Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Karma.Masa Lalu

Bimabet
Akhirnya kembali lagi hu, dri kemarin nyari ampe page belakng ga ada-ada
Di tunggu update nya hu
 
Chapter 17 : Mas Kawin Rp. 7.000

Menikah dengan modal uang logam 7 ribu, ini gila dan hanya ada dalam dongeng dongeng dalam buku cerita yang dibacanya. Dongeng dongeng indah yang selalu menghiasi mimpinya sebelum tidur. Dongeng dongeng indah yang menjadi kebahagiaan semunya setiap kali menghadapi kenyataan yang pahit. Satria menatap Wulan yang berdiri di hadapannya, kecantikannya ibarat putri dalam dongeng. Satria ragu mengatakan hal yang sebenarnya, tapi tidak ada pilihan lain.

"Kemarin waktu berangkat aku salah ngambil dompet, hanya ada uang Rp. 7.000 yang kupunya." Satria berkata sambil memperlihatkan uang logam yang berada dalam genggaman tangannya. Harta paling berharga yang saat ini dia miliki.

"Itu sudah cukup untuk jadi maskawin, aku tidak butuh mas kawin dengan jumlah fantastis. Aku hanya butuh status sebagai istrimu." kata Wulan tertawa merdu melegakan Satria yang sedang gelisah. Persoalan selesai.

Wulan membibing tangan Satria ke ruang tamu yang sudah mulai dipadati para tetangga yang sengaja diundang untuk menyaksikan momen bahagia ini. Momen yang sangat ditunggu tunggu oleh Si Mbah yang ingin melihat cucu bungsunya menikah dan memiliki pendamping yang akan menjaga dan membahagiakannya. Momen yang ditunggunya sebelum maut merenggutnya dari kehidupan yang fana dan dia merasa ajalnya sudah semakin dekat. Tidak ada waktu lagi untuk menunda.

Prosesi pernikahan berlangsung dengan hikmat walau bukan pernikahan yang akan tercatat di KUA, itu bisa menyusul nanti. Sekarang yang penting sah berdasarkan agama yang mereka anut. Tidak akan ada lagi perzinahan di antara mereka berdua.

"Saya terima nikahnya Satria bin Ujang dengan Wulan Dheandra bin Yanto dengan mas kawin uang sebesar Rp. 7.000 dibayar tunai.!" satria mengikuti apa yang diucapkan penghulu dengan suara keras lalu mengecil saat mengatakan jumlah mas kawin yang harus dibayarnya.

"Sah..!" ucap penghulu kepada seluruh saksi yang berbarengan mengucapkan diikuti oleh semua yang hadir. Prosesi ditutup dengan do'a.

Setelah semua tamu pergi, Wulan mengajak Satria masuk ke dalam kamar yang paling mewah karena kusennya yang terbuat dari kayu jati yang berukir indah.

"Ini kamar kamu?" tanya Satria takjub dengan dekorasi kamar yang berkesan mewah dan antik dengan berbagai macam ukiran kayu jati yang berusia puluhan tahun, lebih tua dari usianya sendiri.

"Bukan, ini kamar Pakdhe, sebagai anak lelaki satu satunya dan anak tertua dari Mbah Kung, rumah ini jadi miliknya." kata Wulan memeluk suaminya dengan hati bahagia. Berharap pria ini menjadi pria terahir dalam hidupnya, satu satunya pria yang menjadi suami.

"Kok kita masuk kamar ini?" tanya Satria heran, kamar ini memberi kesan sakral yang seperti begitu akrab dengan alam bawah sadarnya. Ada sesuatu yang tidak terlihat membuatnya merasa nyaman dengan kamar ini.

"Wulan semalam nelpon Pakdhe, katanya selama kita di sini boleh menggunakan kamar ini. Pakdhe akan menyiapkan pernikahan ke dua kita di Bogor agar terdaftar di KUA." kata Wulan tersenyum bahagia. Tangannya mempermainkan uang logam yang menjadi mas kawinnya. Beberapa kali dia menghitung uang logam yang jumlahnya tetap sama. Tidak berkurang maupun lebih. Dengan sangat hati hati Wulan megikat uang logam itu dalam sapu tangannya yang berwarna putih bersih. Lalu menyimpanya di dalam tas. Sekali lagi Wulan memastikan sapu tangan berisi uang itu tersimpan dengan rapih di dalam tasnya.

*****

Jalu mengangkat telpon yang berbunyi nyaring, di layar tertulis nama Desy. Telpon yang biasanya penting dan tidak bisa diabaikannya begitu saja. Sama pentingnya dengan orang yang menelpon. Desy bukan hanya sekedar adik sepupu, lebih dari itu.

"Ada apa, Des?" tanya Jalu.

"Mayat Japra ditemukan di perkebunan karet dengan luka tusuk yang menembus jantungnya.!" suara Desy terdengar tanpa ekspresi. Saat seperti inilah Desy akan berubah menjadi sosok yang mengerikan. Sebuah ancaman tersembunyi dibalik suaranya yang datar.

"Kita bertemu di tempat bias, swkarang." kataku mengambil keputusan. Kematian Japra bukan kabar baik. Kematian Japra adalah sebuah ancaman bagi dirinya dan juga keluarganya. Nalurinya yang sudah semakin terasah mengatakan itu. Jalu tidak tahu kenapa dia merasa begitu, selama ini dia bergerak mengandalkan intuisinya belaka dan itu yang membuat Lilis merasa jengkel walaupun kadang kala Lilis mengakui intuisinya benar dan tidak terbantahkan.

Jalu menutup telpon, dengan langkah tenang Jalu meninggalkan kamar kerjanya untuk menemui istri tercinta Ningsih, tidak perlu menunggu Lilis pulang karena kemungkinan isttri keduanya malam ini tidak akan pulang.

"Ning...!" Jalu memeluk Ningsih dari belakang, istri tercintanya begitu asyik menonton TV yang menyiarkan acar kesukaanya sehingga tidak menyadari kehadiran Jalu dari belakang.

"A Ujang suka ngangetin aja..!" kata Ningsih mencubit gemas tangan Jalu yang melingkar di dadanya. Mereka tidak ubahnya seperti pengantin baru saat sedang berduaan dan kesempatan untuk berduaan selalu ada sejak dua anak perempuan Jalu dari Ningsih dan Lilis memilih kuliah di luar kota.

"Aa ada urusan mau keluar dulu." kata Jalu sambil menciumi pipinya yang masih kencang dan halus.

Tidak ada kata yang terucap dari mulut Ningsih saat melepasnya pergi. Jalu tahu, itu bentuk kekecewaan Ningsih yang tidak pernah diucapkannya. Selalu tersimpan rapat di hatinya yang lembut dan Jalu sudah sangat hafal hal itu. Jalu menjalankan mpbil perlahan meninggalkan Ningsih yang berdiri mematung melepas kepergiannya hingga mobilnya tidak terlihat, barulah Ningsih akan masuk ke dalam rumah.

Waktu yang ditempuh menuju tempat yang biasa digunakan untuk melepaskan hasratnya dengan Desy hanyalah satu jam. Tiba di sebuah penginapan yang sebagian saham adalah miliknya. Hanya sebuah hotel kelas melati yang menyediakan sewa kamar jam jaman sekedar melepas hasrat seksual. Tempat pertama kali Jalu mengetahui rahasia mendiang Pak Budi yang ternyata seorang homo.

Jalu berdiri mematung di depan pintu kamar yang tertutup. Pintu kamar yang sama saat pertama kali dia menginap di kamar ini dengan Lilis, memadu birahi sepanjang malam. Kenangan itu kembali mengusik Jalu, sebuah kejadian yang perlahan merubah dirinya menjadi seperti sekarang. Jalu merindukan masa masa itu. Masa dia bebas bergerak tanpa takut ada seseorang yang akan menikamnya dari belakang. Tanpa takut ada seseorang yang menghianatinya.

Perlahan Jalu mengetuk pintu kamar dengan irama tertentu, sebuah kode yang menyerupai sandi morse yang pernah dipelajarinya saat menjadi seorang pramuka. Pintu kamar terbuka, Desy tersenyum menyambut kedatangannya. Jalu tidak melihat sosok seorang perwira menengah polisi yang cemerlang. Yang berdiri di hadapannya adalah sosok Desy yang laim, sosok Desy yang dikenalnya binal dengan berpakain baju tidur yang transparan sehimgga bagian dalamnya membayang samar.

"Aa, kenapa ngeliatin Desy seperti tidak pernah liat Desy telanjang..!" kata Desy menyadarkan Jalu yang sempat terpesona oleh penampilannya yang mengundang birahi.

Jalu tersenyum dan melangkah masuk ke dalam kamar yang cukup luas. Desy langsung memeluknya dengan bernafsu dan selalu begitu setiap kali mereka bertemu, bukan hanya sekedar mulut yang berbicara, bahkan setiap anggota tubuh mereka yang paling intim akan ikut bicara tanpa batas dan tanpa etika.

"Kita obrolin masalah kematian Japra, dulu!" kata berusaha menghimdari ciuman Desy yang bertubi tubi karena birahinya sudah menuntut penyaluran.

"Nanti saja, puasin Desy dulu..!" kata Desy tidak mau menyerah, tangannya begitu terampil menelanjangi Jalu yang menyerah kalah. Dalam sekejap, Jalu sudah polos dihadapin Desy yang segera melepas baju tidurnya, hanya itulah yang menutupi kemolekan tubuhnya.

Tanpa membuang waktu yang terasa sangat berharga, Desy berjongkok di selangkangan Jalu, dibelainya kontol yang telah memerawani memeknya 25 tahun silam. Kontol yang selalu dirindukannya walau kini dia sudah mempunyai seorang suami dan dikaruniai dua orang putri yang beranjak remaja.

Jalu mengerang nikmat saat Desy menjilati kontolnya hingga tidak ada bagian yang terlewat, kebinalannya tidak hilang bahkan semakin liar. Setiap kali mereka bertemu, Desy selalu menuntut untuk dipuaskan dan Jalu tidak pernah menolaknya. Karena diapun sangat menikmati petualangan yang fantastis ini.

"Sudah, Des....!" Jalu menarik Desy agar berdiri dan tanpa memberi kesempatan Jalu mengangkat tubuh langsing Desy yang tetap terawat, merebahkannya ke atas spring bed empuk yang sebentar lagi akan bergoyang keras mengiringi pergumulan mereka.

Desy langsung membuka selangkangannya selebar yang dia bisa, Jalu mengerti apa yang diinginkannya. Dengan santai Jalu membenamkan wajahnya di belahan memek Desy, lidahnya mulai menjilati setiap bagian memek yang sekarang gundul karena rutin dicukur. Tidak seperti dulu, memek Desy lebat ditumbuhi bulu.

"Terus A, ennak..!" Jalu semakin bersemangat menjilati memek Desy, memek yang sudah sangat dikenalnya sejak Desy berusia 16 tahun. Memek yang secara suka rela melepas keperawanannya.

Jalu tidak mampu lagi menahan nafsunya melihat memek Desy yang semakin basah oleh lendir birahi, tanpa meminta persetujuan, Jalu merangkak di atas tubuh Desy dan langsung memasukkan kontolnya ke lembah sempit memek Desy yang akan memberi sejuta kenikmatan.

"A Ujang...!" Desy merintih nikmat saat kontol Jalu menerobos memeknya dengan pelan menggapai bagian terdalamnya.

Jalu tersenyum menatal Desy yang memejamkan mata, di matanya Desy tetaplah gadis remaja yang manja yang selalu meminta untuk dipuaskan. Jalu mulai memompa kontolnya dengan le.but dan semakin lama semakin cepat untuk memberikan kenikmatan maksimal yang mampu membawa Desy ke pumcak tertinggi kenikmatan dambaan setiap wanita. Dia harus menaklukan Desy secepatnya agar tabira kematian Japra bisa diketahuinya.

"Terusss, A, ennnak. Kontol A Ujang benar benar nikmat....!" Desy menyambut hentakan kontol Jalu dengan mengangkat pinggulnya setinggi yang dia bisa.

Jalu semakin termotivasi menaklukkan Desy, pompaannya semakin cepat dan bertenaga, seperti Bi Narsih, Desy sangat menyukai kocokan yang cepat dan bertenaga. Sehingga dia bisa secepatnya mendapatkan orgasme.

******

Di sebuah tempat seorang pria yang berwajah dingin tanpa espresi masuk ke dalam ruangan kerja seseorang yang belum pernah dilihat wajahnya. Seseorang yang sangat misterius dan sangat menakutkan. Seseorang yang mengendalikan dunia bawah dengan tangan besinya. Seseorang yang sangat licik dan cerdas.

"Japra sudah dilenyapkan,...!" kata pria berwajah dingin itu menatap punggung orang yang berdiri memandang keluar lewat jendela yang terbuka.

Bersambung gan.

Episode pemanasan setelah akun kembali lagi.
 
Chapter 17 : Mas Kawin Rp. 7.000

Menikah dengan modal uang logam 7 ribu, ini gila dan hanya ada dalam dongeng dongeng dalam buku cerita yang dibacanya. Dongeng dongeng indah yang selalu menghiasi mimpinya sebelum tidur. Dongeng dongeng indah yang menjadi kebahagiaan semunya setiap kali menghadapi kenyataan yang pahit. Satria menatap Wulan yang berdiri di hadapannya, kecantikannya ibarat putri dalam dongeng. Satria ragu mengatakan hal yang sebenarnya, tapi tidak ada pilihan lain.

"Kemarin waktu berangkat aku salah ngambil dompet, hanya ada uang Rp. 7.000 yang kupunya." Satria berkata sambil memperlihatkan uang logam yang berada dalam genggaman tangannya. Harta paling berharga yang saat ini dia miliki.

"Itu sudah cukup untuk jadi maskawin, aku tidak butuh mas kawin dengan jumlah fantastis. Aku hanya butuh status sebagai istrimu." kata Wulan tertawa merdu melegakan Satria yang sedang gelisah. Persoalan selesai.

Wulan membibing tangan Satria ke ruang tamu yang sudah mulai dipadati para tetangga yang sengaja diundang untuk menyaksikan momen bahagia ini. Momen yang sangat ditunggu tunggu oleh Si Mbah yang ingin melihat cucu bungsunya menikah dan memiliki pendamping yang akan menjaga dan membahagiakannya. Momen yang ditunggunya sebelum maut merenggutnya dari kehidupan yang fana dan dia merasa ajalnya sudah semakin dekat. Tidak ada waktu lagi untuk menunda.

Prosesi pernikahan berlangsung dengan hikmat walau bukan pernikahan yang akan tercatat di KUA, itu bisa menyusul nanti. Sekarang yang penting sah berdasarkan agama yang mereka anut. Tidak akan ada lagi perzinahan di antara mereka berdua.

"Saya terima nikahnya Satria bin Ujang dengan Wulan Dheandra bin Yanto dengan mas kawin uang sebesar Rp. 7.000 dibayar tunai.!" satria mengikuti apa yang diucapkan penghulu dengan suara keras lalu mengecil saat mengatakan jumlah mas kawin yang harus dibayarnya.

"Sah..!" ucap penghulu kepada seluruh saksi yang berbarengan mengucapkan diikuti oleh semua yang hadir. Prosesi ditutup dengan do'a.

Setelah semua tamu pergi, Wulan mengajak Satria masuk ke dalam kamar yang paling mewah karena kusennya yang terbuat dari kayu jati yang berukir indah.

"Ini kamar kamu?" tanya Satria takjub dengan dekorasi kamar yang berkesan mewah dan antik dengan berbagai macam ukiran kayu jati yang berusia puluhan tahun, lebih tua dari usianya sendiri.

"Bukan, ini kamar Pakdhe, sebagai anak lelaki satu satunya dan anak tertua dari Mbah Kung, rumah ini jadi miliknya." kata Wulan memeluk suaminya dengan hati bahagia. Berharap pria ini menjadi pria terahir dalam hidupnya, satu satunya pria yang menjadi suami.

"Kok kita masuk kamar ini?" tanya Satria heran, kamar ini memberi kesan sakral yang seperti begitu akrab dengan alam bawah sadarnya. Ada sesuatu yang tidak terlihat membuatnya merasa nyaman dengan kamar ini.

"Wulan semalam nelpon Pakdhe, katanya selama kita di sini boleh menggunakan kamar ini. Pakdhe akan menyiapkan pernikahan ke dua kita di Bogor agar terdaftar di KUA." kata Wulan tersenyum bahagia. Tangannya mempermainkan uang logam yang menjadi mas kawinnya. Beberapa kali dia menghitung uang logam yang jumlahnya tetap sama. Tidak berkurang maupun lebih. Dengan sangat hati hati Wulan megikat uang logam itu dalam sapu tangannya yang berwarna putih bersih. Lalu menyimpanya di dalam tas. Sekali lagi Wulan memastikan sapu tangan berisi uang itu tersimpan dengan rapih di dalam tasnya.

*****

Jalu mengangkat telpon yang berbunyi nyaring, di layar tertulis nama Desy. Telpon yang biasanya penting dan tidak bisa diabaikannya begitu saja. Sama pentingnya dengan orang yang menelpon. Desy bukan hanya sekedar adik sepupu, lebih dari itu.

"Ada apa, Des?" tanya Jalu.

"Mayat Japra ditemukan di perkebunan karet dengan luka tusuk yang menembus jantungnya.!" suara Desy terdengar tanpa ekspresi. Saat seperti inilah Desy akan berubah menjadi sosok yang mengerikan. Sebuah ancaman tersembunyi dibalik suaranya yang datar.

"Kita bertemu di tempat bias, swkarang." kataku mengambil keputusan. Kematian Japra bukan kabar baik. Kematian Japra adalah sebuah ancaman bagi dirinya dan juga keluarganya. Nalurinya yang sudah semakin terasah mengatakan itu. Jalu tidak tahu kenapa dia merasa begitu, selama ini dia bergerak mengandalkan intuisinya belaka dan itu yang membuat Lilis merasa jengkel walaupun kadang kala Lilis mengakui intuisinya benar dan tidak terbantahkan.

Jalu menutup telpon, dengan langkah tenang Jalu meninggalkan kamar kerjanya untuk menemui istri tercinta Ningsih, tidak perlu menunggu Lilis pulang karena kemungkinan isttri keduanya malam ini tidak akan pulang.

"Ning...!" Jalu memeluk Ningsih dari belakang, istri tercintanya begitu asyik menonton TV yang menyiarkan acar kesukaanya sehingga tidak menyadari kehadiran Jalu dari belakang.

"A Ujang suka ngangetin aja..!" kata Ningsih mencubit gemas tangan Jalu yang melingkar di dadanya. Mereka tidak ubahnya seperti pengantin baru saat sedang berduaan dan kesempatan untuk berduaan selalu ada sejak dua anak perempuan Jalu dari Ningsih dan Lilis memilih kuliah di luar kota.

"Aa ada urusan mau keluar dulu." kata Jalu sambil menciumi pipinya yang masih kencang dan halus.

Tidak ada kata yang terucap dari mulut Ningsih saat melepasnya pergi. Jalu tahu, itu bentuk kekecewaan Ningsih yang tidak pernah diucapkannya. Selalu tersimpan rapat di hatinya yang lembut dan Jalu sudah sangat hafal hal itu. Jalu menjalankan mpbil perlahan meninggalkan Ningsih yang berdiri mematung melepas kepergiannya hingga mobilnya tidak terlihat, barulah Ningsih akan masuk ke dalam rumah.

Waktu yang ditempuh menuju tempat yang biasa digunakan untuk melepaskan hasratnya dengan Desy hanyalah satu jam. Tiba di sebuah penginapan yang sebagian saham adalah miliknya. Hanya sebuah hotel kelas melati yang menyediakan sewa kamar jam jaman sekedar melepas hasrat seksual. Tempat pertama kali Jalu mengetahui rahasia mendiang Pak Budi yang ternyata seorang homo.

Jalu berdiri mematung di depan pintu kamar yang tertutup. Pintu kamar yang sama saat pertama kali dia menginap di kamar ini dengan Lilis, memadu birahi sepanjang malam. Kenangan itu kembali mengusik Jalu, sebuah kejadian yang perlahan merubah dirinya menjadi seperti sekarang. Jalu merindukan masa masa itu. Masa dia bebas bergerak tanpa takut ada seseorang yang akan menikamnya dari belakang. Tanpa takut ada seseorang yang menghianatinya.

Perlahan Jalu mengetuk pintu kamar dengan irama tertentu, sebuah kode yang menyerupai sandi morse yang pernah dipelajarinya saat menjadi seorang pramuka. Pintu kamar terbuka, Desy tersenyum menyambut kedatangannya. Jalu tidak melihat sosok seorang perwira menengah polisi yang cemerlang. Yang berdiri di hadapannya adalah sosok Desy yang laim, sosok Desy yang dikenalnya binal dengan berpakain baju tidur yang transparan sehimgga bagian dalamnya membayang samar.

"Aa, kenapa ngeliatin Desy seperti tidak pernah liat Desy telanjang..!" kata Desy menyadarkan Jalu yang sempat terpesona oleh penampilannya yang mengundang birahi.

Jalu tersenyum dan melangkah masuk ke dalam kamar yang cukup luas. Desy langsung memeluknya dengan bernafsu dan selalu begitu setiap kali mereka bertemu, bukan hanya sekedar mulut yang berbicara, bahkan setiap anggota tubuh mereka yang paling intim akan ikut bicara tanpa batas dan tanpa etika.

"Kita obrolin masalah kematian Japra, dulu!" kata berusaha menghimdari ciuman Desy yang bertubi tubi karena birahinya sudah menuntut penyaluran.

"Nanti saja, puasin Desy dulu..!" kata Desy tidak mau menyerah, tangannya begitu terampil menelanjangi Jalu yang menyerah kalah. Dalam sekejap, Jalu sudah polos dihadapin Desy yang segera melepas baju tidurnya, hanya itulah yang menutupi kemolekan tubuhnya.

Tanpa membuang waktu yang terasa sangat berharga, Desy berjongkok di selangkangan Jalu, dibelainya kontol yang telah memerawani memeknya 25 tahun silam. Kontol yang selalu dirindukannya walau kini dia sudah mempunyai seorang suami dan dikaruniai dua orang putri yang beranjak remaja.

Jalu mengerang nikmat saat Desy menjilati kontolnya hingga tidak ada bagian yang terlewat, kebinalannya tidak hilang bahkan semakin liar. Setiap kali mereka bertemu, Desy selalu menuntut untuk dipuaskan dan Jalu tidak pernah menolaknya. Karena diapun sangat menikmati petualangan yang fantastis ini.

"Sudah, Des....!" Jalu menarik Desy agar berdiri dan tanpa memberi kesempatan Jalu mengangkat tubuh langsing Desy yang tetap terawat, merebahkannya ke atas spring bed empuk yang sebentar lagi akan bergoyang keras mengiringi pergumulan mereka.

Desy langsung membuka selangkangannya selebar yang dia bisa, Jalu mengerti apa yang diinginkannya. Dengan santai Jalu membenamkan wajahnya di belahan memek Desy, lidahnya mulai menjilati setiap bagian memek yang sekarang gundul karena rutin dicukur. Tidak seperti dulu, memek Desy lebat ditumbuhi bulu.

"Terus A, ennak..!" Jalu semakin bersemangat menjilati memek Desy, memek yang sudah sangat dikenalnya sejak Desy berusia 16 tahun. Memek yang secara suka rela melepas keperawanannya.

Jalu tidak mampu lagi menahan nafsunya melihat memek Desy yang semakin basah oleh lendir birahi, tanpa meminta persetujuan, Jalu merangkak di atas tubuh Desy dan langsung memasukkan kontolnya ke lembah sempit memek Desy yang akan memberi sejuta kenikmatan.

"A Ujang...!" Desy merintih nikmat saat kontol Jalu menerobos memeknya dengan pelan menggapai bagian terdalamnya.

Jalu tersenyum menatal Desy yang memejamkan mata, di matanya Desy tetaplah gadis remaja yang manja yang selalu meminta untuk dipuaskan. Jalu mulai memompa kontolnya dengan le.but dan semakin lama semakin cepat untuk memberikan kenikmatan maksimal yang mampu membawa Desy ke pumcak tertinggi kenikmatan dambaan setiap wanita. Dia harus menaklukan Desy secepatnya agar tabira kematian Japra bisa diketahuinya.

"Terusss, A, ennnak. Kontol A Ujang benar benar nikmat....!" Desy menyambut hentakan kontol Jalu dengan mengangkat pinggulnya setinggi yang dia bisa.

Jalu semakin termotivasi menaklukkan Desy, pompaannya semakin cepat dan bertenaga, seperti Bi Narsih, Desy sangat menyukai kocokan yang cepat dan bertenaga. Sehingga dia bisa secepatnya mendapatkan orgasme.

******

Di sebuah tempat seorang pria yang berwajah dingin tanpa espresi masuk ke dalam ruangan kerja seseorang yang belum pernah dilihat wajahnya. Seseorang yang sangat misterius dan sangat menakutkan. Seseorang yang mengendalikan dunia bawah dengan tangan besinya. Seseorang yang sangat licik dan cerdas.

"Japra sudah dilenyapkan,...!" kata pria berwajah dingin itu menatap punggung orang yang berdiri memandang keluar lewat jendela yang terbuka.

Bersambung gan.

Episode pemanasan setelah akun kembali lagi.
Kamana wae Atuh kang......
2 minggu sepi pisan..
 
Chapter 17 : Mas Kawin Rp. 7.000

Menikah dengan modal uang logam 7 ribu, ini gila dan hanya ada dalam dongeng dongeng dalam buku cerita yang dibacanya. Dongeng dongeng indah yang selalu menghiasi mimpinya sebelum tidur. Dongeng dongeng indah yang menjadi kebahagiaan semunya setiap kali menghadapi kenyataan yang pahit. Satria menatap Wulan yang berdiri di hadapannya, kecantikannya ibarat putri dalam dongeng. Satria ragu mengatakan hal yang sebenarnya, tapi tidak ada pilihan lain.

"Kemarin waktu berangkat aku salah ngambil dompet, hanya ada uang Rp. 7.000 yang kupunya." Satria berkata sambil memperlihatkan uang logam yang berada dalam genggaman tangannya. Harta paling berharga yang saat ini dia miliki.

"Itu sudah cukup untuk jadi maskawin, aku tidak butuh mas kawin dengan jumlah fantastis. Aku hanya butuh status sebagai istrimu." kata Wulan tertawa merdu melegakan Satria yang sedang gelisah. Persoalan selesai.

Wulan membibing tangan Satria ke ruang tamu yang sudah mulai dipadati para tetangga yang sengaja diundang untuk menyaksikan momen bahagia ini. Momen yang sangat ditunggu tunggu oleh Si Mbah yang ingin melihat cucu bungsunya menikah dan memiliki pendamping yang akan menjaga dan membahagiakannya. Momen yang ditunggunya sebelum maut merenggutnya dari kehidupan yang fana dan dia merasa ajalnya sudah semakin dekat. Tidak ada waktu lagi untuk menunda.

Prosesi pernikahan berlangsung dengan hikmat walau bukan pernikahan yang akan tercatat di KUA, itu bisa menyusul nanti. Sekarang yang penting sah berdasarkan agama yang mereka anut. Tidak akan ada lagi perzinahan di antara mereka berdua.

"Saya terima nikahnya Satria bin Ujang dengan Wulan Dheandra bin Yanto dengan mas kawin uang sebesar Rp. 7.000 dibayar tunai.!" satria mengikuti apa yang diucapkan penghulu dengan suara keras lalu mengecil saat mengatakan jumlah mas kawin yang harus dibayarnya.

"Sah..!" ucap penghulu kepada seluruh saksi yang berbarengan mengucapkan diikuti oleh semua yang hadir. Prosesi ditutup dengan do'a.

Setelah semua tamu pergi, Wulan mengajak Satria masuk ke dalam kamar yang paling mewah karena kusennya yang terbuat dari kayu jati yang berukir indah.

"Ini kamar kamu?" tanya Satria takjub dengan dekorasi kamar yang berkesan mewah dan antik dengan berbagai macam ukiran kayu jati yang berusia puluhan tahun, lebih tua dari usianya sendiri.

"Bukan, ini kamar Pakdhe, sebagai anak lelaki satu satunya dan anak tertua dari Mbah Kung, rumah ini jadi miliknya." kata Wulan memeluk suaminya dengan hati bahagia. Berharap pria ini menjadi pria terahir dalam hidupnya, satu satunya pria yang menjadi suami.

"Kok kita masuk kamar ini?" tanya Satria heran, kamar ini memberi kesan sakral yang seperti begitu akrab dengan alam bawah sadarnya. Ada sesuatu yang tidak terlihat membuatnya merasa nyaman dengan kamar ini.

"Wulan semalam nelpon Pakdhe, katanya selama kita di sini boleh menggunakan kamar ini. Pakdhe akan menyiapkan pernikahan ke dua kita di Bogor agar terdaftar di KUA." kata Wulan tersenyum bahagia. Tangannya mempermainkan uang logam yang menjadi mas kawinnya. Beberapa kali dia menghitung uang logam yang jumlahnya tetap sama. Tidak berkurang maupun lebih. Dengan sangat hati hati Wulan megikat uang logam itu dalam sapu tangannya yang berwarna putih bersih. Lalu menyimpanya di dalam tas. Sekali lagi Wulan memastikan sapu tangan berisi uang itu tersimpan dengan rapih di dalam tasnya.

*****

Jalu mengangkat telpon yang berbunyi nyaring, di layar tertulis nama Desy. Telpon yang biasanya penting dan tidak bisa diabaikannya begitu saja. Sama pentingnya dengan orang yang menelpon. Desy bukan hanya sekedar adik sepupu, lebih dari itu.

"Ada apa, Des?" tanya Jalu.

"Mayat Japra ditemukan di perkebunan karet dengan luka tusuk yang menembus jantungnya.!" suara Desy terdengar tanpa ekspresi. Saat seperti inilah Desy akan berubah menjadi sosok yang mengerikan. Sebuah ancaman tersembunyi dibalik suaranya yang datar.

"Kita bertemu di tempat bias, swkarang." kataku mengambil keputusan. Kematian Japra bukan kabar baik. Kematian Japra adalah sebuah ancaman bagi dirinya dan juga keluarganya. Nalurinya yang sudah semakin terasah mengatakan itu. Jalu tidak tahu kenapa dia merasa begitu, selama ini dia bergerak mengandalkan intuisinya belaka dan itu yang membuat Lilis merasa jengkel walaupun kadang kala Lilis mengakui intuisinya benar dan tidak terbantahkan.

Jalu menutup telpon, dengan langkah tenang Jalu meninggalkan kamar kerjanya untuk menemui istri tercinta Ningsih, tidak perlu menunggu Lilis pulang karena kemungkinan isttri keduanya malam ini tidak akan pulang.

"Ning...!" Jalu memeluk Ningsih dari belakang, istri tercintanya begitu asyik menonton TV yang menyiarkan acar kesukaanya sehingga tidak menyadari kehadiran Jalu dari belakang.

"A Ujang suka ngangetin aja..!" kata Ningsih mencubit gemas tangan Jalu yang melingkar di dadanya. Mereka tidak ubahnya seperti pengantin baru saat sedang berduaan dan kesempatan untuk berduaan selalu ada sejak dua anak perempuan Jalu dari Ningsih dan Lilis memilih kuliah di luar kota.

"Aa ada urusan mau keluar dulu." kata Jalu sambil menciumi pipinya yang masih kencang dan halus.

Tidak ada kata yang terucap dari mulut Ningsih saat melepasnya pergi. Jalu tahu, itu bentuk kekecewaan Ningsih yang tidak pernah diucapkannya. Selalu tersimpan rapat di hatinya yang lembut dan Jalu sudah sangat hafal hal itu. Jalu menjalankan mpbil perlahan meninggalkan Ningsih yang berdiri mematung melepas kepergiannya hingga mobilnya tidak terlihat, barulah Ningsih akan masuk ke dalam rumah.

Waktu yang ditempuh menuju tempat yang biasa digunakan untuk melepaskan hasratnya dengan Desy hanyalah satu jam. Tiba di sebuah penginapan yang sebagian saham adalah miliknya. Hanya sebuah hotel kelas melati yang menyediakan sewa kamar jam jaman sekedar melepas hasrat seksual. Tempat pertama kali Jalu mengetahui rahasia mendiang Pak Budi yang ternyata seorang homo.

Jalu berdiri mematung di depan pintu kamar yang tertutup. Pintu kamar yang sama saat pertama kali dia menginap di kamar ini dengan Lilis, memadu birahi sepanjang malam. Kenangan itu kembali mengusik Jalu, sebuah kejadian yang perlahan merubah dirinya menjadi seperti sekarang. Jalu merindukan masa masa itu. Masa dia bebas bergerak tanpa takut ada seseorang yang akan menikamnya dari belakang. Tanpa takut ada seseorang yang menghianatinya.

Perlahan Jalu mengetuk pintu kamar dengan irama tertentu, sebuah kode yang menyerupai sandi morse yang pernah dipelajarinya saat menjadi seorang pramuka. Pintu kamar terbuka, Desy tersenyum menyambut kedatangannya. Jalu tidak melihat sosok seorang perwira menengah polisi yang cemerlang. Yang berdiri di hadapannya adalah sosok Desy yang laim, sosok Desy yang dikenalnya binal dengan berpakain baju tidur yang transparan sehimgga bagian dalamnya membayang samar.

"Aa, kenapa ngeliatin Desy seperti tidak pernah liat Desy telanjang..!" kata Desy menyadarkan Jalu yang sempat terpesona oleh penampilannya yang mengundang birahi.

Jalu tersenyum dan melangkah masuk ke dalam kamar yang cukup luas. Desy langsung memeluknya dengan bernafsu dan selalu begitu setiap kali mereka bertemu, bukan hanya sekedar mulut yang berbicara, bahkan setiap anggota tubuh mereka yang paling intim akan ikut bicara tanpa batas dan tanpa etika.

"Kita obrolin masalah kematian Japra, dulu!" kata berusaha menghimdari ciuman Desy yang bertubi tubi karena birahinya sudah menuntut penyaluran.

"Nanti saja, puasin Desy dulu..!" kata Desy tidak mau menyerah, tangannya begitu terampil menelanjangi Jalu yang menyerah kalah. Dalam sekejap, Jalu sudah polos dihadapin Desy yang segera melepas baju tidurnya, hanya itulah yang menutupi kemolekan tubuhnya.

Tanpa membuang waktu yang terasa sangat berharga, Desy berjongkok di selangkangan Jalu, dibelainya kontol yang telah memerawani memeknya 25 tahun silam. Kontol yang selalu dirindukannya walau kini dia sudah mempunyai seorang suami dan dikaruniai dua orang putri yang beranjak remaja.

Jalu mengerang nikmat saat Desy menjilati kontolnya hingga tidak ada bagian yang terlewat, kebinalannya tidak hilang bahkan semakin liar. Setiap kali mereka bertemu, Desy selalu menuntut untuk dipuaskan dan Jalu tidak pernah menolaknya. Karena diapun sangat menikmati petualangan yang fantastis ini.

"Sudah, Des....!" Jalu menarik Desy agar berdiri dan tanpa memberi kesempatan Jalu mengangkat tubuh langsing Desy yang tetap terawat, merebahkannya ke atas spring bed empuk yang sebentar lagi akan bergoyang keras mengiringi pergumulan mereka.

Desy langsung membuka selangkangannya selebar yang dia bisa, Jalu mengerti apa yang diinginkannya. Dengan santai Jalu membenamkan wajahnya di belahan memek Desy, lidahnya mulai menjilati setiap bagian memek yang sekarang gundul karena rutin dicukur. Tidak seperti dulu, memek Desy lebat ditumbuhi bulu.

"Terus A, ennak..!" Jalu semakin bersemangat menjilati memek Desy, memek yang sudah sangat dikenalnya sejak Desy berusia 16 tahun. Memek yang secara suka rela melepas keperawanannya.

Jalu tidak mampu lagi menahan nafsunya melihat memek Desy yang semakin basah oleh lendir birahi, tanpa meminta persetujuan, Jalu merangkak di atas tubuh Desy dan langsung memasukkan kontolnya ke lembah sempit memek Desy yang akan memberi sejuta kenikmatan.

"A Ujang...!" Desy merintih nikmat saat kontol Jalu menerobos memeknya dengan pelan menggapai bagian terdalamnya.

Jalu tersenyum menatal Desy yang memejamkan mata, di matanya Desy tetaplah gadis remaja yang manja yang selalu meminta untuk dipuaskan. Jalu mulai memompa kontolnya dengan le.but dan semakin lama semakin cepat untuk memberikan kenikmatan maksimal yang mampu membawa Desy ke pumcak tertinggi kenikmatan dambaan setiap wanita. Dia harus menaklukan Desy secepatnya agar tabira kematian Japra bisa diketahuinya.

"Terusss, A, ennnak. Kontol A Ujang benar benar nikmat....!" Desy menyambut hentakan kontol Jalu dengan mengangkat pinggulnya setinggi yang dia bisa.

Jalu semakin termotivasi menaklukkan Desy, pompaannya semakin cepat dan bertenaga, seperti Bi Narsih, Desy sangat menyukai kocokan yang cepat dan bertenaga. Sehingga dia bisa secepatnya mendapatkan orgasme.

******

Di sebuah tempat seorang pria yang berwajah dingin tanpa espresi masuk ke dalam ruangan kerja seseorang yang belum pernah dilihat wajahnya. Seseorang yang sangat misterius dan sangat menakutkan. Seseorang yang mengendalikan dunia bawah dengan tangan besinya. Seseorang yang sangat licik dan cerdas.

"Japra sudah dilenyapkan,...!" kata pria berwajah dingin itu menatap punggung orang yang berdiri memandang keluar lewat jendela yang terbuka.

Bersambung gan.

Episode pemanasan setelah akun kembali lagi.
satrio ooh satrio.. on action lagi.. semangaaaat!!!
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd