Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Karma.Masa Lalu

Ceritakan masa kecilnya dina
Ceritakan masa kecilnya satria
Ceritakan masa kecilnya wulan
Ceritakan masa kecilnya ratih
Masa kecilnya syifa
Masa kecilnya.....
Abis satu nama orang satu judul
Trus biar bisa jadi satu buku 100judul nama orang
 
Ceritakan masa kecilnya dina
Ceritakan masa kecilnya satria
Ceritakan masa kecilnya wulan
Ceritakan masa kecilnya ratih
Masa kecilnya syifa
Masa kecilnya.....
Abis satu nama orang satu judul
Trus biar bisa jadi satu buku 100judul nama orang
bunuh aja om ts nya:pandaketawa::pandaketawa:
 
Chapter 39

Dina mencengkeram tangan Eko sampai kukunya yang panjang menembus kulit dan daging Eko hingga berdarah. Eko menoleh ke arahnya tanpa berusaha melepas cengkeramannya.

"Dia bukan hantu..!" kata Eko berusaha menenangkan Dina yang menatap sekelilingnya dengan jantung berdebar kencang. Tapi perkataan Eko tidak bisa mengusir rasa takut yang sudah mendekam di hatinya.

"Iya, aku tahu..!" jawab Dina berusaha berpikir dengan akal sehatnya. Mana ada hantu saat matahari masih bersinar. Dina berusaha menetralisir tmrasa takutnya dengan akal sehat. Tapi itu sia sia, rasa takut yang dialaminya kebih dominan dari pada akal sehatnya

"Pulang, yuk..!" ajak Eko sambil berusaha melepaskan tangan Dina dari pergelangan tangannya. Darahnya mulai mengering.

"Och, maaf...!" kata Dina melihat pergelangan tangan Eko yang terluka karena kukunya. Sebegitu takutnya hingga tanpa disadarinya, kukunya tertancap cukup dalam pada pergelangan tangan Eko yang tersenyum menatapnya.

"Gak apa apa, kita pulang. Kamu istirahat biar takutnya hilang." jawab Eko. Bibirnya terkatup rapat berusaha menahan tawanya.

" kita ziarah ke makam Bu Lilis, yuk...!" ajak Dina. Keinginan berziarah yang datang tiba tiba, mungkin dengan cara itu arwah Bu Lilis menjadi tenang dan tidak menghantuinya.

"Buat apa?" tanya Eko heran.

"Ya ziarah. Emang kamu bukan islam gak tau ziarah?" Dina balik bertanya. Bukankah kata ziarah adalah kata baku yang tertulis di kamus besar Bahasa Indonesia, mustahil perwira polisi tidak mengetahui hal itu.

"Kamu serius mau, ziarah?" tanya Eko heran.

"Iyaaa..!" jawab Dina memanjangkan suaranya. Mungkin dengan cara itu Bu Lilis tidak akan menghantuinya terus menerus seperti yang terjadi saat ini.

"Oke..!" jawab Eko singkat. Tidak ada perdebatan untuk saling mempertahankan pendapatnya.

Eko segera menstarter motor Dina yang dengan lincah naik ke boncengan. Perlahan motor meninggalkan Cafe. Dina memeluk pinggang Eko dengan erat, rasa takut belum juga hilang dari hatinya.

"Kamu benar benar mau berziarah?" tanya Eko kembali bertanya untuk memastikan tekad Dina yang memeluknya erat, terlalu erat karena takut.

"Iya..!" jawab Dina mulai ragu dengan keputusannya. Bagaimana kalau sampai di makam justru dia kembali bertemu dengan Lilis yang sudah menunggunya. Bukankah dia bisa kena serangan jantung dan mati berdiri di sana.

"Antar aku pulang..!" kata Dina pelan sehingga Eko tidak mendengarnya. Suaranya kalah oleh suara bising kendaraan di sekelilingnya. Motornya tetap melaju kencang membelah lalu lintas yang semakin ramai karena sudah mulai memasuki jam pulang kerja.

Sepanjang perjalanan Dina terus memejamkan mata, dia begitu takut membuka mata dan melihat Lilis melambaikan tangan ke arahnya. Setiap kali memikirkan Lilis, rasa takutnya semakin bertambah. Satu satunya yang diinginkannya adalah pulang ke rumah dan memeluk ibunya untuk mengusir rasa takut

"Din, sudah sampai....!" kata Eko menyadarkannya.

Dina membuka matanya, wajahnya langsung menjadi pucat melihat hamparan kuburan yang berada tepat di depannya. Gila, kenapa Eko malah membawanya ke area pemakaman tempat Lilis dikubur.

"Eko, kok kita ke sini..?" tanya Dina, dengkulnya genetar. Tangannya semakin kencang memeluk pinggang Eko di atas motornya.

"Loh, kan kamu yang ngajak ziarah?" tanya Eko heran dengan perubahan rencana yang sangat tiba tiba.

"Aku bilang antar aku pulang, bukan ke sini...!" kata Dina hampir menangis saking takutnya. Tanpa dapat dicegah celananya menjadi basah karena urine yang tiba tiba keluar dari memeknya.

"Dina, kamu ngompol?" tanya Eko yang merasakan celananya menjadi basah oleh air hangat.

"Aku mau, pulang...!" kata Dina setengah membentak Eko. Pria ini rupanya tuli, sudah jelas tadi dia minta diantar pulang kenapa malah diajak ke sini.

"Loh, kan tadi kamu yang ngajak ke sini?" tanya Eko heran.

"Tadi aku bilang, pulang. Kamu budek ya?" bentak Dina. Hampir saja dia menangis.

*****

Syifa menunduk gelisah melihat kehadiran Jalu bersama Satria. Ada hubungan apa Satria dengan pria yang sudah membayarnya mahal untuk menikmati kehangatan tubuh indahnya. Bagaimana kalau pria itu bercerita ke Satria? Hancurlah harapannya untuk memiliki Satria.

Apa penderitaannya belum berahir? Belum cukupkah hukuman yang telah diterima atas perbuatan nistanya. Syifa memejamkan mata menahan tangisnya, bukan untuk kematian ayahnya, tapi untuk nasibnya yang buruk.

"Ini anak, Kang Ujang?" tanya Rani menatap Satria heran.

"Ini....!" Jalu menoleh ke arah Satria.

"Ini Pakdhe saya,Bu..!" jawab Satria meneruskan jawaban Jalu. Jawaban yang terasa menohok ulu hati Jalu.

Mendengar Jalu adalah Pakdhe Satria, wajah Syifa semakin pucat dan ahirnya dia tidak lagi mampu menaahan tangisnya. Tangisan yang terasa sangat memilukan. Untung saja situasi memungkinkannya Untuk menangis dan orang tidak akan mencurigai penyebab tangisnya. Orang akan beranggapan tangisnya untuk kematian ayahnya.

"Kita ikhlaskan kepergian ayahmu..!" kata Ibunya sambil memeluk Syifa. Dua wanita ibu dan anak saling berpelukan menangis dengan tujuan yang berbeda.

"Kami turut berduka cita..!" kata Jalu, suaranya datar.

"Terimakasih..!" hanya itu yang bisa diucapkan Ibunya menerima ucapan bela sungkawa.. Sementara dua orang polisi hanya menjadi saksi adegan yang terjadi. Kematian akan selaly meninggalkan duka bagi mereka yang ditinggalkannya. Duka yang tidak akan cepat berlalu.

"Maaf Bu, bisa ibu ikut bersama kami sebentar untuk mengurus administrasi?" tanya seorang polisi yang sejak tadi menemani mereka masuk kamar mayat.

"Iiiiyya, Pak ! Kamu tunggu di sini sebentar ya..!" kata Rani kepada Syifa yang hanya mampu mengangguk lemah.

Syifa melihat kepergian ibunya dikawal oleh dua orang polisi. Aneh, kenapa Jalu mengikuti Ibunya dan meninggalkannya dengan Satria. Apa sebenarnya maksud kedatangan pria itu? Apakah rahasianya akan terbongkar dengan kedatangan pria itu.

"Sabar, ya..!" kata Satria menarik tangannya untuk duduk di bangku kayu dekat kamar mayat. Tempat ini mungkin adalah tempat yang paling menakutkan dalam situasi normal, tapi sekarang situasinya berbeda.

Syifa larut dalam kesedihan dan penderitaan yang sedang dialaminya. Bukan kematian ayah biadab yang membuatnya bersedih. Ayah biadab yang sudah nenjuap tubuhbya demi uang.

"Ayah..!" seru Syifa dengan wajah pucat melihat ayahnya berdiri di depannya.

"Mana uang hasil melacurmu, separuh adalah bagianku. Seharusnya sudah kulakukan hal ini sejak dulu. Seharusnya aku menjual perawanmu ke cukong berduit, tentu akan sangat mahal harganya. Tapi bangsat itu yang malah dapat perawanmu..!" kata ayahnya sambil merampas tas dengan kasar dan memeriksa isinya.

"Wow, satu setengah juta hanya dalam satu jam. Gila, ini separuh gajiku sebulan.!" kata ayahnya menghitung uang yang dia temukan di dalam tasnya. Tarifnya habya satu juta seperti dari pesan yang diterimanya. Yang lima ratus ribu adalah uang tip.

Syifa menangis melihat apa yang dilakukan ayahnya. Menangisi nasibnya yang begitu nista. Apakah ayahnya yang sengaja menjual dirinya? Lalu dari mana ayahnya mengetahui perawannya hilang oleh Satria? Pasti si brengsek Irfan yang memberitahunya dan pasti Irfan pula yang membujuk ayahnya untuk menjual dirinya demi uang.

"Ini bagianmu..!" kata ayahnya menyerahkan lima lembar uang seratus ribu ke arahnya.

Syifa hanya menatap uang yang berada di tangan ayahnya dengan perasaan jijik. Setega inikah ayahnya pada dirinya? Sekeji inikah ayahnya yang dengan terang terangan memanfaatkan kemolekan tubuhnya hanya untuk uang?

"Terima uang ini, kamu jangan munafik. Ibu kamu juga dulu seorang pelacur yang menjual tubuhnya demi uang." kata ayahnya mebgiris iris hatinya.

"Jaga mulutmu..!" bentak Syifa mendengar ibunya dilecehkan. Bagaimana bisa ayahnya mengatakan ibunya bekas seorang pelacur. Wanita yang sangat dihormatinya dan sudah mengabdikan hidupnya untuk ayahnya. Kenapa ayahnya justru mengatakannya sebagai seorang pelacur.


"Dia pantas, mati..!" gumam Syifa diantara isak tangisnya.

"Siapa yang pantas, mati?" tanya Satria heran. Diraihnya dagu Syifa agar bisa melihat wajah Syifa yang menangis pilu...

Syifa kaget dengan ucapan yang tidak disengajanya. Apa dia akan menceritakan kejadian yang sebenarnya je Satria sebelum Satria mendengarnya dari orang lain. Apakah dia sudah siap untuk kehilangan Satria? Tanpa dapat ditahan, tangisnya semakin keras meratapi nasibnya.

Syifa menangis dan pasrah saat Satria memeluknya. Wajahnya terbenam di dada bidang Satria, membasahi baju Satria dengan air matanya.

"Ceritakan apa yang sebenarnya terjadi...!" bisik Satria sambil membelai kepala Syifa dengan mesra. Hal yang justru membuat Syifa semaki bersedih oleh perlakuan Satria. Dia belum siap kehilangan Satria setelah pengorbanan yang dilakukannya justru membuatnya terjerumus ke lembah nista.

"Kamu janji gak akan pernah ninggalin, Syifa?" tanya Syifa mengangkat wajahnya berusaha melihat kesungguhan hati Satria.

"Iya..!" jawab Satria.

"Kamu gak, bohong?" tanya Syifa ragu. Bagaimana mungkin Satria akan menerimanya setelah mengetahui bahwa dirinya sudah dijadikan pelacur dan melayani Jalu yang adalah Pakdhenya.

"Kapan aku pernah bohong ke kamu?" jawab Satria berusaha meyakinkannya.

"Akkkku...!" Syifa tidak neneruskan perkataannya. Dia tahu, Satria melakukannya untuk menghiburnya. Dia tahu, Satria akan pergi menjauh begitu mengetahui hal yang sebenarnya. Syifa menarik nafas verusaha menghentikan tangisnya.

*********

"Teh Sri, aku mau istirahat dulu, ya..! Perutku mual..!" kata Wulan menyuruh Sri melanjutkan pekerjaannya di meja kasir. Dia ingin merebahkan tubuhnya untuk menghilangkan rasa mual yang berusaha ditahannya dari tadi.

"Iya, Teh. Istirahat saja." jawab Sri yang sudah tahu apa yang harus dikerjakannya.

Wulan segera naek ke atas menuju kamarnya. Hatinya mulai jengkel karena Satria belum juga pulang. Pasti sedang asik asikan dengan cewek brengsek itu. Rupanya pelajaran yang diberikannya tidak membuat gadis itu jera.

Sesampainya di kamar, Wulan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Matanya melihat jam dinding yang menunjukan angka 19.30. Seharusnya Satria sudah pulang dari tadi, satu satunya kabar yang diterimanya dari Satria adalah ada seorang temannya yang orang tuanya kecelakaan dan mati di tempat kejadian. Satria sedang berada di tempat temannya. Alasan yang mau tidak mau harus diterimanya.

Pikirannya kembali terusik dengan perdebatan singkat antara dia dengan Pakdhenya. Kenapa Pakdhenya begitu membela Satria dan menganggapnya wajar kalau Satria mempunyai istri lebih dari satu. Apa karena Jalu melihat dari kaca mata dirinya yang mempunyai tiga orang istri. Tapi bukan berarti Jalu harus membiarkannya mengalami nasib dimadu. Dia adalah keponakannya, sudah seharusnya Jalu membelanya bukan malah membela Satria.

Tapi tunggu dulu, tadi Jalu mengutarakan niatnya untuk menikahi Lastri mertuanya. Apakah itu berarti kecurigaannya benar bahwa Satria adalah anak Jalu dan itu berarti Satria adalah saudara sepupunya. Satria adalah anak hasil hubungan gelap Jalu dan Lastri. Tapi kenapa mereka berdua sengaja merahasiakannya dari Satria yang sepertinya memang tidak tahu hal itu. Dan saat mereka menikah Satria menyebutkan binnya adalah Ujang, bukan Jalu. Wulan baru sadar, Bu Lilis dan Bu Ningsih selalu memanggil Pakdhenya dengan sebutan A Ujang.

Pernikahan mereka yang terjadi di Gunung Kemukus terjadi begitu tiba tiba. Mbahnya begitu mudah memaksanya menikah dengan Satria, hal yang menurutnya sangat aneh. Seperti ada yang mengaturnya. Apa itu Jalu? Jalu yang sengaja mengatur pernikahannya dengan Satria, lalu untuk apa? Bukankah itu artinya dia dan Satria saudara sepupu? Apakah boleh menikah dengan saudara sepupu? Sepertinya dia harus melihat di google.

Ketukan di pintu kamar membuyarkan lamunan Wulan, dengan malas Wulan bangun dan menuju pintu kamar yang tertutup. Pasti yang datang bukan Satria, kalau Satria yang datang dia pasti sudah masuk tanpa menunggu dibukakan pintu.

"Ada apa, Bu?" tanya Wulan melihat Lastri berdiri di depan pintu dengan senyum lembut keibuan. Senyum yang sempat hipang dari hidupnya setelah kematian ibunya kini hadir lagi dalam sosok berbeda. Sosok ibu mertuanya.

"Ada yang nyari kamu, katanya mereka teman temannya Satria..!" kata Lastri, wajahnya terlihat agak cemas.

"Siapa, Bu?" tanya Wulan tanpa menunggu jawaban dari Lastri, dia merangkul pundak Lastri berjalan ke ruang tamu. Tapi tidak ada orang disana, itu artinya mereka masih di bawah.

"Siapa yang nyari Bu? Nyari Wulan apa Satria?" tanya Wulan heran. Selama ini belum pernah ada teman Satria yang datang. Kalaupun ada mereka adalah para preman yang sekarang sudah menjadi anak buah Satria. Apa mereka yang datang.

"Ibu gak kenal. Mereka gak ngasih tahu. Tapi kalau dilihat dari penampipan, mereka seperti preman. Ibu takut Satria ikut ikutan jadi gak benar..!" kata Lastri, kegelisahan terlihat jelas di wajahnya yang cantik. Usia membuat kecabtikannya semakin matang.

"Ibu gak usah hawatir, Satria gak akan macam macam. Mungkin mereka datang masalah uang keamanan." jawab Wulan sambil memaki dirinya yang menyinggung uang keamanan. Tentu hal itu akan membuat Lastri semakin curiga.

"Uang keamanan apa?" tanya Lastri saat mereka berjalan menuruni anak tangga yang sempit sehingga mau tidak mau Wulan berjalan mendahului Lastri.

"Mereka biasanya minta uang keamanan ke setiap Toko yang berada di daerah sini." jawab Wulan. Jawaban yang diharapkan mampu menenangkan hati Lastri.

"Och..!" hanya itu respon yang diperlihatkan Lastri. Respon daru seorang ibu yang menyimpan tanda tanya besar yang hanya dimengerti olehnya.

"Siapa yang mencari Satria?" tanya Wulan ke Sri yang duduk di depan meja kasir.

"Itu di depan, Teh..!" jawab Sri menunjuk dua orang pria yang berdiri membelakangi Toko.

"Ibu tunggu di sini, ya..!" kata Wulan tersenyum ke arah Lastri yang tidak bisa menyembunyikan kecemasannya.

Tanpa menunggu jawaban, Wulan berjalan menghampiri ke dua orang yang berdiri membelakangi Toko. Hatinya mengeluh menyadari Lastri yang mengikutinya dari belakang. Seharusnya ibu mertuanya itu tidak perlu mengikutinya. Apakah ini karena naluri seorang ibu yang ingin mengetahui semua yang berkaitan dengan anaknya.

Seperti menyadari kehadirannya, ke dua orang yang menunggunya berbalik ke arahnya. Benar, mereka adalah para preman yang selalu meminta uang keamanan dan sekarang mereka adalah anak buah Satria.

"Ada apa? Uang keamanan baru besok mau diantar suamiku. Sekarang suamiku masih ada urusan.!" kata Wulan sambil mengedipkan sebelah matanya. Hatinya berdoa semoga ke dua orang yang berdiri di hadapannya ini mengerti arti kedipan matanya.

"Mau apa kalian?" tanya Satria yang tiba tiba datang dan menghentikan motornya tepat di samping ke dua preman.

"Biasa, paling juga mau minta uang keamanan. Wupan sudah bilang ke mereka, uang keamanan baru bisa diantar besok." kata Wulan kembali mengedipkan mata ke arah Satria dan juga ke dua orang yang berdiri bingung.

"Kalian pulang sana, bilang ke bos kalian, besik aku datang." kata Satria yang mulai menyadari sandiwara yang sedang dilakukan Wulan.

Bersambung
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd