Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JEJAK PENGKHIANATAN

Bimabet
CHAPTER 4


PERPISAHAN

ANGGA POV


Saat mataku perlahan-lahan terbuka, kesadaran mulai merayap ke dalam diri. Aku terbaring di tempat yang tidak familiar, dengan suara detak jantung yang terdengar begitu jelas. Pandangan pertamaku adalah langit-langit putih yang terang benderang. "Apa yang terjadi?" batinku bergumam. Perlahan-lahan, ingatan-ingatan pun mulai menyusun puzzle dalam pikiranku. Aku teringat perasaan pusing yang tiba-tiba melanda saat aku berada di jalan raya. Dan kemudian, kegelapan.

Aku mencoba menggerakkan tubuhku, namun rasa lemah dan kaku seakan membatasi gerakanku. Setiap gerakan seolah membutuhkan usaha yang sangat besar, dan rasa kelelahan melingkupi setiap serat ototku. Mataku lalu menangkap seseorang berjas putih yang sedang mendekatiku dengan senyuman penuh kehangatan.

"Selamat pagi, Pak Angga. Anda baru saja melewati masa kritis, saya senang dan bangga atas perjuangan Bapak," ujar seseorang yang kuyakini seorang dokter dengan suara lembut. Matanya penuh dengan ketulusan dan harapan. Perkataan yang diucapkannya menciptakan kenyataan secara perlahan menggantikan kabut yang menyelimuti pikiranku.

"Apa yang terjadi?" tanyaku sangat pelan, suara lemahku hampir terdengar seperti bisikan.

Dokter pun menjelaskan dengan sabar tentang kecelakaan yang menimpaku, membuatku terjatuh dalam keadaan kritis. Beliau menyampaikan bahwa aku telah berada dalam keadaan koma selama tiga hari yang panjang. Dengan senyum di wajahnya, sang dokter berbagi rasa syukurnya karena aku berhasil melewati masa kritis tersebut. Beliau menyatakan juga bahwa proses pemulihanku mungkin membutuhkan waktu yang cukup lama. Mereka akan melakukan segala upaya untuk menyelamatkan hidupku, dan sekarang, aku berada di sini, dalam dunia yang nyata kembali.

“Good job brother …” Tiba-tiba kakakku, Faiz, memegang tanganku yang lemah.

“Oh, Iz … Kamu di sini?” Kataku lemah sambil berusaha tersenyum.

“Setelah mendapat kabar dari istrimu, aku langsung terbang ke sini.” Senyuman Faiz bagaikan penyemangat untuk aku segera pulih.

“Sendirian?” Tanyaku lagi pelan.

“Ya … Mama, istriku, dan anak-anakku tidak ikut, berabe kalau mereka ikut dan bukan saatnya untuk berwisata.” Faiz tersenyum lagi sembari menggenggam tanganku.

“Terima kasih …” Ucap tulusku yang disambut anggukannya.

Tak lama berselang, tim medis dengan sigap melakukan perawatan atas diriku. Suster-suster dengan senyum ramah membersihkan tubuhku dan memberikan perawatan yang semestinya. Mereka dengan hati-hati mengatur infus dan monitor yang terpasang, sementara suara alat-alat medis membaur dengan aktivitas mereka di sekitarku. Dokter memeriksa hasil tes dan memberikan arahan kepada perawat-perawat untuk memastikan kenyamanan dan pemulihan optimal bagiku. Sesaat kemudian, aroma harum dari cairan obat dan disinfektan mulai mengisi ruangan. Terapi fisik ringan diberikan untuk membantu memulihkan kekuatan otot yang terkikis selama masa kritis. Aku merasakan tangan-tangan hangat perawat yang memberikan dukungan dan semangat, membuatku merasa tidak sendirian dalam perjalanan pemulihan ini.

Sambil menutup mata, aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa tidak ada rintangan yang mampu menghentikanku untuk kembali bangkit. Aku mengukir mantra kekuatan dalam hatiku, aku akan berjuang sekuat tenaga untuk memulihkan kondisiku, meskipun perjalanan ini panjang dan penuh tantangan, aku tidak akan menyerah. Aku punya kehidupan yang harus dilalui dengan penuh makna. Keluargaku, sahabat-sahabatku, dan impian-impianku adalah pendorong utama untuk cepat sembuh.


#####


Skip Time

Hari-hari di ruang perawatan berjalan begitu lambat, tetapi setiap keberhasilan kecil menjadi alasan untuk bersyukur. Aku menjalani sesi rehabilitasi yang intensif untuk mengembalikan kekuatan dan mobilitas tubuhku. Terkadang, rintangan dan kelelahan datang menyapa, namun dukungan tim medis dan keluargaku menjadi pendorong utama untuk terus maju. Perlahan, tubuhku mulai merespons perawatan dengan positif. Setiap langkah yang berhasil diambil, meskipun kecil, memberikan kepuasan dan semangat baru. Terapi bicara membantu memulihkan kemampuan bicaraku yang sempat terganggu, sementara sesi fisioterapi membawa keluwesan kembali ke dalam gerak tubuhku. Perawat-perawat yang ramah dan penuh perhatian memberikan dorongan moral yang membakar semangatku setiap harinya. Dokter terus memantau perkembanganku, memberikan informasi tentang proses pemulihan dan memberikan saran untuk perawatan lanjutan. Dalam perjalanan ini, keluargaku menjadi pilar utama dukungan, hadir setiap saat untuk mengangkat semangat dan mengisi ruangan dengan cahaya kehangatan.

Setelah satu minggu menjalani pemulihan, kondisiku mengalami perubahan yang dapat dirasakan secara nyata. Meskipun masih terasa lemah, namun kekuatan tubuhku secara perlahan mulai kembali. Terapi fisioterapi yang konsisten telah membantu mengembalikan keluwesan otot-otot yang sebelumnya terasa kaku. Saat ini, aku mampu duduk dan berkomunikasi dengan lebih baik. Terapi bicara membantu memperbaiki ketidaknyamanan dalam berbicara yang sebelumnya aku rasakan. Dokter memberikan informasi positif tentang kemajuanku dan merencanakan langkah-langkah selanjutnya dalam proses pemulihan.

“Setelah satu minggu pemulihan, kami melihat peningkatan yang tajam kekuatan dan respons di tubuh Bapak. Hasil tes menunjukkan progres yang sangat menggembirakan.” Dokter yang merawatku memberikan informasi kemajuan atas proses pemulihanku.

“Terima kasih, dok.” Jawabku sambil tersenyum.

“Teruslah semangat agar kondisi Bapak cepat pulih seperti sediakala.” Ujarnya sembari memagang lenganku.

“Ya, dok. Saya juga ingin cepat sembuh.” Sahutku dibarengi anggukan kepala.

Dokter yang merawatku meninggalkan ruang perawatan. Tak lama kemudian, Faiz masuk ke dalam ruangan dengan senyuman hangat di wajahnya. Ia membawa buket bunga segar yang menghiasi ruangan dengan warna-warni keceriaan. Tatapannya penuh kepedulian saat ia duduk di sisi tempat tidurku.

“Semoga bunga ini membawa keajaiban yang membuatmu cepat sembuh.” Ujar Faiz sambil meletakan bunga tersebut di meja sisi ranjang.

“Iseng banget beli bunga.” Kataku sambil tersenyum yang disambut kekehan kakakku itu.

Aku tersenyum lemah, merasa beruntung memiliki kakak sebaik Faiz di sisiku selama proses pemulihan ini. Faiz duduk di kursi sebelah tempat tidurku, memulai percakapan yang membuat ruangan itu dipenuhi oleh suasana hangat.

“Mama menanyakan keadaanmu. Dia selalu khawatir dan bersedih. Mama bilang minta maaf karena tidak bisa menjengukmu.” Ucap Faiz lemah lembut.

“Gak apa-apa. Aku tahu Mama sedang sibuk ngurus pernikahannya. Tapi, yang aku merasa aneh, kenapa Dewi tak pernah sekali pun datang menjengukku? Apakah dia sudah tidak lagi menganggapku?” Tanyaku sekaligus mengeluarkan unek-unek yang selama ini aku tahan.

“Kamu jangan memikirkan itu dulu. Pikirkan hal-hal yang positif saja.” Jawab Faiz.

“Aku ingin tahu apa yang terjadi. Tolong ceritakan apa yang kamu tahu tentang Dewi.” Pintaku memelas.

“Lebih baik kamu pikirkan dirimu saja dulu. Kesehatanmu lebih penting.” Faiz seperti sedang menghindar.

“Faiz … Pikiranku malah tidak tenang jika aku tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Aku tahu kalau sudah terjadi sesuatu yang tidak mengenakan tentang Dewi. Satu minggu aku di rumah sakit, tak pernah sekali pun dia datang, itu sudah menjadi tanda buruk bagiku. Percuma kamu menutup-nutupinya. Sekarang, katakan apa yang terjadi dengannya?” Jelasku membuat Faiz menatap wajahku lekat-lekat.

Setelah menarik napas dan melepaskannya Faiz pun berkata, “Dewi tidak pernah menjengukmu karena memang dia sudah tidak ingin lagi bertemu denganmu. Dewi sangat membencimu dan sudah peduli lagi padamu. Dia menganggapmu sumber semua masalah, dan ini membuatnya memutuskan untuk mengakhiri hubungan kalian."

Aku merenung sejenak, mencerna setiap kata Faiz. Rasa sakit dan kekecewaan begitu terasa di hatiku. Faiz melanjutkan, "Aku tahu ini sulit untuk diterima, tapi aku pikir kamu berhak tahu kebenaran. Kita semua tahu bahwa keadaan ini sangat tidak mengenakan, tetapi yang terpenting sekarang adalah fokus pada pemulihanmu. Kesehatanmu sendiri harus menjadi prioritas utama.”

“Aku sadar kalau aku adalah sumber masalah kekisruhan ini. Tapi, aku ingin memperbaiki diri, aku ingin kami kembali bersama. Aku sangat menyesal telah membuatnya menderita.” Kataku pilu.

“Tidak ada kata terlambat, kamu masih bisa bicara dengannya, tapi sehatkan dulu kondisi tubuhmu. Bebaskan pikiran yang bisa mengganggu proses pemulihanmu.” Saran Faiz yang sangat bisa diterima.

“Ya … Itu pasti aku lakukan.” Responku sambil tersenyum.

Aku dan Faiz ngobrol kesana-kemari, mengenang kenangan-kenangan indah yang pernah kami rasakan bersama. Suasana yang tercipta begitu hangat, seakan menyapu jauh rasa sedih dan kekecewaan. Tawa dan cerita-cerita ringan menjadi obat penawar, merubah ruangan perawatan menjadi tempat yang penuh keceriaan. Namun, obrolan kami terputus ketika dua orang perawat masuk ke dalam ruang perawatanku. Dengan senyuman ramah, mereka memberi salam dan mulai mempersiapkan peralatan untuk sesi terapi selanjutnya. Aku pun dengan sabar bersiap menghadapi proses pemulihan yang kembali memerlukan fokus dan ketekunan.

Saat terapi dimulai, aku melibatkan diri sepenuhnya, berusaha mengikuti setiap instruksi perawat dengan penuh semangat. Meskipun tubuhku masih terasa lemah, tekadku untuk pulih semakin menguat. Faiz, duduk di sampingku, memberikan dukungan dan semangat, menjadikan setiap sesi terapi tidak hanya sebagai rutinitas medis, tetapi juga sebagai langkah menuju kesembuhan yang kudambakan.


#####


Skip Time

Usaha tidak membohongi hasil, itulah jargon yang aku rasakan saat ini. Setelah berusaha memulihakan kondisi tubuhku dengan segenap kegigihan selama tiga minggu di rumah sakit, akhirnya aku bisa menghirup udara bebas di alam terbuka. Kukungan dinding-dinding rumah sakit kini hanya tinggal bukti sejarah betapa aku dengan sekuat tenaga berusaha untuk sembuh total. Sekali lagi, “usaha tidak membohongi hasil” adalah prinsip yang selalu kupercayai.

Namun, kegembiraanku akibat terlepas dari belenggu ketidakberdayaan selama di rumah sakit seketika sirna saat Dewi menyodorkan surat cerai padaku. Sore itu, kami duduk berhadap-hadapan di meja makan. Udara di sekitar kami seolah membeku, hanya terdengar gemuruh ketegangan yang merayap di setiap sudut ruangan. Aku memegang selembar kertas yang berisi kata-kata yang sulit untuk kuterima.

"Dewi …" Panggilku dengan suara serak, mencoba menemukan kejelasan di tengah kebuntuan ini. "Dewi, kita bisa mencari jalan keluar lainnya. Mari kita bicarakan dan temukan solusi bersama," ujarku dengan suara bergetar, namun matanya hanya menatap kosong tanpa sepatah kata pun. Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Aku tahu kita telah melewati masa sulit, tetapi aku yakin kita bisa mengatasi ini bersama. Kita punya sejarah, kenangan indah yang tidak boleh kita abaikan begitu saja."

Dewi, setelah sejenak terdiam, akhirnya memecah kesunyian dengan suara serak, "Angga, aku mengakui kalau kita berdua sudah mencoba semaksimal mungkin. Tapi, aku rasa kita sudah berada di ujung jalan yang tak ada lagi jalan keluar."

Hatiku terasa remuk redam, namun aku memaksa diri untuk bertanya, "Tapi, Dewi, apakah kita tidak bisa mencoba sekali lagi? Aku berjanji, aku akan berubah. Aku tidak akan lagi melarangmu bekerja. Aku persilahkan kamu bahagia dengan pilihanmu. Dewi, beri aku kesempatan untuk memperbaiki diri, beri aku kesempatan untuk membalas kesalahan-kesalahanku."

Dewi menggeleng lembut, "Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini, Angga. Aku merasa kita berdua harus melangkah ke arah yang berbeda. Aku minta maaf jika ini menyakitimu, tapi aku percaya ini adalah keputusan terbaik bagi kita berdua." Kata-kata itu menusuk hatiku seperti pisau tajam, setiap kalimat membuka luka yang baru.

"Dewi, aku... aku tidak tahu harus bagaimana," kataku dengan suara bergetar, mencoba menutupi kelemahan yang kian terasa. "Kita telah melalui begitu banyak momen bersama, dan aku tidak ingin melepaskan semuanya begitu saja. Bisakah kita mencoba satu kali lagi, mencari jalan keluar bersama-sama?"

Dewi menatapku penuh penyesalan, dia menjawab, "Angga, aku juga tidak ingin mengakhiri ini begitu saja. Tapi, kita berdua harus mengakui kenyataan. Ada kalanya cinta tidak cukup untuk menjaga sebuah pernikahan tetap utuh. Aku berharap kita bisa menghadapinya dengan lapang dada, walaupun itu berarti kita harus berpisah."

Hatiku terasa berat, seakan-akan terjepit di antara pilihan-pilihan yang sulit. Aku merasa seperti kehilangan pegangan, tak tahu lagi harus berbuat apa. Meskipun begitu, ada bagian dalam diriku yang menyadari bahwa ada kekuatan yang perlu ditemukan untuk menerima kenyataan ini, meskipun seberapa sulit itu.

Tanganku gemetar saat menandatangani kertas yang menggambarkan akhir dari sebuah bab dalam hidupku. Sesaat, ruangan ini terasa sunyi, hanya diisi suara detik jam yang berdetak dengan kejam. Setelah itu, aku memandang Dewi, mencari jawaban di matanya, namun apa yang bisa ditemukan selain kehampaan dan ketidakmungkinan.

Aku kemudian memberikan surat cerai yang telah aku tandatangani. Dewi menerimanya dan tanpa berkata-kata lagi, dia berlalu begitu saja. Ruangan yang sebelumnya dipenuhi dengan ketegangan kini terasa sunyi. Hatiku terasa hampa, dan setiap detik terasa begitu lama. Aku mencoba mencari makna dari segala yang terjadi. Aku mencoba menyalakan kilasan kenangan indah kami, tetapi rasa sakit terus menyusup begitu dalam. Aku pun berdiri dan berjalan ke halaman belakang. Sambil memandang langit senja, aku merenung, mencari kekuatan di dalam diri untuk menghadapi hari-hari yang akan datang, sebagai seorang yang baru, terpisah dari ikatan pernikahan yang dulu begitu manis.


#####


Skip Time

Seberapa pun beratnya, hidup tetap harus dijalani. Aku tahu bahwa masa depan masih penuh ketidakpastian, tetapi aku juga menyadari bahwa di setiap akhir ada awal yang baru. Hidup terus berlanjut, dan aku harus belajar merangkul perubahan dengan hati yang terbuka. Meski butuh waktu untuk sembuh, aku yakin bahwa setiap kesulitan adalah ujian yang akan membentuk kekuatan dan ketahanan dalam diriku.

Ternyata waktu jualah yang menyembuhkan luka hati ini. Setiap hari membawa sedikit demi sedikit kesembuhan, seiring dengan langkah-langkah yang kuambil untuk merangkul kehidupan baru. Dalam setiap matahari terbenam dan terbit yang aku saksikan, aku merasakan keajaiban waktu yang tak terelakkan. Meskipun ada kenangan yang tidak akan pernah hilang, namun dengan waktu, aku belajar bagaimana menggenggam masa lalu dengan keikhlasan, membiarkan luka-luka itu sembuh, dan melangkah maju menuju masa depan yang lebih terang.

Seperti hari-hari kemarin, aku melakukan aktivitas rutinitasku. Hari ini, sejak pagi, aku sibuk bekerja. Sebagai seorang mechanical engineer, tanggung jawabku begitu besar, dan setiap hari membawa tantangan baru. Sore ini, aku terpaku di meja kerja, di antara tumpukan gambar teknis dan blueprint. Terlepas dari kerumitan pekerjaan, setiap detik yang dihabiskan di sini membawa kepuasan tersendiri.

Saat jarum jam menunjukkan pukul 16.00, suasana sibuk di ruang kerjaku mulai mereda. Rasa lelah dari aktivitas kerja sepanjang hari mulai terasa, namun tiba-tiba kehadiran seseorang membuyarkan ketenangan tersebut. Pintu ruangan terbuka, dan kini di hadapanku berdiri seorang wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai pengacara Dewi. Sempat terkejut, aku dengan cermat menerima kedatangan sang pengacara. Wajahnya tampak serius, dan aku segera mempersilahkan untuk duduk di kursi depan meja kerjaku. Pikiranku mulai berseliweran, bertanya-tanya apa yang membawa pengacara ini ke ruang kerjaku.

“Saya akan langsung saja.” Katanya. “Sesuai putusan pengadilan, Anda dan klien saya harus membagi harta gono-gini. Klien saya tidak meminta apa pun dari Anda, kecuali separuh dari hasil pelelangan rumah yang akan dilakukan hari Jumat depan.” Lanjutnya membuatku sedikit terhenyak.

Aku sadar betul bahwa rumah yang kini menjadi tempat tinggalku berstatus harta gono-gini. Meski sejak awal sudah ada pertanda akan ada pelelangan, namun aku tidak pernah membayangkan bahwa waktu pelaksanaannya akan begitu cepat. Aku mencoba menerima kenyataan ini meskipun sulit untuk merelakan tempat yang kubangun hasil jerih payahku.

“Baiklah. Saya akan segera mengosongkan rumah itu sebelum hari Jumat.” Responku sambil senyum yang dipaksakan.

“Terima kasih atas kerjasamanya, dan ada surat dari klien saya untuk Anda.” Ucapnya sambil meletakan surat beramplop putih di atas meja kerjaku.

“Oh …” Gumamku sambil mengambil surat tersebut.

“Kalau begitu, saya permisi. Maaf telah mengganggu waktu Anda.” Katanya lagi sambil berdiri.

“Silahkan …” Jawabku seraya berdiri sambil mempersilahkan sang pengacara untuk undur diri.

Setelah pengacara, Diana, meninggalkan ruangan, aku segera membuka surat yang ditulis Dewi untukku. Mataku merayapi setiap kata, dan hatiku sedikit terenyuh saat membaca pesan dari Dewi.



Dear, Angga

Aku berharap surat ini menemuimu dalam keadaan baik. Sejak berpisah, aku merasa perlu menyampaikan beberapa hal yang selama ini mengganjal di dalam hati. Aku ingin meminta maaf dengan setulus hati atas keputusanku untuk berpisah. Ini bukan keinginanku untuk menyakiti hatimu, tetapi aku merasa ini adalah langkah yang harus diambil untuk kebahagiaan kita berdua.

Walau kita tidak bersama lagi sebagai pasangan hidup, aku sungguh berharap kita masih bisa menjalani kehidupan dengan baik dan penuh kedamaian. Aku ingin kita tetap bersahabat, tanpa ada rasa sakit hati ataupun dendam di antara kita. Harapannya, kita bisa saling mendukung dan memahami pilihan masing-masing.

Aku ingin meminta maaf atas perilaku dan keputusan-keputusan yang mungkin telah mengecewakanmu. Tanpa bermaksud menyakiti, aku menyadari bahwa kadang-kadang keputusan yang diambil tidak selalu dapat diterima dengan mudah. Harapanku, kita bisa saling memaafkan dan melanjutkan kehidupan dengan baik.

Angga, kita memiliki buah hati yang perlu dijaga bersama. Anak kita adalah bagian dari cinta yang pernah kita bagi, dan aku berharap kita bisa tetap bekerja sama dalam menjaga kebahagiaan dan keamanannya. Meskipun jalanan hidup kita kini terpisah, tetapi cinta kita pada buah hati kita tetap sama kuatnya.

Terakhir, aku ingin meminta maaf sekali lagi atas semua peristiwa ini. Semoga kita bisa menemukan kedamaian dan kebahagiaan masing-masing di hari-hari mendatang. Aku selalu berdoa yang terbaik untukmu.

Dengan segala kebaikan hati,

Dewi




Aku membaca surat itu sekali lagi, mataku menelusuri setiap kata yang ditulis Dewi dengan perlahan. Setelahnya, aku menyandarkan punggungku di sandaran kursi, membiarkan pikiranku melayang jauh. Aku akhirnya tersenyum sambil merenung, kami menikah dengan cara yang baik, maka berakhir juga harus dengan cara yang baik. Saat jalan yang ditempuh tidak selaras lagi, memang sebaiknya saling merelakan untuk memilih jalan masing-masing. Setelah berpisah pun tak perlu ada dendam jika masih bisa menjadi teman atau sahabat. Perpisahan memang kata yang berat untuk diterima. Namun, aku tidak akan terlarut dalam kesedihan karena perpisahan, sebab aku yakin setelah perpisahan ini akan ada pertemuan lainnya yang lebih hangat di masa depan.

Akhirnya aku memutuskan untuk mengakhiri rutinitas kerjaku dengan membereskan meja kerja. Jam dinding di ruanganku sudah menunjukkan pukul 17.00. Kesejukan udara kantor tergantikan oleh hembusan angin luar yang menyegarkan saat aku membuka pintu ruangan kerjaku. Setelah menutup pintu ruangan kerja, kaki ini membawaku ke pelataran gedung kantor yang penuh dengan kendaraan yang terparkir rapi. Dengan santai, aku mendekati mobil kesayanganku, lalu duduk dengan tumaninah di belakang kemudi.

Ketika mesin mobil menyala, radio otomatis menyala pula, mengiringi laju mobilku meninggalkan halaman kantor. Aku menikmati suara lembut lagu yang terputar, menjadi teman setia dalam perjalanan pulang yang penuh kemacetan. Jalanan padat menjadi hal yang biasa saat jam pulang kerja seperti ini. Aku tersenyum melihat langit yang berubah warna perlahan sambil menikmati lantunan musik yang menemani kejenuhan di perjalanan.

Tiba-tiba, di tengah kemacetan yang semakin menggeliat, pikiranku teralihkan. Aku merasakan hasrat untuk menikmati secangkir kopi hangat. Aku memang pecandu kopi. Tak hanya sebagai minuman penyemangat, kopi bagiku adalah teman setia dalam setiap kejenuhan dan hiruk-pikuk kehidupan. Dengan spontan, aku memutuskan untuk mampir ke sebuah kafe yang terletak di pinggir jalan. Tak lama kemudian, aroma kopi yang khas menyambutku begitu pintu kafe terbuka. Dengan langkah ringan, aku memasuki kafe yang cozy, memesan kopi favorit, dan memilih tempat duduk yang nyaman di pojokan.

Saat aku asik menikmati secangkir kopi, mataku tertuju pada dua wanita yang baru saja memasuki kafe. Terlihat jelas dari pakaian kerja mereka, keduanya baru saja selesai dengan urusan kantor. Senyum spontan terukir di wajahku ketika aku menyadari bahwa mereka adalah teman dekat Dewi, serta rekan kerja yang akrab dengannya. Lina dan Lusi, begitu aku mengenal mereka. Tanpa ragu, keduanya mengarahkan langkah mereka ke arahku, membawa senyuman hangat yang segera aku sambut dengan gerakan berdiri dan senyuman.

“Hai …” Sapa Lusi terlebih dahulu padaku.

“Hai juga. Bagaimana kabar kalian?” Tanyaku yang memang sudah lama tak bertemu dengan mereka.

“Ya, begini-begini aja. Seperti yang kamu lihat.” Ujar Lina sembari duduk di depanku.

“Kabarmu gimana?” Tanya Lusi yang juga segera duduk di sebelah Lina.

“Aku baik-baik saja.” Jawabku sambil kembali duduk.

Aku langsung melambaikan tangan kepada pelayan kafe. Segera setelahnya, aku memesan kopi favorit Lina dan Lusi, serta beberapa makanan ringan untuk menemani pertemuan tak terduga kami ini. Di antara cangkir-cangkir kopi yang menghiasi meja, kami saling berbagi cerita, menghibur satu sama lain dengan anekdot kantor dan cerita lucu.

“Ngga … Aku turut berduka dengan perceraianmu dengan Dewi.” Ucap Lusi dengan ekspresi serius, merubah dinamika hangat pembicaraan kami seketika.

Aku mengangguk, merasa sedikit enggan meneruskan percakapan yang sedang kami masuki. "Terima kasih, Lusi. Ini sudah menjadi takdir yang harus aku terima," jawabku, mencoba tersenyum lemah.

Lina menambahkan, "Aku lumayan kaget. Aku turut menyesalkan perpisahan kalian. Tapi ya, memang kalau sudah takdir, mau apa lagi."

Lusi tiba-tiba mengambil tanganku dan menggemgamnya, "Kamu harus kuat, aku yakin kamu pasti bisa melaluinya."

“Terima kasih …” Ucapku sembari memberinya senyum.

Sambil menyesap kopi, kami melanjutkan percakapan tentang bagian terberat dalam hidupku saat ini. Mereka banyak bertanya, dan aku merasa harus menjelaskan semuanya dengan sejujur-jujurnya. Lina dan Lusi mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak menghakimi atau mencari solusi instan.

Lusi menatapku dengan penuh empati, "Itu pasti berat buatmu."

Aku mengangguk, merasakan dukungan dari setiap kata mereka. "Benar, tapi aku percaya semuanya akan baik-baik saja suatu hari nanti."

“Em … Aku mau buka rahasia untukmu. Tapi jangan bilang sama Dewi kalau aku yang menceritakannya padamu.” Ujar Lina dengan suara dipelankan.

“Apa itu?” Tanyaku dengan suara yang ikut memelan.

Lina melihatku dengan tatapan penuh pengertian, dan kemudian dia menghela nafas pelan sebelum berbicara, "Kamu tahu, Dewi sebenarnya merasa sedikit menyesal, lho. Dia kaget waktu mendengar kalau kamu ingin berubah, berusaha mempertahankan pernikahan kalian. Tapi, pengakuanmu itu datang terlambat baginya. Dia bingung dan merasa menyesal karena baru menyadari betapa seriusnya kamu ingin mempertahankan rumah tangga kalian."

Aku mengangguk, merasakan getaran yang sulit diungkapkan. Lina melanjutkan, "Tapi, sayangnya, Dewi merasa sudah terlalu jauh. Dia sudah mempunyai tambatan hati yang lain, dan menurutnya, pengakuanmu untuk berubah itu datang sangat terlambat. Dia merasa dirinya sudah menodai kesucian pernikahannya dengan menyerahkan tubuhnya kepada kekasih barunya."

“Oh begitu?” Lusi terlihat kaget.

“Iya. Kamu ingat gak waktu dia gak masuk kerja terus dia dimarahin boss besar?” Lina mengalihkan pandangan ke arah Lusi.

“Iya … Aku ingat banget.” Jawab Lusi.

“Dewi itu sakit karena memikirkan omongan Angga. Katanya sih dia sampai gak bisa tidur dua hari dua malam.” Ujar Lina sembari menatapku kembali.

Suasana kafe terasa hening sejenak, penuturan Lina itu membuatku merenung dalam. Meskipun berat untukku menerima kenyataan, pikiranku perlahan-lahan membumi. Aku memilih untuk merangkul takdir dengan lapang dada. Perjalanan hidupku memang harus melibatkan perpisahan yang sulit ini. Namun, aku harus menerima bahwa ada hal-hal yang di luar kendaliku.

“Ngga … Maaf ya …” Ujar Lina yang kini menggenggam tanganku lembut.

"Gak apa-apa, Lin. Terima kasih sudah ngasih tahu itu padaku. Percayalah, aku sudah bisa menerima kenyataan ini dengan lapang dada," ucapku sambil tersenyum tipis.

Lina meremas tanganku dengan lembut, "Aku yakin, kamu pasti kuat.”

Aku mengangguk, menghargai kata-kata penyemangat dari Lina. "Terima kasih, Lin. Perceraian ini memang berat, tapi aku yakin kejadian ini pasti membawaku ke tempat yang lebih baik, meskipun harus melalui lika-liku yang sulit."

“Ya, aku setuju.” Sambung Lusi sambil tersenyum.

Kami bertiga melanjutkan obrolan dengan tema lain, terutama tentang perceraian Lina dengan Herman. Aku melihat bagaimana Lina dengan santai menanggapi perceraiannya, terlepas dari alasan di balik perceraian tersebut. Meski aku tahu bahwa perceraian mereka disebabkan oleh Lina yang berselingkuh, tetapi sikapnya yang tenang membuka pandanganku. Lina tersenyum dan bercerita dengan ringan, seolah perceraian adalah hal yang biasa. Melihatnya bisa menyikapi hal tersebut dengan begitu tenang mempengaruhi pikiranku. Walaupun alasan perceraian yang aku alami berbeda, tetapi aku merasa terinspirasi olehnya untuk menyikapi perceraianku dengan santai juga, membuka halaman baru dalam hidupku tanpa membawa beban masa lalu.

Setelah bertukar cerita dengan Lina dan Lusi, aku akhirnya memutuskan untuk mengakhiri pertemuan kami. Setelah berpamitan dengan janji untuk segera bertemu lagi, aku melangkah keluar dari kafe dan melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Di tengah perjalanan yang masih diwarnai oleh kemacetan, tiba-tiba smartphoneku berdering. Tanpa ragu, aku mengambilnya dan melihat panggilan dari Mama. Sejenak aku merenung sebelum mengangkat teleponnya, hubunganku dengan Mama memang sudah agak mencair saat aku mengalami kecelakaan. Sejak saat itu, aku dan Mama mulai sering berkomunikasi, walau masih sebatas melalui telepon. Aku pikir, sudah saatnya aku melupakan dan memaafkan kesalahan Mama untuk kebaikanku sendiri. Meski masih terasa sulit untuk melupakan masa lalu, aku merasa bahwa perubahan positif di antara kami berdua telah membuka pintu bagi kedekatan yang baru. Entah itu membicarakan hal-hal sepele atau berbagi cerita tentang keseharian, setiap percakapan membawa kami semakin lebih dekat satu sama lain.

“Ya, Ma …” Sapaku ramah.

"Sedang di mana, Nak?" suara hangat Mama terdengar di ujung telepon.

“Aku masih dalam perjalanan pulang, Ma. Sebentar lagi sampai di rumah. Ada apa ya Ma?” Tanyaku kemudian.

“Mama minta nomor rekeningmu. Mama mau ngirim uang untukmu.” Katanya.

"Ah, Ma, nggak usah repot-repot. Aku baik-baik saja. Jangan khawatir, Ma." Kataku dengan senyum lembut.

"Tidak apa-apa, Nak. Mama ingin membantumu. Kalau butuh sesuatu, bilang saja. Mama tidak ingin kamu kesulitan."Ujar Mama dengan suara penuh kehangatan.

"Terima kasih, Ma. Tapi aku punya cukup kok. Mama gak usah repot-repot ngirim uang." Kataku lagi sambil mencoba meyakinkan.

“Sudah … Jangan beralasan. Tolong berikan nomor rekeningmu, ya?" Pinta Mama sedikit memaksa.

"Ma, aku tidak ingin merepotkan Mama. Sudah cukup, Ma. Aku bisa mengatasi ini sendiri." Aku mencoba menolak lagi.

"Nak, Mama sayang kamu. Mama sangat ingin membantumu. Jangan ragu untuk menerima bantuan Mama." Ucapnya dengan penuh kasih sayang.

"Ma, aku ingin bisa mandiri." Aku terus mencoba mempertahankan sikapku.

“Mama tahu kalau kamu mandiri dan kuat. Tapi, Mama harap kamu tidak menolak pemberian Mama ini. Tolong berikan nomor rekeningmu, ya?" Pintanya memelas.

Aku menghela nafas dan pada akhirnya, "Baik, Ma. Terima kasih banyak."

“Ok … Mama tunggu nomor rekeningmu.” Ujarnya dan langsung sambungan telepon terputus.

Walaupun dengan berat hati, aku kemudian mengirim nomor rekeningku pada Mama. Beberapa menit berselang, sebuah notifikasi masuk ke ponselku. Ternyata, Mama benar-benar mentransfer uang padaku, dan jumlahnya mencapai satu milyar rupiah. Aku terdiam sejenak, tidak percaya bahwa angka fantastis itu nyata. Aku membuka pesan dari Mama yang menyertai transfer itu, dan dia menuliskan, "Ini untuk membantumu, Nak. Gunakan dengan baik dan jangan ragu untuk meminta lagi jika membutuhkan."

Sungguh, kebingungan dan kekagumanku tergambar di wajahku. Aku tak menyangka bahwa Mama memiliki sejumlah uang yang begitu besar. Keterkejutanku berubah menjadi perasaan senang dan bahagia. Ini bukan sekadar tentang jumlah uang yang diterima, tetapi lebih kepada perhatian dan keinginan Mama untuk membantuku melewati masa sulit ini. Dengan hati yang penuh rasa syukur, aku merasa terharu oleh kebaikan hati Mama. Sekarang aku sadar, aku telah salah menilai Mama selama ini. Ternyata kasih sayang Mama seluas lautan. Menerima sumbangan sebesar itu bukan hanya tentang uang, melainkan juga tentang kepedulian dan dukungan tanpa syarat dari seorang ibu yang mencintai anaknya. Sejenak, air mata haru keluar dari pelupuk mata, meresapi momen yang penuh makna ini.

Saat mobilku harus terhenti lagi oleh kemacetan, aku memandangi layar ponsel yang menampilkan jumlah transfer. Aku merenung, ini bukan hanya membuka mataku terhadap kebaikan Mama, tetapi juga mengajarkan aku sebuah pelajaran tentang arti sejati dari keluarga. Ketenangan dan kebahagiaan yang aku rasakan melebihi sekadar nilai materi. Ini adalah investasi yang tak ternilai dalam hubungan keluarga. Aku berjanji dalam hati untuk lebih menghargai dan memahami kasih sayang Mama, serta akan memperdalam hubungan kami seiring berjalannya waktu.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Kisah yg menarik untuk di ikuti sampai titel tamat, Pembaca Tertarik Siapa ini.
Karakter Angga yg Keras Kepala, mau merubah sikapnya, memperbaiki sikapnya dan mempertahankan keluarga?
Karakter Dimas, atau
Karakter Dewi... atau
Karakter baru lainnya yg akan muncul.

Mari kita ikuti kisah selanjutnya monggo bang @Nice4, matur nuwun silahkan dilanjut...
 
ya, seberat apapun beban masalah hidup kita hari ini, pasti akan bisa diselesaikan, meskipun kita belum tahu, apakah esok masalahnya akan lebih ringan? atau mungkin saja masalahnya lebih berat dan kompleks.

ah.. jalani saja dan nikmati hidup ini, agar kita tidak lupa bersyukur
 
Angga.....yg perlu diambil dr sikapnya yg dg kuat menerima kenyataan ..disaat akan berusaha berubah....musibah datang ...istri minta pisah ...pembagian harta Gono gini ..dan mmg disetiap kesulitan ada kemudahan..yaitu hubungannya dg ibunya mulai mencair.....pelajaran dlm hidup....semoga ...
 
Kisah yg menarik untuk di ikuti sampai titel tamat, Pembaca Tertarik Siapa ini.
Karakter Angga yg Keras Kepala, mau merubah sikapnya, memperbaiki sikapnya dan mempertahankan keluarga?
Karakter Dimas, atau
Karakter Dewi... atau
Karakter baru lainnya yg akan muncul.

Mari kita ikuti kisah selanjutnya monggo bang @Nice4, matur nuwun silahkan dilanjut...
Makasih om @ustabu2, seneng sekali dengan komennya. Kita simak saja bersama-sama kelanjutannya.
Hanupis ...
suwun updetnya
Selamat pagi menjelang siang sesepuh @fq_lex
ya, seberat apapun beban masalah hidup kita hari ini, pasti akan bisa diselesaikan, meskipun kita belum tahu, apakah esok masalahnya akan lebih ringan? atau mungkin saja masalahnya lebih berat dan kompleks.

ah.. jalani saja dan nikmati hidup ini, agar kita tidak lupa bersyukur
Bijak sekali hu ... Mantap ...
Izin bertanya suhu @Nice4

Sekitar 2 tahun lalu ane baca cerita berjudul CEO KU di w*attpad.
Ane melihat ada kemiripin gaya penulisan, apakah suhu yg menulis cerita tersebut ataukah suhu punya akun w*attpad??
Saya punya akun di W*attpad. Saya pernah menulis di sana. Tapi itu bukan cerita saya. Mungkin kebetulan saja gaya berceritanya sama.
ijin menyimak kakak
Silahkan Dik ... Tinggal duduk manis saja ...
 
Sayang sekali, tadinya ane berharap itu memang suhu. Soalnya cerita tersebut mandek dan ane berharap suhu bisa teruskan cerita tersebut.
Boleh ane tau nama akun suhu di w*ttpad, ane pengen baca karya2 suhu di sana.
 
Angga.....yg perlu diambil dr sikapnya yg dg kuat menerima kenyataan ..disaat akan berusaha berubah....musibah datang ...istri minta pisah ...pembagian harta Gono gini ..dan mmg disetiap kesulitan ada kemudahan..yaitu hubungannya dg ibunya mulai mencair.....pelajaran dlm hidup....semoga ...
Benar sekali om @ganang123, di dalam setiap kesulitan akan ada kemudahan.
Mantap om ...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd