Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JEJAK PENGKHIANATAN

Bimabet
Lina ini mantan istri Herman, rekan kerja Angga yg bercerai karena selingkuh dengan atasannya. Lina juga yg bercerita kalau Dewi juga berselingkuh dengan atasannya kepada Angga. Jalma gelo nyaritakan jalma gelo , bingung AA jadinya.
Apakah Lucky yg membuat Dewi jadi petualang cinta/seks? Memang cinta pertama sulit untuk dilupakan, terdengar kembali 'Kasih Pertama' nya Ernie Djohan.
Kalo orang jatoh cinte lebih se x bukan cinta sejati ntu namenye. Cintamu bukan cinta sejati, karena sering kau alami, demikian petikan dari lirik tembang Koes plus ' Bagai Mimpi'.
 
Terakhir diubah:
CHAPTER 12


RENCANA

DEWI POV


Sore itu, setelah menyelesaikan tugas di kantor, aku keluar dari gedung perusahaan dengan rasa lelah yang masih melekat. Sinar senja menyinari pelataran parkir dimana mobilku terparkir hampir seharian di sana. Langkahku melambat saat kulihat Puspita, rekan kerja yang namanya sedang naik daun sebagai ‘pelacur perusahaan’. Mobilnya berada tidak jauh dari tempatku berada, namun ia tidak langsung masuk ke dalam kendaraannya. Puspita malah mendekati aku dengan senyuman ramah di wajahnya. Sementara aku menunggu kejutan apa yang akan dia berikan padaku sambil berdiri di samping mobilku.

“Wi … Sorry … Em, boleh aku minta nomor kontak … Angga?” Permintaan Puspita itu membuat mataku membulat. Kenapa tiba-tiba dia meminta nomor telepon mantan suamiku?

“Buat apa?” Tanyaku ingin keyakinan saja.

“Buat … Ngehubungin dia …” Ucap Puspita malu-malu.

“Iya … Kenapa kamu mau menghubungi dia?” Tanyaku dengan nada sedikit meninggi.

“Em …” Puspita menatap mataku lekat. “Aku pengen kenalan aja.” Lanjutnya terkesan ada yang dia sembunyikan.

“Kenalan?” Gumamku heran.

Aku tak bisa menghindari keingintahuan yang tumbuh di dalam diriku saat menatap wajah Puspita. Ada sesuatu yang menggelitik hatiku, dan perasaan itu terkait dengan Angga. Keherananku adalah Angga seperti memiliki daya tarik yang misterius, membuat orang-orang tertarik padanya. Tentu saja, ini bukan kali pertama seseorang meminta nomor kontaks Angga dariku. Sebelumnya, ada dua orang wanita yang sudah melakukannya. Aku mulai bertanya-tanya, apa yang membuat Angga begitu menarik bagi wanita-wanita itu? Rasa penasaran dan keheranan terus menggelora di pikiranku saat aku memberikan nomor kontak Angga kepada Puspita.

“Makasih …” Ucapnya lembut sambil tersenyum manis saat nomor kontaks Angga sudah berada di ponselnya.

“Eh, Pus … Boleh aku nanya?” Rasa penasaranku tidak bisa ditahan.

“Apa?” Puspita berbalik badan menghadap padaku.

“Sebenarnya ada apa? Kok, kamu tiba-tiba ingin nomornya Angga. Bukan kamu aja yang minta nomornya Angga padaku hari ini, tadi sudah dua orang yang memintanya sebelum kamu.” Kataku.

“Kamu bener-bener gak tahu?” Puspita memandangku aneh.

“Aku gak tahu.” Jawabku jujur.

“Aih … Kamu ketinggalan berita dong. Kamu lihat deh di Tik Tak … Angga sangat mengesankan.” Puspita tersenyum simpul.

“Emangnya ada apa?” Tiba-tiba jantungku bekerja lebih cepat.

“Lebih baik kamu lihat sendiri deh.” Ucap Puspita sambil membalikan badan lagi kemudian berlalu begitu saja.

Aku berdiri kaku, takjub melihat Puspita yang meninggalkanku. Hati ini dipenuhi pertanyaan yang berputar di dalamnya, terutama terkait dengan berita mengenai Angga. “Apa lagi yang akan mengejutkanku?” Dengan langkah gontai, aku akhirnya memutuskan untuk mengakhiri momen itu dan masuk ke dalam mobil. Namun, rasa penasaran yang tak terbendung membuatku segera mengeluarkan smartphone dari tas dan membuka aplikasi Tik Tak. Layar penuh dengan berbagai postingan dan video, aku seperti memasuki dunia yang begitu berbeda dari realitas di luar sana.

Saat aku menjelajahi dunia Tik Tak dengan rasa penasaran yang melonjak-lonjak, tak disangka-sangka, aku menemukan video Angga yang sedang bernyanyi bersama penyanyi wanita ternama, Demi Lovato. Demi Lovato, seorang penyanyi wanita berkebangsaan Portugal yang sedang meroket ke puncak kesuksesan, menarik perhatian dunia dengan bakat vokalnya yang luar biasa dan bakat seni panggungnya yang mengagumkan. Kecemerlangan Demi Lovato dalam bermusik tercermin dalam hits terbesarnya yang mendominasi tangga lagu dunia. Vokal kuat dan teknik bernyanyi yang khas membuatnya dianggap sebagai salah satu penyanyi terbaik di generasinya.

Keterkejutan melintas di wajahku, seakan tak percaya kalau Angga ternyata memiliki bakat menyanyi yang luar biasa, sesuatu yang tidak pernah aku ketahui. Mereka berduet dengan harmoni yang begitu memukau. Suara Angga yang merdu seakan menyatu dengan keindahan suara Demi Lovato, menciptakan kombinasi yang begitu mempesona. Aku terpaku menatap layar ponsel, terbawa oleh keajaiban kolaborasi tak terduga ini. Tak bisa dipungkiri, Angga memang memiliki suara yang dapat memikat hati, dan penampilannya bersama Demi Lovato di dunia maya ini sungguh sebuah kejutan yang luar biasa.

Aku semakin tertegun melihat Angga berduet dengan Demi Lovato. Suara merdunya mengalun begitu memikat hati, menyulut kekaguman dalam diriku. Setiap nada yang dinyanyikannya terasa begitu menyentuh, seolah-olah Angga adalah seorang penyanyi profesional yang telah lama menekuni dunia tarik suara. Aku tak bisa menahan senyuman ketika mendengar melodi yang dihasilkan olehnya. Keterampilan Angga dalam membawakan lagu dengan penuh emosi dan keahlian vokalnya membuat hatiku sangat tersentuh. Sungguh, aku menyukai penampilannya yang begitu menawan, dan rasa suka seakan meluap ketika menyaksikan mantan suamiku yang begitu berbakat dan menghibur.

Aku segera meninggalkan area gedung perusahaan. Langit senja menemaniku di sepanjang perjalanan menuju kafe, tempatku biasa berkumpul dengan Tuti dan Elis. Namun, kali ini, pikiranku terus dihantui oleh bayangan Angga. Meskipun aku mencoba keras untuk tidak terpengaruh oleh video yang baru saja kusaksikan, namun sungguh terasa berat. Aku merasa lelah menghalau pesona Angga dari benakku. Semakin aku berusaha melupakan, semakin erat wajahnya terpatri dalam pikiran.

Aku memasuki parkiran kafe setelah menempuh perjalanan selama setengah jam dari kantor. Aku keluar dari mobil dan dengan langkah cepat berjalan menuju kafe. Begitu pintu kafe terbuka, cahaya hangat menyambutku. Saat aku berjalan melewati deretan meja, mataku langsung mencari Tuti. Ternyata, hanya dia yang sudah duduk di meja yang biasa kami gunakan. Dengan senyuman ramah, aku mendekati Tuti dan duduk di hadapannya.

“Kemana Elis?” Tanyaku sambil melambaikan tangan pada pelayan.

“Dia gak bisa ngumpul. Katanya lagi gak enak badan.” Jawab Tuti sambil tersenyum.

Pelayan kafe datang dengan senyum ramah, menyambut kami di meja. Tanpa ragu, aku langsung memesan makanan ringan dan cokelat panas. "Saya ingin pesan roti panggang dengan keju dan satu cangkir cokelat panas," ucapku dengan sopan pada sang pelayan. Pelayan dengan sigap mencatat pesananku dan segera pergi meninggalkan kami.

“Em … Apa kamu tahu yang sedang viral sekarang?” Tuti seperti sedang bermain tebak-tebakan dan tentu saja aku tahu kemana arah pembicaraan Tuti.

“Angga …” Desahku.

“Ternyata kamu sudah tahu …” Ujar Tuti sambil tersenyum. “Aku jadi jatuh cinta sama dia.” Ungkap Tuti membuat hatiku terenyuh. Rasanya sulit menyembunyikan rasa keterkejutan dan kekecewaanku. Meskipun aku mencoba tersenyum, dalam hati, aku merasa bagai diserang gelombang emosi yang tak disangka-sangka.

“Em … Emang sih nyanyinya bagus sekali. Aku tak tahu kalau Angga bisa bernyanyi sebagus itu.” Kataku sambil menyembunyikan perasaanku.

“Bukan itu yang membuatku jatuh cinta …” Ujar Tuti dan lagi-lagi aku dibuat terkejut.

“Loh … Terus apa?” Jelas aku sangat penasaran.

“Kamu pernah dengar nama Miguel Santos?” Tiba-tiba Tuti bertanya nama seseorang yang tidak aku kenal.

“Tidak …” Jawabku.

“Dia itu salah satu orang terkaya di dunia, Wi … Yang aku baca, Miguel Santos adalah pemilik perusahaan EcoSolutions Energy yang sedang menjadi pembicaraan orang-orang sedunia karena penemuannya di bidang energi terbarukan. Dan, Miguel Santos ini adalah suami dari ibunya Angga sekarang.” Jelas Tuti dan seketika itu juga aku melotot tak percaya.

“Benarkah?” Gumamku dengan dada yang semakin terasa sesak.

Tuti mulai bercerita dengan penuh semangat tentang sosok Miguel Santos, seorang pengusaha besar yang kini berjaya di bidang energi terbarukan. Kisah suksesnya merambah hampir seluruh penjuru dunia, dengan penghasilan bersih yang mencapai hampir dua puluh trilyun pertahun. Tuti dengan penuh kagum menjelaskan bahwa ibunya Angga adalah istri ketiga dari Miguel Santos. Dalam cerita yang penuh kekaguman, Tuti melukiskan ibunya Angga sebagai salah satu wanita terberuntung di dunia. Dia juga menyampaikan bahwa Miguel Santos bukan hanya seorang pengusaha sukses, tetapi juga seorang suami yang sangat baik hati dan dermawan.

Seiring dengan cerita yang disampaikan Tuti, aku merasakan kegetiran dalam hati. Rasa bersalah saat aku mengambil keputusan untuk meninggalkan Angga, perlahan-lahan menghantui pikiranku. Kesempurnaan dan keberuntungan Angga yang dilukiskan Tuti membuatku merasa sebagai orang yang paling rugi. Sebuah keputusan yang dulunya aku anggap sebagai langkah yang tepat, kini terasa sebagai kesalahan besar yang menghantui pikiranku.

Tuti seakan mengerti perasaanku, kata-kata lembutnya mencoba memberikan pengertian. "Aku tahu ini berat untukmu. Tapi, bagaimana pun juga kamu harus tahu kalau Angga yang sekarang berbeda dengan Angga yang dulu. Hidup ini penuh dinamika, dan kadang-kadang, orang-orang juga berubah. Angga telah tumbuh, belajar, dan menghadapi berbagai perubahan. Mungkin keputusanmu saat itu adalah yang terbaik, sesuai dengan situasi dan perasaanmu pada saat itu."

"Aku tidak ingin menyesali pilihan yang telah aku buat, Tuti... Tapi, terasa seperti aku akan kalah. Apa yang terjadi pada Angga seolah membuka mata hatiku, aku..." Hanya desahan yang keluar dari mulutku, tanpa mampu melanjutkan kata-kata karena beban yang begitu berat menetap di hatiku.

Tuti memandangku lekat untuk sesaat, "Kamu tahu, gak ada cara instan buat melupakan seseorang, tapi yang pasti, kamu harus fokus pada dirimu sendiri. Coba lakukan aktivitas atau hobi yang kamu suka, ajak teman-teman untuk hangout, atau fokus pada pekerjaan. Terus terang, Angga bukan satu-satunya hal di dunia ini, dan hidupmu tidak boleh berputar hanya karena dia," ujar Tuti sambil tersenyum penuh pengertian.

“Aku sudah mencobanya, tapi tetap saja bayangan Angga seperti tak pernah ingin lepas. Jujur, aku merasa tersiksa.” Kataku lagi sambil mendesah pelan.

Tuti menyipitkan matanya, seolah berpikir serius sejenak sebelum berkata, "Bagaimana dengan Lucky, kekasihmu itu? Mungkin kamu perlu memberi lebih banyak perhatian pada hubunganmu. Buat momen-momen indah bersama Lucky. Bicarakan perasaanmu padanya, siapa tahu dia bisa memberimu dukungan yang kamu butuhkan. Terkadang, solusi bisa datang dari tempat yang tak terduga."

Aku menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa saran Tuti cukup masuk akal. Namun, hal itu pun sulit dilakukan. Jarak antara aku dan Lucky cukup jauh, dan aku tak bisa selalu dekat dengannya karena takut hubungan rahasia kami terdeteksi oleh istri dan orangtua Lucky. Skenario ini bisa merusak kehidupan Lucky.

“Saranmu itu sulit aku lakukan. Aku dan Lucky jarang bertemu. Jarak kami cukup jauh untuk sering bertemu.” Responku terhadap masukan Tuti tadi.

Tuti menatapku dengan penuh empati, lalu dia berkata, "Mungkin ini waktunya untuk merenung, Wi ... Jangan takut untuk mendengarkan hatimu. Jika Angga masih memiliki tempat di sana, dan jika kata hatimu membisikkan untuk mencoba lagi, mengapa tidak? Kehidupan memberi kita peluang untuk memperbaiki kesalahan dan menebus waktu yang hilang.”

“Maksudmu … A..aku … Aku kembali pada Angga?” Tanyaku tergagap mengartikan ucapan Tuti barusan.

Tuti mengangguk lembut. "Ya, mungkin. Aku bukan orang yang bisa memberikan jawaban pasti, tapi mendengarkan hatimu adalah langkah pertama. Jangan takut mengakui perasaanmu, Wi. Kadang-kadang, mengambil risiko adalah bagian dari hidup. Siapa tahu, mungkin Angga juga merindukanmu, dan bersedia memberimu kesempatan kedua."

“Aku takut, Tut … Aku takut Angga akan menertawakanku.” Kataku pesimis.

Tuti meletakkan tangannya lembut di jemari tanganku, mencoba memberikan dukungan. "Tak perlu takut, Wi. Apa pun keputusannya nanti, yang terpenting adalah keberanianmu untuk mengungkapkan perasaanmu. Jangan khawatir tentang reaksi Angga. Hidup ini penuh dengan ketidakpastian, namun jika kamu tulus, entah apa yang akan terjadi nanti. Ingatlah, tak ada keberanian tanpa ketakutan, dan setiap langkah perubahan dimulai dengan langkah pertama." Tuti tersenyum penuh keyakinan, memberi semangat pada perasaan yang tengah kacau dalam diriku.

“Aku gak siap kalau Angga menolakku, Tut. Aku tak ingin harga diriku hancur dengan penolakannya. Bagaimana pun aku yang merusak dan menghancurkan rumah tanggaku dengan Angga. Mungkin dia akan merasa menang dan menertawakanku kalau dia tahu aku ingin kembali bersamanya.” Ucapku mengutarakan ketakutanku.

Tuti meremas lembut jemariku, mencermati ekspresi dan kata-kataku dengan perhatian. "Wi, tak ada yang bisa menjamin hasil akhir dari setiap keputusan yang kita ambil. Tapi, mengungkapkan perasaanmu adalah bentuk keberanian. Jangan memikirkan apakah Angga akan menerima atau menolakmu. Yang terpenting adalah kamu jujur pada dirimu sendiri. Jika Angga memilih untuk menertawakanmu, itu adalah pilihannya, bukan penilaian terhadap harga dirimu. Kita semua punya hak untuk memperbaiki diri dan belajar dari kesalahan. Jangan biarkan ketakutan merampas kesempatanmu untuk bahagia lagi."

Aku menatap Tuti, merasakan kehangatan dukungannya. "Terima kasih, Tut. Aku akan mencoba, walaupun dalam ketakutan. Setidaknya, aku ingin memberi diriku kesempatan untuk mengetahui apa yang sebenarnya bisa terjadi."

Tuti tersenyum penuh semangat, matanya penuh keyakinan. "Wi, kamu memiliki peluang besar untuk mendapatkan Angga kembali, dan aku yakin, Aska adalah kunci kebahagiaanmu. Anak adalah ikatan yang kuat dalam sebuah keluarga. Gunakan keberadaan Aska sebagai titik awalmu. Jadikan momen bersama Aska sebagai langkah awalmu mendekati Angga lagi. Cobalah untuk membangun hubungan yang lebih erat melalui Aska, karena melalui dia, kamu bisa membangun kembali hubunganmu dengan Angga.”

Mendengarkan saran bijak Tuti tentang membangun kedekatan dengan Angga melalui Aska, hati dan pikiranku tiba-tiba terasa seperti menerima cahaya kecil yang mengusir kegelapan. Seakan disiram oleh keyakinan, keraguan dan ketakutanku yang selama ini menghantui sirna begitu saja. Momok penyesalan dan rasa takut terhadap penolakan mulai tergantikan oleh semangat baru yang menyala-nyala. Seketika itu juga, aku merasa memiliki kekuatan untuk mencoba memperbaiki hubungan yang terputus, membangun kembali kebahagiaan keluarga yang pernah ada.

Dengan rasa terima kasih yang mendalam, aku menatap Tuti dengan tulus. "Terima kasih, Tut, atas segala saran dan dukunganmu. Kata-katamu seperti cahaya yang menerangi jalanku ke depan. Aku benar-benar akan mencoba mendekati Angga melalui Aska, seperti yang kau sarankan. Aku benar-benar memerlukanmu dalam perjalanan ini, Tut. Bantuan dan nasihatmu sangat berarti bagiku. “

Kulihat Tuti tersenyum penuh kebaikan hati. "Tentu, Wi. Aku akan selalu ada untukmu. Kita bisa bersama-sama menghadapi rencana ini. Tapi …” Tuti menjeda ucapannya.

“Tapi apa, Tut?” Tanyaku penasaran.

Tuti mengambil napas dalam-dalam sebelum mengutarakan perasaannya. "Wi, aku harus jujur padamu. Aku menyukai Angga. Dia adalah laki-laki yang sangat spesial bagiku. Kejantanan yang luar biasa membuatnya begitu menarik bagiku. Tidak pernah aku temui laki-laki sejantan Angga. Saat ini, aku memang berniat mendekati Angga, tapi melihat kesungguhanmu untuk mendapatkan kembali hubunganmu dengannya membuat aku berpikir ulang. Menurutku, kamu pantas mendapatkan kesempatan ini, Wi. Jangan khawatir, aku tidak akan menjadi penghalang, malah aku akan mendukungmu sepanjang jalan. Bagiku, persahabatan kita lebih berharga daripada perasaan pribadi."

Saat Tuti berbicara, ada kejujuran dan kelembutan dalam suaranya. Aku merasa terharu. "Terima kasih, Tut. Aku sangat menghargai kejujuranmu. Dan tentu saja, persahabatan kita tetap berharga bagiku. Dan aku pikir, kita bisa memiliki Angga untuk kita berdua.”

Tuti terbelalak mendengar pengakuanku, matanya memandangiku dengan tatapan tak percaya. Saat aku menyampaikan keyakinanku bahwa Angga bisa dimiliki oleh kami berdua, suasana di antara kami sejenak menjadi tegang. Namun, tidak butuh waktu lama bagi wajahnya untuk berubah menjadi penuh semangat dan berseri-seri.

"Apa... apa maksudmu, Wi?" Tuti bertanya, mencoba memastikan apakah dia benar-benar mendengar dengan benar.

Aku tersenyum, mencoba menjelaskan lebih lanjut, "Maksudku, Tut … Kita bisa bekerja sama, mendekati Angga bersama-sama. Jika kita saling mendukung. Mungkin saja ini adalah peluang untuk membangun sesuatu yang baru dan berbeda. Aku rela jika kamu yang menjadi maduku." Tuti memperhatikanku dengan ekspresi campuran antara kekaguman dan keheranan.

Tuti menatapku masih dengan keheranan yang masih terpancar di wajahnya. "Wi, dari mana kamu mendapatkan ide brilian itu?"

Aku tertawa ringan, merasa senang dengan reaksi Tuti. "Sesuatu tiba-tiba menyala di pikiranku, Tut. Melihat semangatmu untuk mendekati Angga, dan kesediaanmu memberiku dukungan, membuatku berpikir bahwa mungkin kita bisa melakukannya bersama. Menyatukan kekuatan dan sumber daya kita untuk mencapai tujuan yang sama. Bagaimana kalau kita mencoba bersama, Tut?"

Tuti mengangguk setuju, wajahnya masih tampak mencerminkan kekaguman dan semangat. "Itu benar-benar ide brilian, Wi. Kita bisa menciptakan sesuatu yang luar biasa bersama-sama. Ayo kita lakukan ini dengan sepenuh hati." Suara Tuti penuh keyakinan, dan begitu juga dengan hatiku yang kini penuh semangat untuk menjalani langkah-langkah baru bersama sahabatku ini.

Kami menikmati hidangan bersama-sama di kafe, canda tawa dan semangat baru menyelimuti suasana. Perasaan kami semakin terikat erat dengan rencana yang baru saja kami buat untuk mendapatkan Angga bersama-sama. Seolah sebuah ikatan baru telah terjalin antara kami, aku merasa beruntung memiliki sahabat seperti Tuti yang begitu mendukung dan siap menjalani petualangan ini bersamaku.

Namun, dalam keceriaan itu, Tuti dengan tulus dan gamblang menyampaikan sesuatu yang membuatku terdiam sejenak. "Wi, aku rela menjadi orang kedua dalam hubungan ini. Aku hanya mengejar kejantanan Angga saja. Selain itu, aku tidak bisa melepaskan suamiku yang sekarang karena kasihan. Dia sangat menyayangiku dan aku merasa bertanggung jawab padanya. Dia begitu setia dan baik padaku. Aku tidak bisa memutuskan hubungan dengannya hanya karena keinginan pribadiku semata.”

“Hi hi hi … Aku jadi teringat dengan hubunganku dengan Lucky.” Aku terkekeh ringan.

“Hhhmm … Benarkah? Bagaimana itu bisa terjadi?” Tanya Tuti tampak penasaran.

Dengan hati yang terbuka, aku mengakui pada Tuti mengenai hubungan khususku dengan Lucky. "Kami berdua sepakat untuk menjalani hubungan non-monogami konsensual atau bahasa kerennya CNM. Ini artinya, kami memperbolehkan satu sama lain untuk menjalin hubungan dengan orang lain secara khusus, karena kami sadar kalau kehidupan kami diwarnai dengan cinta untuk lebih dari satu orang secara bersamaan."

“Ya, aku pernah mendengar CNM. Aku mengerti sekarang.” Tuti mengangguk-anggukan kepala.

"Aku dan Lucky menyadari bahwa cinta dan hubungan bisa memiliki bentuk yang beragam, dan kami memilih untuk menjalani kehidupan ini secara terbuka. Meskipun mungkin terdengar tidak biasa, kami menjalankannya dengan penuh rasa tanggung jawab dan kasih sayang. Aku ingin kamu tahu, walaupun kami menjalin hubungan dengan orang lain, itu tidak mengurangi rasa cinta dan kepedulian kami satu sama lain. Ini hanyalah cara kami untuk memberikan ruang dan kebebasan pada satu sama lain dalam mencari kebahagiaan." Jelasku lagi.

Tuti menatapku dengan matanya yang penuh dengan pemahaman. "Wi, aku percaya bahwa cinta dan hubungan memang bisa memiliki wujud yang beragam, dan setiap orang memiliki cara unik untuk menjalani kehidupan cintanya. Meskipun mungkin terdengar tidak biasa bagi sebagian orang, namun aku setuju sepenuhnya dengan konsep itu. Aku merasa tertarik untuk menjalankan CNM juga. Aku pikir, dalam hubungan dengan Angga ini bisa menjadi pengalaman yang berharga buat kita."

“Aku yakin, dengan komunikasi terbuka dan rasa tanggung jawab yang kita miliki, hubungan ini bisa menjadi pengalaman yang memperkaya hidup kita. Aku yakin kalau hubungan kita dengan Angga akan membawa kebahagiaan bagi kita semua.” Kataku penuh keyakinan.

“Em … Ada satu hal yang ingin aku tanyakan lagi padamu.” Tiba-tiba Tuti berkata serius.

“Apa itu?” Tanyaku.

“Dimas … Bagaimana dengan Dimas?” Tanya Tuti dan langsung saja aku tersenyum.

“Dimas adalah masa laluku, dan setelah banyak pertimbangan, aku merasa bahwa langkah yang terbaik adalah meminta cerai darinya. Perasaanku untuk Dimas telah berubah, dan aku sudah tidak mencintainya lagi.” Jawabku.

“Oh … Itu aku serahkan sepenuhnya padamu.” Kata Tuti sambil tersenyum kembali.

Setelah dua jam berlalu, aku dan Tuti akhirnya memutuskan untuk mengakhiri pertemuan kami di kafe. Melangkah keluar dari tempat itu, langit malam mulai menyelimuti kota. Aku mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, membiarkan pikiranku melayang ke rencana-rencana yang telah kami susun untuk mendekati Angga kembali. Dari cerita-cerita yang aku dengar dan pengetahuan yang aku miliki tentang Angga, hatiku tidak bisa lagi menahan diri dari angan-angan bersamanya. Terlepas dari rencana utama bersama Tuti, kejantanan Angga tampaknya menjadi tujuan tersendiri bagiku, dan kehidupan barunya hanya menjadi bonus tambahan yang tentu akan sangat menyenangkan.

Dalam perjalanan pulang, pikiranku terus terhanyut dalam bayangan cerita-cerita Tuti dan Elis tentang kejantanan Angga. Cerita mereka memberikan gambaran yang begitu hidup tentang sisi maskulin mantan suamiku, dan sungguh, imajinasi itu merayap ke dalam pikiranku dengan begitu memikat. Keteguhan hatiku untuk tidak memikirkan Angga hancur, tergantikan oleh fantasiku yang merasuk ke dalam. Aku merasa horny sendiri, terjebak dalam angan-angan yang memicu hasrat dan keinginan yang mendalam. Sementara mobil meluncur di jalanan, hatiku terus berdebar-debar dalam gairah yang sulit dihindari.

Dengan hati-hati, aku memarkirkan mobil di dalam garasi. Selanjutnya aku memasuki rumah dan saat aku membuka pintu tengah, aku disambut oleh pemandangan yang hangat di ruang tengah, nenek dan Aska tengah berkumpul di sofa. Aku tersenyum melihat kebahagiaan mereka. Tanpa ragu, aku mendekati nenek, mencium keningnya dengan penuh kasih sayang sebelum menggendong Aska. Dengan lembut, aku membawa Aska duduk di dekat nenek. Senyuman kecil muncul di wajah nenek. Meski pikiranku dipenuhi oleh perasaan yang rumit, melihat Aska dan nenek di sampingku memberikan sedikit ketenangan di tengah kegelisahan yang kurasakan.

“Dewi …” Nenek Nadia mulai membuka percakapan yang sepertinya akan serius. “Nenek sering mendengar, akhir-akhir ini kalian sering bertengkar. Dan nenek tahu apa yang kalian pertengkarkan. Nenek benar-benar menyalahkan Dimas untuk hal ini. Dan nenek ingin meminta maaf padamu, karena nenek telah menyembunyikan semua yang nenek ketahui tentang perselingkuhan Dimas padamu. Nenek sekarang menyerahkan sepenuhnya padamu, apa yang ingin kamu lakukan. Maksud nenek, silahkan jika kamu sudah tidak mempunyai harapan lagi dengan keluargamu dengan Dimas. Nenek akan rela melepaskanmu.” Jelasnya lebih lanjut.

Dalam momen yang penuh kejutan ini, hatiku terasa berdebar-debar saat mendengar kata-kata tulus dari bibir lembut Nenek Nadia. Namun pada saat yang bersamaan, suatu kelegaan dan kebahagiaan yang tak terduga memenuhi hatiku. Tanpa ragu, aku meraih tangan keriput nenek dengan lembut, menggenggamnya erat sebagai bentuk terima kasih atas dukungannya. Aku mencium tangan itu dengan penuh kasih sayang, membiarkan aroma harum khas nenek menyatu dengan kelegaan yang menyelimuti hatiku. Dalam suasana ini, aku merasa terhubung dengan nenek tidak hanya sebagai keluarga, tetapi sebagai sahabat yang peduli dan penuh pengertian. Dalam pelukan kasih sayangnya, aku merasa diizinkan untuk menjalani hidup sesuai dengan pilihanku yang membawa kebahagiaan sejati.

"Nek … Percayalah, kalau aku sangat mencintai nenek. Selama ini, aku berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan rumah tanggaku dengan Dimas semata-mata karena tidak ingin membuat nenek resah dan tidak enak hati. Aku tahu betapa besar kasih sayang nenek terhadapku, dan itu membuatku berusaha keras menjaga ketentraman hati nenek. Namun, aku merasa bahwa rumah tanggaku dengan Dimas tidak lagi sehat. Dengan segala hormat dan cintaku pada nenek, izinkan aku untuk berpisah dengan Dimas demi kebahagiaan dan kesejahteraan bersama. Aku ingin nenek tahu bahwa keputusan ini bukan untuk menambah beban pikiran nenek, melainkan sebagai langkah untuk membawa kedamaian dan kebahagiaan pada diriku sendiri. Harapanku adalah nenek dapat memahami dan menerima keputusanku ini dengan hati yang lapang.” Kataku sembari menahan tangis kebahagiaan.

“Nenek tahu betapa besar usahamu selama ini untuk menjaga ketentraman hatiku, dan aku sangat berterima kasih atas segala pengorbananmu. Percayalah, cinta dan kasih sayangku padamu tidak akan berkurang sedikit pun. Jika ini yang kamu rasa perlu untuk kebahagiaan dan kesejahteraanmu, aku memberikan izinku dengan segala ketulusan. Jangan ragu, karena cinta dan dukunganku akan selalu menyertaimu dalam setiap langkah hidupmu.” Ucap Nenek Nadia dengan penuh kelembutan, matanya yang penuh pengertian menatapku dengan kehangatan.

Aku tanpa ragu segera memeluk Nenek Nadia dengan erat. Aska pun turut ambil bagian dalam pelukan ini dan berada di tengah-tengah antara aku dan nenek. Dalam pelukan hangat nenek, aku keluarkan tangis bahagiaku yang tak bisa lagi aku tahan. Suara isakan kecil terlontar dari bibirku, membawa keluar sebagian beban hati yang selama ini terpendam. Tangisanku terisak-isak, menjadi ungkapan emosi yang tercampur aduk antara kelegaan dan duka. Kelegaan karena aku merasa didukung dan dicintai oleh nenek, serta diberikan izin untuk mengejar kebahagiaanku sendiri. Duka, karena langkah berat yang harus aku ambil ini mungkin akan menjadi beban pikiran nenek. Pelukan nenek menjadi sumber kekuatan, memberiku kenyamanan dan pemahaman tanpa kata-kata.

Setelah mengeluarkan segala perasaan yang terpendam di hati, aku memutuskan untuk meminta izin pada Nenek Nadia untuk meninggalkan rumah malam ini juga. Dengan bijaksana dan penuh pengertian, Nenek Nadia kembali memberikan izinnya. Tanpa menunda, aku segera mempersiapkan kepergianku. Dengan cepat, aku mengepak barang-barang pribadiku ke dalam koper, dan Aska setia menemani proses tersebut tanpa terpengaruh oleh situasi yang sedang melandaku. Keceriaan Aska seperti menjadi sumber semangat baru bagiku, dan senyumnya yang riang tampaknya menular padaku. Dalam suasana yang penuh haru dan semangat, aku menyelesaikan persiapanku untuk pergi. Dengan senyum ringan, aku berpamitan pada Nenek Nadia dan bersiap-siap untuk menghadapi perjalanan baru yang menanti di luar sana.

Setelah mendapat izin dari Nenek Nadia, aku memasuki mobilku dan meluncur di jalanan kota. Di dalam keheningan mobil, aku tak dapat menahan kegembiraan dan mulai berteriak-teriak dalam hati, menyambut hari kebebasanku yang baru ini. Tidak ada lagi yang harus disesali dalam perjalanan hidupku dengan Dimas, karena akhirnya aku menyadari bahwa Dimas hanyalah pelengkap hidupku selama ini. Meskipun pada awalnya aku mengagumi dan bahkan mencintainya, namun aku sekarang melihat bahwa, saat pertama kali bertemu dengannya, aku tengah berada dalam keadaan dimana rumah tanggaku dengan Angga berada diambang kehancuran. Waktu itu, aku berpikir bahwa Dimas adalah pengganti yang sempurna untuk menggantikan Angga.

Ternyata, Dimas tidak lebih baik dari Angga. Walau Angga keras kepala, tetapi dia setia.” Kataku dalam hati.

Walaupun hatiku sedikit enggan untuk kembali ke rumah orangtuaku, namun sekarang aku merasa tidak punya pilihan lain. Setelah melewati perjalanan selama sekita satu jam lebih, akhirnya aku sampai di depan pintu rumah orangtuaku. Sebuah keraguan muncul, tidak tahu apa yang akan mereka katakan atau rasakan ketika mengetahui keputusanku untuk berpisah dengan Dimas. Namun, begitu aku membuka pintu rumah, aku disambut dengan kehangatan dan senyuman penuh gembira dari kedua orangtuaku. Mereka tidak tahu apa yang sudah terjadi antara aku dan Dimas, dan dalam momen itu, aku memutuskan untuk menunda untuk memberitahukannya. Aku menikmati sementara waktu kebahagiaan yang terasa begitu nyata dan tulus.

“Aih, cucu nenek yang ganteng. Lama sekali nenek ingin menggendongmu.” Seru ibu sambil mengambil Aska dari pangkuanku.

“Dimas gak ikut?” Tanya ayah yang membuat hatiku agak terkejut.

“Tidak, Yah …” Jawabku singkat.

“Tumben malam-malam datang ke sini.” Kata ayah seperti sedang menyelidikku.

“Mau aja … Aska yang maksa pengen datang ke rumah nenek.” Kilahku agar mereka tidak melanjutkan kecurigaannya.

Aku masuk ke dalam rumah yang penuh cahaya dan suka cita. Di ruang tengah, kami berkumpul sambil berbincang-bincang santai tentang kehidupanku. Aku berusaha tersenyum dan menjelaskan bahwa tidak ada yang istimewa dari kehidupanku, berusaha menyembunyikan ketidaknyamanan yang membayangi pikiranku. Obrolan kami berlanjut dengan tawa dan cerita ringan, menciptakan suasana yang terasa menyenangkan.

Namun, malam semakin tua, dan akhirnya, kami memutuskan untuk mengakhiri perbincangan tersebut. Kami berpisah untuk beristirahat di kamar masing-masing, meninggalkan ruang tengah yang diterangi oleh cahaya lembut lampu. Aku melangkah ke kamarku sambil menggendong Aska yang sudah terlelap dengan beban pikiran yang perlahan-lahan mengendur, mengetahui bahwa walaupun masa depan mungkin tidak jelas, rumah ini adalah tempat yang memberikan ketenangan dan dukungan yang kuharapkan. Dalam ketenangan malam yang sunyi, aku merenung tentang langkah-langkah berikutnya dalam perjalanan hidupku yang baru ini.


#####


Pagi itu, aku terbangun kesiangan, dan jika saja Aska tidak membangunkanku, mungkin aku akan terus merem mendalam. Namun Aska sepertinya memiliki rencana berbeda. Aku merasakan tubuh kecilnya yang hangat menindih punggungku dengan lembut, seolah-olah dia ingin memastikan aku bangun dari tidurku yang terlalu lelap. Sementara Aska dengan setia menindihku, dia juga menepuk-nepuk pipiku dengan lembut, seakan memberikan sinyal bahwa sudah waktunya untuk memulai hari. Tepukan lembut itu membuatku tersenyum.

“Makasih ya … Sudah membangunkan Mama.” Kataku sambil mencubit hidungnya yang mancung.

Aku melihat jam di dinding kamar, dan rasa kaget menyelinap begitu menyadari bahwa sudah jam 07.25 pagi. Tentu saja, aku sudah terlambat masuk kerja. Meskipun demikian, itu bukan masalah besar bagiku. Langsung saja, tanpa membuang waktu, aku menyambar smartphone di meja kecil samping tempat tidur. Dengan cepat, aku mencari nomor Jamal.

“Hallo …” Suara Jamal menyapaku di seberang sana.

“Hallo ganteng …” Balik sapaku dengan suara yang kubuat segenit mungkin.

“Hhhmm … Ini pasti ada maunya.” Jamal sudah bisa menebak dari gaya bicaraku.

“Aku minta izin gak masuk ya ganteng. Aku kesiangan bangun.” Kataku masih dengan kegenitanku.

“Ya … Ada lagi?” Jawabnya tegas seperti tak suka.

“Oh ya, aku sudah gak bisa menunggu lagi. Aku sudah memutuskan untuk berpisah dengan Dimas.” Kataku serius.

“Apa??? Kamu …??? Oh, kenapa kamu lakukan itu? Padahal kita hampir berhasil?” Ucapan kecewa terlontar dari mulut Jamal.

“Lupakan saja rencana jahat itu, Jamal. Aku gak siap masuk bui gara-gara uang sedikit.” Kataku lagi.

“Oh, kamu ini …” Suara kecewanya kentara sekali. “Ya, sudah … Gak jadi masalah. Bye …” Jamal langsung memutuskan sambungan telepon.

Aku tersenyum merasakan kekesalan dan kekecewaan Jamal di seberang sambungan. Tetapi, aku yakin Jamal tidak akan memarahiku karena laki-laki itu sangat menyayangiku. Sambil tersenyum, aku memutuskan untuk mengambil Aska dan keluar dari kamar. Aku melangkah menuju dapur, dan di sana terlihat ibu sedang sibuk memasak sesuatu yang harum menggoda indra penciuman.

“Kamu gak kerja?” Tanya ibu yang mengetahui keterlambatanku.

“Aku sudah izin gak masuk.” Jawabku santai. “Ibu masak apa?” Tanyaku kemudian sambil meletakkan Aska di lantai. Anak itu langsung saja berlari keluar saat melihat kakeknya sedang mengurus burung kicaunya.

“Ibu lagi bikin sayur asem kesukaanmu.” Jawab ibu sambil tersenyum.

“Asik … Aku sudah lama gak makan sayur asem. Biar aku yang membuat sambalnya.” Kataku sembari mengambil bahan-bahan untuk membuat sambal.

Aku dan ibu bersama-sama memasak, sambil ngobrol kesana-kemari tanpa tema yang pasti. Suasana dapur penuh tawa dan cerita membuat waktu terasa begitu menyenangkan. Tak lama kemudian, ibu memberitahuku bahwa ada bahan yang harus dibelinya di warung. Kini aku menanggung dua masakan yang sedang berada di kompor, fokus untuk menyelesaikan masakan-masakan tersebut. Tiba-tiba, konsentrasiku terpecah oleh suara dering smartphone. Ternyata, itu adalah smartphone milik ibu. Dengan rasa ingin tahu yang menggelitik, aku coba melihat layar smartphone ibu. Sebuah pesan WhatsApp muncul dari seseorang yang berinisial RDS88. Meskipun ada rasa ingin tahu, aku memilih untuk tidak ikut campur dan kembali fokus ke masakanku yang belum selesai.

Namun, tak berselang lama, smartphone ibu berdering lagi, kali ini suara dering telepon. Dengan malas, aku berjalan menuju meja tempat smartphone itu tergeletak. Aku mengambilnya dan menggeser item hijau di layar untuk menjawab panggilan tersebut.

“Ya, Hallo …” Sapaku dibuat seramah mungkin.

“Sayang … Kita harus ketemu. Ada yang ingin aku sampaikan. Ini sangat penting.” Ujar pria di seberang sama yang sukses membuatku terperanjat hebat.

Orang itu memanggil ibuku sayang. Aku benar-benar tertegun dengan apa yang baru saja aku dengar. Orang yang menelepon ibu memanggilnya dengan kata 'sayang'. Tiba-tiba, sambungan telepon diputus dari seberang sana. Mataku membulat, dan otakku seolah membeku sejenak. Fakta ini membuat tubuhku seakan-akan kaku, dan hatiku dipenuhi kebingungan serta kejutan hebat. Pertanyaan dan dugaan berkecamuk di pikiranku. Siapa RDS88, dan mengapa dia memanggil ibu dengan sebutan yang intim? Apa ibu punya selingkuhan? Rasa cemas dan kekhawatiran mulai merayap, menyelubungi perasaanku yang tadinya penuh kehangatan.

Aku berniat membuka pesan WhatsApp yang dikirimkan orang tadi, tetapi tiba-tiba aku urungkan niatku. Kesadaran bahwa jika aku membukanya, ibu akan tahu kalau pesan itu telah dibaca, membuatku menahan diri. Aku memilih untuk menyimpan smartphone ibu di tempat semula, sambil merenung penuh rasa penasaran. Pandanganku terhenti pada layar gelap smartphone, di mana pesan dari RDS88 tampak menggoda untuk dibuka. Rasanya seperti ada magnet tak terlihat yang menarik-narikku untuk mengetahui lebih jauh apa yang sedang terjadi dengan ibuku. Meskipun aku sadar bahwa membuka pesan itu bisa membuka pintu rahasia, aku juga tahu bahwa tindakan tersebut mungkin akan mengganggu privasi ibu.

Aku mengakui kalau aku juga melakukan hal yang sama, merahasiakan sesuatu untuk melindungi perasaan orang yang aku cintai. Dalam pertentangan batin, aku memutuskan untuk diam saja, seolah-olah aku tidak mengetahui apa-apa. Namun, rasa penasaranku terus menggerayang, menuntunku untuk mengeksplorasi rahasia ini. Rasa penasaranku semakin tak terkendali, seperti api yang menjalar dengan cepat di dalam diriku. Keingintahuanku seolah-olah memegang kendali atas akal sehatku. Seakan-akan sisi rasa ingin tahuku terus berteriak, merayu untuk memberiku jawaban atas misteri yang menghantui pikiranku.

Aku segera mengambil smartphone ibu dan memasukan SpyPhone ke dalamnya yang terkoneksi dengan smartphone milikku. Dengan SpyPhone ini aku bisa memantau panggilan, pesan teks, lokasi, dan aktivitas lainnya dari jarak jauh terkait dengan aktivitas alat komunikasi kepunyaan ibu. Setelah selesai, aku kembali meletakkan smartphone ibu di tempatnya kembali dengan harapan ibu tidak mengetahui kalau aku sudah menanamkan SpyPhone di smartphone miliknya.

Aku kembali fokus pada aktivitas memasakku, berusaha menutupi kegelisahan yang masih menghantui pikiranku. Setelah sekitar sepuluh menit, ibu datang dengan belanjaannya. Kami melanjutkan masak-memasak, saling berbagi tugas dengan keakraban. Akhirnya, setelah kerjasama yang baik dan usaha bersama, masakan kami pun siap disajikan. Ayah, ibu, aku, dan Aska duduk bersama di meja makan, menikmati hidangan yang kami sudah persiapkan.

Saat aku melihat ibu membuka ponselnya, terlihat jelas kejutan melintas di wajahnya walau hanya sekejap. Namun, tanpa menunjukkan gejala kekhawatiran, ibu kemudian asik memainkan ponselnya di samping ayah. Ibu tidak menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya, dan senyuman simpul terukir di wajahnya saat membaca sesuatu di layar ponsel, bayangan tentang kemungkinan ibu menjalin hubungan dengan seseorang di luar sana semakin kuat. Hati ini terbagi lagi antara rasa ingin tahu yang semakin menggoda dan keinginan untuk memberi ibu privasi yang ia butuhkan.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Loh he.
Aku sudah bilang, kalau aku itu gak tergoda.
Aku gak akan baca, aku gak akan baca.

Ada pasukan coli gak disini.?
:mindik:

#Cuukkk. Sudahlah Wi, sama Abang aja. Dari pada kamu sakit hati lihat Angga dan wanita - wanitanya.. Abang mau kok, walau kamu sudah 2x janda.. Ayo Wi, duduk dipangkuan abang..
:tegang:
 
Loh he.
Aku sudah bilang, kalau aku itu gak tergoda.
Aku gak akan baca, aku gak akan baca.

Ada pasukan coli gak disini.?
:mindik:

#Cuukkk. Sudahlah Wi, sama Abang aja. Dari pada kamu sakit hati lihat Angga dan wanita - wanitanya.. Abang mau kok, walau kamu sudah 2x janda.. Ayo Wi, duduk dipangkuan abang..
:tegang:
Santai Mas Bro @Kisanak87 ... Ane tekel pasukan coli Mas Bro biar tenang di sini ... Sampai Mas Bro siap meluncur ...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd