Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Karma.Masa Lalu

Chapter 23 : Darah Yang Mengalir

"Kamu gak apa, Syifa?" tanya Rendy hawatir. Rendy memegang tangannya yang langsung ditepiskan oleh Syifa.

"Aku gak apa apa." kata Syifa ketus. Pikirannya tertuju ke Satria dan berharap keadaan pemuda itu baik baik saja. Syifa tidak berani membayangkan hal buruk terjadi pada pemuda yang dicintainya diam diam.

"Kamu salah lihat kali, Shel?" tanya Syifa berusaha meyakinkan apa yang sebenarnya terjadi. Bisa saja Shelly salah liat, kalau perkelahian itu terjadi di stasion. Sebuah tempat yang ramai, kemungkinan salah liat pasti ada. Apa lagi berkelahi dengan senjata tajam, tentu akan memancing petugas keamanan untuk membubarkan perkelahian.

"Aku benar benar liat tangan Satria terluka kena pisau." kata Shelly berusaha meyakinkan Syifa debgan kejadia yang dilihatnya tadi.

Syifa mengambil hpnya dan mengirim pesan ke Satria menanyakan kebenaran berita yang dibawa Shelly. Kalau saja dia sedang tidak bekerja, mungkin Syifa sudah mendatangi rumah Satria untuk melihat kondisinya separah apa.

******

Satria terkejut melihat Wulan dalam bahaya. Apa yang harus dilakukan untuk menolong Wulan sedangkan jaraknya agak jauh sekitar 10 meter. Sebelum sampai, Wulan sudah celaka. Tapi tunggu dulu, Wulan memegang pergelangan tangan pria yang memegang pizau itu dengan kedua tangannya. Kesempatan emas untuk melumpuhkan orang itu tanpa mendekatinya.

Satria ingat sejak kecil dia sangat suka menyambit buah buahan dan bahkan burung burung liar untuk dimakannya. Dan satu satunya alat untuk mencuri buah buahan dan juga membidik burung burung incatlran adalah menyambitnya dengan batu kerikil. Satria mulai berlatih menyambit hingga benar benar terampil dengan ketepatan bidikan yang mencapai 90%. Ya, dengan kerikil Satria akan melumpuhkan orang itu.

Bodoh, Satria memaki dirinya, sebelum dia menemukan kerikil mungkin Wulan sudah celaka. Satria memasukkan tangannya ke dalam saku celananya dengan putus asa. Mungkin ada sesuatu yang bisa digunakannya untuk menyambit dan Satria menyentuh hpnya. Tanpa berpikir panjang Satria menyambit kepala orang itu menggunakan hpnya. Sambitannya tepat menghantam di tengah tengah antara ke dua matanya sehingga kepala orang itu yerdorong ke belakang.

Kesempatan yang tidak di sia siakan opeh Wulan yang berbalik dan membanting orang itu. Satria takjub melihat kesigapan Wulan, ternyata Wulan bukan wanita lemah. Pantas tadi Jalu bicara tentang karate ke Wulan. Mungkin Wulan seorang Karateka tangguh. Hal itu membuat Satylengah dan tidak menyadari lawan yang berhasil dirobohkannya bangkit dan menusukka belati ke arah leherbya. Untung saja pada saat yang genting Satria menyadari bahaya yang datang dari belakangnya. Reflek tangannya menangkis pisau sehingga tangganya terluka terkena sabetan belati, memanjang dari bawah siku hingga mendekati pergelangan tangannya.

Satria mengaduh menahan sakit, darah keluar deras dari tangannya yang terluka. Tidak ada waktu untuk meratapi lukanya, Satria menghantam dengan tangan kiri pria yang sudah melukai tangannya dan pada saat yang bersamaan orang itu kembali menyerang Satria, pisaunya mengarak ke wajah Satria. Ini adalah serangan pamungkas, serangan siapa yang tiba lebih dahulu dia lah pemenangnya. Apa bila pisau itu lebih cepat mengenai Satria, bisa dipastikan wajahnya akan menjadi cacat. Tapi Satria tidak perduli dengan bahaya yang mengancamnya. Kemarahannya sudah mencapai puncaknya. Tujuannya satu, mematahkan rahang pria yang sudah melukai tangannya.

Situasi yang sangat genting, Satria terlalu ceroboh luka di tangan membuatnya kehilangan akal sehat dan juga naluri bertarungnya yang seperti harimau. Ya, sekarang situasinya benar benar menggambarkan seokor harimau terluka yang sedang menghadapi maut. Harimau terluka yang sudah tidak perduli dengan keselamatannya sendiri. Harimau yang melakukan serangan terahir. Serangan yang nekat tanpa memperdulikan keselamatan dirinya sendiri. Jeritan Wulan terdengar jauh membuat suasana semakin mencekam.

Pada saat yang tepat, sebuah pukulan menghantam leher samping pria yang menyerangnya dengan keras membuatnya terpelanting ke samping. Pukulan Satria yang setengah jalan tidak bisa dihentikan. Pukulan yang dipakukan sekuat tenaga dengan tubuh yang doyong ke depan menuju wajah pria yang menolong yang tidak lain adalah Jalu. Satria mengeluh, pukilannya akan mengenai wajah Jalu yang sudah menongngya dan ternyata tidak. Pukulannya mengenai tempat kong dantubuhnya jatuh ke pelukan Jalu. Satria melihat ke arah pria yang sudah melukainya. Pria itu meringkuk di tanah tidak sadarkan diri.

"Diam, kamu..!" kata Jalu tenang melepaskan pelukannya. Dengan cepat dia membuka kemeja putihnya da merobeknya menjadi dua bagian. Dengan sigap Jalu membalut luka di tangan Satria untuk menghentikan pendarahannya. Lalu Jalu merobek baju yang tersisa menjadi bagian yang lebih kecil dan digunakan mengikat bagian atas yang terluka. Mengikatnya sangat keras agar darah berhenti mengalir ke lukanya.

"Satria...!" Wulan menatap Satria dengan wajah pucat. Bajunya penuh dengan darah dan kain putih yang digunakan untuk membalut lukanyapun sudah berubah warna menjadi merah.

"Aku gak apa apa, Lan..!" kata Satria tersenyum menahan sakit. Kepanya mulai terasa pusing karena banyaknya darah yang keluar dari tubuhnya.

Satria melihat ke arah Jalu yang rela membuka baju untuk membalut lukanya. Mungkin ayahnya seusia Jalu. Satria melihat wajah Jalu yang begitu hawatir melihat lukanya yang mengucurkan darah. Tiba tiba Jalu membelakanginya tanpa berkata apapun menggendongnya.

"Aku bisa jalan..!" kata Satria angkuh karena merasa dirinya masih bisa berjalan karena yang luka bukan kakinya.

"Diam..!" bentak Jalu dan entah kenapa suara bentakann Jalu mampu membuat Satria terdiam dan menurut saat Jalu mulai menggendongnya.

"Buka jalan dan singkirkan para begundal ini.!" teriak Jalu kepada beberapa orang yang sepertinya anak buahnya yang datang terlambat ke arena pertarungan.

Satria terharu melihat perhatian Jalu kepadanya. Jalu berjalan cepat mengikuti dua orang yang berjalan di depannya membuka jalan dari kerumunan masa yang melihat pertarungan. Jalu bergerak cepat menggendong Satria, gerakannya gesit tidak terbebani oleh tubuh Satria yang berat. Langkahnya setengah berlari ke arah motor yang terparkir di pinggir jalan.

"Cepat naek...!" kata Jalu menjrunkun Satria agar naek keatas boncengan motor milik salah satu anak buah Jalu. Setelah Satria naek, Jalu ikut naek di belakang Satria menjaga agar Satria tidak terjatuh.

"Wulan, kamu ikuti Pakdhe..!" kata Jalu sebelom motor bergerak cepat membelah kemacetan jalan raya. Dua buah motor berjalan berusaha memberi jalan motor yang dinaeki oleh Satria. Tujuannya sudah pasti, rumah sakit terdekat.

Sampai di RS, sebuah ranjang dorong sudah tersedia menyambut kedatangan Satria yang langsung direbahkan di atasnya.

*********

Satria membuka matanya,, tempat ini terasa aneh, semuanya serba putih, di tembok ada sebuh tv lumayan besar menempel. Ini seperti kamar di rumah sakit. Tapi kenapa hanya ada satu ranjang dengan kamar cukup. Bahkan kamarbya sendiri tidak sebesar kamar ini. Seingatnya kamar rumah sakit itu sebuah ruangan besar yang di isi dengan ranjang berjejer dan kadang saling berhadapan seperti saat ibunya di rumah sakit dulu.

"Kamu sudah bangun?" tanya seorang wanita yang tiba tiba sudah ada du sampingnya. Wanita yang tidak kalah cantik bila dibandingkan dengan Wulan.

"Dina...! Wulan mana?" Satria heran setelah menyadari wanita yang berdiri di sampingnya adalah Dina, anak bungsu Jalu yang pernah membuat wajahnya babak belur. Matanya mencari Wulan. Tidak ada orang lain kecuali mereka berdua.

"Wulan ke luar dulu, mau ngurusin gaji pegawainya." jawab Dina. Matanya menatap Satria tanpa berkedip membuat Satria menjadi risih mwnghadapi wanita yang terlihat galak ini. Kasuan sekali calon suaminya nanti yang akan menjadi samsak hidup. Tanpa sadar Satria tertawa lucu membayangkannya.

"Kenapa kamu tertawa?" tanya Dina ketus.

"Gak apa apa, cuma inget waktu aku kamu gebukin." jawab Satria jujur. Setidaknya mereka sekarang sudah menjadi saudara karena Dina adalah sepupunya Wulan, otomatis mereka menjadi saudara juga. Saudara beda darah.

"Katanya kamu nolong ayahku? Sepertinya mustahil kamu nolong ayahku. Atau mungkin kamu berusaha menjadi pahlawan kesiangan tapi malah kamu yang celaka?" tanya Dina dengan wajah agak sinis memandangnya.

Satria tersenyum malu, apa yang dikatakan Dina ada bebarnya. Niatnya memang menolong Jalu, tapi malah celaka. Malah dia yang ditolong Jalu yang membawanya ke RS setelah sebelumnya melakukan pertolongan pertama debgan menggunakan bajunya untuk menghentikan pendarahan. Satria merasa nyaman saat Jalu menggendongnya. Ada perasaan aneh yang dia rasakan saat tubuh telanjang Satria memeknya swpanjang perjalanan ke RS. Rasa nyaman dan tenang yang belum pernah dirasakan sebelumnya sehingga Satria lupa dengan rasa sakit akibat lukanya.

"Sampaikan ucapan terimakasihku ke Pak Jalu." kata Satria menghindar dari tatapan mata Dina yang tajam. Satria merasakan sesuatu yang aneh terpancar di mata itu. Sesuatu yang belum pernah dilihatnua dari mata seorang wanita.

"Berarti benar kamu mau sok jadi pahlawan dan pamer kehabatan di depan, istrimu Wulan?" kata Dina mencibir. "Kamu salah orang kalau mau sok jadi pahlawan. Ayahku terlalu hebat untuk kamu tolong. Anak bau kencur sok mau jadi pahpawan." kata Dina sambil memberikan potongan apel yang sudah dkupasnya. Satria mau menolak, tapi potongan apel itu tepat menempel di bibirnya, swbuah paksaan yang tidak mungkin bisa ditolak.

Dasar wanita aneh, Satria dibuatnya mati kutu baik oleh ucapannya yang pedas maupun pukiulan tas yang membuat wajahnya babak belur. Harusnya Dina memberinya air untuk membasahi kerongkongannya yang terasa sangat haus, bukan sepotong apel. Buah yang hampir tidak pernah dimakannya. Seumur hidup, baru beberapa kali dia mencicipi buah apel. Buah yang terlalu mewah untuk kantongnya. Buah yang dengan susah payah berusaha ditelannya umagar Dina tidak semakin marah.

"Sudah, aku haus..!" kata Satria memberanikan diri menolak suapan apel untuk yang kedua kalinya.

"Kamu kan punya tangan, bukan bayi...!" kata Dina melotot. Tapi tak urung mengambil segelas air yang diberikannya kepada Satria yang segera duduk. Satria mengambil air dengan tangan kirinya karena tangannya masih sulit digerakkan. Baru saja gelas yang diminumnya habis, kembali Dina menyuapinya dengan potongan apel.

"Satria, kamu tidak apa ala, nak?" tanya Lastri yang tiba tiba masuk tanpa mengetuk pintu. Wajahnua terlihat cemaa melihat Satria yang tergolek lemas tidak berdaya.

"Satria gak apa apa, Bu..!" kata Satria melihat kedatangan ibunya membuat Satria bahagia setelah hampir sepuluh hari tidak bertemu. Lastri menciumi Satria, kehadiran Dina tetlewatkan begitu saja.

"Ibu bilang jangan suka berkelahi. Ibu gak suka kamu berkelahi.!" kata Lastri sambil membelai kepala Satria.

"Ini siap, Sat? Wulan mana?" tanya Lastri setelah menyadari kehadiran Dina dan dia tidak melihat Wulan menantunya.

"Ini Dina, Bu. Saudara sepupunya Wulan, anak Pak Jalu.." kata Satria memperkenalkan Dina kepada ibunya. Dina tersenyum mengulurkan tangan mengajak Lastri bersalaman.

"Saya Dina Bu, anak bungsu Pak Jalu." kata Dina sambil mencium tangan Lastri. Wajah ketus dan juteknya berganti.dengan senyum ramah yang akan membuat siapapun jatuh hati. Wanita yang aneh, dengan cepat ekspresi wajahnya berubah 180 derajat.

"Kamu anaknya, Bu Ningsih?" tanya Lastri memperhatikan wajah Dina dengan seksama.

"Bukan, Bu. Saya anaknya Bu Ratna. Bu Ningsih istri pertama ayah saya. Saya anak dari istri ke tiga." kata Dina tidak merasa malu mengatakan hal yang sebenarnya pada seseorang yang baru pertama dikenalnya.

"Och. Pak Jalu punya istri berapa?" tanya Lastri membuat Satria menjadi heran, tidak biasanya ibunya menanyakan masalah orang lain. Hal yang tiidak pernah dilakukan Lastri. Sepertinya ibunya sangat mengenal Jalu, ada hubungan apa antara ibunya dengan Jalu.

"Tiga Bu, istri ke duanya Bu Lilis..." kata Dina. Seolah dia mengatakan hal biasa, padahal itu sebuah aib untuk mereka yang berpikiran negatif.

"Bu Lilis?, bukankah Bu Lilis itu kakak kandung Bu Ningsih?" tanya Lastri kaget.

Satria semakin heran, ternyata ibunya sangat mengenal keluarga Jalu. Rasa curiganya semakin kuat, seperti ada sebuah rahasia yang ditutupi oleh ibunya selama ini. Entah apa.

"Bukan Bu, Bu Lilis kakak sepupu Bu Ningsih." kata Dina.

"Och, saya pakar Bu Ningsih dan Bu Lilis saudara sekandung." kata Lastri.

"Ibu sepertinya sangat kenal ayah saya?" tanya Dina penuh selidik. Matanya melirik ke arah Satria yang sejak tadi menjadi pendengar yang baik.

"Saya dulu sebelum Satria lahir keja di tempat Pak Jalu.." kata Lastri, matanya melihat ke arah Satria dan Satria merasa aneh dengan sorot mata ibunya. Dia sangat hafal dengan arti tatapan mata ibunya karena kedekatannya. Mereka selalu menghabiskan waktu berdua.

Satria ingat, dulu waktu masih kecil, Satria selalu diajak berjualan gorengan keliling. Bahkan menurut ibunya, sejak Satria bayi sudah diajak berjualan karena tidak ada orang yang bisa dititipi untuk merawat Satria saat bayi. Ibunya tidak punya cukup uang untuk membayar orang.

Tiba tiba pintu terbuka dan Jalu masuk dengan wajah pucat. Satria heran melihatnya. Pria yang selalu terlihat tenang sekarang seperti gelisah memikirkan sesuatu yang sangat berat. Sesuatu yang membuat wajahnya terlihat menjadi lebih tua.

"Jangan seret anakku dengan pekerjaan kotormu.!" bentak Lastri saat melihat Jalu masuk, membuat Satria terkejut. Belum pernah Satria melihat ibunya semarah itu. Dinapun terlihat kaget mendengar suara Lastri yang keras.

"Aku sudah menyuruh Satria pulang dan tidak ikut campur dengan urusanku, tapi anak ini bandel seperti ayahnya tidak...!"

"Sudah cukup...!_ Lastri memotong ucapan Jalu.

" Sudah ada kabar tentang Bu Lilis belum, Yah?" tanya Dina berusaha meredakan keadaan yang tiba tiba menjadi tegang dengan kehadiran Jalu.

"Kenapa dengan Bu Lilis?" tanya Lastri mendengar nama Lilis disebut.

Belum juga Jalu menjawab pertanyaan anaknya dan Lastri, pintu kembali terbuka dan Ningsih masuk ke dalam. Satria heran, siapa lagi yang datang. Dia belum mengenal wanita yang masuk belakanga. Wanita yang sangat cantik dan keibuan, pikir Satria.

"Bu Ningsih..!" tanya Lastri heran dengan kehadiran Ningsih. Ini seperti sebuah reuni masa lalu. Satria langsung mengerti, ini pasti Bu Ningsih istri pertama Jalu.

"Lastri..? Kamu ke mana saja? Kok kamu ada di sini?" tanya Ningsih heran dengan kehadiran Lastri yang sangat mengejutkan.

"Saya sedang bezuk anak saya.." jawab Lastri menunjuk ke arah Satria yang duduk bersandar bantal.

"Satria anak kamu? Anak.....?"

Bersambung
 
Wah ada reuni nih. Asik ijin dulu baru baca dan terima kasi atas updatenya suhu dan ditunggu updadenya lagi.
Untuk suhu semangat untuk berkarya kami menunggu dan mendukung mu jangan pantang menyerah untuk berkarya
semangat semangat semangat semangat
 
Chapter 23 : Darah Yang Mengalir

"Kamu gak apa, Syifa?" tanya Rendy hawatir. Rendy memegang tangannya yang langsung ditepiskan oleh Syifa.

"Aku gak apa apa." kata Syifa ketus. Pikirannya tertuju ke Satria dan berharap keadaan pemuda itu baik baik saja. Syifa tidak berani membayangkan hal buruk terjadi pada pemuda yang dicintainya diam diam.

"Kamu salah lihat kali, Shel?" tanya Syifa berusaha meyakinkan apa yang sebenarnya terjadi. Bisa saja Shelly salah liat, kalau perkelahian itu terjadi di stasion. Sebuah tempat yang ramai, kemungkinan salah liat pasti ada. Apa lagi berkelahi dengan senjata tajam, tentu akan memancing petugas keamanan untuk membubarkan perkelahian.

"Aku benar benar liat tangan Satria terluka kena pisau." kata Shelly berusaha meyakinkan Syifa debgan kejadia yang dilihatnya tadi.

Syifa mengambil hpnya dan mengirim pesan ke Satria menanyakan kebenaran berita yang dibawa Shelly. Kalau saja dia sedang tidak bekerja, mungkin Syifa sudah mendatangi rumah Satria untuk melihat kondisinya separah apa.

******

Satria terkejut melihat Wulan dalam bahaya. Apa yang harus dilakukan untuk menolong Wulan sedangkan jaraknya agak jauh sekitar 10 meter. Sebelum sampai, Wulan sudah celaka. Tapi tunggu dulu, Wulan memegang pergelangan tangan pria yang memegang pizau itu dengan kedua tangannya. Kesempatan emas untuk melumpuhkan orang itu tanpa mendekatinya.

Satria ingat sejak kecil dia sangat suka menyambit buah buahan dan bahkan burung burung liar untuk dimakannya. Dan satu satunya alat untuk mencuri buah buahan dan juga membidik burung burung incatlran adalah menyambitnya dengan batu kerikil. Satria mulai berlatih menyambit hingga benar benar terampil dengan ketepatan bidikan yang mencapai 90%. Ya, dengan kerikil Satria akan melumpuhkan orang itu.

Bodoh, Satria memaki dirinya, sebelum dia menemukan kerikil mungkin Wulan sudah celaka. Satria memasukkan tangannya ke dalam saku celananya dengan putus asa. Mungkin ada sesuatu yang bisa digunakannya untuk menyambit dan Satria menyentuh hpnya. Tanpa berpikir panjang Satria menyambit kepala orang itu menggunakan hpnya. Sambitannya tepat menghantam di tengah tengah antara ke dua matanya sehingga kepala orang itu yerdorong ke belakang.

Kesempatan yang tidak di sia siakan opeh Wulan yang berbalik dan membanting orang itu. Satria takjub melihat kesigapan Wulan, ternyata Wulan bukan wanita lemah. Pantas tadi Jalu bicara tentang karate ke Wulan. Mungkin Wulan seorang Karateka tangguh. Hal itu membuat Satylengah dan tidak menyadari lawan yang berhasil dirobohkannya bangkit dan menusukka belati ke arah leherbya. Untung saja pada saat yang genting Satria menyadari bahaya yang datang dari belakangnya. Reflek tangannya menangkis pisau sehingga tangganya terluka terkena sabetan belati, memanjang dari bawah siku hingga mendekati pergelangan tangannya.

Satria mengaduh menahan sakit, darah keluar deras dari tangannya yang terluka. Tidak ada waktu untuk meratapi lukanya, Satria menghantam dengan tangan kiri pria yang sudah melukai tangannya dan pada saat yang bersamaan orang itu kembali menyerang Satria, pisaunya mengarak ke wajah Satria. Ini adalah serangan pamungkas, serangan siapa yang tiba lebih dahulu dia lah pemenangnya. Apa bila pisau itu lebih cepat mengenai Satria, bisa dipastikan wajahnya akan menjadi cacat. Tapi Satria tidak perduli dengan bahaya yang mengancamnya. Kemarahannya sudah mencapai puncaknya. Tujuannya satu, mematahkan rahang pria yang sudah melukai tangannya.

Situasi yang sangat genting, Satria terlalu ceroboh luka di tangan membuatnya kehilangan akal sehat dan juga naluri bertarungnya yang seperti harimau. Ya, sekarang situasinya benar benar menggambarkan seokor harimau terluka yang sedang menghadapi maut. Harimau terluka yang sudah tidak perduli dengan keselamatannya sendiri. Harimau yang melakukan serangan terahir. Serangan yang nekat tanpa memperdulikan keselamatan dirinya sendiri. Jeritan Wulan terdengar jauh membuat suasana semakin mencekam.

Pada saat yang tepat, sebuah pukulan menghantam leher samping pria yang menyerangnya dengan keras membuatnya terpelanting ke samping. Pukulan Satria yang setengah jalan tidak bisa dihentikan. Pukulan yang dipakukan sekuat tenaga dengan tubuh yang doyong ke depan menuju wajah pria yang menolong yang tidak lain adalah Jalu. Satria mengeluh, pukilannya akan mengenai wajah Jalu yang sudah menongngya dan ternyata tidak. Pukulannya mengenai tempat kong dantubuhnya jatuh ke pelukan Jalu. Satria melihat ke arah pria yang sudah melukainya. Pria itu meringkuk di tanah tidak sadarkan diri.

"Diam, kamu..!" kata Jalu tenang melepaskan pelukannya. Dengan cepat dia membuka kemeja putihnya da merobeknya menjadi dua bagian. Dengan sigap Jalu membalut luka di tangan Satria untuk menghentikan pendarahannya. Lalu Jalu merobek baju yang tersisa menjadi bagian yang lebih kecil dan digunakan mengikat bagian atas yang terluka. Mengikatnya sangat keras agar darah berhenti mengalir ke lukanya.

"Satria...!" Wulan menatap Satria dengan wajah pucat. Bajunya penuh dengan darah dan kain putih yang digunakan untuk membalut lukanyapun sudah berubah warna menjadi merah.

"Aku gak apa apa, Lan..!" kata Satria tersenyum menahan sakit. Kepanya mulai terasa pusing karena banyaknya darah yang keluar dari tubuhnya.

Satria melihat ke arah Jalu yang rela membuka baju untuk membalut lukanya. Mungkin ayahnya seusia Jalu. Satria melihat wajah Jalu yang begitu hawatir melihat lukanya yang mengucurkan darah. Tiba tiba Jalu membelakanginya tanpa berkata apapun menggendongnya.

"Aku bisa jalan..!" kata Satria angkuh karena merasa dirinya masih bisa berjalan karena yang luka bukan kakinya.

"Diam..!" bentak Jalu dan entah kenapa suara bentakann Jalu mampu membuat Satria terdiam dan menurut saat Jalu mulai menggendongnya.

"Buka jalan dan singkirkan para begundal ini.!" teriak Jalu kepada beberapa orang yang sepertinya anak buahnya yang datang terlambat ke arena pertarungan.

Satria terharu melihat perhatian Jalu kepadanya. Jalu berjalan cepat mengikuti dua orang yang berjalan di depannya membuka jalan dari kerumunan masa yang melihat pertarungan. Jalu bergerak cepat menggendong Satria, gerakannya gesit tidak terbebani oleh tubuh Satria yang berat. Langkahnya setengah berlari ke arah motor yang terparkir di pinggir jalan.

"Cepat naek...!" kata Jalu menjrunkun Satria agar naek keatas boncengan motor milik salah satu anak buah Jalu. Setelah Satria naek, Jalu ikut naek di belakang Satria menjaga agar Satria tidak terjatuh.

"Wulan, kamu ikuti Pakdhe..!" kata Jalu sebelom motor bergerak cepat membelah kemacetan jalan raya. Dua buah motor berjalan berusaha memberi jalan motor yang dinaeki oleh Satria. Tujuannya sudah pasti, rumah sakit terdekat.

Sampai di RS, sebuah ranjang dorong sudah tersedia menyambut kedatangan Satria yang langsung direbahkan di atasnya.

*********

Satria membuka matanya,, tempat ini terasa aneh, semuanya serba putih, di tembok ada sebuh tv lumayan besar menempel. Ini seperti kamar di rumah sakit. Tapi kenapa hanya ada satu ranjang dengan kamar cukup. Bahkan kamarbya sendiri tidak sebesar kamar ini. Seingatnya kamar rumah sakit itu sebuah ruangan besar yang di isi dengan ranjang berjejer dan kadang saling berhadapan seperti saat ibunya di rumah sakit dulu.

"Kamu sudah bangun?" tanya seorang wanita yang tiba tiba sudah ada du sampingnya. Wanita yang tidak kalah cantik bila dibandingkan dengan Wulan.

"Dina...! Wulan mana?" Satria heran setelah menyadari wanita yang berdiri di sampingnya adalah Dina, anak bungsu Jalu yang pernah membuat wajahnya babak belur. Matanya mencari Wulan. Tidak ada orang lain kecuali mereka berdua.

"Wulan ke luar dulu, mau ngurusin gaji pegawainya." jawab Dina. Matanya menatap Satria tanpa berkedip membuat Satria menjadi risih mwnghadapi wanita yang terlihat galak ini. Kasuan sekali calon suaminya nanti yang akan menjadi samsak hidup. Tanpa sadar Satria tertawa lucu membayangkannya.

"Kenapa kamu tertawa?" tanya Dina ketus.

"Gak apa apa, cuma inget waktu aku kamu gebukin." jawab Satria jujur. Setidaknya mereka sekarang sudah menjadi saudara karena Dina adalah sepupunya Wulan, otomatis mereka menjadi saudara juga. Saudara beda darah.

"Katanya kamu nolong ayahku? Sepertinya mustahil kamu nolong ayahku. Atau mungkin kamu berusaha menjadi pahlawan kesiangan tapi malah kamu yang celaka?" tanya Dina dengan wajah agak sinis memandangnya.

Satria tersenyum malu, apa yang dikatakan Dina ada bebarnya. Niatnya memang menolong Jalu, tapi malah celaka. Malah dia yang ditolong Jalu yang membawanya ke RS setelah sebelumnya melakukan pertolongan pertama debgan menggunakan bajunya untuk menghentikan pendarahan. Satria merasa nyaman saat Jalu menggendongnya. Ada perasaan aneh yang dia rasakan saat tubuh telanjang Satria memeknya swpanjang perjalanan ke RS. Rasa nyaman dan tenang yang belum pernah dirasakan sebelumnya sehingga Satria lupa dengan rasa sakit akibat lukanya.

"Sampaikan ucapan terimakasihku ke Pak Jalu." kata Satria menghindar dari tatapan mata Dina yang tajam. Satria merasakan sesuatu yang aneh terpancar di mata itu. Sesuatu yang belum pernah dilihatnua dari mata seorang wanita.

"Berarti benar kamu mau sok jadi pahlawan dan pamer kehabatan di depan, istrimu Wulan?" kata Dina mencibir. "Kamu salah orang kalau mau sok jadi pahlawan. Ayahku terlalu hebat untuk kamu tolong. Anak bau kencur sok mau jadi pahpawan." kata Dina sambil memberikan potongan apel yang sudah dkupasnya. Satria mau menolak, tapi potongan apel itu tepat menempel di bibirnya, swbuah paksaan yang tidak mungkin bisa ditolak.

Dasar wanita aneh, Satria dibuatnya mati kutu baik oleh ucapannya yang pedas maupun pukiulan tas yang membuat wajahnya babak belur. Harusnya Dina memberinya air untuk membasahi kerongkongannya yang terasa sangat haus, bukan sepotong apel. Buah yang hampir tidak pernah dimakannya. Seumur hidup, baru beberapa kali dia mencicipi buah apel. Buah yang terlalu mewah untuk kantongnya. Buah yang dengan susah payah berusaha ditelannya umagar Dina tidak semakin marah.

"Sudah, aku haus..!" kata Satria memberanikan diri menolak suapan apel untuk yang kedua kalinya.

"Kamu kan punya tangan, bukan bayi...!" kata Dina melotot. Tapi tak urung mengambil segelas air yang diberikannya kepada Satria yang segera duduk. Satria mengambil air dengan tangan kirinya karena tangannya masih sulit digerakkan. Baru saja gelas yang diminumnya habis, kembali Dina menyuapinya dengan potongan apel.

"Satria, kamu tidak apa ala, nak?" tanya Lastri yang tiba tiba masuk tanpa mengetuk pintu. Wajahnua terlihat cemaa melihat Satria yang tergolek lemas tidak berdaya.

"Satria gak apa apa, Bu..!" kata Satria melihat kedatangan ibunya membuat Satria bahagia setelah hampir sepuluh hari tidak bertemu. Lastri menciumi Satria, kehadiran Dina tetlewatkan begitu saja.

"Ibu bilang jangan suka berkelahi. Ibu gak suka kamu berkelahi.!" kata Lastri sambil membelai kepala Satria.

"Ini siap, Sat? Wulan mana?" tanya Lastri setelah menyadari kehadiran Dina dan dia tidak melihat Wulan menantunya.

"Ini Dina, Bu. Saudara sepupunya Wulan, anak Pak Jalu.." kata Satria memperkenalkan Dina kepada ibunya. Dina tersenyum mengulurkan tangan mengajak Lastri bersalaman.

"Saya Dina Bu, anak bungsu Pak Jalu." kata Dina sambil mencium tangan Lastri. Wajah ketus dan juteknya berganti.dengan senyum ramah yang akan membuat siapapun jatuh hati. Wanita yang aneh, dengan cepat ekspresi wajahnya berubah 180 derajat.

"Kamu anaknya, Bu Ningsih?" tanya Lastri memperhatikan wajah Dina dengan seksama.

"Bukan, Bu. Saya anaknya Bu Ratna. Bu Ningsih istri pertama ayah saya. Saya anak dari istri ke tiga." kata Dina tidak merasa malu mengatakan hal yang sebenarnya pada seseorang yang baru pertama dikenalnya.

"Och. Pak Jalu punya istri berapa?" tanya Lastri membuat Satria menjadi heran, tidak biasanya ibunya menanyakan masalah orang lain. Hal yang tiidak pernah dilakukan Lastri. Sepertinya ibunya sangat mengenal Jalu, ada hubungan apa antara ibunya dengan Jalu.

"Tiga Bu, istri ke duanya Bu Lilis..." kata Dina. Seolah dia mengatakan hal biasa, padahal itu sebuah aib untuk mereka yang berpikiran negatif.

"Bu Lilis?, bukankah Bu Lilis itu kakak kandung Bu Ningsih?" tanya Lastri kaget.

Satria semakin heran, ternyata ibunya sangat mengenal keluarga Jalu. Rasa curiganya semakin kuat, seperti ada sebuah rahasia yang ditutupi oleh ibunya selama ini. Entah apa.

"Bukan Bu, Bu Lilis kakak sepupu Bu Ningsih." kata Dina.

"Och, saya pakar Bu Ningsih dan Bu Lilis saudara sekandung." kata Lastri.

"Ibu sepertinya sangat kenal ayah saya?" tanya Dina penuh selidik. Matanya melirik ke arah Satria yang sejak tadi menjadi pendengar yang baik.

"Saya dulu sebelum Satria lahir keja di tempat Pak Jalu.." kata Lastri, matanya melihat ke arah Satria dan Satria merasa aneh dengan sorot mata ibunya. Dia sangat hafal dengan arti tatapan mata ibunya karena kedekatannya. Mereka selalu menghabiskan waktu berdua.

Satria ingat, dulu waktu masih kecil, Satria selalu diajak berjualan gorengan keliling. Bahkan menurut ibunya, sejak Satria bayi sudah diajak berjualan karena tidak ada orang yang bisa dititipi untuk merawat Satria saat bayi. Ibunya tidak punya cukup uang untuk membayar orang.

Tiba tiba pintu terbuka dan Jalu masuk dengan wajah pucat. Satria heran melihatnya. Pria yang selalu terlihat tenang sekarang seperti gelisah memikirkan sesuatu yang sangat berat. Sesuatu yang membuat wajahnya terlihat menjadi lebih tua.

"Jangan seret anakku dengan pekerjaan kotormu.!" bentak Lastri saat melihat Jalu masuk, membuat Satria terkejut. Belum pernah Satria melihat ibunya semarah itu. Dinapun terlihat kaget mendengar suara Lastri yang keras.

"Aku sudah menyuruh Satria pulang dan tidak ikut campur dengan urusanku, tapi anak ini bandel seperti ayahnya tidak...!"

"Sudah cukup...!_ Lastri memotong ucapan Jalu.

" Sudah ada kabar tentang Bu Lilis belum, Yah?" tanya Dina berusaha meredakan keadaan yang tiba tiba menjadi tegang dengan kehadiran Jalu.

"Kenapa dengan Bu Lilis?" tanya Lastri mendengar nama Lilis disebut.

Belum juga Jalu menjawab pertanyaan anaknya dan Lastri, pintu kembali terbuka dan Ningsih masuk ke dalam. Satria heran, siapa lagi yang datang. Dia belum mengenal wanita yang masuk belakanga. Wanita yang sangat cantik dan keibuan, pikir Satria.

"Bu Ningsih..!" tanya Lastri heran dengan kehadiran Ningsih. Ini seperti sebuah reuni masa lalu. Satria langsung mengerti, ini pasti Bu Ningsih istri pertama Jalu.

"Lastri..? Kamu ke mana saja? Kok kamu ada di sini?" tanya Ningsih heran dengan kehadiran Lastri yang sangat mengejutkan.

"Saya sedang bezuk anak saya.." jawab Lastri menunjuk ke arah Satria yang duduk bersandar bantal.

"Satria anak kamu? Anak.....?"

Bersambung
Epic pisan pokok na mah kang, ,,
Sllu ditunggu updatean na..
:ampun:
 
Sepertinya Lastri ngga bisa nolak lagi tawaran Jalu untuk Jadi istri ke empat .. Dina anaknya Ratna .. Cantik .. belum lagi anak Lilis juga Ningsih pasti ngga jauh beda dari bibitnya Cantik juga .. apa jadinya kalo Lastri terus-terusan nutupi kenyataan kalo Satria Adalah anaknya jalu ..
 
Bimabet
Chapter 23 : Darah Yang Mengalir



Satria tersenyum malu, apa yang dikatakan Dina ada bebarnya. Niatnya memang menolong Jalu, tapi malah celaka. Malah dia yang ditolong Jalu yang membawanya ke RS setelah sebelumnya melakukan pertolongan pertama debgan menggunakan bajunya untuk menghentikan pendarahan. Satria merasa nyaman saat Jalu menggendongnya. Ada perasaan aneh yang dia rasakan saat tubuh telanjang Satria memeknya swpanjang perjalanan ke RS. Rasa nyaman dan tenang yang belum pernah dirasakan sebelumnya sehingga Satria lupa dengan rasa sakit akibat lukanya.



Bersambung

sebuah typo yang aduhai .....

kyknya efek saat ngetik , bini lewat sambil ngibas2in daster pendek nya

ternyata ga pake kancut.....jadilah adegan....typo...hehehe
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd