berani di hadapan Kanjeng Dewi.”

“Huh! Sungguh bertobat atau hanya pura-pura bertobat saja. Sekarang katakan apa yang tadi kalian lakukan dan darimana gadis ini kalian bawa?”

“Ka... kami baru saja merampok rumah Ki Rekso di dusun sebelah utara hutan ini... dan gadis itu... gadis itu adalah putrinya... ka-kami mohon ampun!!”

“Kalian ini memang...!!! Kalau kalian memang benar-benar bertobat, sekarang antarkan kembali gadis itu ke rumahnya dan kembalikan pula barang rampokan kalian! Mintalah maaf pada orang-orang dusun tak bersalah yang kalian sakiti! Ayo! Jalan!”

Lima Tanduk Maut mengikuti saja apa kehendak Anom Kinasih dan membawa kembali semua yang mereka ambil ke dusun yang sebelumnya mereka serang.

Dusun pun menjadi gaduh karena kehadiran kembali Lima Tanduk Maut, namun ketika putri Ki Rekso berlari dan memeluk ayah ibunya, serta hadirnya Anom Kinasih dan Banyu Langit, orang-orang itu pun paham apa yang terjadi.

Di hadapan orang-orang dusun, Lima Tanduk Maut pun meminta maaf kepada Ki Rekso dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Penduduk dusun pun merasa lega dan sangat-sangat berterima kasih sekali pada Anom Kinasih dan Banyu Langit. Meski demikian keduanya tidak ingin berlama-lama di Dusun. Saat kembali memasuki hutan, Anom Kinasih mengumpulkan kembali kelima begundal yang baru saja membuat kisruh.

Wanita jelita itu menatap tajam kelima pria begundal dan mengancam mereka.

“Mulai sekarang, ubah jalan hidup kalian. Jangan merampok, jangan mencuri, jangan merampas hak milik orang lain. Kalian dengan tega mengganggu penduduk dusun yang sudah hidup serba kekurangan itu. Di mana letak hati nurani kalian?”

“Ka... kami mengaku salah, Kanjeng Dewi. Kami akan bertobat.” Kata si kumis baplang. Ia tidak pernah lagi mengangkat kepalanya di hadapan Banyu dan Anom.

“Ki Jogosabrang di Padepokan Lawang Grojogan selain sakti juga mengerti cara menyadarkan begundal-begundal seperti mereka, Diajeng. Nama beliau sudah kondang dan lokasinya tidak jauh dair tempat ini. Kirim saja mereka ke sana.” Bisik Banyu Langit pada sang istri.

“Baiklah! Kalau kalian masih melakukan perbuatan jahat kembali, aku akan datang untuk mencari kalian satu persatu dan tidak akan memberikan ampun. Aku akan menjadi mimpi terburuk yang pernah kalian bayangkan. Sekarang aku minta kalian pergi ke Padepokan Lawang Grojogan untuk memohon petunjuk pada sesepuh di sana, akui kesalahan kalian dan mengabdi di tempat itu! Jangan pernah mengacau lagi! Gunakan kekuatan yang kalian miliki untuk bekerja! Berguna untuk orang lain!”

Kelima tanduk maut memberikan hormat pada Anom Kinasih dan Banyu Langit, lantas merekapun pergi dari tempat itu dengan kepala menunduk. Betapa mereka takut dengan ancaman gadis yang sakti mandraguna itu.

Setelah kepergian Lima Tanduk Maut, Anom Kinasih membalikkan badannya.

“Kakang Banyu. Bagaimana pendapatmu mengenai tindakanku tadi? Apakah sudah benar hal seperti itu yang harus aku lakukan? Berat sekali rasanya menahan semua amarah di dalam dada ini.”

Banyu Langit yang sejak tadi hanya mengamati dan mempercayai kemampuan istrinya lantas mengangguk dan tersenyum, kalau boleh jujur ia bangga pada Anom Kinasih.

“Memang sudah sepantasnya hal yang demikian yang kau lakukan, Diajeng. Mengalahkan yang jahat dan berusaha membujuk mereka agar merubah jalan hidup yang sesat. Meski kemungkinan para penjahat itu tobat dan sadar kembali untuk menjadi orang baik sangatlah kecil, namun kau telah melaksanakan kewajibanmu dengan baik. Itu sudah lebih dari cukup. Saat kita kembali pulang nanti dari kadipaten, kita bisa memastikan apakah benar mereka sudah bertobat atau mengulangi lagi perbuatan keji mereka.”

Satu dua tetesan air menitik dari langit yang tiba-tiba gelap.

Sejenak kemudian Banyu Langit menatap ke angkasa yang sebenarnya masih cukup terik namun terdapat gumpalan awan gelap yang tiba-tiba saja hadir, laki-laki itupun menarik napasnya. “Kita harus cepat, Diajeng. Mari kita segera berangkat.”

Anom Kinasih mengangguk. Kedua anak manusia itupun segera kembali ke lokasi tempat kuda mereka berada.





BAGIAN 2 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 3

A tribute to the maestro Alm. KPH.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd