Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Kepompong yang berubah menjadi kupu kupu?

Mungkin aku sudah hilang akal. Atau memang aku terlahir sebagai wanita yang tak tahu diri. Adek kelasku itu sudah menikah. Dan tebak kejutan apa lagi yang diberikan Tuhan padaku? Istrinya adalah teman angkatanku, yaa pantes sih di awal pertemuan dia cukup mengenaliku. Dan kali itu, kami bertiga tak sengaja bertemu di sebuah pusat perbelanjaan terbesar satu-satunya di kota kami.

"Dee!" seseorang memanggilku sambil mendekat ke arahku ketika aku sedang melihat lihat salah satu etalase.

Aku memicingkan mata dan begitu kami berdekatan, wanita itu langsung cipika cipiki.

"Irma ya? Ma sapa?" tanyaku ketika kami sudah berhadapan muka.

"Tuuhh...ma ayah. Ayaaah, sini..." panggilnya pada seorang laki laki yang sedang melihat lihat sekeliling sambil mengendong seorang anak berusia sekitar 2 tahun.

Laki-laki itu menoleh lalu mata kami langsung saling bertemu.

Deg! Jantungku berdebar hebat. Laki laki yang disebut ayah tadi sempat mematung. Temanku itu mendekat lalu menarik tangan suaminya ke arahku.

"Ini ayahnya Surya yang baru. Ini anakku yang kedua, Mentari." bisik temanku.

"Dee." aku perlahan mengulurkan tangan pada adek kelasku.

"Ardan." balasnya sambil menjabat erat uluran tanganku.

Aku menariknya, lalu fokus pada putri kecil di gendongannya, "Hai, cantik, salim dulu sama tante."

Si Ayah menarik tangan kanan putri kecilnya ke arahku. Lalu mata kami kembali bertemu sesaat. Dan aku memalingkan muka ke arah temanku.

"Surya mana? Eh sekolah ya?" sadarku.

Temanku terkekeh, "anakmu juga lagi sekolah kan, siapaa yaaa...hadeuh sory lupa namanya..."

"Ayu." jawabku.

"Oh iya, Ayu. Eh Ayu udah dapet papa baru belum sih?"

"Blum ketemu yang cocok." jawabku singkat sambil melirik adek kelasku yang sedang bicara dengan putrinya.

"Hoo...iya sih cari yang cocok itu susah, tapi juga jangan terlalu pilih pilih. Tuh, aku aja ga nyangka dapat berondong." temanku tergelak, si ayah sepertinya mendengar lalu dia tersenyum ke arah kami.

Aku hanya manggut manggut.

"Nda, ngobrol di mana yuk, diajak makan apa gimana temenmu." ujar adek kelasku.

"Ayah modus ya, bilang aja mau akrab akraban sama temenku..." ledek temanku sambil mengambil putrinya dari gendongan si ayah.

Aku meringis. Ayah tergelak. Dan selanjutnya kami nongkrong di foodcourt. Entah bagaimana kami bertiga, plus putri kecilnya langsung akrab. Si Ayah sama menyenangkannya ketika hanya berdua denganku saat itu. Dan aku bersikap sewajarnya seperti biasanya aku. Jadi aku pikir rahasia besar di antara kami tidak akan pernah diketahui oleh temanku itu. Obrolan kami seru mulai dari bahasan ringan sampai bahasan rumah tangga dan anak anak sampai entah bagaimana kami sampai di bahasan piknik.

"Nda, hari minggu ini jadi kan kita pergi, kenapa ga ngajakin mba Dee sama anaknya sekalian?" celetuk si ayah ringan.

Aku dan temanku sama sama melongo.

"Bener juga ya, Yah..." lalu temanku merangkul pundakku, "ayo, Dee ikut kita piknik yaa, Ayu juga diajak."

Aku tentu saja langsung menolak ajakan mereka. Sampai akhirnya aku kalah oleh desakan temanku. Dan si Ayah terlihat tersenyum sangat senang ketika aku mengiyakan ajakan mereka.

Besoknya, adek kelasku menelepon dan aku langsung melancarkan protesku.

"Biar kamu bahagia, ga suntuk di rumah terus." jawabnya enteng.

"Tapi kan..."

"Aku seneng tau kita jadi bisa ketemu seharian kan?" godanya.

Aku terdiam.

"Gimana cowomu, dah ada kabar?" tanyanya.

"Blum."

"Hmm, trus?"

"Trus aku marah marah, terus sekarang dia hapus dan ga nge save lagi no ku."

Adek kelasku terbahak mengejekku.

"Kasian bener kamu. Makanya biar hepi, yuk ikut piknik bareng kita, ok?" dan dia menutup teleponnya sebelum aku bisa protes lagi.

Hari minggu, temanku beserta suami dan dua anaknya menjemput aku dan anakku di rumah. Mereka berdua dan putrinya di kursi depan, aku di tengah putriku dan putra temanku di kursi kedua. Saat aku duduk, adek kelasku menata kaca spion tengah sambil mencuri pandang ke arahku. Aku geli sih tapi kenapa juga senang? Aku berusaha memalingkan muka ke arah yang lain. Sepanjang perjalanan kami ngobrol, anak anak juga terlihat akrab dan senang. Dan bodohnya setiap kali aku melihat spion tengah, aku juga melihat adek kelasku sedang melihatku dari kaca spion itu. Aku berusaha bersikap biasa saja, tapi melihatnya menggodaku entah kenapa aku jadi merasa tertantang. Aku tahu dan sadar kami saling menggoda dan seperti tidak peduli apakah istrinya sadar atau tidak dengan yang kami lakukan. Kami saling menyentuh tanpa sadar dan ada pula yang disengaja.

"Nih buat Ayu jajan." adek kelasku menarik tanganku dan menyelipkan sejumlah uang saat kami sedang berdekatan dan istrinya sedang asyik memilih sesuatu.

Aku melongo.

Adek kelasku tersenyum lalu menghampiri istrinya membantunya memilih barang untuk Mentari, putri kecilnya.

Kami berhenti dari satu toko ke toko berikutnya. Aku tahu orang orang memandang aku dan temanku itu adalah istri-istri si Ayah karena memang kami seperti tak ada jarak, bahkan aku dan anakku ikut memanggilnya Ayah dan anak-anak serta si Ayah memanggil aku Mama dan temanku itu Bunda. Dan aku ikut membantu mengasuh dan menggendong putri kecilnya. Kami serasa keluarga kecil yang bahagia.

Menjelang malam, kami membeli oleh oleh setelah makan malam. Temanku itu belum selesai memilih ketika aku ingin ke toilet.

"Ke mana, mam?" tanya adek kelasku ketika aku berlari menuruni tangga.

"Toilet."

"Ikutlah."

"Yuh."

Aku ke toilet untuk pipis lalu cuci tangan. Toiletnya sepi. Saat aku keluar, adek kelasku menarik tanganku lalu mendekatkan wajahnya ke wajahku. Bibirnya menyentuh bibirku sekilas, menjauh sebentar, mengecupku dan aku membalasnya. Kami ciuman ringan, hanya saling mengecup dan membalas, menjauh lalu saling menempelkan bibir kembali. Ah ya dia sempat menggigit sedikit. Lalu dia menjauh dariku dan meninggalkanku.

Aku menikmati momen bersama adek kelasku tapi lelakiku tetap membuatku gusar dan gelisah. Lelakiku menyimpan lagi no ku, sudah menjawab sekedarnya pertanyaanku tapi aku tahu perasaannya padaku sudah berubah. Lelakiku belum menerima sepenuhnya aku yang sekarang, yang menjual tubuh demi uang ah salah demi membayar pinjaman. Tapi aku juga tidak bisa menyalahkannya, laki laki mana yang rela tubuh orang yang dicintainya dibagi, meskipun sampai hari ini memberikan tubuhku pada pria lain belum aku lakukan. Mungkin nanti akan tiba waktu itu.
 
Baiklah, aku hanya berpindah dari suami orang ke suami orang yang lain. Setidaknya ini yang terjadi sekarang. Seiring kebersamaanku dengan adek kelasku, dan renggangnya hubunganku dengan lelakiku membuat posisiku berada di antara dua pria bersuami. Luka dan kekosongan yang ditinggalkan lelakiku terobati oleh adek kelasku, meskipun itu tentu tidak sepenuhnya karena bagaimanapun sikap lelakiku padaku dia tetap duniaku.

"Pagi, mam, aku berangkat ya." adek kelasku mengirimkan pesan padaku sementara aku sedang menunggu sapaan selamat pagi dari lelakiku.

Aku tidak membalasnya meskipun setiap pagi aku mendapat pesan seperti itu darinya sejak dia mendapat ciumanku di toilet. Aku ingin menjaga jarak dengannya karena aku ingin hubungan kami hanya sebatas transaksi jual beli tanpa melibatkan perasaan.

Lima menit dari pesan yang adek kelasku kirimkan, dia menghubungiku lewat saluran telepon.

"Halo?" aku mengangkat hp ku.

"Lagi di mana, hari ini sibuk ga?"

"Ga sih, kenapa?"

"Nanti siang ketemu di hotel X ya."

Aku terdiam. Hatiku merasa tidak karuan, perutku tiba tiba melilit. Aku tahu akan tiba saatnya seperti ini.

"Ngapain?" aku pura pura bodoh.

"Dateng ya, aku dah booking hotel." adek kelasku tak mempedulikan pertanyaanku.

"Tapi..."

"Aku pengin ketemu kamu. Dah, mam." adek kelasku menutup telpnya.

Aku mual. Aku langsung mencoba menyapa lelakiku agar perasaanku jauh lebih baik. Aku mencoba video call, mengatakan bahwa aku rindu padanya tapi lelakiku rupanya sedang sibuk dan tidak bisa diganggu gugat. Aku terluka. Peristiwa yang sering terulang. Aku membutuhkannya saat lelakiku sedang tidak bisa ada untukku. Aku menangis, aku marah, dan aku kecewa. Kenapa hidupku terasa menyedihkan sekali?

Pikiranku sudah ke mana mana. Emosiku sudah tidak tertahan dan aku tidak bisa mengeluarkan kata kata apapun lagi yang bisa menyakiti lelakiku sebagai pelampiasan...jadi bisa ditebak nymphoku kambuh. Dan aku butuh pelampiasan yang lain. Aku memutuskan untuk datang menemui adek kelasku di hotel X.

"507." adek kelasku memberi tahu no kamarnya lewat pesan.

Saat itu aku masih mencoba menimbang baik buruknya. Aku masih mencoba bicara dengan lelakiku tapi dia benar benar sedang sibuk.

"Oke, 15 menit aku sampai." balasku.

15 menit berlalu, aku masih di rumahku. Aku berharap keajaiban datang, lelakiku cukup membalas videocall ku maka aku akan langsung mengurungkan niatku karena nympho ku juga pasti berlalu dengan hanya satu sentuhan kecil di handphone lelakiku.

Kringgggg...handphone ku berbunyi.

Aku buru buru mengambilnya dari tas, berharap besar itu panggilan dari lelakiku.

"Ya, halo?" jawabku lesu karena yang meneleponku bukan lelakiku.

"Di mana, jangan pake lama."

"Iyaa, bentar, masih nunggu gojek." jawabku sekenanya lalu menutup telpnya.

Aku menghela nafas panjang.

Maaf, sayang, aku harus melakukan ini. Batinku terkoyak. Aku menangis hebat dalam hati. Tapi, sungguh, dengan berat hati harus aku akui kali ini lelakiku punya andil besar dalam keputusanku.

10 menit kemudian aku sudah sampai di depan kamar berangka 507. Aku mengetuk pintu. Aku merasa deja vu. Dulu pernah saat aku langsung ke kamar di mana lelakiku menginap tanpa mengabarinya terlebih dahulu, niatnya memberi kejutan tapi yang harus aku terima adalah sebuah pil pahit. Lelakiku tidak membukakan pintu dan aku disuruh menunggu lama di luar karena dia sedang menghubungi istrinya lewat video call saat itu. Aku ingat saat itu aku berasa bahwa seperti wanita panggilan, saat itu aku merasa direndahkan oleh lelakiku sendiri. Dan keadaan sekarang kurang lebih sama, aku mengetuk pintu kamar hotel, menemui seorang pria yang bukan siapa siapaku, sekarang aku merasa hal yang sama dengan yang dulu aku alami bahwa aku adalah wanita panggilan. Tapi bukankah sekarang itu yang sedang aku kerjakan? Bercinta demi uang. Jadi aku menahan isakku, menghela nafas, dan tersenyum manis saat adek kelasku membukakan pintu. Aku masuk. Adek kelasku mengunci kamar.

"Maaf lama." kataku mencoba menghilangkan gugupku.

"Gpp." adek kelasku berbaring di kasur, mengambil remote tv dan sibuk mengganti salurannya.

Aku berjalan ke arah jendela. Pemandangan kotaku setidaknya bisa menghapus sesak, gugup, rasa sakit yang aku rasakan.

"Sini, duduk, ngobrol."

Aku berbalik ke arahnya, tersenyum wajar, meletakkan tasku, dan duduk di kasur, di sebelahnya.

"Mau nonton apa? Ganti sendiri sana." adek kelasku menyerahkan remotenya padaku.

Aku menggeleng.

"Deg-degan ya? Gugup?"

Aku diam saja. Aku tahu dia menggodaku untuk mencairkan suasana yang tidak enak di antara kami.

Lalu adek kelasku mendekatkan wajahnya padaku. Mengusap hidungnya ke hidungku. Berulang ulang. Menghilangkan kegugupanku. Bibirnya sangat dekat dengan bibirku, membuka siap menciumku. Aku memejamkan mata. Dan dia mengecupku. Ciuman yang hampir sama seperti ciuman kami saat di toilet. Ringan dan pelan. Tangannya menarik daguku. Aku tahu dia mengharapkan ciuman yang lebih. Dan dia mulai menciumku dengan lebih dalam dan lama. Tangannya beralih masuk ke balik kerudungku, mengusap leherku dan telingaku. Aku tidak bisa berkutik. Tanpa sadar aku mungkin membalas ciumannya lebih dari yang dia berikan hingga terdengar lenguhan dari mulutnya. Ciumannya manis, aroma rokok, dan tidak terburu buru. Dia benar benar menikmati ciuman kami. Dan itu membuatku merasa dihargai karena menurutku bukan hanya nafsu yang dia kejar tapi dia juga mengutamakan 'rasa'. Dia beralih ke dahiku, mengecupku lalu pipiku juga dikecupnya dan memelukku. Kami sama sama mengatur nafas. Lalu dia melepas pelukannya, memandangiku, melepas jarum di kerudungku dan kerudungku pun terlepas. Adek kelasku tersenyum, melepas ikatan rambutku, dan merebahkanku perlahan dan kami berciuman lagi. Dia menarik lidahku le dalam mulutnya. Aku hendak membalasnya tapi malah melepas ciumannya.

"Lidahku pendek. Tuh..." dia menjulurkan lidahnya.

Dan hal itu membuatku terkekeh.

Adek kelasku merebahkan dirinya ke sampingku. Aku tiba tiba merasa tidak enak takut mungkin tertawaku menyakiti hatinya.

"Ada apa?" tanyaku.

Dia menyamping menhadapku, kepalanya bertumpu pada tangannya. Tersenyum. Lalu mengambil rambut yang menutupi dahiku dan menaruhnya di belakang telingaku.

Sialan, kenapa dia harus memperlakukanku seperti ini? batinku berkata.

"Dee, kalau aku jadi sayang ma kamu gimana? Kamu tinggalin cowokmu itu ya?"

Aku tercekat. Lalu menggeleng.

"Jangan baper, ah, kan aku dah bilang di awal jangan baper." jawabku. "Lagian apa bedanya kamu sama dia, sama sama suami orang berarti kan aku cuman pindah aja dari suami orang ke suami orang berikutnya."

Adek kelasku menghela nafas, "iya sih."

Aku tersenyum, "jangan mikir aneh-aneh."

"Tapi aku pengin kamu ninggalin dia."

Mataku menatap langit langit kamar. Sesak rasanya mendengar kalimat itu. Lalu tiba tiba adek kelasku menyusuri leherku dengan kecupannya. Aku reflek menahan badannya dengan tanganku, berusaha menjauhkan tubuhnya dari tubuhku.

"Sssttttt..." bisiknya sambil menyusuri leher dan telingaku.

Dan kekuatan tanganku melemah. Aku membiarkan dia melakukannya dan sejujurnya aku mulai menikmatinya. Tangannya membuka kancing bajuku. Aku mengenyahkan tangannya tapi dia berhasil membuka satu kancing.

"Ayaahh..." bisikku.

"Apa?" dia ikut berbisik lembut sambil melepas kancingku lagi. Lalu bibirnya mengecup payudaraku yang masih terbungkus bh.

Aku bingung antara ingin menolak atau menikmati. Tapi dia sudah membuatku tak bertenaga untuk menolaknya. Tangannya berhasil membuka semua kancing bajuku sementara bibirnya menyusuri setiap senti tubuhku. Aku berontak ketika dia berhasil membuka kait bhku. Sayangnya, tubuhku tidak bisa berbohong. Nafasku memburu itu sudah jadi bukti bahwa aku sebenarnya menikmati apa yang sudah dia lakukan.

Tangannya meraih payudaraku.

"Jangan ke situ situ sih..." kataku putus asa tapi sekaligus mengharapkan. Entahlah.

"Nikmatin aja, mam." bisiknya sambil meremas satu payudaraku sementara bibirnya mengulum dan menjilati putingku.

Aku menarik rambut di belakang lehernya, mendesah, “Ayaaahh…”

Dan desahanku membuat adek kelasku semakin betah bermain di sana. Lalu dia membuka celana panjangnya, menuntun tanganku ke balik celana dalamnya

“Pegang. Elus2 kaya gini.” adek kelasku memberi contoh.

Aku merasa asing awalnya dengan penisnya karena secara ukuran berbeda dengan penis milik lelakiku tapi lama lama aku terbiasa. Dan adek kelasku terlihat menikmati sentuhanku. Dan tangannya bergerak menuruni celanaku, menyentuh pelan pelan area pahaku, membukanya lebar lebar lalu menyentuh vaginaku. Aku mendesah pelan. Saat adek kelasku hendak melepas celana dalamku, aku menahannya.

“Jangann, yah…”

Adek kelasku mengecup dahiku sekilas, menciumi bibirku sambil tangannya bergerak turun melepas celana dalamku. Lalu dia menyelimutiku, mendekapku erat. Aku kebingungan dengan apa yang sedang dia lakukan karena sejujurnya aku sudah sangat siap dengan aksi dia selanjutnya. Dan aku juga cukup tahu penisnya sudah sangat siap untuk memasuki tubuhku.

“Dee nunggu ya?” adek kelasku tergelak ketika selesai menelan air minumnya.

Aku melongo.

Apa dia hanya menggodaku dari tadi, hatiku bertanya tanya.

“Gaaa.” jawabku.

“Masa?” dia tersenyum nakal lalu membuka selimutku, menciumku lalu tangannya bermain di vaginaku. Hanya bermain di klitorisku, dan menyentuh lubangnya tanpa memasukinya. Tapi itu sudah membuatku tidak berdaya. Permainan tangannya membuatku tidak bisa menahan diri untuk tidak mendesah dan menggelinjang. Dan hal yang menyebalkan selanjutnya adalah dia mengamati dan menikmati semua ekspresi di wajahku.

Aku menginginkannya.

Sejalan dengan pikiranku, adek kelasku mulai memasuki tubuhku dengan penisnya.

“Kalau sakit bilang…” bisiknya di telingaku sambil mendesak masuk.

Aku memeluk tubuhnya saat dia mulai bergerak. Dan baru kali aku merasakan dia gugup dan tidak sepede tadi. Aku menikmati hentakan dan gerakannya. Aku mendesah, menarik rambutnya dan seprei bergantian. Lalu tiba tiba dia mencabut penisnya dan rebahan lagi di sampingku. Aku menatapnya dengan bingung.

“Kenapa?” tanyanya tanpa rasa bersalah.

“Astaagggaaa…” responku tak habis pikir dengan aksinya. Aku kesal tapi sejurus kemudian aku terkekeh.

Dia juga ikut terkekeh lalu memelukku, “baru kali ini ya diginiin?”

“Tegaaa…” aku memukul punggungnya. Hanya pukulan kecil.

“Aku suka yang kaya gini, menikmati prosesnya. Ga yang langsung tiba tiba tancap gas.” katanya.

Adek kelasku meraih wajahku lalu mencium pipiku sambil tangannya bermain di payudaraku.

“Pas bagiku.”

“Apanya?”

“Ini…” katanya sambil menunjuk payudaraku.

Dan aku teringat kata kata yang sama. Kata yang juga pernah diucapkan lelakiku. Ada nyeri menyerang yang langsung aku rasakan di hati.

Aku memberanikan diri mencium duluan adek kelasku. Dan kami berciuman lagi. Tangannya menyusuri punggungku lalu ke vaginaku. Kembali bermain di sana membuatku melenguh. Aku tidak tahan. Aku naik ke atas tubuhnya sambil menghujaninya dengan ciuman. Mataku terpejam. Penisnya bergerak bergerak meminta masuk. Aku meraihnya dan memasukkan ke lubang vaginaku. Dan aku bergerak naik turun, lalu mengulegnya, gerakannya tidak beraturan. Dia mendesah dan menggumamkan sesuatu. Entah apa aku tidak mendengar dan tidak peduli. Aku hanya ingin merasakan kenikmatan ini. Aku tidak peduli siapa pria di depanku sekarang. Aku tidak peduli dengan lelakiku. Aku tidak mau memikirkan apa apa dan siapa saat itu. Aku hanya peduli dengan kepuasanku. Aku mendesah dan melenguh hebat, dan dia terlihat puas dengan ekspresi yang aku tunjukan. Aku mulai merasakan puncakku akan tiba. Dan adek kelasku sepertinya paham. Dia ikut bergerak mengikuti gerakanku yang tidak teratur. Tangannya ikut terlibat bermain di klitorisku dan bergantian memegang pantatku.

“Aaaaargggghhhhhh…” lenguhku panjang sambil memeluk dan mencengkeram punggungnya. Aku kaku sesaat dan dia memelukku erat sambil mencium pundakku.

“Enak banget.” aku tidak menyangka akan mengeluarkan kata itu saat kami saling memandang.

Dan tentu saja dia terbahak senang mendengarnya. Aku malu tapi masa bodoh. Dia menarikku dari tubuhnya lalu membiarkanku rebahan di dadanya.

“Kamu belum?” tanyaku saat melihat penisnya masih tegak berdiri

“Belum. Gpp, liat kamu puas dan seneng aku dah puas ko.

“Lah jangan gitu…” aku memandanginya.

Dia meraih tanganku, menciumnya. Lalu menyuruhku menyamping. Memainkan payudaraku dan memasukkan penisnya kembali ke tubuhku. Dia bergerak membuatku kembali mendesah dan memegang erat pinggiran kasur.

“Sana bersih bersih.” katanya tiba tiba sambil mencabut penisnya dari vaginaku.

Aku benar benar tidak percaya dia lagi lagi menggodaku.

“Serius?”

“Mandi.” dia menarikku ke kamar mandi.

Aku masih melompong kebingungan ketika tiba tiba dia ikut masuk ke kamar mandi.

“Mandi bareng?” tanyaku protes.

“Biar cepet.”

Tapi dia menyentuhku lagi, membuatku kembali terangsang. Dan dia juga merasakan hal yang sama. Kami posisi DS tapi itu pun beberapa hentakan lalu dia mencabut kembali penisnya.

“Apaan sih? Godain doank dari tadi.”

Dia mencium hidungku, “biar kamu penasaran, hahaha…”

Kami akhirnya benar benar mandi yang sesungguhnya. Bahkan dia menghandukiku. Selesai berpakaian, dia memelukku erat.

“Aku sayang kamu.” bisiknya sambil mengecup telingaku.

“Jangan nakal.” bisiknya lagi di telingaku yang satunya dan kembali mengecupnya.

Lalu mengecup dahiku cukup lama.

“Pulang sana, kasihan Ayu sendirian di rumah. Nanti uangnya aku transfer ya.”

Aku belum sampai di rumah ketika aku mendapat pesan dari adek kelasku.

“Cek saldo.”

“Ya, nanti kalau dah sampai rumah.” balasku.

Aku mencoba menghubungi kembali lelakiku lewat chat. Tapi tak ada respon, tak ada tanda centang biru sampai malam aku menulis ini. Aku tidak tahu kenapa aku seperti pengemis di depan lelakiku. Mengemis perhatian, mengemis cinta yang bahkan tak memiliki masa depan. Haruskah aku seperti ini terus padamu, sayang? Apakah benar kamu akan baik baik saja ketika aku meninggalkanmu? Aku tahu aku yang tidak tahu diri masih mengharapkan cintamu ketika tubuhku sudah diberikan kepada yang lain. Jadi benarkah berpisah adalah jalan terbaik untuk kita? Tidak. Aku tidak bisa. Aku akan bertahan untukmu, seberat apapun itu. Ada andilmu di setiap langkahku jadi bagaimana aku bisa melangkah sendirian tanpamu?
 
Bagaimana ketika pasanganmu, orang yang kamu sayangi tiba2 mengutarakan mau jual diri di akhir sesi bercinta kalian? Kaget kah? Marah kah? Sedih kah? Atau...biasa saja?

Ini terjadi padaku.

"Sayang, kamu ga pengin jual aku?" tanyaku ketika kami selesai berpeluh bersama mengeluarkan birahi dan rasa rindu yang memuncak. Kami sedang berpelukan saat itu.

Lelakiku langsung spontan mengangkat wajahku hingga dia bisa melihat dengan jelas ekspresi dan sorot mataku saat itu. Dia berusaha mencari jawaban di sana apakah aku serius atau bercanda dengan ucapanku tadi.

"Aku serius." kataku mantap meskipun tetap kentara getaran dari suaraku karena berusaha menahan air mata yang siap meluncur dari mataku.

Lelakiku menghela nafas panjang, "karena uang apa buat sensasi aja?"

Aku memeluknya erat. Aku benamkan wajahku dalam-dalam di dadanya yang putih dan bidang. Aku tidak bisa menahan air mataku lebih lama lagi. Aku sesenggukan.

"Aku butuh uang." lirihku.

Lelakiku berusaha menarik tubuhku dari pelukannya tapi aku tetap bertahan dalam pelukannya. Aku menangis lebih keras. Dia berusaha menenangkanku dengan mengelus punggung dan mengecup dahiku berulang ulang.

"Pasti ada jalan." kata katanya terus diulang entah untuk menyakinkanku atau menyakinkan dirinya sendiri.

Hubunganku dan lelakiku ini sudah lama sekali, entah sudah tahun yang keberapa kami bersama. Sayang, posisiku hanya sebagai simpanannya saja. Dia lelaki beristri. Dan aku bersamanya bukan alasan materi tapi karena memang aku terlalu mencintainya. Aku bukan wanita yang mudah meminta ini itu dari pasangannya, selagi aku mampu dan bisa sendiri aku usahakan sendiri. Lelakiku ini baik, pengertian tanpa aku minta pun tiba tiba dia memberiku hadiah hadiah tapi tentu saja pos keuangannya lebih banyak dialokasikan untuk keluarganya dan aku memaklumi itu.

Aku wanita biasa, bercinta hanya dengan orang yang berlabel "kekasih", berani eksperimen dan memiliki sensasi bercinta luar biasa baru aku rasakan ketika bersama lelaki beristri ini. Dia maniak dan hyper dan aku mengikuti polanya. Jadi ketika aku mengajukan proposal padanya untuk jual diri, dia mengira aku hanya mencari kesenangan dan sensasi seks yang baru. Alasanku sungguh bukan itu. Aku benar benar sedang butuh uang untuk melunasi beberapa pinjaman. Aku tidak tahu harus dengan cara apa lagi mendapatkan uang banyak dengan waktu cepat. Lelakiku bisa membantu tapi masih kurang banyak untuk menutup semua hutangku.

Lelakiku masih berusaha mencari jalan lain ketika aku sudah memulai tes pasar dan sekaligus tes mentalku di sebuah aplikasi chat. Aku sudah berani menjawab beberapa chat yang menanyakan tarif tapi seperti biasa endingnya hanya sebatas modus. Dalam hati aku mengucapkan syukur ketika gagal itu artinya aku tidak harus bercinta dengan laki laki yang baru dikenal. Entah masih semacam pergulatan batin apakah aku akan benar benar terjun di dunia seperti itu tapi aku butuh uang secepatnya. Apakah aman? Apakah nyaman? Apakah rasanya akan sama ketika bercinta dengan orientasi materi dengan orientasi wujud sayang?

Lelakiku menangis nun jauh di sana karena merasa tidak berguna dan berdaya sebagai pendampingku. Tapi aku berusaha menguatkan dirinya sekaligus menguatkan diriku sendiri, asal dia tetap bersamaku hubungan kita akan seperti biasa dan aku bisa melalui jalan ini dengan lancar--hanya sampai pinjamanku lunas semua. Aku bukannya menutup mata karena sedikit banyak keputusanku akan merubahnya, merubahku dan merubah hubungan kami. Tapi bukankah pilihan hidup selalu penuh dengan resiko? Apa aku egois jika aku tetap memintanya tetap mencintaiku? Hidupku hanya ingin dicintai. Olehnya. Hanya ingin dicintai oleh lelakiku, apakah permintaanku terlalu berlebihan?

Hingga hari ini aku masih maju mundur. Masih banyak ketakutan yang berputar di otakku. Sedangkan waktu terus berjalan tidak peduli apakah aku masih bisa sanggup menghadapi hari atau tidak. Kadang aku merasa sendiri, tapi aku tahu di sana lelakiku pun tidak bisa tidur nyenyak karena terus memikirkan nasibku. Dan itu sudah cukup menghiburku sejauh ini.
Sangat mengerti dgn yg trjadi
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd