Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

ida istriku

Bimabet
Ini cerita top bgt.

Salah satu cerita terbaik yang pernah saya baca.

Biasa ceritanya tentang.. Selingkuhan, perkosaan.. Tapi ini beda.. Halal muhrimnya..
 
Jadi intinya lu lu pade yang biasa coli ato pelampiasan ke perek supaya cepet nikah biar halal dan gak ngumpul2 dosa terus bro...
 
ni cerita terbaik di forum ini.....
yg setuju......

angktat semvakkk......
 
Maaf baru koment suhu..

Nubie sudah lama baca ini cerita, tapi memang cerpen yang panas seperti ini yang jarang di ceritakan.

Masuk di akal banget. Walau nubie salah satu yang anti di jodohkan, tapi liat cerita ini, nubie jadi berkomentar pengecualian kayanya.

Lanjut berkarya suhu besar...
 
weehh.. sampai lebaran kuda juga belum ada update nya? si ida lagi lupa cara ML apa ya?
 
Ayoo suhu...
Awalnya berharap setelah melintasi 20 page sudah ada lanjutannya...
Ane tambah yakin kalau cerita ini bukan repost setelah ada updatenya...
Ayooo semangat untuk update nya...
 
Aduh... Sayang bener kalo berhenti... Mau repost mau anyar yg penting asik niii...
 
Cerita ini mah udah pernah ada, gan. Ini buktinya:

SETELAH lulus dari universitas aku bekerja di salah satu perusahaan swasta terkemuka di Jakarta, meniti karir sebagai eksekutif muda yang merupakan impian banyak orang sekarang ini.
Semuanya berjalan normal. Sampai suatu hari, kedua orangtuaku yang sudah berusia senja menyuruhku menikah dengan salah seorang anak dari kerabat mereka. Pernah terlintas di kepalaku untuk tidak menuruti kemauan kedua orangtuaku. Tetapi apa lagi yang bisa kuperbuat untuk mereka selain menjalani pernikahan tanpa ada rasa cinta sebelumnya.
Namaku Ilham. Karena merupakan anak satu-satunya, kedua orangtuaku sangat ingin cepat-cepat memiliki cucu dariku
Wanita itu namanya Ida, dia seumuran denganku. Dia juga bekerja di salah satu perusahaan swasta sebagai general manager.
Hari pernikahan kami berjalan lancar. Yang kami berdua lakukan hanya tersenyum dan melambaikan tangan saja sepanjang hari, tidak seperti pasangan lainnya yang sangat antusias dengan perkawinannya. Kami berdua, atau mungkin saya lebih tepatnya, malah seolah-olah tidak peduli dengan apa yang terjadi hari itu.
Malam pertama kami bisa dibilang sangat aneh. Tak ada hiasan pengantin, suasana yang harusnya romantis berubah menjadi sekaku es. Sepanjang malam tidak ada satupun dari kami yang memutuskan untuk membuka pembicaraan terlebih dahulu.
Matahari mulai menampakkan diri di ufuk timur, dan kuputuskan untuk keluar dari kamarku untuk membuat secangkir kopi di dapur. Setengah jam sudah dan kopi di cangkirku hampir habis.
"Gue ke kantor dulu, pulangnya mungkin agak kemaleman," ujar Ida sambil mengenakan sepatu di ruang tengah.
Kata-katanya tak kuhiraukan, seakan terbawa dalam lamunan banyak hal yang menghantui pikiranku, dan suara pintu depan kemudian menyadarkanku bahwa wanita yang menyapaku tadi adalah istriku.
Waktu terasa begitu lambat berjalan. Setelah semua pekerjaanku di kantor selesai kuputuskan untuk pulang dan beristirahat. Setibanya di rumah keadaan sepertinya masih sama seperti dulu saat aku masih bujang, tidak ada yang berubah.
Tiba-tiba..., "Udah pulang kamu?" tanya Ida diiringi senyum. "Sorry yah tadi gue nggak sempet masak, kita delivery aja yah," sambungnya.
Tanpa berkata satu patah kata pun aku berjalan pergi meninggalkannya, seperti belum yakin kalau semua ini sudah terjadi.
Setelah mandi kunyalakan televisi, dan tidak lama setelah itu terdengar bunyi bel dari pintu depan, ternyata kedua orangtua kami datang berkunjung.
"Eh, kok nggak bilang kalau mau dateng?" tanya Ida kepada kedua orangtua kami sambil menggandeng tanganku.
Tangan Ida terasa dingin, mungkin karena dia baru selesai mandi, dan sepertinya Ida belum memakai daleman. Kedua buah dadanya menjepit lenganku, dan entah sengaja atau tidak Ida mulai mengosokkan kedua buah dadanya naik turun.
Sebenarnya kejadian itu sangat aku nikmati, namun karena memang pada dasarnya kami tidak memiliki rasa cinta, jadi aku memutuskan untuk bersikap normal.
Kunjungan kedua orangtua kami berakhir pukul 23.30 malam, dan kejadian tadi membuatku bingung harus bersikap seperti apa. Seumur hidup baru kali ini aku diperlakukan seperti tadi, dan bisa saja kejadian tadi kunikmati, tetapi Ida bukanlah wanita yang kucintai.
Yang anehnya lagi, hingga kedua orangtua kami pulang Ida tetap menggandeng tanganku, seakan tidak ingin dilepaskannya. Tidak ingin terus dalam keadaan yang membuatku seperti orang bodoh, kulepaskan tanganku dari dekapannya dan pergi ke ruang kerjaku
Langkah kakiku menuju ruang kerja terasa semakin berat. Ida sebenarnya hanya ingin memulai sesuatu yang baik, tetapi mungkin aku terlalu serius menanggapinya.
Saat pekerjaan kantorku hampir selesai Ida datang menghampiriku.
"Masih marah ya? Maaf deh lain kali gue bakal ngasih tau lo dulu kalo gue mau berimprovisasi," suara Ida terdengar pelan penuh penyesalan.
"Nggak, gue nggak marah... gue cuma bingung aja tadi, mau nanggepinnya gimana," balasku.
Perlahan mulai kusadari bahwa tidak ada jalan keluar lain selain membicarakan semua masalah dengan baik-baik.
"Ya udah, kalo gitu gue tidur duluan yah...," sambung Ida dengan senyum manis di wajahnya.
Untuk ukuran kecantikan, Ida termasuk wanita yang cantik dan menawan. Sebagai wanita karir yang selalu mementingkan penampilan, Ida sebenarnya sangat sexy. Walau orangnya perfectionist, Ida tetap bisa membagi diri agar tetap bisa jadi orang yang asyik. Contohnya, di kantor dia selalu berusaha terlihat berwibawa dan selalu rapi, sedangkan di rumah dia sering hanya memakai celana jeans pendek dan baju tanpa lengan. Selain itu, Ida sebenarnya orang yang mudah mencairkan suasana dan nyambung jika diajak bercerita. Tetapi karena pada dasarnya belum memiliki rasa sayang, masih sangat sungkan bagiku untuk melakukan sesuatu padanya.
Malam itu sofa di ruang tv menjadi tempat tidurku, dan sengaja kubiarkan Ida tidur sendiri di kamar karena masih ada sesuatu yang mengganjal dalam diriku.
Keesokan harinya Ida bangun lebih dulu, segera dia menuju ruang tv dan melihatku yang sedang tidur.
"Loh, nggak tidur di dalem? Entar masuk angin loh," suara Ida terdengar di pagi hari saat kucoba untuk mengumpulkan nyawa.
"Nggak apa-apa... kalo gue tidur ama lo, entar kesannya gimana gitu," kataku sambil mengusap mata.
"Gue buatin kopi mau nggak?" tanya Ida.
"Nggak, nggak usah gue bisa buat sendiri kok," jawabku.
"Udah, nih...," ujar Ida sambil menyodorkan secangkir kopi kepadaku. Setelah itu dia duduk tepat di sampingku, sangat dekat hingga paha kami berdua bersentuhan.
Pagi itu Ida mengenakan hotpants dan baju kaos oblong yang kebesaran, membuatnya semakin terlihat sexy.
"Nggak ngantor?" tanyaku basa-basi. Jantungku berdetak kencang saat selesai bertanya, Ida menaruh tangannya di pahaku, dan menatapku dengan matanya yang indah.
"Jam sembilan lewat dikit baru gue berangkat, lo?" tanya Ida balik.
"Sama, gue juga... kita berangkat bareng mau nggak?" balasku.
"Siap komandan," jawab Ida sambil tertawa.
Sebelum berangkat ke kantor, kami gunakan waktu untuk bercanda dan saling mengenal lebih dekat lagi.
Hari itu terasa sangat singkat, tugas-tugas di kantor terasa lebih ringan. Mungkin karena suasana hatiku yang sedang senang.
Sepulang kantor kujemput Ida di kantornya, kemudian kami makan malam di sebuah restoran dekat rumah kami, setelah itu kami pulang.
Sampai di rumah, kuputuskan untuk mandi dan langsung nonton tv. Jam menunjukkan pukul 21.00 tetapi mataku sudah terasa berat.
Sambil menahan kantuk kulangkahkan kakiku menuju kamar.
Pintu kamar kubuka sedikit, dan saat hendak masuk ke dalam langkahku tertahan oleh sebuah pemandangan yang baru pertama kali kulihat seumur hidup.
Lemari baju Ida terbuka, dia sedang sibuk mencari-cari bajunya dalam keadaan topless dan hanya memakai celana jeans pendek.
Refleks langsung kututup pintu itu sembari meminta maaf.
Walau beberapa detik tadi sangat kunikmati, melihat betapa indah kedua buah dada Ida yang lumayan besar di depan mataku. Sangat ranum dan bentuknya bulat sempurna, juga kencang.
Tapi kembali rasa bersalah memenuhi kepalaku hingga membuatku lupa bahwa itu adalah hal yang lumrah bagi suami-istri.
"Da, sorry gue mau ngambil bantal, gue nggak ngintip kok," ujarku dari luar kamar.
Memang terdengar sangat bodoh jika ada seorang suami yang meminta maaf saat melihat istrinya telanjang.
Tetapi itulah yang terjadi padaku sekarang.
"Nggak apa-apa, masuk aja...," sahut Ida dari dalam kamar.
Dengan tangan kiri kututup mataku, sedangkan tangan kananku meraba-raba permukaan tempat tidur untuk mencari bantal.
"Udah, tangannya dilepas aja, matanya dibuka," suara Ida terdengar sambil mencolek pinggangku.
"Sorry, gue bukan mau ngintip tadi, gue bener-bener nggak sengaja," ujarku sedikit malu-malu.
"Nyantai aja lagi, gue yang diintip kok lo yang panik... Gue juga baru pertama kali diintipin cowok," balas Ida sambil tertawa.
"Eh, nggak pegel apa tidur di sofa? Enakan tidur di sini bareng gue...," sambung Ida sambil menepuk tempat tidur.
"Udah, cepetan tv-nya dimatiin dulu," lanjut dia sambil sedikit mendorongku,
Setelah tv kumatikan, kulangkahkan kakiku kembali ke kamar.
Di kamar, Ida sudah berada di atas tempat tidur. Kakinya yang jenjang dan putih membuat suasana hatiku tak karuan. Sikap Ida yang sangat baik padaku membuatku mulai menikmati perjodohan ini, dan sedikit membuka hatiku untuknya.
"Sini," ujar Ida sambil membetulkan posisi bantal yang ada di sampingnya.
Kurebahkan tubuhku tepat di sampingnya dan langsung kupejamkan mataku, berharap tidak terjadi hal-hal yang aneh malam itu.
"Lo masih punya pacar yah waktu kita nikah," tanya Ida.
Kucoba untuk membuka mataku pelan-pelan, kutatap wajahnya yang kini sangat dekat denganku. Posisi tubuh Ida sudah menindih sebagian tubuhku.
"Nggak, emang napa?" tanyaku balik.
"Penasaran aja, abisnya lo dingin banget... serem tau," jawab Ida sambil tersenyum kecil.
"Gue cuman kaget aja, keadaan berubah drastis banget," ujarku.
"Ohh... gue kira lo jeruk makan jeruk lagi...," sambung dia.
"Ahh... lo kate gue maho?" jawabku bercanda, dan tangan Ida perlahan mulai memeluk perutku.
Dan mulailah dia menutup matanya.
"Abisss...," cekikik Ida memenuhi ruangan itu.
Karena tidak bisa lagi menahan kantuk akhirnya kami berdua tertidur sampai pagi, hanya tertidur tanpa melakukan sesuatu.
Keesokan harinya Ida bangun terlebih dahulu. Sepanjang malam dia memelukku dan tertidur dengan posisi setengah tubuhnya menindih tubuhku. Dengan posisi seperti itu kedua buah dadanya menempel pada tubuhku dan kurasakan kehangatan yang beda dari sebelumnya.
"Beb... bangun ih, nggak ngantor kamu?" tanya Ida sambil menjepit hidungku.
"Beb? Bebek kali?" jawabku bercanda.
"Iiih tuh kan bercanda lagi, terus maunya dipanggil apa?" tanya Ida lagi.
"Terserah kamu deh...," ujarku sambil mengucek-ngucek mata.
Mulai pagi itu di kantor hidupku terasa semakin indah. Ida sangat perhatian padaku dan terus saja mengirimkan SMS yang menanyakan kegiatanku dan lain-lain.
Dan mulai pagi itu kehidupan kami mulai berubah seperti pengantin baru pada umumnya.
Sehabis jam kantor, kuarahkan mobilku langsung pulang.
Di rumah, Ida ternyata pulang lebih cepat. Malam itu Ida mengenakan baju kaos bola Barcelona dengan celana hotpants. Baju itu dia modifikasi hingga bahu sebelah kanannya terlihat keluar dari leher baju bola itu.
"Baju bola gue tuh?" tanyaku.
"Iya... emang istri itu nggak boleh pake baju suaminya?" tanya Ida balik.
"Nggak juga sih... eh tapi kamu cantik loh kayak gitu," ujarku menggodanya.
"Udah ah... makan dulu sana... keburu dingin," kata Ida sambil menunjuk ke arah ruang makan.
Selain cantik, baik hati, dan sangat profesional dalam segala hal, Ida juga jago masak.
Sehabis makan, aku segera pergi ke ruang tv menemui Ida yang sedang asyik mencari-cari siaran film-film box office yang biasa diputar di tv saat larut malam.
"Duduk sini... deket gue," suara Ida terdengar saat kakiku mulai menginjak ruang tv.
Sambil memegang sekaleng minuman dingin, perlahan kutempatkan tubuhku tepat di sampingnya. Ida langsung menarik tanganku dan menggengam jemariku erat-erat.
Perasaanku tidak menentu, sudah lama sekali sejak aku duduk di bangku SMA baru sekarang lagi ada cewek yang begitu dekat denganku seperti ini.
Sebagai laki-laki normal, firasatku mengatakan bahwa ada sesuatu yang ingin dikatakan oleh Ida, tetapi dia masih malu karena sikapku yang masih begitu cuek.
Tapi kini kucoba untuk memberi perhatian sedikit untuknya. Kucoba kusandarkan tubuhku ke kursi, dan benar saja, Ida langsung menyandarkan kepalanya di bahuku.
Kunaikkan tanganku sedikit agar Ida bisa meletakkan kepalanya di dadaku. Tubuh Ida sangat hangat, kubiarkan tangannya menyusuri pinggangku lalu dipeluknya.
"Da, kalo mau minta tolong, atau mau ngomong sesuatu, kasih tahu aja... aku siap bantu kok," ujarku untuk memecah suasana.
"Kamu masih belum terima kenyataan kalo kita udah nikah ya?" tanya Ida pelan.
"Dulu sih iya... tapi sekarang udah nggak... abis kamu baik, cantik lagi," gombalku.
"Ih gombal," balas Ida, sambil mencubit pinggangku.
"Kalo aku sih pasrah aja ama orangtuaku mau disuruh apa juga, yang penting pekerjaanku nggak keganggu," sambung Ida.
"Aku mau minta sesuatu sama kamu," lanjut Ida.
"Minta apa?" tanyaku.
"Ehm... gimana ngomongnya ya...," jawab Ida.
"Udah. Bilang aja nggak usah malu," ujarku.
"Beneran nih, nggak apa-apa?" tanya Ida.
"Iya... beneran... terus apa?"
"Boleh minta cium nggak?" pinta Ida.
"Ooh..."
Langsung kudaratkan bibirku ke pipinya.
"Iiihh... bukan di situ, tapi di sini," ujar Ida sambil menunjuk bibirnya.
Sebenarnya pada waktu itu hatiku ingin sekali menciumnya, tetapi seumur hidupku belum ada satupun wanita yang pernah kucium. Gaya pacaranku saat SMA dulu juga paling cuma gandengan tangan saja, tidak lebih.
Oleh karena itu, beberapa lama kupikirkan, hingga, "Kamu nggak mau yah... nggak apa-apa deh kalo gitu," ujar Ida dengan nada sedikit kecewa.
"Nggak... gue cuma...," perkataanku terhenti.
"Cuma apa...?" tanya Ida.
"Belum pernah ciuman...," ujarku malu-malu.
Mukaku semakin merah saat selesai mengatakannya.
"Astaga... jadi kalo nanti kita ciuman, itu jadi first kiss lo dong?"
Masih dalam keadaan bingung dan malu, Ida mengangkat wajahku yang tertunduk malu. Dia menatapnya dengan penuh rasa cinta.
"Gue yang pertama, mau nggak?" tanya Ida.
Perasaanku seperti melayang-layang di udara. Senang sekali rasanya.
Memang dulu tidak pernah kuharapkan Ida yang menjadi first kiss-ku, tetapi karena dia begitu baik dan menyenangkan akhirnya kubiarkan semuanya berjalan seperti air mengalir.
"Gue ajarain dulu yah, terus nanti kalo udah bisa, lo bales ya?" pinta Ida.
Segera diciumnya kedua bibirku. Bibir Ida sangat tipis dan hangat, beberapa detik kunikmati bibirnya yang menempel pada bibirku. Tak lama setelah itu, Ida mulai memagut bibirku dan mulai menjulurkan lidahnya ke dalam mulutku.
"Dibalas dong," ujar Ida di sela-sela serangannya ke bibirku.
Kubalas ciumannya dengan cara yang sama seperti yang dia ajarkan.
"Mmhhh," hanya itu suara yang kudengar dari mulut Ida.
Setelah beberapa menit, kulepaskan ciumanku. Ida tertawa lepas sambil memandangiku.
"Nah, bibir lo udah nggak perjaka lagi... sapa dulu dong gurunya," ujar Ida sambil menepuk dadanya.
"Gila juga lo ya... master banget deh kayaknya.... Buka kursus juga yah?" tanyaku.
"Ya nggak-lah... gue juga baru pertama kali praktek nih, yang biasanya cuman gue baca di buku ama di film BF dan ternyata rasanya dahsyat yah," jawab Ida.
Baru kutahu kalo Ida juga baru pertama kali ciuman dengan cowok. Mungkin karena sepintas dia orangnya perfectionist, jadi cowok-cowok pada sungkan mau jadi pacarnya.
"Jadi bibir lo juga udah nggak perawan nih?" candaku.
"Apa lagi yang masih perawan?" tambahku menggodanya.
"Ya semuanyalah...," jawab Ida sambil menarik bibirku.
"Mau dong nyobain...?" candaku.
"Sok atuh... silahken...," jawab Ida sambil menarik tanganku mendekati tubuhnya.
"Sorry... gue becanda kok...," ujarku.
"Beneran juga nggak apa-apa," sambung Ida.
"Nanggung gak sih rasanya kalo cuman gitu-gitu aja," lanjut Ida memancingku.
"Terus maunya gimana?" tanyaku.
"Nggak ngerti-ngerti juga?" jawab Ida.
"Ngomongnya langsung aja, nggak usah berbelit-belit bingung gue," sambungku.
"Gue mau dientotin ama lo... beib," balas Ida sambil menarik bajuku.
Kurasakan seperti ada yang mencongkel keluar jantungku dengan pisau yang sangat tajam, dan tak kusangka sebenarnya selama ini walaupun perbuatanku kepada
Ida sangat kasar ternyata, dan dia masih memendam hasrat yang begitu dalam padaku.
"Yah... gue tabu... nggak tau harus gimana duluan," ujarku.
"Kan ada film bokep... liat dari situ aja bisa kan?" balas Ida.
"Gue coba deh...," jawabku.
Ida segera berjalan menuju kamar tidur kami dan kembali membawa kotak kecil yang kukira isinya adalah segala macam peralatan make up seperti yang biasa wanita-wanita karir koleksi, tapi ternyata isinya kumpulan DVD film-film porno dari Jepang, Latin, blonde, redhead, amateur, dan lain-lain.
"Lengkap banget... hobby nonton ginian yah?" tanyaku sambil melihat-lihat koleksi kasetnya.
"Eh, ini punya temen kantor aku lagi... nonton sih sering tapi kalo punya koleksi sebanyak ini... enggak deh," jawab Ida.
"Gue kira lo hyper," kataku bercanda.
"Eh hyper juga asyik tau, bisa siap setiap saat," sambungnya sambil tertawa dan terus mencari sebuah kaset yang menurutnya sangat bagus.
"Nah, ini dia akhirnya ketemu," ujar Ida sambil merapikan kaset-kaset lain yang berantakan di atas sofa di ruang tv.
"Nontonnya di kamar aja, supaya kalau capek bisa langsung tidur," sambung Ida.
"Emangnya kita mau nyangkul? Capek," tanyaku bercanda.
Sebenarnya suasana hatiku saat itu sangat tak karuan, ada senang bercampur bingung. Kata-kata yang keluar dari mulut Ida menandakan bahwa dia sudah sangat mempercayaiku dan sangat menyayangiku, sementara aku masih bingung dengan perasaanku sendiri.
Adegan film pertama di kaset itu dipenuhi dengan ciuman. Ida menyuruhku duduk di atas tempat tidur dan dia duduk di pangkuanku.
"Tau gak, itu tuh namanya foreplay," ujar Ida.
Mulailah Ida memagut bibirku. Selama beberapa menit kami mempertahankan posisi seperti itu, dan film pun berganti adegan.
Sekarang pemeran cowok di film itu mulai menggerayangi tubuh pemeran wanitanya. Baju pemeran wanita disingkap ke atas dan payudara wanita itu mulai di-emut oleh pemeran pria itu.
"Pengen deh digituin," Ida tiba-tiba melepaskan ciuman kami saat mengatakannya.
Posisi Ida sekarang duduk berhadapan denganku, dia duduk di pangkuanku.
"Ya udah... bajunya dibuka," ujarku.
Ida membuka bajunya perlahan, sedikit demi sedikit gumpalan daging di dadanya itu mulai tersingkap. Ukurannya benar-benar sangat besar, sama seperti saat pertama kali kulihat dengan tidak sengaja.
Seperti orang bodoh, kedua buah dadanya hanya kuperhatikan tanpa berbuat apa-apa.
"Kok cuman diliatin doang, aku pake lagi nih bajunya," ujar Ida ngambek.
"Sorry, speechless aja gue... gede amir... seumur-umur baru pernah liat yang ginian... eh besar pula lagi dapatnya," balasku untuk meredakan ngambeknya.
"Ya udah... di-emut dong," ujar Ida lagi, kali ini diiringi dengan senyum.
"Nggak ahh... entar lecet, terus kalo lo mandi pasti nyeri," kataku.
"Jadi gimana dong?" tanya Ida.
"Aku jilatin aja, mau nggak?" tanyaku balik.
Ida langsung menarik kepalaku ke arah buah dadanya, lidahku kujulurkan dan mulai menyentuh permukaan kulit buah dadanya. Kujilat melingkar membentuk huruf O di sekitar putingnya dan ujung putingnya kusentuh perlahan menggunakan ujung lidahku.
"Mmhh... enak beib... terus... terus... yang kanan juga... aahh," desah Ida yang membuatku bersemangat melakukannya.
Lima belas menit kuserang kedua payudaranya, dan hanya suara desahan yang keluar dari bibir manis Ida.
Saat tubuh Ida menggelinjang hebat, kurasakan ada cairan membasahi celananya.
"Da... celana lo basah...," ujarku, kubiarkan dadanya basah dan kutatap wajahnya yang sangat manis.
"Iya... gue 'jadi' tadi...," ujar Ida sambil menciumi pipiku.
Adegan di film kini berubah lagi, penis si pemeran pria yang sudah sedari tadi "tegang" mulai diurut turun naik oleh pemeran wanitanya. Dan setelah sudah cukup tegang, mulailah penis itu dimasukkan ke dalam mulut wanita itu.
"Mau gue gituin nggak?" tanya Ida.
"Udah nggak usah, lain kali aja," jawabku cepat.
"Nggak apa-apa, nggak usah malu... enak lagi," balas Ida.
Ida segera menarik celanaku, dan langsung menggenggam penisku yang belum menegang sama sekali di balik celana dalamku.
"Gila... gue udah hampir dua kali orgasme... lo bediri aja belon... make obat apa?" tanya Ida.
"Obat apaan? Gue aja baru sekali diginiin," jawabku.
Ida kemudian menarik turun celanaku. "Besar juga... beda dikit-lah ama yang di film," ujar Ida, sambil tersenyum dia mengenggam penisku.
Ida mulai mengangkat penisku dan mulai mengurutnya dari atas ke pangkal paha selama 10 menit.
Rasanya seperti berenang di awan, apalagi saat Ida menempelkan bibirnya ke ujung kepala penisku dan mengisapnya pelan.
"Udah... udah...," ujarku sambil mencoba menarik penisku keluar dari mulut Ida.
Tak lama setelah itu kurasakan sesuatu keluar dari penisku, dan tidak dapat lagi kutahan.
Kupejamkan mataku, dan saat kubuka Ida masih berada dalam posisi jongkok dan wajahnya berlumuran cairan berwarna putih yang tak lain adalah spermaku.
"Aku kan dah bilang," ujarku.
"Hahaha... asik... asik."
Bukannya marah, Ida justru tertawa kegirangan.
Kukenakan lagi celanaku dan segera mengambil anduk di lemari untuk membersihkan spermaku di wajah Ida.
"Ketelen nggak?" tanyaku.
"Dikit...," jawab Ida sambil tersenyum.
Tibalah film itu pada puncak aksinya.
Si pemeran pria menarik turun celana dalam pemeran wanitanya dan mulai melumat daerah kewanitaan perempuan itu.
"Rebahan deh...," ujarku.
Saat Ida berbaring di tempat tidur, kutempatkan tubuhku tepat di atasnya dan mulai menciumnya lagi.
Kali ini tidak terlalu lama, dan segera kupindahkan sasaranku ke bagian lehernya, seperti instruksi di film itu.
"Mmhh...," suara Ida pelan.
Tak lama setelah itu kedua buah dadanya kumainkan, kupijat pelan dan mulai kujilat perlahan. Turun ke bagian perut, dan anehnya lagi, tali hotpants Ida sudah tidak terikat dan sepertinya Ida tidak mengenakan celana dalam.
"Cewek kok nggak pake celana dalam," ujarku sambil mencubit pipinya.
"Kalo nggak ada lo sih gue pake... tapi kalo ada lo, masa iya gue pake... entar tiba-tiba lo minta? Gimana?" balas Ida.
Ida mulai menaikkan pinggulnya dan menurunkan celananya. Sekarang Ida sudah tidak mengenakan sehelai benang pun di tubuhnya.
Semua yang selama ini tertutup kain baju ataupun celana, sekarang jelas terlihat di hadapanku. Pinggul Ida lumayan besar, pantatnya montok, dan yang membuatku sangat bahagia adalah vaginanya yang tidak memiliki bulu sedikit pun.
"Sering cukur, neng?" tanyaku.
"Nggak juga sih... nggak tau kenapa... bulunya lama numbuh," jawab Ida.
Ida kemudian menarik kepalaku mendekati vaginanya yang sudah basah sedari tadi. Aroma kewanitaan yang belum pernah seumur hidup kucium ternyata sangat wangi, mungkin karena seringnya dirawat.
Perlahan mulai kujilati daging yang berada di belahan vaginanya itu, memainkan suasana dengan sesekali mempercepat jilatanku di liang kemaluannya. Semakin cepat kujilat, semakin Ida menjepit kepalaku di tengah kedua pahanya.
"Kalo gue tau enaknya nggak ketulungan gini... gue minta aja yah dari awal," gumam Ida.
Kali ini kusingkap lubang kemaluannya dan kuisap menggunakan bibir membentuk huruf O, sesuai dengan instruksi yang ada di film itu.
Ida semakin mengejang hebat dan mencoba menarik rambutku agar kepalaku menjauh dari vaginanya, tetapi seperti yang kubaca di buku jika terjadi hal seperti itu kita malah sering menghentikan permainan.
Tentu saja itu adalah sebuah kesalahan yang sangat besar.
Kuteruskan permainanku hingga kurasakan suatu cairan keluar membasahi lidahku.
"Keluar lagi?" tanyaku.
"Iya... enak deh," jawab Ida.
"Ya udah... gitu aja dulu yah... kepala gue sakit banget, abis lo jambak tadi," ujarku.
"Masa udahan sih? Sorry tadi gue kelepasan jadinya narik-narik rambut kamu gitu deh...," balas Ida.
"Entar baru nyambung lagi... yah," pintaku.
"Iya, tapi jangan lama-lama," jawab Ida.
Ida hanya terbaring di tempat tidur, kututupi tubuhnya dengan selimut.
Film porno itu kami 'pause' sebentar. Aku segera menuju westaffel untuk mencuci muka.
Kulihat waktu menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Saat itu baru kusadari bahwa sekarang dalam diriku tidak hanya ada cinta, tetapi juga ada nafsu untuk istriku Ida.
Setelah minum segelas air, aku segera kembali ke kamar.
Ida menyambutku dengan senyum penuh rasa sayang, kemudian kurebahkan tubuhku di sampingnya.
"Da... gue mau... minta maaf... kalo gue udah kasar sama lo sejak kita nikah. Padahal lo juga nggak tahu apa-apa kan? Sekarang gue ngerasa bersalah banget," ujarku.
"Biarin aja berlalu yang kayak gitu mah... nggak usah dipikir lagi, Ida juga udah lupa... kamu juga makin hari makin asik... seneng aku," jawab Ida.
Saat itu terasa sangat panas, kubuka baju kaosku dan tinggal memakai celana basket yang sejak tadi kupakai.
"Ribet banget nih selimut...," ujar Ida sambil menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya.
Ida lantas memulai lagi adegan di film yang tadi kami 'pause'.
Ida menarik tanganku dan menempelkan telapak tanganku ke selangkangannya.
Kini adegan di film itu bertambah panas, pemeran pria di film itu mulai memasukkan penisnya ke dalam vagina pemeran wanita. Pemeran wanita di film itu hanya menggumam tak karuan.
Beberapa menit kami menyaksikan film itu. Kali ini Ida hanya terpana melihat adegan di film itu.
Mungkin Ida masih takut untuk mencobanya.
"Mau coba gituan?" tanya Ida.
"Kalo sekarang nggak bisa, nggak apa-apa juga... lo aja yang master belum siap, apalagi gue," ujarku.
"Kita coba tapi pelan-pelan yah... soalnya gue masih perawan," ujar Ida.
"Nggak apa-apa, nanti aja...," jawabku.
"Tapi gue pengen banget...," sambung Ida.
"Ya udah... tapi bakal sakit loh nanti...," balasku.
Ida mulai menaikkan pinggul dan pantatnya, lalu kusangga dengan bantal. Kubuka sedikit lebar lubang kemaluannya, dan memang benar, selaput daranya masih utuh di dalam, merah merona dan terlihat segar.
"Beneran masukin sekarang?" tanyaku.
"Iya, tapi pelan-pelan yah," jawab Ida.
"Iya," balasku.
Kumasukkan penisku perlahan ke dalam vagina Ida. Hangat, perih, dan sempit. Terasa seperti disedot vacuum cleaner.
Saat semua bagian sudah mulai terbenam, kulihat Ida meneteskan air mata. Sedih sekali melihatnya seperti itu, dan kulihat darah membekas di batang penisku.
Sejenak kupikir untuk melepaskan penisku dari dalam vagina Ida. Tetapi apa yang terjadi, Ida malah menggoyangkan pinggulnya
"Sakit?' tanyaku pelan.
"Udah nggak kok... perih aja tadi, banget...," jawabnya.
"Mau diterusin?" tanyaku lagi.
"Iya...," jawab Ida manja.
Perlahan mulai kumajumundurkan pinggulku, makin lama makin cepat.
Ida hanya menggumam sambil meremas buah dadanya. "Ennnaaakk...," ujar Ida.
"Mmhh... guuee... keelluuaarr...," jerit Ida kemudian.
Orgasme Ida disusul olehku, senang sekali melihatnya malah tertawa di akhir permainan kami. Cairan yang keluar dari vagina Ida bercampur sedikit dengan darah.
"Da... sorry tadi gue keluarin di dalem...," ujarku.
"Nggak apa-apa kali... kalo nanti gue bunting, bapaknya ni anak kan elo," jawab Ida, hanya bisa tertawa.
Kami berdua tertawa sejadi-jadinya melihat perbuatan kami tadi.
Akhirnya kami pun kelelahan dan tertidur. ***
Arep mboyak...🤣🤣🤣
 
7 tahun 3 bulan Ilham bersama Ida bagaimana kabar keluarga kecil kalian.
jika tidak keberatan alangkah baiknya suhu dapat menceritakan kisah lanjutan keluarga kecil ini, thanx suhu @watta
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd